Referat Anestesi Spinal
Referat Anestesi Spinal
1.
2. Oleh:
Marini, S.Ked
Okta Kurniawan Saputra, S.Ked
Pembimbing:
Dr. Hj. Rose Mafiana, Sp.An. KNA. KAO
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
Oleh :
Marini, S.Ked
Okta Kurniawan Saputra, S.Ked
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior periode 28 Oktober 2013 sampai 2 Desember 2013 di Departemen
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah
Sakit Muhammad Hoesin Palembang.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................
ABSTRAK..................................................................................................... iii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iv
BAB I. PENDAHULUAN.
DAFTAR PUSTAKA 45
BAB I
PENDAHULUAN
4
1.1 Definisi
Anestesi adalah pemberian obat untuk menghilangkan kesadaran secara
sementara dan biasanya ada kaitannya dengan pembedahan. Secara garis besar
anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi regional.
Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang bersifat sementara
akibat pemberian obat-obatan serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara
sentral. Sedangkan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan
bebas nyeri sebagian tubuh tanpa kehilangan kesadaran1. Anestesi regional
semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan
yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang
minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon
stress secara lebih sempurna2. Anestesi regional memiliki berbagai macam teknik
penggunaan salah satu teknik yang dapat diandalkan adalah melalui tulang
belakang atau anestesi spinal1,3. Anestesi spinal adalah pemberian obat antestetik
lokal ke dalam ruang subarakhnoid4. Anestesi spinal diindikasikan terutama untuk
bedah ekstremitas inferior, bedah panggul, tindakan sekitar rektum dan perineum,
bedah obstetri dan ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah dan operasi
ortopedi ekstremitas inferior1.
Anestesi spinal telah mempunyai sejarah panjang keberhasilan (>90%
tingkat keberhasilan). Kemudahan dan sejarah panjang keberhasilan anestesi
spinal memberikan kesan bahwa teknik ini sederhana dan canggih 5. Namun
demikian bukan berarti bahwa tindakan anestesi spinal tidak ada bahaya. Hasil
yang baik akan dicapai apabila selain persiapan yang optimal juga disertai
pengetahuan tentang anestesi spinal mulai dari anatomi, fisiologi, farmakologi,
dan aplikasi dari anestesi spinal 1,5. Maka dari itu, makalah ini akan membahas
mengenai anestesi spinal terutama patofisiologi anestesi spinal.
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasi
dengan anestesi umum ringan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Tulang belakang itu terdiri atas tulang punggung dan diskus intervertebral
(Gambar 161). Ada 7 cervical (bhb.dg.tengkuk), 12 ruas vertebrae torakal, dan 5
ruas verbrae lumbalis dan 5 ruas tulang Sakralis dan 5 ruas koksigeal yang bersatu
satu sama lain (Gambar 162). Tulang belakang secara keselruhan berfungsi
sebagai tulang penyokong tubuh terutama tulang-tulang lumbalis.selain itu tulang
belakang juga berfungsi melindungi medula spinalis yang terdapat di dalamnya6.
Di sepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang nervus spinalis melalui
radix anterior atau motorik dan radix posterior atau sensorik. Masingmasing
radix melekat pada medulla spinalis melalui sederetan radices (radix kecil),yang
terdapat di sepanjang segmen medulla spinalis yang sesuai. setiap radix
mempunyai sebuah ganglion radix posterior, yang axon selselnya memberikan
serabutserabutsaraf perifer dan pusat7.
Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan
ramping, yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis
tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medulla spinalis, yang keluar dari sebuah
lubang besar di dasar tengkorak, dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu
turun melalui kanalis vertebralis. Dari medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf
spinalis berpasangan melalui ruang-ruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung
tulang mirip sayap vertebra yang berdekatan7.
Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut: 8 pasang
saraf servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5
pasang saraf sakral (S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co)7.
Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih
panjang daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut,
segmen-segmen medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal
tidak bersatu dengan ruang-ruang antar vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar
saraf spinalis harus turun bersama medulla spinalis sebelum keluar dari kolumna
7
vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan
sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua (setinggi sekitar pinggang),
sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar dari
kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang
memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai
kauda ekuina ekor kuda karena penampakannya.7
antarneuron pendek, dan sel-sel glia. Substansia alba tersusun menjadi traktus
(jaras), yaitu berkas serat-serat saraf (akson-akson dari antarneuron yang panjang)
dengan fungsi serupa. Berkas-berkas itu dikelompokkan menjadi kolumna yang
berjalan di sepanjang medulla spinalis. Setiap traktus ini berawal atau berakhir di
dalam daerah tertentu di otak, dan masing-masing memiliki kekhususan dalam
mengenai informasi yang disampaikannya7.
Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal
dipisahkan, dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat
mengganggu sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia grisea yang
terletak di bagian tengah secara fungsional juga mengalami organisasi. Kanalis
sentralis, yang terisi oleh cairan serebrospinal, terletak di tengah substansia grisea.
Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi kornu dorsalis (posterior),
kornu ventralis (anterior), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis mengandung badan-
badan sel antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Kornu ventralis
mengandung badan sel neuron motorik eferen yang mempersarafi otot rangka.
Serat-serat otonom yang mempersarafi otot jantung dan otot polos serta kelenjar
eksokrin berasal dari badan-badan sel yang terletak di tanduk lateralis7.
Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui
akar spinalis dan akar ventral. Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk
ke medulla spinalis melalui akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal keluar
meninggalkan medulla melalui akar ventral. Badan-badan sel untuk neuron-
neuronaferen pada setiap tingkat berkelompok bersama di dalam ganglion akar
dorsal. Badan-badan sel untuk neuron-neuron eferen berpangkal di substansia
grisea dan mengirim akson ke luar melalui akar ventral7.
Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk sebuah saraf
spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf spinalis mengandung
serat-serat aferen dan eferen yang berjalan diantara bagian tubuh tertentu dan
medulla spinalis spinalis. Sebuah saraf adalah berkas akson neuron perifer,
sebagian aferen dan sebagian eferen, yang dibungkus oleh suatu selaput jaringan
ikat dan mengikuti jalur yang sama. Sebagaian saraf tidak mengandung sel saraf
secara utuh, hanya bagian-bagian akson dari banyak neuron. Tiap-tiap serat di
9
dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama lain. Mereka
berjalan bersama untuk kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang
berjalan dalam satu kabel, nemun tiap-tiap sambungan telepon dapat bersifat
pribadi dan tidak mengganggu atau mempengaruhi sambungan yang lain dalam
kabel yang sama8.
Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu
traktus desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang
bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara
umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak
dapat mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu
(1) informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu,
dan raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya
otot dan sendi9.
Gambar 7.
Jaras
Spinoserebelar
Spinal cord pada umumnya berakhir setinggi L2 pada dewasa dan L3 pada
anak-anak. Fungsi dural yang dilakukan diatas segment tersebut berhubungan
dengan resiko kerusakan spinal cord dan sebaiknya tidak dilakukan. Secara
14
anatomis dipilih segemen L2 ke bawah pada penusukan oleh karena ujung bawah
daripada medula spinalis setinggi L2 dan ruang interegmental lumbal ini relatif
lebih lebar dan lebih datar dibandingkan dengan segmen-segmen lainnya. Lokasi
interspace ini dicari dengan menghubungkan crista iliaca kiri dan kanan. Maka
titik pertemuan dengan segmen lumbal merupakan processus spinosus L4 atau
L4-58.
darah8.
Dermatom adalah area kulit yang diinervasi oleh serabut saraf sensoris
yang berasal dari satu saraf spinal. Gambar 11 memperlihatkan segmen dermatom
tubuh yang penting untuk anestesi dalam pembedahan, efek anestesi spinal harus
mencapai segmen dermatom tertentu agar dapat memblok persarafan di daerah
pembedahan tersebut14.
Tabel 1. Ketinggian segmen dermatom dalam anestesi spinal untuk prosedur pembedahan4,14
menentukan jalur metabolisme obat anestetik lokal11. Struktur umum dari obat
anestetik lokal tersebut mencerminkan orientasi dari tempat bekerja yaitu
membran sel saraf. Jika dilihat susunan dari membran sel saraf yang terdiri dari
dua lapisan lemak dan satu lapisan protein di luar dan dalam, maka struktur obat
anestetik lokal gugus hidrofilik berguna untuk transport ke sel saraf sedangkan
gugus lipofilik berguna untuk migrasi ke dalam sel saraf11.
