Anda di halaman 1dari 270

MODUL

KEPERAWATAN
FALSAFAH
KEPERAWATAN FALSAFAH

Penyusun:
1. Bagus Rahmat Santoso, Ns.,
M.Kep
2. Eirene E.M. Gaghauna, Ns., MSN

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA
TAHUN 2014
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Kata Pengantar

P uji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat rahmat dan karunia-Nya
menyelesaikan Modul Asuhan Keperawatan Falsafah.
Keperawatan gawat darurat merupakan palayanan
sehingga kami

keperawatan
komprehensif diberikan kepada pasien dengan masalah trauma atau penyakit yang
dapat

yang

sifatnya mengancam kehidupan. Keperawatan menghubungkan pengetahuan dan


ketrampilan untuk menangani respon pasien pada resusitasi, syok, trauma,
ketidakstabilan multisistem, keracunan dan kegawatdaruratan yang mengancam jiwa
lainnya.
Pembuatan modul ini juga menyesuaikan dengan kurikulum program studi ilmu
keperawatan pada mata kuliah keperawatan Falsafah yang ada di sekolah tinggi ilmu
kesehatan sari mulia. Modul ini menyajikan teori, kasus yang harus diselesaikan oleh
mahasiswa dan praktikum yang disesuaikan dengan kurikulum. Buku ini disusun
dengan bahasa yang sederhana sehingga mahasiswa dapat dengan mudah
memahami tentang keperawatan Falsafah, dengan mengetahui konsep keperawatan
Falsafah maka diharapkan mahasiswa dapat memahami dan melakukan asuhan
keperawatan pada pasien yang mengalami kondisi kegawatdaruratan baik diluar
rumah sakit maupun dirumah sakit.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya pada pihak-
pihak yang telah ikut berperan dalam penyusunan modul ini. Kami segenap Tim
Penyusun menyadari bahwa modul ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pengguna modul ini
sehingga kami dapat memperbaiki kekurangan kami dan meningkatkan kualitas dari
modul ini. Akhir kata kami segenap tim penyusun mengucapkan terimakasih dan
berharap semoga modul ini berguna bagi semua pihak.

Banjarmasin, Agustus 2013


TIM PENYUSUN

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sari Mulia Banjarmasin i


MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Daftar Isi
Halaman Judul

Kata Pengantar ............................................................................................. i


Daftar Isi ....................................................................................................... ii
Visi Misi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sari Mulia ...................................... iv
Visi Misi Program Studi Ners ........................................................................ v
Unit Kompetensi ........................................................................................... vii
Rencana Pembelajaran Semester (RPS) ...................................................... viii

Suplemen Pembelajaran............................................................................... 1
Chapter 1. Triage .......................................................................................... 2
Chapter 2. Initial Assessment ....................................................................... 6
Chapter 3. Konsep Manajemen Basic Life Support ....................................... 12
Chapter 4. Manajemen Pemberian Obat-Obat Emergency ........................... 23
Chapter 5. Keseimbangan Asam Basa ......................................................... 33
Chapter 6. Gagal Nafas ................................................................................ 38
Chapter 7. Asma ........................................................................................... 49
Chapter 8. Chest Pain................................................................................... 59
Chapter 9. Aritmia Jantung ........................................................................... 66
Chapter 10. Acute Coronary Syndrome ........................................................ 70
Chapter 11. Stroke ........................................................................................ 80
Chapter 12. Basic Trauma Life Support ........................................................ 101
Chapter 13. Trauma Score ........................................................................... 119
Chapter 14. Trauma Kepala .......................................................................... 125
Chapter 15. Trauma Dada ............................................................................ 138
Chapter 16. Trauma Abdomen...................................................................... 147
Chapter 17. Trauma Ekstremitas .................................................................. 152
Chapter 18. Hyperglikemia & Hypoglikemia .................................................. 160
Chapter 19. Luka Bakar ................................................................................ 181
Chapter 20. Seizure ...................................................................................... 186
Chapter 21. Gagal Ginjal Akut ...................................................................... 192
Chapter 22. Keracunan Organophospat........................................................ 201

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sari Mulia Banjarmasin ii


MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Pembelajaran Praktikum:
Chapter 23. Analisa Gas Darah .................................................................... 207
Chapter 24. Balut Bidai ................................................................................. 212
Chapter 25. Manajemen Sumbatan Jalan Nafas ........................................... 226
Chapter 26. Penugasan ................................................................................ 236
Chapter 27. Metode Evaluasi ........................................................................ 240

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sari Mulia Banjarmasin iii


MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

VISI MISI STIKES SARI MULIA

VISI STIKES
Menjadi lembaga pendidikan kesehatan unggulan tahun 2015 dan menghasikan
lulusan profesional dengan kompetensi sesuai standar profesi.

MISI STIKES
1. Menyelanggarakan pendidikan prefisional yang berkualitas, bersikananmbungan
dan memeliki daya saing dalam kebutuhan tenaga kesehatan pada tingkat regional
kalimantan dan nasional.
2. Melaksanakan kegiatan penelitian dan pengapdian kepada msyarakat upaya
peningkatan kualitas pendidikan.
3. Melakukan kolaborasi dengan msyarakat dalam perkembangan ilimu pengetahuan
dan teknologi dalam bidang kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan
msyarakat.

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sari Mulia Banjarmasin iv


MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

VISI MISI PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

Visi Program Studi:


Menjadi program studi pendidikan serjana keperawatan dan profisi Ners rujukan di
regional kalimantan selatan pada tahun 2015 denganunggulan di bidangkeperawatan
gawat darurat, dan keperawatankritis serta berorientasi pada profisonalisme yang
memenuhi standar nasional.

Misi Program Studi:


1. Menyelanggarakan pendidikan Serjana Keperawatan Ners yang bermutu, inovatif
dan berkesinambungan dengan menerapkan nilai kejujuran, kesinergisan,
komitmen bersama dan komonikasi efektif.
2. Melaksanakan kegiantan penelitian di bidang kesehatan utamanya keperawatan
untuk dapat di gunakan untuk mengembang kan mutu pendidikan dan pelayanan
kesehatan.
3. Melaksanakan kegiantan pengapdian kepada masyarakat yang berkelanjutan guna
meningkatkan kemendirian masyarakat secara sinergis dalam membangun dan
mengoptimalkan derajat kesehatan bersama

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sari Mulia Banjarmasin v


MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

PROFIL LULUSAN DAN KOMPETENSI


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN STIKES SARI MULIA

1. Mampu menerapkan pengetahuan, kerangka etik dan legal dalam sistem


kesehatan yang berhubungan dengan keperawatan
2. Mampu membuat keputusan etik
3. Mampu melakukan komunikasi efektif dalam memberikan asuhan keperawatan
4. Mampu memberikan asuhan peka budaya dengan menghargai sumber-sumber
etnik, agama atau faktor lain dari setiap pasien yang unik
5. Mampu menjamin kualitas asuhan holistik secara kontinyu dan konsisten
6. Mampu menggunakan teknologi dan informasi kesehatan secara efektif
7. Mampu menggunakan proses keperawatan dalam menyelasaikan masalah klien
8. Mampu menjalankan fungsi advokasi untuk mempertahankan hak klien agar dapat
mengambil keputusan untuk dirinya
9. Mampu menggunakan prinsip-prinsip peningkatan kualitas berkesinambungan
dalam praktek
10. Mampu mendemonstrasikan keterampilan teknis keperawatan yang sesuai dengan
standar operasional prosedur
11. Mampu mengkolaborasikan berbagai aspek dalam pemenuhan kebutuhan
kesehatan klien
12. Mampu mengkolaborasikan pelayanan keperawatan
13. Mampu memberikan dukungan kepada tim asuhan dengan mempertahankan
akontabilitas asuhan keperawatan yang di berikan
14. Mampu mewujudkan lingkungan bekerja yang aman
15. Mampu menggunakan keterampilan interpersonal yang efektif dalam kerja tim dan
pemberian asuhan keperawatan dengan mempertahankan dengan hubungan
kolaboratif
16. Mampu mengembangkan potensi diri untuk mempertahankan kompetensi

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Sari Mulia Banjarmasin vi


RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS)
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA
TAHUN AKADEMIK 2015/2016

Nama Program Studi : Program Studi Ners


Nama Mata Kuliah : Keperawatan Gawat Darurat
Kode Mata Kuliah : MKB 621
Semester : VI (Genap)
Beban SKS : 4 SKS (2 T, 1 P, 1 K)
Dosen Penanggung jawab : Bagus Rahmat Santoso (Team teaching)

A. Deskripsi Mata Kuliah


Mata kuliah ini akan membahas tentang prinsip-prinp teoritis dan ketrampilan klinis keperawatan tentang kegawatdaruratan terkait
berbagai sistem pada individu sesuai tingkat usia manusia mulai dari bayi sampai dengan lansia. Fokus mata kuliah ini meliputi
berbagai aspek yang terkait dengan kegawatdaruratan. Kegiatan belajar mahasiswa berorientasi pada pencapaian kemampuan
berfikir sistematis, komprehensif dan kritis dalam mengaplikasikan konsep kegawatdaruratan dengan pendekatan asuhan
keperawatan sebagai dasar penyelesaian masalah.

B. Kompetensi
Setelah mengikuti mata kuliah ini, peserta didik mampu:
1. Melakukan simulasi asuhan keperawatan dengan kasus kegawatdaruratan terkait multi sistem pada individu dengan berbagai
tingkat usia dengan memperhatikan aspek legal dan etis
2. Melakukan simulasi pendidikan kesehatan dengan kasus kegawatdaruratan terkait multi sistem pada individu dengan berbagai
tingkat usia dengan memperhatikan aspek legal dan etis
3. Mengidentifikasi masalah-masalah penelitian yang berhubungan dengan kegawatdaruratan terkait multi sistem dan
menggunakan hasil penelitian dalam mengatasi masalah kegawatdaruratan
4. Melakukan simulasi pengelolaan asuhan keperawatan pada kelompok klien yang mengalami masalah kegawatdaruratan terkait
multi sistem pada berbagai tingkat usia dengan memperhatikan aspek legal dan etis
5. Melaksanakan fungsi advokasi pada kasus dengan gangguan sistem kegawatdaruratan pada berbagai tingkat usia
6. Mendemonstrasikan intervensi keperawatan pada kasus kegawatdaruratan pada berbagai tingkat usia sesuai dengan standart
yang berlaku dengan berfikir kreatif dan inovatif sehingga menghasilkan pelayanan yang efisien dan efektif

vii
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

7. Melakukan simulasi penatalaksanaan triage pasien, pengkajian keperawatan gawat darurat, Basic Life Support, obat-obatan
emergency, terapi cairan dan oksigensi, serta kegawatdaruratan asam basa
8. Melakukan simulasi mengenai konsep Basic Trauma Life Support (BTLS) dan trauma scoring bagi pasien gawat darurat

C. Metode
Menggunakan pendekatan Student Centered Learning (SCL)

D. Rincian Kegiatan
Minggu Kompetensi Bahan Kajian Kriteria Penilaian Metode Assigment Asessment Time Dosen
Pertemu (Indikator)
an
I Melakukan simulasi Konsep keperawatan Mahasiswa mampu Mini Vignete Mcq 1 x 60 menit Tim
penatalaksanaan triage gawat darurat menjelaskan dan Lecture
pasien, pengkajian prehospital dan melakukan triage pada
keperawatan gawat darurat, hospital: kasus kegawatdaruratan
Basic Life Support, obat- 1. Triage pasien
obatan emergency, terapi Mahasiswa mampu PBL Paper Rubrik 2 x 60 menit
cairan dan oksigensi, serta membuat makalah dan Makalah dan Tim
kegawatdaruratan asam menjelaskan berbagai jenis Presentasi
basa triage baik di prehospital
dan hospital sesuai kasus
yang diberikan
II 2. Innitial Mahasiswa mampu Mini Vignete Mcq 1 x 60 menit Tim
Assessment menjelaskan dan Lecture
melakukan initial
assessment pada pasien
yang mengalami kondisi
kegawatdaruratan
Konsep manajemen Mahasiswa mampu Simulasi/ Demonstrasi Cheklist 2 x 60 menit Tim
basic life support menjelaskan dan Role Play
melakukan manajemen
basic life support
III Manajemen Mahasiswa mampu Mini Vignete Mcq 1 x 60 menit Tim

viii
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

pemberian obat- memahami dan Lecture


obatan emergency menjelaskan kembali
mengenai obat-obatan
emergency dan
mekanisme kerjanya di
dalam tubuh
Managemen Terapi Mini Vignete Mcq 1 x 60 menit Tim
Cairan & Oksigenasi Lecture
UGD
IV Konsep dan Mahasiswa mampu Mini Vignete Mcq 1 x 60 menit Tim
Managemen memahami dan Lecture
penatalaksanaan menjelaskan kembali
kegawatdaruratan kegawatdaruratan asam
1. Asam Basa basa dan elektrolit
2. Elektrolit
Melakukan simulasi asuhan Asuhan keperawatan Mahasiswa mampu Problem Paper Rubrik 2 x 60 menit Tim
keperawatan dengan kasus gawat darurat sistem menjelaskan dan Based Makalah
kegawatdaruratan terkait pernafasan melakukan Learning
multi sistem pada individu 1. Gagal Nafas penatalaksanaan asuhan
dengan berbagai tingkat usia 2. ARDS keperawatan gawat darurat
dengan memperhatikan 3. Asma pada sistem pernafasan
aspek legal dan etis
V Asuhan keperawatan Mahasiswa mampu Mini Vignete Mcq 1 x 60 menit Tim
gawat darurat sistem menjelaskan dan Lecture
kardiovaskuler melakukan
1. Chest pain penatalaksanaan asuhan
2. Aritmia keperawatan gawat darurat
pada sistem kardiovaskuler
Asuhan keperawatan Mahasiswa mampu Mini Vignete Mcq 1 x 60 menit Tim
gawat darurat sistem menjelaskan dan Lecture
kardiovaskuler melakukan
1. Acute coronary penatalaksanaan asuhan
syndrome keperawatan gawat darurat

ix
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

2. Stroke pada sistem kardiovaskuler


VI Melakukan simulasi Konsep dasar basic Mahasiswa mampu Case Paper Rubrik 2 x 60 menit Tim
mengenai konsep Basic trauma life support menjelaskan konsep dasar Study Makalah
Trauma Life Support (BTLS) basic trauma life support &
dan trauma scoring bagi Fluid Therapy In
pasien gawat darurat Emergency Simulasi/ Demonstrasi Cheklist 2 x 60 menit
Role Play
Tim
VII Trauma Score Mahasiswa mampu Mini Vignete Mcq 1 x 60 menit Tim
1. Anatomycal menjelaskan konsep Lecture
system mengenai trauma scoring
- Abbreviated pada pasien trauma
injury scale
- Injury
severity Small Paper Rubrik 2 x 60 menit
score Group makalah dan Tim
- New injury Discussio presentasi
severity n
score
- International
classifivatio
n of disease
injury
severity
score (ICIS)
- Wessons
criteria
2. Physiologycal
system
- Glassgow
coma score
- Trauma
score

x
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

-Revised
trauma
score
- Triage
revised
trauma
score
- Pediatric
trauma
score
3. Combine system
- Trauma-
score injury
severity
score
(TRIS)
- A severity
caracteritati
on of
trauma
(ASCOT)

VII Mendemonstrasikan Asuhan keperawatan Mahasiswa mampu Problem Paper Rubrik 2 x 60 menit Tim
intervensi keperawatan pada gawat darurat sistem menjelaskan dan Based Makalah
kasus kegawatdaruratan muskuloskeletal melakukan manajemen Learning
pada berbagai tingkat usia 1. Trauma Kepala tatalaksana asuhan
sesuai dengan standart yang keperawatan gawat darurat
berlaku dengan berfikir pada pasien Trauma
kreatif dan inovatif sehingga Kepala
menghasilkan pelayanan
yang efisien dan efektif
2. Trauma Dada Mahasiswa mampu Mini Vignete Mcq 1 x 60 menit Tim
menjelaskan dan Lecture

xi
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

melakukan manajemen
tatalaksana asuhan
keperawatan gawat darurat
pada pasien Trauma Dada
VIII 3. Trauma Mahasiswa mampu Mini Vignete Mcq 1 x 60 menit Tim
Abdomen menjelaskan dan Lecture
melakukan manajemen
tatalaksana asuhan
keperawatan gawat darurat
pada pasien trauma
abdomen
4. Trauma Mahasiswa mampu Case Paper Rubrik 2 x 60 menit Tim
Ekstremitas menjelaskan dan Study Makalah
melakukan manajemen
tatalaksana asuhan
keperawatan gawat darurat
pada pasien trauma
Ekstremitas
IX Mengidentifikasi masalah- Melakukan analisis Mahasiswa mampu Cooperat Paper Rubrik 2 x 60 menit Tim
masalah penelitian yang jurnal mengenai menjelaskan dan if & Makalah &
berhubungan dengan manajemen mempresentasikan hasil Learning Presentasi Presentasi
kegawatdaruratan terkait tatalaksana analisis jurnal pada kasus
multi sistem dan kegawatdaruratan kegawatdaruratan yang
menggunakan hasil pada kasus: telah dilakukan
penelitian dalam mengatasi 1. Asma
masalah kegawatdaruratan 2. Stroke
3. Penyakit Jantung
Koroner
4. Gagal Ginjal
Melaksanakan fungsi Pendidikan kesehatan Mahasiswa mampu Cooperat Leaflet & Rubrik 2 x 60 menit Tim
advokasi & pendidikan pada kasus melakukan simulasi if Presentasi
kesehatan pada kasus kegawatdaruratan pendidikan kesehatan Learning
dengan gangguan sistem 1. Asma pada kasus

xii
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

kegawatdaruratan pada 2. Stroke kegawatdaruratan yang


berbagai tingkat usia 3. Penyakit Jantung telah diberikan
Koroner
4. Gagal Ginjal
X Asuhan keperawatan Mahasiswa mampu Mini Vignete Mcq 1 x 60 menit Tim
gawat darurat sistem menjelaskan dan Lecture
integumen: luka bakar melakukan
1. Konsep luka penatalaksanaan asuhan
bakar keperawatan gawat darurat
2. Pengkajian pada sistem integumen
kegawatdarurata
n pada luka bakar
3. Klasifikasi luka
bakar
4. Manajemen
penatalaksanaan
kegawatdarurata Simulasi/ Demonstrasi Cheklist 2 x 60 menit Tim
n luka bakar Role
5. Perawatan luka
bakar
XI Asuhan keperawatan Mahasiswa mampu Case Paper Rubrik 2 x 60 menit Tim
gawat darurat sistem menjelaskan dan Study Makalah
endokrin: melakukan
Hypoglicemia dan penatalaksanaan asuhan
Hyperglicemia keperawatan gawat darurat
1. Konsep pada sistem endokrin
Hypoglicemia dan
Hyperglicemia
2. Manajemen
kegawatdarurata
n hypoglicemia
dan
hyperglycemia

xiii
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

2 x 60 menit
Manajemen Simulasi/ Demonstrasi Checklist Tim
Pemberian Glukosa Role Play
dan Insulin secara IV
XII Melakukan simulasi Asuhan keperawatan Mahasiswa mampu Mini Vignete Mcq 1 x 60 menit Tim
pengelolaan asuhan gawat darurat sistem menjelaskan dan Lecture
keperawatan pada kelompok neurobehavior: melakukan
klien yang mengalami Seizure (kejang) penatalaksanaan asuhan
masalah kegawatdaruratan 1. Konsep kejang keperawatan gawat darurat
terkait multi sistem pada 2. Klasifikasi kejang pada sistem
berbagai tingkat usia dengan (general/parsial) neurobehaviour
memperhatikan aspek legal 3. Manifestasi klinis
dan etis 4. Penatalaksanaan
kegawatdarurata
n kejang
5. Asuhan
keperawatan
gawat darurat
pada pasien
kejang
Asuhan keperawatan Mahasiswa mampu Mini Vignete Mcq 1 x 60 menit Tim
gawat darurat sistem menjelaskan dan Lecture
perkemihan: gagal melakukan
ginjal penatalaksanaan asuhan
1. Konsep gagal keperawatan gawat darurat
ginjal pada sistem perkemihan
2. Manajemen
kegawatdarurata
n gagal ginjal

XIII Asuhan keperawatan Mahasiswa mampu Mini Vignete Mcq 1 x 60 menit Tim
gawat darurat pada menjelaskan dan Lecture
keracunan melakukan

xiv
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

penatalaksanaan asuhan
keperawatan gawat darurat
pada keracunan
Penanganan Mahasiswa mampu Cooperat Paper Rubrik 2 x 60 menit Tim
keracunan pada menjelaskan manajemen if Makalah dan
kasus: tatalaksana Learning Presentasi
1. Overdosis kegawatdaruratan pada
paracetamol kasus keracunan secara
2. Overdosis spesifik
ethanol
3. Overdosis
Dextromethopan
4. Overdosis
Organophospate
UAS

E. Evaluasi
1. Penugasan : 30%
2. UTS & UAS : 30%
3. Seminar Modul : 20%
4. SOCA : 10%
5. Ujian Praktek : 10%
6. Ujian Praktek : 10%

F. Daftar Pustaka
1. Emergency Nurses Association. (2006). Sheehys Manual of Emergency Care, 6th edition.
2. Dolan, B., & Holt, L. (2008). Accident & Emergency (2 ed.). Toronto: Elsevier.
3. Stone, Kevin. (2007). Current Diagnosis &Treatment: Emergency Medicine. Sixth Edition. Philadelphia: McGrawHill.
4. Campbell, John. (2012). International Trauma Life Support for Emergency Care Providers, 7th Edition. New Jersey: Pearson
Education

xv
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

5. Wilson, W. C., et.al. (2007). Trauma : Emergency Recucitation Perioperative Anesthesia Surgical Management Volume 1.
California: Informa
6. www.search.ebscohost.com
7. www.search.proquest.com
8. www.medscape.com

Banjarmasin, Agustus 2014


Mengetahui,
Program Studi Ners Koordinator Mata Kuliah
Ketua

Dini Rahmayani, S.Kep. Ns., MPH Bagus Rahmat Santoso, Ns., M.Kep
NIK. 19.44.2004.008 NIK. 19.44.2009.024

xvi
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

SUPLEMEN
MATERI PEMBELAJARAN

1
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER TRIAGE

1
A. Definisi Triase
Triase merupakan proses khusus memilah klien berdasar beratnya
cedera atau penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami
perburukan klinis segera) untuk menentukan prioritas perawatan gawat darurat
medik serta prioritas transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana untuk
tindakan).
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera
atau penyakit (berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan
klinis segera) untuk menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta
prioritas transportasi (berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya
memilih berdasar prioritas atau penyebab ancaman hidup.
Triase adalah suatu seleksi pasien yang menjamin supaya tak ada pasien
yang tidak mendapat perawatan medis. Orang yang melakukan seleksi adalah
seorang ahli bedah yang berpengalaman sehingga dapat melakukan diagnose
secara on the spot dengan cepat dan menentukan penanggulangannya.

B. Tujuan Triase
Tujuan dari triase adalah memilih atau menggolongkan semua klien,
menetapkan prioritas penanganannya dan dapat menangani korban/klien dengan
cepat, cermat dan tepat sesuai dengan sumber daya yang ada.

C. Jenis-jenis Triase
Terdapat dua jenis triase, yaitu:
1. Multiple Casualties
Jumlah pasien dan beratnya trauma tidak melampaui kemampuan rumah sakit.
Pasien dengan masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan
mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.

2
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

2. Mass Casualties
Jumlah pasien dan beratnya trauma melampaui kemampuan rumah sakit.
Pasien dengan kemungkinan survival yang terbesar dan membutuhkan waktu,
perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit akan mendapatkan prioritas
penanganan lebih dahulu.

D. Kategori Triase
Triase memiliki beberapa kategori, antara lain:
1. Prioritas Pertama (Merah: segera)
Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat serta tindakan medik
dan transport segera untuk tetap hidup. Prioritas tertinggi untuk penanganan
atau evakuasi, seperti:
a. Tindakan resusitasi segera
b. Obstruksi jalan napas
c. Kegawatan pernapasan
d. Syok atau perdarahan berat
e. Trauma parah
f. Luka bakar berat
2. Prioritas kedua (Kuning: mendesak)
Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera yang kurang berat dan
dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. Meliputi
kasus yang memerlukan tindakan segera terutama kasus bedah, seperti:
a. Trauma abdomen
b. Trauma dada tertutup tanpa ancaman asfiksia
c. Trauma ekstremitas
d. Patah tulang
e. Trauma kepala tertutup
f. Trauma mata
g. Luka bakar derajat sedang
3. Prioritas ketiga (Hijau : tunda/evaluasi)
Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi segera,
memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan penilaian
ulang berkala. Penanganan tidak terlalu mendesak dan dapat ditunda jika ada
korban lain yang lebih memerlukan penanganan atau evakuasi, seperti ;

3
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

a. Cedera jaringan lunak


b. Dislokasi ekstremitas
c. Cedera tanpa gangguan jalan napas
d. Gawat darurat psikologis
4. Prioritas nol (Hitam : meninggal)
Diberikan kepada mereka yang meninggal atau mengalami cedera yang
mematikan.Pelaksanaan triage dilakukan dengan memberikan tanda sesuai
dengan warna prioritas.Tanda triage dapat bervariasi mulai dari suatu kartu
khusus sampai hanya suatu ikatandengan bahan yang warnanya sesuai
dengan prioritasnya. Jangan mengganti tandatriage yang sudah ditentukan.
Bila keadaan pasien berubah sebelum memperolehperawatan maka label
lama jangan dilepas tetapi diberi tanda, waktu dan pasang yang baru.

E. Penilaian Triase Dengan Sistem START


Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi, perfusi,
dan status mental (RPM: R= status Respirasi; P= Status Perfusi; M = Status
Mental) untuk memastikan kelompok korban yang memerlukan transport segera
atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati. Ini memungkinkan
penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar
akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport segera.

4
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Algoritma Sistem START :


Keterangan :
Hitam = Deceased (Tewas) ; Merah = Immediate (Segera), Kuning = Delayed
(Tunda) ; Hijau = Minor. Semua korban diluar algoritma diatas: Kuning.

5
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER INITIAL

2 ASSESSMENT

A. Survei Primer
Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (airway and C-spine control,
breathing, circulation and hemorrhage control, disability, exposure/environment).
Jalan nafas merupakan prioritas pertama. Pastikan udara menuju paru-paru tidak
terhambat. Temuan kritis seperti obstruksi karena cedera langsung, edema, benda
asing dan akibat penurunan kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan
nafas hingga intubasi atau krikotiroidotomi atau trakheostomi. Nilai pernafasan atas
kemampuan pasien akan ventilasi dan oksigenasi. Temuan kritis bisa tiadanya
ventilasi spontan, tiadanya atau asimetriknya bunyi nafas, dispnea, perkusi dada
yang hipperresonans atau pekak, dan tampaknya instabilitas dinding dada atau
adanya defek yang mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai pemberian
oksigen hingga pemasangan torakostomi pipa dan ventilasi mekanik.
Nilai sirkulasi dengan mencari hipovolemia, tamponade kardiak, sumber
perdarahan eksternal. Lihat vena leher apakah terbendung atau kolaps, apakah
bunyi jantung terdengar, pastikan sumber perdarahan eksternal sudah diatasi.
Tindakan pertama atas hipovolemia adalah memberikan RL secara cepat melalui 2
kateter IV besar secara perifer di ekstremitas atas. Kontrol perdarahan eksternal
dengan penekanan langsung atau pembedahan, dan tindakan bedah lain sesuai
indikasi.
Tetapkan status mental pasien dengan GCS dan lakukan pemeriksaan
motorik. Tentukan adakah cedera kepala atau kord spinal serius. Periksa ukuran
pupil, reaksi terhadap cahaya, kesimetrisannya. Cedera spinal bisa diperiksa
dengan mengamati gerak ekstremitas spontan dan usaha bernafas spontan. Pupil
yang tidak simetris dengan refleks cahaya terganggu atau hilang serta adanya
hemiparesis memerlukan tindakan atas herniasi otak dan hipertensi intrakranial
yang memerlukan konsultasi bedah saraf segera.

6
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau kuadriplegia


menunjukkan cedera kord spinal hingga memerlukan kewaspadaan spinal dan
pemberian metilprednisolon bila masih 8 jam sejak cedera (kontroversial). Bila
usaha inspirasi terganggu atau diduga lesi tinggi kord leher, lakukan intubasi
endotrakheal.
Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan mengontrol
lingkungan segera. Buka seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat
yang sama mulai tindakan pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi
diruang ber AC, dengan memberikan infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila
perlu selimut dengan pemanas. Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan
diagnostik yang dilakukan bersama survei primer. Pasang lead ECG dan monitor
ventilator, segera pasang oksimeter denyut. Monitor memberi data penuntun
resusitasi. Setelah jalan nafas aman, pasang pipa nasogastrik untuk dekompresi
lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi cairan lambung. Katater Foley
kontraindikasi bila urethra cedera (darah pada meatus, ekimosis skrotum / labia
major, prostat terdorong keatas). Lakukan urethrogram untuk menyingkirkan
cedera urethral sebelum kateterisasi.
Pada survei primer, hal yang perlu dikaji adalah:
1. Dangers
Kaji kesan umum: observasi keadaan umum klien
a. Bagaimana kondisi saat itu
b. Kemungkinan apa saja yang akan terjadi
c. Bagaimana mengatasinya
d. Pastikan penolong selamat dari bahaya
e. Hindarkan bahaya susulan menimpa orang-orang disekitar
f. Segera pindahkan korbanjangan lupa pakai alat pelindung diri
2. Respons
Kaji respon / kesadaran dengan metode AVPU, meliputi:
a. Alert (A): berespon terhadap lingkungan sekitar/sadar terhadap kejadian
yang dialaminya
b. Verbal (V): berespon terhadap pertanyaan perawat
c. Paintfull (P): berespon terhadap rangsangan nyeri
d. Unrespon (U): tidak berespon terhadap stimulus verbal dan nyeri
Cara pengkajian:
a. Observasi kondisi klien saat datang

7
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

b. Tanyakan nama klien


c. Lakukan penepukan pundak / penekanan daerah sternum
d. Lakukan rangsang nyeri misalnya dengan mencubit
3. Airway (Jalan Napas)
a. Lihat, dengar, raba (Look, Listen, Feel)
b. Buka jalan nafas, yakinkan adekuat
c. Bebaskan jalan nafas dengan proteksi tulang cervical dengan
menggunakan teknik Head Tilt/Chin Lift/Jaw Trust, hati-hati pada korban
trauma
d. Cross finger untuk mendeteksi sumbatan pada daerah mulut
e. Finger sweep untuk membersihkan sumbatan di daerah mulut
f. Suctioning bila perlu
4. Breathing (Pernapasan)
Lihat, dengar, rasakan udara yang keluar dari hidung/mulut, apakah ada
pertukaran hawa panas yang adekuat, frekuensi nafas, kualitas nafas,
keteraturan nafas atau tidak.
5. Circulation (Pendarahan)
a. Lihat adanya perdarahan eksterna/interna
b. Hentikan perdarahan eksterna dengan Rest, Ice, Compress,
Elevation (istirahatkan lokasi luka, kompres es, tekan/bebat, tinggikan)
c. Perhatikan tanda-tanda syok/ gangguan sirkulasi: capillary refill time, nadi,
sianosis, pulsus arteri distal.

B. Survei Sekunder
Mencari perubahan-perubahan yang dapat berkembang menjadi lebih
gawat dan mengancam jiwa apabila tidak segera diatasi dengan pemeriksaan dari
kepala sampai kaki (head to toe) Formalnya dimulai setelah melengkapi survei
primer dan setelah memulai fase resusitasi. Nilai lagi tanda vital, lakukan survei
primer ulangan secara cepat untuk menilai respons atas resusitasi dan untuk
mengetahui perburukan. Selanjutnya cari riwayat, termasuk laporan petugas pra
RS, keluarga, atau korban lain.
Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah medis
sebelumnya, alergi dan medikasi sebelumnya, status immunisasi tetanus, saat
makan terakhir, kejadian sekitar kecelakaan. Data ini membantu mengarahkan

8
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

survei sekunder mengetahui mekanisme cedera, kemungkinan luka bakar atau


cedera karena suhu dingin (cold injury), dan kondisi fisiologis pasien secara umum.

Pada survei sekunder, hal yang perlu dikaji, meliputi:


1. Disability
Ditujukan untuk mengkaji kondisi neurimuscular klien:
a. Keadaan status kesadaran lebih dalam (GCS)
b. Keadaan ekstremitas (kemampuan motorik dan sensorik)
2. Eksposure
Melakukan pengkajian head to toe pada klien, meliputi:
a. Pemeriksaan kondisi umum menyeluruh
1) Posisi saat ditemukan
2) Tingkat kesadaran
3) Sikap umum, keluhan
4) Trauma, kelainan
5) Keadaan kulit
b. Periksa kepala dan leher
1) Rambut dan kulit kepala
Perdarahan, pengelupasan, perlukaan, penekanan
2) Telinga
Perlukaan, darah, cairan
3) Mata
Perlukaan, pembengkakan, perdarahan, reflek pupil, kondisi kelopak
mata, adanya benda asing, pergerakan abnormal
4) Hidung
Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping hidung, kelainan anatomi
akibat trauma
5) Mulut
Perlukaan, darah, muntahan, benda asing, gigi, bau, dapat buka
mulut/ tidak
6) Bibir
Perlukaan, perdarahan, sianosis, kering
7) Rahang

9
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Perlukaan, stabilitas, krepitasi


8) Kulit
Perlukaan, basah/kering, darah, suhu, warna
9) Leher
Perlukaan, bendungan vena, deviasi trakea, spasme otot, stoma,
stabilitas tulang leher
c. Periksa dada
Flail chest, nafas diafragma, kelainan bentuk, tarikan antar iga, nyeri tekan,
perlukaan (luka terbuka, luka mengisap), suara ketuk/perkusi, suara nafas
d. Periksa perut
Perlukaan, distensi, tegang, kendor, nyeri tekan, undulasi
e. Periksa tulang belakang
Kelainan bentuk, nyeri tekan, spasme otot
f. Periksa pelvis/genetalia
Perlukaan, nyeri, pembengkakan, krepitasi, inkontinensia
g. Periksa ekstremitas atas dan bawah
Perlukaan, angulasi, hambatan pergerakan, gangguan rasa, bengkak,
denyut nadi, warna luka
3. Pengkajian SAMPLE
Riwayat SAMPLE yang harus diingat yaitu:
a. S (sign and symptoms) : tanda dan gejala yang diobservasi dan
dirasakan klien
b. A (allergies) : alergi yang dipunyai klien
c. M (medications) : obat yang diminum klien untuk mengatasi
masalah
d. P (past illness) : riwayat penyakit yang diderita klien
e. L (last meal) : makanan/minuman terakhir; apa dan kapan
f. E (Event) : pencetus / kejadian penyebab keluhan

C. Survei Tersier
Pemeriksaan ulang yang dilakukan sebagai evaluasi untuk mengetahui keadaan
klien setelah dilakukan survei sekunder dan survei tersier dengan mengidentifikasi
klien setelah diberikan resusitasi awal dan intervensi operati.
Survei tersier dilakukan:
1. Setelah 24 jam klien masuk ruang perawatan

10
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

2. Ketika klien telah sadar, responzive dan mampu mengungkapkan keluhan


yang dirasakannya
3. Pemeriksaan kembali tanda-tanda vital dan review data-data korban
4. Tahap rehabilitasi (pemulihan)
D. Mati Klinis
Tidak di temukan adanya pernapasan dan denyut nadi, bersifat reversibel,pasien
punya kesempatan waktu 4-6 menit untuk di lakukan resusitasi tanpa kerusakan
otak.

E. Mati Biologis
Biasanya terjadi dalam waktu 8-10 menit dari henti jantung, di mulai dengan
kematian sel otak, bersifat irreversibel. (kecuali berada di suhu yang ekstrim
dingin,pernah di laporkan melakukan resusitasi selama 1 jam lebih dan berhasil )
Tanda-tanda pasti mati:
a. Lebam
b. Kaku
c. Pembusukan, dan tanda lain nya Cedera mematikan.

11
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER KONSEP MANAJEMEN


BASIC LIFE SUPPORT PADA

3 ORANG DEWASA

A. Introduction
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan pertolongan yang dilakukan
kepada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung. Keadaan ini bisa
disebabkan karena korban mengalami serangan jantung (heart attack), tenggelam,
tersengat arus listrik, keracunan, kecelakaan, dan lain-lain. Pada kondisi napas dan
denyut jantung berhenti, sirkulasi darah dan transportasi oksigen juga berhenti
sehingga dalam waktu singkat organ-organ tubuh terutama organ vital akan
mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami
kerusakan.
Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena otak
hanya akan mampu bertahan jika ada asupan glukosa dan oksigen. Jika dalam
waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa, maka
otak akan mengalami kematian secara permanen. Kematian otak berarti pula
kematian si korban. Oleh karena itu golden period (waktu emas) pada korban yang
mengalami henti napas dan henti jantung adalah di bawah 10 menit. Artinya, dalam
watu kurang dari 10 menit pasien yang mengalami henti napas dan henti jantung
harus sudah mulai mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka harapan hidup si
korban sangat kecil. Adapun pertolongan yang harus dilakukan pada pasien yang
mengalami henti napas dan henti jantung adalah dengan melakukan resusitasi
jantung paru/CPR. Tindakan BLS dilakukan dengan langkah CAB (Circulation,
Airway, Breathing). Tujuan utama dari BLS adalah untuk melindungi otak dari
kerusakan yang irreversibel akibat hipoksia, karena peredaran darah akan berhenti
selama 3-4 menit.

12
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi


dirumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat meakukan resusitasi jantung
paru (RJP) atau cardiopumonary resuscitation (CPR). Menurut American Heart
Association bahwa rantai kehidupan mempunyai hubungan erat dengan tindakan
resusitasi jantung paru, karena bagi pasien yang terkena serangan jantung, dengan
diberikan RJP segera maka akan mempunyai kesempatan yang amat besar untuk
dapat hidup kembali
RJP biasanya dipelajari oleh dokter, perawat dan para medis lainya akan
tetapi diamerika CPR oleh orang orang yang bertugas di publik (keramaian orang),
seperti sapam, posili, petugas stasiun dan pekerja publik lainnya.

B. Chain of Survival
Resusitasi jantung paru (RJP / CPR) pasien dengan henti jantung jarang berhasil
jika semata mata dilakukan dengan resusitasi jantung paru saja. pada tahun 1992,
The American Heart Association (AHA) memperkenalkan alur untuk penanganan
korban dengan henti jantung yang disebut dengan Chain of Survival. Alur ini terdiri
4 komponen yaitu: pengenalan diri dan akses segera ke pelayanan gawat darurat
(Early Recognition and Early access), segera melakukan resusitasi jantung paru
(Early CPR), segera melakukan defibrilasi, (Early Defibrrilation), dan segera
mendapatkan perawatan lanjut (Early Advance Care).

13
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

1. Early Access
Waktu adalah faktor penting kesuksesan resusitasi dan defibrilasi.
Semakin cepat seseorang dapat mengeenali pasien yang mengalami
kegawatan jantung atau henti jantung dan menghubungi petugas medis, maka
semakin baik kesempatan hidup pasien tersebut. Oleh karena itu, tujuan Early
access adalah memperpendek interval waktu antara onset kejadian dengan
datangnya tim eemergencytang terlatih.
2. Early CPR
Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR) telah menujukan mampu untuk
meningkatkan kemungkinan hidup dalam kasus henti jantung diluar rumah
sakit. CPR perlu dilakukan segera pada semua kasus henti jantung. Sedikit
darah yang mengalir ke jantung dan otak tetapi sangat penting bagi kehidupan
idealnya dalam waktu 2 menit setelah kejadian sudah harus ada petugas
terlatih yang datang untuk melakukan CPR pada korban.
Korban yang mengalami henti jantung memerlukan bantuan segera
untuk mempertahankan jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasinya untuk
mencegah jatuhnya korban ke kondisi yang lebih buruk. CPR perlu dilakukan
segera untuk memberikan oksigen dan aliran darah ke otak dan jantung dan
membuang kelebihan CO2 dan paru.
CPR juga penting dilakukan sebelum dan setelah defibrilasi. Studi yang
dilakukan oleh University of Wasington menunjukkan bahwa pemberian CPR
dslsm waktu maksimal 90 detik sebelum melakukan defibrilasi ternyata mampu
meningkatkan tingkat keberhasilan penanganan henti jantung pada kondisi
dimana saat kejadian berlangsung dan waktu yang diperlukan untuk melakukan
defibrilasi mencapai 4 menit.
3. Early Defibrilation
Penyebab kematian pada korban yang mangalami henti jantung karena
mengalami infark miocard acut atau ischemia biasanta adalah ventrikel aritmia,
yang paling sering adalah ventrikel fibrilasi. Hal inilah yang mendasari prosedur
defibrilasi harus segera dilakukan untuk menyelamatkan korban. Penelitian
menunjukkan bahwa defibrilasi dini seringkali dapat meningkatkan angka

14
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

kehidupan korban henti jantung di luar rumah sakit. Defibrilasi paling baik
bekerja pada menit-menit pertama setelah onset henti jantung. Jika terlambat,
jantung tidak akan bereaksi terhadap terapi Defibrilasi. Setiap enit
keterlambatan pemberian pemberian defibrilasi akan diikuti oleh menurunnya
angka kehidupan pasien 7 % hingga 10 %.
4. Early Advance Care
Bantuan hidup lanjut (Advance Life Support), yaitu menstabilkan kondisi pasien
yang telah diresusitasi untuk melewati tahapan kritis. Tahapan ini terdiri dari
penatalaksanaan jalan nafas lanjutan (pemasangan Endo tracheal tube/ ETT)
pemberian obat-obatan, dan cairan, serta jika perlu terapi defibrilasi sesuai
gambaran ECG. Untuk tindakan selanjutnya, pasien segera diindahkan ke
ruang perawatan intensif untuk intensif untuk mendapatkan terapi dalam rangka
bantuan hidup jangka panjang, yaitu pengelolaan intensif pasca resusitasi.

C. Rangkaian CPR pada dewasa


1. Cek respon korban
Ketika terjadi keadaan kolaps, penolong harus segera memindahkan
korban ketempat aman sambil mencek respon korban. Tempatkan korban pada
permukaan yang datar dan keras pada posisi supinasi. Jika korban berada
pada posisi pronasi, gulingkan korban sehingga menjadi posisi supinasi.
Untuk mencek respon korban dapat dilakukan dengan menepuk bahu
korban sambil bertanya: apakah anda baik-baik saja?. Jika korban
memberikan respon tapi dia dalam keadaan cedera dan memerlukan
pertolongan atau peralatan medis, penolong bisa meninggalkan korban dan
segera hubungi 911, kemudian segera kembali untuk mencek kondisi korban.
2. Aktifkan Emergency Medical Services
Jika korban tidak berespon (seperti: tidak ada pergerakan atau tidak
berespon terhadap stimulus), segera aktifkan EMS dengan cara menghubungi
nomor-nomor yang dikenal sebagai penyedia layanan emergency.
a. Tenaga kesehatan yang terlatih
Jika hanya 1 penolong, maka:
Jika diduga kuat penyebab kolaps adalah masalah jantung, maka
penolong segera menghubungi 911 untuk memberitahukan keadaan
(sebutkan nama kita, apa yang diperlukan, nomor telepon yang kita
pakai, minta ambulan segera datang, tutup telepon (hanya jika diminta

15
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

menutup) dan mintalah AED, kemudian kembali kepada korban dan


memulai CPR.
Jika penyebab kolaps bukan berasal dari masalah-masalah jantung
(misal: tenggelam dan asfixia) penolong harus memberi 5 siklus CPR
(kira-kira 2 menit) sebelum mengaktifkan EMS
Jika terdapat beberapa penolong, maka penolong bisa berbagi tugas
b. Orang biasa yang terlatih
Jika hanya ada 1 penolong, maka penolong segera mengangtifkan EMS
(sebutkan nama, apa yang terjadi, berapa jumlah korban alat yang kita
minta) dan mintalah AED, kemudian kembali ke korban untuk
melakukan CPR dan Defibrilasi.
Jika terdapat beberapa orang yang terlatih, maka lakukan pembagian
tugas.
3. Memeriksa denyut nadi & Nafas secara simultan
Memeriksa denyut nadi pada pasien henti jantung dengan cara
memeriksa denyut nadi carotis korban dan itu hanya dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang terlatih dan dilakukan selama 5 detik dan maksimal selama 10
detik. Pada waktu memeriksa denyut nadi carotis, penolong sambil melihat
pergerakan dinding dada (untuk mengecek pernafasan korban). Jika dalam 10
detik tidak ditemukan denyut nadi dan nafas, segera lakukan kompresi dada.
Jika dalam 10 detik ditemukan denyut nadi dan terdeteksi tanda-tanda
pernafasan, maka segera lakukan Rescue Breathing dengan kecepatan10-
12x/menit. Setiap bantuan nafas harus bisa menaikkan dinding dada. Nafas
berikutnya dapat dilakukan jika dinding dada sudah berada pada posisi semula.
4. Memulai CPR
CHEST COMPRESSION
a. Menentukan landmark
Letak posisi kompresi dada adalah 1/3 bagian bawah sternum atau
sejajar puting susu
b. Mengunci tangan
Angkat jari telunjuk dan jari tengah anda
Letakkan bantalan telapak tangan anda yang lain diatas tangan yang
sebelumnya diatas sternum.
Kaitkan jari tangan anda yang diatas kejari tangan yang di bawah dari
dinding korban

16
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

luruskan
Luruskan kedua siku anda dan pastikan mereka terkunci dalam
posisinya
c. Memulai kompresi: PUSH HARD PUSH FAST
1) Mulai dengan menekan dinding dada hingga kedalaman minimal 2 inchi
atau 5 cm
2) Kecepatan kompresi 100-120 x/menit selama 5 siklus atau 2 menit.
3) Pada saat melakukan kompresi pastikan dinding dada kembali ke posisi
semula sebelum melakukan kompresi berikutnya
4) Hindari menghentikan kompresi yang terlalu sering pada saat
memberikan kompresi.

Gambar. Cara melakukan kompresi dada


d. Memberikan rescue breathing setelah 30 kompresi
Berikan 2 x Rescue breathing, masing masing selama 1 detik, dengan
volume udara yang cukup untuk menaikkan dinding dada. Cara ini diakai
untuk semua pemberian ventilasi selama siklus CPR, baik dengan cara
mouth to mouth, pocket mask ataupun dengan menggunakan Bag mask
ventilation (baik dengan pemberian oksigen maupun tidak)
Panduan melakukan Rescue breathing dan ventilasi:
1) Berikan dengan ukuran tidal volume
2) Hindari bantuan nafas yang terlalu cepat atau terlalu keras
3) Jika sudah terpasang alat bantu jalan nafas (seperti ett) dan ada 2
penolong, lakukan ventilasi dengan kecepatan 8-10 x / menit tanpa
perlu menyesuaikan dengan frekuensi kompresi dada

17
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

4) Lanjutkan sampai 5 kali siklus (1 siklus terdiri dari 30 kompresi: 2


ventilasi), atau ada respon dari pasien dengan cara mengecek Cek nadi
karotis
e. Setiap melakukan 5 siklus CPR, penolong harus melakukan pngkajian
ulang dengan cara:
1) Kaji denyut nadi korban, tanda sirkulasi, dan pernafasan setiap 5 siklus
CPR, maksimal 10 detik
2) Jika tidak ada denyut nadi, atau anda tidak yakin terhadap adanya
denyut nadi LANJUTKAN CPR 30: 2 untuk 5 siklus berikutnya atau 2
menit.
3) Jika denyut nadi muncul, cek pernafasan korban
4) Jika tidak bernafas, lakukan rescue breathing selama 10-12 x / menit
(normoventilasi) setiap 5 detik. Caranya: menghitung 2 ribu, 3 ribu, 4
ribu, 5 ribu setelah tiap hembusan. Ulangi sampai anda mendapatkan
total tiupan 10 tiupan. Jika denut nadi dan nafas korban muncul, segera
rujuk pasien ke Rumah Sakit.
f. Penggunaan AED (Automatic Eksternal Defibrilator)

Gambar 4. Salah satu model AED

Penyebab terbanyak kejadian henti jantung adalah ventrikel fibrilasi (V Fib)


dan Ventrikel Takikardi. Terapi satu-satunya pada kondisi ini adalah
melakukan defibrilasi. AED merupakan suatu alat untuk melakukan
defibrilasi. Alat ini mampu mendeteksi gangguan irama pada henti jantung
dan memberi arahan apakah korban harus dilakukan defibrilasi ataukah
tidak perlu dilakukan.

18
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

1) Cara penggunaan AED adalah sebagai berikut:


a) Tekan tombol On pada AED. Setelah itu, AED akan memberi
panduan apa yang harus dilakukan.
b) Lekatkan pad AED pada dada pasien

Gambar 5. Posisi Pemasangan AED


c) Ketika AED mengatakan ANALYZE RHYTHM, hentikan CPR dan
pastikan tidak ada yang memegang korban (Gunakan kesempatan
ini untuk berganti peran jika CPR dilakukan oleh 2 penolong)
d) Jika AED mengindikasikan untuk memberikan Shock, pastikan tidak
ada orang lain yang memegang korban dengan mengatakan
CLEAR, setelah itu tekan tombol SHOCK pada AED. Setelah
memberikan shock, segera lanjutkan CPR, dimulai dengan kompresi
dada
e) Jika AED tidak mengindikasikan pemberian shock, segera lanjutkan
CPR, mulai lagi dengan kompresi dada
f) AED akan mengulang langkah diatas setiap 2 menit.

19
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

20
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA BANJARMASIN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

Nama :
Nim :
Jenis Ketrampilan : Bantuan Hidup Dasar

Penilaian
No Aspek Yang Dinilai Ket
1 2 3 4
A Persiapan Alat:
1. Ventilasi: Kassa steril/ Sungkup
2. Sarung tangan disposible

B Tahap Kerja
1. Amankan diri, pasien dan lingkungan*
2. Cek respon pasien (panggil, tepuk bahu)*
3. Aktifkan kondisi kegawatdaruratan (call for help)*
4. Cek nadi (5-10 detik) & Pergerakan dinding dada
(untuk melihat pernafasan) secara bersamaan
- Dewasa/ anak: nadi carotis
- Bayi: nadi brakhialis
5. Tentukan titik kompresi dengan benar:*
- Dewasa/ anak: 1/3 sternum bagian bawah
atau sejajar putting susu
- Bayi: bawah sternum; lebar 1 jari berada
dibawah garus intermamari
6. Berikan kompresi dada dengan kedalaman:*
- Dewasa: minimal 5 cm (2 inci)
- Anak (usia 1-8 tahun) : 5 cm (2 inchi)
- Bayi: 2,5 cm
7. Lakukan kompresi dengan irama teratur,
lanjutkan dengan ventilasi dengan perbandingan:
- Dewasa: kecepatan minimal 100-120 x/menit,
30:2
- Anak (1-8 tahun): kecepatan minimal 100
x
/menit, 30:2 (1 penolong ), 15:2 (2 penolong)
- Bayi: kecepatan minimal 100 x/menit, 30:1 (1
penolong), 15:2 (2 penolong)
8. Cek nadi
- Dewasa/ anak: setelah 5 siklus (2 menit)
- Anak/ bayi: setelah 5 siklus (2 menit)
- Penggunaan AED
- Tekan tombol On pada AED. Setelah itu,
AED akan memberi panduan apa yang harus
dilakukan.
- Lekatkan pad AED pada dada pasien

21
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

- Ketika AED mengatakan ANALYZE


RHYTHM, hentikan CPR dan pastikan tidak
ada yang memegang korban (Gunakan
kesempatan ini untuk berganti peran jika CPR
dilakukan oleh 2 penolong)
- Jika AED mengindikasikan untuk memberikan
Shock, pastikan tidak ada orang lain yang
memegang korban dengan mengatakan
CLEAR, setelah itu tekan tombol SHOCK
pada AED. Setelah memberikan shock,
segera lanjutkan CPR, dimulai dengan
kompresi dada

Keterangan;
*: jika item (*) tidak dikerjakan maka mahasiswa diharuskan mengulang
1 = Tidak dilakukan sama sekali
2 = Langkah kerja dikerjakan tetapi tidak sesuai dengan urutan
3 = Langkah dikerjakan sesuai dengan urutan, tetapi kurang tepat
4 = Langkah kerja dilakukan secara benar dan tepat sesuai dengan pedoman

Jumlah Nilai Yang didapat


Nilai : x 100 =
Jumlah Aspek yang dinilai

Banjarmasin,20..
Pembimbing Klinik

..

Catatan:
1. Airway:
Cara membuka jalan nafas:
- Head-tilt dan chin-lift manuver dilakukan jika pasien tidak dicurigai ada trauma
servikal
- Jaw-trust dilakukan jika pasien dicurigai ada trauma servikal
2. Breathing:
- Nafas bantuan 2 kali dalam waktu 1 detik pada setiap hembusan
- Berikan bantuan nafas sesuai dengan kapasitas volume tidal yang cukup untuk
memperlihatkan pengangkatan dinding dada
- Berikan bantuan nafas bersesuaian dengan kompresi

22
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER MANAJEMEN PEMBERIAN


OBAT-OBATAN EMERGENCY

4
A. Definisi
Obat merupakan sebuah substansi yang diberikan kepada pasien sebagai
perawatan, pengobatan, atau bahkan pencegahan terhadap berbagai gangguan
yang terjadi di dalam tubuh. Dalam pelaksanaannya, tenaga medis memiliki
tanggung jawab dalam keamanan obat dan pemberian secara langsung
ke pasien.hal ini semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pasien. Pemberian obat
adalah suatu tindakan yang dilakukan pemberian subtansi kepada pasien dengan
tujuan penyembuhan dan pencegahan.
Pemberian obat emergency adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan saat kondisi darurat dengan cara pemberian obat dengan tujuan
meminimalisirkan keadaan darurat pada pasien.

