Anda di halaman 1dari 39

BAB I

KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Ny. TR
Usia : 88 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Banaran, Bagor
Suku Bangsa/Agama : Jawa / Islam
Tanggal Masuk : 19 Agustus 2017
Jam Masuk : 03.45 WIB

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis kepada pasien pada tanggal 21 Agustus 2017 dan
alloanamnesis kepada anak pasien pada tanggal 21 Agustus 2017 di Ruangan
Flamboyan RS Bhayangkara Moestadjab Nganjuk.
a. Keluhan Utama :
Nyeri dada kanan bawah disertai batuk lama

b. Riwayat Penyakit Sekarang :


HMRS: Pasien masuk ke IGD RS Bhayangkara Nganjuk dengan keluhan nyeri
dada kanan bawah. Nyeri terlokalisir di daerah bawah iga kanan dan muncul
terutama saat pasien menarik napas dalam. Nyeri terkadang menjalar sampai ke
dada kanan muncul kurang lebih sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri tidak berkurang
saat perubahan posisi dan semakin memburuk selama 2 hari terakhir. Pasien juga
mengeluhkan demam dan menggigil kedinginan sejak hari ini. Sesak napas, pusing,
keringat dingin, mual muntah disangkal.
1 bulan SMRS: Pasien mengeluhkan batuk berdahak terutama saat pagi dan malam
hari. Pilek dan nyeri pada tenggorokan disangkal. Demam hilang timbul tetapi satu
hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan demam menggigil.
Penurunan berat badan disangkal. Pasien sudah berupaya untuk berobat ke
beberapa dokter tetapi tidak kunjung membaik.

1
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit jantung (+) sejak tahun 2015, tidak kontrol rutin
Asma bronchial (-)
PPOK (-)
Diabetes (-)
Hipertensi (-)
Penyakit kuning (-)
Asma (-)
Riwayat pengobatan paru-paru disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga


-
e. Pola Hidup
Perokok aktif dan pasif (-)
Kebiasaan minum minuman beralkhohol disangkal.
Kebiasaan berolah raga disangkal.
Pola makan, semenjak penyakit yang dialami, nafsu makan pasien berkurang.

2
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan di IGD RS Bhayangkara (19 Agustus 2017)
1. Status generalis
Keadaan umum : cukup
GCS : E4 V5 M6 (compos mentis)
Vital Sign :
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 96x/min
Respirasi : 20x /min
Suhu : 38,70C
2. Status lokalis
Mata :Ikterik (-), conjunctiva anemis -/- reflex pupil +N/+N
Hidung :discharge (-) pernapasan cuping hidung (-)
Telinga :otorea (-), benjolan (-), serumen (-)
Mulut :mukosa bibir kering (-), lesi (-), stomatitis (-)
Leher :JVP normal
Thorax :
Inspeksi :Penggunaan otot bantu pernapasan (-) deviasi trakea (-)
Iktus cordis terlihat di SIC IV linea midclavicularis sinitra, otot
bantu napas (-), simetris, jejas (-) barrel chest (-)
Palpasi :Nyeri tekan (-) pergerakan dada kanan dan kiri normal, fremitus
normal
Iktus cordis teraba di linea midclavicularis sinistra, thrill (-), nyeri
tekan (-) krepitasi (-)
Perkusi :Sonor
Batas jantung kanan di linea midsternalis dextra, kiri di linea
midklavikularis sinistra, perkusi dada sonor
Auskultasi :Suara nafas vesikuler (+/+) ronkhi (-/-) wheezing (+/+)
Suara jantung S1-S2 tunggal reguler, murmur (-) gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi :datar, penonjolan massa (-), dilatasi vena (-), asites (-), bekas
operasi (-)
Auskultasi :bising usus (+) peristaltic usus (12x/menit)
Perkusi :timpani

3
Palpasi :supel, nyeri tekan (-), defans muscular (-) hati limpa tidak teraba,
nyeri ketok ginjal (-)
Extremitas : akral hangat, nadi adekuat, edema (-) clubbing finger (-)
KGB : tidak ada pembesaran