Obat anestesi lokal yang digunakan dibagi ke dalam dua macam, yakni
golongan ester seperti kokain, benzokain, prokain, kloroprokain, ametokain,
tetrakain dan golongan amida seperti lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain,
etidokain, dibukain, ropivakain, levobupivakain. Perbedaannya terletak pada
kestabilan struktur kimia. Golongan ester mudah dihidrolisis dan tidak stabil
dalam cairan, sedangkan golongan amida lebih stabil. Golongan ester dihidrolisa
dalam plasma oleh enzim pseudo-kolinesterase dan golongan amida
dimetabolisme di hati4,12. Di Indonesia golongan ester yang paling banyak
digunakan ialah prokain, sedangkan golongan amida tersering ialah lidokain dan
bupivakain2,4.
Tabel 2. Jenis anestesi lokal2
Prokain Lidokain Bupivakain
Golongan Ester Amida Amida
Mula kerja 2 menit 5 menit 15 menit
Lama kerja 30-45 menit 45-90 menit 2-4 jam
Metabolisme Plasma Hepar Hepar
Dosis maksimal 12 6 2
(mg/kgBB)
Potensi 1 3 15
Toksisitas 1 2 10
2.3.1 Absorpsi2
Absorpsi sistemik dari anestesi lokal yang diinjeksikan bergantung pada
aliran darah, yang ditentukan dari beberapa faktor dibawah ini:
1. Lokasi injeksi; kecepatan absorpsi sistemik sebanding dengan ramainya
vaskularisasi tempat suntikan: absorbsi intravena > trakeal > interkostal >
kaudal > paraservikal > epidural > pleksus brakialis > ischiadikus > subkutan.
2. Adanya vasokontriksi dengan penambahan epinefrin menyebabkan
vasokonstriksi pada tempat pemberian anestesi yang akan menyebabkan
penurunan absorpsi sampai 50% dan peningkatan pengambilan neuronal,
sehingga meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang durasi, da
meminimalkan efek toksik. Efek vaskonstriksi yang digunakan biasanya dari
obat yang memiliki masa kerja pendek. Epinefrin juga dapat meningkatkan
kualitas analgesia dan memperlama kerja lewat aktivitasnya terhadap reseptor
adrenergik alfa 2.
3. Agen anestesi lokal, anestesi lokal yang terikat kuat dengan jaringan lebih
lambat terjadi absorpsi dan agen ini bervariasi dalam vasodilator intrinsik
yang dimilikinya.
2.3.2 Distribusi2
Distribusi dipengaruhi oleh ambilan organ dan ditentukan oleh faktor-
faktor:
22
1. Perfusi jaringan-organ dengan perfusi jaringan yang tinggi (otak, paru, hepar,
ginjal, dan jantung) bertanggung jawab terhadap ambilan awal yang cepat
(fase ), yang diikuti redistribusi yang lebih lambat (fase ) sampai perfusi
jaringan moderat (otot dan saluran cerna).
2. Koefisien partisi jaringan/darah ikatan protein plasma yang kuat cenderung
mempertahankan obat anestesi di dalam darah, dimana kelarutan lemak yang
tinggi memfasilitasi ambilan jaringan.
3. Massa jaringanotot merupakan reservoar paling besar untuk anestesi lokal
karena massa dari otot yang besar.
2.3.3 Fiksasi13
Anestetik lokal berikatan dengan protein plasma dengan berbagai derajat.
Hal ini menunjukkan bahwa obat yang berikatan kuat dengan protein plasma
mengurangi toksisitasnya karena hanya sebagian kecil dari jumlah total plasma
yang bebas berdifusi ke dalam jaringan yang dapat menghasilkan efek toksik.