B. Jenis Obat-Obatan Emergency


1. Epineprine
Golongan Obat : Vasopressor
Menurut Hadiani (2011) dalam buku Farmakologi dan Terapi Edisi 4 dijelaskan
bahwa:
a. Farmakokinetik
1) Absorpsi
Pada pemberian oral, epineprin tidak mencapai dosis terapi karena
sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak
terdapat pada dinding usus dan hati. Pada penyuntikan SK, absorpsi
yang lambat terjadi karena vasokontriksi lokal, dapat dipercepat dengan
memijat tempat suntikan.Absorpsi yang lebih cepat terjadi dengan

23
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

penyuntikan IM. Pada pemberian lokal secara inhalasi, efeknya


terbatas terutama saluran napas, tetapi efek sistemik dapat terjadi
terutama bila digunakan dosis besar.
2) Biotransformasi dan Ekskresi
Epineprin stabil dalam darah. Degradasi Epi terutama terjadi dalam hati
yang banyak mengandung kedua enzim COMT dan MAO, tetapi
jaringan lain juga dapat merusak zat ini. Sebagian besar Epi mengalami
biotransformasi, mula-mula oleh COMT dan MAO, kemudian terjadi
oksidasi, reduksi dan/atau konjugasi, menjadi metanefrin, asam 3-
metoksi-4-hidroksimandelat, 3-metoksi-4-hidroksifeniletilenglikol, dan
bentuk konjugasi glukuronat dan sulfat. Metabolik ini bersama Epi yang
tidak dapat diubah dikeluarkan dalam urin. Pada orang normal, jumlah
Epi yang utuh dalam dalam urin hanya sedikit. Pada pasien
feokromositoma, urin mengandung Epi dan NE utuh dalam jumlah
besar bersama metabolitnya.
b. Farmakodinamik
Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos
pembuluh darah dan otot polos lain.
1) Kardiovaskular
a) Pembuluh Darah
Efek vaskular Epi terutama pada arteriol kecil dan sfingter
prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh
darah kulit, mukosa dan ginjal mengalami konstriksi akibat aktivitas
reseptor oleh Epi. Pembuluh darah otot rangka mengalami dilatasi
oleh Epi dosis rendah, akibat aktivitas reseptor 2 yang mempunyai
afinitas lebih besar pada Epi dibandingkan dengan reseptor. Epi
dosis tinggi bereaksi dengan kedua jenis reseptor. Pada manusia,
pemberian Epi dalam dosis terapi yang menimbulkan kenaikan
tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi
minumbulkan peningkatan aliran darah otak. Tekanan darah arteri
maupun vena paru meningkat oleh Epi. Meskipun terjadi konstriksi
pembuluh darah paru, redistribusi darah yang berasal dari sirkulasi
sistemik akibat konstriksi vena-vena besar. Dosis Epi yang berlebih
dapat menimbulkan kematian karena udem paru.
b) Arteri Koroner

24
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Epi meningkatkan aliran darah koroner, disatu pihak Epi cenderung


menurunkan aliran darah koroner karena kompresi akibat
peningkatan kontraksi otot jantung, dan karena vasokontriksi
pembuluh darah koroner akibat efek reseptor.
c) Jantung
Epi mengaktivasi reseptor 1 diotot jantung, sel pacu jantung dan
jaringan konduksi. Ini merupakan dasar efek inotropik dan
kronotropik positif Epi pada jantung. Akibatnya, curah jantung
bertambah tetapi, kerja janung dan pemakaian oksigen sangan
bertambah, sehingga efisiensi jantung (kerja dibandingkan dengan
pemakaian oksigen) berkurang.
d) Tekanan Darah
Pemberian Epi IV dengan cepat (pada hewan) menimbulkan
kenaikan tekanan darah yang cepat dan berbanding langsung
dengan besarnya dosis. Pemberian Epi pada manusia secara SK
atau IV dengan lambat menyebabkan kenaikan tekanan sistolik
yang sedang dan penurunan tekanan sistolik.
2) Otot Polos
a) Saluran Cerna
Melalui reseptor dan Epi menimbulkan relaksasi otot polos saluran
cerna pada umumnya: tonus dan motilitas usus dan lambung
berkurang.
b) Uterus
Otot polos uterus manusia mempunyai reseptor 1 dan 2, selama
kehamilan bulan terakhir dan diwaktu partus Epi menghambat tonus
dan kontraksi uterus melalui reseptor 2, tetapi 2 agonis yang lebih
selektif seperti ritodrin atau terbutalin ternyata efektif untuk
menunda kehamilan prematur.
c) Kandung Kemih
Epi menyebabkan relaksasi otot detrusor melalui reseptor 2 dan
kontraksi otot trigon dan sfingter melalui 1, sehingga dapat
menimbulkan kesulitan urinasi serta retensi urin kandung kemih.
d) Pernapasan

25
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Epi pada asma, menghambat penglepasan mediator inflamasi dari


sel-sel mast melalui reseptor 2, serta mengurangi sekresi bronkus
dan kongesti mukosa melalui reseptor 1.

3) Susunan Saraf Pusat


Pada banyak orang Epi dapat menimbulkan kegelisahan, rasa kuatir,
nyeri kepala dan tremor; sebagian karena efeknya pada sistem
kardiovaskuler.
4) Proses Metabolik
Epi menstimulasi glikogenolisis disel hati dan otot rangka melalui
reseptor 2; glikogen diubah menjadi glukosa-1-fosfat dan kemudian
glukosa-6-fosfat. Hati memiliki glukosa-6-fosfat sehingga hati melepas
glukosa sedangkan, otot rangka melepas asam laktat.
c. Efek Samping
Pemberian Epi dapat menimbulkan gejala seperti perasaan takut, khawatir,
gelisah, tegang, nyteri kepala berdenyut, tremor, rasa lemah, pusing,
pucat, sukar bernapasdan palpitasi. Pada pasien psikoneurotik, Epi
memperberat gejala-gejalanya. Epi dapat menimbulkan aritmia ventrikel.
Fibrilasi ventrikel bila terjadi, biasanya bersifat fatal; ini terutama terjadi bila
Epi diberikan sewaktu anestesia dengan hodrokarbon berhalogen, atau
pada pasien jantung organik. Pada pasien syok, Epi dapat memperberat
penyebab dari syok. Pada pasien angina pektoris, Epi mudah menimbulkan
serangan karena obat ini meningkatkan kerja jantung sehingga
memerberat kekurangan oksigen.
d. Kontraindikasi
Epi dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat -bloker nonslektif,
karena kerjanya yang tidak terimbang pada reseptor pembuluh darah
menyebabkan hipertensi yang berat dan perdarahan otak.
e. Indikasi
Indikasi: pada asystole, fibrilasi ventrikel, PEA (Pulseless Electrical Activity)
dan EMD (Electro Mechanical Dissociation).
f. Posologi dan Sediaan
1) Suntikan Epineprin
Suntikan Epineprin adalah larutan steril 1:1000 Epi HCl dalam air untuk
penyuntikan SK; ini digunakan untuk mengatasi syok hipersensitivitas

26
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

akut lainya. Dosis dewasa berkisar antara 0,2-0,5 mg (0,2-0,5 ml


larutan 1:1000). Untuk penyuntikan IV, yang jarang dilakukan larutan ini
harus diencerkan lagi dan harus disuntikan dengan sangat perlahan-
lahan. Dosisnya jarang samapi 0,25mg, kecuali pada henti jantung
dosisi 0,5 mg dapat diberikan tiap 5menit. Penyuntikan intrakardial
kadang-kadang dilakukan dalam darurat (0,3-0,5 mg).
2) Inhalasi Epineprin
Inhalasi Epineprin adalah larutan tidak steril 1% Epi HCl atau 2% Epi
bitartrat dalam airuntuk inhalasi oral (bukan nasal) yang digunakan
untuk menghilangkan bronkokonstriksi.
3) Epineprin Tetes Mata
Epineprin Tetes Mata adalah larutan 0,1-2 % Epi HCl, 0,5-2% Epi borat
dan 2% Epi bitartrat.
g. Peran Perawat
Kaji penggunaan obat lain yang diminum pasien terhadap kemungkinan
interaksi atau mempengaruhi efektivitasnya. Pantau tanda-tanda vital dan
berikan informasi tentang penggunaan obat, efek samping yang mungkin
timbul dan cara mengatasinya.
2. Dopamin
Golongan obat : Inotropik
Menurut Hadiani (2011) dijelaskan bahwa:
a. Nama IUPAC
4-(2-aminoetil)benzena-1,2-diol
Nama lain :
2-(3,4-dihidroksifenil)etilamina;
3,4-dihidroksifenetilamina;
3-hidroksitiramina; DA; Intropin; Revivan; Oksitiramina
b. Nama Dagang
1) Dopac
2) Dopamin Giulini
3) Dopamin HCl
4) Dopamin Hydrochloride Injection
5) Dopamine
6) Indop
7) Cetadop

27
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

c. Pengertian
Dopamin adalah suatu katekolamin endogen, merupakan prekursor
adrenalin.

d. Farmakokinetik
Anak-anak: dopamin menunjukkan kinetika non linear pada anak-
anak; dengan merubah jumlah obat mungkin tidak akan
mempengaruhi waktu steady state.Onset kerja : dewasa : 5 menit.
Durasi: dewasa: < 10 menit. Metabolisme: ginjal, hati, plasma; 75%
menjadi bentuk metabolit inaktif oleh monoamine oksidase dan 25 %
menjadi norepinefrin.T eliminasi: 2 menit. Ekskresi: urin (sebagai
metabolit). Klien pada neonatus: bervariasi dan tergantung pada umur;
kliren akan menjadi panjang jika terdapat gangguan hepatik atau ginjal.
e. Farmakodinamik
Menstimulasi reseptor adrenergik dan dopaminergik; dosis yang
lebih rendah terutama menstimulsi dopaminergik dan menghasilkan
vasodilatasi renal dan mesenterik; dosis yang lebih tinggi menstimulasi
dopaminergic dan beta1-adrenergik dan menyebabkan stimulasi jantung
dan vasodilatasi renal; dosis besar menstimulasi reseptor alfa-adrenergik.
f. Efek Samping
Sering: denyut ektopik, takikardia, sakit karena angina, palpitasi,
hipotensi, vasokonstriksi, sakit kepala, mual, muntah, dispnea. Jarang:
bradikardia, aritmia ventrikular (dosis tinggi), gangrene, hipertensi,
ansietas, piloereksi, peningkatan serum glukosa, nekrosis jaringan (karena
ekstravasasi dopamin), peningkatan tekanan intraokular, dilatasi pupil,
azotemia, polyuria.
g. Indikasi
Syok kardiogenik pada infark miokard atau bedah jantung.
h. Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
1) Infus I.V : (pemberiannya memerlukan pompa infus) :
a. Bayi : 1-20 mcg/kg/menit, infus kontinyu , titrasi sampai respon
yang diharapkan.
b. Anak-anak : 1-20 mcg/kg/menit, maksimum 50 mcg/kg/menit, titrasi
sampai respon yang diharapkan.

28
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

c. Dewasa : 1-5 mcg/kg/menit sampai 20 mcg/kg/menit, titrasi sampai


respon yang diharapkan. Infus boleh ditingkatkan 4 mcg/kg/menit
pada interval 10-30 menit sampai respon optimal tercapai.
d. Jika dosis > 20-30 mcg/kg/menit diperlukan, dapat menggunakan
presor kerja langsung (seperti epinefrin dan norepinefrin).
Dosis berlebih menimbulkan efek adrenergik yang berlebihan. Selama
infus dopamin dapat terjadi mual, muntah, takikardia, aritmia, nyeri
dada, nyeri kepala, hipertensi, dan tekanan diastolik. Dosis dopamin
juga harus disesuaikan pada pasien yang mendapat antidepresi
trisiklik.
i. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap sulfit (sediaan yang mengandung natrium bisulfit),
takiaritmia, phaeochromocytoma, fibrilasi ventrikular.
j. Peran Perawat
Monitoring penggunaan obat: tekanan darah, ECG, heart rate, CVP, RAP,
MAP, output urin, jika dipasang kateter artery pulmonary monitor CI,
PCWP, SVR dan PVR.
3. Dobutamin (DOBUTAMINE HYDROCHLORIDE)
Golongan obat : Inotropik
Menurut Hadiani (2011) dijelaskan bahwa:
a. Pengertian
Dobutamine adalah simpatomimetic sintetik yang secara struktur
berhubungan dengan dopamine dan tergolong selective. Dobutamine
hidroklorida merupakan sebuk kristal berwarna putih, agak larut dalam air
dan alkohol. Dobutamine mempunyai pKa 9,4. Dobutamine hidroklorida
dalam perdagangan tersedia dalam bentuk larutan steril dalam aqua pro
injection. Dalam perdagangan larutan Dobutamine hidroklorida merupakan
larutan jernih tidak berwarna hingga larutan berwarna sedikit kekuning-
kuningan.
b. Nama Dagang
1) Dobuject
2) Dobutamin Giulini
3) Dobutamine Hameln
4) Dobutamine HCl Abbott
5) Dobutamine Lucas Djaja

29
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

6) Inotrop
7) Cardiject
c. Farmakokinetik
Onset of action (waktu onset) : IV : 1-10 menit
Peak effect (efek puncak): 10-20 menit
Metabolisme : di jaringan dan hepar menjadi bentuk metabolit yang
tidak aktif
T eliminasi (half-life elimination) : 2 menit
Ekskresi : urin (sebagai metabolit)
d. Farmakodinamik
Stimulasi reseptor beta1-adrenergic, menyebabkan peningkatan
kontraktilitas dan denyut jantung, dengan sedikit efek pada beta2 atau
alpha-reseptor.
e. Efek Samping
Sakit kepala, sesak nafas, takikardia, hipertensi, kontraksi ventrikel,
premature, angina pectoris, mual, muntah, nyeri dan non angina.
f. Indikasi
Penatalaksanaan jangka pendek gagal jantung akibat depresi kontraktilitas
karena penyakit jantung organic atau prosedur pembedahan.
g. Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Infus intravena 2,5 sampai 10 mcg/kg/menit, disesuaikan dengan
responnya.
h. Kontraindikasi
Kontraindikasi pada obat dobutamin adalah Hipersensivitas terhadap
bisulfit (mengandung bisulfit) stenoris subaortik hipertrofi idiopatik.
i. Peran Perawat
Monitoring tekanan darah, ECG, heart rate, CVP, RAP, MAP, output urin;
jika kateter arteri pulmonary dipasang, monitor CI, PCPW, and SVR; juga
monitor serum kalium.
4. Lidokain
Golongan obat : Anastesik
a. Pengertian
Lidokain adalah anestetik lokal yang digunakan secara luas dengan
pemberian topikal dan suntikan. Anestesia terjadi lebih cepat, lebih kuat,

30
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

lebih tahan lama dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh
anestesik prokain.
Lidokain merupakan larutan aminoetilamid. Larutan lidokain 0,5%
digunakan untuk anestesia infiltrasi, sedangkan larutan 1,0-2% digunkan
untuk anestesia blok dan topikal. Anestesia ini lebih efektif digunakan
tanpa vasokontriktor, tetapi kecepatan absorpsi dan toksistasnya
bertambah dan masa kerjanya pendek. Lidokain merupakan obat yang
menjadi ganti apabila ada orang yang hipersensitif terhadap prokain dan
epinefrin dan menyebabkan sedasi. Sediaan berupa larutan 0,5-5%.
b. Farmakokinetik
Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan dapat melewati
sawar darah otak.Kadarnya dalam plasma fetus dapat mencapai 60%
dalam darah ibu. Di dalam hati liidokain mengalami dealkilasi oleh enzim
oksidase fungsi ganda(mixed-function oxidase) membentuk monoetiolglisin
xilidid dan glisin xilidid, yang kemudian dapat dimetabolisme lebih lanjut
menjadi monoetilglisin dan xilidid. Kedua metabolit monoetilglisin xilidid
maupun glisisn xilidid ternyata masih memiliki efek anestetik lokal. Pada
manusia, 75% dari xilidid akan diekskresi bersama urin dalam bentuk
metabolit akhir, 4 hidroksi-2-6 dimetil-anilin.
c. Efek Samping
Efek samping lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap
SSP, misalnya mengantuk, pusing, parestesia, gangguan mental, koma,
dan seizures.Mungkin sekali metabolit lidokain yaitu monoetilglisin
xilidid dan glisin xilidid ikut berperan dalam timbulnya efek samping ini.
Kelebihan dosis lidokain dapat menyebabkan kematian akibat fibrilasi
ventrikel atau henti jantung.
d. Indikasi
Lidokain sering digunakan dengan cara suntikan untuk anestesia
infiltrasi, blokade saraf, anestesia epidural ataupun anestesia kaudal, dan
secara setempat untuk anestesia selaput lendir. Pada anestesia infiltrasi
biasanya digunakan larutan 0,25-0,5% dengan atau tanpa adrenalin.
Tanpa adrenalin dosis total tidak boleh melebihi 200 mg/24 jam, dengan
adrenalin tidak boleh melebihi 500 mg/24 jam.
Dalam bidang kedokteran gigi, biasanya digunakan larutan 1-2 %
dengan adrenalin; untuk anestesia infiltrasi dengan mula kerja 5 menit dan

31
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

masa kerja kira-kira satu jam dibutuhkan dosisi 0,5-1,0 ml. Untuk blokade
saraf digunakan 1-2 ml.
Lidokain dapat pula digunakan untuk anestesia permukaan. Untuk
anestesia rongga mulut, kerongkongan, dan saluran cerna bagian atas
digunakan larutan 1-4% dengan dosis 1-4%, dengan dosis maksimal sehari
dibagi beberapa dosis. Pruritus didaerah anogenital atau rasa sakit yang
menyertai wasir dapat dihilangkan dengan supositoria atau bentuk salep
atau krem 5 %. Untuk anestesia sebelum dilakukan kateterisasi uretra
digunakan lidokain gel 2% dan sebelum dilakukan bronkoskopi atau
pemasangan pipa endotrakeal biasanya digunakan semprotan dengan
kadar 2-4 %.

Referensi:

Dinas Kesehatan. (2013). Apa yang dimaksud dengan Obat. Diakses dihttp://dinkes.

go.id/index.php/artikel-kesehatan/111-apa-yang-dimaksud-dengan-obat-pada senin, 4
Mei 2015.

Hadiani, Miftakhul Arfah. (2011). Klasifikasi Obat Gawat Darurat Menggunakan Analisa
ABC-VED di Instalasi Farmasi RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Jurnal Teknik
WAKTU. Volume 09 Nomor 02 Juli 2011 ISSN : 1412 1867.

Hadiani, Miftakhul H. (2011). Klasifikasi Obat Gawat Darurat Menggunakan Analisis


Abcved Di Instalasi Farmasi Rsud Dr Moewardi Surakarta. Journal
teknik.Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.

Martindale, 34th edition halaman 1120-1121 2. MIMS 2007 halaman 99 3. AHFS, Drug
Information 2005 halaman 1276-1281 4. Drug Information Handbook 17th ed
halaman 550-551.

Stillwell, Susan B. (2011). Pedoman Keperawatan Kritis. Edisi 3. Jakarta: EGC.

32
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER KESIMBANGAN
ASAM BASA

5
A. Pendahuluan
Keseimbangan asam basa merupakan sistem yang ada didalam tubuh
untuk mengatur keseimbangan elektrolit. Sistem ini tidak mengeliminasi ion-ion
hidrogen dari tubuh atau menambahnya kedalam tubuh tetapi hanya menjaga agar
mereka tetep terikat sampai keseimbangan tercapai kembali. Kemudian sistem
pernafasan juga bekerja dalam beberapa menit untuk mengeliminasi CO2 dan oleh
karena itu H2CO3 dari tubuh. Kedua pengaturan ini menjaga konsentrasi ion
hidrogen dari perubahan yang terlalu banyak sampai pengaturan yang ketiga
bereaksi lebih lambat, Ginjal dapat mengeliminasi kelebihan asam dan basa dari
tubuh. Walaupun ginjal relatif lambat memberi respon, dibandingkan sistem
penyangga dan pernafasan, ginjal merupakan sistem pengaturan asam-basa yang
paling kuat selama beberapa jam sampai beberapa hari. Keseimbangan dalam
tubuh dapat dilihat dari hasil analisa gas darah.
Analisa gas darah adalah suatu pemeriksaan daya serap / interaksi darah
dan gas yang dihirup lewat pernafasan. Sampel darah diambil langsung dari arteri.
Pemeriksaan gas darah dan pH digunakan sebagai pegangan dalam penanganan
pasien pasien penyakit berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas darah
dipakai untuk menilai keseimbangan asam basa dalam tubuh. Kadar oksigenasi
dalam darah, kadar karbondioksida dalam darah.

33
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Pemeriksaan analisa gas darah dikenal juga dengan nama pemeriksaan


ASTRUP. Lokasi pengambilan darah yaitu: A. Radialis, A. Brachialis, A.
Femoralis, A. Dorsalis pedis.
Ukuran-ukuran dalam analisa gas darah:
PEMERIKSAAN HASIL NORMAL
PH 7,387 7,34-7,44
PCO2 24,87 35-45
PO2 44,0 89-116
HCO3 14,5 22-26
TCO2 15,2 22-29
BASSE EXCESS -8,4 - 2 ( +3 )
SATURASI O2 80,2 95-98

B. Asidosis Respiratorik
PH turun PCO2 naik
Asidosis respiratorik adalah keasaman darah yang berlebihan karena
penumpukan karbondioksida dalam darahsebagai akibat dari fungsi paru-paru
yang buruk atau pernafasan yang lambat. Kecepatan dan kedalaman pernafasan
mengendalikan jumlah karbondioksida dalam darah. Dalam keadaan normal, jika
terkumpul karbondioksida, pH darah akan turun dan darah menjadi asam.
Tingginya kadar karbondioksida dalam darah merangsang otak yang mengatur
pernafasan, sehingga pernafasan menjadi lebih cepat dan lebih dalam.
Penyebab:
Asidosis respiratorik terjadi jika paru-paru tidak dapat mengeluarkan
karbondioksida secara adekuat. Hal dapat terjadi pada penyakit-penyakit berat
yang mempengaruhi paru-paru, seperti: Emfisema, Bronkitiskronis, Pneumoia
berat, Edemapulmoner, Asam. Asidosis respiratorik dapat juga terjadi bila penyakit-
penyakit dari saraf atau otot dada menyebabkan gangguan terhadap mekanisme
pernafasan. Selain itu, seseorang dapat mengalami asidosis respiratorik akibat
narkotika dan obat dan obat tidur yang kuat, yang menekan pernafasan.
ANALISA
Jenis Gangguan Asam Basa PH Total CO PCO
Asidosis respiratrik tidak Rendah Tinggi Tinggi
terkomfensasi
Alkalosis respiratorik tidak Tinggi Rendah Rendah
terkomfensasi
Asidosis metabolic tidak Rendah Rendah Normal
terkompensasi
Alkalosis metabolic tidak Tinggi Tinggi Rendah
terkompensasi

34
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Asidosis respiratorik Normal Tinggi Normal


kompensasi alkalosis
metabolic
Alkalosis respiratorik Normal Rendah Normal
kompensasi asidosis
metabolic
Asidosis metabolic Normal Rendah Rendah
kompensasi alkalosis
respiratorik
Alkalosis metabolic Normal Tinggi Tinggi
kompensasi asidosis
respiratorik
C. Asidosis Metabolik
PH turun HCO3 turun
Asidosis metabolik adalah keasaman darah yang berlebihan, yang ditandai
dengan rendahnya kadar bikarbonat dalam darah. Bila peningkatan keasaman
melampaui system penyangga pH, darah akan benar-benar menjadi asam. Seiring
dengan mneurunnya pH darah, pernafasan menjadi lebih dalam dan lebih cepat
sebagai usaha tubuh untuk menurunkan kelebihan asam dalam darah dengan cara
menurunkan jumlah karbon dioksida. Pada akhirnya, ginjal juga berusaha
mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara mengeluarkan lebih banyak asam
dalam air kemih. Tetapi kedua mekanisme tersebut bisa terlampaui jika tubuh terus
menerus menghasilkan terlalu banyak asam, sehingga terjadi asidosis berat dan
berakhir dengan keadaan koma.
Penyebab:
Penyebab asidosis metabolik dapat dikelompokkan kedalam 3 kelompok utama:
1. Jumlah asam dalam tubuh dapat meningkat jika mengkonsumsi suatu asam
atau suatu bahan yang diubah menjadi asam, sebagian besar bahan yang
menyebabkan asidosis bila dimakan dianggap beracun. Contohnya adalah
methanol (alcohol kayu) dan zat anti beku (etilenglikol). Overdosis aspirin pun
dapat menyebabkan asidosis metabolik.
2. Tubuh dapat menghasilkan asam yang lebih banyak melalui metabolisme.
Tubuh dapat menghasilkan asam yang berlebihan sebagai suatu akibat dari
beberapa penyakit ; salah satu diantaranya adalah diabetes mellitus tipe I. jika
diabetes tidak terkendali dengan baik, tubuh akan memecah lemak dan
menghasilkan asam yang disebut keton. Asam yang berlebihan juga ditemukan
pada syok stadium lanjut, dimana asam laktat dibentuk dari metabolisme gula.
3. Asidosis metabolic bisa terjadi jika ginjal tidak mampu untuk membuang asam
dalam jumlah yang semestinya. Bahkan jumlah asam yang normalpun bisa

35
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

menyebabkan asidosis jika ginjal tidak berfungsi secara normal. Kelainan fungsi
ginjal ini dikenal sebagai asidosis tubulus renalis, yang bisa terjadi pada pasien
gagal ginjal atau pasien kelainan yang mempengaruhi kemampuan ginjal untuk
membuang asam.
Penyebab utama dari asidosis metabolik:
1. Gagal ginjal
2. Asidosis tubulus renalis (kelainan bentuk ginjal)
3. Ketoasidosis diabetikum
4. Asidosis laktat (bertambahnya asam laktat)
5. Bahan beracun seperti etilen glikol, overdosis salisilat, methanol, paraldehid,
asetazolamid atau ammonium klorida
6. Kehilangan basa (misalnya bikarbonat) melalui saluran pencernaan karena
diare, ileostomi atau kolostomi.

D. Alkalosis Respiratorik
PH naik PCO2 turun
Alkalosis Respiratorik adalam suatu keadaan dimana darah menjadi basa
karena pernafasan yang Cepat dan dalam menyebabkan kadar karbondioksida
dalam darah menjadi rendah.
Penyebab:
Pernafasan yang cepat dan dalam disebut hiperventilasi, yang
menyebabkan terlalu banyaknya jumlah karbondioksida yang dikeluarkan dari
aliran darah. Penyebab hiperventilasi yang paling sering ditemukan adalah
kecemasan. Penyebab lain dari alkalosis respiratorik adalah: rasa nyeri, sirosis
hati, kadar oksigen darah yang rendah, demam, overdosis aspirin.
Pengobatan:
Biasanya satu-satunya pengobatan yang dibutuhkan adalah memperlambat
pernafasan. Jika penyebabnya adalah kecemasan, memperlambat pernafasan bisa
meredakan penyakit ini. Jika penyebabnya adalah rasa nyeri, diberikan obat
pereda nyeri. Menghembuskan nafas dalam kantung kertas (bukan kantung plastic)
bisa membantu meningkatkan kadar karbondioksida setelah enderita menghirup
kembali karbondioksida yang dihembuskannya.
Pilihan lainnya adalah mengajarkan pasien untuk menahan nafasnya
selama mungkin, kmudian menarik nafas dangkal dan menahan kembali nafasnya
selama mungkin. Hal ini dilakukan berulang dalam satu rangkaian sebanyak 6-10

36
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

kali. Jika kadar karbondioksida meningkat, gejala hiperventilasi akan membaik,


sehingga mengurangi kecemasan pasien dan menghentikan serangan alkalosis
respiratorik.

E. Alkaliolisis Metabolik
PH naik naik
Alkalosis Metabolik adalah suatu keadaan dimana darah dalam keadaan basa
karena tingginya kadar bikarbonat.
Penyebab:
Alkalosis metabolic terjadi jika tubuh kehilangan terlalu banyak asam.
Sebagai contoh adalah kehilangan sejumlah asam lambung selama periode
muntah yang berkepanjangan atau bila asam lambung disedot dengan selang
lambung (seperti yang kadang-kadang dilakukan di rumah sakit, terutama setelah
pembedahan perut).
Pada kasus yang jarang, alkalosis metabolic terjadi pada seseorang yang
mengkonsumsi terlalu banyak basa dari bahan-bahan seperti soda bikarbonat.
Selain itu, alkalosis metabolic dapat terjadi bila kehilangan natrium atau kalium
dalam jumlah yang banyak mempengaruhi kemampuan ginjal dalam
mengendalikan keseimbangan asam basa darah.
Penyebab utama alkalosis metabolik:
1. Penggunaan deuretik (tiazid, furosemide, asam etakrinat)
2. Kehilangan asam karena muntah pengosongan lambung
3. Kelenjar adrenal yang terlalu aktif (sindroma cushing atau akibat penggunaan
kortikosteroid).

Referensi:

37
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER GAGAL NAFAS

6
A. Definisi
Kegagalan pernafasan adalah sindrom di mana sistem pernafasan gagal
pada salah satu atau kedua fungsi pertukaran gasnya: penyisihan oksigenasi dan
karbon dioksida, ini bisa diklasifikasikan sebagai hipoksemik atau hypercapnic.
Kegagalan pernapasan hipoksemik (tipe I) ditandai oleh tekanan oksigen arteri
(PaO 2 ) lebih rendah dari 60 mmHg dengan tekanan karbon dioksida normal atau
rendah (PaCO 2 ). Ini adalah bentuk kegagalan pernafasan yang paling umum, dan
dapat dikaitkan dengan hampir semua penyakit akut paru-paru, yang umumnya
melibatkan pengisian cairan atau kolaps unit alveolar. Beberapa contoh kegagalan
pernapasan tipe I adalah edema paru kardiogenik atau
noncardiogenik, pneumonia , dan perdarahan paru.
Kegagalan pernafasan hypercapnic (tipe II) ditandai dengan PaCO2 yang
ebih tinggi dari 50 mmHg. Hipoksemia sering terjadi pada pasien dengan
kegagalan pernapasan hypercapnic yang menghirup udara di udara. PH
tergantung pada tingkat bikarbonat, yang, pada gilirannya, bergantung pada durasi
hiperkkapnia. Etiologi umum meliputi overdosis obat, penyakit neurovascular,
kelainan dinding dada, dan kelainan saluran nafas berat (misalnya asma dan
penyakit paru obstruktif kronik [PPOK]).

38
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Kegagalan pernafasan dapat diklasifikasikan lebih lanjut sebagai akut atau


kronis. Meskipun gagal pernafasan akut ditandai dengan gangguan yang
mengancam jiwa pada gas darah arteri dan status asam basa, manifestasi
kegagalan pernafasan kronik kurang dramatis dan mungkin tidak begitu jelas.
Kegagalan pernapasan hypercapnic akut berkembang lebih dari beberapa
menit sampai berjam-jam; oleh karena itu, pH kurang dari 7,3. Gagal nafas kronis
terjadi beberapa hari atau lebih, memungkinkan waktu untuk kompensasi ginjal dan
peningkatan konsentrasi bikarbonat. Karena itu pHbiasanya hanya sedikit menurun
Perbedaan antara kegagalan pernapasan hipoksemik akut dan kronis tidak
dapat dilakukan dengan mudah berdasarkan gas darah arteri.Penanda klinis
hipoksemia kronis, seperti polisitemia atau cor pulmonale, menunjukkan kelainan
jangka panjang.
Gas darah arterial harus dievaluasi pada semua pasien yang sakit parah
atau diantaranya diduga gagal napas. Radiografi dada sangat penting.
Echocardiography tidak rutin tapi terkadang berguna. Tes fungsi paru (PFT)
mungkin bisa membantu. Elektrokardiografi (EKG) harus dilakukan untuk menilai
kemungkinan penyebab kardiovaskular kegagalan pernafasan; Ini juga dapat
mendeteksi disritmia akibat hipoksemia berat atau asidosis. Kateterisasi jantung
sisi kanan kontroversial.
Hipoksemia adalah ancaman langsung utama pada fungsi organ tubuh.
Setelah hipoksemia pasien dikoreksi dan status ventilasi dan hemodinamik telah
stabil, setiap usaha harus dilakukan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki
proses patofisiologis yang mendasari yang menyebabkan kegagalan pernafasan.
Pengobatan spesifik tergantung pada etiologi kegagalan pernafasan.

B. Etiologi
Penyakit ini dapat dikelompokkan menurut kelainan primer dan komponen
individual sistem pernafasan (misalnya SSP, sistem saraf perifer, otot pernapasan,
dinding dada, saluran udara, dan alveoli).
Berbagai gangguan farmakologis, struktural, dan metabolik dari SSP
ditandai oleh depresi dorongan saraf untuk bernafas. Hal ini dapat menyebabkan
hipoventilasi akut dan kronis dan hiperkapnia. Contohnya meliputi tumor atau
kelainan pembuluh darah yang melibatkan batang otak, overdosis kelainan
narkotika atau sedatif, dan metabolik seperti myxedema atau alkalosis metabolik
kronis.

39
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Gangguan pada sistem saraf perifer, otot pernafasan, dan dinding dada
menyebabkan ketidakmampuan mempertahankan tingkat ventilasi sesaat yang
sesuai untuk laju produksi karbon dioksida. Hipoksemia bersamaan dan
hiperkapnia terjadi. Contohnya termasuk sindrom Guillain-Barr, distrofi
otot, miastenia gravis , kyphoscoliosis berat, dan obesitas yang tidak sehat.
Obstruksi jalan napas yang parah adalah penyebab umum hiperkapnia akut
dan kronis. Contoh gangguan saluran napas bagian atas adalah epiglotitis akut dan
tumor yang melibatkan trakea; Kelainan saluran napas bawah termasuk COPD,
asma, dan fibrosis kistik.
Penyakit alveoli ditandai dengan pengisian alveolar difus, sering
mengakibatkan kegagalan pernapasan hipoksemik, walaupun hiperkalemia dapat
mempersulit gambaran klinis. Contoh umum adalah edema paru kardiogenik dan
noncardiogenik, pneumonia aspirasi, atau perdarahan paru yang luas. Kelainan ini
berhubungan dengan shunt intrapulmoner dan peningkatan pernafasan2.
Penyebab umum kegagalan pernapasan tipe I (hipoksemik) adalah sebagai
berikut2:
1. PPOK
2. Pneumonia
3. Edema paru
4. Fibrosis paru
5. Asma
6. Pneumotoraks
7. Emboli paru
8. Hipertensi arterial paru
9. Pneumokoniosis
10. Penyakit paru-paru Granulomatous
11. Penyakit jantung kongenital sianotik
12. Bronkiektasis
13. Sindrom gangguan pernapasan akut (acute respiratory distress syndrome /
ARDS)
14. Sindrom emboli lemak
15. Kyphoscoliosis
16. Kegemukan
Penyebab umum kegagalan pernapasan tipe II (hypercapnic) adalah sebagai
berikut:

40
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

1. PPOK
2. Asma berat
3. Overdosis obat
4. Keracunan
5. Myasthenia gravis
6. Polineuropati
7. Polio
8. Kelainan otot primer
9. Porfiria
10. Cervical cordotomy
11. Cedera kepala dan leher rahim
12. Hipoventilasi alveolar primer
13. Sindroma kegemukan obyektivitas
14. Edema paru
15. ARDS
16. Myxedema
17. Tetanus

C. Manifestasi
Tanda dan gejala kegagalan pernafasan bergantung pada penyebab
utamanya dan kadar oksigen dan karbon dioksida dalam darah. Tingkat oksigen
yang rendah dalam darah dapat menyebabkan sesak napas dan kelaparan di
udara (merasa tidak dapat bernapas dalam udara yang cukup). Jika kadar
oksigennya sangat rendah, bisa juga menyebabkan warna kebiru-biruan pada kulit,
bibir, dan kuku jari. Tingkat karbon dioksida yang tinggi dapat menyebabkan
pernapasan dan kebingungan yang cepat. Beberapa orang yang mengalami
kegagalan pernafasan bisa menjadi sangat mengantuk atau kehilangan kesadaran.
Mereka juga dapat mengembangkan aritmia (ah-RITH-me-ahs), atau detak jantung
tidak teratur. Gejala ini bisa terjadi jika otak dan jantung tidak mendapatkan cukup
oksigen.

D. Patofisiologi
Kegagalan pernafasan dapat timbul akibat kelainan pada salah satu
komponen sistem pernafasan, termasuk saluran udara, alveoli, sistem saraf pusat
(SSP), sistem saraf perifer, otot pernapasan, dan dinding dada. Pasien yang

41
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

memiliki hipoperfusi sekunder akibat kardiogenik, hipovolemik, atau syok septik


sering hadir dengan gagal napas.
Kapasitas ventilasi adalah ventilasi spontan maksimal yang dapat
dipertahankan tanpa perkembangan kelelahan otot pernafasan. Permintaan
ventilasi adalah ventilasi menit spontan yang menghasilkan PaCO2 yang stabil.
Biasanya, kapasitas ventilasi sangat melebihi permintaan ventilasi.
Kegagalan pernapasan dapat terjadi akibat pengurangan kapasitas ventilasi atau
peningkatan permintaan ventilasi (atau keduanya). Kapasitas ventilasi dapat
dikurangi dengan proses penyakit yang melibatkan komponen fungsional sistem
pernafasan dan pengontrolnya. Permintaan ventilasi ditambah dengan peningkatan
ventilasi menit dan / atau peningkatan kerja pernafasan.
Fisiologi pernapasan
Tindakan respirasi melibatkan tiga proses berikut ini:
1. Transfer oksigen ke seluruh alveolus
2. Pengangkutan oksigen ke jaringan
3. Penghapusan karbon dioksida dari darah ke dalam alveolus dan kemudian ke
lingkungan
Kegagalan pernafasan dapat terjadi akibat tidak berfungsinya proses-
proses ini. Untuk memahami dasar patofisiologis gagal napas akut, pemahaman
tentang pertukaran gas paru sangat penting.
Pertukaran gas
Respirasi terutama terjadi pada unit kapiler alveolar paru-paru, dimana
pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara gas alveolar dan darah
terjadi. Setelah menyebar ke dalam darah, molekul oksigen secara reversibel
mengikat hemoglobin. Setiap molekul hemoglobin mengandung 4 lokasi untuk
kombinasi dengan molekul oksigen; 1gr hemoglobin digabungkan dengan
maksimum 1,36 mL oksigen.
Jumlah oksigen yang dikombinasikan dengan hemoglobin tergantung pada
kadar darah PaO 2 . Hubungan ini, yang dinyatakan sebagai kurva disosiasi
hemoglobin oksigen, tidak linier namun memiliki kurva berbentuk sigmoid dengan
kemiringan curam antara PaO 2 dari 10 dan 50 mmHg dan bagian datar di atas
PaO 2 70 mmHg.
Karbon dioksida diangkut dalam 3 bentuk utama: (1) dalam larutan
sederhana, (2) sebagai bikarbonat, dan (3) dikombinasikan dengan protein
hemoglobin sebagai senyawa karbamino.

42
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Selama pertukaran gas ideal, aliran darah dan ventilasi sangat cocok satu
sama lain, sehingga tidak menghasilkan gradien oksigen alveolar-arterial
(PO 2 ). Namun, meski di paru-paru normal, tidak semua alveoli berventilasi dan
sempurna sempurna. Untuk perfusi tertentu, beberapa alveoli tidak dapat
dipertahankan, sementara yang lainnya mengalami overventilated. Demikian pula,
untuk ventilasi alveolar yang diketahui, beberapa unit kurang berpengalaman,
sementara yang lainnya terlalu banyak.
Alveoli berventilasi optimal yang tidak sempurna juga memiliki rasio
ventilasi-ke-perfusi yang besar (V / Q) dan disebut unit V / Q tinggi (yang bertindak
seperti ruang mati). Alveoli yang di perfusi secara optimal namun tidak berventilasi
cukup disebut unit low-V / Q (yang bertindak seperti shunt).
Alveolar ventilasi
Pada kondisi mapan, laju produksi karbon dioksida oleh jaringan konstan
dan sama dengan laju eliminasi karbon dioksida oleh paru-paru.Relasi ini
diungkapkan dengan persamaan berikut:
V A = K VCO 2 / PaCO 2
Dimana K adalah konstanta (0.863), V A adalah ventilasi alveolar, dan
VCO 2 adalah ventilasi karbon dioksida. Hubungan ini menentukan apakah ventilasi
alveolar cukup untuk kebutuhan metabolik tubuh.
Efisiensi paru-paru pada saat melakukan respirasi dapat dievaluasi lebih
lanjut dengan mengukur gradien PO alveolar-arterial.Perbedaan ini dihitung
dengan persamaan sebagai berikut:
P A O 2 = FiO 2 (P B - PH 2 O) - P A CO 2 / R
Dimana P A O 2 adalah alveolar PO 2 , FiO 2 adalah konsentrasi pecahan
oksigen dalam gas terinspirasi, P B adalah tekanan barometrik, PH 2 O adalah
tekanan uap air pada suhu 37 C, P A CO 2 adalah PCO 2 alveolar (diasumsikan
Sama dengan PaCO 2 ), dan R adalah rasio pertukaran pernafasan. R tergantung
pada konsumsi oksigen dan produksi karbon dioksida. Saat istirahat, rasio
VCO 2 terhadap ventilasi oksigen (VO 2 ) kira-kira 0,8.
Bahkan paru-paru normal memiliki beberapa tingkat ketidakcocokan V / Q
dan sejumlah kecil pirau kanan-ke-kiri, dengan P A O 2 sedikit lebih tinggi dari
PaO 2 . Namun, peningkatan gradien PO alveolar-arterial di atas 15-20 mmHg
mengindikasikan penyakit paru sebagai penyebab hipoksemia.
Kegagalan pernapasan hipoksemik

43
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Mekanisme patofisiologis yang menjelaskan hipoksemia yang diamati pada


berbagai penyakit adalah ketidakcocokan dan ketidakmampuan V / Q. 2
mekanisme ini menyebabkan pelebaran gradien PO alveolar-arterial, yang
normalnya kurang dari 15 mmHg.Mereka dapat dibedakan dengan menilai respons
terhadap suplementasi oksigen atau menghitung fraksi shunt setelah menghirup
100% oksigen. Pada kebanyakan pasien dengan kegagalan pernapasan
hipoksemik, 2 mekanisme ini hidup berdampingan.
V / Q mismatch
V / Q mismatch adalah penyebab paling umum hipoksemia. Unit alveolar
dapat bervariasi dari rendah-V / Q ke tinggi-V / Q dengan adanya proses
penyakit. Unit V / Q rendah berkontribusi pada hipoksemia dan hiperkkapnia,
sedangkan ventilasi ventilasi V-Q yang tinggi namun tidak mempengaruhi
pertukaran gas kecuali kelainannya cukup parah.
Rasio V / Q rendah dapat terjadi baik dari penurunan ventilasi sekunder
akibat penyakit saluran napas atau penyakit paru interstisial atau dari overwfusi
dengan adanya ventilasi normal. Penyimpangan yang berlebihan dapat terjadi jika
emboli paru, dimana darah dialihkan ke unit yang berventilasi normal dari daerah
paru-paru yang mengalami penyumbatan aliran darah akibat emboli.
Pemberian oksigen 100% menghilangkan semua unit V / Q rendah,
sehingga menyebabkan koreksi hipoksemia. Hipoksemia meningkatkan ventilasi
sesaat dengan stimulasi kemoreseptor, namun PaCO 2 umumnya tidak
terpengaruh.
Melangsir
Shunt didefinisikan sebagai kegigihan hipoksemia meskipun inhalasi
oksigen 100%. Darah terdeoksigenasi (darah vena campuran) melewati alveoli
berventilasi dan bercampur dengan darah beroksigen yang mengalir melalui alveoli
berventilasi, akibatnya menyebabkan penurunan kadar darah arteri. Shunt dihitung
dengan persamaan berikut:
Q S / Q T = (C C O 2 - C a O 2 ) / C C O 2 - C v O 2 )
Dimana Q S / Q T adalah fraksi shunt, C C O 2 adalah kandungan oksigen
kapiler (dihitung dari ideal P A O 2 ), C a O 2 adalah kandungan oksigen arteri
(diturunkan dari PaO 2 dengan menggunakan kurva disosiasi oksigen) Dan
C v O 2 adalah kandungan oksigen vena campuran (diasumsikan atau diukur
dengan menarik darah vena campuran dari kateter arteri paru).

44
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Alat pengaman anatomis ada di paru-paru normal karena sirkulasi bronkus


dan thebesian, yang mencapai 2-3% shunt. Sebuah shunt kanan-ke-kiri normal
dapat terjadi dari defek septum atrium, defek septum ventrikel, duktus arteriosus
paten, atau malformasi arteriovenosa di paru-paru.
Shunt sebagai penyebab hipoksemia diamati terutama pada pneumonia,
atelektasis, dan edema paru parah baik asal jantung maupun
noncardiac. Hypercapnia umumnya tidak berkembang kecuali shunt berlebihan (>
60%). Dibandingkan dengan ketidakcocokan V / Q, hipoksemia yang dihasilkan
oleh shunt sulit diperbaiki dengan pemberian oksigen.
Kegagalan pernafasan hypercapnic
Pada tingkat konstan produksi karbon dioksida, PaCO 2 ditentukan oleh
tingkat ventilasi alveolar sesuai dengan persamaan berikut (penyajian kembali
persamaan yang diberikan di atas untuk ventilasi alveolar):
PaCO 2 = VCO 2 K / V A
Dimana K adalah konstanta (0.863). Hubungan antara PaCO 2 dan ventilasi
alveolar bersifat hiperbolik. Saat ventilasi berkurang di bawah 4-6 L / menit,
PaCO 2 naik secara drastis. Penurunan ventilasi alveolar dapat terjadi akibat
pengurangan keseluruhan ventilasi (menit) atau peningkatan proporsi ventilasi
ruang mati. Pengurangan ventilasi menit diamati terutama pada pengaturan
gangguan neuromuskular dan depresi SSP. Pada kegagalan pernafasan
hypercapnic murni, hipoksemia mudah dikoreksi dengan terapi oksigen.
Hipoventilasi adalah penyebab kegagalan pernafasan yang jarang terjadi
dan biasanya terjadi akibat depresi SSP dari obat-obatan atau penyakit
neuromuskular yang mempengaruhi otot-otot pernapasan. Hipoventilasi ditandai
dengan hiperkkapnia dan hipoksemia.Hipoventilasi dapat dibedakan dari penyebab
hipoksemia lainnya dengan adanya gradien PO alveolar-arteri normal2.

45
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

E. Diagnosa
1. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pola
pernapasan yang efektif
Kriteria Hasil:
Pasien menunjukkan:
- Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal
- Adanya penurunan dispneu
- Analisa gas darah dalam batas normal
Intervensi:
a. Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan serta pola pernapasan.
b. Kaji tanda vital dan tingkat kesasdaran setaiap jam dan prn
c. Monitor pemberian trakeostomi bila PaCo2 50 mmHg atau PaO2< 60
mmHg
d. Berikan oksigen dalam bantuan ventilasi dan humidifier sesuai dengan
pesanan
e. Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji kecenderungan
kenaikan PaCO2 atau kecendurungan penurunan PaO2
f. Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap 1 jam
g. Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30 sampai
45 derajat untuk mengoptimalkan pernapasan

46
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

h. Berikan dorongan untuk batuk dan napas dalam, bantu pasien untuk
mebebat dada selama batuk
i. Instruksikan pasien untuk melakukan pernapasan diagpragma atau bibir
j. Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg. PaO2 dan PCO2
meningkat dengan frekuensi 5 mmHg/jam. PaO2 tidak dapat dipertahankan
pada 60 mmHg atau lebih, atau pasien memperlihatkan keletihan atau
depresi mental atau sekresi menjadi sulit untuk diatasi.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi
sekunder terhadap hipoventilasi3
Tujuan:
Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan
pertukaran gas yang adekuat
Kriteria hasil:
Pasien mampu menunjukkan :
- Bunyi paru bersih
- Warna kulit normal
- Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan
Intervensi:
a. Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
b. Kaji TD, nadi atipikal dan tingkat kesadaran setiap jam dan prn, laporkan
perubahan tingkat kesadaran pada dokter.
c. Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan
kenaikan dalam PaCO2 atau penurunan dalam PaO2
d. Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi
e. Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
f. Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan
atau penyimpangan
g. Pantau irama jantung
h. Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
i. Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.
3. Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo
Tujuan:
Setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi kelebihan volume
cairan
Kriteria hasil:

47
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Pasien mampu menunjukkan:


- TTV normal
- Balance cairan dalam batas normal
- Tidak terjadi edema
Intervensi:
a. Timbang BB tiap hari
b. Monitor input dan output pasien tiap 1 jam
c. Kaji tanda dan gejala penurunan curah jantung
d. Kaji tanda-tanda kelebihan volume : edema, BB , CVP
e. Monitor parameter hemodinamik
f. Kolaborasi untuk pemberian cairan dan elektrolit
4. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung3
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu mempertahankan
perfusi jaringan.
Kriteria hasil:
Pasien mampu menunjukkan
- Status hemodinamik dalam bata normal
- TTV normal
Intervensi:
a. Kaji tingkat kesadaran
b. Kaji penurunan perfusi jaringan
c. Kaji status hemodinamik
d. Kaji irama EKG
e. Kaji sistem gastrointestinal

Referensi
1. NIH National heart, Lung, and Blood institute. 2011. What is Respiratory Failure?
https://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/rf/signs diakses sabtu 12
agustus 2017, jam 21:12 Wita
2. Medscape, Murat Kaynar A, 2016. Respiratory Failure
http://emedicine.medscape.com/article/167981-overview#a7 diakses 12 Agustus
2017, Jam 21:05 Wita.

48
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

3. SlideShere, Arif WR, 2009. Gagal Nafas


https://www.slideshare.net/abhique/gagal-nafas diakses 12 Agustus 2017, Jam
21:05 Wita.

CHAPTER ASMA

7
A. DEFINISI
Asma adalah suatu keadaan di mana saluran nafas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang
menyebabkan peradangan, penyempitan ini bersifat sementara. Asma dapat terjadi
pada siapa saja dan dapat timbul disegala usia, tetapi umumnya asma lebih sering
terjadi pada anak-anak usia di bawah 5 tahun dan orang dewasa pada usia sekitar
30 tahunan (Saheb, 2011)
Asma merupakan gangguan radang kronik saluran napas. Saluran napas
yang mengalami radang kronik bersifat hiperresponsif sehingga apabila terangsang
oleh faktor risiko tertentu, jalan napas menjadi tersumbat dan aliran udara
terhambat karena konstriksi bronkus, sumbatan mukus, dan meningkatnya proses
radang (Almazini, 2012).

49
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

B. KLASIFIKASI
Berdasarkan kegawatan asma, maka asma dapat dibagi menjadi :
1. Asma bronkhiale
Asma Bronkiale merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya
respon yang berlebihan dari trakea dan bronkus terhadap bebagai macam
rangsangan, yang mengakibatkan penyempitan saluran nafas yang tersebar
luas diseluruh paru dan derajatnya dapat berubah secara sepontan atau
setelah mendapat pengobatan.
2. Status asmatikus
Yakni suatu asma yang refraktor terhadap obat-obatan yang konvensional.
status asmatikus merupakan keadaan emergensi dan tidak langsung
memberikan respon terhadap dosis umum bronkodilator. Status Asmatikus
yang dialami pasien asma dapat berupa pernapasan wheezing, ronchi ketika
bernapas (adanya suara bising ketika bernapas), kemudian bisa berlanjut
menjadi pernapasan labored (perpanjangan ekshalasi), pembesaran vena
leher, hipoksemia, respirasi alkalosis, respirasi sianosis, dyspnea dan
kemudian berakhir dengan tachypnea. Namun makin besarnya obstruksi di
bronkus maka suara wheezing dapat hilang dan biasanya menjadi pertanda
bahaya gagal pernapasan.
3. Asthmatic Emergency
Yakni asma yang dapat menyebabkan kematian (Depkes RI, 2007).

C. ETIOLOGI
Sampai saat ini etiologi dari Asma Bronkhial belum diketahui. Suatu hal
yang yang menonjol pada pasien Asma adalah fenomena hiperaktivitas bronkus.
Bronkus pasien asma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun non
imunologi.
1. Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang sering menimbulkan Asma
adalah: (Smeltzer & Bare, 2002).
a. Faktor ekstrinsik (alergik): reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen atau
alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang.
b. Faktor intrinsik(non-alergik): tidak berhubungan dengan alergen, seperti
common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan
lingkungan dapat mencetuskan serangan.

50
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

c. Asma gabungan: Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
2. Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi
pencetus asma :
a. Pemicu Asma (Trigger)
Pemicu asma mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran
pernapasan (bronkokonstriksi). Pemicu tidak menyebabkan peradangan.
Gejala-gejala dan bronkokonstriksi yang diakibatkan oleh pemicu
cenderung timbul seketika, berlangsung dalam waktu pendek dan relatif
mudah diatasi dalam waktu singkat. Namun, saluran pernapasan akan
bereaksi lebih cepat terhadap pemicu, apabila sudah ada, atau sudah
terjadi peradangan. Umumnya pemicu yang mengakibatkan
bronkokonstriksi adalah perubahan cuaca, suhu udara, polusi udara, asap
rokok, infeksi saluran pernapasan, gangguan emosi, dan olahraga yang
berlebihan.

b. Penyebab Asma (Inducer)


Penyebab asma dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) dan sekaligus
hiperresponsivitas (respon yang berlebihan) dari saluran pernapasan.
Inducer dianggap sebagai penyebab asma yang sesungguhnya atau asma
jenis ekstrinsik. Penyebab asma dapat menimbulkan gejala-gejala yang
umumnya berlangsung lebih lama (kronis), dan lebih sulit diatasi.
Umumnya penyebab asma adalah alergen, yang tampil dalam bentuk
ingestan (alergen yang masuk ke tubuh melalui mulut), inhalan (alergen
yang dihirup masuk tubuh melalui hidung atau mulut), dan alergen yang
didapat melalui kontak dengan kulit (VitaHealth, 2007).