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang dilakukan di IGD RS Bhayangkara (19 agustus 2017)
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Pemeriksaan fungsi ginjal
3. Gula darah sewaktu
4. Pemeriksaan imajing (foto rontgen)
5. Pemeriksaan EKG

Hasil pemeriksaan 19 Agustus 2017


Tes Hasil Nilai rujukan
Hematologi
Hemoglobin 13, 0 gr/dl 12-18
Hematokrit 38,7 % 37-52
MCV 85,1 fL 79-99
MCH 28,6 pg 27-31
MCHC 33,6 g/dL 33-37
Eritrosit 4,55 juta/mm3 4,2-6,1
Trombosit 459 ribu/mm3 150-450
Leukosit 18,5 rb/mm3 4,8-10,8
Neut 77 % 50-70
Lymph 18 % 25-40
Mxd 5% 25-30

Fungsi ginjal
Creatinin 1,5 mg / dL 0.7-1.4
UREA NITROGEN 22,1 mg/dL 8-23
Gula darah
Gula darah sewaktu 95 mg / dL <160

4
Fungsi Hati
SGOT 35,0 U/L 3-38
SGPT 31,6 U/L 8-35

Pemeriksaan Imajing (foto Rontgen) 19 Agustus 2017

Berdasarkan hasil pemeriksaan foto X-ray Thorax PA/Lat didapatkan:


COR : Batas kanan jantung sebagian tertutup perselubungan, kesan membesar,
tampak kalsifikasi aortic knob
Pulmo : tampak perselubungan dengan air bronchogram di paracardial kanan
Sinus phrenicocostalis kanan posterior tumpul, kiri anterior posterior tajam
Retrosternal space normal, retrocardial space sebagian tertutup perselubungan
Kesimpulan :
Cardiomegali
Pleuropneumonia kanan
aortosclerosis

5
Pemeriksaan EKG 19 Agustus 2017

Pada gambaran EKG didapatkan :

- Irama sinus, regular


- Heart rate 100x/menit
- Deviasi sumbu ke kiri
- Gelombang P normal
- Interval PR normal
- Kompleks QRS normal
- Segmen ST normal
- Gelombang T normal

Kesan :Didapatkan adanya left axis deviation

-
ASSESMENT/DIAGNOSA DIAGNOSA BANDING
Pneumonia Tumor Paru
Angina Pectoris
Tuberkulosis paru
CHF
RENCANA TERAPI/ PLANNING
O2 nasal 2 Lpm
KAEN 3A 14 tpm
Nebul setiap 8 jam
Injeksi Levocin 500 mg/100 mL 1x1
Drip pantoprazole 40 mg 1x1
Infus sanmol 1000 mg/100 mL 3x1 (k.p.)
Inolin 3 mg 2x1/2 tab
Sirup rhinathiol 100 mg/5 mL 3xcth II

6
V. FOLLOW UP DI BANGSAL
Tanggal 20/8/2017
S : batuk dahak sulit keluar, nyeri pada tulang iga kanan bawah, badan terasa lemas,
sulit tidur
O : KU = lemah, kesadaran = compos mentis
TD = 110/70 mmHg
N = 80x/menit
T = 36,70C
RR = 20x/menit
Pemeriksaan fisik
Kepala = conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-) JVP normal
Thorax = vesikuler (+/+), ronchi (+/+), wheezing (-/-) S1-S2 reguler
Abdomen = supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas = edema (-)
A : Pneumonia dextra
P : terapi sesuai dr. Teguh, Sp.PD

Tanggal 21/8/2017
S : batuk dahak sulit keluar, nyeri pada tulang iga kanan bawah terutama saat batuk
O : KU = cukup, kesadaran = compos mentis
TD = 120/80 mmHg
N = 92x/menit
T = 380C
RR = 20x/menit
Pemeriksaan fisik
Kepala = conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-) JVP normal
Thorax = vesikuler (+/+), ronchi (+/+), wheezing (-/-) S1-S2 reguler
Abdomen = supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas = edema (-)
A : Pneumonia dextra
P : infuse Panamin G/KAEN 3A 16 tpm
Inj. Levocin 500 mg/100mL 1x1
Inj. Acran 50 mg 2x1
Ethambutol 500 mg 2x1