Namun obat yang berikatan dengan protein juga masih mampu berdifusi kedalam
plasma mengikuti gradien konsentrasi, karena bagian yang terikat protein
memiliki keseimbangan yang sama dengan yang terlarut dalam plasma. Dengan
demikian, ikatan dengan protein tidak berhubungan dengan efek toksisitas akut
obat.
b. Faktor tambahan
1. Umur11
Umur pasien berpengaruh terhadap level analgesi spinal. Ruang arakhnoid
dan epidural menjadi lebih kecil dengan bertambahnya umur yang
membuat penyebaran obat analgetika lokal lebih besar atau luas, dengan
hasil penyebaran obat analgetika lokal ke cephalad lebih banyak sehingga
level analgesia lebih tinggi dengan dosis sama dan tinggi badan sama.
Sehingga dosis hendaknya dikurangi pada umur tua. Cameron dkk telah
melakukan penelitian pengaruh umut pada penyebaran obat analgetika
lokal, ternyata ada korelasi yang bermakna antara umur dan level
analgesia.
2. Tinggi badan
Makin tinggi tubh makin panjang medula spinalisnya, sehingga penderita
yang tinggi memerlukan dosis lebih banyak daripada yang pendek11.
3. Berat badan
Kegemukan berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga
epidural yang akan mengurangi volume cairan serebrospinal. Pengalaman
klinis mengindikasikan bahwa kegemukan berpengaruh sedikit terhadap
penyebaran obat anastetik lokal dalam cairan serebrospinal11.
4. Tekanan intraabdomen
26
2.5. Farmakodinamik
Pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid di regio
vertebra. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid dari
luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,
ligamentum flavum, durameter, dan arakhnoid. Ruang subarakhnoid berada
diantara arakhnoid dan piameter, sedangkan ruang antara ligamentum flavum dan
durameter merupakan ruang epidural11,14.
Lokal anestetik yang dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid akan
memblok impuls sensorik, autonom dan motorik. Lokasi target dari anestesi spinal
adalah akar saraf spinal dan medulla spinalis5. Dalam anestesi spinal konsentrasi
obat lokal anestetik di cairan serebrospinal memiliki efek yang minimal pada
medula spinalis14.
28
memiliki potensi dan lama kerja yang singkat. Grup II meliputi lidokain,
mepivakain dan prilokain yang memiliki potensi dan lama kerja sedang. Grup III
meliputi tetrakain, bupivakain, etidokain yang memiliki potensi kuat dan lama
kerja yang panjang. Anestesi lokal juga dibedakan berdasarkan pada mula atau
awal kerjanya seperti kloroprokain, lidokain, mepivakain, prilokain, etidokain
memiliki mula kerja yang relatif cepat, bupivakain memiliki mula kerja sedang,
sedangkan prokain dan tetrakain bermula kerja lambat2.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten,
karena itu merupakan kemampuan anestesi lokal untuk menembus membran yang
hidrofobik2,4. Secara umum, potensi dan kelarutan lemak meningkat dengan
meningkatnya jumlah total atom karbon pada molekul2.
yang tinggi juga mempunyai ikatan protein plasma yang tinggi terutama terhadap
alfa-1 asam glikoprotein dan sedikit terhadap albumin, sebagai konsekuensinya
eliminasi memanjang2,4,11. (3) Potensi dan lama kerja anestesi spinal berhubungan
dengan sifat individual obat anestesi dan ditentukan oleh kecepatan absorpsi
sistemik, sehingga semakin tinggi tingkat daya ikat protein pada reseptor, semakin
panjang lama kerja anestesi spinal tersebut. Potensi dan lama kerja dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan konsentrasi dan dosis. Potensi yang kuat
berhubungan dengan tingginya kelarutan dalam lemak, karena hal ini akan
memungkinkan kelarutan dan memudahkan obat anestesi regional1. Pemilihan
obat lokal anestesi yang akan digunakan pada umumnya berdasar pada perkiraan
durasi dari pembedahan yang akan dilakukan dan kebutuhan pasien untuk segera
pulih dan mobilisasi10.