D. PATOFISIOLOGI
Tiga unsur yang ikut serta pada obstruksi jalan udara pasien asma adalah
spasme otot polos, edema dan inflamasi membran mukosa jalan udara, dan
eksudasi mucus intraliminal, sel-sel radang dan debris selular. Obstruksi
menyebabkan pertambahan resistensi jalan udara yang merendahkan volume
ekspresi paksa dan kecepatan aliran, penutupan prematur jalan udara, hiperinflasi
paru, bertambahnya kerja pernafasan, perubahan sifat elastik dan frekuensi
pernafasan. Walaupun jalan udara bersifat difus, obstruksi menyebabkan

51
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

perbedaaan satu bagian dengan bagian lain, ini berakibat perfusi bagian paru tidak
cukup mendapat ventilasi dan menyebabkan kelainan gas-gas darah terutama
penurunan pCO2 akibat hiperventilasi.
Pada respon alergi di saluran nafas, antibodi IgE berikatan dengan alergen
menyebabkan degranulasi sel mast. Akibat degranulasi tersebut, histamin
dilepaskan. Histamin menyebabkan konstriksi otot polos bronkiolus. Apabila respon
histamin berlebihan, maka dapat timbul spasme asmatik. Karena histamin juga
merangsang pembentukan mukkus dan meningkatkan permiabilitas kapiler, maka
juga akan terjadi kongesti dan pembengkakan ruang iterstisium paru. Individu yang
mengalami asma mungkin memiliki respon IgE yang sensitif berlebihan terhadap
sesuatu alergen atau sel-sel mast-nya terlalu mudah mengalami degranulasi. Di
manapun letak hipersensitivitas respon peradangan tersebut, hasil akhirnya adalah
bronkospasme, pembentukan mukus, edema dan obstruksi aliran udara (Elizabeth
J 2009).

E. ANATOMI

Gambar. Anatomi sistem pernapasan

52
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Gambar. Anatomi keadaan normal dan Asma Bronkhial

Organ Pernapasan
1) Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama,
mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum
nasi). Di dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring
udara, debu, dan kotoran yang masuk ke dalam lubang hidung
2) Faring
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan
dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang rongga
hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring dengan
organ-organ lain adalah ke atas berhubungan dengan rongga hidung, dengan
perantaraan lubang yang bernama koana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut, tempat hubungan ini bernama istmus fausium, ke bawah
terdapat 2 lubang (ke depan lubang laring dan ke belakang lubang esofagus).
3) Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan bertindak
sebagai pembentukan suara, terletak di depan bagian faring sampai ketinggian
vertebra servikal dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya. Pangkal
tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorokan yang
biasanya disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berfungsi
pada waktu kita menelan makanan menutupi laring.
4) Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk
oleh 16 sampai 20 cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk

53
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh selaput lender yang
berbulu getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah luar. Panjang
trakea 9 sampai 11 cm dan di belakang terdiri dari jarigan ikat yang dilapisi
oleh otot polos.
5) Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah
yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyai struktur
serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu
berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru-paru.Bronkus kanan
lebih pendek dan lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin,
mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang
kanan, terdiri dari 9-12 cincin mempunyai 2 cabang. Bronkus bercabang-
cabang, cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli
tidak terdapat cincin lagi, dan pada ujung bronkioli terdapat gelembung paru
atau gelembung hawa atau alveoli.
6) Paru-paru
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari
gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembug alveoli ini terdiri dari sel-
sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90
m. Pada lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan
CO2 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih
700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan)
Paru-paru dibagi dua yaitu paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belahan paru),
lobus pulmo dekstra superior, lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus
tersusun oleh lobulus. Paru-paru kiri, terdiri dari pulmo sinistra lobus superior
dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan yang kecil bernama
segmen. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu 5 buah segmen pada
lobus superior, dan 5 buah segmen pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai
10 segmen yaitu 5 buah segmen pada lobus superior, 2 buah segmen pada
lobus medialis, dan 3 buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini
masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus.
Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang
berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat
sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak
sekali, cabang ini disebut duktus. Letak paru-paru dirongga dada datarannya

54
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

menghadap ke tengah rongga dada atau kavum mediastinum. Pada bagian


tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan
terletak jantung. Paru paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura.
Pleura dibagi menjadi 2 yaitu, yang pertama pleura visceral (selaput dada
pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkusparu-paru. Kedua
pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara
keadaan normal, kavum pleura ini vakum (hampa) sehingga paru-paru dapat
berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna
untuk meminyaki permukaanya (pleura), menghindarkan gesekan antara paru-
paru dan dinding dada sewaktu ada gerakan bernapas.

F. MANIFESTASI KLINIS
1. Tanda
Sebelum muncul suatu episode serangan asma pada pasien, biasanya akan
ditemukan tanda-tanda awal datangnya asma. Tanda-tanda awal datangnya
asma memiliki sifat-sifat sebagai berikut, yaitu sifatnya unik untuk setiap
individu, pada individu yang sama, tanda-tanda peringatan awal bisa sama,
hampir sama, atau sama sekali berbeda pada setiap episode serangan dan
tanda peringatan awal yang paling bisa diandalkan adalah penurunan dari
angka prestasi penggunaan Preak Flow Meter. Beberapa contoh tanda
peringatan awal (Hadibroto & Alam, 2006) adalah perubahan dalam pola
pernapasan, bersin-bersin, perubahan suasana hati (moodiness), hidung
mampat, batuk, gatal-gatal pada tenggorokan, merasa capai, lingkaran hitam
dibawah mata, susah tidur, turunnya toleransi tubuh terhadap kegiatan
olahraga dan kecenderungan penurunan prestasi dalam penggunaan Preak
Flow Meter.
2. Gejala
a. Gejala Asma Umum
Perubahan saluran napas yang terjadi pada asma menyebabkan
dibutuhkannya usaha yang jauh lebih keras untuk memasukkan dan
mengeluarkan udara dari paru-paru.Hal tersebut dapat memunculkan gejala
berupa sesak napas/sulit bernapas, sesak dada, mengi/napas berbunyi
(wheezing) dan batuk (lebih sering terjadi pada anak daripada orang
dewasa). Tidak semua orang akan mengalami gejala-gelaja tersebut.
Beberapa orang dapat mengalaminya dari waktu ke waktu, dan beberapa

55
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

orang lainya selalu mengalaminya sepanjang hidupnya.Gelaja asma


seringkali memburuk pada malam hari atau setelah mengalami kontak
dengan pemicu asma (Bull & Price, 2007). Selain itu, angka performa
penggunaan Preak Flow Meter menunjukkan rating yang termasuk hati-
hati atau bahaya (biasanya antara 50% sampai 80% dari penunjuk
performa terbaik individu) (Hadibroto & Alam, 2006).
b. Gejala Asma Berat
Gejala asma berat (Hadibroto & Alam, 2006) adalah sebagai berikut yaitu
serangan batuk yang hebat, napas berat ngik-ngik, tersengal-sengal,
sesak dada, susah bicara dan berkonsentrasi, jalan sedikit menyebabkan
napas tersengal-sengal, napas menjadi dangkal dan cepat atau lambat
dibanding biasanya, pundak membungkuk, lubang hidung mengembang
dengan setiap tarikan napas, daerah leher dan di antara atau di bawah
tulang rusuk melesak ke dalam, bersama tarikan napas, bayangan abu-abu
atau membiru pada kulit, bermula dari daerah sekitar mulut (sianosis), serta
angka performa penggunaan Preak Flow Meter dalam wilayah berbahaya
(biasanya di bawah 50% dari performa terbaik individu).

G. KOMPLIKASI
Penyakit asma yang tidak ditangani dengan baik lambat-laun akan berakibat pada
terjadinya komplikasi (Mansjoer, 2008) dimana dapat menyebabkan beberapa
penyakit sebagai berikut yaitu:
1. Pneumotora
2. Pneumomediastinum
3. Emfisema subkutiS
4. Aspergilosis
5. Atelektasis
6. Gagal napas
7. Bronkitis
8. Fraktur iga
9. Bronkopulmonar alergik

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan sputum.

56
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

2. Pemeriksaan darah: eosinofil meninggi, sedangkan leukosit dapat meninggi


atau normal, walaupun terdapat komplikasi asma, Gas analisa darah. Terdapat
hasil aliran darah yang variabel, akan tetapi bila terdapat peninggian PaCO2
maupun penurunan pH menunjukkan prognosis yang buruk, kadang- kadang
SGOT dan LDH yang meninggi, Hiponatremi 15.000/mm3 menandakan
terdapat infeksi.
3. Pemeriksaan tes kulit untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergennya
dapat menimbulkan reaksi yang positif pada tipe asma atopik.
4. Foto rontgen: pada serangan asma, gambaran ini menunjukkan hiperinflasi
paru berupa rradiolusen yang bertambah, dan pelebaran rongga interkostal
serta diagfragma yang menurun.
5. Pemeriksaan faal paru: terjadi penambahan volume paru yang meliputi RV
hampi terjadi pada seluruh asma, FRC selalu menurun, sedangan penurunan
TRC sering terjadi pada asma yang berat.
6. Elektrokardiografi: Perubahan aksis jantung, hipertrofi jantung, tanda-tanda
hipoksemia yakni terdapat sinus takikardi, SVES, dan VES atau terjadinya
relatif ST depresi.

I. PENATALAKSANAAN MEDIS
Prinsip-prinsip penatalaksanaan pada penyakit asma bronchial adalah (Abdul
mukhti, 2008):
1) Diagnosis status asmatikus (waktu terjadinya serangan dan obat-obatan yang
telah diberikan.
2) Pemberian Obat bronkodilator
3) Pertimbangan terhadap pemberian kortikosteroid
4) Setelah serangan mereda, cari faktor penyebab dan modifikasi pengobatan
penunjang selanjutnya. Menurut Abdul mukti, 2008, obat-obat yang digunakan
pada pasien asma bronkial meliputi: beta agonis, bronkodilator, kortikosteroid
dan pemberian oksigen.
a. Beta agonis
Merupakan jenis obat yang diberikan paling awal. Hal tersebut dikarenakan
obat ini bekerja dengan cara mendilatasi otot polos. Contoh obatnya seperti
epinephrine, albuteril, metaproterenol, isoproterenol, isoetharine.
b. Bronkodilator

57
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Pada kasus asma, bronkodilator tidak digunakan secara oral tetapi dipakai
secara inhalasi atau parenteral, seperti; aminophilin, ventolin, dan
sebagainya.
c. Kortikosteroid
Bila pemberian obat-obat bronkodilator tidak menunjukan perbaikan maka
pengobatan dilanjutkan dengan 200 mg hidrokortisonsecara oral atau
dengan dosis 4-3 mg/kg BB intravena sebagai dosis permulaan dan dapat
diulang 2-4 jam secara parenteral sampai serangan akut terkontrol, dengan
diikuti pemberian 30-60 mg prednison atau dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari
secara oral dalam dosis terbagi, kemudian dosis dikurangi secara bertahap.
d. Pemberian Oksigen
Pemberian oksigen menggunakan kanul hidung dengan kecepata aliran
oksigen 2-4 liter/menit yang dialirkan melalui air untuk memberikan
kelembapan. Obat ekspektoran seperti Gliserolguiakolat dapat juga
digunakan untuk memperbaiki dehidrasi. Oleh karena itu, intek cairan per
oral dan infuse harus cukup dan sesuai dengan prinsip rehidrasi. Antibiotik
diberikan bila ada infeksi.

J. DIAGNOSA
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan tachipnea, peningkatan
produksi mukus, kekentalan sekresi dan bronchospasme.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler
alveolar
3. Pola Nafas tidak efektif berhubungan dengan penyempitan bronkus..
4. Nyeri akut; ulu hati berhubungan dengan proses penyakit.
5. Cemas berhubungan dengan kesulitan bernafas dan rasa takut sufokasi.
Referensi:
Almazini, P. 2012. Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru untuk Asma Berat.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
GINA (Global Initiative for Asthma) 2007; Pocket Guide for Asthma Management and
Prevension In Children. www. Dimuat dalam www.Ginaasthma.org.
Mansjoer, A dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius.

58
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER CHEST PAIN


(NYERI DADA)

8
A. Definisi

59
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Chest pain adalah suatu gangguan pada dada yang ditandai dengan suatu gejala
yang kuat dan khas, dan dapat menimbulkan suatu bahaya. Chest pain
menimbulkan suatu rasa seperti tertekan dan dapat disertai dengan kecemasan,
sehingga gejala ini dapat disebut dengan angina pectoris.

B. Etiologi
1. Penyakit Jantung
a. Acute myocardial infarction.
b. Angina pectoris.
c. Syphilitic aortitis/angina (very rare).
d. Acute pericarditis.
e. Thoracic aortic dissection (severe interscapular pain).
f. Mitral valve prolapse (rare cause of chest pain).
g. Aortic stenosis (via coronary ischaemia).
h. Hypertrophic obstructive cardiomyopathy (cardiac ischaemia).
2. Penyakit Paru
a. Pulmonary embolism (associated infarction causes pleuritic pain).
b. Pleurisy.
c. Pneumonia.
d. Pulmonary metastases (in bone).
e. Bronchial carcinoma (Note: Pancoasts syndrome).
f. Pleural tumour, e.g. mesothelioma.
g. Tracheitis.
h. Acute bronchitis.
i. Mediastinal malignancy.
j. Pulmonary tuberculosis (TB).
k. Mediastinal surgical emphysema.
3. Gangguan pada Sistem Gastrointestinal
a. Oesophageal spasm, oesophagitis, infection (e.g. Candida) or reflux.
b. Mallory-Weiss tear of oesophagus.
c. Perforated duodenal ulcer.Acute pancreatitis. Cholecystitis.
d. Biliary colic.
4. Penyebab Lainnya
a. Muscular pain, costochondritis or rib fracture.
b. Bornholm disease.

60
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

c. Acute shingles.
d. Post-herpetic, neuralgia.,
e. Cervical disc disease, osteoarthritis.
f. Ankylosing spondylitis.
g. Vertebral collapse.
h. Thoracic outlet syndrome. Shoulder pain (iPancoasts syndrome).
i. Breast pain-intrinsic tumour, mastitis.
j. Chest wall malignancy.
k. Anxiety state (a diagnosis that should follow exclusion of other cause)

C. Klasifikasi Chest Pain


Ada 2 macam jenis nyeri dada yaitu:
1. Nyeri dada pleuritik
Nyeri dada pleuritik biasanya lokasinya posterior atau lateral. Sifatnya tajam
dan seperti ditusuk. Bertambah nyeri bila batuk atau bernafas dalam dan
berkurang bila menahan nafas atau sisi dada yang sakit digerakan. Nyeri
berasal dari inding dada, otot, iga, pleura perietalis, saluran nafas besar,
diafragma, mediastinum dan saraf interkostalis. Nyeri dada pleuritik dapat
disebakan oleh difusi pelura akibat infeksi paru, emboli paru, keganasan atau
radang subdiafragmatik; pneumotoraks dan penumomediastinum.
2. Nyeri dada non pleuritik
Nyeri dada non-pleuritik biasanya lokasinya sentral, menetap atau dapat
menyebar ke tempat lain. Paling sering disebabkan oleh kelainan di luar paru.
a. Penyebab dari jantung
1) Iskemik miokard akan menimbulkan rasa tertekan atau nyeri substernal
yang menjalar ke aksila dan turun ke bawah ke bagian dalam lengan
terutama lebih sering ke lengan kiri. Rasa nyeri juga dapat menjalar ke
epigasterium, leher, rahang, lidah, gigi, mastoid dengan atau tanpa nyeri
dada substernal. Nyeri disebabkan karena saraf eferan viseral akan
terangsang selama iskemik miokard, akan tetapi korteks serebral tidak
dapat menentukan apakah nyeri berasal dari miokard karena
rangsangan saraf melalui medulla spinalis T1-T4 yang juga merupakan
jalannya rangsangan saraf sensoris dari sistem somatis yang lain.
Iskemik miokard terjadi bila kebutuhan oksigen miokard tidak dapat
dipenuhi oleh aliran darah koroner. Pada penyakit jantung koroner aliran

61
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

darah ke jantung akan berkurang karena adanya penyempitan


pembuluh darah koroner. Ada 3 sindrom iskemik yaitu :
a) Angina stabil (Angina klasik, Angina of Effort):
Serangan nyeri dada khas yang timbul waktu bekerja. Berlangsung
hanya beberapa menit dan menghilang dengan nitrogliserin atau
istirahat. Nyeri dada dapat timbul setelah makan, pada udara yang
dingin, reaksi simfatis yang berlebihan atau gangguan emosi.
b) Angina tak stabil (Angina preinfark, Insufisiensi koroner akut): Jenis
Angina ini dicurigai bila pasien telah sering berulang kali mengeluh
rasa nyeri di dada yang timbul waktu istirahat atau saat kerja ringan
dan berlangsung lebih lama.
c) Infark miokard:
Iskemik miokard yang berlangsung lebih dari 20-30 menit dapat
menyebabkan infark miokard. Nyeri dada berlangsung lebih lama,
menjalar ke bahu kiri, lengan dan rahang. Berbeda dengan angina
pektoris, timbulnya nyeri dada tidak ada hubungannya dengan
aktivitas fisik dan bila tidak diobati berlangsung dalam beberapa jam.
Disamping itu juga pasien mengeluh dispea, palpitasi dan
berkeringat. Diagnosa ditegakan berdasarkan serioal EKG dan
pemeriksa enzym jantung.
2) Prolaps katup mitral dapat menyebabkan nyeri dada prekordinal atau
substernal yang dapat berlangsung sebentar maupun lama. Adanya
murmur akhir sisttolik dan mid sistolik-click dengan gambaran
echokardiogram dapat membantu menegakkan diagnosa.
3) Stenosis aorta berat atau substenosis aorta hipertrofi yang idiopatik juga
dapat menimbulkan nyeri dada iskemik.
b. Perikardikal
Saraf sensoris untuk nyeri terdapat pada perikardium parietalis diatas
diafragma. Nyeri perikardila lokasinya didaerah sternal dan area
preokordinal, tetapi dapat menyebar ke epigastrium, leher, bahu dan
punggung. Nyeri bisanya seperti ditusuk dan timbul pada waktu menarik
nafas dalam, menelan, miring atau bergerak. Nyeri hilang bila pasien duduk
dan bersandar ke depan. Gerakan tertentu dapat menambah rasa nyeri
yang membedakannya dengan rasa nyeri angina. Radang pericardial

62
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

diafragma lateral dapat menyebabkan nyeri epigastrum dan punggung


seperti pada pankreatitis atau kolesistesis.
c. Aorta
Pasien hipertensi, koartasio aorta, trauma dinding dada merupakan resiko
tinggi untuk pendesakan aorta. Diagnosa dicurigai bila rasa nyeri dada
depan yang hebat timbul tiba-tiba atau nyeri interskapuler. Nyeri dada dapat
menyerupai infark miokard akan tetapi lebih tajam dan lebih sering menjalar
ke daerah interskapuler serta turun ke bawah tergantung lokasi dan luasnya
pendesakan.
d. Gastrointestinal
Refluks geofagitis, kegansan atau infeksi esofagus dapat menyebabkan
nyeri esofageal. Neri esofageal lokasinya ditengah, dapat menjalar ke
punggung, bahu dan kadang-kadang ke bawah ke bagian dalam lengan
sehingga sangat menyerupai nyeri angina. Perforasi ulkus peptikum,
pankreatitis akut distensi gaster kadang-kadang dapat menyebabkan nyeri
substernal sehingga mengacaukan nyeri iskemik kardinal. Nyeri seperti
terbakar yang sering bersama-sama dengan disfagia dan regurgitasi bila
bertambah pada posisi berbaring dan berurang dengan antasid adalah khas
untuk kelainan esofagus, foto gastrointestinal secara serial, esofagogram,
test perfusi asam, esofagoskapi dan pemeriksaan gerakan esofageal dapat
membantu menegakan diagnosa.
e. Muskuloskletal
Trauma lokal atau radang dari rongga dada otot, tulang kartilago sering
menyebabkan nyeri dada setempat. Nyeri biasanya timbul setelah aktivitas
fisik, berbeda halnya nyeri angina yang terjadi waktu exercis. Seperti halnya
nyeri pleuritik. Neri dada dapat bertambah waktu bernafas dalam. Nyeri otot
juga timbul pada gerakan yang berpuitar sedangkan nyeri pleuritik biasanya
tidak demikian.
f. Fungsional
Kecemasan dapat menyebabkan nyeri substernal atau prekordinal, rasa
tidak enak di dada, palpilasi, dispnea, using dan rasa takut mati. Gangguan
emosi tanpa adanya klealinan objektif dari organ jantung dapat
membedakan nyeri fungsional dengan nyeri iskemik miokard.
g. Pulmonal

63
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Obstruksi saluran nafas atas seperti pada pasien infeksi laring kronis dapat
menyebakan nyeri dada, terutama terjadi pada waktu menelan. Pada
emboli paru akut nyeri dada menyerupai infark miokard akut dan substernal.
Bila disertai dengan infark paru sering timbul nyeri pleuritik. Pada hipertensi
pulmoral primer lebih dari 50% pasien mengeluh nyeri prekordial yang
terjadi pada waktu exercise. Nyeri dada merupakan keluhan utama pada
kanker paru yang menyebar ke pleura, organ medianal atau dinding dada.

D. Patogenesis
Penyebab tersering dari infark miokard adalah adanya thrombus atau bekuan
darah yang terbentuk dalam arteri koronaria atau salah satu dari cabangnya yang
menyebabkan tersumbatnya atau terganggunya aliran darah. Bekuan darah
biasanya tidak terbentuk pada arteri normal. Namun, bekuan darah akan terbentuk
jika terdapat beberapa ateroma dalam lapisan arteri. Plak sari atheroma secara
bertahap terbentuk selama beberapa tahun pada satu tempat atau lebih pada arteri
koronaria. Masing-masing plak memiliki lapisan luar dengan inti lemak. Jika lapisan
luar dari atheroma terlepas maka terjadi rupture plak yang dapat menimbulkan
terjadinya mekanisme pembekuan darah yang nantinya akan terbentuk suatu
bekuan darah. Oleh karena itu, terbentuknya atheroma merupakan akar masalah
penyebab kasus infark miokard.

E. Manifestasi Klinis
Pada kasus chest pain ada beberapa tanda gejala yang sering muncul yang sering
muncul yaitu:
1. Rasa tidak nyaman pada daerah dada seperti ditekan, diremas (diikat), berat
atau perasaan seperti terbakar pada daerah dada.
2. Choking
3. Nafas pendek
4. Karakteristik nyeri bisa bersifat tajam dan tumpul (jika penyebab nyeri berasal
dari jantung, karakteristik nyerinya bersifat tumpul) menyebar di perut bagian
atas, punggung, leher, dagu, lengan kiri, dan bahu
5. Faktor pemicunya dapat berasal dari olahraga, makan, tepapar suhu yang
dingin atau panas, dan stress

F. Pemeriksaan Penunjang

64
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Chest pain dapat ditegakkan diagnose dengan berbagai cara termasuk


pemeriksaan laboratorium dan radiologi serta juga dapat dilakukan pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu:
1. Penyebab chest pain biasayanya dapat ditemukan melalui pemeriksaan riwayat
kesehatan pasien dan pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan tes stress latihan fisik juga dapat digunakan untuk memicu
terjadinya nyeri
3. Pemeriksaan EKG dapat dilakukan untuk melihat adanya iskemia dan infark
pada jantung. Disamping itu dapat juga untuk melihat adanya aritmia yang
terjadi pada jantung
4. Chest X-ray dapat digunakan untuk melihat apakah jantung mengalami
kardiomegali
5. Pemeriksaan darah dapat digunakan untuk melihat adanya peningkatan CKMB,
LDL dan Troponin sebagai tanda kerusakan otot jantung. Pemeriksaan darah
lengkap juga merupakan sebagai panduan untuk melihat metabolisme tubuh.
6. Echokardiografi dan angiografi juga bisa menjadi pilihan untuk pemeriksaan
nyeri yang berasal dari jantung. Angiografi dapat membantu menentukan
dimana letak terjadinya arterosklerosis

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan chest pain sangat bervariasi tergantung dengan kondisi pasien.
Mengistirahkan pasien dapat membantu mengurangi kebutuhan oksigen dan
menurunkan kebutuhan metabolisme jantung. Disamping itu perlu juga pasien
diberikan bantuan oksigenasi untuk memaksimalkan oksigen yang bersirkulasi
dalam darah dan dapat membantu mengurangi iskemia.
Selain itu perlu juga diberikan obat-obatan, antara lain:
1. Nitroglycerin
Nitrroglycerin digunakan untuk membuat vasodilatasi pembuluh darah sehingga
darah dapat mengalir pada pembuluh darah yang mengalami penyempitan.
Disamping itu nitroglycerin dapat menurunkan tekanan darah pasien
2. Aspirin
Aspirin dapat menjaga dan mencegah terjadinya trombosis di pembuluh darah.
3. Trombolitik terapi
Pemberian terapi trombolitik bertujuan untuk menghancurkan plak dikarenakan
sumbatan pada pembuluh darah arteri coronary.

65
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Referensi:
Davis, C.P. (2016). Chest Pain Overview. Retrieved September 29, 2016, from
http://www.emedicinehealth.com/chest_pain_overview/page2_em.htm#what_are
_the_signs_and_symptoms_that_occur_with_chest_pain
Mayo Clinic Staff. (2014). Chest Pain. Retrieved November 26, 2014, from
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/chest-pain/basics/treatment/con-
20030540

CHAPTER ARITMIA JANTUNG

9
66
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

A. Definisi
Gangguan irama jantung atau aritmia merupakan komplikasi yang sering
terjadi pada infark miokardium. Aritmia atau disritmia adalah perubahan pada
frekuensi dan irama jantung yang disebabkan oleh konduksi elektrolit abnormal
atau otomatis. Aritmia timbul akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel miokardium.
Perubahan elektrofisiologi ini bermanifestasi sebagai perubahan bentuk potensial
aksi yaitu rekaman grafik aktivitas listrik sel. Gangguan irama jantung tidak hanya
terbatas pada iregularitas denyut jantung tapi juga termasuk gangguan kecepatan
denyut dan konduksi.

B. Etiologi
Etiologi aritmia jantung dalam garis besarnya dapat disebabkan oleh:
1. Peradangan jantung, misalnya demam reumatik, peradangan miokard
(miokarditis karena infeksi)
2. Gangguan sirkulasi koroner (aterosklerosis koroner atau spasme arteri
koroner), misalnya iskemia miokard, infark miokard.
3. Karena obat (intoksikasi) antara lain oleh digitalis, quinidin dan obat-obat anti
aritmia lainnya
4. Gangguan keseimbangan elektrolit (hiperkalemia, hipokalemia)
5. Gangguan pada pengaturan susunan saraf autonom yang mempengaruhi kerja
dan irama jantung
6. Ganggguan psikoneurotik dan susunan saraf pusat.
7. Gangguan metabolik (asidosis, alkalosis)
8. Gangguan endokrin (hipertiroidisme, hipotiroidisme)
9. Gangguan irama jantung karena kardiomiopati atau tumor jantung
10. Gangguan irama jantung karena penyakit degenerasi (fibrosis sistem konduksi
jantung)
C. Macam-macam aritmia
1. Sinus Takikardi
Meningkatnya aktifitas nodus sinus, gambaran yang penting pada ECG adalah:
laju gelombang lebih dari 100 x/menit, irama teratur dan ada gelombang P tegak
disandapan I, II dan aVF.
2. Sinus bradikardi

67
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Penurunan laju depolarisasi atrim. Gambaran yang terpenting pada ECG adalah
laju kurang dari 60 permenit, irama teratur, gelombang p tgak disandapan I, II
dan aVF.
3. Komplek atrium prematur
Impul listrik yang berasal di atrium tetapi di luar nodus sinus menyebabkan
kompleks atrium prematur, timbulnya sebelu denyut sinus berikutnya.
Gambaran ECG menunjukan irama tidak teratur, terlihat gelombang P yang
berbeda bentuknya dengan gelombang P berikutnya.
4. Takikardi Atrium
Suatu episode takikardi atrium biasanya diawali oleh suatu kompleks atrium
prematur sehingga terjadi reentri pada tingkat nodus AV.
5. Fluter atrium.
Kelainan ini karena reentri pada tingkat atrium. Depolarisasi atrium cept dan
teratur, dan gambarannya terlihat terbalik disandapan II, III dan atau aVF seperti
gambaran gigi gergaji
6. Fibrilasi atrium
Fibrilasi atrium bisa tibul dari fokus ektopik ganda dan atau daerah reentri
multipel. Aktifitas atrium sangat cepat.sindrom sinus sakit
7. Komplek jungsional prematur
8. Irama jungsional
9. Takikardi ventrikuler

D. Manifestasi klinis
a. Perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin tidak teratur; defisit
nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun; kulit pucat,
sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menurun bila curah jantung
menurun berat.
b. Sinkop, pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi,
perubahan pupil.
c. Nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat
antiangina, gelisah
d. Nafas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi
nafas tambahan (krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi
pernafasan seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena
tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.

68
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

e. demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis


siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan

E. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG: menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi. Menyatakan
tipe/sumber disritmia dan efek ketidakseimbangan elektrolit dan obat jantung.
2. Monitor Holter : Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk
menentukan dimana disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila pasien aktif
(di rumah/kerja). Juga dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi pacu
jantung/efek obat antidisritmia.
3. Foto dada: Dapat menunjukkanpembesaran bayangan jantung sehubungan
dengan disfungsi ventrikel atau katup
4. Skan pencitraan miokardia: dapat menunjukkan aea iskemik/kerusakan
miokard yang dapat mempengaruhi konduksi normal atau mengganggu
gerakan dinding dan kemampuan pompa.
5. Tes stres latihan: dapat dilakukan utnnuk mendemonstrasikan latihan yang
menyebabkan disritmia.
6. Elektrolit: Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium dapat
mnenyebabkan disritmia.
7. Pemeriksaan obat: Dapat menyatakan toksisitas obat jantung, adanya obat
jalanan atau dugaan interaksi obat contoh digitalis, quinidin.
8. Pemeriksaan tiroid: peningkatan atau penururnan kadar tiroid serum dapat
menyebabkan meningkatkan disritmia.
9. Laju sedimentasi: Penignggian dapat menunukkan proses inflamasi akut
contoh endokarditis sebagai faktor pencetus disritmia.
10. GDA/nadi oksimetri: Hipoksemia dapat menyebabkan/mengeksaserbasi
disritmia.
F. Penatalaksanaan Medis
1. Terapi medis
Obat-obat antiaritmia dibagi 4 kelas yaitu:
a. Anti aritmia Kelas 1: sodium channel blocker
1) Kelas 1 A
a) Quinidine adalah obat yang digunakan dalam terapi pemeliharaan
untuk mencegah berulangnya atrial fibrilasi atau flutter.

69
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

b) Procainamide untuk ventrikel ekstra sistol atrial fibrilasi dan aritmi


yang menyertai anestesi.
c) Dysopiramide untuk SVT akut dan berulang
2) Kelas 1 B
a) Lignocain untuk aritmia ventrikel akibat iskemia miokard, ventrikel
takikardia.
b) Mexiletine untuk aritmia entrikel dan VT
3) Kelas 1 C
Flecainide untuk ventrikel ektopik dan takikardi
b. Anti aritmia Kelas 2 (Beta adrenergik blokade)
Atenolol, Metoprolol, Propanolol: indikasi aritmi jantung, angina pektoris
dan hipertensi
c. Anti aritmia kelas 3 (Prolong repolarisation)
Amiodarone, indikasi VT, SVT berulang
d. Anti aritmia kelas 4 (calcium channel blocker)
Verapamil, indikasi supraventrikular aritmia
2. Terapi mekanis
a. Kardioversi: mencakup pemakaian arus listrik untuk menghentikan disritmia
yang memiliki kompleks GRS, biasanya merupakan prosedur elektif.
b. Defibrilasi : kardioversi asinkronis yang digunakan pada keadaan gawat
darurat.
c. Defibrilator kardioverter implantabel: suatu alat untuk mendeteksi dan
mengakhiri episode takikardi ventrikel yang mengancam jiwa atau pada
pasien yang resiko mengalami fibrilasi ventrikel.
d. Terapi pacemaker: alat listrik yang mampu menghasilkan stimulus listrik
berulang ke otot jantung untuk mengontrol frekuensi jantung.

CHAPTER ACUTE CORONARY


SYNDROME

10
70
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

A. Definisi
Acute coronary syndrome atau penyakit jantung coroner (PJK) merupakan
sekumpulan gejala klinis yang nyata dari iskemia akut otot jantung akibat rupture
plak aterosklerosis, fissura, erosi, atau gabungan dari ketiganya dengan trombosis
intrakoroner yang berhubungan dengan peningkatan risiko kematian jantung dan
myonecrosis. Istilah penyakit jantung koroner digunakan untuk menggambarkan
secara kolektif infark miokard akut (serangan jantung) dan angina tidak stabil yang
berupa nyeri dada yang terjadi saat istirahat, onset nyeri dengan aktivitas, atau
angina yang lebih sering, lebih lama dalam durasi atau ambang nyeri lebih rendah
dari sebelumnya (Daga, et.al., 2011).

B. Etiologi
Penyebab PJK adalah aterosklerosis pembuluh darah koroner akibat
penimbunan lipid pada lumen arteri koronaria. Penimbunan lipid dan juga kalsium
terus berlanjut secara progresif sehingga lama-kelamaan dapat menyebabkan
kekakuan pembuluh darah sehingga akan sulit untuk berdilatasi bahkan sampai
terjadi ruptur dan oklusi. Dengan demikian keseimbangan penyedia dan kebutuhan
oksigen miokardium menjadi tidak stabil sehingga berlanjut menjadi iskemia
miokardium. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokardium
yang pada dasarnya melalui dua mekanisme sederhana, yaitu suplai berkurang
meskipun kebutuhan tak bertambah atau kebutuhan meningkat sedangkan suplai
tetap (Kumar & Cannon, 2009).
Overbough (2009) mengemukakan bahwa penyebab PJK adalah oklusi
total atau parsial oleh thrombus arteri koroner. Oklusi terjadi akibat ruptur/erosi plak
ateroslerosis dan trombus. Hal ini akan menyebabkan terjadinya iskemia akut dan
nekrosis miokardium. Kondisi lain yang dapat menyebabkan PJK adalah
peradangan atau vasospasme dari arteri koroner.
Dari beberapa pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa
penyebab
dari PJK adalah gangguan aliran darah koroner oleh plak ateroslerosis yang
mengakibatkan terjadinya iskemia pada miokardium. Penyebab gangguan
tersebut berasal dari trombus akibat ruptur plak, proses peradangan, atau
spasme arteri koroner.

71
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

C. Patofisiologi
Pada kondisi PJK, arteri koroner mengalami sumbatan, baik total atau parsial
sehingga aliran darah terhenti atau berkurang secara otot jantung. Keadaan ini
mengakibatkan otot jantung akan menjadi iskemik dan bahkan menjadi nekrosis
dalam 4-6 jam (Hutton, 2011). Teori ini dipertegas oleh Hamm et al. (2011) yang
menyatakan bahwa peristiwa PJK terjadi sebagai akibat oklusi aliran darah koroner
yang dipicu oleh trombosis akut akibat ruptur atau erosi plak aterosklerosis arteri
koroner dengan atau tanpa vasokonstriksi bersamaan. Perjalanan patofisiologi dari
PJK melibatkan empat tahap, antara lain: inisiasi aterosklerosis, perkembangan
plak aterosklerosis, stabilitas plak dan kecenderungan ruptur, serta disrupsi plak,
trombosis, dan PJK (Kumar & Cannon, 2009).
1. Inisiasi dari aterosklerosis
Tahap pertama dari PJK dimulai dengan terjadi pembentukan plak dari
akumulasi lipid/kolesterol di dalam tunika intima arteri koroner yang
berlangsung secara kontinu sepanjang kehidupan. Agregasi dari lipid ini akan
merusak endotelium pembuluh darah sebelum akhirnya benar-benar terjadi
aterosklerosis dan peristiwa iskemik. Kehadiran fosfolipid teroksidasi (Low
Density Lipoprotein) menimbulkan ekspresi pada permukaan sel endotel
vaskuler, dimana hal ini dapat merangsang ekspresi molekul chemoattractant
yang mengisyaratkan leukosit untuk bermigrasi melalui endotel monolayer
menuju ke intima arteri. Low density lipoprotein (LDL) memprovokasi produksi
mediator inflamasi, yaitu sitokin proinflamasi, leukotrien, dan prostaglandin).
Selain itu, angiotensin II juga merangsang ekspresi interleukin (IL)-6 dan
chemoattractant protein-1 dari sel otot polos arteri yang meningkatkan aktivitas
oksidase fosfat adenine dinukleotida dari sel dinding pembuluh darah. Enzim ini
menimbulkan anion superoksida yang merupakan penyebab utama stres
oksidatif pada lesi aterosklerosis (Libby & Ridker, 2006; Sambola, et al., 2003).
Endotelium memegang peran penting dalam homeostasis vascular
melalui produksi seimbang molekul vasodilator dan antimitogens, serta
vasokonstriktor dan mitogen. Endotelium juga memiliki sifat antitrombotik dan
fibrinolitik yang mengaktifkan antitrombin III, tissue factor pathway inhibitor
(TFPI) dan tissue plasminogen activator (t-PA), dan menghambat aktivasi
ekspresi TF dan plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Oksida nitrat dilepas
oleh endotelium untuk mengurangi agregasi trombosit dan adhesi monosit,
mencegah proliferasi smooth muscle cells (SMC), dan mencegah oksidasi LDL.

72
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Kerusakan fungsi dari endotelium ini menandai awal dari kejadian


aterosklerosis (Jackson, 2011; Sambola, et al., 2003). Faktor-faktor yang
berperan dalam proses kerusakan dan gangguan fungsi lapisan endotel
pembuluh darah antara lain dislipidemia, hipertensi, diabetes, dan merokok.
Kerusakan dan disfungsi endotelium akan diiringi dengan gangguan
hemostasis vaskuler, serta peningkatan ekspresi molekul adhesi dan
trombogenisitas darah akibat berkurangnya bioavailabilitas oksida nitrat dan
sekresi endothelin-1 yang berlebihan (Kleinschmidt, 2006; Kumar & Cannon,
2009).
2. Perkembangan dari plak aterosklerosis
Disfungsi endotelium menyebabkan ia menghasilkan cell molecule
adhesion. Sel-sel inflamasi, terutama monosit dan limfosit T akan dilepas dan
bermigrasi ke subendotelium melalui ikatan molekul adhesi endotelium. Di
tempat ini ia akan berdiferensiasi dan berubah menjadi makrofag yang akan
mencerna partikel low dencity lipoprotein (LDL) teroksidasi yang ada pada
dinding pembuluh darah. Kemudian makrofag ini berubah menjadi lipid yang
dikenal sebagai sel busa (foam cell) dan membentuk garis-garis lemak (fatty
streak). Sebagian sel busa mati oleh apoptosis dan hancur tetapi kemudian
dieliminasi oleh fagositosis dan selanjutnya akan membentuk inti plak
(Kleinschmidt, 2006; Kumar & Cannon, 2009).
Crea and Liuzzo (2013), serta Kumar and Cannon (2009), lebih lanjut
menjelaSKAn proses pembentukan plak dipicu oleh aktivasi makrofag
menyebabkan bermigrasi sel otot polos pembuluh darah dari tunika media
menuju tunika intima. Makrofag yang teraktivasi ini akan mensintesis kolagen
dan membentuk kapsul fibrosis dengan cara membungkus inti lipid dari aliran
pembuluh darah. Mediator utama dari inflamasi yang disebabkan aktivasi
makrofag adalah zat-zat kemoaktraktan dan sitokin proinflamasi, antara lain
interleukin (IL)-6 dalam inisiasi aktivasi koagulasi dan peran tumor necrosis
factor (TNF)-alpha dan IL-1 dalam modulasi jalur antikoagulan.

3. Stabilitas plak dan kecenderungan ruptur


Stabilitas dan kecenderungan ruptur plak dipengaruhi oleh proses
proinflamasi dan antiinflamasi. Jika proses proinflamasi lebih dominan akan
menyebabkan plak akan semakin besar menutupi lumen pembuluh darah dan
rentang terjadi ruptur. Namun sebaliknya, jika anti inflamasi yang dominan,

73
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

maka akan membatasi pertumbuhan dan perkembangan plak. Hal ini juga tidak
lepas dari peran high density lipoprotein (HDL) yang berperan sebagai
antiaterosklerotik. Salah satu peran dari HDL adalah kemampuannya untuk
menerima kolesterol dari makrofag lipid kemudian mengeluarkan dari dinding
arteri melalui jalur katabolisme dan ekskresi. Partikel HDL dapat mengurangi
ekspresi sitokin sel endothelium dari molekul adhesi leukosit. HDL juga
mengandung enzim antioksidan seperti, paraoxonase-1 yang dapat
menonaktifkan fosfolipid proinflamasi (Libby & Ridker, 2006; Kleinschmidt,
2006).
Proses proinflamasi memicu pembentukan plak dan kecenderungan
ruptur. Respon proinflamasi menyebabkan lebih banyak migrasi LDL ke tunika
intima meningkatkan respon peradangan oleh aktivitas makrofag untuk
memproduksi matriks metalanoproteinase. Enzim ini akan mencerna matriks
ektra seluler dan mendegradasi kolagen, kondisi yang menyebabkan
peningkatan pembesaran inti lipid dan penipisan kapsul fibrosis plak yang
terbentuk dalam tunika intima. Karakteristik ini membuat plak lebih rentan
mengalami erosi atau ruptur. Peningkatan kadar CReactive Protein (CRP)
berbanding lurus dengan jumlah kejadian rupture plak aterosklerosis (Crea &
Liuzzo, 2013; Kumar Cannon, 2009).
4. Disrupsi plak, trombosis, dan PJK
Patogenesis ACS melibatkan interaksi antara endotelium, sel-sel
inflamasi, dan trombogenisitas darah. Plak aterosklerosis menimbulkan gejala
bila terjadi stenosis lumen lebih dari 50%. Sekitar 80% kasus PJK mengalami
ruptur plak aterosklerosis. Inti lipid yang besar, kapsul fibrosa yang tipis, dan
inflamasi dalam plak merupakan predisposisi terjadinya ruptur. Aktivasi sel-sel
inflamasi dalam plak menyebabkan disrupsi, yang akhirnya terjadi erosi dan
ruptur plak (Crea & Liuzzo, 2013; Kleinschmidt, 2006; Kumar & Cannon, 2009).
Setelah terjadi erosi atau ruptur, berbagai agonis seperti kolagen,
adenosin diphosphate (ADP), epinefrin, dan serotonin memicu aktivasi
trombosit untuk melepaskan tromboksan-A2. Matriks subendotel akan terpapar
oleh darah yang diikuti oleh aktivasi dan agregasi platelet dan trombosit dari
reseptor glikoprotein IIb/IIIa yang berperan dalam pembentukan trombus yang
melibatkan sistem koagulasi plasma. Dua jenis trombi yang terbentuk adalah
trombus putih (kaya akan platelet) yang dapat menyebabkan sumbatan parsial,
total, atau menjadi mikroemboli dan trombus merah (kaya akan fibrin) yang

74
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

dihasil dari
aktivasi kaskade koagulasi dan penurunan perfusi arteri. Akibat dari sumbatan
ini menyebabkan NSTEMI. Saat bersamaan juga terjadi pelepasan zat
vasokontriktor yang memperberat gangguan sirkulasi koroner. Peristiwa
mengakibatkan iskemia miokardium, yang jika suplay oksigen berhenti lebih
dari 20 menit akan berlanjut pada nekrosis miokardium yang akan
menyebabkan terjadinya STEMI. Selain ruptur plak aterosklerosis, spasme
arteri koroner akibat perubahan tonus arteri juga memegang peranan dalam
proses patofisiologi PJK (Kumar & Cannon, 2009; Subagjo, dkk., 2012).

D. Klasifikasi
Dari berbagai literatur, PJK diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu:
1. Unstable angina
Unstable angina atau angina tidak stabil mengarah pada oklusi
sementara atau thrombus parsial dari arteri koroner. Pemeriksaan fisik
ditemukan nyari dada iskemia, disertai gejala lain yang sesuai dengan PJK.
Pada pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) ditemukan depresi segmen ST
0,05 mV pada dua atau lebih sadapan yang berdekatan atau inversi gelombang
T, sedangkan cardiac biomarker dalam batas normal. Pada kondisi ini terjadi
sumbatan parsial aliran darah koroner yang bersifat sementara (Hamm, et al.,
2011; Overbaugh, 2009).
Angka kejadian angina tidak stabil memberikan proporsi sekitar dari
seluruh kejadian PJK. Kanichay et al. (2010) menyatakan angina tidak stabil
ditemukan pada 23% dari seluruh panderita PJK. Pendapat ini diperkuat oleh
hasil penelitian dari Andrikopoulos et al. (2012) yang mengemukakan angina
tidak stabil ditemukan pada 21,1% pada semua kasus PJK. Sedangkan Ashraf
et al. (2012) dan Misiriya et al. (2009) mengemukakan proporsi dari angina
tidak stabil adalah 38% dengan ratarata mortalitas 3,05% dari seluruh kasus
PJK.
2. Infark miokardium tanpa elevasi segmen ST pada EKG (NSTEMI)
NSTEMI mengacu pada ruptur plak arteri koroner tetapi tidak
menyebabkan oklusi total sehingga tidak terjadi iskemia jantung yang luas.
Seperti juga pada angina tidak stabil, pada pemeriksaan EKG terlihat adanya
depresi segmen ST 0,05 - 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan yang

75
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

berdekatan atau inversi gelombang T, tetapi pada NSTEMI disertai dengan


peningkatan cardiac biomarker (Overbaugh, 2009).
NSTEMI terjadi pada 29% seluruh kejadian PJK adalah (Alexander,
2012). Pendapat ini didukung oleh hasil study Andrikopoulos et al. (2012), yang
menyebutkan proporsi NSTEMI sebesar 34,2%. Sedangkan penelitian Ashraf et
al. (2012), menemukan proporsi NSTEMI sebesar 20% dari seluruh kasus PJK
dengan mortalitas mencapai 8% dari seluruh kasus. NSTEMI merupakan yang
paling sering diantara semua spectrum PJK.
3. Infark mokardium dengan elevasi segmen ST pada EKG (STEMI)
STEMI terjadi akibat oklusi total dari arteri koroner sehingga terjadi
iskemia dan nekrosis jantung. Keadaan ini dapat dilihat dengan adanya
elevasi segmen ST pada EKG atau ditemukan left bundle branch block
(LBBB) serta peningkatan cardiac biomarker (Aygul, et al., 2009). Proporsi
STEMI dari seluruh kejadian PJK mencapai 38% (Saab, et. al., 2009). Hasil
studi ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Andrikopoulos et al. (2012)
yang memaparkan bahwa angka kejadian STEMI dari seluruh insiden PJK
adalah sebesar 44, 7%. Hasil studi lain memaparkan proporsi STEMI seluruh
kejadian PJK sebesar 41% dengan mortalitas 13% dari seluruh kasus (Ashraf,
et al,. 2012)

E. Manifestasi Klinik
1. Gejala Mayor
Rasa tidak enak atau nyeri dada
Nyeri dada retrosternal seperti tertekan, dapat terjadi baik saat istirahat
ataupun dengan aktivitas. Keluhan ini merupakan yang paling sering dialami
pasien PJK (Berner, 2010). Yadav et al. (2010) melaporkan keluhan nyeri
dada dialami 94% pasien PJK. Hal ini diperkuat oleh Kirchberger et al.
(2011) yang mengemukakan bahwa keluhan ini dialami 95,5%. Nyeri dapat
menjalar ke lengan, bahu, leher, dagu, punggung, dan daerah epigastrium.
Pada selang kepercayaan 95%, kondisi ini dialami oleh 56,7% pasien PJK.
Lamanya nyeri >20 menit
Sebanyak 96,1% dari seluruh pasien PJK mengalami serangan
selama 20 menit (Hamm, et al., 2011; Kirchberger, et al., 2011). Berner
(2010), mengemukakan pendapat yang sama bahwa rata-rata pasien PJK

76
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

mengalami keluhan nyeri secara terus menerus selama >20 menit saat
istirahat.
2. Gejala Minor
Dispnea
Keluhan sesak nafas dialami oleh 67% pasien Yadav et al. (2010).
Sedangkan Kirchberger et al. (2011), menemukan pada selang
kepercayaan 95% sebanyak 48% pasien mengeluh sesak nafas.
Berkeringat dingin
Berkeringat dingin dialami 78% pasien (Yadav, et al., 2010), Sedangkan
menurut Kirchberger et al. (2011), menjelaskan bahwa sebanyak 61%
pasien mengelulh berkeringat dingin dengan rasio odd 1,49.
Mual dan muntah
Keluhan mual dan muntah dirasakan oleh 13,1% pasien PJK dengan rasio
odd 2,34 (Kirchberger, et al., 2011).
Pusing
Gejala pusing memberi kontribusi 21% pada pasien PJK dengan rasio odd
1,63 (Kirchberger, et al., 2011).
Gejala lain yang dapat menyertai adalah takipnea, takikardia, gelisah,
hipertensi atau hipotensi, sinkop, dan penurunan saturasi oksigen
(Berner, 2010; Overbough, 2009).

F. Penataksanaan
1. Prehospital
a. Monitor dan amankan airway, breathing, dan circullation. Siapkan
RJP dan defibrilator.

77
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

b. Pemberian oksigen, aspirin, nitrogliserin, dan morpin jika diperlukan.


c. Monitor EKG 12 sadapan dilakukan untuk menetapkan diagnosis
secara cepat dan akurat.
d. Aktifkan respon emergensi untuk persiapan penerimaan pasien.
e. Pemberian fibrinotik prehospital dan lakukan chek list terapi
(O'Connor, et al., 2010; Silber, 2011).
2. Hospital
a. Penilaian awal di ruang emergensi
Evaluasi tanda-tanda vital, saturasi oksigen, dan monitor EKG.
Pasang IV line.
Pengkajian cepat dan terarah.
Cek fibrinolitik dan kontra indikasi.
Pemeriksaan biomarker jantung, elektrolit, pembekuan darah.
Lakukan X-ray dada untuk membedakan dengan nyeri ekstra kardial
(O'Connor, et al., 2010; Silber, 2011).
b. Terapi awal di ruang emergensi
Oksigen
Oksigen segera diberikan pada pasien dengan sesak nafas,
tanda-tanda gagal jantung, atau saturasi oksigen <94%. Oksigen
diberikan pada 6 jam pertama untuk membatasi iskemia miokardium.
Aspirin
Aspirin merupakan anti platelet yang direkomendasikan pada
semua pasien, kecuali ada kontra indikasi. Aspirin dapat
menurunkan reoklusi dan serangan berulang. Obat ini terbukti mampu
menurunkan kematian jantung sebesar 30% dibandingkan pemberian
plesebo. Dosis yang dianjurkan adalah 160 - 325 mg.
Nitrogliserin atau gliseril trinitrat
Pemberian Nitrogiserin sub lingual 3 kali dengan selang waktu
antara 3 sampai 5 menit. Nitrogliserin merupakan vasodilator yang
diberikan pada pasien dengan hemodinamik stabil. Nitrogliserin
tidak boleh diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90 mmHg atau penurunan tekanan darah >30% dari tekanan darah
awal, bradikardia <50 kali permenit, atau takikardia >100 kali
permenit.

78
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Morfin
Morfin merupakan analgetik pilihan yang memiliki keuntungan:
efeknya pada susunan saraf pusat, menimbulkan venodilatasi, dan
menurunkan tahanan vaskuler sistemik.
Clopidegrol
Clopidogrel adalah anti platelet yang sangat bermanfaat bagi
pasien risiko sedang sampai risiko tinggi. Obat ini bekerja
menghambat reseptor adenosin difosfat pada trombosit, sehingga
menyebabkan penurunan agregasi trombosit. Dosis yang dianjurkan
AHA 2010 adalah dosis awal 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg. Sedangakn dosis untuk persiapan prosedur
invasif adalah 600 mg (Findlay, et al., 2013; Jois, & LoVecchio , 2011;
O'Connor, et al., 2010).

Referensi:
Benner, R. W. & Zavarella, M. S. (2008). Advanced clinical insights & practice: Acute
coronary syndrome. Critical care ce article. (p. 74-79). Retrieved from
www.emsresponder.com. Tanggal 8 Februari 2013.

Crea, F. & Liuzzo, G. (2013). Pathogenesis of acute coronary syndromes.


Journal of the American College of Cardiology, 61 (1), 1-11. doi: 10.1016/j.
Jacc.2012.07.064

Daga, L. C., Kaul, U., & Mansoor, A. (2011). Approach to STEMI and NSTEMI.
Supplement To Japi. 59, 19-25.

Findlay, L., Newby, D., Pedley, D., Berg, G., Caesar, D., Campbell, M. & et al. (2013).
Acute coronary syndromes: A national clinical guideline. Edinburgh. Sign Scottish
Intercollegiate Guidelines Network.

Hamm, C. W., Bassand, J. P., Agewall, S., Bax, J., Boersma, E., Bueno, H. et al.
(2011). ESC guidelines for the management of acute coronary syndromes in
patients presenting without persistent ST-segment elevation. European
Heart Journal. 26, 1-56. doi:10.1093/eurheartj/ehr236

Hutton, D. (2011). Acute coronary syndrome. American Society of Plastic


Surgical Nurses, 31 (3), 108-112. doi: 10.1097/PSN.0b013e31822d0d27

Jois, P. & LoVecchio, F. (2011). NSTEMI and STEMI: Therapeutic updates 2011.
Emergency Medicine Reports, 32 (1), 1-7.

Kirchberger, I., Meisinger, C., Heier, M., Kling, B., Wende, R., Greschik, C. et al.
(2011). Patient-reported symptoms in acute myocardial infarction: differences
related to ST-segment elevation. Journal of Internal Medicine. 270, 58-64. doi:
10.1111/j.1365-2796.2011.02365.