7
Clast 0,5 mg 2x1
Ultracet 2x1
Sirup musin 500mg/5mL 3xCI
Diet BK

Tanggal 22/8/2017
S : batuk, nyeri pada tulang iga kanan bawah berkurang
O : KU = cukup, kesadaran = compos mentis
TD = 120/80 mmHg
N = 80x/menit
T = 37,40C
RR = 20x/menit
Pemeriksaan fisik
Kepala = conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-) JVP normal
Thorax = vesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-) S1-S2 reguler
Abdomen = supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas = edema (-)
A : Pneumonia dextra
P : terapi lanjut
Analsik ekstra

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi Paru-paru dan Mekanisme Pertahanan Paru


Paru-paru merupakan organ yang lunak, spongious dan elastis, berbentuk kerucut
atau konus, terletak dalam rongga toraks dan di atas diafragma, diselubungi oleh membran
pleura. Setiap paru mempunyai apeks (bagian atas paru) yang tumpul di kranial dan basis
(dasar) yang melekuk mengikuti lengkung diphragma di kaudal. Pembuluh darah paru,
bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus.1

Gambar 1. Anatomi Paru-Paru.

Paru-paru kanan dibagi menjadi 3 lobus yaitu lobus superior, lobus medius, dan
lobus inferior. Paru-paru kanan terbagi atas 10 segmen yaitu pada lobus superior terdiri
atas 3 segmen yakni segmen pertama adalah segmen apical, segmen kedua adalah segmen
posterior, dan segmen ketiga adalah segmen anterior. Pada lobus medius terdiri atas 2
segmen yakni segmen keempat adalah segmen lateral, dan segmen kelima adalah segmen
medial. Pada lobus inferior terdiri atas 5 segmen yakni segmen segmen keenam adalah
segmen apical, segmen ketujuh adalah segmen mediobasal, segmen kedelapan adalah
segmen anteriobasal, segmen kesembilan adalah segmen laterobasal, dan segmen
kesepuluh adalah segmen posteriobasal.1
Pada paru-paru kiri dibagi menjadi 2 lobus yaitu lobus superior dan lobus inferios.
Paru-paru kiri terdiri dari 8 segmen yaitu pada lobus superior terdiri dari segmen pertama

9
adalah segmen apikoposterior, segmen kedua adalah segmen anterior, segmen ketiga dalah
segmen posterior, segmen keempat adalah segmen inferior. Pada lobus inferior terdiri atas
segmen kelima yaitu segmen apical atau segmen superior, segmen keenam adalah segmen
mediobasal atau kardiak, segmen ketujuh adalah segmen anterobasal dan segmen
kedelapan adalah segmen posterobasal.1

Gambar 2. Pembagian Segmen pada Paru-Paru


Mekanisme pertahanan paru sangat penting dalam menjelaskan terjadinya infeksi
saluran napas. paru mempunyai mekanisme pertahanan untuk mencegah bakteri agar tidak
masuk ke dalam paru.2
Mekanisme pembersihan tersebut adalah :
1. Mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar, meliputi :
- Reepitelisasi saluran napas
- Aliran lendir pada permukaan epitel
- Bakteri alamiah atau "ephitelial cell binding site analog"
- Faktor humoral lokal (IgG dan IgA)
- Komponen mikroba setempat