2.7.Patofisiologi
33
blokade sensorik dan motorik. Sebaliknya, anestesi lokal pada epidural anestesi
pada akar saraf memerlukan volume dan dosis yang jauh lebih tinggi. Selain itu,
tempat suntikan untuk anestesi epidural harus dekat dengan akar saraf yang harus
diblok. Blokade transmisi saraf (konduksi) dalam pada serabut saraf posterior
akan menghambat somatik dan viseral, sedangkan blokade serabut akar saraf
anterior mencegah eferen motorik dan outflow otonom6.
berubah, hanya ada sedikit penurunan kapasitas vital, yang disebabkan oleh
hilangnya kontribusi otot perut 'untuk ekspirasi paksa6.
Pada prosedur pembedahan yang menyebabkan trauma menyebabkan
neuroendokrin trauma melalui respon inflamasi lokal dan aktivasi serat saraf
aferen somatik dan viceral. Respon ini termasuk peningkatan hormon
adrenokortikotropik, kortisol, epinefrin, norepinefrin, dan level vasopresin melalui
sistem aktivasi renin-angiotensin-aldosteron. Neuroaksial blokade dapat
menurunkan sebagian atau secara total respon stres ini6.
Eliminasi anestetik lokal terjadi melalui penyerapan oleh pembuluh darah
dalam ruang subarakhnoid dan epidural. Penyerapan ini terjadi pada pembuluh
darah di piameter dan medulla spinalis. Laju penyerapan berhubungan dengan
luas permukaan pembuluh darah yang kontak dengan anestetik lokal. Anestetik
lokal yang mempunyai kelarutan lemak yang tinggi akan meningkatkan absorpsi
kedalam jaringan, sehingga mengurangi konsentrasi. Anestetik lokal juga
berdifusi ke dalam ruang epidural dan setelah di ruang epidural akan berdifusi ke
dalam pembuluh darah epidural10.
3. Sistem pencernaan14
Inervasi simpatis pada organ-organ abdomen mulai dari T6-L2. Akibat
blokade simpatis, maka kerja parasimpatis meningkat seperti peningkatan
sekresi, relaksasi sfingter dan konstriksi usus. Sekitar 20% pasien mual
dan muntah setelah anestesi spinal dan faktor risiko terjadinya karena
blokade saraf diatas T5, hipotensi, penggunaan opioid dan riwayat mual
muntah sebelumnya. Peningkatan aktivitas vagal setelah blokade simpatis
menyebabkan peningkatan peristaltik usus yang memicu mual. Dengan
demikian, atropine berguna untuk mengatasi mual setelah blokade spinal
yang tinggi
4. Sistem saraf pusat
Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas obat anestetik lokal dengan
tanda-tanda awal rasa kebas, parestesi lidah, pusing. Keluhan sensorik
berupa tinitus dan pandangan kabur. Tanda eksitasi seperti kurang istirahat,
agitasi, gelisah, paranoid. Tanda adanya depresi sistem saraf pusat misal
bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, kejang, depresi pernafasan,
tidak sadar, koma.
5. Imunologi
Golongan ester lebih sering menyebabkan alergi, karena merupakan
derivat para-amino-benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen.
6. Sistem muskuloskeletal
Bersifat miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain). Secara histologi,
hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenerasi litik, edema, dan
nekrosis. Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu.
7. Ginjal dan hepar
Aliran darah ginjal dipengaruhi oleh tekanan arterial. Bila tidak terjadi
vasokonstriksi di ginjal maka aliran darah ginjal tidak akan menurun
sampai tekanan arteri rata-rata menurun dibawah 50 mmHg. Dengan
38
begitu, bila tidak terjadi hipotensi berat maka alirah darah ginjal serta urin
output masih dalam batas normal selama anestesi spinal. Sedangkan aliran
darah hepar akan menurun mengikuti derajat dari hipotensi9.
8. Endokrin dan metabolisme
Anestesi spinal akan menghambat respon hormonal dan respon stres
metabolik yang berhubungan dengan pembedahan. Respon ini berupa
peningkatan ACTH, kortisol, epinefrin, norepinefrin dan vasopresin serta
renin angiotensin aldosteron.