79
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Kleinschmidt, K. C. (2006). Epidemiology and pathophysiology of acute coronary


syndrome . Adv Stud Nurs, 4 (4), 72-77.

Kumar, A. & Cannon, C. P. (2009). Acute coronary syndromes: Diagnosis and


management, part I. Mayo Clin Proc, 84 (10), 917-938.

Libby, P. & Ridker, P. M. (2006). Inflammation and atherothrombosis: From


population biology and bench research to clinical practice. JACC, 48, (9),
33-46. doi:10.1016/j.jacc.2006.08.011

OConnor, R. E., Brady, W., Brooks, S. C., Diercks, D., Egan, J.,
Ghaemmaghami, C. et al. (2010). Acute coronary syndromes: 2010
American heart association guidelines for cardiopulmonary resuscitation
and emergency cardiovascular care. Circulation. 122, 787-817. doi: 10.
1161/CIRCULATIONAHA.110.971028

Overbaugh, K. J. (2009). Acute coronary syndrome: Even nurses outside the ED


should recognize its signs and symptoms. AJN, 109 (5), 42-52.

Silber, S. (2011). Immediate and long-term therapy of patients with acute coronary
syndromes with thienopyridines. Current status according to the latest European
society of cardiology (ESC) guidelines.Rambam Maimonides Medical Journal, 2
(3), 1-7

Sambola, A., Fuster, V., & Badimonb, J. S. (2003). Role of Coronary Risk Factors
in Blood Thrombogenicity and Acute Coronary Syndromes. Rev Esp
Cardiol, 56 (10), 1001-1009.

Subagjo, A., Achyar, Ratnaningsih, E., Putranto, B. H., Sugiman, T., Kosasih, A. dkk.
(2012). Buku panduan: Kursus bantuan hidup jantung dasar. Jakarta. PP PERKI

Yadav, P., Joseph, D., Joshi, P., Sakhi, P., Jha, R. K., & Gupta, J. (2010). A clinical
profile and risk factors in acute coronary syndrome. National Journal of
Community Medicine, 1 (2), 150-152.

80
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER STROKE

11
A. Definisi
Stroke adalah suatu gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh
karena gangguan peredaran darah otak, dimana secara mendadak (dalam
beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) timbul gejala dan tanda
yang sesuai dengan daerah fokal di otak yang terganggu.

B. Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga tersering oleh karena itu
merupakan indikasi penting untuk perawatan di rumah sakit serta merupakan
penyebab ketidak mampuan pada kebanyakan penduduk negara industri. Dari
penelitian di Amerika Serikat mengenai insiden semua tipe stroke (iskemik dan
hemoragik), pada tahun 1980-1984 terdapat insiden semua tipe stroke rata-rata per
tahun adalah 135/100.000, menunjukkan adanya peningkatan sebesar 17% dari
periode 5 tahun sebelumnya tetapi bila dibandingkan dengan 1950-1954 terdapat
penurunan sebesar 46%. Bila dibedakan atas subtype stroke-nya maka didapat
peningkatan insiden infark serebral dan perdarahan intraserebral tetapi tidak
terdapat perubahan insiden perdarahan subarachnoid selama periode 1980-1984.
Agaknya peningkatan insiden tersebut juga ditemui dalam laporan Widjaja D, yang
mendapati insiden stroke hemoragik di Laboratorium/UPF Ilmu Ilmu Penyakit Saraf
FK Unair/RSUD Dr. Soretomo Surabaya pada 1986 dan 1987, sebesar 25,9%-
41,6% dari semua penyakit pembuluh darah otak (1986, 25,9% menjadi 41,9%
pada 1987). Kelainan insiden ini terutama pada perdarahan intraserebral dari
22,7% menjadi 37,9%.
Penelitian menunjukkan dari 251 pasien stroke, ada 47% wanita dan 53%
kali-laki dengan rata-rata umur 69 tahun (78% berumur lebih dari 60 tahun). Pasien
dengan umur lebih dari 75 tahun dan berjenis kelamin laki-laki menunjukkan
outcome yang lebih buruk.

81
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

C. Etiologi
Penyebab stroke tersering adalah hipertensi (72%-81%), kemudian disusul
diskrasia darah (20%), hamartoma (10%), dan neoplasma (10%). Tetapi menurut
Widjaja D, hipertensi (24,9%-68,5%), disusul aeurisma (6,2-37,7%), AVM (3-10%),
tumor otak terutama yang tumbuh cepat baik primer atau metastasis (1,5%-11%),
diskrasia darah (1,2%-13%).
Stroke biasanya disertai satu atau beberapa penyakit lainnya yang menjadi
faktor risiko seperti hipertensi, penyakit jantung, peningkatan lemak dalam
darah, diabetes mellitus, atau penyakit vaskuler perifer.
Bagaimana mekanisme hipertensi dapat menyebabkan perdarahan masih
merupakan topik pembicaraan. Perdarahan dapat terjadi akibat ruptur arteriol,
kapiler atau vena. Dengan bertambahnya usia, adanya hipertensi dan
aterosklerosis pembuluh darah akan menjadi berkelok-kelok atau spiral.
Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid yang
memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian menyebabkan ruptur intima
dan menimbulkan aneurisma. Selanjutnya dapat menyebabkan mikrohematoma
dan edema. Hipertensi kronik dapat juga menimbulkan aneurisma-aneurisma kecil
(diameternya 1 mm) yang tersebar di sepanjang pembuluh darah, aneurisma ini
dikenal sebagai aneurisma Charcot Bouchard.
Perdarahan di putamen, thalamus, dan pons biasanya akibat ruptur a.
Lentikulostriata, a. Thalamo perforating, dan kelompok basilar-paramedian. Sedang
perdarahan di serebelum biasanya terdapat di daerah nukleus dentatus yang
mendapat pendarahan dari cabang a.serebelaris superior dan a. Serebelaris
inferior anterior. Diabetes dan hiperkolesterolemia merupakan faktor risiko yang
bermakna bagi stroke oklusif (iskemik), ternyata tidak meningkatkan risiko
perdarahn intraserebral.

D. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko terjadinya stroke
hemoragik dijelaskan dalam tabel berikut.5 Terdapat faktor risiko yang dapat
dikendalikan yiatu, hipertensi, penyakit jantung, atrial fibrilasi, endokarditis,
stenosismitral, infark jantung, merokok, anemia sel sabit, TIA, stenosis karotis
asimtomatik, DM, dan hipertrofi ventrikel. Faktor risiko yang tidak dapat
dikendalikan yaitu, umur, jenis kelamin, herediter, ras dan etnis.

82
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Tabel 3.1 Faktor Risiko Stroke


Faktor Risiko Keterangan
Umur Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke.
Sekitar 30% dari stroke terjadi sebelum usia 65; 70% terjadi
pada mereka yang 65 ke atas. Risiko stroke adalah dua kali
ganda untuk setiap 10 tahun di atas 55 tahun.
Hipertensi Risiko stroke berkaitan dengan tingkat sistolik hipertensi. Hal ini
berlaku untuk kedua jenis kelamin, semua umur, dan untuk
resiko perdarahan, atherothrombotik, dan stroke lakunar,
menariknya, risiko stroke pada tingkat hipertensi sistolik kurang
dengan meningkatnya umur, sehingga ia menjadi kurang kuat,
meskipun masih penting dan bisa diobati, faktor risiko ini pada
orang tua.
Jenis Kelamin Infark otak dan stroke terjadi sekitar 30% lebih sering pada laki-
laki berbanding perempuan, perbedaan jenis kelamin bahkan
lebih tinggi sebelum usia 65.
Riwayat Terdapat lima kali lipat peningkatan prevalensi stroke antara
keluarga kembar monozigotik dibandingkan dengan pasangan kembar
laki-laki dizigotik yang menunjukkan kecenderungan genetik
untuk stroke. Pada 1913 penelitian kohort kelahiran Swedia
menunjukkan tiga kali lipat peningkatan kejadian stroke pada
laki-laki yang ibu kandungnya meninggal akibat stroke,
dibandingkan dengan laki-laki tanpa riwayat ibu yang mengalami
stroke. Riwayat keluarga juga tampaknya berperan dalam
kematian stroke antara populasi Kaukasia kelas menengah atas
di California.
Diabetes Setelah faktor risiko stroke yang lain telah dikendalikan,
mellitus diabetes meningkatkan risiko stroke trombo emboli sekitar dua
kali lipat hingga tiga kali lipat berbanding orang-orang tanpa
diabetes. Diabetes dapat mempengaruhi individu untuk
mendapat iskemia serebral melalui percepatan aterosklerosis
pembuluh darah yang besar, seperti arteri koronari, arteri karotid
atau dengan, efek lokal pada mikrosirkulasi serebral.
Penyakit Individu dengan penyakit jantung dari jenis apa pun memiliki
jantung lebih dari dua kali lipat risiko stroke dibandingkan dengan
mereka yang fungsi jantungnya normal.

Penyakit Arteri koroner :


Indikator kuat kedua dari keberadaan penyakit difus vaskular
aterosklerotik dan potensi sumber emboli dari thrombi mural
karena miocard infarction.

Gagal Jantung kongestif, penyakit jantung hipertensi :


Berhubungan dengan meningkatnya kejadian stroke

Fibrilasi atrial :
Sangat terkait dengan stroke emboli dan fibrilasi atrial
karena penyakit jantung rematik; meningkatkan risiko stroke
sebesar 17 kali.

Lainnya :
Berbagai lesi jantung lainnya telah dikaitkan dengan stroke,

83
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

seperti prolaps katup mitral, patent foramen ovale, defek septum


atrium, aneurisma septum atrium, dan lesi aterosklerotik dan
trombotik dari ascending aorta.
Karotis bruits Karotis bruits menunjukkan peningkatan risiko kejadian stroke,
meskipun risiko untuk stroke secara umum, dan tidak untuk
stroke khusus dalam distribusi arteri dengan bruit.
Merokok Beberapa laporan, termasuk meta-analisis angka studi,
menunjukkan bahwa merokok jelas menyebabkan peningkatan
risiko stroke untuk segala usia dan
kedua jenis kelamin, tingkat risiko berhubungan dengan jumlah
batang rokok yang dihisap, dan penghentian merokok
mengurangi risiko, dengan resiko kembali seperti bukan
perokok dalam masa lima tahun setelah penghentian.
Peningkatan Penigkatan viskositas menyebabkan gejala stroke ketika
hematokrit hematokrit melebihi 55%. Penentu utama viskositas darah
keseluruhan adalah dari isi sel darah merah;
plasma protein, terutamanya fibrinogen, memainkan peranan
penting. Ketika meningkat viskositas hasil dari polisitemia,
hyperfibrinogenemia, atau paraproteinemia, biasanya
menyebabkan gejala umum, seperti sakit kepala, kelesuan,
tinnitus, dan penglihatan kabur. Infark otak fokal dan oklusi vena
retina jauh kurang umum, dan dapat mengikuti disfungsi
trombosit akibat trombositosis. Perdarahan Intraserebral dan
subarachnoid kadang-kadang dapat terjadi.
Peningkatan Tingkat fibrinogen tinggi merupakan faktor risiko untuk stroke
tingkat trombotik. Kelainan sistem pembekuan darah juga telah dicatat,
fibrinogen seperti antitrombin III dan kekurangan protein C serta protein S
dan kelainan dan berhubungan dengan vena thrombotic.
system
pembekuan
Hemoglobinop Sickle-cell disease :
athy Dapat menyebabkan infark iskemik atau hemoragik,
intraserebral dan perdarahan subaraknoid, vena sinus dan
trombosis vena kortikal. Keseluruhan kejadian stroke dalam
Sickle-cell disease adalah 6-15%.

Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria :


Dapat mengakibatkan trombosis vena serebral
Penyalahguna Obat yang telah berhubungan dengan stroke termasuk
an obat methamphetamines, norepinefrin, LSD, heroin, dan kokain.
Amfetamin menyebabkan sebuah vaskulitis nekrosis yang dapat
mengakibatkan pendarahan petechial menyebar, atau fokus
bidang iskemia dan infark. Heroin dapat timbulkan sebuah
hipersensitivitas vaskular menyebabkan alergi . Perdarahan
subarachnoid dan difarction otak telah dilaporkan setelah
penggunaan kokain.
Hiperlipidemia Meskipun tingkat kolesterol tinggi telah jelas berhubungan
dengan penyakit jantung koroner, mereka sehubungan dengan
stroke kurang jelas. Peningkatan kolesterol tidak muncul untuk
menjadi faktor risiko untuk aterosklerosis karotis, khususnya
pada laki-laki di bawah 55 tahun. Kejadian hiperkolesterolemia
menurun dengan bertambahnya usia. Kolesterol berkaitan

84
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

dengan perdarahan intraserebral atau perdarahan


subarachnoid. Tidak ada hubungan yang jelas antara tingkat
kolesterol dan infark lakunar.
Kontrasepsi Pil KB, estrogen tinggi yang dilaporkan meningkatkan risiko
oral stroke pada wanita muda. Penurunan kandungan estrogen
menurunkan masalah ini, tetapi tidak dihilangkan sama sekali.
Ini adalah faktor risiko paling kuat pada wanita yang lebih dari
35 tahun . Mekanisme diduga meningkat koagulasi, karena
stimulasi estrogen tentang produksi protein liver, atau jarang
penyebab autoimun
Diet Konsumsi alkohol :
Ada peningkatan risiko infark otak, dan perdarahan
subarakhnoid dikaitkan dengan penyalahgunaan alkohol pada
orang dewasa muda. Mekanisme dimana etanol dapat
menghasilkan stroke termasuk efek pada darah tekanan,
platelet, osmolalitas plasma, hematokrit, dan sel-sel darah
merah. Selain itu, alkohol bisa menyebabkan miokardiopati,
aritmia, dan perubahan di darah aliran otak dan autoregulasi.

Kegemukan :
Diukur dengan berat tubuh relatif atau body mass indexs,
obesitas telah secara konsisten meramalkan berikutnya
stroke. Asosiasi dengan stroke dapat dijelaskan sebagian oleh
adanya hipertensi dan diabetes. Sebuah berat relatif lebih dari
30% di atas rata-rata kontributor independen ke-atherosklerotik
infark otak berikutnya.
Penyakit Karena bisa menyebabkan robeknya pembuluh darah.
pembuluh
darah perifer
Infeksi Infeksi meningeal dapat mengakibatkan infark serebral melalui
pengembangan perubahan inflamasi dalam dinding pembuluh
darah. Sifilis meningovaskular dan mucormycosis dapat
menyebabkan arteritis otak dan infark.
Homosistinemi Predisposisi trombosis arteri atau vena di otak. Estimasi risiko
a atau stroke di usia muda adalah 10-16%.
homosistinuria
Migrain Sering pasien mengalami stroke sewaktu serangan migrain.
Suku bangsa Kejadian stroke di Afrika-Amerika lebih tinggi secara tidak
proporsional dari kelompok lain.
Lokasi Di Amerika Serikat dan kebanyakan negara Eropa, stroke
geografis merupakan penyebab kematian ketiga paling sering, setelah
penyakit jantung dan kanker. Paling sering, stroke disebabkan
oleh perubahan aterosklerotik bukan oleh perdarahan.
Kekecualian adalah pada setengah perempuan berkulit hitam, di
puncak pendarahan yang daftar. Di Jepang, stroke hemorragik
adalah penyebab utama kematian pada orang dewasa, dan
perdarahan lebih umum dari aterosklerosis.

85
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Sirkadian dan Variasi sirkadian dari stroke iskemik, puncaknya antara pagi
faktor musim dan siang hari. Hal ini telah menimbulkan hipotesis bahwa
perubahan diurnal fungsi platelet dan fibrinosis mungkin relevan
untuk stroke. Hubungan antara variasi iklim musiman dan stroke
iskemik telah didalihkan. Peningkatan dalam arahan untuk infark
otak diamati di Iowa. Suhu lingkungan rata-rata menunjukkan
korelasi negatif dengan kejadian cerebral infark di Jepang.
Variasi suhu musiman telah berhubungan dengan resiko lebih
tinggi cerebral infark dalam usia 40-64 tahun pada pasien yang
nonhipertensif, dan pada orang dengan kolesterol serum bawah
160mg/dL.

E. Patogenesis
Perdarahan otak merupakan penyebab stroke kedua terbanyak setelah
infark otak. Pecahnya pembuluh darah di otak dibedakan menurut anatominya atas
perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Pada perdarahan
intraserebral, pembuluh darah yang pecah terdapat di dalam otak atau pada massa
otak, sedangkan pada perdarahan subarakhnoid, disekitar sirkulus arteriosus
Willisi.
Jenis stroke non hemoragic berdasarkan perjalanan klinisnya :
1. TIA (Transient Ischemic Attack = gangguan peredaran darah otak sepintas)
Pada TIA ini gejala neurologis yang timbul akan cepat menghilang, berlangsung
hanya dalam beberapa menit saja, tetapi juga dapat sampai sehari penuh. TIA
didefinisikan sebagai suatu gangguan akut dari fungsi lokal serebral yang
gejalanya berlangsung kurang dari 1 jam dan disebabkan oleh trombus atau
emboli. Ditinjau dari segala dan tanda-tanda yang ada, dapat dibedakan
apakah TIA tersebut bersumber pada sistem karotis ataukah bersumber pada
sistem vertebrobasilaris.
2. TIA yang disebabkan gangguan pada sistem karotis memberikan gejala-gejala
antara lain sebagai berikut :
- Gangguan penglihatan pada satu mata tanpa disertai rasa nyeri (amaurosis
fugax), terutama bila disertai atau bergantian dengan :
- Kelumpuhan lengan atau tungkai atau keduanya pada sisi yang sama.
- Defisit sensorik atau motorik dari wajah saja, wajah dan lengan atau tungkai
saja secara unilateral.
- Kesulitan untuk mengerti bahasa dan atau berbicara (afasi)
- Pemakaian kata-kata yang salah atau diubah.
3. TIA yang disebabkan gangguan pada sistem vertebrobasilaris memberikan
gejala-gejala antara lain sebagai berikut :

86
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

- Vertigo dengan atau tanpa disertai nausea dan atau muntah terutama bila
disertai dengan diplopia, disfagi, atau disartri
- Mendadak tidak stabil
- Gangguan visual, motorik, sensorik, unilateral atau bilateral
- Hemiapnosia homonim
- Drop attack

F. Patofisiologi
Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran
dalam waktu 15-20 detik dan kerusakan otak yang irreversibel terjadi setelah tujuh
hingga sepuluh menit. Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan gangguan di
area otak yang terbatas (stroke). Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu
defisiensi energi yang disebabkan oleh iskemia. Perdarahan juga menyebabkan
iskemia dengan menekan pembuluh darah di sekitarnya.
Dengan menambah Na+/K+-ATPase, defisiensi energi menyebabkan
penimbunan Na+ dan Ca2+ di dalam sel, serta meningkatkan konsentrasi K+
ekstrasel sehingga menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi menyebabkan
penimbunan Cl- di dalam sel, pembengkakan sel, dan kematian sel. Depolarisasi
juga meningkatkan pelepasan glutamat, yang mempercepat kematian sel melalui
masuknya Na+ dan Ca2+.
Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor, dan
penyumbatan lumen pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang mencegah
reperfusi, meskipun pada kenyataannya penyebab primernya telah dihilangkan.
Kematian sel menyebabkan inflamasi, yang juga merusak sel di tepi area iskemik
(penumbra). Gejala ditentukan oleh tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah
yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut.
Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan
kelemahan otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik (hemianestesia)
akibat kerusakan girus lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya
adalah deviasi okular, hemianopsia, gangguan bicara motorik dan sensorik,
gangguan persepsi spasial, apraksia, dan hemineglect.
Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit
sensorik kontralateral, kesulitan berbicara serta apraksia pada lengan kiri jika
korpus kalosum anterior dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik

87
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

kanan terganggu. Penyumbatan bilateral pada arteri serebri anterior menyebabkan


apatis karena kerusakan dari sistem limbik.
Penyumbatan arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia
kontralateral parsial dan kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan
terjadi kehilangan memori.
Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di
daerah yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid
anterior tersumbat, ganglia basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis),
dan traktus optikus (hemianopsia) akan terkena. Penyumbatan pada cabang arteri
komunikans posterior di talamus terutama akan menyebabkan defisit sensorik.
Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua
eksteremitas dan otot-otot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri
basilaris dapat menyebabkan infark pada serebelum, mesensefalon, pons, dan
medula oblongata. Efek yang ditimbulkan tergantung dari lokasi kerusakan.
- Pusing, nistagmus, hemiataksia (serebelum dan jaras aferennya, saraf
vestibular).
- Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral dan tetraplegia
(traktus piramidal).
- Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anastesia) di bagian wajah
ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus [V] dan traktus
spinotalamikus).
- Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf traktus
salivarus), singultus (formasio retikularis).
- Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada
kehilangan persarafan simpatis).
- Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus [X]). Paralisis otot lidah
(saraf hipoglosus [XII]), mulut yang jatuh (saraf fasial [VII]), strabismus (saraf
okulomotorik [III], saraf abdusens [V]).
- Paralisis pseudobulbar dengan paralisis otot secara menyeluruh (namun
kesadaran tetap dipertahankan).

G. Gejala Klinis
Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan
perdarahan intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke
iskemik, hipertensi biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau

88
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

koma lebih umum pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik.
Seringkali, hal ini disebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Meningismus dapat
terjadi akibat adanya darah dalam ventrikel.
Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang
terlibat. Jika belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang terdiri
dari hemiparesis kanan, kerugian hemisensory kanan, meninggalkan tatapan
preferensi, bidang visual kana terpotong, dan aphasia mungkin terjadi. Jika
belahan nondominant (biasanya kanan) terlibat, sebuah sindrom hemiparesis kiri,
kerugian hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan memotong bidang
visual kiri. Sindrom belahan nondominant juga dapat mengakibatkan pengabaian
dan kekurangan perhatian pada sisi kiri.
Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan
kompresi batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam tingkat
kesadaran, apnea, dan kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan cerebellar atau
batang otak antara lain: ekstremitas ataksia, vertigo atau tinnitus, mual dan
muntah, hemiparesis atau quadriparesis, hemisensori atau kehilangan sensori dari
semua empat anggota, gerakan mata yang mengakibatkan kelainan diplopia atau
nistagmus, kelemahan orofaringeal atau disfagia, wajah ipsilateral dan kontralateral
tubuh.
1. Perdarahan Intraserebral
Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari
jumlah pasien, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama
aktivitas. Namun, pada orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada.
Gejala disfungsi otak menggambarkan perkembangan yang terus memburuk
sebagai perdarahan. Beberapa gejala, seperti kelemahan, kelumpuhan,
hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu sisi tubuh.
Orang mungkin tidak dapat berbicara atau menjadi bingung. Visi dapat
terganggu atau hilang. Mata dapat menunjukkan arah yang berbeda atau
menjadi lumpuh. Mual, muntah, kejang, dan hilangnya kesadaran yang umum
dan dapat terjadi dalam beberapa detik untuk menit.
2. Perdarahan Subaraknoid
Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali
menekan pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya sebelum
pecah besar (yang menyebabkan sakit kepala), menghasilkan tanda-tanda
peringatan, seperti berikut:

89
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

- Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-kadang
disebut sakit kepala halilintar)
- Sakit pada mata atau daerah fasial
- Penglihatan ganda
- Kehilangan penglihatan tepi
Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum pecahnya
aneurisma. Individu harus melaporkan setiap sakit kepala yang tidak biasa ke
dokter segera.
Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba parah
dan mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti dengan
kehilangan kesadaran singkat. Hampir setengah dari orang yang terkena
meninggal sebelum mencapai rumah sakit. Beberapa orang tetap berada dalam
koma atau tidak sadar dan sebagian lainnya bangun, merasa bingung, dan
mengantuk. Dalam beberapa jam atau bahkan menit, pasien mungkin menjadi tidak
responsif dan sulit untuk dibangunkan.
Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak
mengiritasi lapisan jaringan yang menutupi otak (meninges), menyebabkan leher
kaku serta sakit kepala terus, sering dengan muntah, pusing, dan nyeri pinggang.
Sekitar 25% dari orang yang mengalami gejala-gejala yang
mengindikasikan kerusakan pada bagian tertentu dari otak, seperti berikut:
- Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh (paling umum)
- Loss of sensation on one side of the body Kehilangan sensasi pada satu sisi
tubuh
- Difficulty understanding and using language (aphasiasee Brain Dysfunction:
Aphasia ) Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa
Gangguan berat dapat berkembang dan menjadi permanen dalam
beberapa menit atau jam. Demam adalah gejala umum selama 5 sampai 10 hari
pertama. Sebuah perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan beberapa masalah
serius lainnya, seperti: 4,8
- Hydrocephalus: Within 24 hours, the blood from a subarachnoid hemorrhage
may clot.Hydrocephalus: Dalam waktu 24 jam, darah dari perdarahan
subaraknoid dapat membeku. Darah beku dapat mencegah cairan di sekitar
otak (cairan serebrospinal) dari pengeringan seperti biasanya tidak. Akibatnya,
darah terakumulasi dalam otak, peningkatan tekanan dalam tengkorak.
Hydrocephalus mungkin akan menyebabkan gejala seperti sakit kepala,

90
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

mengantuk, kebingungan, mual, dan muntah-muntah dan dapat meningkatkan


risiko koma dan kematian.
- Vasospasme: Sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan itu, arteri di otak
dapat kontrak (kejang), membatasi aliran darah ke otak. Then, brain tissues
may not get enough oxygen and may die, as in ischemic strokKemudian,
jaringan otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup dan dapat mati, seperti
pada stroke iskemik. Vasospasm may cause symptoms similar to those of
ischemic stroke, such as weakness or loss of sensation on one side of the
body, difficulty using or understanding language, vertigo, and impaired
coordination.Vasospasm dapat menyebabkan gejala mirip dengan stroke
iskemik, seperti kelemahan atau hilangnya sensasi pada satu sisi tubuh,
kesulitan menggunakan atau memahami bahasa, vertigo, dan koordinasi
terganggu.
- A second rupture: Sometimes a second rupture occurs, usually within a
week.Pecah kedua: Kadang-kadang pecah kedua terjadi, biasanya dalam
seminggu.

H. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Stroke adalah suatu keadaan emergensi medis. Setiap orang yang diduga
mengalami stroke seharusnya segera dibawa ke fasilitas medis untuk evaluasi dan
terapi. Pertama-tama, dokter akan menanyakan riwayat medis pasien jika terdapat
tanda-tanda bahaya sebelumnya dan melakukan pemeriksaan fisik. Jika seseorang
telah diperiksa seorang dokter tertentu, akan menjadi ideal jika dokter tersebut ikut
berpartisipasi dalam penilaian. Pengetahuan sebelumnya tentang pasien tersebut
dapat meningkatkan ketepatan penilaian.
Hanya karena seseorang mempunyai gangguan bicara atau kelemahan
pada satu sisi tubuh tidaklah sinyal kejadian stroke. Terdapat banyak kemungkinan
lain yang mungkin bertanggung jawab untuk gejala ini. Kondisi lain yang dapat
serupa stroke meliputi:
- Tumor otak
- Abses otak
- Sakit kepala migrain
- Perdarahan otak baik secara spontan atau karena trauma
- Meningitis atau encephalitis
- Overdosis karena obat tertentu

91
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

- Ketidakseimbangan calcium atau glukosa dalam tubuh dapat juga


menyebabkan perubahan sistem saraf yang serupa dengan stroke.
Pada evaluasi stroke akut, banyak hal akan terjadi pada waktu yang sama.
Pada saat dokter mencari informasi riwayat pasien dan melakukan pemeriksaan
fisik, perawat akan mulai memonitor tanda-tanda vital pasien, melakukan tes darah
dan melakukan pemeriksaan EKG (elektrokardiogram).
Bagian dari pemeriksaan fisik yang menjadi standar adalah penggunaan
skala stroke. The American Heart Association telah mempublikasikan suatu
pedoman pemeriksaan sistem saraf untuk membantu penyedia perawatan
menentukan berat ringannya stroke dan apakah intervensi agresif mungkin
diperlukan.
Untuk membedakan stroke tersebut termasuk jenis hemoragis atau non
hemoragis. antara keduanya, dapat ditentukan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis neurologis, algoritma dan penilaian dengan skor stroke, dan
pemeriksaan penunjang.

I. Pemeriksaan Fisik
1. Anamnesis
Bila sudah ditetapkan sebagai penyebabnya adalah stroke, maka langkah
berikutnya adalah menetapkan stroke tersebut termasuk jenis yang mana,
stroke hemoragis atau stroke non hemoragis. Untuk keperluan tersebut,
pengambilan anamnesis harus dilakukan seteliti mungkin.Berdasarkan hasil
anamnesis, dapat ditentukan perbedaan antara keduanya, seperti tertulis pada
tabel di bawah ini.

Tabel Perbedaan Stroke Hemoragik dan Stroke Infark (Anamnesis)

92
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

2. Pemeriksaan Klinis Neurologis


Pada pemeriksaan ini dicari tanda-tanda (sign) yang muncul, bila
dibandingkan antara keduanya akan didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel Perbedaan Stroke Hemoragik dan Stroke Infark (Tanda-Tanda)

3. Algoritma dan penilaian dengan skor stroke.


Terdapat beberapa algoritma untuk membedakan stroke antara lain dengan:
a. Penetapan Jenis Stroke berdasarkan Algoritma Stroke Gadjah Mada

93
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Gambar Algoritma Stroke Gadjah Mada


b. Penetapan jenis stroke berdasarkan Siriraj Stroke Score
Tabel Siriraj Stroke Score (SSS)

Catatan : 1. SSS> 1 = Stroke hemoragik


2. SSS < -1 = Stroke non hemoragik

c. Pemeriksaan Penunjang
1) Computerized tomography (CT scan): untuk membantu
menentukan penyebab seorang terduga stroke, suatu pemeriksaan
sinar x khusus yang disebut CT scan otak sering dilakukan. Suatu CT
scan digunakan untuk mencari perdarahan atau massa di dalam otak,
situasi yang sangat berbeda dengan stroke yang memerlukan
penanganan yang berbeda pula.
CT Scan berguna untuk menentukan:
- jenis patologi
- lokasi lesi
- ukuran lesi
- menyingkirkan lesi non vaskuler
2) MRI scan: Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan
gelombang magnetik untuk membuat gambaran otak. Gambar yang
dihasilkan MRI jauh lebih detail jika dibandingkan dengan CT scan,
tetapi ini bukanlah pemeriksaan garis depan untuk stroke. Jika CT
scan dapat selesai dalam beberapa menit, MRI perlu waktu lebih dari
satu jam. MRI dapat dilakukan kemudian selama perawatan pasien
jika detail yang lebih baik diperlukan untuk pembuatan keputusan

94
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

medis lebih lanjut. Orang dengan peralatan medis tertentu (seperti,


pacemaker) atau metal lain di dalam tubuhnya, tidak dapat dijadikan
subyek pada daerah magneti kuat suatu MRI.
3) Metode lain teknologi MRI: suatu MRI scan dapat juga digunakan
untuk secara spesifik melihat pembuluh darah secara non invasif
(tanpa menggunakan pipa atau injeksi), suatu prosedur yang disebut
MRA (Magnetic Resonance Angiogram). Metode MRI lain disebut
dengan diffusion weighted imaging (DWI) ditawarkan di beberapa
pusat kesehatan. Teknik ini dapat mendeteksi area abnormal
beberapa menit setelah aliran darah ke bagian otak yang berhenti,
dimana MRI konvensional tidak dapat mendeteksi stroke sampai lebih
dari 6 jam dari saat terjadinya stroke, dan CT scan kadang-kadang
tidak dapat mendeteksi sampai 12-24 jam. Sekali lagi, ini bukanlah
test garis depan untuk mengevaluasi pasien stroke.
4) Computerized tomography dengan angiography: menggunakan
zat warna yang disuntikkan ke dalam vena di lengan, gambaran
pembuluh darah di otak dapat memberikan informasi tentang
aneurisma atau arteriovenous malformation. Seperti abnormalitas
aliran darah otak lainnya dapat dievaluasi dengan peningkatan
teknologi canggih, CT angiography menggeser angiogram
konvensional.
5) Conventional angiogram: suatu angiogram adalah tes lain yang
kadang-kadang digunakan untuk melihat pembuluh darah. Suatu pipa
kateter panjang dimasukkan ke dalam arteri (biasanya di area
selangkangan) dan zat warna diinjeksikan sementara foto sinar-x
secara bersamaan diambil. Meskipun angiogram memberikan
gambaran anatomi pembuluh darah yang paling detail, tetapi ini juga
merupakan prosedur yang invasif dan digunakan hanya jika benar-
benar diperlukan. Misalnya, angiogram dilakukan setelah perdarahan
jika sumber perdarahan perlu diketahui dengan pasti. Prosedur ini
juga kadang-kadang dilakukan untuk evaluasi yang akurat kondisi
arteri carotis ketika pembedahan untuk membuka sumbatan
pembuluh darah dipertimbangkan untuk dilakukan.
6) Carotid Doppler ultrasound: adalah suatu metode non-invasif
(tanpa injeksi atau penempatan pipa) yang menggunakan gelombang

95
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

suara untuk menampakkan penyempitan dan penurunan aliran darah


pada arteri carotis (arteri utama di leher yang mensuplai darah ke
otak).
7) Tes jantung: tes tertentu untuk mengevaluasi fungsi jantung sering
dilakukan pada pasien stroke untuk mencari sumber emboli.
Echocardiogram adalah tes dengan gelombang suara yang
dilakukan dengan menempatkan peralatan microphone pada dada
atau turun melalui esophagus (transesophageal achocardiogram)
untuk melihat bilik jantung. Monitor Holter sama dengan
electrocardiogram (EKG), tetapi elektrodanya tetap menempel pada
dada selama 24 jam atau lebih lama untuk mengidentifikasi irama
jantung yang abnormal.
8) Tes darah: tes darah seperti sedimentation rate dan C-reactive
protein yang dilakukan untuk mencari tanda peradangan yang dapat
memberi petunjuk adanya arteri yang mengalami peradangan.
Protein darah tertentu yang dapat meningkatkan peluang terjadinya
stroke karena pengentalan darah juga diukur. Tes ini dilakukan untuk
mengidentifikasi penyebab stroke yang dapat diterapi atau untuk
membantu mencegah perlukaan lebih lanjut. Tes darah screening
mencari infeksi potensial, anemia, fungsi ginjal dan abnormalitas
elektrolit mungkin juga perlu dipertimbangkan.

Tabel Perbedaan Jenis Stroke Dengan Menggunakan Alat Bantu.

96
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Tabel Gambaran CT-Scan Stroke Infark dan Stroke Hemoragik

Tabel Karakteristik MRI Pada Stroke Hemoragik Dan Stroke Infark

J. Pengobatan
Pengobatan terhadap stroke dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa tetap dianjurkan pada pasien stroke, misalnya:

97
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

a. Menjamin jalan napas


b. Pemberian oksigen
c. Pemberian cukup cairan, elektrolit dan nutrien
d. Pemberian hemostatika
e. Edema serebral yang terjadi di terapi dengan kortikosteroid, diuretik/manitol
f. Menjaga alimentasi tetap baik
g. Pemberian stimulasi SSP, dan antikonvulsan bila perlu
h. Pengendalian tekanan intrakranial
i. Pengobatan terhadap faktor risiko (hipertensi, diabetes melitus, dan lain-
lain)
j. Pemeberian antibiotik bila ada infeksi
k. Penanganan segera terhadap komplikasi yang terjadi
Pada kasus perdarahan intraserbral yang disebabkan oleh hipertensi,
penurunan tekanan arteri yang terlalu cepat harus dihindarkan karena
autoregulasi disekitar daerah yang mengalami perdarahan terganggu sehingga
perfusi yang sangat menurun akan menimbulkan iskemia jaringan, maka
penurunan tekanan darah sampai sistolik 140 mmHg dan diastolik 90 mmHg
atau tidak boleh lebih dari 20% MAP semula dengan antihipertensi parenteral
atau peroral bila mungkin.
Adanya edema diterapi dengan penggunaan zat hiperosmotik dan
hiperventilasi selain kortikosteroid. Abnormalitas koagulasi harus dikoreksi,
tergantung dari defisit koagulasinya, diberikan transfusi trombosit, vitamin K
dan FFP. Pada pasien dengan PIS sekunder karena pemakaian streptokinase,
urokinase atau tPA dg atau tanpa heparin, diberikan protamin dan asam amino
kaproik-epsilon.
2. Operasi
Pengobatan bedah saraf yang diletakkan secara integrasi dengan terapi
medikamentosa dalam pengelola pasien stroke memerlukan penilaian pasien
setiap saat secara kontinyu, guna mendapatkan hasil terapi yang maksimal.
Pertimbangan-pertimbangan tindakan bedah saraf meliputi usia, letak lesi,
tingkat kesadaran pasien, penampang dan besarnya hematoma, saat yang
tepat untuk tindakan operasi dan pemikiran-pemikiran indikasi kontra tindakan
bedah saraf tersebut.
Jenis-jenis operasi pada stroke hemoragik antara lain:
a. Kraniotomi

98
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Mayoritas ahli bedah saraf masih memilih kraniotomi untuk evakuasi


hematoma. Secara umum, ahli bedah lebih memilih melakukan operasi jika
perdarahan intraserebral terletak pada hemisfer nondominan, keadaan
pasien memburuk, dan jika bekuan terletak pada lobus dan superfisial
karena lebih mudah dan kompresi yang lebih besar mungkin dilakukan
dengan resiko yang lebih kecil. Beberapa ahli bedah memilih kraniotomi
luas untuk mempermudah dekompresi eksternal jika terdapat udem serebri
yang luas.
b. Endoskopi
Melalui penelitian Ayer dan kawan-kawan dikatakan bahwa evakuasi
hematoma melalui bantuan endoskopi memberikan hasil lebih baik. pada
laporan observasi lainnya penggunaan endoskopi dengan tuntunan
stereotaktik dan ultrasonografi memberikan hasil memuaskan dengan
evakuasi hematoma lebih sedikit (volume < 30 ml) namun teknik ini belum
banyak diaplikasikan dan validitasnya belum dibuktikan.
c. Aspirasi dengan bantuan USG
Hondo dan Lenan melaporkan keberhasilan penggunaan aspirator USG
pada aspirasi stereotaktik perdarahan intracerebral supratentorium, namun
prosedur ini masih diobservasi.
d. Trombolisis intracavitas
Blauw dan kawan-kawan melalui penelitian prospektif kecil meneliti pasien
perdarahan intraserebral supratentorial dengan memasukkan urokinase
pada kavitas serebri (perdarahan intraserebri) dan setelah menunggu
periode waktu tertentu kemudian melakukan aspirasi. Namun penelitian ini
dinyatakan tidak berpengaruh pada angka mortalitas, walaupun pada
beberapa pasien menunjukkan keberhasilan. Pasien perdarahan
intraserebral dengan ruptur menuju ke ventrikel drainase ventrikular
eksternal mungkin berguna. Namun cara ini belum melalui penelitian
prospektif luas dan patut dicatat bahwa melalui penelitian observasi
menunjukkan prognosis buruk.
Perdarahan intraserebral dan subarakhnoid biasanya dikaitkan dengan
adanya malformasi arterivenous (AVM). Jika lesi dapat terlihat maka
evakuasi perdarahan harus dilakukan sehingga perdarahan tidak terkontrol
dari AVM dapat diatasi. Apabila perdarahan intraserebral di terapi secara
konservatif biasanya ahli bedah saraf memilih menunggu 6-8 minggu

99
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

dahulu karena operasi dapat mencetuskan AVM yang terletak pada dinding
perdarahan intraserebral. Pilihan penanganan operatif pada AVM antara
lain: pengangkatan endovaskular, eksisi, stereotaxic radiosurgery, dan
kombinasi diantaranya.
1) Eksisi langsung AVM semakin berkembang dengan adanya mikroskop
operasi sehingga menurunkan resiko kecacatan dan kematian.
Komplikasi mayor eksisi langsung seperti kehilangan jaringan otak
normal beserta fungsi neurologisnya yang dikenal dengan breakthrough
phenomenon.
2) Pengangkatan endovaskular menggunakan teknik embolisasi dapat
dilakukan sebelum ataupun saat berlangsungnya operasi. Penanganan
ini berguna untuk lesi yang tidak dapat terjangkau melalui operasi
ataupun tambahan pengangkatan pada operasi. Komplikasi yang dapat
berkembang yaitu perdarahan,iskemik, dan angionekrosis karena
toksisitas materi emboli.
3) Radioterapi, teknik ini menggunakan energi tinggi x-ray, gamma, dan
proton menginduksi deposisi kolagen subendotelial dan substansi hialin
yang menyempitkan lumen pembuluh darah kecil dan mengerutkan
AVM dalam beberapa bulan setelah terapi. komplikasi cara ini berupa
radionekrosis jaringan otak normal, perdarahan, hidrosefalus, kejang
post terapi, kehilangan regulasi temperatur, defisit fungsi kongnitif.

K. Prognosis
Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi
serta ukuran dari perdarahan. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah
berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi.
Apabila terdapat volume darah yang besar dan pertumbuhan dari volume
hematoma, prognosis biasanya buruk dan outcome fungsionalnya juga sangat
buruk dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Adanya darah dalam ventrikel bisa
meningkatkan resiko kematian dua kali lipat. Pasien yang menggunakan
antikoagulasi oral yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral juga
memiliki outcome fungsional yang buruk dan tingkat mortilitas yang tinggi.
Diperkirakan pada perdarahan intraserebral mortalitasnya 26-50%,
meningkat terutama pada perdarahan thalamus dan serebral yang diameternya
>3cm, dan pada perdarahan pons yang lebih dari 1 cm. Pada pasien dengan

100
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

penurunan kesadaran maka mortalitasnya 63%. Pada beberapa literatur


menyebutkan, pada pasien dengan ukuran perdarahan kurang dari 1 lobus maka
disebut perdarahan kecil, dan perdarahan besar bila ukurannya lebih dari 1 lobus.
Pada pasien dengan GCS saat masuk >9, perdarahan kecil dan tekanan nadi < 40
mmHg, maka probabilitas hidupnya 98%. Tapi pada pasien dengan GCS saat
masuk 3 atau koma, perdarahan besar dan tekanan nadinya >65 mmHg, maka
probabilitas hidupnya 8%.

L. Pencegahan
Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya memperbaiki gaya hidup
dan mengatasi berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat
maupun kelompok risiko tinggi yang berlum pernah terserang stroke. Beberapa
pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
- Mengatur pola makan yang sehat
- Melakukan olah raga yang teratur
- Menghentikan rokok
- Menghindari minum alkohol dan penyalahgunaan obat
- Memelihara berat badan yang layak
- Perhatikan pemakaian kontrasepsi oral bagi yang beresiko tinggi
- Penanganan stres dan beristirahat yang cukup
- Pemeriksaan kesehatan teratur dan taat advis dokter dalam hal diet dan obat
- Pemakaian antiplatelet
Pada pencehagan sekunder stroke, yang harus dilakukan adalah
pengendalian faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, dan pengendalian faktor
risiko yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, diabetes mellitus, riwayat TIA,
dislipidemia, dan sebagainya.

Referensi:
Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline
Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia:
Jakarta, 2007
Nasissi, Denise. Hemorrhagic Stroke Emedicine. 2010. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview (diakses februari 2015).
Silbernagl S, Florian, Lang. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC: Jakarta, 2007.
MERCK, 2007. Hemorrhagic Stroke. Diunduh dari:
http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch086/ch086d.html (diakses februari 2015).
Setyopranoto, Ismail. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. Continuing Medical
Education. FK UGM. Yogyakarta; 2011; 247-50.

101
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER BASIC TRAUMA LIFE


SUPPORT

12
Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak berbeda
dengan pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa, pengkajian dan
manajemen penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan dilakukan oleh
dokter yang lebih dari satu. Seorang leader tim harus langsung memberikan
pengarahan secara keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap pasien yang
mengalami injuri, yang meliputi (Fulde, 2009):
A. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan
manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang
dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009):
Airway maintenance dengan cervical spine protection
Breathing dan oxygenation
Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
Disability-pemeriksaan neurologis singkat
Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey
bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah
berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan
berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai
sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway,
circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu
dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey
perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen.

102
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian
diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang
melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert,
DSouza & Pletz, 2009):
1. General Impressions
Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
2. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa
responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada
atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara
dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang
tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang
belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi
cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering
disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson &
Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
Adanya snoring atau gurgling
Stridor atau suara napas tidak normal
Agitasi (hipoksia)
Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
Sianosis
Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
Muntahan
Perdarahan
Gigi lepas atau hilang
Gigi palsu
Trauma wajah

103
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi :
Chin lift/jaw thrust
Lakukan suction (jika tersedia)
Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
Lakukan intubasi
3. Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan
nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien
tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah:
dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open
chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi
pasien.
Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-
tanda sebagai berikut: cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking
chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
Palpasi untuk adanya: pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks.
Auskultasi untuk adanya: suara abnormal pada dada.
Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut
mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
Penilaian kembali status mental pasien.
Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
oksigenasi:
Pemberian terapi oksigen
Bag-Valve Masker

104
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang


benar), jika diindikasikan
Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway
procedures
Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan
berikan terapi sesuai kebutuhan.
4. Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan
oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada
trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia,
takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan
penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda
hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk
mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk
melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin
membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac
tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan
eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara
memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara
lain:
Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian
penekanan secara langsung.
Palpasi nadi radial jika diperlukan:
Menentukan ada atau tidaknya
Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
Regularity
Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill).
Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
5. Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :

105
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah


yang diberikan
V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak
bisa
dimengerti
P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika
ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
6. Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika
pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line
penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada
punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada
pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal.
Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan
selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan
ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang
mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien
luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak
stabil atau kritis (Gilbert., DSouza & Pletz, 2009)

106
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Alur Primary Survey pada Pasien Medical Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care
Council, 2012) :

107
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

B. Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya
dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok
atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007).
Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien,
jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien
yang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau
orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus
lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin
diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera
wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat SAMPLE yang bisa didapat dari
pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis,
atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit
yang pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan
obat-obatan herbal)

108
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,


dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode
menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan
dengan kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol,
dapat digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing
Association, 2007):
C. have you ever felt should Cut down your drinking?
A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?
G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver
or get rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah
konsumsi alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan
dalam proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain:
dalam setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu (Emergency Nursing
Association, 2007):
Hurt you physically?
Insulted or talked down to you?
Threathened you with physical harm?
Screamed or cursed you?
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang
meliputi :
Provokes/palliates: apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang
anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun
saat tidur?
Quality: bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris,
tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan
pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?

109
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Severity: seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak
ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
Time: kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa
lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah
pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan
nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah
pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi
nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.

Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut
Emergency Nurses Association,(2007).
Komponen Nilai normal Keterangan
Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral, aksila, dan rectal.
Untuk mengukur suhu inti menggunakan
kateter arteri pulmonal, kateter urin,
esophageal probe, atau monitor tekanan
intracranial dengan pengukur suhu. Suhu
dipengaruhi oleh aktivitas, pengaruh
lingkungan, kondisi penyakit, infeksi dan
injury.
Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi perlu dievaluais
irama jantung, frekuensi, kualitas dan
kesamaan.
Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi meliputi frekuensi,
auskultasi suara nafas, dan inspeksi dari
usaha bernafas. Tada dari peningkatan usah
abernafas adalah adanya pernafasan cuping
hidung, retraksi interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat penuh.
Saturasi >95% Saturasi oksigen di monitor melalui oksimetri
oksigen nadi, dan hal ini penting bagi pasien dengan
gangguan respirasi, penurunan kesadaran,
penyakit serius dan tanda vital yang
abnormal. Pengukurna dapat dilakukan di jari
tangan atau kaki.
Tekanan 120/80mmHg Tekana darah mewakili dari gambaran
darah kontraktilitas jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan tahanan vaskuler
perifer. Tekanan sistolik menunjukkan
cardiac output, seberapa besar dan seberapa
kuat darah itu dipompakan. Tekanan diastolic
menunjukkan fungsi tahanan vaskuler perifer.
Berat badan Berat badan penting diketahui di UGD karena
berhubungan dengan keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam pemberian

110
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

antikoagulan, vasopressor, dan medikasi lain


yang tergantung dengan berat badan.

2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada pasien yang
datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari
bagian belakang kepala pasien. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh
kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio,
fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit
kepala (Delp & Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan
dan kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa
mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan
mata selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor
GCS.
1) Mata : Periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran
pupil apakah isokor atau anisokor serta
bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil
mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus,
ketajaman mata (macies visus dan acies
campus), apakah konjungtivanya anemis atau
adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis,
exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta
diplopia
2) Hidung : Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri,
penyumbatan penciuman, apabila ada deformitas
(pembengkokan) lakukan palpasi akan
kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
3) Telinga : Periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan,
penurunan atau hilangnya pendengaran, periksa
dengan senter mengenai keutuhan membrane
timpani atau adanya hemotimpanum
4) Rahang atas : Periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah : Periksa akan adanya fraktur

111
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

6) Mulut dan faring : Inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur,


warna, kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah
tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah tosil
meradang, pegang dan tekan daerah pipi
kemudian rasakan apa ada massa/ tumor,
pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati
adanya tonsil meradang atau tidak
(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri
c. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau
krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia
(kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul
atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan
adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea,
kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris
dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol
perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder..
d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam
, ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan,
kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot
pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah
terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung,
(lombardo, 2005)
Palpasi : Seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : Untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : Suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales)
dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya
pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur
vertebra dengan kelumpuhan (pasien tidak sadar akan nyeri perutnya dan
gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen

112
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan
adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet,
memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka ,
dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan,
nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan
atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas
yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra
abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal
lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen
misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera
karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan
transfer pasien ke ruang operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan pasien akan
masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi
pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim
YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam,
lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur
harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan
kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya
fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada
wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam
vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan
jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh
memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan
pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika
terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada
fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika
pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar dengan
Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang
dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih
harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil,

113
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

frekuensi, hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel urin harus


diperoleh untuk analisis (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi,
jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur
terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi
distal dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas
fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam
ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin
luput terdiagnosis pada pasien dengan penurunan kesadaran atau
kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan,
edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis,
atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya
clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik
kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular.
Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai
fraktur.kerusakn ligament dapat menyebabakan sendi menjadi tidak stabil,
keruskan otot-tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi
dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan oleh
syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal
pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin
menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya
dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak
lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung pasien.
Permasalahan yang muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga
terjadi syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi pasien dalam
keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah
kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah
pasien mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

114
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll,
memiringkan pasien dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat
ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010).
Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi,
dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya
deformitas.
i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik.
Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS.
Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis
atau saraf perifer. Imobilisasi pasien dengan short atau long spine board,
kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada
fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan
fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga pasien masih
dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh
pasien memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan
konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran pasien, karena
merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan
kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi
oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan
epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat
RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching,
parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia (
kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji
pula adanya vertigo dan respon sensori

C. Focused Assessment
Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian
pada area keperawatan gawat darurat yang dilakukan setelah primary survey,
secondary survey, anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan
pemeriksaan obyektif (Head to toe). Di beberapa negara bagian Australia
mengembangkan focused assessment ini dalam pelayanan di Emergency

115
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA dan beberapa Negara Eropa
tidak menggunakan istilah Focused Assessment tetapi dengan istilah Definitive
Assessment.
Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa
dilakukan sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan.
Yang paling banyak dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa pemeriksaan
penunjang diagnostik atau bahkan dilakukan pemeriksaan ulangan dengan tujuan
segera dapat dilakukan tindakan definitif.

D. Reassessment
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali
(reassessment) yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di
gawat darurat adalah:
Komponen Pertimbangan
Airway Pastikan bahwa peralatan airway: Oro Pharyngeal
Airway, Laryngeal Mask Airway, maupun Endotracheal
Tube (salah satu dari peralatan airway) tetap efektif
untuk menjamin kelancaran jalan napas.
Pertimbangkan penggunaaan peralatan dengan
manfaat yang optimal dengan risiko yang minimal.

Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan pasien :


Pemeriksaan definitive rongga dada dengan
rontgen foto thoraks, untuk meyakinkan ada
tidaknya masalah seperti Tension pneumothoraks,
hematotoraks atau trauma thoraks yang lain yang
bisa mengakibatkan oksigenasi tidak adekuat
Penggunaan ventilator mekanik
Circulation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin perfusi
jaringan khususnya organ vital tetap terjaga,
hemodinamik tetap termonitor serta menjamin tidak
terjadi over hidrasi pada saat penanganan
resusitasicairan.
Pemasangan cateter vena central
Pemeriksaan analisa gas darah
Balance cairan
Pemasangan kateter urin
Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary survey, perlu
didukung dengan :
Pemeriksaan spesifik neurologic yang lain seperti
reflex patologis, deficit neurologi, pemeriksaan
persepsi sensori dan pemeriksaan yang lainnya.
CT scan kepala, atau MRI
Exposure Konfirmasi hasil data primary survey dengan
Rontgen foto pada daerah yang mungkin dicurigai

116
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

trauma atau fraktur


USG abdomen atau pelvis

E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika
pasien dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam melakukan
secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih
spesifik seperti:
1. Endoskopi
Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien
dengan perdarahan dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi kita
bisa mengetahui perdarahan yang terjadi organ dalam. Pemeriksaan
endoskopi dapat mendeteksi lebih dari 95% pasien dengan hemetemesis,
melena atau hematemesis melena dapat ditentukan lokasi perdarahan dan
penyebab perdarahannya. Lokasi dan sumber perdarahan yaitu:
a. Esofagus: Varises,erosi,ulkus,tumor
b. Gaster: Erosi, ulkus, tumor, polip, angio displasia, Dilafeuy, varises
gastropati kongestif
c. Duodenum: Ulkus, erosi,
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena
ruptur varises dan perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding
dan non variceal bleeding) (Djumhana, 2011).
2. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan
intra bronkus dengan menggunakan alat bronkoskop. Prosedur diagnostik
dengan bronkoskop ini dapat menilai lebih baik pada mukosa saluran napas
normal, hiperemis atau lesi infiltrat yang memperlihatkan mukosa yang
compang-camping. Teknik ini juga dapat menilai penyempitan atau obstruksi
akibat kompresi dari luar atau masa intrabronkial, tumor intra bronkus.
Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar getah
bening, yaitu dengan menilai karena yang terlihat tumpul akibat pembesaran
kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus (Parhusip, 2004).
3. CT Scan
CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-kasus
emergensi seperti emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis

117
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

trauma dan menentukan tingkatan dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-scan
dapat menentukan dan memisahkan antara jaringan otak yang infark dan
daerah penumbra. Selain itu, alat ini bagus juga untuk menilai kalsifikasi
jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir, CT-scan dapat mendeteksi
lebih dari 90 % kasus stroke iskemik, dan menjadi baku emas dalam
diagnosis stroke (Widjaya, 2002). Pemeriksaaan CT. scan juga dapat
mendeteksi kelainan-kelainan seerti perdarahan diotak, tumor otak, kelainan-
kelainan tulang dan kelainan dirongga dada dan rongga perur dan khususnya
kelainan pembuluh darah, jantung (koroner), dan pembuluh darah umumnya
(seperti penyempitan darah dan ginjal (ishak, 2012).
4. USG
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik non invasif menggunakan
gelombang suara dengan frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz)
untuk menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat
mendengar gelombang suara 20-20.000 hertz .Gelombang suara antara 2,5
sampai dengan 14 kilohertz digunakan untuk diagnostik. Gelombang suara
dikirim melalui suatu alat yang disebut transducer atau probe. Obyek didalam
tubuh akan memantulkan kembali gelombang suara yang kemudian akan
ditangkap oleh suatu sensor, gelombang pantul tersebut akan direkam,
dianalisis dan ditayangkan di layar. Daerah yang tercakup tergantung dari
rancangan alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat menayangkan suatu
obyek dengan gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan berwarna. USG
bisa dilakukan pada abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa, Syaharudin, 2011)
5. Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang
dilakukan di ruang gawat darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum
elektromagnetik yang dipancarkan akibat pengeboman anoda wolfram oleh
electron-elektron bebas dari suatu katoda. Film polos dihasilkan oleh
pergerakan electron-elektron tersebut melintasi pasien dan menampilkan film
radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian besar radiasi menyebabkan
pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang dihasilkan tampak
berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap radiasi, meyebabakan pejanan
pada film maksimal sehingga film nampak berwarna hitam. Diantara kedua
keadaan ekstrem ini, penyerapan jaringan sangat berbeda-beda
menghasilkan citra dalam skala abu-abu. Radiologi bermanfaat untuk dada,

118
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

abdoment, sistem tulang: trauma, tulang belakang, sendi penyakit


degenerative, metabolic dan metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi
penggunaannya dalam membantu diagnosis meningkat. Sebagian kegiatan
seharian di departemen radiologi adalah pemeriksaan foto toraks. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan ini. Ini karena pemeriksaan ini
relatif lebih cepat, lebih murah dan mudah dilakukan berbanding pemeriksaan
lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak, 2012).
6. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Secara umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga dapat
digunakan pada kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat
mendeteksi adanya emboli paru, udara bebas dalam peritoneum dan faktor.
Kelemahan lainnya adalah prosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih
lama, hanya sedikit sekali rumah sakit yang memiliki, harga pemeriksaan
yang sangat mahal serta tidak dapat diapaki pada pasien yang memakai alat
pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran (Widjaya, 2002).

Referensi:
Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing
assessment process: a structured framedwork for a systematic approach.
Australasian Emergency Nursing Journal, 12; 130-136
Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life Support and
Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118
Emergency Nurses Association (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th
edition. St. Louis Missouri : Elsevier Mosby.
Fulde, Gordian. (2009). Emergency medicine 5th edition. Australia : Elsevier.
Gilbert, Gregory., DSouza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine
medical care primary and secondary survey. San Mateo County EMS Agency.
Gindhi, R.M., Cohen, R.A., dan Kirzinger, W.K. (2012). Emergency room use among
aults aged 18-64: early release of estimates from the national health interview
survey, January-June 2011. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.cdc.gov/nchs/data/nhis/earlyrelease/emergency_room_use_january-
june_2011.pdf

119
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER TRAUMA SCORE

13
Jika nilai anatomis menilai komponen cedera yang statis, nilai fisiologis menilai
komponen dinamis yang akut, sistem penilaian fisiologis yang sering digunakan adalah
(Clarkson, 2012). :
A. Glasgow Coma Score
Glasgow Coma Score (GCS) adalah skala neurologis yang bertujuan untuk
memberikan cara yang andal dan obyektif untuk merekam keadaan sadar
seseorang untuk penilaian awal maupun penilaian selanjutnya. Seorang pasien
dinilai berdasarkan kriteria skala, dan poin yang dihasilkan memberi skor pasien
antara 3 (menunjukkan ketidaksadaran dalam) dan 14 (skala asli) atau 15 (skala
modifikasi atau revisi yang lebih banyak digunakan) (Green, 2011).
GCS pada awalnya digunakan untuk menilai tingkat kesadaran setelah
cedera kepala , dan skala sekarang digunakan oleh responden pertama , EMS ,
perawat dan dokter yang berlaku untuk semua pasien medis dan trauma akut. Di
rumah sakit juga digunakan untuk memantau pasien kronis dalam perawatan
intensif (Iver dkk, 2009)
GCS diterbitkan pada tahun 1974 oleh Graham Teasdale dan Bryan J.
Jennett , profesor bedah saraf di Institut Ilmu Neurologis Universitas Glasgow di
Rumah Sakit Umum Selatan kota tersebut (Iver dkk, 2009).
GCS digunakan sebagai bagian dari beberapa sistem penilaian ICU,
termasuk APACHE II , SAPS II , dan SOFA , untuk menilai status sistem saraf
pusat , seperti yang dirancang untuknya. Indikasi awal penggunaan GCS adalah
penilaian serial pasien dengan cedera otak traumatis dan koma setidaknya 6 jam di
setting ICU bedah saraf, meskipun biasanya digunakan di seluruh departemen
rumah sakit (Green, 2011).

120
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

1. Respon mata (E)


Ada empat kelas yang dimulai dengan yang paling parah:
a. Tidak membuka mata
b. Pembukaan mata sebagai respons terhadap stimulus nyeri . (Stimulus nyeri
perifer, seperti meremas area lunula kuku jari pasien lebih efektif daripada
stimulus sentral seperti perancah trapezius, karena efek meringis).
c. Eye opening to speech. (Jangan sampai bingung dengan terbangunnya
orang yang sedang tidur; pasien tersebut mendapat skor 4, bukan 3.)
d. Mata terbuka secara spontan
2. Respon verbal (V)
Ada lima kelas yang dimulai dengan yang paling parah:
a. Tidak ada tanggapan verbal
b. Suara yang tidak bisa dimengerti (Moaning tapi tidak ada kata-kata.)
c. Kata-kata yang tidak tepat (Ucapan yang diucapkan secara acak atau seru,
tapi tidak ada pertukaran percakapan. Ucapkan kata-kata tapi tidak ada
kalimat.)
d. Bingung (Pasien menanggapi pertanyaan secara koheren namun ada
beberapa disorientasi dan kebingungan.)

121
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

e. Berorientasi (Pasien merespons secara koheren dan tepat terhadap


pertanyaan seperti nama dan usia pasien, di mana mereka berada dan
mengapa, tahun, bulan, dll.)
3. Respon Motorik (M)
Ada enam nilai:
1. Tidak ada respon motorik
2. Sikap decerebrata yang ditekankan oleh rasa sakit (respons ekstensor:
penambahan lengan, rotasi bahu internal, pronasi lengan bawah dan
ekstensi pada siku, fleksi pergelangan tangan dan jari, ekstensi kaki,
plantarflexion kaki)
3. Sikap dekoratif ditekankan oleh rasa sakit (respon fleksor: rotasi internal
bahu, fleksi lengan bawah dan pergelangan tangan dengan tinju mengepal,
ekstensi kaki, plantarflexion kaki)
4. Penarikan rasa sakit (tidak adanya postur tubuh yang abnormal; tidak
mampu mengangkat dagu tangan dengan nyeri supraorbital namun menarik
diri saat kuku terjepit)
5. Melokalisasi rasa sakit (Gerakan sadar terhadap rangsangan yang
menyakitkan; misalnya, membawa tangan melampaui dagu saat tekanan
supraorbital diterapkan.)
6. Perintah Obeys (Pasien melakukan hal-hal sederhana seperti yang diminta.)

B. Revised Trauma Score


Diperkenalkan oleh Champion, et al, (1983), sistem ini paling banyak
digunakan sebagai sistem penilaian fisiologis. Sistem ini menggabungkan nilai
GCS dengan laju respirasi dan tekanan darah sistolik.
RTS lebih sensitif daripada TS, terdapat dua tipe, untuk triase dan
penelitian. RTS triase digunakan sebagai instrumen tenaga kesehatan pra-rumah
sakit untuk membantu memutuskan apakah pasien trauma harus dibawa ke
fasilitas pelayanan primer atau ke pusat trauma. Untuk tenaga kesehatan rumah
sakit, RTS membantu memutuskan tingkat respons yang diaktifkan.
Skor Trauma Revisi terdiri dari tiga kategori: Skala Koma Glasgow , tekanan
darah sistolik , dan laju pernafasan. Rentang skor adalah 0-12. Dalam START
triase , pasien dengan skor RTS 12 diberi label tertunda, 11 mendesak, dan 3-10
segera terjadi. Mereka yang memiliki RTS di bawah 3 dinyatakan meninggal dan

122
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

seharusnya tidak mendapat perawatan tertentu karena mereka sangat tidak


mungkin bertahan tanpa sumber daya yang signifikan(Taber,dkk, 2009).
Ketiga skor ini (Skala Koma Glasgow, Darah Sistolik, Respirasi Tekanan)
kemudian digunakan untuk menghitung jumlah tertimbang RTS = 0,9368 GCS +
0,7326 SBP + 0,2908 RR. Nilai untuk RTS berada pada kisaran 0 sampai 7.8408.
RTS sangat tertimbang terhadap Skala Koma Glasgow untuk mengkompensasi
cedera kepala mayor tanpa cedera multisistem atau perubahan fisiologis utama.
Ambang RTS <4 telah diusulkan untuk mengidentifikasi pasien yang harus dirawat
di pusat trauma, walaupun nilai ini mungkin agak rendah (Taber,dkk, 2009).

C. Triage Revised Trauma Score


T-RTS saat ini digunakan oleh petugas ambulans untuk memilih fasilitas
rumah sakit yang paling sesuai berdasarkan tingkat keparahan trauma. Selain itu,
ini adalah prediktor independen kematian di rumah sakit (Talmor, 2007).
Trauma triase adalah penggunaan penilaian trauma untuk memprioritaskan
pasien untuk perawatan atau transportasi sesuai dengan tingkat keparahan cedera
mereka. Triase primer dilakukan di tempat kejadian kecelakaan dan triase
sekunder di stasiun pemiluk korban di lokasi kejadian besar. Triase diulang
sebelum dipindahkan dari tempat kejadian dan lagi di rumah sakit penerima
(Talmor, 2007).
Survei utama bertujuan untuk mengidentifikasi dan segera mengobati luka
yang mengancam jiwa dan didasarkan pada sistem resusitasi ABCDE:
1. Airway terkontrol dengan stabilisasi tulang belakang servikal.
2. Breathing.
3. Circulation (termasuk pengendalian perdarahan eksternal)
4. Disability atau status neurologis.

123
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

5. Exposure atau menanggalkan pakaian pasien sekaligus melindungi pasien dari


hipotermia.
Prioritas kemudian diberikan kepada pasien yang paling mungkin
memburuk secara klinis dan triase memperhitungkan tanda-tanda vital, jalur klinis
pra-rumah sakit, mekanisme cedera dan kondisi medis lainnya. Bobot adalah
proses yang dinamis dan pasien harus dievaluasi ulang sesering mungkin, berikut
ini adalah satu contoh Saringan triase yang digunakan di Inggris:
1. Prioritas 1 (P1) atau Triage 1 (T1): perawatan segera diperlukan - memerlukan
intervensi penghematan hidup segera. Kode warna merah.
2. P2 atau T2: perawatan darurat menengah atau mendesak - memerlukan
intervensi signifikan dalam waktu dua sampai empat jam. Kode warna kuning.
3. P3 atau T3: perawatan tertunda - memerlukan perawatan medis, namun ini
bisa dengan aman ditunda. Kode warna hijau.
4. Mati adalah klasifikasi keempat dan penting untuk mencegah pengeluaran
sumber daya terbatas pada mereka yang berada di luar bantuan. Kode warna
hitam.
Sistem triase paling sering digunakan setelah kejadian trauma namun
mungkin diperlukan pada situasi lain, seperti wabah influenza. Setelah sumber
daya lebih lanjut tersedia, pasien akan menjalani triase lebih lanjut, lebih rinci
berdasarkan tanda vital - misalnya, tingkat pernapasan. Salah satu skor tersebut
disebut Skor Trauma Revisi (Talmor, 2007).

124
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

D. PTS
Pediatric Trauma Score (PTS) telah dikembangkan menjadi enam komponen.
Mortalitas meningkat hingga 30% untuk pasien dengan PTS 8. Panduan triase
PTS menyarankan anak dengan PTS 8 harus dikirim ke pusat trauma. PTS
merupakan sistem penilaian yang baik tetapi tidak lebih baik dari RTS.
PTS dikembangkan untuk mencerminkan kerentanan anak-anak terhadap cedera
traumatis. Ini menekankan pentingnya berat dan jalan napas anak. Beberapa
penelitian telah mengkonfirmasi bahwa PTS adalah alat yang valid dalam
memprediksi angka kematian anak yang mengalami trauma (Ozoilo, 2012).
1. Skor minimalnya adalah -6
2. skor maksimal adalah +12.

Trauma Score Pediatric +2 +1 -1


Berat > 20 kg (44 10-20 kg (22- <10 kg (22 lbs.)
lbs.) 44 lbs.)
Jalan Nafas Paten Dapat Tidak bisa
dipelihara dipungkiri
Sistolik B / P > 90 mm Hg 50-90 mmHg <50 mm Hg
Sistem Saraf Pusat Bangun + LOC Tidak responsif
Fraktur Tidak Ada Tertutup atau Beberapa tertutup
tersangka atau terbuka
Luka Tidak Ada Minor Mayor, tembus
atau luka bakar

Referensi:
Green SM (2011). "Cheerio, Laddie Menyukai Perpisahan dengan Skala Koma
Glasgow". Annals of Emergency Medicine . 58 (5): 427-430. PMID 21803447 .
Doi : 10.1016 / j.annemergmed.2011.06.009.
Iver, VN; Mandrekar, JN; Danielson, RD; Zubkov, AY; Elmer, JL; Wijdicks, EF (2009).
"Validitas skor EMPAT skor koma di unit perawatan intensif medis." . Mayo Clinic
Prosiding . 84 (8): 694-701. PMC 2719522. PMID 19648386 Doi : 10.4065 /
84.8.694
Ozoilo KN. Measurement of the magnitude of injury: A review of the trauma scoring
systems. Jos J Med. 2012; 6(2): 19-26.
Taber, Clarence Wilbur; Venes, Donald (2009). Kamus medis siklopik Taber . F a
Davis Co. hal. 2366. ISBN 0-8036-1559-0
Talmor D, Jones AE, Rubinson L, dkk (2007). Sistem penilaian triase sederhana yang
memprediksi kematian dan kebutuhan akan sumber perawatan kritis untuk
digunakan selama epidemi. Crit Care Med.(5) : 1251-6.

125
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER TRAUMA KEPALA

14
A. Pendahuluan
Cedera otak traumatika masih merupakan penyebab kematian dan
kecacatan tertinggi pada kelompok umur dibawah 40 tahun, sehingga menjadi
masalah utama dalam bidang kesehatan masyarakat dan sosial-ekonomi. Cedera
otak traumatika, pada tahun 2020 akan menjadi penyebab kematian dan kecacatan
terbanyak di dunia melebihi penyakit-penyakit yang lain. Meskipun insidensi cedera
otak traumatika di negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara, Jepang dan
Australia terus mengalami penurunan, namun insidensinya mengalami kenaikan di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Peningkatan ini erat hubungannya dengan meningkatnya industrialisasi dan
pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor. Di USA kejadian cedera otak
traumatika setiap tahun diperkirakan mencapai 500.000 kasus, dan 10%
diantaranya meninggal sebelum sampai di rumah sakit. Delapanpuluh persen dari
pasien yang sampai di rumah sakit dikelompokkan sebagai cedera otak traumatika
ringan, 10% termasuk cedera otak traumatika sedang dan 10% sisanya adalah
cedera otak traumatika berat. Lebih dari 100.000 orang, menderita berbagai tingkat
kecacatan akibat cedera otak traumatika setiap tahunnya di USA.
Penyebab terjadinya cedera kepala termasuk kecelakaan lalulintas,
kekerasan/pemukulan, jatuh, cedera olahraga, dan kecelakaan industri. Beragam
faktor mempengaruhi terjadinya cedera kepala serius. Sebagai contoh, intoksikasi
alkohol terlibat pada setangah dari semua kasus fatal dalam kecelakaan lalu-lintas.
Pada sisi lain, mengurangi batas kecepatan pada jalur bebas hambatan,
menggunakan sabuk pengaman, dan menggunakan pelindung kepala/helm untuk

126
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

pengendara bermotor dan pekerja industri telah mengurangi jumlah kecelakaan


serius. Tetapi, sangat disayangkan, masyarakat menolak menggunakan alat-alat
pengaman atau menerapkan langkah-langkah keamanan.
Jika morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh cedera kepala harus
dikurangi, maka sangat penting bagi semua dokter untuk memahami aspek-aspek
patofisiologi cedera kepala dan penatalaksanaan yang tepat untuk cedera kepala,
tulang tengkorak dan otak.

B. Definisi
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan
(accelerasi-decelerasi ) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta
notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan

C. Pafosisiologi
1. Cedera kulit kepala
Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah
bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan tempat masuknya
infeksi intrakranial. Trauma dapat menimbulkan abrasi, kontisio, laserasi atau
avulsi.
2. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan
oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya
fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat.
Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka
dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial
menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan yang kurang
akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar
tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi
tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari
hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur
dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung.
3. Cidera otak

127
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Kejadian cedera Minor dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak


tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang
bermakna sel-sel cerebral membutuhkan supalai darah terus menerus untuk
memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat
diakibatkan karena darah yang mengalir tanpa henti hanya beberapa menit saja
dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.
4. Komosio
Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah kehilangan fase neuologik
sementara tanpa kerusakan struktur. Jika jaringan otak dan lobus frontal
terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku yang aneh dimana keterlibatan
lobus temporal dapat menimbulkan amnesia disoreantasi.
5. Kontusio
Kontusio cerebral merupakan CKB, dimana otak mengalami memar dan
kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak
sadarkan diri. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah,
pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.
6. Hemoragi cranial
Hematoma (pengumpulan darah) yang terjadi dalam tubuh kranial adalah
akibat paling serius dari cedera kepala. Ada 3 macam hematoma:
a. Hematoma Epidural (hematoma Ekstradural)
Setelah terjadi cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural
(ekstradural) diantara tengkorak di dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari
fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningkat tengah putus
atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara dura dan tengkorak
daerah frontal inferior menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena
arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.
b. Hematoma subdural
Hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar
otak, yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi sub dural lebih
sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah
kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi
akut, sub akut atau kronik tergantung pada ukuran pembuluh darah yang
terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma subdural akut:
dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kkontusio atau
laserasi. Hematoma subdural subakut: sekrela kontusio sedikit berat dan

128
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

dicurigai pada bagian yang gagal untuk menaikkan kesadaran setelah


trauma kepala. Hematoma subdural kronik: dapat terjadi karena cedera
kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia. Lansia cenderung
mengalami cedera tipe ini karena atrofi otak, yang diperkirakan akibat
proses penuaan.
c. Hemoragi Intra cerebral dan hematoma
Hematoma intracerebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak.
Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan
mendesak kepala sampai daerah kecil. Hemoragi in didalam menyebabkan
degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantong aneorima vasculer,
tumor infracamal, penyebab sistemik gangguan perdarahan.
Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis cedera otak
meliputi:
1. Gangguan kesadaran
2. Konfusi
3. Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan
4. Tiba-tiba defisit neurologik
5. Perubahan TTV
6. Gangguan penglihatan
7. Disfungsi sensorik
8. Lemah otak

D. Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam 3 deskripsi:
1. Mekanisme Cedera
Mekanisme cedera kepala dibagi:
a. Cedera kepala tumpul, berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh
atau pukulana benda tumpul
b. Cedera kepala tembus, disebabkan oleh peluru atau tusukan
Adanya penetrasi selaput dura menentukan suatu cedera tembus atau
cedera tumpul.
2. Beratnya Cedera
GCS (Glasgow Coma Scale), untuk menilai secara kuantitatif kelainan
neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya cedera kepala.

129
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Dan digunakan juga untuk menilai tingkat kesadaran pasien akibat penyebab
lain.
3. Morfologis Cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi:
a. Fraktur Kranium
Dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis atau
bintang dan dapat pula terbuka dan tertutup
Fraktur kranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan
antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput
dura
b. Lesi Intrakranial
1) Lesi intarkranial diklasifikasikan dalam Epidural Hematoma
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater
akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri meningeal
media yang terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat
menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. Dapat terjadi dalam
beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus
temporalis dan parietalis.
Gejala-gejala yang terjadi:
Penurunan tingkat kesadaran, Nyeri kepala, Muntah, Hemiparesis,
Dilatasi pupil ipsilateral, Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal
irreguler, Penurunan nadi, Peningkatan suhu.
2) Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi
akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena /
jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan
lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam - 2 hari atau 2
minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan.
Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk,
menarik diri, berfikir lambat, kejang dan udem pupil
Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena
pecahnya pembuluh darah arteri; kapiler; vena.
Tanda dan gejalanya:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hemiplegia
kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital

130
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Gambar Lokasi epidural hematoma

3) Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh
darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang

131
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

hebat.
Tanda dan gejala:
Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil
ipsilateral dan kaku kuduk.

E. Manifestasi
1. Pola pernafasan
Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma
langsung atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa
hipoventilasi alveolar, dangkal.
2. Kerusakan mobilitas fisik
Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area motorik otak.
3. Ketidakseimbangan hidrasi
Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan
peningkatan TIK
4. Aktifitas menelan
Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang
sama sekali
5. Kerusakan komunikasi
Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer serebral menunjukkan
disfasia, kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa.
Secara umum tanda gejala trauma kepala adalah:
- Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
- Kebungungan
- Iritabel
- Pucat
- Mual dan muntah
- Pusing kepala
- Terdapat hematoma
- Kecemasan
- Sukar untuk dibangunkan
- Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

132
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

F. Pemeriksaan penunjang
1. X-Ray
Indikasi pemeriksaan foto polos kepala:
- Kehilangan kesadaran, amnesia
- Nyeri kepala menetap
- Gejala neurologis fokal
- Jejas pada kulit kepala
- Kecurigaan luka tembus
- Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga
- Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba
- Kesulitan dalam penilaian klinis: mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, anak
- Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko:
Benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasienusia > 50
tahun.
2. CT-Scan
- Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala:
- GCS< 13 setelah resusitasi.
- Deteorisasi neurologis: penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis,
kejang.
- Nyeri kepala, muntah yang menetap
- Terdapat tanda fokal neurologis
- Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur
- Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
- Evaluasi pasca operasi
- Pasien multitrauma (Trauma signifikan lebih dari 1 organ)
- Indikasi sosial

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya
cedera dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh
suatu tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf,
radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik.
Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak
tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit,
diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan

133
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang
dan sebagainya.
Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas
dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:
1. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
a. Simple head injury (SHI)
Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari
anamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan
perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Keluarga
dilibatkan untuk mengobservasi kesadaran.
b. Kesadaran terganggu sesaat
Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan
pada saat diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat
dan penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.
2. Pasien dengan kesadaran menurun
a. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)
Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal
serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto
kepala. CT-Scan kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya
ada riwayat lucid interval, pada follow up kesadaran semakinmenurun atau
timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral
disamping tanda-tanda vital.
b. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh
karena itu urutan tindakannya sebagai berikut:
1) Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
2) Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera
organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
3) Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
4) CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intracranial
5) Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
c. Cedera kepala berat (CGS=3-8)
Pasien ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu
disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.

134
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:


1) Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)
Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi
dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu
tindakan pertama adalah:
a) Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi, kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi
palsu.
Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk
menghindarkan aspirasi muntahan
b) Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau
perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi
medula
oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central
neurogenik
hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada,
edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan
pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan
pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan
kalau perlu memakai ventilator.
c) Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan
kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan
intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa
hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma
dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik.
Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan
fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma,
hydroxyethyl starch atau darah
2) Pemeriksaan fisik
Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran,
pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan

135
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap
perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai
adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan
menanggulangi
penyebabnya.
3) Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada
dan abdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada
fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom
intrakranial
4) Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
PeningkatanTIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom
intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK
sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15
mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai
berikut:
a) Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi
yang
terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg
dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah
serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg
dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas
dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi
diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan
hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk
menyingkirkan hematom.
b) Drainase
Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka
pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka
panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi
hidrosefalus
c) Terapi diuretik
- Diuretik osmotik (manitol 20%)

136
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan


otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam
ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya
harus dihentikan.
Cara pemberiannya:
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5
gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas
tidak melebihi 310 mOSm
- Loop diuretik (Furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial
pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol
mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotic
serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
d) Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap
semua jenis terapi yang tersebut diatas.
Cara pemberiannya:
Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam
selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan
dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg
selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
e) Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan
tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu
sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala
f) Posisi Tidur
Pasien cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya
ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada
pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya
pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena
otak menjadi lancar.
Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah
bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000

137
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti


hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid
seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang
mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia
menambah edema serebri.
Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal,
yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30
ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa
nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan
keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan,
misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus,
syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam
keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum,
kreatinin dan osmolalitas darah.
g) Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5
kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini
terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan
norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam.
Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi
peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000
kalori/hari
h) Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut
early epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late
epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari
pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau
pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.
Pengobatan:
- Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
- Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15
menit. Bila cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9%
dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru
oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti
obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18

138
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan


dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral.
Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan
resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom
intrakranial dan pasien dengan amnesia post traumatik panjang.

CHAPTER TRAUMA DADA

15
A. Definisi
Trauma thoraks merupakan trauma yang mengenai dinding thoraks dan
atau
organ intra thoraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam.
Memahami mekanisme dari trauma akan meningkatkan kemampuan deteksi dan
identifikasi awal atas trauma sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan
segera (David, 2005).
Secara anatomis rongga thoraks di bagian bawah berbatasan dengan
rongga
abdomen yang dibatasi oleh diafragma dan batas atas dengan leher dapat diraba
insisura jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu muskulus latisimus
dorsi, muskulus trapezius, muskulus rhombhoideus mayor dan minor, muskulus
seratus anterior, dan muskulus interkostalis. Tulang dinding dada terdiri dari
sternum, vertebra thorakalis, iga dan skapula. Organ yang terletak didalam rongga

139
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

thoraks yaitu paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung, pembuluh darah besar,
saraf, dan sistem limfatik (David, 2005)
Trauma tumpul thoraks terdiri dari kontusio dan hematoma dinding thoraks,
fraktur tulang kosta, flail chest, fraktur sternum, trauma tumpul pada parenkim paru,
trauma pada trakea dan bronkus mayor, pneumothoraks dan hematothoraks.
(Milisavljevic, et al., 2012).

B. Epidemiologi
Trauma thoraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi
dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Di Amerika Serikat dan Eropa rata-rata
mortalitas trauma tumpul thoraks dapat mencapai 60%. Disamping itu 20-25%
kematian politrauma disebabkan oleh trauma thoraks (Veysi, et al., 2009).
Data yang akurat mengenai trauma thoraks di Indonesia belum pernah
diteliti.
Di Bagian Bedah FKUI/RSUPNCM pada tahun 1981 didapatkan 20% dari pasien
trauma mengenai trauma thoraks. Di Amerika didapatkan 180.000 kematian
pertahun karena trauma, 25% diantaranya karena trauma thoraks langsung. Di
Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga thoraks. Dengan adanya
trauma pada thoraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan
trauma.
Trauma thoraks dapat meningkatkan kematian akibat pneumothoraks 38%,
hematothoraks 42%, kontusio pulmonum 56%, dan flail chest 69% (Eggiimann,
2001; Jean, 2005). Trauma thoraks memiliki beberapa komplikasi seperti
pneumonia 20%, pneumothoraks 5%, hematothoraks 2%, empyema 2%, dan
kontusio pulmonum 20%. Dimana 50-60% pasien dengan kontusio pulmonum yang
berat akan menjadi ARDS. Walaupun angka kematian ARDS menurun dalam
dekade terakhir, ARDS masih merupakan salah satu komplikasi trauma thoraks
yang sangat serius dengan angka kematian 20-43% (Aukema, et al., 2011).

C. Etiologi
Trauma pada thoraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan
trauma tajam. Penyebab trauma thoraks tersering adalah kecelakaan kendaraan
bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan
(impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar, dan terguling.
Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap

140
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma thoraks
oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat energinya,
yaitu
berenergi rendah seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti pistol, dan
berenergi tinggi seperti pada senjata militer. Penyebab trauma thoraks yang lain
adalah adanya tekanan yang berlebihan pada paru-paru yang bisa menyebabkan
pneumothoraks seperti pada scuba (David, 2005; Sjamsoehidajat, 2003).
Trauma thoraks dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta dan
sternum, rongga pleura saluran nafas intra thoraks dan parenkim paru. Kerusakan
ini dapat terjadi tunggal atau kombinasi tergantung mekanisme cedera (Gallagher,
2014).

D. Patofisiologi
Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat
tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi
yang ringan pada dinding thoraks berupa fraktur kosta simpel. Sedangkan
kerusakan
anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multipel dengan komplikasi
pneumothoraks, hematothoraks dan kontusio pulmonum. Trauma yang lebih berat
menyebakan robekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada jantung
(Kukuh, 2002).
Akibat kerusakan anatomi dinding thoraks dan organ didalamnya dapat
mengganggu fungsi fisiologi dari pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Gangguan
sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung
kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi
ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik alat pernafasan. Salah satu
penyebab kematian pada trauma thoraks adalah gangguan faal jantung dan
pembuluh darah (Kukuh, 2002; David, 2005).
Kontusio dan hematoma dinding thoraks adalah trauma thoraks yang paling
sering terjadi. Sebagai akibat dari trauma tumpul dinding thoraks, perdarahan
massif
dapat terjadi karena robekan pada pembuluh darah pada kulit, subkutan, otot dan
pembuluh darah interkosta. Kebanyakan hematoma ekstrapleura tidak
membutuhkan pembedahan, karena jumlah darah yang cenderung sedikit
(Milisavljevic, et al., 2012).

141
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Fraktur kosta terjadi karena adanya gaya tumpul secara langsung maupun
tidak langsung. Fraktur kosta terjadi sekitar 35-40% pada trauma thoraks.
Karakteristik dari trauma kosta tergantung dari jenis benturan terhadap dinding
dada.
Gejala yang spesifik pada fraktur kosta adalah nyeri, yang meningkat pada saat
batuk, bernafas dalam atau pada saat bergerak. Pasien akan berusaha mencegah
daerah yang terkena untuk bergerak sehingga terjadi hipoventilasi. Hal ini
meningkatkan risiko atelektasis dan pneumonia (Milisavljevic, et al., 2012).
Flail chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta-kosta yang berdekatan
patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada daerah kostokondral. Angka
kejadian dari flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab
yang paling sering. Diagnosis flail chest didapatkan berdasarkan pemeriksaan fisik,
foto thoraks, dan CT scan thoraks (Milisavljevic, et al., 2012).
Fraktur sternum terjadi karena trauma tumpul yang sangat berat sering kali
disertai dengan fraktur kosta multipel. Gangguan organ mediastinum harus
dicurigai
pada pasien fraktur sternum, umumnya adalah kontusio miokardium (dengan nyeri
prekordium dan dispnea). Diagnosis fraktur sternum didapatkan dari pemeriksaan
fisik, adanya edema, deformitas, dan nyeri lokal (Milisavljevic, et al., 2012).
Kontusio parenkim paru adalah manifestasi trauma tumpul thoraks yang
paling umum terjadi. Kontusio pulmonum paling sering disebabkan trauma tumpul
pada dinding dada secara langsung yang dapat menyebabkan kerusakan
parenkim,
edema interstitial dan perdarahan yang mengarah ke hipoventilasi pada sebagian
paru. Kontusio juga dapat menyebabkan hematoma intrapulmoner apabila
pembuluh
darah besar didalam paru terluka. Diagnosis didapatkan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik (adanya suara gurgling pada auskultasi), foto thoraks, dan CT
scan thoraks. Kontusio lebih dari 30% pada parenkim paru membutuhkan ventilasi
mekanik (Milisavljevic, et al., 2012).
Pneumothoraks adalah adanya udara pada rongga pleura. Pneumothoraks
sangat berkaitan dengan fraktur kosta laserasi dari pleura parietalis dan visceralis.
Robekan dari pleura visceralis dan parenkim paru dapat menyebabkan
pneumothoraks, sedangkan robekan dari pleura parietalis dapat menyebabkan
terbentuknya emfisema subkutis. Pneumothoraks pada trauma tumpul thoraks

142
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

terjadi karena pada saat terjadinya kompresi dada tiba-tiba menyebabkan


terjadinya
peningkatan tekanan intraalveolar yang dapat menyebabkan ruptur alveolus. Udara
yang keluar ke rongga interstitial ke pleura visceralis ke mediastinum menyebabkan
pneumothoraks atau emfisema mediastinum. Selain itu pneumothoraks juga dapat
terjadi ketika adanya peningkatan tekanan tracheobronchial tree, dimana pada saat
glotis tertutup menyebabkan peningkatan tekanan terutama pada bivurcatio trachea
dan atau bronchial tree tempat dimana bronkus lobaris bercabang, sehingga ruptur
dari trakea atau bronkus dapat terjadi. Gejala yang paling umum pada
pneumothoraks adalah nyeri yang diikuti oleh dispneu (Milisavljevic, et al., 2012).
Hematothoraks adalah adanya darah pada rongga pleura. Darah dapat
masuk ke rongga pleura setelah trauma dari dinding dada, diafragma, paru-paru,
atau mediastinum. Insiden dari hematothoraks tinggi pada trauma tumpul, 37%
kasus berhubungan dengan pneumothoraks (hemopneumothoraks) bahkan dapat
terjadi hingga 58% (Milisavljevic, et al., 2012).

E. Klasifikasi
1. Mekanisme trauma
a. Trauma tumpul
1) Trauma langsung (fraktur iga)
2) Trauma deselerasi
3) Trauma kompresi
b. Trauma tembus
1) High velocity pistol
2) Low velocity pisau, benda tajam
2. Trauma Mengancam Nyawa
Segera:
a. Obstruksi jalan napas
Tanda: dispnoe, wheezing, batuk darah
b. Tension pneumothorax
Definisi: udara di rongga pleura
Dijumpai mekanisme ventil, udara dapat masuk ke rongga pleura tetapi
tidak dapat keluar
c. Pneumotoraks terbuka sucking chest wound
Definisi: udara di dalam rongga pleura

143
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Terdapat luka terbuka pada dinding dada, diameter > 2/3 trakea sucking
chest wound
d. Hemotoraks massif
Akumulasi darah di rongga pleura > 1500 cc
Terjadi karena laserasi paru, cedera pembuluh darah sistemik atau hilus
paru
e. Flail chest
Terjadi jika terdapat fraktur 2 atau lebih iga yang berdekatan pada 2 tempat
ada segmen dada yang mengambang
f. Tamponade jantung
Akumulasi darah di rongga pericardium
Potensial:
a. Pneumotoraks, Hemotoraks
Definisi: udara di dalam rongga pleura
Penyebab tersering: Laserasi paru akibat trauma tumpul
b. Kontusio paru dan jantung
Terjadi ruptur alveolar dengan perdarahan & edema
- Peningkatan permeabilitas membran kapiler
- Menyebabkan gangguan pertukaran gas hipoksia, hiperkarbi
c. Ruptur aorta
Biasanya terjadi pada trauma tumpul yang mengalami gaya deselerasi
tinggi
Jika robekan besar 90% meninggal dalam beberapa menit, jika bisa sampai
ke rumah sakit 90% akan meninggal

d. Ruptur diafragma
Sering terjadi pada trauma tumpul toraks yang menyebabkan fraktur iga 7
ke bawah fragmen fraktur iga merobek diafragma Dapat terjadi pada trauma
tembus toraks

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi: X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
2. Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun.

144
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

3. Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa.


4. Hemoglobin : mungkin menurun.
5. Pa Co2 kadang-kadang menurun.
6. Pa O2 normal / menurun.
7. Saturasi O2 menurun (biasanya).
8. Toraksentesis : menyatakan darah/cairan.
9. Bila pneumotoraks < 30% atau hematothorax ringan (300cc) terap
simtomatik, observasi.
10. Bila pneumotoraks > 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase
cavum pleura dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase dengan
continues suction unit.
11. Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus
dipertimbangkan thorakotomi
12. Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain lebih
dari 800 cc segera thorakotomi.
G. Komplikasi
1. Iga: fraktur multiple dapat menyebabkan kelumpuhan rongga dada.
2. Pleura, paru-paru, bronkhi: hemo/hemopneumothoraks-emfisema
3. pembedahan.
4. Jantung: tamponade jantung; ruptur jantung; ruptur otot papilar; ruptur klep
jantung.
5. Pembuluh darah besar: hematothoraks.
6. Esofagus: mediastinitis.
7. Diafragma: herniasi visera dan perlukaan hati, limpa dan ginjal

H. Penatalaksanaan
1. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti:
a. Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil,
sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak,
sebelum pasien jatuh dalam shock.
b. Terapi:

145
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura.


Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of
breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura
sehingga "mechanis of breathing" tetap baik.
2. Perawatan WSD dan pedoman latihanya:
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2
hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian
masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang
hebat akan diberi analgetik oleh dokter.
c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan:
1) Penetapan slang.
Selang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang
dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien,
sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.
2) Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang
bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang,
melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil
mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas
yang cedera.
3) Mendorong berkembangnya paru-paru.
a) Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
b) Latihan napas dalam.
c) Latihan batuk yang efisien: batuk dengan posisi duduk, jangan
batuk waktu slang diklem.
d) Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
e) Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 -800 cc.
Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan
torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang,
perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.

146
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

f) Suction harus berjalan efektif :


Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi
dan setiap 1 - 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
- Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien,
warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
- Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai
petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi pasien
dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi
miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal:
slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat
rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di
dinding paru-paru.
g) Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
- Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari, diukur berapa
cairan yang keluar kalau ada dicatat.
- Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan
adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
- Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara
masuk yaitu meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
- Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas
botol dan slang harus tetap steril.
- Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja
dirisendiri, dengan memakai sarung tangan.
- Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga
dada, misal: slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.
h) Dinyatakan berhasil, bila:
- Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan
radiologi.
- Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
- Tidak ada pus dari selang WSD.
3. Therapy
a. Chest tube / drainase udara (pneumothorax).
b. WSD (hematotoraks).
c. Pungsi.
d. Torakotomi.

147
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

e. Pemberian oksigen.
f. Antibiotika.
g. Analgetika.
h. Expectorant.

CHAPTER TRAUMA ABDOMEN

16
A. Definisi

148
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara


toraks dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding (abdominal wall)
yang terbentuk dari dari otot-otot abdomen, columna vertebralis, dan ilium.
Untuk membantu menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling sering
dipakai adalah pembagian abdomen oleh dua buah bidang bayangan horizontal
dan dua bidang bayangan vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding
anterior abdomen menjadi sembilan daerah (regiones). Dua bidang diantaranya
berjalan horizontal melalui setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah
setinggi bagian atas crista iliaca dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan
tubuh yaitu dari tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum
inguinale. Daerah-daerah itu adalah:
1. Hypocondriaca dextra
2. Epigastrica
3. Hypocondriaca sinistra
4. Lateralis dextra
5. Umbilicalis
6. Lateralis sinistra
7. Inguinalis dextra
8. Pubica
9. inguinalis sinistra

149
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Gambar Bidang bayang pembagian abdomen

Proyeksi letak organ abdomen yaitu:


1. Hypocondriaca dextra meliputi organ: lobus kanan hepar, kantung empedu,
sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan kelenjar
suprarenal kanan.
2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dan sebagian
hepar.
3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, lien, bagian kaudal pankreas,
fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal kiri.
4. Lateralis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kanan,
sebagian duodenum dan jejenum.
5. Umbilicalis meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawah duodenum,
jejenum dan ileum.
6. Lateralis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal kiri,
sebagian jejenum dan ileum.
7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum dan ureter
kanan.
8. Pubica meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan uterus (pada kehamilan).
9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovarium kiri.
Inervasi dinding abdomen oleh nervous (nn) torakalis ke-8 sampai dengan
12. Nervus (n) torakalis ke-8 setinggi margo kostalis ke-10 setinggi umbilikus, n.
torakalis ke-12 setinggi suprainguinal. Peritoneum parietalis yang menutup dinding
abdomen depan sangat kaya saraf somatik sementara peritoneum yang menutup
pelvis sangat sedikit saraf somatik sehingga iritasi peritoneum pelvis pasien sulit
menentukan lokasi nyeri. Peritoneum diafragmatika pars sentralis disarafi nervous
spinalis C5 mengakibatkan iritasi pars sentralis diafragma mempunyai nyeri alih di
bahu, yang disebut Kehr sign.
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja
sehingga menyebabkan luka atau cedera pada bagian tubuh. Jika trauma yang
didapat cukup berat akan mengakibatkan kerusakan anatomi maupun fisiologi
organ tubuh yang terkena. Trauma dapat menyebabkan gangguan fisiologi

150
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

sehingga terjadi gangguan metabolisme kelainan imunologi, dan gangguan faal


berbagai organ. Pasien trauma berat mengalami gangguan faal yang penting,
seperti kegagalan fungsi membrane sel, gangguan integritas endotel, kelainan
sistem imunologi, dan dapat pula terjadi koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC =
disseminated intravascular coagulation).
Trauma abdomen pada garis besarnya dibagi menjadi trauma tumpul dan
trauma tajam. Keduanya mempunyai biomekanika, dan klinis yang berbeda
sehingga algoritma penanganannya berbeda. Trauma abdomen dapat
menyebabkan laserasi organ tubuh sehingga memerlukan tindakan pertolongan
dan perbaikan pada organ yang mengalami kerusakan. Trauma pada abdomen
dapat di bagi menjadi dua jenis:
a. Trauma penetrasi : Trauma Tembak, Trauma Tusuk
b. Trauma non-penetrasi atau trauma tumpul: diklasifikasikan ke dalam 3
mekanisme utama, yaitu tenaga kompresi (hantaman), tenaga deselerasi dan
akselerasi. Tenaga kompresi (compression or concussive forces) dapat berupa
hantaman langsung atau kompresi eksternal terhadap objek yang terfiksasi.
Misalnya hancur akibat kecelakaan, atau sabuk pengaman yang salah (seat
belt injury). Hal yang sering terjadi adalah hantaman, efeknya dapat
menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ padat visera.
Hantaman juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada
organ berongga dan menyebabkan ruptur.
Pengeluaran darah yang banyak dapat berlangsung di dalam kavum
abdomen tanpa atau dengan adanya tanda-tanda yang dapat diamati oleh
pemeriksa, dan akhir-akhir ini kegagalan dalam mengenali perdarahan
intraabdominal adalah penyebab utama kematian dini pasca trauma. Selain itu,
sebagian besar cedera pada kavum abdomen bersifat operatif dan perlu tindakan
segera dalam menegakan diagnosis dan mengirim pasien ke ruang operasi.

B. Trauma tajam
Trauma tajam abdomen adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka
pada permukaan tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum yang
disebabkan oleh tusukan benda tajam. Trauma akibat benda tajam dikenal dalam
tiga bentuk luka yaitu: luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus
punctum) atau luka bacok (vulnus caesum).

151
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Luka tusuk maupun luka tembak akan mengakibatkan kerusakan jaringan


karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan
menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera,
dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah
menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Kerusakan dapat berupa
perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau organ yang padat. Bila mengenai
organ yang berongga, isinya akan keluar ke dalam rongga perut dan menimbulkan
iritasi pada peritoneum

C. Trauma tumpul
Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada
permukaan tubuh, tetapi dapat mengakibatkan cedera berupa kerusakan daerah
organ sekitar, patah tulang iga, cedera perlambatan (deselerasi), cedera kompresi,
peningkatan mendadak tekanan darah, pecahnya viskus berongga, kontusi atau
laserasi jaringan maupun organ dibawahnya.
Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan adanya
deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak mempunyai kelenturan (non
complient organ) seperti hati, lien, pankreas, dan ginjal. Secara umum mekanisme
terjadinya trauma tumpul abdomen yaitu:
1. Saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak di antara
struktur. Akibatnya, terjadi tenaga potong dan menyebabkan robeknya organ
berongga, organ padat, organ visceral dan pembuluh darah, khususnya pada
bagian distal organ yang terkena.
Contoh pada aorta distal yang mengenai tulang torakal mengakibatkan gaya
potong pada aorta dapat menyebabkan ruptur. Situasi yang sama dapat terjadi
pada pembuluh darah ginjal dan pada cervicothoracic junction.
2. Isi intra abdominal hancur diantara dinding abdomen anterior dan columna
vertebra atau tulang toraks posterior. Hal ini dapat menyebabkan ruptur,
biasanya terjadi pada organ-organ padat seperti lien, hati, dan ginjal.
3. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra-
abdomen yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya menyebabkan
ruptur organ berongga. Berat ringannya perforasi tergantung dari gaya dan luas
permukaan organ yang terkena cedera.
Kerusakan organ lunak karena trauma tumpul biasanya terjadi sesuai
dengan tulang yang terkena seperti terlihat pada tabel sebagai berikut:

152
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Tabel Pola cedera organ lunak pada trauma tumpul abdomen.


Organ/area yang terkena langsung Cedera yang mungkin terkait
Fraktur kosta kanan Cedera hepar
Fraktur kosta kiri Ruptur lien
Kontusio midepigastrium Perforasi duodenum, cedera pancreas
Fraktur prosessus tranversalis lumbal Cedera ginjal
Fraktur pelvis Rupture VU, cedera uretha

CHAPTER TRAUMA EKSTREMITAS

17
A. Definisi

153
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Trauma pada satu bagian system musculoskeletal atau trauma ekstremitas


dapat menyebabkan disfungsi struktur di sekitarnya dan struktur yang dilindungi
ataudisangganya serta kerusakan pada otot, pembuluh darah dan saraf. Trauma
otot dan tulang dapat terjadi tanpa atau disertai trauma system lain. Bila hanya
ekstremitas yang mengalami trauma biasanya tidak dianggap sebagai prioritas
pertama.
Mekanisme cedera/trauma antara lain tabrakan/kecelakaan kendaraan
bermotor, penyerangan, jatuh dari ketinggian, cedera waktu olah raga, cedera
waktu bersenang-senang atau waktu melakukan pekerjaan rumah tangga.
Trauma ekstremitas adalah trauma yang mengakibatkan cedera pada
ekstremitas. Secara umum dikenal dalam bentuk:
1. Fraktur
2. Dislokasi
3. Amputasi

B. Trauma Otot dan Tulang yang Penting:


1. Trauma Sendi
Dislokasi sendi dapat menimbulkan gangguan neuromuscular dan
fraktur struktur lainnya.
2. Fraktur Femur
Fraktur femur dapat terjadi akibat major trauma seperti jatuh, tabrakan
kendaraan bermotor atau tembakan misil yang menyebabkan luka-luka
penetrasi.
3. Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka dianggap terkontaminasi karena benda-benda asing dari
luar/bakteri dapat masuk kedalam luka.
C. Trauma Ekstremitas Dengan Ancaman Nyawa
1. Kerusakan Pelvis berat dengan pendarahan
a. Trauma
Fraktur Pelvis yang disertai perdarahan sering kali disebabkan
Fraktur sakroiliaka, dis lokasi, atau Fraktur sacrum yang kemudian akan
menyebabkan kerusakan posteriol oseus ligamenteus kompleks. Kemudian
arah gaya yang membuka pelvis ring, akan merobek pleksus Vena di pelvis
dan kadang-kadang merobek system arteri iliaka interna (Trauma
komprensi anterior posterior). Mekanisme trauma Pelvis ring disebabkan

154
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

trabrakan sepeda Motor atau pejalan kaki yang ditabrak kendaraan,


benturan langsung pada pelvis atau jatuh dari ketinggian lebih dari 3,5
meter.
Pada tabrakan kendaraan, mekanisme Fraktur pelvis yang tersering
adalah tekanan yang mengenai sisi lateral pelvis dan cenderung
menyebabkan hemi pelvis rotasi kedalam, mengecilkan rongga pelvis dan
melepas regangan sistem Vaskularisasi pelvis. Gerakan rotasi ini akan
menyebabkan Trauma uretra atau buli-buli. Trauma urogenital bagian
bawah ini jarang akan menimbulkan kematian baik perdarahan yang terjadi
maupun komplikasinya, sehingga tidak separah Trauma pelvis yang tidak
stabil.
b. Pemeriksaan
Bila perdarahan pelvis banyak, maka akan tejadi dengan cepat, dan
diagnosis harus dibuat secepat mungkin agar dapat dilakukan tindakan
resusitasi. Hipotensi yang sebabnya tidak diketahui merupakan salah satu
indikasi adanya disruksi pelvis berat dengan instabilitas posterior
ligamentous kompleks. Tanda kliniks yang paling penting adalah adanya
pembekakan atau hematom yang progeresif pada daerah panggul, skrotum
atau perianal. Pada keadaan ini akan ditemukan kegagalan resusitasi
cairan inisial. Tanda-tanda trauma pelvis yang tidak stabil adalah adanya
patah tulang terbuka daerah pelvis (terutama daerah perineum, rectum atau
bokong) Hemi pelvis yang tidak stabil akan tertarik keatas oleh tarika
otot dan rotasi eksternal karena pengaeuh sekunder dari grafitasi.
Kemudian pelvis tidak stabil dapat dibuktikan dengan merapatkan klista
iliaka pada spina iliaka anterior posterior. Gerakan dapat dirasakan waktu
memegang Krista iliaka dan hemi pelvis yang tidak stabil ditekan ke dalam
atau keluar.
c. Pengelolaan
Pengelolaan awal disruksi pelvis berat disertai perdarahan
memerlukan penghentian pendarahan dan resusitasi cairan. Traksi kulit
longitudinal atau traksi skeletal dapat dikerjakan sebagai tindakan pertama.
Praktur pelvis terbuka dengan pendarahan yang jelas, memerlukan balut
tekan dengan tampon untuk menghentikan pendarahan.
2. Pendarahan besar arterial
a. Trauma

155
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Luka tusuk di Ekstremitas dapat menimbulkan trauma arteri sirkulasi darah


ke ekstremitas diselenggarakan oleh pembuluh arteri besar yang
berdiameter sekitar satu centimeter, yang melalui lipat paha dan aksila.
Arteri ini melanjutkan diri didekat tulang dan berpencar menjadi cabang-
cabang lebih halus sewaktu menuju keujung jari tangan dan kaki. Pada
tempat tertentu sepanjang perjalanannya cabang ini cukup dekat dengan
kulit, sehingga dapat diraba oleh tangan pemeriksa. Titik berdenyut ini
dapat bermanpaat dalam menentukan adanya aliran darah arteri dan
kadang-kadang berguna untuk mengenal pendarahan. Trauma tumpul yang
menyebabkan fraktur sendi atau dislokasi sendi dekat arteri dapat merobek
arteri. Cedera ini dapat menimbulkan pendarahan besar pada luka terbuka
atau perdarahan didalam jaringan lunak.
b. Pemeriksaan
Trauma ekstremitas harus diperiksa adanya perdarahan eksternal,
hilangnya pulsasi nadi yang sebelumnya masih teraba, perubahan kualitas
nadi, ekstremitas yang dingin, pucat dan pulsasi tidak ada di ekstremitas
menunjukkan gangguan aliran darah arteri. Hematom yang membesar
dengan cepat menunjukkan adanya trauma vaskuler. Cidera ini menjadi
berbahaya jika hema dinamik pasien tidak stabil.
c. Pengololaan
Pengoelolaan perdarahan besar artari berupa tekanan langsung dan
resusitasi cairan yang agresip. Jika fraktur disertai luka terbuka yang
berdarah aktif harus segera diluruskan dan dipasang bidai serta balut tekan
diatas luka. Dislokasi sendi harus langsung dibidai, karena usaha untuk
melakukan reposisi sangat sulit, karena itu perlu konsultasi bedah.

3. Crush syndrome (Rabdomiolisis taroumatika)


a. Trauma
Crush syndrome adalah Keadaan kliniks yang disebabkan pelepasan zat
berbahaya, hasil kerusakan otot, yang jika tidak ditangani akan
menyebabkan kegagalan ginjal. Keadaan ini terdapat pada keadaan crush
injury dan kompresi lama pada sejumlah otot, yang tersering paha dan
betis. Keadaan ini disebabkan oleh gangguan perkusi otot, iskemia,
pelepasan mioglobin dan zat toksik lainnya.