10
- Sistem transpor mukosilier
- Reflek bersin dan batuk
Saluran napas atas (nasofaring dan orofaring) merupakan mekanisme pertahanan
melalui barier anatomi dan mekanisme terhadap masuknya mikroorganisme yang patogen.
Silia dan mukus mendorong mikroorganisme keluar dengan cara dibatukkan atau ditelan.
Bila terjadi disfungsi silia seperti pada Sindrome Kartagener's, pemakaian pipa nasogastrik
dan pipa nasotrakeal yang lama dapat mengganggu aliran sekret yang telah terkontaminasi
dengan bakteri patogen. Dalam keadaan ini dapat terjadi infeksi nosokomial atau "Hospital
Acquired Pneumonia".2
2. Mekanisme pembersihan di "respiratory exchange airway", meliputi:
- Cairan yang melapisi alveolar termasuk surfaktan
- Sistem kekebalan humoral lokal (IgG)
- Makrofag alveolar dan mediator inflamasi
- Penarikan neutrofil
Sistem kekebalan humoral sangat berperan dalam mekanisme pertahanan paru
(saluran napas atas). IgA merupakan salah satu bagian dari sekret hidung (10 % dari total
protein sekret hidung). Penderita defisiensi IgA memiliki resiko untuk terjadi infeksi
saluran napas atas yang berulang. Bakteri yang sering mengadakan kolonisasi pada saluran
napas atas sering mengeluarkan enzim proteolitik dan merusak IgA. Bakteri gram negatif
(P.aeroginosa, E.colli, Serratia spp, Proteus spp, dan K.penumoniae) mempunyai
kemampuan untuk merusak IgA. Defisiensi dan kerusakan setiap komponen pertahan
saluran napas atas menyebabkan kolonisasi bakteri patogen sebagai fasiliti terjadinya
infeksi saluran napas bawah. 2
3. Mekanisme pembersihan di saluran udara subglotik
Mekanisme pertahanan saluran napas subglotis terdiri dari anatomik, mekanik,
humoral dan komponen seluler. Mekanisme penutupan dan refleks batuk dari glotis
merupakan pertahanan utama terhadap aspirat dari orofaring. Bila terjadi gangguan fungsi
glotis maka hal ini berbahaya bagi saluran napas bagian bawah yang dalam keadaan
normal steril. Tindakan pemasangan pipa nasogastrik, alat trakeostomi memudahkan
masuknya bakteri patogen secara langsung ke saluran napas bawah. Gangguan fungsi
mukosiliar dapat memudahkan masuknya bakteri patogen ke saluran napas bawah, bahkan
infeksi akut oleh M.pneumoniae, H.Influenzae dan virus dapat merusak gerakan silia.2

11
4. Mekanisme pembersihan di "respiratory gas exchange airway"
Bronkiolus dan alveol mempunyai mekanisme pertahanan sebagai berikut :
- Cairan yang melapisi alveol :
a. Surfaktan
Suatu Glikoprotein yang kaya lemak, terdiri dari beberapa komponen SP-A,
SP-B, SP-C, SP-D yang berfungsi memperkuat fagositosis dan killing
terhadap bakteri oleh makrofag.
b. Aktifiti anti bakteri (non spesifik): FFA, lisozim, iron binding protein.
o IgG (IgG1 dan IgG2 subset yang berfungsi sebagai opsonin)
o Makrofag Alveolar yang berperan sebagai mekanisme pertahanan
pertama
o Berfungsi untuk menarik PMN leukosit ke alveolus (ada infeksi GNB,
P. aeruginosa)
o Mediator biologi
Kemampuan untuk menarik PMN ke saluran napas termasuk C5a, produksi
dari makrofag alveolar, sitokin, leukotrien.2
II. Pneumonia
II.1. Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru
yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik,
obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis. 2
II.2. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri,
virus, jamur, protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh bakteri. Penyebab tersering
pneumonia adalah bakteri gram positif, Streptococcus pneumonia. Kuman penyebab
pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan distribusi umur pasien, dan keadaan klinis
terjadinya infeksi.3
Virus penyebab tersering pneumonia adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV),
parainfluenza virus, influenza virus dan adenovirus. Secara umum bakteri yang berperan
penting dalam pneumonia adalah Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza,
Staphylococcus aureus, Streptococcus group B, serta kuman atipik klamidia dan
mikoplasma. 3

12
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia
pada usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain itu Streptococcus
pneumoniae merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial.
Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang
sering didapatkan pada anak diatas 5 tahun. Community-acquired acute pneumonia sering
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia atau pneumococcus, sedangkan pada
Community-acquired atypical pneumonia penyebab umumnya adalah Mycoplasma
pneumonia. Staphylococcus aureus dan batang gram negatif seperti Enterobacteriaceae
dan Pseudomonas, adalah isolat yang tersering ditemukan pada Hospital-acquired
pneumonia.3

Tabel 1. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut umur dengan terjadinya infeksi.


Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang
Lahir-20 hari Bakteria Bakteria
Escherichia colli Group D streptococci
Group B streptococci Haemophillus influenzae
Listeria monocytogenes Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Cytomegalovirus
Herpes simplex virus

3 minggu Bakteria Bakteria


3 bulan Clamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus pneumoniae Haemophillusinfluenza type
Virus B & non typeable
Respiratory syncytial virus Moxarella catarrhalis
Influenza virus Staphylococcus aureus
Para influenza virus Ureaplasma urealyticum
1,2 and 3 Virus

13
Adenovirus Cytomegalovirus
4 bulan Bakteria Bakteria
5 tahun Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenza
Clamydia pneumoniae type B
Mycoplasma pneumoniae Moxarella catarrhalis
Virus Neisseria meningitis
Respiratory syncytial virus Staphylococcus aureus
Influenza virus Virus
Parainfluenza virus Varicella zoster virus
Rhinovirus
Adenovirus
Measles

5 tahun dewasa Bakteria Bakteria


Clamydia pneumonia Haemophillus influenza
Mycoplasma pneumonia type B
Streptococcus pneumoniae Legionella species
Staphylococcus aureus
Virus
Adenovirus
Epstein barr virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
Varicella zoster virus

14
Tabel 2. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis terjadinya infeksi.
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumonia
Haemophilus influenzae
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Legionella pneumophila
Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp.
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumonia
Chlamydia spp. (C. pneumoniae, C. psittaci, C. trachomatis)
Coxiella burnetii (Q fever)
Viruses: respiratory syncytial virus, parainfluenza virus (children); influenza A and B
(adults); adenovirus
(military recruits); SARS virus
Hospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods, Enterobacteriaceae (Klebsiella spp., Serratia marcescens, Escherichia
coli) and
Pseudomonas spp.
Staphylococcus aureus (usually penicillin resistant)
Pneumonia kronis
Nocardia
Actinomyces
Granulomatous: Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria, Histoplasma
capsulatum,
Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis

Klasifikasi Pneumonia
1. Menurut sifatnya, yaitu:
a. Pneumonia primer, yaitu radang paru yang terserang pada orang yang tidak
mempunya faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama yaitu Staphylococcus
pneumoniae ( pneumokokus), Hemophilus influenzae, juga Virus penyebab infeksi

15
pernapasan( Influenza, Parainfluenza, RSV). Selain itu juga bakteri pneumonia
yang tidak khas( atypical) yaitu mykoplasma, chlamydia, dan legionella.
b. Pneumonia sekunder, yaitu terjadi pada orang dengan faktor predisposisi, selain
penderita penyakit paru lainnnya seperti COPD, terutama juga bagi mereka yang
mempunyai penyakit menahun seperti diabetes mellitus, HIV, dan kanker,dll.4
2. Berdasarkan Kuman penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik,Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus, disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised).2
3. Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia= CAP) pneumonia yang
terjadi di lingkungan rumah atau masyarakat, juga termasuk pneumonia yang
terjadi di rumah sakit dengan masa inap kurang dari 48 jam.2
b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP) merupakan
pneumonia yang terjadi di rumah sakit, infeksi terjadi setelah 48 jam berada di
rumah sakit. Kuman penyebab sangat beragam, yang sering di temukan yaitu
Staphylococcus aureus atau bakteri dengan gram negatif lainnya seperti E.coli,
Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeroginosa, Proteus, dll. Tingkat resistensi
obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab HAP.5
c. Pneumonia aspirasi
4. Berdasarkan lokasi infeksi
a. Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru. Bronkus besar
umumnya tetap berisi udara sehingga memberikan gambaran airbronchogram.
Konsolidasi yang timbul merupakan hasil dari cairan edema yang menyebar
melalui pori-pori Kohn. Penyebab terbanyak pneumonia lobaris adalah
Streptococcus pneumoniae. Jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang
terjadi pada satu lobus atau segmen. Kemungkinan sekunder disebabkan oleh
adanya obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing, atau adanya proses
keganasan.2