Blok saraf frenikus mungkin tidak terjadi bahkan dengan anestesi spinal
total, kejadian apnea dapat diselesaikan dengan resusitasi hemodinamik, hal
menunjukkan bahwa hipoperfusi batang otak lebih bertanggung jawab dari pada
blok saraf frenikus.6
Pasien dengan penyakit paru kronis yang berat dapat mengandalkan otot
aksesori pernapasan (otot interkostal dan abdominal) secara aktif untuk inspirasi
atau ekspirasi. Tingginya level blokade saraf akan merusak otot-otot ini.
Demikian pula, batuk dan pembersihan sekresi memerlukan otot ini untuk
ekpirasi. Untuk alasan ini, blok neuraksial harus digunakan dengan hati-hati pada
41
2.9 Komplikasi
Komplikasi dapat dibagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut:
ketinggian blokade saraf, lokasi jarum penyuntikkan dan toksisitas obat15.
a. Ketinggian blokade saraf bisa menimbulkan hipotensi sampai cardiac arrest
dan retensi urin. Ketinggian blokade saraf bisa terjadi akibat dosis lebih dari
anestetik lokal, kegagalan untuk mengurangi dosis pada pasien-pasien yang
rentan terhadap penyebaran berlebih anestetik lokal (usia tua, hamil, obesitas
dan pendek), peningkatan sensitifitas, penyebaran obat yang berlebih. Gejala
awal yang muncul berupa dispnea, rasa kebal atau kelemahan pada lengan,
mual bisa dikarenakan hipoperfusi otak, dan hipotensi ringan sampai sedang9.
Jika penyebaran anestetik lokal sampai pada cervical maka akan muncul
gejala hipotensi berat, bradikardia, gagal nafas. Bila timbul gangguan
kesadaran dan apnea, maka penanganan airway dan breathing berupa
pemberian oksigen, intubasi dan ventilasi mekanik diperlukan. Selanjutnya
penangan sirkulasi berupa pemberian cairan intravena, posisi trendelenburg
dan vasopresor15.
1. Hipotensi14
Efek blokade simpatis dari anestesi spinal akan mengubah
hemodinamik. Ketinggian dari blokade saraf akan meninggikan blokade
simpatis, yang dapat dilihat dari perubahan kardiovaskular terutama blokade
simpatis T1-L2. Hipotensi dan bradikardia adalah efek samping yang
diakibatkan oleh denervasi simpatis. Faktor risiko hipotensi antara lain
hipovolemia, hipertensi preoperatif, ketinggian blokade sensoris, usia diatas
40 tahun, obesitas, kombinasi anestesia umum dan regional. Konsumpsi
alkohol kronis, riwayat hipertensi, BMI lebih, ketinggian blokade sensoris,
42
2. Retensi urin15
43
Ini terjadi akibat blokade saraf S2-4 yang menurunkan tonus otot
kandung kemih dan menghambat refleks berkemih. Pemasangan kateter urin
bermanfaat pada pembedahan yang cukup lama. Penilaian postoperatif
terhadap retensi urin sangat berguna karena bila terdapat retensi urin yang
lama merupakan tanda adanya kerusakan saraf yang serius9.
b. Lokasi penyuntikkan
1. Nyeri punggung15
Saat penyuntikkan dengan jarum pada bagian punggung akan memicu
repon peradangan yang akan menghasilkan kekakuan sementara. Gejala dapat
berlanjut lebih dari seminggu. Nyeri punggung ini bisa merupakan tanda awal
dari komplikasi hematoma spinal dan abses.
2. Postdural puncture headache15
Nyeri kepala terjadi akibat kebocoran cairan serebrospinal melewati
lubang pada durameter. Adanya penurunan tekanan intrakaranial akibat
kebocoran cairan serebrospinal. Ketika pasien dalam posisi tegak akan ada
traksi pada dura, tentorium dan pembuluh darah yang menimbulkan nyeri.
Gejala berupa nyeri kepala pada posisi duduk atau berdiri dan berkurang bila
berbaring, nyeri kepala bilateral, frontal, retro orbita, oksipital dan menjalar ke
leher. Onset nyeri ini 12-72 jam setelah prosedur.