156
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

b. Pemeriksaan
Mioglobin menimbulkan urin berwarna gelap yang akan positif bila diperiksa
untuk adanya hemoglobin. Pemeriksaan khusus mioglobin perlu untuk
menunjang diagnosis. Rabdomiolisis dapat menyebabkan hipovolemi,
metabolic asidosis, Hiperkalemia dan hipokalsemia.
c. Pengelolaan.
Pemberiaan cairan intra vena selama ekstritasi sangat penting untuk
melindungi ginjal dari gagal ginjal. Gagal ginjal yang disebabkan oleh
hemoglobin dapat dicegah dengan pemberian cairan dan diuresis asmotik
untuk meningkatkan isi tubulus dan aliran urin.

D. Trauma Mengancam Ekstremitas


1. Patah tulang tertbuka dan Trauma Sendi
a. Trauma
Pada patah tulang terbuka terdapat hubungan antara tulang dengan
lingkungan luar. Otot dan kulit mengalami cedera dan beratnya kerusakan
jaringan lunak ini akan berbanding lurus dengan energi yang
menyebabkannnya. Kerusakan ini disertai kontaminasi bakteri,
menyebabkan patah tulang terbuka mengalami masalah infeksi, gangguan
penyembuhan dan gangguan fungsi.
b. Pemeriksaan
Diagnosis didasarkan atas riwayat trauma dan pemeriksaan fisik
ekstremitas yang menemukan fraktur dengan luka terbuka, dengan atau
tanpa kerusakan luas otot, serta kontaminasi. Pengelolaan didasarkan atas
riwayat lengkap kejadian dan pemeriksaan trauma, Jika terdapat luka
terbuka didekat sendi, harus dianggap luka ini berhubungan dengan alat
masuk kedalam sendi dan konsultasi bedah harus dikerjakan. Tidak boleh
memasukkan zat warna atau cairan untuk membuktikan rongga sendi
berhubungan dengan Luka atau tidak. Cara terbaik membuktikan hubungan
luka terbuka dengan sendi adalah eksplorasi Bedah dan pembersihan luka.
c. Pengelolaan
Adanya patah tulang atau trauma sendi terbuka harus segera dapat
dikenali. Setelah deskripsi luka atau trauma jaringan lunak serta
menentukan ada atau tidaknya gangguan sirkulasi atau trauma syaraf
maka segera dilakukan imobilisasi.

157
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

2. Trauma vaskuler termasuk amputasi traumatika


a. Ayat dan Pemeriksaan
Trauma vaskuler harus dicurigai jika terdapat insufisiensi vaskuler yang
menyertai trauma tumpul, remuk, trauma tembus ekstremitas. Pada
mulanya ekstremitas mungkin masih tampak hidup karena sirkulasi kolateral
yang mencukupi aliran secara rtrograd. Trauma vaskuler parsial
menyebabkan ekstremitas bagian distal dingin, pengisian kapiler lambat,
pulsasi melemah. Aliran yang terputus menyebabkan ekstremitas dingin,
pucat, dan nadi tak teraba.
b. Pengelolaan
Ekstremitas yang avaskuler secara akut harus segera dapat dikenal dan
ditangani segera. Otot tidak mampu hidup tanpa aliran darah lebih dari 6
jam dan nekrosis akan segera terjadi. Saraf juga sangat sensitive terhadap
keadaan tanpa oksigen. Operasi revaskularisasi segera diperlukan untuk
mengembalikan aliran darah pada ekstremitas distal yang terganggu. Jika
gangguan vaskularisasi di sertai fraktur, harus dikoreksi segera dengan
meluruskan dan memasang bidai.
Jika terdapat gangguan vaskuler ekstremitas trauma setelah dipasang bidai
atau gips, tanda-tandanya adalah menghilangnya atau melemahnya
pulsasi. Bidai, gipsdan balutan yang menekan harus dilepaskan dan
vaskularisasi dievaluasi.Jika trauma arteri disertai dislokasi sendi, Dokter
yang terlatih boleh melakukan reduksi dengan hati-hati. Atau pasang bidai
dan segera konsultasi bedah.
3. Sindroma Kompartemen
a. Trauma
Sindroma kompartemen akan ditemukan pada tempat diman otot dibatasi
oleh rongga fasia yang tertutup. Perlu diketahui bahwa kulit juga berfungsi
sebagi lapisan penahan. Daerah yang sering terkena adalah tungkai bawah,
lengan bawah, tangan, dan paha. Sindroma kompartemen terjadi bila
tekanan diruang osteofasial menimbulkan iskemia dan berikutnya nekrosis.
Iskemia dapat terjadi karena peningkatan isi kompartemen akibat odema
yang timbul akibat revaskularisasi sekunder dari ekstremitas yang iskemi,
atau karena penurunan isi kompartemen yang disebabkan tekanan dari luar
misalnya dari balutan yang menekan.
b. Pemeriksaan

158
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Gejala dan tanda sindroma kompartemen adalah: nyeri bertambah dan


khususnya meningkat dengan gerakan pasif yang meregangkan
otot, parestesi didaerah distribusi saraf ferifer yang terkena, menurunnya
sensasi atau hilangnya fungsi dari saraf yang melewati kompartemen
tersebut, tegang serta bengkak di daerah tersebut. Pulsasi di daerah distal
biasanya masih teraba. Kelumpuhan atau parase otot dan hilanngnya
pulsasi (disebabkan oleh tekanan kompartemen melebihi tekanan sitolik)
merupakan tindak lanjut dari sindroma kompartemen.
c. Pengelolaan
Dibuka semua balutan yang menekan, gips dan bidai. Pasien harus diawasi
dan diperiksa setiap 30 sampai 60 menit. Jika tidak terdapat perbaikan,
fasciotomi diperlukan. Sindroma kompartemen merupakan keadaan yang
ditentukan oleh waktu. Semakin tinggi dan semakin lama meningkatnya
tekanan intrakompartemen, makin besar kerusakan neuromuskuler dan
hilangnya fungsi. Terlambat melakukan fasiotomi menimbulkan
mioglobinemia, yang dapat mennimbulkan munurunnya fungsi ginjal.
4. Trauma Neurologi akibat fraktur-dislokasi
a. Trauma
Fraktur atau dislokasi, dapat menyebabkan trauma saraf yang disebabkan
hubungan anatomi atau dekatnya posisis saraf dengan persendian,
misalnya nervus iskhiadikus dapat tertekan oleh dislokasi posterior sendi
panggul atau nervus aksillaris oleh dislokasi posterior sendi bahu.
Kembalinya fungsi hanya akan optimal bila keadaan ini diketahui dan
ditangani secara cepat.

b. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan biasanya akan didapatkan depormitas dari ekstremitas.
Pemeriksaan fungsi saraf memerlukan kerja sama pasien, setiap saraf
ferifer yang besar di periksa fungsi motorik dan sensorik.
c. Pengelolaan
Ekstremitas yang cedera harus segera di immobilisasi dalam posisi
dislokasi dan konsultasi bedah segera dikerjakan. Jika terdapat indikasi dan

159
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

dokter yang menangani mempunyai kemampuan, repossis dapat dicoba


secara berhati-hati setelah reposisi.

E. Trauma Ekstremitas Lain


1. Kontusio dan laserasi
Kontusio dan laserasi sederhana harus diperiksa untuk menyingkirkan trauma
vaskuler dan saraf. Secara umum laserasi memerlukan penutupan luka. Jika
laserasi meluas sampai dibawah fasia, perlu intervensi operasi untuk
membersihkan luka dan memeriksa struktur-struktur dibawahnya yang rusak.
Kontusio umumnya dikenal karena ada nyeri dan penurunan fungsi.
Palpasi menunjukkan adanya pembengkakan lokal dan nyeri tekan.Pasien tidak
dapat mempergunakan otot itu dan terjadi penurunan fungsi karena nyeri.
Kontusio diobati dengan istirahat dan pemakaian kompres dingin pada fase
awal. Hati-hati akan luka kecil, terutama akibat crush injury, jika ekstremitas
menderita beban sangat besar dan sangat perlahan, vaskularisasi akan
terganggu dan kerusakan otot akan terjadi walaupun ditemukan luka yang
hanya kecil saja.Resiko tetanus meningkat akibat adanya luka yang lebih dari 6
jam dan disertai kontusio dabn abrasi, dalamnya lebih dari 1 cm.
2. Trauma sendi
Trauma pada satu bagian system musculoskeletal atau trauma ekstremitas
dapat menyebabkan disfungsi struktur di sekitarnya dan struktur yang dilindungi
atau disangganya serta kerusakan pada otot, pembuluh darah dan
saraf. Trauma otot dan tulang dapat terjadi tanpa atau disertai trauma system
lain. Bila hanya ekstremitas yang mengalami trauma biasanya tidak dianggap
sebagai prioritas pertama. Mekanisme cedera/trauma antara lain
tabrakan/kecelakaan kendaraan bermotor, penyerangan, jatuh dari ketinggian,
cedera waktu olah raga, cedera waktu bersenang-senang atau waktu
melakukan pekerjaan rumah tangga.
F. Patofisiologi
1. Kehilangan Darah
Bila tulang dan sendi berpindah posisi dapat menekan pembuluh darah dan
syaraf-syaraf sekitar sehingga menyebabkan perubahan-perubahan
patofisiologis dibagian distal injuri. Terjadi obstruksi aliran darah arteri,
oksigenasi jaringan berkurang, mengakibatkan iskemik jaringan dan kematian
sel. Selama proses ini, rasa sakit semakin bertambah, denyut arteri semakin

160
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

sulit teraba dan anggota gerak menjadi pucat, sianosis, dingin, waktu capillary
refill melambat.
2. Trauma Jaringan Lunak
Kerusakan kulit dapat menimbulkan gangguan cairan tubuh, elektrolit, atau
pengontrolan suhu, dan menjadi jalan masuk mikroorganisme yang akan
menyebabkan infeksi, terutama bila didapat jaringan yang nekrosis.
3. Defisit Neurologis
Bila syaraf mengalami tekanan/robekan, konduksi akan terputus dan relay
impuls syaraf akan berkurang, akibatnya terjadi trauma syaraf dengan gejala-
gejala hilangnya fungsi motorik dan sensorik parsial atau komplit.

Referensi:
Kneale, Julia dan Peter Davis .2011. Keperawatan Ortopedik & Trauma Edisi 2.
Jakarta : EGC

Lukman dan Nurna Ningsih. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Volume 3.Jakarta : EGC

CHAPTER HYPERGLIKEMIA &


HIPOGLIKEMIA

18
161
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Konsep Hiperglikemia
A. Definisi
Hiperglikemia menurut definisi berdasarkan kriteria diabetesmelitus yang
dikeluarkan oleh International Society for Pediatrics and Adolescent Diabetes
(ISPAD) adalah KGD sewaktu 11.1 mmol/L (200 mg/dL) ditambah dengan gejala
diabetes atau KGD puasa (tidak mendapatkan masukan kalori setidaknya dalam 8
jam sebelumnya) 7.0 mmol/L (126 mg/dL).
Definisi lain hiperglikemia menurut World Health Organization (WHO)
adalah KGD 126 mg/dL (7.0 mmol/L), dimana KGD antara 100 dan 126 mg/dL
(6,1 sampai 7.0 mmol/L) dikatakan suatu keadaan toleransi abnormal glukosa.
Keadaan kritis didefinisikan sebagai semua kondisi yang memerlukan penanganan
khusus untuk kegagalan sistim organ vital. Stres hiperglikemia didefinisikan
sebagai suatu keadaan hiperglikemia pada pasien dengan keadaan kritis.

B. Etiologi
Penyebab tidak diketahui dengan pasti tapi umumnya diketahui
kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter yang memegang
peranan penting. Yang lain akibat pengangkatan pancreas, pengrusakan secara
kimiawi sel beta pulau langerhans. Tujuan utama terapi Hiperglikemia adalah
mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dan upaya
mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropati.

C. Menifestasi Klinik
Gejala awal umumnya yaitu (akibat tingginya kadar glukosa darah) :
1. Polipagi
2. Polidipsi
3. Poliuri
4. Kelainan kulit, gatal-gatal, kulit kering
5. Rasa kesemutan, kram otot
6. Visus menurun
7. Penurunan berat badan
8. Kelemahan tubuh dan Luka yang tidak sembuh-sembuh

D. Komplikasi Hiperglikemia

162
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Dibagi menjadi 2 kategori yaitu :


1. Komplikasi akut
a. Ketoasidosis diabetic
b. Koma hiperglikemik hiperismoler non ketotik
c. Hipoglikemia
d. Asidosis lactate
e. Infeksi berat
2. Komplikasi kronik
a. Komplikasi vaskuler
b. Makrovaskuler : PJK, stroke , pembuluh darah perifer
c. Mikrovaskuler : retinopati, nefropati
d. Komplikasi neuropati
e. Neuropati sensorimotorik, neuropati otonomik gastroporesis, diare diabetik,
buli-buli neurogenik, impotensi, gangguan refleks kardiovaskuler.
f. Campuran vascular neuropati
g. Ulkus kaki
h. Komplikasi pada kulit

E. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis dapat dibuat dengan gejala-gejala diatas + GDS > 200 mg% (Plasma
vena). Bila GDS 100-200 mg% perlu pemeriksaan test toleransi glukosa
oral.Kriteria baru penentuan diagnostik DM menurut ADA menggunakan GDP >
126 mg/dl. Pemeriksaan lain yang perlu diperhatikan pada pasien hiperglikemi
adalah :
Glukosa darah : Meningkat 200 100 mg/dl, atau lebih
Aseton plasma : Positif secara mencolok.
Asam lemak bebas : Kadar lipid dan kolesterol meningkat.
Osmolalitas serum : Meningkat tetapi biasanya kurang dari 330
mOsm/l.

Elektrolit :
- Natrium: Mungkin normal, meningkat atau menurun.
- Kalium: Normal atau peningkatan semu (perpindahan seluller), selanjutnya
akan menurun.
- Fospor: Lebih sering menurun.

163
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Hemoglobin glikosilat :
Kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari normal yang mencerminkan kontrol DM
yang kurang selama 4 bulan terakhir (lama hidup SDM) dan karenanya sangat
bermanfaat dalam membedakan DKA dengan kontrol tidak adekuat Versus DKA
yang berhubungan dengan insiden.
Glukosa darah arteri:
Biasanya menunjukkan pH rendah dan penurunan pada HCO3 (asidosis
metabolik) dengan kompensasi alkalosis respiratorik.
Trombosit darah :
Ht mungkin meningkat (dehidrasi), leukositiosis, hemokonsentrasi, merupakan
respon terhadap stress atau infeksi.
Ureum / kreatinin:
Mungkin meningkat atau normal (dehidrasi/ penurunan fungsi ginjal).
Amilase darah:
Mungkin meningkat yang mengindikasikan adanya pankretitis akut sebagai
penyebab dari DKA.
Insulin darah:
Mungkin menurun / bahkan sampai tidak ada (pada tipe 1) atau normal sampai
tinggi (tipe II) yang mengindikasikan insufisiensi insulin/gangguan dalam
penggunaannya (endogen/eksogen). Resisiten insulin dapat berkembang
sekunder terhadap pembentukan antibodi (auto antibodi).
Pemeriksaan fungsi tiroid:
Peningkatan aktifitas hormon tiroid dapat meningkatkan glukosa darah dan
kebutuhan akan insulin.
Urine: Gula dan aseton positif; berat jenis dan osmolalitas mungkin menigkat.
Kultur dan sensitivitas:
Kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih, infeksi pernapasan dan infeksi
pada luka.

F. Hiperglikemia pada keadaan kritis


Hiperglikemia yang terjadi pada keadaan kritis adalah suatu stres
hiperglikemia. Awalnya stres hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa
plasma lebih dari 200 mg/dL, namun setelah adanya Leuven Intensive Insulin
Therapy Trial, KGD lebih dari 110 mg/dL sudah dianggap sebagai stres

164
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

hiperglikemia. Hiperglikemia pada masa kritis dianggap menguntungkan karena


menyediakan suplai glukosa untuk energi yang adekuat untuk organ-organ tubuh
yang bergantung glukosa seperti otak, jantung dan sel-sel darah, selain itu
hiperglikemia juga mengkompensasi kehilangan volume dengan meningkatkan
pergerakan cairan intraseluler ke dalam kompartemen intravaskular dan
membebaskan ikatan air dengan glikogen.
Hiperglikemia selain juga disebabkan oleh keadaan stres, pada pasien
kritis, penggunaan obat-obatan, seperti kotekolamin, kortikosteroid, dekstrosa
intravena, dan pemberian nutrisi diduga juga berpengaruh pada angka kejadian
serta gejala klinis hiperglikemia. Selain efek positifnya, hiperglikemia yang
menetap atau berkepanjangan pada masa kritis dapat meningkatkan risiko
kematian akibat gagal jantung, infark miokard, strokeiskemik, hemoragik dan
lainnya yang berakhir dengan gagal fungsi organ multipel.

G. Patofisiologi hiperglikemia pada keadaan kritis


Pada keadaan kritis, terdapat stres dimana terjadi aktivasi sistim aksis
hipothalamus-pituatary-adrenal (HPA) dengan dilepaskannya kortisol dari kelenjar
adrenal. Peningkatan kortisol mengakibatkan peningkatan dari pelepasan
epinefrin, norepinefrin, glukagon dan growth hormone. Aktivasi tersebut
merupakan komponen yang esensial dalam adaptasi terhadap suatu penyakit dan
stres untuk memelihara homeostasis sel dan organ. Milieu metabolik hiperglikemia
yang disebabkan oleh stres terjadi pada pasien nondiabetik dengan keadaan kritis
sangatkompleks. Kombinasi dari berbagai faktor, termasuk adanya pelepasan
yang berlebihan dari hormon counter regulatoryseperti glukagon, growth
hormone, katekolamin, glukokortikoid, dan sitokin seperti interleukin (IL) -1, IL-6,
dan tumor necrosis factor- (TNF) ditambah dengan pemberian katekolamin,
dektrosa dan nutrisi sebagai terapi penunjang pada pasien dengan keadaan kritis,
serta terjadinya defisiensi insulin relatif, dan lemahnya pengambilan glukosa
perifer memegang peranan penting dari terjadinya hiperglikemia pada keadaan
stres.
Glukagon adalah mediator hormonal primer dari glukoneogenesis. Pada
pasien dengan keadaan kritis, kadar glukagon serum meningkat secara signifikan,
hal ini disebabkan oleh stimulasi adrenergik oleh katekolamin dan oleh sitokin.
Sitokin seperti TNF-dan IL-1 dan katekolamin secara independen dan sinergis
juga berperan dalam meningkatkan produksi glukosa hati. Kadar insulin biasanya

165
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

normal ataupun menurun, walaupun didapatkan resistensi insulin perifer.Diduga


pelepasan insulin terhambat akibat peningkatan aktivasi dari reseptorpankreatik
alfa. Penyebab resistensi insulin adalah IL-1 dan TNF yang menghambat
pelepasan insulin. Katekolamin juga berperan dalam menginhibisi pengikatan
insulin dengan transporter insulin. Glukokortikoidmengganggu pengambilan
glukosa pada otot-otot rangka dan growth hormonemenghambat jalur insulin
dengan mengurangi reseptor.
Pada anak dengan keadaan kritis, belumada data yang jelas mengenai
respon terhadap stres dan efek dari hiperglikemia pada jaringan, karenanya
mekanisme hiperglikemia yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada
dewasa, dianggap sama dengan yang terjadi pada anak. Mekanisme yang
menyebabkan kerusakan sel akibat hiperglikemia adalah akibat penumpukan
intraseluler dari spesimen oksigen reaktif (Reactive Oxygen Specimen=ROS).
KGD yang tinggi meningkatkan perbedaan potensial akibat tingginya proton pada
rantai respiratori mitokondria, yang mengakibatkan perpanjangan hidup dari
superoxidegenerating electron transport intermediates, sehingga terjadilah
penumpukan ROS. Saat terjadi penumpukan ini, terjadi 4 mekanisme yang
menyebabkan kerusakan sel, yaitu:
1. Peningkatan aliran jalur polyol: hiperglikemia menyebabkan peningkatan
konversi glukosa menjadi sorbitol polialkohol, bersaman dengan penurunan
nicotineamid adenosine dinucleotide phosphate(NADPH) dan glutation,
meningkatkan sensitivitas sel terhadap stres oksidatif.
2. Peningkatan pembentukan advance glycation end product(AGE):
pembentukan dari AGE bertentangan dengan intergritas target sel dalam
modifikasi fungsi protein atau dengan menginduksi produksi
receptormediateddari reactive oxygen species, yang dapat menyebabkan
perubahan pada ekspresi gen.
3. Aktivasi dari isoform protein kinase C (PKC): hiperglikemia menyebabkan
peningkatan konversi glukosa menjadisorbitol, yang dimetabolisir menjadi
fruktosa oleh sorbitol dehidrogenase, meningkatkan rasio NADH/NAD+. Hal ini
menyebabkan triose fosfat yang teroksidasi dan sintesis de novo dari
diacylglycerol(DAG). Peningkatan DAG mengaktifkan PKC.
4. Peningkatan aliran jalur hexosamine :pada hiperglikemia, glukosa semakin
banyak memasuki hexosamine-pathway. Produk akhir dari jalur ini, UDP-N-
acetylglucosamine, adalah substart yang diperlukan untuk faktor transkripsi

166
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

intraseluler, yang mempengaruhi ekspresi dari banyak gen. Jalur ini


berhubungan dengan disfungsi endotelial dan mikrovaskular.

Mekanisme ini dapat dilihat pada gambar

5. Kadar gula darah yang bermakna


Pada anak belum didapatkan nilai pasti KGD yang dianggap
membahayakan dan kadar yang diinginkan. Para dokter biasanya
memberikan terapi terhadap hiperglikemia hanya setelah konsentrasi gula
darah melebihi ambang batas ginjal untuk resorpsi glukosa (200 mg/dL
sampai 250 mg/dL [11,1mmol/L sampai13,8 mmol/L]). Hal ini berdasarkan
pada keyakinan bahwa usaha untuk melawan peningkatan kadar glukosa
yang dianggap normal dapat merugikan. Alasan lain adalah penghindaran
terhadap hipoglikemia dan konsekuensinya lebih penting dibandingkan kontrol
glukosa saat pasien berada di rumah sakit Suatu penelitian terhadap anak
dengan syok septik mengemukakan adanya hubungan yang bermakna antara
KGD tertinggidengan mortalitas. Penelitian lain mendapatkan KGD >150
mg/dL memiliki rasio oddsterhadap kematian meningkat sebesar 2.6 kali
pada kelompok pasien yang meninggal. Dengan sulitnya menentukan nilai

167
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

KGD yang dianggap berbahaya, terdapat beberapa bagian hiperglikemia yang


dipertimbangkan sebagai keadaan yang bermakna, antara lain adalah waktu
terjadinya hiperglikemia, durasi serta intensitas hiperglikemia. Waktu
terjadinya hiperglikemia dianggap berpengaruh terhadap lama rawatan dan
kematian pasien. Suatu penelitian mendapatkan waktu hiperglikemia yang
terjadi saat pertama kali masuk rawatan tidak berpengaruh terhadap lama
rawatan dan mortalitas. Namun, pada pasien anak kritis dengan trauma
kepala ditemukan pasien dengan hiperglikemia tertinggi pada saat masuk
rawatan lebih banyak didapatkan pada kelompok yang meninggal.
Terdapat kontroversi mengenai apakah lebih berbahaya hiperglikemia
dengan kadar gula darah yang lebih tinggi, atau keadaan hiperglikemia yang
menetap atau berkepanjangan. Selain efek positifnya, hiperglikemia yang
menetap atau berkepanjangan pada masa kritis dapat meningkatkan risiko
kematian akibat gagal jantung, infark miokard, strokeiskemik, hemoragik dan
lainnya yang berakhir dengan gagal fungsi organ multipel. Penelitian yang ada
mengemukakan kadar hiperglikemia yang dianggap berarti adalah yang
menetap setelah 24 jam pertama dan akan menimbulkan mortalitas yang
tinggi bila menetap sampai 10 hari perawatan di UPI. Penelitian pada pasien
anak dengan ventilator dan infus vasoaktif mendapatkan durasi hiperglikemia
lebih lama pada kelompok yang meninggal dan berpengaruh terhadap lama
rawatan dan kematian. Intensitas hiperglikemia adalah kekerapan terjadinya
hiperglikemia pada suatu rawatan UPI. Penelitian pada pasien UPI Anak yang
ada mendapatkan pada kelompokpasien yang meninggal, hiperglikemia
secara signifikan lebih intens , median KGD>150 mg/dL pada 48 jam pertama
rawatan UPI berhubungan dengan peningkatan 3 kali risiko kematian
dibandingkan dengan median KGD <150 mg/dL.

H. Penatalaksanaan
Pada pasien dengan keadaan kritis di UPI Anak, target gula darah yang
diinginkan adalah sedekat mungkin dengan angka < 110 mg/dL. Dengan
dilakukannya beberapa studi baru, maka saat ini nilai yang lebih permisif pada
anak adalah 90-140 mg/dL (5-7.7 mmol/L). Beberapa sentra sedang melakukan uji
coba klinis lebih lanjut mengenai kontrol glukosa kepada pasien anak.
10. Kontrol Glukosa Konvensional Versus Kontrol Glukosa Intensif

168
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Terdapat dua macam penatalaksanaan hiperglikemia yang sedang


berkembang pada pasien dalam keadaan kritis, yaitu kontrol glukosa
konvensional (conventional glycemic control), dimana insulin digunakan
setelah KGD melewati ambang batastertentu (kebanyakan menggunakan
angka 200 mg/dL, pada anakdiambil angka 150 mg/dL, pada neonati >250
mg/dL) dan kontrol glukosa intensif (tight glycemic control), dimana dilakukan
pemberian insulin saat KGD melebihi batas nilai normal (126 mg/dL). Suatu
studi yang dilakukan terhadap pasien UPI Dewasa mendapatkan infus insulin
intensif secara signifikan menurunkan morbiditas namun tidak mortalitas pada
pasien UPI. Peneltian lain yang dikenal dengan NICE SUGAR study,
menyatakan kontrol glukosa intensif dengan target gula darah 180 mg/dL
menyebabkan mortalitas yang lebih rendah dibandingkan dengan target gula
darah 81 sampai 180 mg/dL.
11. Penggunaan insulin
Insulin meningkatkan sintesis protein, sintesis glikogen, pengambilan
glukosa oleh sel, dan memfasilitasi proliferasi selular dengan efek apoptosis.
Selain itu, insulin juga memperbaiki dislipidemia, mempengaruhi efek
anabolik pada otot-otot rangka, memperbaiki serta memperlambat apoptosis,
serta mempunyai efek antiinflamasi pada pasien dengan keadaan kritis. Insulin
juga mempengaruhi vasodilatasi dan meningkatkan aliran darah ke jaringan,
memberikan proteksi terhadap gagal ginjal akut dan mencegah terjadinya
polineuropati. Insulin regular (short acting) intravena adalah regimen insulin
yang digunakan untuk pemberian intravena Terapi insulin dapat dimulai
dengan dosis 0.05-0.1 unit/kg/jam, diberikan secara drip tanpa diawali dengan
bolus. Pemberian secara bolus masih dilakukan pada neonati, dimulai dengan
bolus 0.005-0.1 unit/kg dilanjutkan dengan drip 0.01-0.2 unit/kg/jam. Satu studi
menyimpulkan pemberian insulin yang meningkat berhubungan positif dengan
kematian, dimana kematian tersebut berhubungan dengan hipoglikemia.
Penelitian lain menyatakan peningkatan risiko komplikasi yang berhubungan
dengan hipoglikemia pada pasien kritis dengan sepsis yang diberikan terapi
insulin intensif. Penelitian ini bahkan dihentikan untuk alasan keamanan.

12. Pemantauan
Penggunaan insulin dalam tatalaksana pasien hiperglikemia
memerlukan pemeriksaan gula darah yang sering,bahkan dapat berulang

169
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

setiap jam sampai kadar gula stabil, setelahnya dapat setiap 4-6 jam.
Diperlukan perhatian khusus dalam terapi ini untuk mencegah dan
mengkoreksi hipoglikemia serta penyesuaian dosis insulin. Saat ini telah
digunakan monitor glukosa secara kontinyu dengan menggunakan Continous
Glucose Monitoring System (CGMS) yang dimasukkan subkutan.

KONSEP HIPOGLIKEMIA
A. Definisi Hipoglikemia
Hipoglikemia didefinisikan sebagai keadaan di mana kadar glukosa plasma
lebih rendah dari 45 mg/dl 50 mg/dl. Bauduceau, dkk mendefinisikan
hipoglikemia sebagai keadaan di mana kadar gula darah di bawah 60 mg/dl
disertai adanya gelaja klinis pada pasien. Pasien diabetes yang tidak terkontrol
dapat mengalami gejala hipoglikemia pada kadar gula darah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan orang normal, sedangkan pada pasien diabetes dengan
pengendalian gula darah yang ketat (sering mengalami hipoglikemia) dapat
mentoleransi kadar gula darah yang rendah tanpa mengalami gejala hipoglikemia.
Pendekatan diagnosis kejadian hipoglikemia juga dilakukan dengan bantuan
Whipples Triad yang meliputi: keluhan yang berhubungan dengan hipoglikemia,
kadar glukosa plasma yang rendah, dan perbaikan kondisi setelah perbaikan
kadar gula darah.
Hipoglikemia akut diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat
menurut gejala klinis yang dialami oleh pasien :
Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut
Ringan Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan
aktivitas sehari hari yang nyata
Sedang Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan
aktivitas sehari hari yang nyata
Berat Sering tidak simtomatik, pasien tidak dapat mengatasi sendiri
karena adanya gangguan kognitif
1. Membutuhkan pihak ketiga tetapi tidak membutuhkan terapi
parenteral
2. Membutuhkan terapi parenteral (glukagon intramuskuler
atau intravena)
3. Disertai kejang atau koma

American Diabetes Association Workgroup on Hypoglycemia


mengklasifikasikan kejadian hipoglikemia menjadi 5 kategori sebagai berikut:

170
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Klasifikasi Hipoglikemia menurut American Diabetes Association Workgroup on


Hypoglycemia tahun 2005
Severe hypoglycemia Kejadian hipoglikemia yang
membutuhkan
bantuan dari orang lain
Documented symptomatic Kadar gula darah plasma 70 mg/dl
hypoglycemia disertai
gejala klinis hipoglikemia
Asymptomatic hypoglycemia Kadar gula darah plasma 70 mg/dl
tanpa
disertai gejala klinis hipoglikemia
Probable symptomatic hypoglycemia Gejala klinis hipoglikemia tanpa disertai
pengukuran kadar gula darah plasma
Relative hypoglycemia Gejala klinis hipoglikemia dengan
pengukuran kadar gula darah plasma
70 mg/dl dan terjadi penurunan kadar
gula darah

B. Gejala dan Tanda Hipoglikemia


Gejala dan tanda dari hipoglikemia merupakan akibat dari aktivasi sistem
saraf otonom dan neuroglikopenia. Pada pasien dengan usia lajut dan pasien
yang mengalami hipoglikemia berulang, respon sistem saraf otonom dapat
berkurang sehingga pasien yang mengalami hipoglikemia tidak menyadari kalau
kadar gula darahnya rendah (hypoglycemia unawareness). Kejadian ini dapat
memperberat akibat dari hipoglikemia karena pasien terlambat untuk
mengkonsumsi glukosa untuk meningkatkan kadar gula darahnya.
Gejala dan tanda yang muncul pada keadaan hipoglikemia
Kadar Gula Darah Gejala Neurogenik Gejala Neuroglikopenik
79,2 mg/dL gemetar, goyah, gelisah irritabilita, kebingungan
70,2 mg/dL gugup, berdebar debar sulit berpikir, sulit berbicara
59,4 mg/dL berkeringat ataxia, paresthesia
50,4 mg/dL mulut kering, rasa sakit kepala, stupor,
kelaparan
39,6 mg/dL pucat, midriasis kejang, koma, kematian

C. Etiologi
1. Makan kurang dari diet yang ditentukan
2. Sesudah olahraga

171
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

3. Sembuh dari sakit


4. Sesudah Melahirkan
5. Makan obat yang mempunyai sifat serupa

D. Komplikasi
Komplikasi dari hipoglikemia pada gangguan tingkat kesadaran yang berubah
selalu dapat menyebabkan gangguan pernafasan, selain itu hipoglikemia juga
dapat mengakibatkan kerusakan otak akut. Hipoglikemia berkepanjangan parah
bahkan dapat menyebabkan gangguan neuropsikologis sedang sampai dengan
gangguan neuropsikologis berat karena efek hipoglikemia berkaitan dengan
system saraf pusat yang biasanya ditandai oleh perilaku dan pola bicara yang
abnormal (Jevon, 2010) dan menurut Kedia (2011) hipoglikemia yang berlangsung
lama bisa menyebabkan kerusakan otak yang permanen, hipoglikemia juga dapat
menyebabkan koma sampai kematian.

E. Diagnosis Hipoglikemia
1. Hipoglikemia dengan gejla-gejala saraf pusat, psikiatrik atau vasomotorik
2. Kadar glukosa darah < 50 mg %
3. Gejala akan menghilang dengan pemberian gula

F. Terapi
1. Pemberian gula murni 30 g (2 sendok makan), sirup atau makanan yang
mengandung karbohidrat.
2. Pada keadaan koma, berikan larutan glukosa 40 % IV sebanyak 10 25 cc,
setiap 10 20 menit sampai pasien sadar, disertai infus dekstrosa 10 % 6
jam/kolf
3. Bila belum teratasi, dapat diberikan antagonis insulin.

G. Mekanisme Kontra Regulasi Kadar Gula Darah


Penurunan kadar gula darah dapat memicu serangkaian respon yang bertujuan
meningkatkan kadar gula darah.

172
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Respon Fisiologis Terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Plasma


Respon Batas Kadar Efek fisiologis
Gula Darah
(mg/dl)
Penurunan sekresi insulin 80 85 Mempercepat peningkatan glukosa
(Menghambat penurunan glukosa)
Peningkatan sekresi glukagon 65 70 Mempercepat peningkatan glukosa
Peningkatan sekresi 65 70 Mempercepat peningkatan
epinephrine glukosa, Menghambat penurunan
glukosa
Peningkatan sekresi 65 70 Mempercepat peningkatan
cortisol dan growth glukosa, Menghambat penurunan
hormone glukosa
Simptom 50 55 Sebagai tanda bagi pasien untuk
hipoglikemia mengkonsumsi glukosa

Keterangan tabel: Peningkatan glukosa adalah produksi glukosa yang dilakukan


oleh hati dan ginjal (glukoneogenesis). Penurunan glukosa adalah penggunaan
glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin.

Pertahanan fisiologis yang pertama terhadap hipoglikemia adalah penurunan


sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pasien diabetes melitus tipe 1 yang
menerima terapi substitusi insulin tidak memiliki penurunan sekresi insulin
fisiologis (sekresi insulin berkurang saat kadar gula darah rendah) karena insulin
yag beredar dalam tubuh merupakan insulin penggantui yang berasal dari luar
(eksogen). Pertahanan fisiologis yang kedua terhadap hipoglikemia adalah
peningkatan sekresi glukagon. Sekresi glukagon meningkatkan produksi glukosa
di hepar dengan memacu glikogenolisis. Pertahanan fisiologis yang ketiga
terhadap hipoglikemia adalah peningkatan sekresi epinefrin adrenomedullar.
Sekresi ini terjadi apabila sekresi glukagon tidak cukup untuk meningkatkan kadar
gula darah. Sekresi epinefrin adrenomedullar meningkatkan kadar gula darah
dengan cara stimulasi hepar dan ginjal untuk memproduksi glukosa, membatasi
penyerapan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin, perpindahan
substrat glukoneogenik (laktat dan asam amino dari otot, dan gliserol dari jaringan
lemak). Sekresi insulin dan glukagon dikendalikan oleh perubahan kadar gula
darah dalam pulau Langerhans di pankreas. Sedangkan pelepasan epinefrin
(aktivitas simpatoadrenal) dikendalikan secara langsung oleh sistem saraf pusat.
Bila pertahanan fisiologis ini gagal mencegah terjadinya hipoglikemia, kadar
glukosa plasma yang rendah menyebabkan respon simpatoadrenal yang lebih
hebat yang menyebabkan gejala neurogenik sehingga pasien hipoglikemia
menyadari keadaan hipoglikemia dan bertujuan agar pasien segera

173
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

mengkonsumsi karbohidrat. Seluruh mekanisme pertahanan ini berkurang pada


pasien dengan diabetes tipe 1 dan pada advanced diabetes mellitus tipe 2.

H. Patofisiologi Hipoglikemia yang Berhubungan dengan Kegagalan Otonom

I. Identifikasi Faktor Faktor yang Mempengaruhi Hipoglikemia


1. Usia
Menurut Lefebvre, gejala (symptom) hipoglikemia muncul lebih berat dan
terjadi pada kadar gula darah yang lebih tinggi pada orang tua dibanding
dengan usia yang lebih muda. Sedangkan menurut Studenski dalam buku
ajar Harrisons Princle of Internal Medicine 18th Ed dikemukankan bahwa
hipoglikemia pada pasien diabetes usia lanjut lebih sulit diidentifikas karena
simptom autonomik dan neurogenik terjadi pada kadar gula darah yang lebih
rendah bila dibandingkan dengan pasien diabetes pada usia yang lebih muda.
sedangkan reaksi metabolik dan efek cedera neurologisnya sama saja antara
pasien diabetes muda dan usia lanjut. Simptom autonom hipoglikemia sering
tertutupi oleh penggunaan betablocker. Pasien diabetes usia lanjut memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami hipoglikemia daripada pasien
diabetes usia lanjut yang sehat dan memiliki fungsi yang baik.
2. Kelebihan (ekses) insulin

174
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

a. Dosis insulin atau obat penurun gula darah yang terlalu tinggi.
b. Konsumsi glukosa yang berkurang.
c. Produksi glukosa endogen berkurang, misal setelah konsumsi alkohol.
d. Peningkatan penggunaan glukosa oleh tubuh, misal setelah berolahraga.
e. Peningkatan sensitivitas terhadap insulin.
f. Penurunan ekskresi insulin, misal pada gagal ginjal.
3. Ekses insulin disertai mekanisme kontra regulasi glukosa yang terganggu
Hipoglikemi merupakan interaksi antara kelebihan (ekses) insulin dan
terganggunya mekanisme kontra regulasi glukosa. Kejadian ekses insulin saja
belum tentu menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Faktor risiko yang relevan
dengan terganggunya mekanisme kontra regulasi glukosa pada pasien
diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2 tahap lanjut antara lain:
a. Defisiensi insulin pankreas
Menandakan bahwa insulin yang ada merupakan insulin eksogen,
sehingga apabila gula darah turun di bawah batas normal, tidak terjadi
penurunan sekresi insulin.
b. Riwayat hipoglikemia berat, ketidaksadaran hipoglikemia (hypoglycemia
unawareness), atau keduanya.
c. Terapi penurunan kadar gula darah yang agresif, ditandai dengan kadar
HbA1c yang rendah, target kadar gula darah yang rendah, atau
keduanya.
4. Frekuensi Hipoglikemia
Pasien yang sering mengalami hipoglikemia akan mentoleransi kadar gula
darah yang rendah dan mengalami gejala hipoglikemia pada kadar gula darah
yang lebih rendah daripada orang normal.
5. Obat hipoglikemik oral yang berisiko menyebabkan hipoglikemia
Penggunaan obat hipoglikemik oral yang memiliki cara kerja meningkatkan
sekresi insulin pada pankreas dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia.
Obat-obat tersebut antara lain dipeptydil peptidase-4 inhibitor, glucagon-like
peptide-1, golongan glinide, golongan sulfonylurea: glibenclamide, glimepiride.
a. Sulfonylurea
Sulfonylurea bekerja dengan memacu pelepasan insulin dari sel beta
pankreas dengan cara berikatan dengan reseptor sulfonylurea pada sel
beta pankreas yang menyebabkan inhibisi efluks ion kalium dan
menyebabkan depolarisasi dan pelepasan insulin. Pemakaian

175
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

sulfonylurea jangka panjang pada pasien DM tipe 2 dapat menurunkan


kadar serum glukagon yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
hipoglikemia. Mekanisme inhibisi glukagon ini terjadi karena stimulasi
pelepasan insulin dan somatostatin menghambat sekresi sel alfa
pankreas. Obat golongan sulfonylurea yang saat ini cukup banyak
digunakan merupakan sulfonylurea generasi ke-2 yaitu glibenclamide dan
glimepiride. Glibenclamide (glyburide) dimetabolisme di hepar menjadi
produk dengan aktivitas hipoglikemik yang sangat rendah. Dosis awal
pemberian Glibenclamide yaitu 2,5 mg per hari dan dapat ditingkatkan
hinga mencapai 5-10 mg dosis tunggal per hari dan diberikan pada pagi
hari. Pemberian dosis lebih dari 20 mg per hari tidak direkomendasikan.
Glibenclamide berisiko menyebabkan hipoglikemia. Efek samping
glibenclamide yang lain adalah dapat menyebabkan flushing apabila
berinteraksi dengan alkohol.Insufisiensi ginjal dan hepar merupakan
kontraindikasi penggunaan glibenclamide. Glimepiride digunakan dengan
dosis sekali sehari, sebagai terapi tunggal ataupun sebagai kombinasi
dengan terapi insulin. Glimepiride mencapai pengendalian gula darah
pada dosis yang paling rendah bila dibandingkan dengan sulfonylurea
yang lain. Dosis tunggal 1 mg tiap hari dapat menunjukkan kerja yang
efektif dan dapat digunakan dosis hingga 8 mg per hari. Glimepiride
memiliki waktu paruh selama 5 jam sehingga dapat diberikan dalam dosis
tunggal sekali sehari. Glimepiride dimetabolisme di hepar menjadi bentuk
yang inaktif.
b. Meglitinide
Meglitinide bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin sel beta pankreas
dengan mengatur efluks kanal kalsium. Meglitinide memiliki tempat
perlekatan (binding sites) yang sama dengan yang dimiliki oleh golongan
sulfonylurea. Obat yang termasuk dalam golongan meglitinide yaitu
repaglinide. Repaglinide memiliki onset kerja sangat cepat, dengan
konsentrasi puncak dan efek puncak kurang dari satu jam setelah obat
ditelan, sedangkan durasi kerja repaglinide selama 58 jam. Repaglinide
dimetabolisme di hepar oleh enzim CYP3A4 dengan waktu paruh plasma
selama 1 jam. Sifat kerja yang cepat ini membuat Repaglinide diindikasikan
untuk mengatasi peningkatan glukosa setelah makan (post-prandial).
Repaglinide diminum tepat sebelum makan, dengan dosis 0.25-4 mg

176
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

(maksimum 16 mg per hari) Repaglinide berisiko menimbulkan hipoglikemia


bila pasien tidak segera makan setelah mengkonsumsi obat, atau makan
dengan jumlah karbohidrat yang tidak adekuat. Repaglinide perlu mendapat
perhatian khusus pada pasien dengan gangguan hepar dan ginjal.
Repaglinide dapat digunakan sebagai terapi tungal ataupun dikombinasikan
dengan biguanide (metformin). Repaglinide dapat diberikan pada pasien
diabetes yang alergi dengan sulfonylureakarena repaglinide tidak
mengandung unsur sulfur.
6. Terapi Salisila
Salisilat menurunkan kadar gula darah dan meningkatkan sekresi insulin yang
distimulasi glukosa (glucose-stimulated insulin secretion) pada orang normal
dan pasien diabetes. Salisilat menghambat sintesis prostaglandin pada
berbagai jaringan, termasuk jaringan pankreas. Penurunan produksi
prostaglandin di pankreas berhubungan dengan peningkatan sekresi insulin,
dibuktikan dalam penelitian sebelumnya bahwa pada orang normal, infus
prostaglandin E2 dan analog E2 termetilasi menghambat respon insulin akut
setelah asupan glukosa. Pemberian aspirin dalam dosis 1,8g 4,5g per hari
dapat menurunkan kebutuhan suntikan insulin pada pasien diabetes dan
pemberian 6g aspirin per hari selama 10 hari menurunkan rata-rata gula darah
puasa dari 371mg/dl menjadi 128mg/dl.
7. Terapi Insulin
Terapi insulin dapat menyebabkan hipoglikemia karena apabila kadar gula
darah turun melampaui batas normal, tidak terjadi fisiologi penurunan kadar
insulin dan pelepasan glukagon, dan juga refleks simpatoadrenal.
Berdasarkan berbagai penelitian klinis, terbukti bahwa terapi insulin pada
pasien hiperglikemia memperbaiki luaran klinis. Insulin, selain dapat
memperbaiki status metabolik dengan cepat, terutama kadar glukosa darah,
juga memiliki efek lain yang bermanfaat, antara lain perbaikan inflamasi. Pada
awalnya, terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien diabetes melitus tipe 1
(DMT1). Namun demikian, pada kenyataannya, insulin lebih banyak
digunakan oleh pasien DMT2 karena prevalensi DMT2 jauh lebih banyak
dibandingkan DMT1. Pasien DMT2 yang memiliki kontrol glukosa darah yang
tidak baik dengan penggunaan obat antidiabetik oral perlu dipertimbangkan
untuk penambahan insulin sebagai terapi kombinasi dengan obat oral atau

177
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

insulin tunggal. Berdasarkan onset kerjanya, terapi insulin diklasifikasikan


sebagai berikut:
a. Rapid acting insulin (insulin kerja sangat cepat)
Insulin kerja sangat cepat memiliki onset kerja dan puncak kerja yang
memungkinkan terapi insulin yang menyerupai fisiologi sekresi insulin
post-prandial. Insulin kerja sangat cepat dapat digunakan sesaat
sebelum pasien makan. Durasi kerja insulin kerja sangat cepat tidak lebih
dari 4 5 jam, dengan demikian memiliki risiko hipoglikemia pasca
makan (late postmeal hypoglycemia) yang lebih kecil. Yang termasuk
insulin kerja sangat cepat antara lain insulin lispro, insulin aspart, dan
insulin glulisine.
b. Short acting insulin (insulin kerja singkat)
Insulin reguler adalah insulin kerja singkat yang larut dalam bentuk kristal
zinc. Efek kerja insulin kerja singkat muncul dalam 30 menit, mencapai
puncak kerja dalam 2-3 jam setelah injeksi subkutan, dan memiliki durasi
kerja 5-8 jam. Dalam konsentrasi yang tinggi, molekul insulin ini
mengalamai aggregasi di sekitar ion zinc sehingga membentuk molekul
heksamer. Bentuk heksamer inilah yang menyebabkan insulin reguler
membutuhkan waktu untuk dapat bekerja aktif. Setelah injeksi subkutan.
molekul hexamer insulin akan mengalami pengenceran (dilusi) oleh cairan
interstitial jaringan dan terpecah menjadi molekul dimer dan monomer.
Insulin kerja singkat baru dapat bekerja optimal dalam bentuk monomer
tersebut. Apabila insulin disuntikan pada saat pasien makan, maka akan
terjadi kenaikan kadar gula darah setelah makan (early post-prandial
hyperglycemia) karena insulin belum bekerja, dan berisiko menimbulkan
hipoglikemia pasca makan (late post-prandial hypoglycemia) karena kerja
insulin yang terlambat. Insulin kerja singkat harus disuntikkan 30 -45
menit sebelum makan untuk mencapai penurunan kadar gula yang tepat.
Insulin kerja singkat bermanfaat dalam terapi intravena pada pasien
ketoasidosis diabetes dan pada pembedahan ataupun infeksi akut.
c. Intermediate acting insulin (insulin kerja sedang)
Neutral Protamine Hagedorn insulin (NPH) insulin kerja sedang yang
absorbsi dan kerjanya dihambat dengan cara mengkombinasikan insulin
dengan protamine dalam jumlah yang tepat. Setelah penyuntikan
subkutan, enzim proteolitik jaringan menguraikan protamin sehingga

178
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

insulin dapat diabsorbsi dan diedarkan ke seluruh tubuh. NPH memiliki


onset kerja 2 5 jam dan masa kerja 4 12 jam. NPH biasanya dicampur
dengan rapid acting insulin
(lispro, aspart, atau glulisin) dan diberikan 2-4 kali sehari sebagai
pengganti insulin endogen (replacement therapy). Dosis NPH
mempengaruhi profil kerja, misal dosis kecil memiliki puncak kerja yang
lebih rendah dan lebih cepat dan masa kerja yang singkat, dan terjadi
sebaliknya pada penambahan dosis yang lebih besar. Kerja NPH sangat
sulit diprediksi dan memliki variabilitas absorbsi yang tinggi.
d. Long acting insulin (insulin kerja panjang)
Insulin glargine adalah insulin kerja panjang yang tidak memliki puncak
masa kerja (peakless). Insulin glargine didesain untuk mencapai terpi
insulin yang nyaman dan stabil. Molekul Insulin glargine larut dalam
suasana yang asam (pH pelarut = 4,0) dan mengalami presipitasi sesaat
setelah disuntikkan secara subkutan karena pH tubuh yang netral.
Monomer insulin secara perlahan-lahan dilepaskan dari kumpulan
presipitat insulin pada jaringan sekitar lokasi penyuntikan sehingga
menghasilkan profil insulin plasma yang rendah, stabil, dan kontinyu.
Insulin glargine memiliki onset kerja yang lambat (1 1,5 jam) dan
mencapai kerja maksimum dalam 4-6 jam. Kerja maksimum ini bertahan
selama 11 24 jam. Glargine diberikan dalam suntikan sekali sehari, atau
dapat dibagi dalam 2 dosis untuk pasien dengan resistensi insulin
ataupun hipersensitivitas terhadap insulin. Glargine tidak dapat dicampur
dengan insulin jenis lain karena dapat menurunkan efikasinya karena
glargine harus dilarutkan dalam suasana asam. Pencampuran dengan
insulin lain dalam spuit yang sama juga harus dihindari dan harus
disuntikkan dengan spuit yang berbeda. Pola absorbsi insulin glargine
tidak terikat dengan letak penyuntikan. Insulin detemir adalah insulin
kerja panjang yang dikembangkan paling baru dan memiliki efek
hipoglikemik yang lebih rendah daripada NPH insulin. Insulin detemir
memiliki onset kerja yang bergantung pada dosis (dose dependent)
selama 1 -2 jam dan durasi kerja 24 jam. Insulin detemir diberikan dua
kali sehari untuk mencapai kadar insulin yang tepat.
8. Aktivitas Fisik / Olahraga

179
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Aktivitas fisik atau olahraga berperan dalam pencegahan dan


penanganan diabetes. Olahraga dapat memicu penurunan berat badan,
meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan hepar dan perifer,
meningkatkan pemakaian glukosa, dan kesehatan sistem kardiovaskuler.
Namun pada pasien diabetes dengan pengendalian gula darah yang intensif,
olahraga dapat meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia bila tanpa disertai
penyesuaian dosis terapi insulin, dan atau suplementasi karbohidrat.
Hipoglikemia dapat terjadi saat berolah raga, sesaat setelah berolahraga,
ataupun beberapa jam setelah berolahraga. Beberapa studi terakhir
menemukan bahwa hipoglikemia setelah olah raga dipengaruhi oleh
kegagalan sistem otonom pada pasien diabetes. Pada saat olah raga terjadi
penurunan insulin secara fisiologis, sedangkan pada pasien diabetes yang
tergantung pada terapi insulin eksogen, penurunan insulin fisiologis ini tidak
terjadi karena insulin yang beredar di dalam tubuh adalah insulin eksogen dan
tidak dapat dikendalikan oleh pankreas. Berbeda dengan penurunan sekresi
insulin yang tidak terjadi pada pasien diabetes, pada saat berolah raga sekresi
glukagon dari sel0sel alfa pankreas tetap terjadi pada pasien diabetes melitus
tipe 1 dan tipe 2. Hilangnya penurunan kadar insulin juga menghambat
proses glikogenolisis dan glukoneogenesis karena kadar insulin yang relatif
tinggi beredar dalam darah. Pada pasien diabetes juga terjadi kegagalan
sekresi epinefrin. Secara fisiologis, epinefrin berfungsi meningkatkan
glikogenolisis dan menghambat pemakaian glukosa pada saat olahraga.
9. Keterlambatan asupan glukosa
Berkurangnya asupan karbohidrat atau glukosa pada pasien hiperglikemia
karena terlambat makan atau menjalani puasa dengan tidak mengurangi dosis
obat-obatan antidiabetes, dapat terjadi hipoglikemia karena berkurangnya
asupan glukosa dari saluran cerna.
10. Gangguan Ginjal
Hipoglikemia pada gangguan fungsi ginjal dapat diakibatkan oleh penurunan
glukoneogenesis, kerja insulin yang berlebih atau berkurangnya asupan kalori.
Pada gangguan fungsi ginjal dapat terjadi penurunan kebutuhan insulin
karena perubahan pada metabolisme dan ekskresi insulin (insulin clearance).
Insulin eksogen secara normal dimetabolisme oleh ginjal. Pada gangguan
fungsi ginjal, waktu paruh insulin memanjang karena proses degradasi insulin
berlangsung lebih lambat.

180
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

J. Penatalaksanaan
Menurut Kedia (2011), pengobatan hipoglikemia tergantung pada keparahan dari
hipoglikemia. Hipoglikemia ringan mudah diobati dengan asupan karbohidrat
seperti minuman yang mengandung glukosa, tablet glukosa, atau mengkonsumsi
makanan rigan. Dalam Setyohadi (2011), pada minuman yang mengandung
glukosa, dapat diberikan larutan glukosa murni 20- 30 gram (1 - 2 sendok
makan). Pada hipoglikemia berat membutuhkan bantuan eksternal, antara lain
(Kedia, 2011):
1. Dekstrosa
Untuk pasien yang tidak mampu menelan glukosa oral karenapingsan,
kejang, atau perubahan status mental, pada keadaan darurat dapat
pemberian dekstrosa dalam air pada konsentrasi 50% adalah dosis
biasanya diberikan kepada orang dewasa, sedangkan konsentrasi 25%
biasanya diberikan kepada anak-anak.
2. Glukagon
Sebagai hormon kontra-regulasi utama terhadap insulin, glukagonadalah
pengobatan pertama yang dapat dilakukan untuk hipoglikemia berat. Tidak
seperti dekstrosa, yang harus diberikan secara intravenadengan perawatan
kesehatan yang berkualitas profesional, glucagon dapat diberikan oleh
subkutan (SC) atau intramuskular (IM) injeksi oleh orang tua atau
pengasuh terlatih. Hal ini dapat mencegah keterlambatan dalam memulai
pengobatan yang dapat dilakukan secara darurat.