16
b. Bronkopneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis. Bronkiolus
terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen membentuk bercak-
bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan. Ditandai dengan adanya bercak-
bercak infiltrate multifocal pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri
maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan
obstruksi bronkus.2
c. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding bronkus dan
peribronkil. Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi virus dan mycoplasma.
Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan interstisial prebronkial.
Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi
perselubungan yang tidak merata.2

II.3. Etiologi
Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala jenis penyakit jantung
kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung
meliputi keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, meningkatkan beban akhir,
atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban
awal (preload) meliputi regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel; beban akhir
(afterload) meningkat pada keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi sistemik.
Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati.13
Selain ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung, terdapat
faktor-faktor fisiologis lain yang dapat menyebabkan jantung gagal bekerja sebagai pompa.
Faktor-faktor yang mengganggu pengisian ventrikel (misal, stenosis katup
atrioventrikularis) dapat menyebabkan gagal jantung. Keadaan-keadaan seperti perikarditis
konstriktif dan tamponade jantung mengakibatkan gagal jantung melalui kombinasi
beberapa efek seperti gangguan pada pengisian ventrikel dan ejeksi ventrikel. Dengan
demikian jelas sekali bahwa tidak ada satupun mekanisme fisiologik atau kombinasi
berbagai mekanisme yang bertanggungjawab atas terjadinya gagal jantung; efektivitas
jantung sebagai pompa dapat dipengaruhi oleh berbagai gangguan patofisiologis.
Penelitian terbaru menekankan pada peranan TNF dalam perkembangan gagal jantung.
Jantung normal tidak menghasilkan TNF, namun jantung mengalami kegagalan
menghasilkan TNF dalam jumlah banyak.13

17
Demikian juga, tidak satupun penjelasan biokimiawi yang diketahui berperan
dalam mekanisme dasar terjadinya gagal jantung. Kelainan yang mengakibatkan gangguan
kontraktilitas miokardium juga tidak diketahui. Diperkirakan penyebabnya adalah kelainan
hantaran kalsium dalam sarkomer, atau dalam sintesis atau fungsi protein kontraktil.14
Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya gagal jantung melalui penekanan
sirkulasi yang mendadak dapat berupa disritmia, infeksi sistemik dan infeksi paru-paru,
serta emboli paru. Disritmia akan mengganggu fungsi mekanis jantung dengan mengubah
rangsangan listrik yang memulai respons mekanis, respons mekanis yang sinkron dan
efektif tidak akan dihasilkan tanpa adanya ritme jantung yang stabil. Respons tubuh
terhadap infeksi akan memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh
yang meningkat. Emboli paru secara mendadak akan meningkatkan resistensi terhadap
ejeksi ventrikel kanan, memicu terjadinya gagal jantung kanan. Penanganan gagal jantung
yang efektif membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap mekanisme
fisiologis penyakit yang mendasari, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang memicu
terjadinya gagal jantung.12
II.4. Patofisiologi
Pada awal gagal jantung, akibat cardiac output yang rendah, di dalam tubuh terjadi
aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin-aldosteron, serta penglepasan arginin
vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
tekanan darah yang adekuat. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel
kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan
aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin Angiotensin
Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan
untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.5
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan
dapat menyebabkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertrofi dan nekrosis miokard fokal.5
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, merupakan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang
merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal
dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium

18
dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada
miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.6
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide
(BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan
ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan
saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain
natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan
tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic
peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai
marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita
gagal jantung.8
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan
kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan
gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit
jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati
hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid.7
Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 40 % penderita gagal jantung
memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering
ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul
sendiri.5
II.5 Diagnosis
Gagal jantung dibagi menjadi 2 yaitu gagal jantung sistolik dan diastolik. Kedua
jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan dari pemeriksaan fisik,
foto thoraks atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan eko-Doppler. Gagal jantung
sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung
menurun dan menyebabkan kelemahan fatik, kemampuan aktivitas fisik menurun dan
gejala hipoperfusi lainnya.10
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian
ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi
lebih dari 50%. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Doppler-ekokardiografi aliran darah