3. Hematoma spinal15
Insidensi hematoma spinal pada anestesi spinal 1:220.000. adapun
faktor yang meningkatkan risiko hematoma spinal antara lain pemakaian
antikoagulan atau penyakit yang berhubungan dengan koagulasi darah,
penyuntikkan anestesi spinal berulang kali. Perdarahan pada ruang
subarachnoid akan mengompresi saraf dan menimbulkan iskemia dan
kerusakan sel saraf. Onset gejala berjalan cepat berupa nyeri punggung dan
tungkai bawah, hilang rasa dan kelemahan progresif, disfungsi sfingter.
c. Toksisitas obat
44
BAB III
KESIMPULAN
1. Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu
golongan ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam
perbedaan tempat metabolisme, dimana golongan ester terutama
dimetabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase di plasma sedangkan
golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis di hati.
2. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita untuk golongan ester
adalah prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan bupivakain.
3. Farmakokinetik obat pada anestesi spinal meliputi absorpsi pada ruang
subarakhnoid, distribusi yang berpengaruh pada ketinggian blokade saraf,
fiksasi, metabolisme dan ekskresi. Obat anestesi lokal setelah masuk cairan
serebrospinal, berdifusi menyebrang selubung saraf dan membran, tetapi
hanya yang dalam bentuk basa yang bisa menembus membran lipid ini.
Ketika mencapai akson terjadi ionisasi dan dalam bentuk kation yang
bermuatan bisa mencapai reseptor pada saluran natrium. Akibatnya terjadi
blokade saluran natrium, hambatan konduksi natrium, penurunan kecepatan
dan derajat fase depolarisasi aksi potensial, dan terjadi blokade saraf12.
4. Anestetik lokal ini akan memblokade impuls saraf otonom, sensorik dan
motorik secara berurutan. Blokade transmisi saraf (konduksi) dalam pada
serabut saraf posterior akan menghambat somatik dan viseral, sedangkan
blokade serabut akar saraf anterior mencegah eferen motorik dan outflow
otonom6. Blok neuroaksial tipikal menyebabkan penurunan tekanan darah
yang disertai dengan penurunan detak jantung dan kontraktilitas jantung.
Blokade transmisi eferen pada nervus spinal dan menyebabkan blokade dari
simpatik dan parasimpatik. Blokade serabut simpatik yang muncul dari T5
dan L1, yang menginervasi otot polos arteri dan vena akan menyebabkan
vasodilatasi dari pembuluh vena, penurunan pengisian darah dan menurunkan
venous return ke jantung. Untuk beberapa kasus vasodilatasi ateria dapat
menyebabkan penurunan resistensi sistemik pembuluh darah. Hal ini dapat
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Sari NK. Perbedaan tekanan darah pasca anestesi spinal dengan pemberian
preload dan tanpa pemberian preload 20cc/kgbb ringer laktat [Karya tulis
ilmiah]. Semarang:. Fakultas Kedokteran UNDIP; 2012.
5. Liu SS, McDonald SB. Current issues in spinal anesthesia. Dalam: Review
article American Society of Anesthesiologist. Anesthesiology. 2001; 94
(5): 888-906.
10. Wirawan AY. Perbandingan onset dan durasi blok syaraf spinal antara
penambahan fentanyl 12,5g dengan neostigmin 50 g pada subarachnoid
blok dengan bupivakain 0,5% 12,5 mg hiperbarik untuk operasi daerah
panggul dan ekstremitas bawah [Karya tulis ilmiah akhir]. Yogyakarta:
Fakultas Kedokteran UGM; 2011.
14. The New York School of Regional Anesthesia. Spinal anesthesia. 2013.
[Diakses 15 November 2013]. (Diakses dari
http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxial-
techniques/landmark-based/3423-spinal-anesthesia.html).
15. Moos DD. Basic guide to anesthesia for developing countries. Volume 2.
2008. [Diakses 15 November 2013]. (Diakses dari http://www.ifna-
int.org/ifna/e107_files/downloads/DCAnesthesiaVolume2Final.pdf).
16. Matras PJ, Poulton B, Derman S. Self learning package: Pain physiology
and assessment, patient controlled analgesia, epidural and spinal analgesia,
nerve block catheters. Fraserhealth. 2012: 12-13.
17. Katzung BG. Farmakologi dasar & klinik. Edisi 10. Jakarta: EGC; 2011:
423-430.