K. Pendidikan Pasien dan Pertimbangan Perawatan di Rumah


1. Hipoglikemia dicegah dengan mengikuti pola makan, penyuntikan insulin dan
latihan yang teratur
2. Makan cemilan antara jam-jam makan dan saat akan tidur malam diperlukan
untuk melawan efek insulin yang maksimal
3. Pasien harus menghadapi saat puncak kerja insulin dengan mengkomsumsi
cemilan dan makanan tambahan pada saat melakukan aktivitas fisik dengan
intensitas yang lebih besar

181
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

4. Pemeriksaan rutin kadar gukosa darah harus dilakukan sehingga perubahan


kebutuhan insulin dapat diantisipasi dan disesuaikan.

Referensi:

Kedia, Nitil. 2011. Treatment of Severe Diabetic Hypoglycemia With Glucagon: an


Underutilized Therapeutic Approach. Dove Press Journal

Krnacova, Veronika. 2012. Severe Hypoglycaemia Requiring the Assistance Of


Emergency Medical Services Frequency, Causes and Symptoms. Biomed Pap
Med Fac Univ Palacky Olomouc Czech Repub

Mega Hadiatma, 2012. Asuhan Keperawatan Pada Ny. S Dengan Hipoglikemia Pada
Pasien Diabetes Mellitus Di Instalasi Gawat Darurat Rsud Dr. Moewardi. Fakultas
Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Setyohadi, Bambang. 2011. Kegawatdaruratan Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat


Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam

Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Volume


2.Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C & Brenda G, Bare. 2001. Keperawatan Medical-Bedah Brunner


&Suddarth, Vol 2. Jakarta : EGC

Sustrani Lanny Dkk. 2004. Diabetes. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Timby, Barbara K & Nancy E, Smith. 2006. Introductory Medical-Surgical Nursing 9th
Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins

Wilkinson, Judith M. 2005. Nursing Diagnosis Handbook With NIC Interventions And
NOC Outcomes. New jersey : pearson prentice hall

182
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER LUKA BAKAR

19
A. Definisi
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak langsung tak
langsung dengan suhu tinggi seperti api, air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi
(Nugrogo, 2010). Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak langsung
dengan suhu tinggi seperti api, air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi juga oleh
sebab kontak dengan suhu rendah (frost-bite). Luka bakar ini dapat
mengakibatkan kematian, atau akibat lain yang berkaitan dengan problem fungsi
maupun estetik (Rendy & Margareth 2012). Luka bakar adalah kerusakan atau
kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber air panas seperti
api,air panas,bahan kimia, listrik, dan radiasi (Musliha, 2010).

B. Etiologi
Luka bakar banyak disebabkan karena suatu hal, diantaranya adalah
1. Luka bakar suhu tinggi (Thermal Burn): gas, cairan, bahan padat
Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald) ,jilatan
api ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau
kontak dengan objek-objek panas lainnya(logam panas, dan lain-lain)
(Moenadjat, 2009).
2. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn)
Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa
digunakan dalam bidang industri militer ataupu bahan pembersih yang sering
digunakan untuk keperluan rumah tangga (Moenadjat, 2009).

183
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

3. Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn)


Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan
ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki
resistensi paling rendah. Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khusunya
tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Sering kali
kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan sumber arus
maupun grown (Moenadjat, 2001).
4. Luka bakar radiasi (Radiasi Injury)
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radio aktif.
Tipe injury ini sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif untuk keperluan
terapeutik dalam dunia kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari
yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi (Moenadjat,
2008).

C. Patofisiologi Luka Bakar


Panas tidak hanya merusak kulit secara lokal tetapi memiliki banyak efek
umum pada tubuh. Perubahan ini khusus untuk luka bakar dan umumnya tidak
mengalami pada luka yang disebabkan oleh cedera lainnya (Vartak A, 2010). Ada
peningkatan dalam permeabilitas kapiler karena efek panas dan kerusakan. Hal ini
menyebabkan plasma bocor keluar dari kapiler ke interstitial. Hasil dari
peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma berlanjut sampai 48 jam
dan maksimum 8 jam pertama. Dalam 48 jam baik permeabilitas kapiler kembali
menjadi normal atau trombosis dan tidak lebih bagian dari sirkulasi. Hilangnya
plasma ini adalah penyebab syok hipovolemik pada luka bakar.
Berikut ini adalah penyebab dari kehilangan darah pada luka bakar:
1. Sel darah merah yang hilang dalam pembuluh dasar kulit terbakar pada fase
akut. Oleh karena itu, lebih dalam luka bakar lebih banyak kehilangan darah.
Darah akan ditransfusikan setelah 48 jam kecuali dinyatakan seperti pada
anemia yang sudah ada atau kehilangan darah secara keseluruhan karena
penyebab lainnya.
2. Masa hidup sirkulasi sel darah merah berkurang karena dengan efek langsung
dari panas dan mereka hemolyse diawal. Luka bakar yang luas juga
menyebabkan sumsum tulang depresi yang mengarah ke anemia.
3. Pada tahap kronis luka bakar, kehilangan darah dari granulasi luka dan infeksi
bertanggung jawab untuk anemia. Tidak seperti kebanyakan luka lain, luka

184
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

bakar biasanya steril pada saat cedera. Panas menjadi agen penyebab, juga
membunuh semua mikroorganisme pada permukaan. Itu hanya setelah
minggu pertama luka bakar yang luka permukaan ini cenderung terinfeksi,
sehingga membuat sepsis sebagai penyebab utama kematian diluka bakar. Di
luka lain misalnya, luka gigit, luka tusuk dan luka lecet yang terkontaminasi
pada saat diderita jarang penyebab sepsis sistemik.

D. Klasifikasi Luka Bakar


1. Luka bakar derajat I
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis superfisial, kulit kering hiperemik,
berupa eritema, tidak dijumpai pula nyeri karena ujung ujung syaraf sensorik
teriritasi, penyembuhannya terjadi secara spontan dalam waktu 5 -10 hari
(Brunicardi et al., 2010).
2. Luka bakar derajat II
Kerusakan terjadi pada seluruh lapisan epidermis dan sebagai lapisan dermis,
berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Dijumpai pula, pembentukan
scar, dan nyeri karena ujung ujung syaraf sensorik teriritasi. Dasar luka
berwarna merah atau pucat. Sering terletak lebih tinggi diatas kulit normal
(Moenadjat, 2008).
a. Derajat II Dangkal (Superficial)
Kerusakan mengenai bagian superficial dari dermis.
Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea masih utuh.
Bula mungkin tidak terbentuk beberapa jam setelah cedera, dan luka
bakar pada mulanya tampak seperti luka bakar derajat I dan mungkin
terdiagnosa sebagai derajat II superficial setelah 12-24 jam
Ketika bula dihilangkan, luka tampak berwarna merah muda dan basah.
Jarang menyebabkan hypertrophic scar.
Jika infeksi dicegah maka penyembuhan akan terjadi secara spontan
kurang dari 3 minggu (Brunicardi et al., 2010).
b. Derajat II dalam (Deep)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis
Organ-organ kulit seperti folikel-folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh.
Penyembuhan terjadi lebih lama tergantung biji epitel yang tersisa.

185
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Juga dijumpai bula, akan tetapi permukaan luka biasanya tanpak


berwarna merah muda dan putih segera setelah terjadi cedera karena
variasi suplay darah dermis (daerah yang berwarna putih
mengindikasikan aliran darah yang sedikit atau tidak ada sama sekali,
daerah yg berwarna merah muda mengindikasikan masih ada
beberapa aliran darah ) (Moenadjat, 2008)
Jika infeksi dicegah, luka bakar akan sembuh dalam 3 -9 minggu
(Brunicardi et al., 2010)
c. Luka bakar derajat III (Full Thickness burn)
Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dermis dan lapisan lebih dalam,
tidak dijumpai bula, apendises kulit rusak, kulit yang terbakar berwarna
putih dan pucat. Karena kering, letak nya lebih rendah dibandingkan kulit
sekitar. Terjadi koagulasi protein pada epidermis yang dikenal sebagai
scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung
ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan atau kematian.
Penyembuhanterjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari
dasar luka (Moenadjat, 2008).
d. Luka bakar derajat IV
Luka full thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan ltulang
dengan adanya kerusakan yang luas. Kerusakan meliputi seluruh dermis,
organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar
keringat mengalami kerusakan, tidak dijumpai bula, kulit yang terbakar
berwarna abu-abu dan pucat, terletak lebih rendah dibandingkan kulit
sekitar, terjadi koagulasi protein pada epidemis dan dermis yang dikenal
scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensori karena ujung-ujung syaraf
sensorik mengalami kerusakan dan kematian. Penyembuhannya terjadi
lebih lama karena ada proses epitelisasi spontan dan rasa luka (Moenadjat,
2008).

186
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

E. Kriteria Berat Ringannya (American Burn Association)

Referensi:
Brunner & Suddart. 2002. BUKU AJAR KEPERAWATAN MEDICAL BEDAH EDISI 8.
BUKU AJAR KEDOKTERAN Jakarta EGC

Dermawan, Denden.2012.Proses Keperawatan. Yogyakarta:Gosyen Puslising

Dewi Yulia Ratna Sintia. 2007. Luka Bakar: KONSEP UMUM DAN INVESTIGASI
BERBASIS KLINIS LUKA ANTEMORTEM DAN POSTMORTEMINA

Dewi, sanarto Taqiyah 2008. Pengaruh Prefekwensi Perawatan Luka Bakar Dengan
Madu Nectar Floar Terhadap Lama Penyembuhan Luka

Grace A. Pierce & Neil R. Borley.2016. At. A Galance Ilmu Bedah Edisi Ketiga
Erlangga

Hasnul arifin. 2012. Pengelolaan Infeksi Pada Pasien Luka Bakar Di Unit Perawatan
Intensif

ISO (informasi spesialite obat) 2012. ISFI (ikatan sarjana farmasi Indonesia) Jakarta.

187
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Sjamsuhidajat.R & Wim de Jong. 2004. Buku-ajar ILMU BEDAH edisi 2. Buku
kedokteran Jakarta EGC

Nugroho Taufan.2012. Mengungkap Tentang Luka Bakar & Arthritis Rematoid.Nuha


Medika

Wong dl & dkk.2019. Buku ajar keperawatan pediatric. Volum I edisi 6 Buku
kedokteran Jakarta EGC

CHAPTER SEIZURE

20
A. Pengertian Kejang Demam
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rectal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Kejang demam adalah kelainan neurologis yang sering terjadi pada bayi dan anak-
anak. Keadaan ini termasuk keadaan darurat. Dari penelitian yang pernah
dilakukan sekitar 2,5-5% anak pernah mengalami kejang demam sebelum umur 5
tahun.1 Kejang demam banyak mengenai anak usia 14- 18 bulan.2,3 Kejang
demam terjadi lebih dari 90% pada anak usia di bawah 5 tahun.4 Hampir 5% anak
berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang selama
hidupnya.
Kejang demam terjadi karena suatu proses dari ekstrakranium. Kejang
terjadi akibat perubahan fungsi otak secara tiba-tiba dan sementara sebagai akibat
dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang
berlebihan sehingga menyebabkan renjatan berupa kejang. Gejala klinis akan
terjadi kenaikan suhu tubuh yang berpengaruh ke otak akibat potensi listrik serebral
yang berlebih sehingga terjadi kejang.

B. Manisfestasi Klinis
Unit Kerja Koordinasi Neurologi IDAI 2006 membuat klasifikasi kejang demam pada
anak menjadi:
1. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure)
a. Kejang demam kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti sendiri.

188
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

b. Kejang berbentuk umum tomik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal.
c. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
2. Kejang demam kompleks (Complex Febrile Seizure)
a. Kejang > 15 menit
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
C. Etiologi
Faktor- faktor penyebab kejang demam yang sering muncul pada anak, antara lain
:
1. Efek produk toksik daripada mikroorganisme terhadap otak
2. Neoplasma toksin
3. Respon alergik yang abnormal oleh infeksi
4. Gangguan metabolik : hipoglikemi, gagal ginjal, hipoksia, hipokalsemia,
hiponatremia, hiperbilirubinemia, aminoasiduria, hipomagnesemia.
5. Infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti otitis, tonsilitis, bronkitis.
6. Keracunan alkohol dan teofilin
7. Gangguan vaskular : petekia akibat anoksia dan asfiksia terjadi di intraserebral
dan intraventrikuler, perdarahan akibat trauma langsung terjadi di daerah
subaraknoidal dan subdural, trombosis, defisiensi vitamin K, sindrom
hiperviskositas.
8. Idiopatik

D. Patofiologi
Patofisiologi kejang demam idiopatik. Penyebab terbanyak kejang demam terjadi
pada infeksi luar kranial dari bakteri, seperti tonsilitis, bronkitis dan otitis media akut
akibat bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang dihasilkan menyebar ke seluruh
tubuh secara hematogen ataupun limfogen.
Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit, dan jaringan tubuh yang lain akan
mengeluarkan mediator kimia berupa epinefrin dan prostaglandin. Pengeluaran
mediator kimia ini merangsang peningkatan potensial aksi pada neuron. Pada
keadaan kejang demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh, sehingga reaksi-
reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan menyebabkan oksigen cepat habis sehingga
terjadi hipoksia. Pada kejadian ini transport ATP terganggu sehingga Na intrasel
dan K ekstrasel meningkat dan menyebabkan potensial membran cenderung turun

189
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

dan aktifitas sel saraf meningkat terjadi fase depolarisasi neuron dengan cepat
sehingga timbul kejang.

E. Faktor Risiko Kejang Demam


1. Faktor Suhu
Anak dengan demam lebih dari 39C mempunyai risiko untuk mengalami
kejang 4,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang mengalami demam
kurang dari 39C. Demam pada anak paling sering disebabkan oleh infeksi.
Demam yang disebabkan infeksi virus menjadi penyebab tersering terjadinya
kejang demam, sekitar 80% angka kejadiannya. Setiap terjadi kenaikan suhu
tubuh 1C dapat meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15%.
Dengan peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan
glukose dan oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksi jaringan
ke otak. Demam berperan dalam terjadinya perubahan potensial membran dan
akan menurunkan nilai ambang kejang. Bangkitan kejang terjadi pada suhu
tubuh 37C-38,9C sebanyak 11% pasien, pada suhu 38,9- 39,9C sebanyak
69% pasien dan demam diatas 40C sebanyak 20%.
2. Faktor Usia
Dari penelitian yang pernah dilakukan sekitar 2,5-5% anak pernah mengalami
kejang demam sebelum umur 5 tahun. Kejang demam banyak mengenai anak
usia 3 bulan - 5 tahun dan terbanyak umur 14 - 18 bulan. Kejang demam terjadi
lebih dari 90% pada anak usia di bawah 5 tahun. Hampir 5% anak berumur di
bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang selama hidupnya.
Usia tersebut berkaitan dengan fase perkembangan otak yaitu masa
development window, masa dimana dimulainya perkembangan otak dimulai
fase organisasi yaitu pada waktu anak berumur kurang dari 2 tahun. Anak
dibawah usia 2 tahun mempunyai nilai ambang kejang (threshold) rendah,
sehingga mudah terjadi kejang demam. Threshold adalah stimulasi paling
rendah yang dapat menyebabkan depolarisasi perkembangan otak.
3. Faktor Jenis Kelamin
Laki-laki lebih berisiko terjadi kejang demam, dua kali lipat lebih banyak dari
perempuan dengan perbandingan 2:1. Hal tersebut disebabkan karena pada
wanita di didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki.
4. Faktor Riwayat Keluarga

190
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Amerika oleh Hauser dkk


menunjukkan bahwa pasien demam disertai dengan riwayat keluarga pernah
menderita kejang demam mempunyai risiko untuk terjadi kejang demam
sebesar 2,7%. Sedangkan, apabila salah satu orang tua pernah menderita
kejang demam berisiko terjadi bangkitan kejang demam sebesar 10% dan
apabila kedua orang tuanya mempunyai riwayat pernah menderita kejang
demam risiko meningkat menjadi 20%. Pewarisan risiko kejang demam ibu
dibandingkan ayah sebesar 27% : 7%. Sebanyak 25- 40% pasien kejang
demam mempunyai keluarga dengan riwayat pernah kejang demam.
5. Faktor Prenatal dan Perinatal
Riwayat kehamilan ataupun persalinan sebagai salah satu faktor risiko kejang
demam berkaitan dengan pematangan otak ataupun jejas pada otak akibat
prematuritas dan proses persalinan. Insiden kejang demam pada anak yang
dilahirkan dari ibu dengan riwayat konsumsi rokok dalam sehari lebih dari 10
batang mempunyai risiko menderita kejang demam. Insiden kejang demam
pada ibu dengan riwayat perokok sewaktu hamil terjadi sebesar 4,4%. Ibu
dengan konsumsi rokok per hari lebih dari 10 batang mempunyai risiko 1,25 kali
mempunyai anak menderita kejang demam.
6. Faktor Usia Ibu Saat Hamil
Usia ibu saat hamil berperan dalam menentukan status kesehatan bayi yang
dilahirkan. Pada usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun lebih
berisiko menyebabkan adanya komplikasi kehamilan dan persalinan.
Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi
berat lahir rendah dan partus lama. Keadaan tersebut dapat menyebabkan bayi
lahir asfiksia. Pada asfiksia terjadi hipoksi dan iskemi. Hipoksi dapat
menyebabkan rusaknya faktor inhibisi sehingga mudah timbul kejang.
7. Faktor Umur Kehamilan
Anak yang dilahirkan dari ibu dengan kehamilan postterm dan ibu yang
mempunyai riwayat kejang demam mempunyai risiko terjadi kejang demam
sebesar 28%. Bayi lahir preterm berisiko 3 kali untuk terjadi kejang demam
dibandingkan bayi yang lahir aterm.
8. Faktor BBLR
Bayi dengan berat lahir rendah yaitu bayi lahir kurang dari 2500 gram. Risiko
terjadinya bangkitan kejang demam pada bayi berat lahir kurang dari 2500
gram sebesar 3,4% dan bayi berat lahir diatas 2500 berisiko 2,3%. Bayi dengan

191
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

BBLR dapat mengalami hipokalsemia dan hipoglikemia. Keadaan tersebut


diatas dapat menyebabkan kerusakan otak sehingga pada perkembangan
selanjutnya terganggu dan dapat menyebabkan kejang.
9. Faktor Asfiksia
Asfiksia merupakan penyebab terbanyak bangkitan kejang demam pada proses
persalinan dan prenatal. Asfiksia dapat menimbulkan adanya lesi di daerah
hipokampus yang selanjutnya dapat menyebabkan kejang. Bangkitan kejang
demam dapat terjadi tergantung pada lamanya asfiksia, derajat beratnya
asfiksia dan usia janin.
10. Faktor Partus Lama
Persalinan yang sukar dan lama dapat meningkatkan risiko terjainya cedera
mekanik dan hipoksia janin, dengan manifestasi klinis kejang.
Bayi dilahirkan dengan masalah persalinan dapat menyebabkan hipoksi otak
pada saat dilahirkan. Hipoksia menyebabkan kerusakan enzim glutamic acid
decarboxyase (GAD) pada GABA - ergic. Enzim tersebut berperan dalam
pembentukan GABA, sehingga enzim tersebut menyebabkan pembentukan
GABA tergnggu. Gangguan pembentukan GABA menyebabkan gangguan
inhibisi menururn, sehingga menurunkan nilai ambang kejang

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, gula darah, elektrolit
2. Lumbal pungsi, dianjurkan pada:
a. Bayi kurang dari 12 bulan
b. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
c. Bayi > 18 bulan tidak rutin
3. Elektroensefalografi pada kasu-kasus kejang demam yang tidak khas, misalnya
kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, kejang demam
fokal
4. CT-Scan dikerjakan hanya atas indikasi seperti:
a. Kelainan neurology fokal yang menetap (hemiparesis)
b. Paresis nervus VI
c. Papiledema

G. Penetalaksanaan

192
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

1. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intra vena.
Dosisnya adalah: 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahandengan kecepatan 1-2 mg /
menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang
praktis diberikan di rumah oleh orang tua adalah diazepam rectal. Dosis
diazepam rekta adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rectal 5 mg untuk anak
dengan berat badan kurang dari 10 mg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari
10 kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena
dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau
kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8
mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang
belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.
2. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko
terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-
15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Ibuprofen 5-10
mg/kg/kal, 3-4 kali sehari
3. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam saat demam
menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula
dengan diazepam rectal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 380C.
4. Obat rumatan
Indikasi pemberian obat rumatan:
a. Kejang lama > 15 menit
b. Adanya kelainan neurologis nyata sebelum atau setelah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, serebral palsy, retaardasi mental, hidrosefalus
c. Kejang fokal
d. Dipertimbangkan bila:
1. Kejang berulang dua kali atau lebih dalm 24 jam
2. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
3. Kejang demam ? 4 kali /tahun

193
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER GAGAL GINJAL AKUT

21
A. Definisi
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya
gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam sampai
beberapa hari) yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen
(urea/creatinin) dan untuk nitrogen, dengan atau tanpa disertai oligouri.Tergantung
dari keparahan dan lamanya gangguan fungsi ginjal, retensi sisa metabolisme
tersebut dapat disertai dengan gangguan metabolic lainnya seperti asidosis dan
hiperkalemia, gangguan kesimbangan cairan, serta dampak terhadap berbagai
organ tubuh lainnya.
GGA didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal yang mendadak dan
bersifat progresif dengan akibat terjadinya peningkatan metabolik persenyawaan
nitrogen seperti ureum dan kreatinin serta gangguan keseimbangan cairan,
elektrolit dan asam basa yang seharusnya dikeluarkan oleh ginjal. Secara obyektif
GGA ditandai oleh salah satu dari kriteria di bawah ini:
1. Peningkatan kreatinin serum 0.3 mg/dL dalam 48 jam, atau
2. Peningkatan kreatinin serum 1.5 kali dari data dasar yang diketahui atau
diduga peningkatan tersebut timbul dalam 7 hari; atau

194
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

3. Volume urin< 0.5 mL/kg/jam selama 6 jam

B. Epidemiologi
Acute Kidney Injury atau gangguan ginjal akut yang dikenal sebagai gagal
ginjal akut (GGA). GGA sering dijumpai sebagai komplikasi pasien rawat inap di
rumah sakit, dan diketahui merupakan kondisi yang berhubungan dengan
peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas. GGA cenderung meningkatkan lama
rawat di pediatricintensivecare unit (PICU) maupun di rumah sakit, dan dilaporkan
memiliki angka kematian sampai 46% pada anak dalam kondisi sakit kritis, atau 4-5
kali memiliki risiko yang lebih tinggi dalam menyebabkan kematian dibanding
pasien non-GGA.
Pada suatu penelitian pasien dewas, insiden dari GGA sekitar
209/1.000.000 populasi, dan penyebab utama dari GGA yaitu pre-renal sekitar 21%
dari pasien dan nekrosis tubular akut sekitar 45%. Pada penelitian di pusat
kesehatan tersier, 227 anak mendapat dialisis selama interval 8 tahun dengan
insiden sekitar 0,8/100.000 total populasi. Angka kejadian GGA pada anak yang
terlihat meningkat itu juga mengalami pergeseran etiologi dari yang sebelumnya
penyakit ginjal primer sebagai penyebab, saat ini lebih banyak disebabkan
berbagai penyakit lain di luar ginjal - misalnya sepsis, serta dapat pula timbul
sebagai komplikasi tindakan - misalnya pada pasien operasi bypass kardio
pulmonal.

C. Etiologi dan Patofisiologi


Fungsi ginjal yang baik dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu aliran darah ke
ginjal yang adekuat, integritas parenkim ginjal dan patensi saluran kemih.
Berdasarkan 3 faktor tersebut maka pembagian GGA yaitu prerenal, renal, dan
postrenal masih relevan digunakan untuk klasifikasi GGA saat ini.

195
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Beberapa penelitian menunjukkan, faktor lingkungan dan faktor genetic


berperan dalam berkembangnya GGA neonatus dan anak. Gen polimprfi sebagian
dihubungkan dengan terjadinya GGA. Gen polimorfi dari Angiotensi Concervating
Enzym (ACE) atau Angiotensin Reseptor Gene, berpengaruh terhadap system
rennin angiotensisn, yang sedikit berperan dalam berkembangnya terjadinya GGA.
GGA prerenal terjadi bila aliran darah ke ginjal berkurang. Pada kondisi ini
ginjal sebenarnya dalam keadaan normal, sehingga fungsi ginjal akan segera
membaik bila aliran darah diperbaiki. GGA prerenal yang berkelanjutan akan dapat
mengakibatkan hipoksia/iskemiatubular akut pada ginjal. Pada gangguan prerenal,
tubulus menunjukkan respon yang baik terhadap penurunan perfusi ginjal dengan
cara mempertahankan natrium dan air, sehingga osmolalitas urin meningkat di atas
400-500 mosmol/L, natrium urin kurang dari 10-20 mEq/L dan fraksi ekskresi
natrium <1%. Karakteristik ini terjadi dengan syarat fungsi tubulus sebelum GGA
baik. Sebaliknya tubulus yang telah mengalami gangguan, yaitu pada GnGArenal
atau intrinsik, tidak dapat menahan natrium dan air secara adekuat, akibatnya
adalah osmolalitas urin menjadi <350 mosmol/L, natrium urin>30-40 mEq/L, dan
fraksi ekskresi natrium >2%. GnGArenal atau intrinsik dapat dibagi berdasarkan
lokasi kelainan, yaitu glomerulus, tubulus, interstisial, dan vaskular, sedangkan
GGA pasca renal disebabkan oleh obstruksi aliran urin. Etiologi GnGA berdasarkan
jenis gangguan dapat dilihat pada tabel.

D. Diagnosis
GGA merupakan komplikasi suatu penyakit yang bisa primernya terdapat di
ginjal, di luar ginjal, maupun dari tindakan medis. Etiologi GGA pada sebagian
besar pasien dapat diketahui melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik.
Bahkan pada kelompok pasien tertentu harus dievaluasi GGA secara dini, yaitu
dengan kondisi seperti: 1) hipovolemia berat: muntah, diare, perdarahan, beberapa
kondisi poliuria misalnya ketoasidosisdiabetik, asidosis tubular renal dan tubulopati
kronik. 2) Gejala yang mengarah pada penyakit ginjal akut: oliguria akut, edema,

196
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

hematuria makroskopis, termasuk gejala yang mengarah pada kelainan sistemik


yang sering melibatkan ginjal seperti purpura, ruam malar, nyeri sendi. 3) Penyakit
kritis dengan predisposisi ke arah gagal organ multipel: sepsis, post operasi bypass
kardiopulmonal, kondisi imunokompromais atau netropenia pada pasien onkologi.
dalam kemoterapi atau tansplantasi sumsum tulang. 4) Bayi baru lahir (kurang dari
72 jam) yang mengalami oliguria atau anuria, etiologinya dapat kelainan ginjal di
parenkim maupun vascular.
Saat ini oliguria merupakan satu-satunya tanda spesifik yang mengarahkan
klinisi pada diagnosis GGA, namun harus diingat bahwa ada GGA yang sifatnya
non-oligurik. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan penurunan kesadaran akibat
ureum yang tinggi dan pernapasan yang cepat dan dalam akibat asidosis
metabolik. Pasien juga umumnya menunjukkan tanda ketidakseimbangan cairan,
baik berupa tanda hipovolemia maupun hipervolemi. Pemeriksaan penunjang yang
penting untuk diagnosis GGA adalah peningkatan ureum (atau nitrogen urea
darah/BUN) dan kreatinin. Setelah ditegakkan diagnosis GGA maka diperlukan
pemeriksaan penunjang untuk mengetahui komplikasi, yaitu pemeriksaan elektrolit
dan bikarbonat darah. Gangguan keseimbangan elektrolit yang dapat timbul pada
GnGA adalah hiperkalemia, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia. Hipo-maupun
hipernatremia dapat pula dijumpai sebagai akibat dehidrasi atau kelebihan cairan.
Tanda- tanda dehidrasi perlu dicari karena merupakan penyebab pre-renl injury.
Bila pasien ditemukan oliguria, takikardia, mulut kering, hipotensi ortostatik
kemungkingan penyebab pre-renal injury. Pada pemeriksaan fisik perlu dicari
tanda-tanda penyakit sistemik multiorgan seperti lupus eritematosus sistemik yaitu
dengan memeriksa kulit, sendi, kelenjar getah bening. Retensi urin dengan gejala
kandung kemih yang teraba membesar menunjukkan adanya sumbatan di bawah
vesika urinaria yaitu katup uretra posterior.

E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang dapat terjadi pada pasien GGA seperti: tampak
sangat lemas dan letargi disertai mual, muntah, diare, pucat (anemia), dan
hipertensi. Dapat juga terjadi Nokturia (buang air kecil di malam hari),
pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki, pembengkakan yang
menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan), berkurangnya rasa, terutama di
tangan atau kaki, tremor tangan, kulit dari membran mukosa kering akibat
dehidrasi, nafas dapat berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat

197
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

dijumpai adanya pneumonia uremik. Manisfestasi lain dapat terjadi di sistem saraf
(lemah, sakit kepala, penurunan kesadaran, dan kejang). Manifestasi yang
tersering adalah perubahan pengeluaran produksi urine, peningkatan konsentrasi
serum ureum, kadar kreatinin, dan laju endap darah (LED).

F. Klasifikasi
Dalam mendiagnosa penyakit GGA, terdapat kriteria yang digunakan.
Kriteria ini dikategorikan dalam 3 stadium disfungsi renal dengan dasar kadar
serum kreatinin yang merefleksikan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG)
disertai penurunan durasi produksi urin,kriteria tersebut yaitu risk, injury dan failure,
ditambah 2 variabel luar yaitu loss dan end-stage. Dengan kriteria RIFLE, klinisi
dapat menentukan apakah seorang pasien masuk ke stadium dimana kerusakan
ginjal masih dapat dicegah, atau terjadinya kerusakan ginjal ataupun telah terjadi
gagal ginjal.
Pada tahun 2007, Acute Kidney Injury Network (AKIN) membuat suatu
kriteria untuk menyempurnakan kriteria RIFLE dengan mempertimbangkan jika
terdapat peningkatan serum kreatinin (>0,3 mg/dL) ternyata sangat bermakna
dampaknya terhadap mortalitas pasien sehingga pasien tersebut digolongkan
sebagai AKI. Pada tahun yang sama dilakukan modifikasi kriteria RIFLE untuk
dipakai pada anak yang disebut pediatric RIFLE (pRIFLE). Pada Tabel dapat dilihat
perbandingan kriteria berdasarkan pRIFLE dan AKIN. Dalam seluruh kriteria GGA
yang ada, kreatinin serum merupakan salah satu indikator penilaian untuk
menentukan diagnosis GGA. Sampai saat ini berbagai bukti telah menunjukkan
bahwa kreatinin merupakan parameter yang tidak sensitif untuk penyakit GGA,
karena itu beberapa tahun terakhir berbagai penelitian diarahkan untuk mencari
biomarker baru untuk mengganti kreatinin yang diharapkan dapat mendiagnosis
GGA lebih dini sehingga terapi dapat lebih cepat diberikan dan efektif mencegah
progresifitas penurunan fungsi ginjal. Akan tetapi sampai saat ini belum ada
biomarker baru yang diaplikasikan untuk praktik klinis.

198
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

G. Tatalaksana
Tujuan tatalaksana pada GGA adalah untuk mempertahankan homeostasis
sampai fungsi ginjal mengalami perbaikan. Tatalaksana ini terdiri dari skrining
mengenai penyebab GGA, mengatasi komplikasi, terapi nutrisi, dialisis atau terapi
pengganti ginjal bila diperlukan, dan koreksi kelainan primer.
Pemantauan yang perlu dilakukan adalah tanda-tanda vital (tensi, nadi,
pernafasan, ritme jantung), pemeriksaan darah (Hb, HT, Trombosit), Ureum dan
kreatinin, Elektrolit (K, Na, CL, Ca), analisa gas darah, dieresis.
1. Keseimbangan cairan
Pemberian cairan yang adekuat merupakan tatalaksana penting pada
GGA, jumlah tergantung pada etiologi GnGA dan ada atau tidaknya gejala dan
tanda ketidakseimbangan cairan, baik yang mengarah kepada kondisi
hipovolemia (misalnya riwayat muntah atau diare, perdarahan) ataupun
hipervolemia (misalnya edema). Bila dibutuhkan resusitasi, NaCl 0,9% dapat
diberikan 10-20 mL/kg. Pada anak dengan kondisi kelebihan cairan, maka
dilakukan restriksi cairan dan diusahakan mengeluarkan cairan dengan

199
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

pemberian diuretik, bahkan bila perlu dialisis. Pemberian diuretik dapat


mengubah GGA oliguria menjadi non-oliguria, tetapi tidak ada bukti bahwa
perubahan ini dapat memperbaiki prognosis. Pemberian furosemid dengan
infus kontinyu lebih efektif dan lebih kecil toksisitasnya dibandingkan dengan
bolus.18 Target pengeluaran cairan adalah 0,5-1% berat badan perhari.
2. Keseimbangan elektrolit dan asam basa
Hiponatremia sering didapatkan pada GGA, dapat menyertai kondisi
dehidrasi maupun kelebihan cairan (efek dilusi). Jika memang diperlukan
koreksi dapat menggunakan NaCl 3% (konsentrasi 514 mEq/L).Bila natrium
lebih dari 120 mEq/L, restriksi dan pengeluaran cairan dengan dialisis dapat
memperbaiki kadar natrium. Koreksi diberikan bila natrium kurang dari 120
mEq/L karena kondisi ini meningkatkan risiko kejang. Kebutuhan natrium dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Kecepatan pemberian natrium intravena adalah 0,5-1 mEq/L/jam


sampai gejala hiponatremia tidak ditemukan lagi. Biasanya gejala klinis akan
menghilang pada konsentrasi natrium plasma 125-130 mEq/L. Peningkatan
pemberian NaCl 3% ini dapat diikuti dengan pemberian furosemid jika
diperlukan natrium selama koreksi tidak boleh lebih dari 10 mEq/L/hari
Hiperkalemia merupakan kondisi mengancam jiwa yang sering
didapatkan pada pasien GGA. Terapi hiperkalemia diberikan bila kalium lebih
dari 6-7mEq/L dengan memberikan natrium bikarbonat 0,5 1 mEq/kg/dosis,
insulin intravena atau inhalasi dengan beta-2 agonis yaitu albuterol/salbutamol
dapat diberikan untuk membuat kalium masuk ke dalam sel. Kalsium glukonas
10% 0,5 mL/kgbb intravena dalam 10-15 menit dapat pula diberikan dengan
tujuan meningkatkan ambang eksitasi sel miokard dan mencegah efek
depolarisasi akibat hiperkalemia.14 Asidosis metabolik dapat dikoreksi dengan
natium bikarbonat dengan rumus berat badan x ekses basa x 0,3 (mEq)
intravena maupun oral. Landasan terapi didapatkan dari hasil pemeriksaan
analisis gas darah, dan bila pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan maka
natrium bikarbonat diberikan 2-3 mEq/kgbb.14 Hiperfosfatemia ditatalaksana
dengan restriksi fosfat dari diet dan pemberian pengikat fosfat, yaitu kalsium

200
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

karbonat (CaCO3) 50 mg/kgbb/hari yang diberikan bersamaan dengan saat


makan. Hipokalsemia harus segera dikoreksi bila terdapat tetani, yaitu dengan
kalsium glukonas 10% 0,5 mL/kgbbintravena dalam 5-10 menit, dilanjutkan
dengan dosis rumatan 1-4 gram/hari.
3. Gejala komplikasi lain
Gejala komplikasi GGA yang memerlukan penangan segera misalnya
krisis hipertensi, kejang atau anemia. Krisis hipertensi dapat diatasi dengan
pemberian nifedipinsublingual, klonidindrip, atau nikardipindrip. Pada kondisi
yang berhubungan dengan kelebihan cairan, maka diuretik merupakan pilihan
awal. Antihipertensi lain yang dianjurkan adalah golongan penghambat kalsium
(nifedipin atau amlodipin).
4. Nutrisi
GGA seringkali berhubungan dengan meningkatnya katabolisme yang
akan memperlambat perbaikan fungsi ginjal. Pemberian nutrisi yang adekuat
merupakan komponen penting dalam tata laksana GGA. Nutrisi parenteral
diberikan bila pasien tidak dapat menerima nutrisi enteral. Protein diberikan 0,8-
2 g/kg/hari, jumlah yang besar dipertimbangkan pemberiannya pada pasien
yang dalam terapi dialysis atau pengganti ginjal.
5. Pemberian obat
Mekanisme eliminasi obat dan penyesuaian dosis perlu
dipertimbangkan dalam pemberian obat pada pasien GGA. Sedapat mungkin
obat-obat yang mengganggu fungsi ginjal dihindari, namun demikian harus
dilakukan evaluasi yang ketat. Perfusi ginjal yang tidak adekuat merupakan
proses yang mendasari GGA. Atas dasar hal tersebut dilakukan penelitian
terhadap obat vasodilator untuk menangani GGA, namun hasilnya kurang
memuaskan. Pada penelitian di dewasa, dopamin dosis rendah, atau disebut
dosis renal ternyata tidak dapat mencegah gagal ginjal (stadium failure dari
RIFLE), atau menurunkan kebutuhan dialisis dan mortalitas.
6. Terapi pengganti ginjal (dialisis)
Terapi pengganti ginjal bertujuan untuk mengeluarkan cairan dan toksin
baik endogen maupun eksogen, serta mempertahankan keseimbangan
elektrolit dan asam basa sampai fungsi ginjal kembali normal. Indikasi untuk
melakukan terapi ini adalah pada AKI tahap III atau tahap II yang gagal pada
pengobatan konservatif, yaitu bila: 1) Kadar ureum darah > 200 mg/dL, 2)
Hiperkalemia> 7,5 mEq/L, 3) Bikarbonas serum < 12 mEq/L, 4) Adanya gejala

201
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

overhidrasi: edema paru, dekompensasi jantung, dan hipertensi yang tidak


dapat diatasi dengan obat-obatan.
Perburukan keadaan umum dengan gejala uremia berat: perdarahan,
kesadaran menurun sampai koma. Indikasi terapi pengganti ginjal yang
dianjurkan berdasarkan bukti penelitian terbaru adalah kelebihan cairan lebih
dari 15%.20 Pilihan terapinya adalah dialisisperitoneal (DP), hemodialisis (HD)
atau continuous renal replacement therapy (CRRT).
Dengan kemajuan mesin HD dan saat ini ditambah dengan pilihan
CRRT, maka penggunaan DP menurun kecuali pada bayi dan anak kecil yang
akses vaskularnya sulit. Namun pemilihan modalitas dialisis juga perlu
mempertimbangkan ketersediaan dan kemampuan pusat pelayanan kesehatan
dalam hal fasilitas maupun sumber daya manusia.

H. Prognosis
Prognosis GGA tergantung pada etiologi dan umur pasien, namun angka
kematian memang masih tinggi yaitu 40-70%. Anak dengan GGA yang memiliki
komponen kegagalan multisystem memiliki angka mortalitas lebih tinggi
dibandingkan dengan anak dengan penyakit renal instriksi. Anak dengan
nephrotoxic GGA dan hypoxic/ischemic GGA biasanya fungsi ginjal akan kembali
normal.. Untuk prognosis jangka panjang, sebelumnya dianggap bahwa pasien
yang sembuh dari GGA dan memiliki fungsi ginjal normal kembali memiliki risiko
morbiditas dan mortalitas yang sama dengan populasi umum. Belakangan
dilaporkan bahwa pada sekitar 10% anak pada kondisi yang disebutkan di atas
didapatkan hiperfiltrasi, hipertensi, dan mikroalbuminuria pada 6-12 bulan pasca
GGA. Hal ini tentu menjadikan populasi ini berisiko yang lebih tinggi untuk
mengalami penurunan fungsi ginjal yang progresif. Dari hal tersebut, maka anak
yang sembuh dari GGA perlu dipantau untuk dapat mendeteksi dini tanda
kerusakan ginjal sehingga dapat dilakukan intervensi dini pula. Pemberian obat
penghambat enzim konversi angiotensin (ACE inhibitor), penghambat reseptor
angiotensin atau terapi renoprotektor lain dapat diberikan dalam upaya mencagah
penurunan fungsi ginjal.

202
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER KERACUNAN
ORGANOPHOSPAT

22
A. Pestisida
Pestisida adalah semua yang dipakai untuk membasmi serangga, antara lain terdiri
dari:
a. Insektisida : Khusus untuk serangga
b. Rodentisida : Untuk membasmi tikus
c. Herbisida : Untuk membasmi tanaman pengganggu.

Dua macam insektisidayang paling banyak dipakai:


1. Insektisida hidrokarbon khorin (HK = Chlorida hydrocarbon)
2. Insektisida fosfat organik (IFO =organo phosphate insectiside)

Sifat-sifat IFO
Insektisida penghambat kholin esterase (cholinesterase inhibitor insecticide)
merupakan insektisida poten yang paling banyak digunakan dalam pertanian
dengan toksisitas yang tinggi. Dapat menembus kulit yang normal, dapat diserap
lewat paru dan saluran makanan, tidak berakumulasi dalam jaringan tubuh seperti
halnya golongan IHK.

Jenis-jenis IFO
1. Insektisida untuk dipakai dalam pertanian :
Tolly (Malathion) Parathion
Basudin Diazinon
Phosdrin Systox

2. Insektisida untuk keperluan rumah tangga


Mafu (DDVP = Dichiorvos) Baygon (DDVP + Propoxur)

203
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Raid (DDVP + Propoxur) Startox (DDVP + Allethrin)


Shelltox (DDVP + Pyrethroid)

Pathogenesis
a. IFO bekerja dengan cara menghambat (inaktivasi) enzim asetil kholin
esterase tubuh (KhE).
b. Dalam keadaan normal, enzim KhE bekerja untuk menghidralisis Akh
dengan jalan mengadakan ikatan Akh-KhE yang bersifat inaktif.
c. Akibatnya akan terjadi penumpukan Akh ditempat-tempat tertentu, sehingga
timbul gejala-gejala rangsangan Akh yang berlebihan, yang akan
menimbulkan efek muskarinik, nikotinik dan SSP (menimbulkan stimulasi
kemudian depresi SSP).
Pada keracunan IFO, ikatan IFO-KhE menetap (Irreversible)
Pada keracunan carbamate: bersifat sementara (reversible)
Secara farmakologik efek Akh dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu:
a. Muskarinik terutama pada otot polos saluran pencernaan makanan, kelenjar
ludah dan keringat, pupil, bronkhus dan jantung.
b. Nikotinik, terutama pada otot-otot bergaris, bola mata, lidah, kelopak mata
dan otot pernapasan.
c. SSP, menimbulkan rasa nyeri kepala, perubahan emosi, kejang-kejang
sampai koma.

B. Diagnosis
1. Gambaran klinik
Yang palig menonjol adalah hiperaktivitas kelenjar-kelenjar ludah/air mata/
keringat/ urine/ saluran pencernaan makanan (disngkat dengan SLUD =
Salivasi, Lakrimasi, Urinasi dan diare), kelainan visus dan kesukaran bernapas.
a. Keracunan ringan
- Anoriksia - Nyeri kepala - Rasa lemah
- Rasa takut - Tremor lidah - Tremor kelopak mata
- Pupil miosis
b. Keracunan sedang
- Nausea - Muntah-muntah - Kejang/keram perut.
- Hipersalivasi - Hiperhidrosis - Fasikulasi otot
- Bradikardi

204
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

c. Keracunan berat
- Diare - Pupil pin-Point - Reaksi cahaya (-)
- Sesak napas - Sianosos - Edema paru
- Inkonteinensia urine - Inkotinensia feses - Konvulsi
- Koma - Blokade jantung - Akhirnya meninggal

2. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan rutin tidak banyak menolong
b. Pemeriksaan khusus : pengukuran kadar kHE dalam sel darahmerah dan
plasma, penting untuk memastikan diagnosis keracunan akut maupun
kronik (menurun sekian % dari harga normal)
Keracunan akut: ringan 40-70 % N
Sedang 20 % N
Berat < 20 % N
Keracunan kronik: bila kadar KhE menurun sampai 25-50 %, setiap individu
yang berhubungan dengan insektisida ini harus segera disingkirkan dan baru
diizinkan bekerja kembali bila kadar KhE telah meningkat > 75 % N.

3. Pemeriksaan PA
Pada keracunan akut, hasil pemeriksaan patologi biasanya tidak khas, sering
hanya ditemukan adanya edema paru, dilatasi kapiler dan hiperemi paru, otak
dan organ-organ lain.

Pengobatan
1. Resusitasi
a. Bebaskan jalan napas
b. Napas buatan + O2, kalau perlu gunakan respirator pada kegagalan
napas yang berat.
c. Infus cairan kristaloid.
d. Hindari obat-obatan penekan SSP
2. Eliminasi
Emesis, katarsis, kumbah lambung, keramas rambut dan mandikan seluruh
tubuh dengan sabun.
3. Antidotum

205
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Atropin sulfat (SA) bekerja dengan menghambat efek akumulasi Akh pada pada
tempat-tempat penumpukannya.
a. Mula-mula berikan bolus intra vena 1 2,5 mg, pada anak 0,05 mg/kg.
b. Dilanjutkan dengan 05-1 mg setiap 5-10 menit sampai timbul gejala-
gejala atropinisasi (muka merah, mulut kering, takhikardi, midriasis,
febris, psikosis. Pada anak 0,02-0,05 mg/kg iv tiap 10-30 menit.
c. Selanjutnya setiap 2-4-6 dan 12 jam.
d. Pemberian SA dihentkan minimal 2 x 24 jam.
e. Penghentian SA yang mendadak dapat menimbulkan rebound efect
berupa edema paru/kegagalan pernapasan akut, sering fatal.
Timbulnya gejala-gejala atropinisasi yang lengkap, dapat dipakai sebagai
petunjuk adanya keracunan atropin.
Reaktivator KhE bekerja dengan memotong ikatan IFO-KhE sehinggatimbul
reaktivitas ensim KhE. Yang terkenal 2 PAM (pyrydin 2 aldoxime
methiodide /methcloride = Pralidoxime = Protopam). Hanya bermanfaat
pada keracunan IFO, kontra indikasi pada keracunan carbamate.
Dosis 1 gr iv perlahan-lahan (10 20 menit), diulang setelah 6 8 jam,
hanya diberikan bila pemberian atropin telah adekuat. Pada anak-anak 25
50 mg/kg BB iv, maksimal 1 gr/hari, dapat diulang setelah 6 8 jam.

C. Prognosis
Pada umumnya baik, bila pengobatan belum terlambat, beberapa kesalahan
pengobatan sering terjadi, berupa:
a. Resusitasi kurang baik dikerjakan.
b. Eliminasi racun kurang baik.
c. Dosis atropin kurang adekuat, atau terlalu cepat dihentikan.

Pengkajian Keperawatan
a. Tanda-tanda vital
- Distress pernapasan
- Sianosis
- Takipnoe
b. Neurologi
IFO menyebabkan tingkat toksisitas SSP lebih tinggi, efek-efeknya termasuk
letargi, peka rangsangan, pusing, stupor & koma.

206
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

c. GI Tract
Iritasi mulut, rasa terbakar pada selaput mukosa mulut dan esofagus, mual dan
muntah.
d. Kardiovaskuler
Disritmia.
e. Dermal
Iritasi kulit
f. Okuler
Luka bakar kurnea
g. Laboratorium
- Eritrosit menurun
- Proteinuria
- Hematuria
- Hipoplasi sumsum tulang
h. Diagnostik
- Radiografi dada dasar/foto polos dada
- Analisa gas darah, GDA, EKG
Intervensi secara umum
Perawatan Suportif
1. Jalan nafas
2. Pernapasan
3. Sirkulasi

Pencegahan Absorbsi
1. Ipekak dianjurkan pada pasien dalam keadaan sadar dengan ingesti terhadap :
a. Distilat petroleum dalam jumlah yang besar
b. Distilat petroleum dengan adiktif toksik serius (logam berat, insektisida)
c. Hidrokarbon aromatik halogen.
2. Lakukan lavage pada pasien yang memerlukan dekontaminasi tetapi terlalu
sakit untuk diberikan ipekak
3. Arang obat
4. Katartik Saline

Pemantauan Jantung: pada pasien simptomatik


Tekanan Ekspirasi:
Akhir positif mungkin diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi yang adekuat.

207
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

PRAKTIKUM KEPERAWATAN
GAWAT DARURAT

208
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER PROSEDUR PENGAMBILAN


GAS DARAH ARTERI

23
A. Alat
Spuit gelas atau plastic 5 atau 10 ml
Botol heparin 10 ml, 1000 unit/ml (dosis-multi)
Jarum/needle nomor 22 atau 25
Penutup udara dari karet
Kapas alcohol
Wadah berisi es (baskom atau kantong plastic)
Sarung tangan bersih
Kertas label untuk menulis status klinis pasien yang meliputi :
Nama, tanggal dan waktu
Apakah menerima O2 dan bila ya berapa banyak dan dengan rute apa
Suhu

B. Teknik
1. 1 mL heparin diaspirasi kedalam spuit, ganti jarum
2. Dasar spuit basah dengan heparin, dan kemudian kelebihan heparin dibuang
melalui jarum, dilakukan perlahan sehingga pangkal jarum penuh dengan
heparin dan tak ada gelembung udara
3. Perawat mengambil posisi yang nyaman (bisa duduk atau berdiri)
4. Cari area yang akan diambil sample analisis gas darahnya bisa pada Arteri
Radialis (umumnya dipakai). Arteri Brakhialis atau yang lain.

209
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Gambar Arteri Brakhialis

5. Lakukan tes Allens. Bila menggunakan pendekatan arteri radialis lakukan tes
ini dengan tekhnik:
a. Secara terus menerus bendung Arteri Radialis dan Ulnaris (tangan akan
putih kemudian pucat)
b. Lepaskan aliran arteri Ulnaris
c. Tes allens positif bila tangan kembali menjadi berwarna merah muda. Ini
menyakinkan aliran arteri dalam kondisi paten.
6. Pergelangan tangan dihiperekstensikan dan tangan dirotasi keluar (melakukan
hiperekstensi pergelangan tangan dengan menggunakan gulungan handuk).
Untuk pungsi arteri brakialis, siku dihiperekstrasikan dengan meletakkan
handuk di bawah siku.
7. Arteri Brakialis atau Radialis dilokalisasi dengan palspasi dengan jari tengah
dan jari telunjuk, dan titik maksimum denyut ditemukan. Bersihkan tempat
tersebut dengan kapas alkohol.
8. Jarum dimaksukkan dengan perlahan kedalam area yang mempunyai pulsasi
penuh. Ini akan paling mudah dengan memasukkan jarum dalm spuit kurang
lebih 45 90 derajat terhadap kulit.
Indikasi bahwa darah tersebut darah arteri satu-satunya adalah:
Adanya pemompaan darah kedalam spuit dengan kekuataannya sendiri
Aspirasi darah (dengan menarik plunger spuit) kadang-kadang diperlukan
pada spuit plastic yang terlalu keras sehingga tak mungkin darah tersebut
positif dari arteri.

210
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Hasil gas darah tidak memungkinkan kita untuk menentukan apakah darah
dari arteri atau dari vena.
9. Setelah darah 5 ml diambil, jarum dilepaskan
10. Perawat atau perawat lan menekan area yang di pungsi selama sedikitnya 5
menit (10 menit untuk pasien yang mendapat antikoagulan)
11. Gelembung udara aharus dibuang dikeluarkan melalui spuit dengan meletakan
kapas diujung jarum.
12. Lepaskan jarum dan tempatkan penutup udara pada spuit atau ujung jarum
ditusukan ke karet penutup.
13. Putar spuit diantara telapak tangan untuk mencampurkan heparin
14. Spuit diberi label dan segera tempatkan dalam es atau air es, kemudian dibawa
ke laboratorium.