19
mitral dan aliran vena pulmonalis. Tidak dapat dibedakan hanya dengan pemeriksaan
anamnesis dan pemeriksaan fisik.10
Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi penyebab
gangguan diastolik seperti fibrosis, hipertrofi, atau iskemia. Di samping itu kongesti
sistemik/pulmonal akibat dari gangguan diastolik tersebut dapat diperbaiki dengan restriksi
garam dan pemberian diuretik. Mengurangi denyut jantung agar waktu untuk diastolik
bertambah, dapat dilakukan dengan pemberian penyekat beta atau penyekat kalsium non-
dihidropiridin.12
Algoritma diagnosis gagal jantung atau disfungsi ventrikel kiri. Penilaian klinis
yang teliti diperlukan untuk mengetahui penyebab gagal jantung, karena meskipun terapi
gagal jantung umumnya sama bagi sebagian besar pasien, namun keadaan tertentu
memerlukan terapi spesifik dan mungkin penyebab dapat dikoreksi.10
Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi rendah. Uji diagnostik sering kurang sensitif pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi normal. Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam
melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolic.10
Gambar 2. Skema Diagnostik untuk Pasien Dicurigai Gagal Jantung

20
(Sumber : PERKI, 2015)
1. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien
diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung.
Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal
jantung, jika EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi
sistolik sangat kecil (< 10%).10

Tabel 5. Abnormalitas EKG pada Gagal Jantung

21
(Sumber : PERKI, 2015)

2. Foto Toraks
Foto toraks merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal
jantung. Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura
dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau
memperberat sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung
akut dan kronik.10
Tabel 6. Abnormalitas Foto Thorak pada Gagal Jantung

22
(Sumber: PERKI, 2015)
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah
darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju
filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan
tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau
elektrolit yang bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan
sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia ringan, hiponatremia,
hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama pada
pasien dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin
Converting Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau
antagonis aldosterone.10
Tabel 7. Abnormalitas Pemeriksaan Laboratorium pada Gagal Jantung

23
24
(Sumber : PERKI, 2015)
4. Peptida Natriuretik
Terdapat bukti - bukti yang mendukung penggunaan kadar plasma
peptide natriuretik untuk diagnosis, membuat keputusan merawat atau
memulangkan pasien, dan mengidentifikasi pasien pasien yang berisiko
mengalami dekompensasi. Konsentrasi peptida natriuretik yang normal sebelum
pasien diobati mempunyai nilai prediktif negatif yang tinggi dan membuat
kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab gejalagejala yang dikeluhkan
pasien menjadi sangat kecil.10
Kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi walaupun terapi optimal
mengindikasikan prognosis buruk. Kadar peptide natriuretik meningkat sebagai
respon peningkatan tekanan dinding ventrikel. Peptida natriuretik mempunyai
waktu paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan dinding ventrikel tidak
langsung menurunkan kadar peptida natriuretik.10
5. Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika
gambaran klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan

25
kadar troponin kardiak sering pada gagal jantung berat atau selama episode
dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.10
6. Ekokardiografi
Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan
ultrasound jantung termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler
dan tissue Doppler imaging (TDI). Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau
disfungsi jantung dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan
dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran
fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien
dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 -
50%).10
Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam mendiagnosis gagal jantung
dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tiga kriteria:
a. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung
b. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu
(fraksi ejeksi > 45 - 50%)
c. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri abnormal
/ kekakuan diastolik) 10

7. Ekokardiografi transesofagus
Direkomendasikan pada pasien dengan ekokardiografi transtorakal tidak
adekuat (obesitas, pasien dengan ventlator), pasien dengan kelainan katup, pasien
endokardits, penyakit jantung bawaan atau untuk mengeksklusi trombus di left
atrial appendagepada pasien fibrilasi atrial.10
8. Stress Ekokardiografi
Ekokardiografi beban (dobutamin atau latihan) digunakan untuk mendeteksi
disfungsi ventrikel yang disebabkan oleh iskemia dan menilai viabilitas miokard
pada keadaan hipokinesis atau akinesis berat.10
Tabel 8. Abnormalitas Ekokardiografik yang sering dijumpai pada gagal jantung