PENILAIAN KETERAMPILAN PENGAMBILAN SAMPEL ANALISIS GAS DARAH

NAMA :
NIM :
Penilaian
NO Aspek Yang Dinilai Ket
1 2 3 4
A. Persiapan Alat
1. Spuit gelas atau plastic 5 atau 10 ml
2. Botol hepain 10 ml, 1000 unit/ml (dosis multi)
3. Jarum/needle nomor 22 atau 25
4. Penutup udara dan karet
5. Kapas alcohol
6. Sarung tangan steril
7. Wadah berisi air es (baskom atau kantung plastik)
8. Kertas label untuk menulis status klinis pasien yang
meliputi
a. Nama,tanggal dan waktu
b. Apakah menerima O2 dan bila ya berarti banyak dan
dengan rute apa
c. Suhu
d. Cooler box diisi perawat
B. Tahap Pre Interaksi
1.1. Melakukan verifikasi order yang ada
2. Menyiapkan alat
C. Tahap Orientasi
1. Memberi salam, panggil klien dengan panggilan yang
disenangi

2. Memperkenalkan nama perawat


3. Menjelasakan prosedur dan tujuan pengambilan analisa
gas darah pada kilen (jika klien sadar) dan keluarga

211
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

4. Menjelaskan informed consent pada klien dan keluarga


5. Menunjukan rasa empati pada klien
6. Membuat kontrak (waktu, tempat dan tindakan yang akan
dilakukan perawat)
D. Tahap Kerja
1. Membawa alat-alat kedekat klien
2. Perawat mencuci tangan dan gunakan sarung tangan
bersih
3. Perawat mencari posisi yang nyaman sesuai posisi
anatomis (boleh berdiri atau duduk)
4. 1 ml heparin diaspirasi kedalam spuit, ganti jarum
5. Dasar spuit basah dengan heparin, dan kemudian
kelebihan heparin dibuang melalui jarum, dilakukan
perlahan sehingga pangkal jarum penuh dengan
heparindan tak ada gelembung udara
6. Cari area yang akan diambil sample analisis gas darahnya
bisa pada Arteri radialis (umumnya dipakai) atau arteri
brakhialis.
7. Lakukan tes Allens. Bila menggunakan pendekatan arteri
radialis lakukan tes ini dengan tekhnik:
- Secara terus menerus bendung arteri radialis dan
ulnaris (tangan akan putih kemudian pucat)
- Lepaskan aliran arteri ulnaris
- Tes allents positif bila tangan kembali berwarna merah
muda. Ini meyakinkan aliran arteri dalam kondisi paten
8. Pergelangan tangan dihiperekstensikan dan tangan dirotasi
keluar (melakukan hiperekstensi pergelangan tangan
dengan menggunakan gulungan handuk). Untuk fungsi
arteri brakhialis, siku dihiperekstensikan dengan meletakan
handuk di bawah siku
9. Artei brakhialis atau radialis dilokalisasi dengan palpasi
dengan arteri jari telunjuk, bersihkan tempat tersebut
dengan kapas alkohol
10. Memasukan jarum dan spuit kurang lebih 45-90 derajat
terhadap kulit
11. Jarum dimasukan dengan perlahan kedalam area yang
memounyai pulsasi penuh
12. Setelah darah 5 ml diambil, jarum dilepaskan
13. Perawat atau perawat lain menekan area yang dipungsi
selama sedetiknya 5 mneit (10 menit untuk pasien yang
mendapat antikougulan) dengan kapas alkohol
14. Perawata atau peraeat lain menutup area yang dipungsi
dengan kasa bethadin (jika klien mengalami gangguan
pada pembekuan darah maka waktu penekanan di tambah
setelah tidak ada darah yang keluar maka ditutup dengan
kasa steril yang ada bethadinnya.
15. Gelembung udara harus dibuang keluar spuit dengan
dengan meletakkan kapas pada ujung jarum
16. Lepaskan jarum dan tempatkan penutup udara(karat) pada
jarum atau langsung spuit ditusukkan pada penutup karet
17. Putar spuit diantara telapak tangan untuk mencampurkan
heparin

212
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

18. Spuit diberi label dan segera tempatkan dalam es atau air
es, kemudian dibawa ke laboratarium
19. Mencuci tangan
20. Inspeksi area penusukan terhadap adanya perdarahan
E. Terminasi
1. Tanyakan ke klien tentang perasaannya terhadap tindakan
yang telah di lakukannya (jika klien sadar)
2. Berikan Reinfocment kepada klien atas kerjasamanya
3. Mendokumentasikan perasat dan hasil temuan yang
berhubungan dengan tindakan yang telah dilakukan (tgl &
jam pengambilan, oleh perawat, jumlah sampel yang
diambil dan kondisi pembekuan darah klien, respon klien
pada saat pengambilan sampel)
Keterangan;
1 = Tidak dilakukan sama sekali
2 = Langkah kerja dikerjakan tetapi tidak sesuai dengan urutan
3 = Langkah dikerjakan sesuai dengan urutan, tetapi kurang tepat
4 = Langkah kerja dilakukan secara benar dan tepat sesuai dengan pedoman

Jumlah Nilai Yang didapat


Nilai : x 100 =
Jumlah Aspek yang dinilai

Banjarmasin,20..
Pembimbing Klinik

..

213
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER BALUT BIDAI

24
A. Pembalutan
Membalut adalah tindakan untuk menyangka atau menahan bagian tubuh agar
tidak bergeser atau berubah dari posisi yang dikehendaki:
Tujuan pembalut:
1. Mempertahankan keadaan asepsis.
2. Sebagai penekan untuk menghentikan perdarahan.
3. Imobilisasi.
4. Penunjang bidai.
5. Menaikan suhu bagian yang dibalut.
Anggota tubuh yang akan dibalut:
1. Bentuk bulat kepala
2. Bentuk silinder. Leher ,lengan atas jari tangan dan tubuh
3. Bentuk kerucut. Lengan bawah, tungkai atas
4. Bentuk persediaan yang tak teratur
Hal yang perlu di perhatikan saat melakukan pembalutan:
1. Balutan harus rapi
2. Balutan harus menutupi luka
3. Balutan dipasang tidak terlalu longgar atau terlalu erat karena pembalut akan
bergeser terutama pada bagian tubuh yang bergerak dapat diperkuat
menggunakan plester bagian distal anggota tubuh yang dibalut dibiarkan
terbuka digunakan simpul yang rata sehingga tidak menekan kulit; simpul tidak
boleh dibuat di bagian atas yang sakit.
Alat dan bahan:
1. mitella; yaitu pembalut yang berbentuk segitiga
2. dasi; yaitu mitella yang berlipat-lipat sehingga berbentuk dasi

214
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

3. plester; yaitu pembalut berperekat


4. pembalut yang spesifik
5. kassa steril
MITELLA
Merupakan segi tiga sama kaki dengan panjang 50-100 cm, terbuat dari kain mori.
1. Kepala pertolongan pertama pada pendarahan daerah temporai . fiksasi sandi
rahang setelan reposisi, pembalut telinga, balut tekan daerah rahang, balut
mata
2. Tubuh, dada dan punnggung
3. Anggota tubuh dan persediaan, sendi bahu, pinggul, sendi siku, sendi lutut,
pergelangan tangan, tumit, pergelangan kaki, seluruh tangan dan kaki, untuk
menggedong tangan.
Cara membalut dengan mitella
a. Salah satu sisi matella dilipat 3-4 cm banyaknya 2-3 kali
b. Pertengahan sisi yang telah terlipat diletakkan diluar bagian yang akan dibalut,
lau ditarik secukupnya dan kedua ujung sisi itu diikatkan.
c. Salah satu ujung yang bebas lainnya ditarik dan dapat diikatkan pada ikatan B,
atau dapat diikatkan pada tempat lain maupun dapat dibiarkan bebas hal ini
tergantung pada tempat dan kepentingannya.
DASI
Pembalut ini merupakan mitela yang dapat dilipat-lipat dari satu sisi segitiga agar
beberapa lapis dan Terbentuk seperti pita dengan kedua ujung-ujungnya lancip
dan lebarnya antara 5-10 cm.
Biasanya digunakan untuk membalut mata, dahi atau bagian kepala yang lain),
rahang, ketiak, lengan, siku, paha, lutut, betis dan kaki terkilir.
Cara membalut dengan Dasi:
a. Pembalut mitella dilipat-lipat dari salat satu sisi sehingga terbentuk pita dengan
masing-masing ujung lancip.
b. Bebatkan pada tempat yang akan dibalut sampai kedua ujungnya dapat
diikatkan.
c. Diusahakan agar balutan tidak mudah kendor dengan cara sebelum diikat
arahnya saling menarik
d. Kedua ujungnya diikatkan secukupnya
PITA
Digunakan untuk pengganti pembalut segitiga berbentuk dasi.

215
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Macam-macam pembalut pita dan penggunaannya:


1. Lembar 2,5 cm : untuk jari-jari
2. Lembar 5 cm : untuk leher dan pergelangan tangan
3. Lembar 7,5 cm : untuk kepala, lengan atas, lengan bawah, betis dan kaki.
4. Lembar 10 cm : untuk paha dan sendi pinggul
5. Lembar > 10 15 cm : untuk dada, perut dan panggung.
Beberapa cara penggunaan pembalut pita:
1. Balutan sirkuler atau dolabra currens (spiral bandage), untuk membalut bagian
tubuh yang berbentuk silinder.
Cara : Pembalut mula-mula dikaitkan dengan 2-3 putaran, pada saat
membalut, tepi atas balutan harus menutupi tepi bawah balutan
sebelumnya demikian seterusnya.
2. Balutan pucuk rebung atau dolabra reversa ( spiral reverse bandage ), untuk
membalut bagian tubuh yang kerucut.
Cara : setelah dikaitkan dengan 2-3 putaran pembalut diarahkan keatas
dengan menyudut 45, lalu di tengah pembalut tadi dilipat mengarah
ke bawah dengan sudut 45 juga, demikian seterusnya.
3. Balutan angka delapan (figure of eight),untuk semua hampir bagian tubuh.
Cara : Mula-mula pembalut dililitkan di pergelangan beberapa kali,lalu
diteruskan ke punggung kaki,melingkari telapak kaki,naik lagi ke
punggung dan pergelangan kaki,demikian seterusnya membentuk
angka delapan.
4. Balutan rekurens (reccurent bandage), dapat dilakukan pada kepala dan ujung
jari,
Cara : Misalnya luka di puncak kepala: pembalut dilingkarkan di kepala,tepat
di atas telinga 2 3 kali. Setelah pembalut mencapai pertengahan
dahi, dengan dipegang oleh pembantu,ditarik ke oksipital dan
kemudian kembali ke dahi. Setelah semua kepala tertutup, ujung-
ujumg bebas dahi dan oksipital ditutup dengan balutan sirkuler.
Kemudian diperkuat dengan plester 2-3 cm mengelilingi dahi sampai
oksipital.
PLESTER
Pembalut ini digunakan untuk:
1. Merekatkan penutup luka
2. Fiksasi pada sendi yang terkilir

216
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

3. Merekatkan kelainan pada patah tulang


Khusus untuk penutup luka, biasanya dilengkapi dengan obat anti septik.
Cara membalut dengan plester:

1. Jika ada luka terbuka,


a. Luka diberi obat antibiotik
b. Tutup luka dengan kassa
c. Kemudian lekatkan pembalut plester
2. Jika untuk fiksasi (misalnya pada patah tulang atau terkilir) balutan plester
dibuat strapping dengan membebat berlapis-lapis dan distal ke proksimal dan
untuk membatasi gerakan tertentu perlu juga masing-masing ujungnya difiksasi
dengan plester.
PEMBALUT YANG SPESIFIK
a. Snelverband adalah pembalut pita yang sudah ditambah dengan kassa
penutup luka dan steril,baru dibuka pada saat akan dipergunakan,sering
dipakai pada luka-luka lebar yang terdapat pada badan
b. Sufratulle adalah kassa steril yang telah direndam dengan obat pembunuh
kuman. Biasanya digunakan untuk luka-luka kecil
KASSA STERIL
Kassa steril adalah kassa yang dipotong dengan berbagai ukuran untuk
menutup luka kecil yang sudah diberiobat-obatan (antibiotik). Setelah ditutup
kassa itu kemudian dibalut.
Penggunaan pembalut yang steril biasanya dijual dalam bahan yang steril
dan baru dibuka pada saat akan digunakan.
Pelaksanaan Latihan
1. Cara membalut dengan mitella (lihat gambar)
a. Luka pada calvaria cranium (atap tengkorak)

217
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

b. Luka pada dada

c. Lengan yang cedera

d. Telapak kaki

218
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

2. Cara membalut dengan dasi (lihat gambar)


a. Luka pada mata

b. Luka pada dagu (pembalut dasi untuk rahang pipi dan pelipis)
c. Luka pada ketiak

d. Luka pada siku

219
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

3. Cara membalut dengan pita (lihat gambar)


a. Pada kepala

b. Pada lengan

c. Pada tumit

220
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

d. Pada telapak tangan

4. Cara membuat strapping (lihat gambar)


a. Untuk siku yang terkilir

b. Untuk pergelangan kaki yang cedera

B. Pembidaian

221
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Bidai atau spalk adalah alat dari kayu anyaman kawat atau bahan lain yang
kuat tetapi ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian
tulang yang patah tidak bergerak (imobilisasi) memberikan istirahat dan
mengurangi rasa sakit. Bahan untuk membidai bisa dari apa saja yang cukup kuat
dan dapat menyangga bagian tukang yang patah, seperti papan, batang pohon,
gulungan koran/majalah, tangkai sapu.
Berilah bantalan pada bidai dengan sesuatu yang lunak untuk melindungi
luka bidai harus Cukup panjang melewati dua sendi yang terdekat untuk mencegah
pegerakan.
Tujuan pembidaian:
1. Mengurangi nyeri akibat pergerakan
2. Mencegah makin buruknya patah tulang
3. Mencegah (bertambahnya) kerusakan jaringan lunak
4. Mengurangi perdarahan
5. Memudahkan transportasi
Prinsip pembidaian :
1. Lakukan pembidaian di tempat dimana anggota badan mengalami cidera
(korban yang dipindahkan)
2. Lakukan juga pembidaian pada persangkaan patah tulang, jadi tidak perlu
harus dipastikan dulu ada tidaknya patah tulang.
3. Melewati minimal dua sendi yang berkaitan.
Syarat-syarat pembidaian:
1. Siapkan alat-alat selengkapnya.
2. Gunakan dua bilah bidai yang lebih panjang sedikit dari panjang tulang yang
patah.
3. Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah. Sebelum dipasang diukur
lebih dulu pada anggota badan korban yang tidak sakit.
4. Ikatan jangan terlalu keras dan terlalu kendor.
5. Bidai dibalut dengan pembalut sebelum digunakan.
6. Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tempat
yang patah.
7. Kalau memungkinkan anggota gerak tersebut ditinggikan setelah dibidai.
8. Sepatu, gelang, jam tangan dan alat pengikat perlu dilepas.

222
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Pembidaian Pada Jari Pembidaian Pada Kaki

Whole Body Splint Pembidaian Leher menggunakan


cervical collar

Pembidaian Siku &


Lengan

223
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA BANJARMASIN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

Nama :
Nim :
Jenis Ketrampilan : Pembalutan

Penilaian
No Aspek Yang Dinilai Ket
1 2 3 4
A Tahap Pre Interaksi
1. Verifikasi order (Catatan status kesehatan pasien)
2. Siapkan Alat
Sarung Tangan
Mitela
Pita balutan
Dasi
3. Cuci Tangan
B Tahap orientasi
1. Berikan salam, panggil klien dengan namanya dan
memperkenalkan diri
2. Menjelaskan tujuan, prosedur dan lama tindakan
3. Memberi kesempatan pada klien untuk bertanya
C Tahap Kerja
1. Menanyakan keluhan utama klien
2. Memulai tindakan dengan cara yang baik
3. Memeriksa bagian tubuh yang akan dibalut/cedera,
inspeksi, palpasi, motorik (PMS)
4. Melakukan tindakan pra pembalutan (membersihkan luka,
mencukur, memberi disinfektan, kasa steril)
5. Memilih jenis balutan yang tepat
6. Cara pembalutan dilakukan dengan benar (posisi dan arah
balutan)
7. Memeriksa PMS setelah dilakukan pembalutan
D Tahap Terminasi
1. Evaluasi hasil yang dicapai (subjektif dan objektif), hasil
pembalutan: mudah dilepas, mengganggu peredaran darah,
menganggu gerakan lain
2. Berikan reinforcement positif pada klien
3. Kontrak pertemuan selanjutnya (waktu, kegiatan, tempat)
4. Akhiri pertemuan dengan cara yang baik
5. Cuci tangan
6. Dokumentasikan kegiatan yang dilakukan

Keterangan;
1 = Tidak dilakukan sama sekali

224
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

2 = Langkah kerja dikerjakan tetapi tidak sesuai dengan urutan


3 = Langkah dikerjakan sesuai dengan urutan, tetapi kurang tepat
4 = Langkah kerja dilakukan secara benar dan tepat sesuai dengan pedoman

Jumlah Nilai Yang didapat


Nilai : x 100 =
Jumlah Aspek yang dinilai

Banjarmasin,20..
Pembimbing Klinik

..

225
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA BANJARMASIN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

Nama :
Nim :
Jenis Ketrampilan : Pembidaian

Penilaian
No Aspek Yang Dinilai Ket
1 2 3 4
A Tahap Pre Interaksi
1. Verifikasi order (Catatan status kesehatan pasien)
2. Siapkan Alat
Sarung Tangan
Bidai
Elastis Bandage
Set perawatan luka jika di perlukan
3. Cuci Tangan
B Tahap orientasi
1. Berikan salam, panggil klien dengan namanya dan
memperkenalkan diri
2. Menjelaskan tujuan, prosedur dan lama tindakan
3. Memberi kesempatan pada klien untuk bertanya
C Tahap Kerja
1. Menanyakan keluhan utama klien
2. Memulai tindakan dengan cara yang baik
3. Memeriksa bagian tubuh yang akan dibalut/cedera,
inspeksi, palpasi, motorik (PMS)
4. Memilih dan mempersiapkan bidai yang sesuai
5. Memeriksa PMS (Pulse, Motorik, dan Sensasi) sebelum
pembidaian
6. Melakukan pembidaian melewati 2 sendi (dibawah dan
diatas area fraktur)
7. Balut bidai dengan menggunakan elastis bandage supaya
terfikasi dengan baik (area yang mengalami cidera harus
tetap terlihat
8. Memeriksa PMS setelah dilakukan pembidaian
D Tahap Terminasi
1. Evaluasi hasil yang dicapai (subjektif dan objektif), hasil
pembalutan: mudah dilepas, mengganggu peredaran darah,
menganggu gerakan lain
2. Berikan reinforcement positif pada klien
3. Kontrak pertemuan selanjutnya (waktu, kegiatan, tempat)
4. Akhiri pertemuan dengan cara yang baik
5. Cuci tangan
6. Dokumentasikan kegiatan yang dilakukan

226
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Jumlah Nilai Yang didapat


Nilai : x 100 =
Jumlah Aspek yang dinilai

Banjarmasin,20..
Pembimbing Klinik

..

227
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER MANAJEMEN SUMBATAN


JALAN NAFAS

25
A. Pendahuluan
Sumbatan jalan nafas total merupakan keadaan gawat darurat yang dapat
berakibat kematian dalam hitungan menit jika tidak ditangan segera. Sumbatan
jalan nafas total menunjukan adanya blockade total jalan nafas. Korban tidak bisa
berbicara, bernafas, atau batuk.
Sumbatan pada jalan nafas menyebabkan terganggunya suplai oksigen ke
otak. Jika tidak ditangani, dalam waktu singkat otak akan kekurangan oksigen dan
dapat menyebabkan kerusakan pada otak bahkan kematian.
Tersedak seringkali dihubungkan dengan kegiatan makan, dan sering pula
disaksikan orang lain. Peluang untuk bertahan hidup lebih baik bila penolong dapat
segera memberikan pertolongan saat korban masih sadar. Teknik yang digunakan
biasanya adalah Heimlich maneuver (hentakan perut) dan Chest Trust (Hentakan
dada) untuk wanita hamil atau korban yang gemuk
Heimlich maneuver direkomendasikan bagi korban sumbatan jalan nafas
dewasa yang sadar dan bagi anak-anak usia 1-8 tahun. Manuver ini dilakukan
dengan hentakan perut sehingga mengangkat diafragma dan meningkatkan
tekanan pada jalan nafas, yang akan mendorong udara keluar paru-paru. Ini akan
menciptakan batuk buatan dan mendorong benda asing keluar dari jalan nafas.
Bagi korban yang sedang hamil atau obesitas, yang direkomendasikan
adalah hentakan dada (chest trust).

B. Epidemiologi

228
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Diperkirakan setiap tahun hampir 25,000 anak-anak dibawah usia 15 tahun


dan hampir 2/3 dari jumlah tersebut adalah anak dengan usai dibawah 5 tahun
dikirim ke instalasi gawat darurat karena sumbatan jalan nafas total. Penyebab
tersering adalah karena faktor makanan. Sebagian besar kasuskematian akibat
sumbatan jalan nafas terjadu pada anak berusia dibawah 5 tahun.
C. Penyebab
Penyebab sumbatan jalan nafas pada dewasa dapat berasal dari penyebab
intrinsik dan ekstrinsik.
4. Penyebab Intrinsik
a. Lidah jatuh ke belakang ke arah faring pada korban yang tidak sadar pada
posisi terlentang
b. Darah dari cedera kepala atau wajah masuk ke alam nafas
c. Isi dari lambung yang baik (regurgitasi) masuk ke dalam jalan nafas
d. Obstructive sleep apneu
5. Penyebab ekstrinsik
Adanya benda asing asing seperti makanan, gigi, gigi palsu, koin, permen

D. Tanda dan gejala


Sumbatan jalan nafas oleh benda asing dapat terjadi ecara parsial dan total.
Batuk merupakan pertahanan alami tubuh untuk melawan adanya sumbatan jalan
nafas karena benda asing.
Korban dengan sumbatan jalan nafas parsial akan batuk sebagai usaha
untuk mengeluarkan benda asing Tersebut jika korban bernafas dengan suara
melengking (wheezing) atau batuk, ini berarti sumbatan yang terjadi adalah parsial.
Jangan halangi, biarkan korban batuk untuk mengeluarkan benda tersebut.
Pada sumbatan jalan nafas total, korban tidak dapat bicara, bernafas, atau
batuk dan mungkin akan tampak menjadi kebiruan (cyanosis). Korban akan
memegang lehernya, yang merupakan tanda umum tersedak.

E. Manajemen
9. Sumbatan Jalan Nafas Parsial
Obstruksi parsial dapat disebabkan oleh beberapa hal. Biasanya pasien
masih bias bernafas sehingga timbul berbagai macam suara tambahan pada
pernafasan pasien.
Penyebab obstruksi parsial:

229
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

a. Cairan (darah,sekret,aspirasi lambun.dsb)


Timbul suara gurgling, suara nafas bercampur suara cairan. Pada
keadaan ini harus dilakukan suction
b. Pangkal lidah yang jatuh kebelakang
Keadaan ini dapat disebabkan keadaan tidak sadar (koma) atau patahnya
tulang rahang bilateral. Timbul suara ngorok (ssnoring) yang harus diatasi
dengan perbikan airway secara manual atau dengan alat.
c. Penyempitan dilarinks atau trachea
Dapat disebabkan edema karena berbagai hal (luka bakar, radang, dsb)
atau desakan neoplasma. Timbul suara crowing atau stridor respirator.
Keadaan ini hanya dapat diatasi dengan perbaikan jalan nafas distal dari
sumbatan, missal dengan trakheostomi
Pengelolaan Jalan Nafas
1. Suction
Suction dapat dilakukan dengan kateter suction. Prosedur suction
dilakukan maksimal 15 detik pada orang dewasa, 5 detik pada anak kecil,
dan 3 detik pada bayi. Hal ini harus di perhatikan agar jangan sampai
tindakan ini menyebabkan terhisapnya oksigen yang ada pada jalan nafas
yang dibersihkan. Bila pasien muntah dan takpakya suction tidak akan
menolong, maka kepala harus dimiringkan. Bila pasien trauma, jangan
mencoba memiringkan kepala saja, seluruh badan pasien harus dimiringkan
dengan rog roll.
2. Buka Jalan Nafas Manual
Pada pasien yang kesadarannya menurun, lidah menagalami
prolaksus ke posterior dan dapat menyebabkan tertutupnya orofarig.
Mekanisme untuk mengatasinya yaitu dengan menggunakan head tilt-chin
lift dan jaw thrust jika dicurigai ada trauma cervikal. Alat yang biasanya
digunakan adalah pipa oropharingeal dan nasopharingeal.
a. Jalan nafas sementara
Jalan nafas sementara dapat dilakuakan dengan memasang pipa
melewati mulut (oropharingeal tube) atau lewat hidung (nasopharingeal
tube).
b. Jalan nafas definitif
Pengelolaan jalan nafas definitif meliputi :
1) Naso tracheal airway

230
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

2) Cro pharingeal airway


3) Cricothyroidotomy
4) Tracheostomi
Indikasi pemasangan airway defiitif :
1) Adanya apnea
2) Ketidakmampuan mempertahankan air way yang bebas dengan
cara lain.
3) Adanya cedera kepala tertutup yang memerlukan bantuan nafas
(GCS <8)
4) Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi
darah atau vomitus.
5) Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway, seperti
akibat lanjut dari cedera inhalasi, patah tulang wajah, atau kejang-
kejang yang berkepanjangan.
6) Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat
dengan pemberian oksigen bag valve mask.

10. Sumbatan Jalan Nafas Total


Teknik yang digunakan untuk mengatasi sumbatan jalan nafas karena
benda asing pada orang dewasa dan anak-anak adalah dengan heirnlich
maneuver dan untuk bayi-bayi menggunakan teknik chest trust dan back slap.
a. Teknik Heimlich maneuver
Langkah-langkah melakukan prosedur :
1) Langkah 1
a) Untuk menentukan apakah korban tercekik (tersedak), tanyakan
apakah anda tersedak?. Bisa juga melihat postur pasien seperti
sedang memegang lehernya atau pasien tidak dapat bicara.
b) Jika korban bisa batuk, minta dia untuk batuk sekeras mungkin
c) Jika jalan nafas korban tersumbat. Ia tidak akan mampu untuk
berbicara, bernafas, atau batuk. Wajahnya mungkin akan tampak
kebiruan penolong harus segera melakukan langkah selanjutnya.
2) Langkah 2
a) Jika korban berdiri penolong berdiri dibelakangnya jika korban
duduk, penolong berlutut dan memposisikan dirinya di belakang
korban.

231
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

b) Posisikan 1 kaki di antara 2 kaki korban.


3) Langkah 3
a) Letakkan tangan anda melingkari perut korban diatas umbilicus dan
dibawah tulang dada/thoraks
b) Kepalkan tangan menghadap pada perut korban
c) Buatlah kepalan dengan tangan yang lain
d) Lakukan hentakan bermakna ke dalam den ke atas (5x hentakan
dalam 1 kesatuan)
e) Periksa apakah benda asing telah keluar setelah tiap 5 hentakan
f) Ulangi hentakan sempai benda asing keluar atau sampai korban
menjadi tidak sadar (Jika korban tidak sadar lakukan CPR)
Catatan:
Untuk pada kasus anak-anak (kaki penolong diturunkan dengan
posisi berlutut).
Untuk pada ibu hamil dengan cara melingkarkan tangan pada
daerah dada pasien diatas perut korban
b. Teknik Chest Trust & Back Slap
Teknik ini digunakan untuk korban sumbatan jalan nafas pada bayi.
Langkah-langkah melakukan prosedur
1) Langkah 1
a) Cek apakah bayi bernafas atau tidak
b) Pastikan korban tidak bernafas
c) Jika jalan nafas korban tersumbat, ia tidak akan mampu untuk
berbicara, bernafas, atau batik. Wajahnya mungkin akan tampak
kebiruan. Penolong harus segera melakukan langkah selanjutnya
2) Langkah 2
a) Posisi penolong duduk dan letakkan bayi diatas paha kiri penolong
menghadap kebawah dengan ditahan tangan sebelah kiri.
b) Berikan 5 kali hentakan ke punggung bayi dengan menggunakan
tangan sebelah kanan
c) Balikkan bayi dan taruh di paha kanan penolong dan tahan
menggunakan tangan kanan penolong sambil memegang leher
korban.
d) Lakukan chest trust sebanyak 5 kali dengan menggunakan telunjuk
dan jari tengah tangan kiri.

232
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

e) Ulangi back slap dan chest trust sebanyak 5 kali sampai sumbatan
pasien hilang
f) Ulangi lagi jika masih ada sumbatan

11. Penatalaksanaan Sumbatan Jalan Nafas Pada Pasien Dewasa yang Tidak
Sadar
Prosedur untuk penatalaksanaan pada korban yang tidak sadar sebelumnya
sama dengan prosedur melakukan CPR, namun untuk aktivitasi EMS (118)
Dilakukan setelah terlebih dahulu melakukan 5 siklus CPR
Urutan pelaksanaan sumbatan jalan nafas pada pasien dewasa yang tidak
sadar:
a. Amankan korban, penolong, dan lingkungan
b. Cek respon korban
c. Jika korban tidak berespon, lakukan 5 siklus CPR
1) Buka jalan nafas dengan manuver Head tilt Chin lift
2) Periksa mulut korban terhadap adanya benda asing (gigi palsu, lendir,
darah, muntahan)
3) Jika terlihat sumbatannya. Gunakan jari kelingking anda untuk
mengambil benda asing yang menyebabkan sumbatan tersebut
4) Jika tidak ada pernafasan spontan, lakukan 2 kali ventilasi
5) Jika jaln nafas tersumbat, perbaiki posisi kepla korban (reponsisi) dan
lakukan ventilasi ulang
6) Jika jalan nafas tersumbat lagi, lakukan 30x
Kompresi dada (posisi tangan sama dengan CPR)
7) Ulagi langkah 1-7 sampai anda memberikan nafas buatan yang baik
8) Kaji denyut nadi dan tanda sirkulasi korban ketika jalan nafas korban
tetap bebas
9) Jika tidak ada denyut nadi lanjutkan CPR
10) Jka ada denyut nadi periksa pernfasan korban. Jika tidak ada
pernafasan, lakukan Recue breathing

233
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA BANJARMASIN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

Nama :
Nim :
Jenis Ketrampilan : Hemlich Manuever

Penilaian
No Aspek Yang Dinilai Ket
1 2 3 4
A Tahap Pre Interaksi
1. Siapkan Alat
Sarung tangan
B Sikap dan Perilaku
1. Berikan salam, panggil klien dengan namanya dan
memperkenalkan diri
2. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan
dilakukan kepada pasien dan keluarga
3. Teruji tanggap terhadap reaksi pasien
C Tahap Kerja
1. Cuci Tangan
2. Posisikan pasien berdiri dengan posisi kaki terbuka
3. Pemeriksa berada dibelakang pasien
4. Kepalkan satu tangan dan genggam kepalan dengan
tangan yang lain
Ibu jari yang mengepal menghadap perut pasien.
Kepalan harus diposisikan di garis tengah, dibawah
prosesus xiphoideus dan tepi bawah kubah iga serta
diatas pusar.
5. Lingkarkan lengan mengelilingi pinggang pasien
6. Lakukan tekanan dan hentakan ke atas pada perut pasien
dengan dorongan kuat ke atas.
Ulangi sampai 6-10x sampai pasien mengeluarkan
benda asingnya atau pasien tidak ada respon.
7. Berikan setiap dorongan baru dengan gerakan berbeda
untuk menghilangkan sumbatan.
8. Periksa adanya sumbatan dan lakukan finger swab atau
reflek batuk
D Tahap Terminasi
1. Evaluasi hasil yang dicapai (subyektif dan obyektif)
2. Beri reinforcement positif pada klien
3. Mengakhiri pertemuan dengan baik
4. Cuci tangan
E. Dokumentasi
1. Dokumentasikan tindakan yang sudah dilakukan beserta

234
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

respon klien
F. Teknik
1. Berkomunikasi dengan pendekatan yang tepat sesuai
dengan kondisi klien.
2. Bekerja dengan pencegahan infeksi
3. Bekerja dengan hati hati dan cermat
4. Menghargai privasi atau budaya klien
5. Bekerja secara sistematis

Keterangan;
1 = Tidak dilakukan sama sekali
2 = Langkah kerja dikerjakan tetapi tidak sesuai dengan urutan
3 = Langkah dikerjakan sesuai dengan urutan, tetapi kurang tepat
4 = Langkah kerja dilakukan secara benar dan tepat sesuai dengan pedoman

Jumlah Nilai Yang didapat


Nilai : x 100 =
Jumlah Aspek yang dinilai

Banjarmasin,20..
Pembimbing Klinik

..

235
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SARI MULIA BANJARMASIN


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

Nama :
Nim :
Jenis Ketrampilan : Back Slap & Chest Trust

Penilaian
No Aspek Yang Dinilai Ket
1 2 3 4
A Tahap Pre Interaksi
1. Siapkan Alat
Sarung tangan
B Sikap dan Perilaku
7. Berikan salam, panggil klien dengan namanya dan
memperkenalkan diri
8. Jelaskan tujuan dan prosedur tindakan yang akan
dilakukan kepada pasien dan keluarga
9. Teruji tanggap terhadap reaksi pasien
C Tahap Kerja
1. Cuci tangan
2. Periksa kepatenan jalan nafas
3. Lepaskan pakaian bayi
4. Pegang bagian bawah wajah bayi, posisikan bagian kepala
lebih rendah dari dada, letakan bayi pada lengan, sangga
kepala dan tahan dengan tangan. Hindari menekan jaringan
lunak pada tenggorokan, kemudian letakan bayi diatas paha
dominan dengan disangga lengan penolong.
5. Berikan tepukan ke arah atas pada punggung bayi
sebanyak 5x menggunakan tumit tangan. Berikan tepukan
dengan kekuatan cukup untuk mengeluarkan benda asing.
6. Setelah memberikan 5x tepukan letakan tangan yang lain
pada punggung bayi, sambil menyangga bagian belakang
kepala bayi dengan telapak tangan, dekap bayi diantara ke2
lengan dengan telapak tangan menyangga wajah dan
rahang, dan telapak tangan lainnya menyangga bagian
belakang kepala bayi.
7. Posiskan bayi telentang secara hati-hati tetap jaga kepala
dan leher, pegang bagian atas wajah bayi dengan tangan
yang diletakan diatas paha, posisikan kepala bayi lebih
rendah dari bagian tubuh.
8. Berikan tekanan menurun dengan cepat ditengah dada
lebih rendah1/2 dari sternum (seperti lokasi CPR). Berikan
tekanan pada dada dengan 2 jari tangan dengan kecepatan
1 derik,

236
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

9. Ulang tahapan hingga benda asing keluar/ bayi tidak ada


respon
D Tahap Terminasi
1. Evaluasi hasil yang dicapai (subyektif dan obyektif)
2. Beri reinforcement positif pada klien
3. Mengakhiri pertemuan dengan baik
4. Cuci tangan
E. Dokumentasi
Dokumentasikan tindakan yang sudah dilakukan beserta
respon klien
F. Teknik
1. Berkomunikasi dengan pendekatan yang tepat sesuai
dengan kondisi klien.
2. Bekerja dengan pencegahan infeksi
3. Bekerja dengan hati hati dan cermat
4. Menghargai privasi atau budaya klien
5. Bekerja secara sistematis

Keterangan;
1 = Tidak dilakukan sama sekali
2 = Langkah kerja dikerjakan tetapi tidak sesuai dengan urutan
3 = Langkah dikerjakan sesuai dengan urutan, tetapi kurang tepat
4 = Langkah kerja dilakukan secara benar dan tepat sesuai dengan pedoman

Jumlah Nilai Yang didapat


Nilai : x 100 =
Jumlah Aspek yang dinilai

Banjarmasin,20..
Pembimbing Klinik

..

237
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER PENUGASAN

26
Tugas Problem Based Learning Triase:
Ada banyak jenis triase yang bisa digunakan pada semua kondisi kegawatdaruratan
baik diluar rumah sakit, UGD (unit Gawat Darurat), dan ruang perawatan. Jelaskan
jenis triage yang bisa diterapkan dengan kondisi diatas dan jelakan alasannya
didasarkan pada artikel-artikel penelitian yang sudah ada.

Tugas Case Study Trauma:


1. Seorang laki-laki berusia 30 tahun mengalami kecelakaan mobil di jalan raya
dibawa ke UGD. Pada saat pemeriksaan di peroleh data: pasien gelisah dan hanya
mengerang kesakitan, frekuensi nafas: 20 x/menit (irregular), nadi: 100 x/menit, TD:
100/70 mmHg, tampak raccon eye dan ekimosis. Terdapat bloddy otorhea dan
rhinorrhea. Pasien sudah terpasang ICP: 30 mmHg. Di UGD pasien muntah
proyektil
a. Berapa nilai Central Perfusion Pressure pasien tersebut?
b. Apakah pasien mengalami hipoksia? Apa alasannya?
c. Apa penanganan awal yang bisa dilakukan di UGD?
d. Buat Clinical pathway pada kasus tersebut
e. Buat LP beserta asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien tersebut?
2. Seorang laki-laki usia 25 tahun ditemukan tergeletak mengalami kecelakaan
tabrakan mobil, terdapat benturan keras pada dada, setelah dilakukan pengkajian
diperoleh pengembangan dada tidak maksimal dan tidak simetris, terdapat tanda
memar dan luka terbuka pada dada sebelah kanan, perkusi paru kanan hiper

238
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

resonan, subcutaneous emphysema distensi vena jugular. Pada saat dilakukan


auskultasi terdapat penurunan suara paru sebelah kanan. Hasil pemeriksaan vital
sign diperoleh: TD: 100/60 mmHg, N: 110 x/mnt, RR: 30 x/mnt.
a. Apa yang terjadi pada pasien?
b. Tindakan apa yang harus segera dilakukan pada pasien tersebut? Sebutkan
alasannya?
c. Buat clinical pathway pada kasus tersebut
d. Buat LP beserta asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien tersebut?
3. Seorang laki-laki usia 40 tahun mengalami kecelakaan dan dibawa ke UGD. Hasil
vital sign TD: 90/70 mmHg, N: 110 x/mnt, RR: 35 x/mnt. Pada pemeriksaan
diperoleh sangat sesak, retraksi dinding dada, otot bantu nafas, pasien gelisah dan
hasil GCS: 4-5-6. Terdapat JVD dan deviasi trachea kekiri. Suara nafas pada paru
bagian kanan absen. Pada ekstremitas dan wajah terlihat pucat dan akral dingin.
a. Apa yang terjadi pada pasien?
b. Tindakan apa yang harus segera dilakukan pada pasien tersebut? Sebutkan
alasannya?
c. Buat Clinical pathway pada kasus tersebut
d. Buat LP beserta asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien tersebut?
4. Seorang wanita usia 25 tahun mengalami kecelakaan dan dibawa ke UGD. Pada
pemeriksaan di temukan pasien gelisah berespon terhadap rangsangan, sesak,
akral dingin, terlihat pucat. Vital sign diperoleh: TD: 80/50 mmHg, N: 110 x/mnt, RR:
28 x/mnt. Pada pemeriksaan dada diperoleh dada asimetris (sebelah kiri tertinggal),
suara nafas menurun.pada saat di ugd pasien batuk dan mengeluarkan darah.
a. Apa yang terjadi pada pasien?
b. Tindakan apa yang harus segera dilakukan pada pasien tersebut? Sebutkan
alasannya?
c. Buat Clinical pathway pada kasus tersebut
d. Buat LP beserta asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien tersebut?
5. Seorang laki-laki usia 30 tahun dibawa ke IGD dengan setelah mengalami
kecelakaan mobil. Pada pemeriksaan fisik ditemukan echimosis dan nyeri pada
daerah flank, siaosis, penurunan kesadaran, dan akral dingin. Hasil pemeriksaan
tanda-tanda vital menunjukkan tekanan darah: 100/60 mmHg, Nadi: 110x/mnt, RR:
26 x/mnt.
a. Apa yang terjadi pada pasien?

239
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

b. Tindakan apa yang harus segera dilakukan pada pasien tersebut? Sebutkan
alasannya?
c. Buat Clinical pathway pada kasus tersebut
d. Buat LP beserta asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien tersebut?
6. Seorang laki-laki usia 12 tahun dibawa oleh polisi ke UGD dikarenakan di tabrak
oleh kendaraan bermotor. Pemeriksaan diperoleh tingkat kesadarannya somnolen
dan terdapat luka-luka pada daerah ekstremitas atas dan bawah. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 90/50 mmHg, nadi: 120 x/mnt (cepat
dan lemah), frekuensi nafas: 30 x/mnt, open fraktur femur sinistra dan close frktur
cruris dekstra, akral dingin, terlihat perdarahan aktif pada femur.
a. Apa yang terjadi pada pasien?
b. Tindakan apa yang harus segera dilakukan pada pasien tersebut? Sebutkan
alasannya?
c. Buat Clinical pathway pada kasus tersebut
d. Buat LP beserta asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien tersebut?
7. Seorang wanita usia 30 tahun masuk ke ugd dengan kondisi luka bakar derajat II
20% di bagian dada dan lengan kiri. Tekanan darah 100/60 mmHg, frekuensi
nafas: 30 x/menit (dalam), Nadi 100 x/menit. Berat badan pasien 60 kg.
a. Tindakan apa yang dapat segera dilakukan pada kasus tersebut?
b. Berapa jumlah resusitasi cairan yang diberikan 8 jam pertama pada kasus
tersebut?
c. Berapa total jumlah resusitasi cairan yang diberikan selama 24 jam?
d. Buat clinical pathway pada kasus tersebut
e. Buat LP beserta asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien tersebut?
8. Seorang laki-laki usia 35 tahun mengalami kecelakan karena menabrak pohon.
Pada pemeriksaan pasien pasien mengalami penurunan keadaran dan hanya
berespon terhadap rangsangan nyeri. Pada pemeriksaan di temukan paradox
movement, swelling pada daerah dada sebalah kanan, dan krepitasi. Hasil vital
sign diperoleh TD: 110/60 mmHg, N: 100 x/mnt, RR: 30 x/mnt.
a. Apa yang terjadi pada pasien?
b. Tindakan apa yang harus segera dilakukan pada pasien tersebut? Sebutkan
alasannya?
c. Buat Clinical pathway pada kasus tersebut
d. Buat LP beserta asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien tersebut?

240
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

Tugas Small Group Discussion:


Ada banyak Trauma Score yang bisa digunakan, jenis/metode trauma score yang
manakah yang menurut anda paling tepat diaplikasikan sesuai dengan lokasi dan jenis
trauma? Berikan alasannya

Tugas Problem Based Learning:


Seorang laki-laki usia 25 tahun mengalami kecelakaan lalu lintas. Hasil pemeriksaan
fisik ditemukan Status pasien pada saat di UGD sadar penuh. Pada pemeriksaan
diperoleh deformitas pada cruris kanan dan degloving pada femur kanan.
Tugas:
Buat artikel untuk penanganan kasus diatas sesuai dengan hasil penelitian-penelitian
yang sudah ada.

241
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

CHAPTER METODE
EVALUASI

27
A. Penilaian
1. Sistem penilaian mahasiswa dilakukan dengan kriteria kuantitatif dengan
menggunakan ceklist dan rubrik sebagai acuan
2. Hasil penilaian akhir dengan skor 0-100 digunakan untuk pemberian Nilai
Angka, Nilai Huruf dan Bobot Nilai
3. Pemberian Nilai Angka, Nilai Huruf dan Bobot Nilai dari hasil penilaian akhir
menggunakan sistem Penilaian Acuan Patokan (PAP)
4. Ketentuan lulus adalah minimal angka 69. Nilai yang lebih kecil dari 69
dinyatakan tidak lulus dan harus diprogramkan kembali atau diremedial.
5. Penilaian terhadap satu mata kuliah adalah gabungan dari nilai :
a. Minimal satu kali Ujian Tengah Semester (UTS)
b. Tugas terstruktur.
c. Satu kali Ujian Akhir Semester (UAS)
d. Ujian Praktek di Laboratorium
e. Praktik Lapangan di Rumah Sakit
6. Prosentase penilaian tergambar sebagai berikut:
a. Penugasan : 30%
b. UTS & UAS : 30%
c. Seminar : 20%
d. Ujian Praktik : 10%

242
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

e. PKL : 10%
7. Penilaian hasil belajar mahasiswa berdasarkan sistem PAP dinyatakan sebagai
berikut:
Nilai Angka Nilai Huruf Bobot Nilai
79 100 A 3.16 4.00
69 78 B 2.76 3.12
56 - 68 C 2.24 2.72
41 - 55 D 1.64 2.20
1 - 40 E 0.04 1.60
0 T 0.00

8. Nilai mata kuliah yang dinyatakan dengan huruf A dan B adalah Lulus
9. Nilai mata kuliah yang dinyatakan dengan huruf C, D, dan E adalah Tidak
Lulus, dan mahasiswa bersangkutan harus menempuh kembali mata kuliah
yang tidak lulus tersebut sesuai prosedur yang berlaku.
10. Perbaikan nilai ditujukan untuk memperbaiki nilai akhir suatu mata kuliah
dengan memprogramkan kembali mata kuliah tersebut pada semester
berikutnya secara regular.
11. Nilai akhir suatu mata kuliah mata kuliah yang dicantumkan merupakan nilai
terakhir yang dicapai oleh mahasiswa setelah menempuh perbaikan melalui
perkuliahan regular.

B. Rubrik Penilaian
1. Seminar
FORMAT PENILAIAN SEMINAR MAHASISWA

Judul/Tema : ..
Nama Anggota Kelompok :
1. 5.
2. 6.
3.
4.

Nilai
No Elemen Penilaian Ket
D C B A
1 Sistematika isi/penulisan laporan
2 Penggunaan bahasa
3 Performance dalam penyajian presentasi
4 Penyampaian materi yang meliputi :
a. Ketepatan menjawab pertanyaan
b. Kerjasama kelompok dalam diskusi menjawab
pertanyaan
c. Kejelasan penyajian

243
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

5 Penggunaaan audiovisual /sarana dalam penyajian


presentasi kasus dan diskusi kasus
6 Sikap
Total

Petunjuk Penilaian :
D: 41 - 55 : Tidak menguasai/tidak mampu (seluruh anggota kelompok)
C: 56 - 78 : Kurang menguasai/kurang mampu (sebagian besar anggota kelompok)
B: 69 - 78 : Menguasai/ mampu (sebagian besar anggota kelompok)
A: 79 - 100 : Sangat menguasai/ sangat mampu (seluruh anggota kelompok)

Nilai
Total Nilai
Jumlah Variabel
Banjarmasin, 20
Penilai

Catatan :
Nama Mahasiswa aktif :
1. ................................. 3. ......................... dst
2. .................................

244
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

245
RUBRIK PENILAIAN SEMINAR

KOMPETENSI 0 1 2 3 BOBOT SKOR


1. Sistematika Penulisan laporan Susunan penulisan Susunan penulisan laporan Susunan penulisan laporan
tidak memperhatikan laporan tidak sistematis sistematis tetapi sebagian sistematis dan
sistematika penulisan dan sebagian besar besar penomoran menggunakan penomoran
yang baik dan benar menggunakan simbol menggunakan simbol yang benar
2. Penggunaan Bahasa yang bahasa yang digunakan Bahasa yang digunakan Bahasa yang digunakan
bahasa digunakan tidak jelas jelas tetapi masih ada jelas dan sesuai dengan jelas dan sesuai dengan
dan tidak sesuai kata-kata yang salah dan tata bahasa indonesia tata bahasa indonesia yang
dengan tata bahasa kalimat belum seuai yang benar tetapi masih benar
indonesia dengan tata bahasa ada kata kata yang salah
indonesia yang benar
3. Performance Sikap dan cara Sikap dan cara penyajian Sikap dan cara penyajian Sikap dan cara penyajian
penyajian presentasi presentasi kasus presentasi kasus presentasi kasus
kasus tidak jelas memenuhi 1 dari 3 memenuhi 2 dari 3 kriteria: memenuhi 3 dari 3 kriteria:
kriteria: 1. Pemberi materi 1. Pemberi materi
1. Pemberi materi menampilkan sikap menampilkan sikap
menampilkan sikap tenang tenang
tenang 2. Cara penyajian kasus 2. Cara penyajian kasus
2. Cara penyajian kasus tidak berbelit belit tidak berbelit belit
tidak berbelit belit 3. Pemberi materi 3. Pemberi materi
3. Pemberi materi menguasai kasus yang menguasai kasus yang
menguasai kasus yang di seminarkan di seminarkan
di seminarkan
4. Penyampaian Penyampaian materi penyampaian materi penyampaian materi penyampaian materi
materi tidak jelas memenuhi 1 dari 3 memenuhi 2 dari 3 kriteria: memenuhi 3 dari 3 kriteria:
kriteria: 1. Penyajian materi jelas 1. Penyajian materi jelas
1. Penyajian materi jelas dan tidak berbelit belit dan tidak berbelit belit
dan tidak berbelit belit 2. Semua anggota 2. Semua anggota
2. Semua anggota kelompok berpartisipasi kelompok berpartisipasi
kelompok berpartisipasi aktif dalam diskusi aktif dalam diskusi
aktif dalam diskusi menjawab pertanyaan menjawab pertanyaan
menjawab pertanyaan 3. Jawaban yang di berikan 3. Jawaban yang di berikan
3. Jawaban yang di sesuai dengan sesuai dengan
berikan sesuai dengan pertanyaan yang pertanyaan yang
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

pertanyaan yang diberikan diberikan


diberikan
5. Penggunaan Presentasi tidak Presentasi menggunakan Presentasi menggunakan 1 Presentasi menggunakan 1
audiovisual / efektif dan tidak 1 dari 3 poin di bawah ini: dari 3 poin di bawah ini: dari 3 poin di bawah ini:
sarana dalam menggunakan media 1. Menggunakan power 1. Menggunakan power 1. Menggunakan power
penyajian apapun point yang efektif, tidak point yang efektif, tidak point yang efektif, tidak
kasus banyak gambar dan banyak gambar dan banyak gambar dan
dekorasi berlebihan dekorasi berlebihan dekorasi berlebihan
2. Menampilkan video, 2. Menampilkan video, 2. Menampilkan video,
gambar contoh dll gambar contoh dll untuk gambar contoh dll untuk
untuk memperjelas memperjelas memperjelas
3. Sistematika power 3. Sistematika power point 3. Sistematika power point
point sesuai sesuai sesuai

Rentang Penilaian
BOBOT RENTANG NILAI (SKOR)
Bobot 0 Nilai 0
Bobot 1 Nilai 1 68
Bobot 2 Nilai 69 78
Bobot 3 Nilai 79 100

1
2. Format Penilaian Artikel/Case Study
FORMAT PENILAIAN TUGAS PBL/CASE STUDY

Judul/Tema : ..
Nama Anggota Kelompok :
1. 5.
2. 6.
3.
4.

Nilai
No Elemen Penilaian Ket
D C B A
1 Isi:
a. Menginterpretasikan pertanyaan secara tepat
b. Secara jelas membahas topik yang dimaksud
dengan mengelaborasikan berbagai sumber
terkait
c. Mendemonstrasikan pemahaman tentang
konsep teori mengenai topik yang dibahas
d. Menggunakan sumber yang cukup dan relevan
sebagai data pendukung pembahasan
e. Mendemonstrasikan kemampuan melakukan
analisa kritis pada topik yang dibahas
2 Struktur/Organisasi
a. Latar belakang sesuai dengan topic yang
dibahas serta dengan jelas memberikan outline
tentang apa yang dibahas
b. Bagian isi dari topik bahasan terstruktur dengan
baik, mempunyai koherensi dan ide tersusun
secara logis dengan penempatan yang tepat
c. Kesimpulan sesuai dengan isi
3 Teknik penulisan
a. Teknik penulisan sesuai dengan stndar
b. Penulisan sumber pustaka sesuai stndar
4 Rerefensi:
Keterbaharuan literatur < 5 tahun
Total
Petunjuk Penilaian :
D: 41 - 55 : Tidak menguasai/tidak mampu (seluruh anggota kelompok)
C: 56 - 78 : Kurang menguasai/kurang mampu (sebagian besar anggota
kelompok)
B: 69 - 78 : Menguasai/ mampu (sebagian besar anggota kelompok)
A: 79 - 100 : Sangat menguasai/ sangat mampu (seluruh anggota kelompok)
Nilai
Total Nilai
Jumlah Variabel
Banjarmasin, 20
Penilai


3. Small Group Discustion
Jenjang Angka Deskripsi Perilaku (aktifitas diskusi)
Sangat bagus 79-100 = A Datang tepat waktu, berbicara sopan,
tidak memotong
pembicaraan,menghargai pendapat
teman yang lain, bekerjasama dengan
baik
Bagus 69 - 78 = B Datang tepat waktu, berbicara sopan,
tidak memotong pembicaraan, namun
kurang menghargai pendapat teman
yang lain, bekerjasama dengan baik
Kurang bagus 56 - 68 = C Datang tepat waktu, kurang bisa
berbicara dengan sopan, tidak
memotong pembicaraan, kurang
menghargai pendapat teman yang lain,
dan tidak bisa bekerjasama dengan baik
Buruk >56 = D Datang tidak tepat waktu, tidak
menghargai pendapat teman, tidak bisa
bekerjasama
MODUL KEPERAWATAN FALSAFAH

4. Sikap
FORMAT PENILAIAN SIKAP MAHASISWA

Kelompok :
Nama Mahasiswa :
Mata Kuliah :

Nilai
No Elemen Penilaian Ket
D C B A
1 Kehadiran

2 Kejujuran

3 Menghargai orang lain

4 Keaktifan

5 Performance/kerapian pakaian

6 Kerjasama

7 Cepat tanggap/responsif

8 Teliti

9 Disiplin

10 Tanggung Jawab

11 Inisiatif

Total

Petunjuk penilaian:
D: 41 - 55 : Kurang
C: 56 - 78 : Cukup
B: 69 - 78 : Baik
A: 79 - 100 : Sangat baik

Nilai
Total Nilai
Jumlah Variabel

Banjarmasin, 20
Penilai

1
RUBRIK PENILAIAN SIKAP

KOMPETENSI 0 1 2 3 BOBOT SKOR


1. Kedisiplinan Tidak menerapkan Terdapat 4 poin Terdapat 6 poin Terdapat semua poin
kedisiplinan kedisiplinan: kedisiplinan: kedisiplinan:
1. Kehadiran 1. Kehadiran 1. Kehadiran
2. Keaktifan 2. Keaktifan 2. Keaktifan
3. Tanggung jawab 3. Tanggung jawab 3. Tanggung jawab
4. Cepat tanggap 4. Cepat tanggap 4. Cepat tanggap
5. Teliti 5. Teliti 5. Teliti
6. Kerjasama 6. Kerjasama 6. Kerjasama
7. Kejujuran 7. Kejujuran 7. Kejujuran
2. Performance Tidak memperhatikan Terdapat 1 poin Terdapat 2 poin Terdapat semua poin
performance performance: performance: performance:
1. Berpenampilan rapi, 1. Berpenampilan rapi, 1. Berpenampilan rapi,
wangi, dan tidak wangi, dan tidak wangi, dan tidak
berlebihan berlebihan berlebihan
2. Menghargai rekan 2. Menghargai rekan 2. Menghargai rekan
sejawat sejawat sejawat
3. Inisiatif 3. Inisiatif 3. Inisiatif

Rentang Penilaian
BOBOT RENTANG NILAI (SKOR)
Bobot 0 Nilai 0
Bobot 1 Nilai 1 68
Bobot 2 Nilai 69 78
Bobot 3 Nilai 79 100

Anda mungkin juga menyukai