26
(Sumber : PERKI, 2015)

27
II.6.Tatalaksana Non-Farmakologi dan Farmakalogi
Tata laksana Non-Farmakologi dapat berupa :
1. Manajemen Perawatan Diri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan pengobatan
gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala gagal
jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis.
Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.10
2. Ketaatan Pasien Berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup
pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi.10
3. Pemantauan Berat Badan Mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat
badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertmbangan
dokter.10

4. Asupan Cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan
gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien
dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis.10
5. Pengurangan Berat Badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala
dan meningkatkan kualitas hidup.10
6. Kehilangan Berat Badan Tanpa Rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat. Kaheksia
jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka kelangsungan
hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat badan stabil
sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia.
Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati.10
7. Latihan Fisik

28
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.
Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit
atau di rumah.10
8. Aktivitas Seksual
Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil) mengurangi tekanan pulmonal
tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung lanjut dan tidak boleh
dikombinasikan dengan preparat nitrat.10
Tujuan melakukan terapi pada pasien gagal jantung adalah untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap
merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung. Sangatlah penting untuk
mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap kormorbid kardiovaskular dan
non kardiovaskular yang sering dijumpai.10

Tabel 9. Tujuan Pengobatan Gagal Jantung Kronik

(Sumber : PERKI, 2015)


Tabel 10. Dosis Obat yang Digunakan untuk Pengobatan Gagal jantung

29
(Sumber : PERKI, 2015)

Gambar 3. Strategi Pengobatan pada Pasien Gagal Jantung Kronik Simptomatik

30
Sumber : PERKI, 2015

BAB III
PEMBAHASAN

31
Kasus yang diambil pada laporan kasus kali ini adalah gagal jantung kongestif atau
congestive heart failure dengan diagnosa sekunder yaitu hipoalbuminemia. Kasus ini
cukup kompleks mengingat terdapat faktor komorbid lain yang mengikutinya yaitu
hipertensi dengan etiologi adalah penyakit jantung koroner.
Berdasarkan pada anamnesis awal, pasien datang ke IGD dengan keluhan utama
sesak napas. Keluhan utama berupa sesak napas mempunyai diagnosis banding yang cukup
banyak. Sesak napas dapat diakibatkan oleh kegagalan beberapa sistem organ, beberapa
yang paling banyak ditemui adalah berasal dari jantung dan pulmonal. Sesak napas akibat
gangguan fungsi jantung dapat berupa gagal jantung kongestif, aritmia jantung, penyakit
jantung koroner, gangguan perikardial sedangkan sesak napas akibat gangguan pulmonal
dapat berupa PPOK, asma, efusi pleura, keganasan atau bahkan bronkiektasis. Oleh karena
diagnosis banding yang masih begitu luas, diperlukan anamnesis lebih lanjut baik dalam
hal riwayat perjalanan penyakit, riwayat penyakit terdahulu, keluarga, ataupun pola hidup
sehari-hari. Pada kasus ini, sesak napas bertambah terutama saat beraktifitas fisik (dyspnoe
de Effort), bertambah saat berbaring dan berkurang saat duduk atau berdiri (ortopneu),
terkadang serangan sesak timbul pada malam hari (dyspneu nocturnal paroxsismal) dan
pasien mengeluhkan pembengkakan pada kedua kaki sejak 3 minggu SMRS. Di samping
itu, riwayat penyakit pasien sebelumnya yang berupa penyakit jantung koroner,
hiperkolesterolemia, asam urat, dan hipertensi membawa arah diagnosa ke penyakit
jantung.
Pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan adanya peningkatan tekanan darah yaitu
160/90 mmHg, takipnea yaitu 26x/menit, dan edema perifer (kedua kaki), sedangkan
pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Sesuai dasar teori, ketiga manifestasi klinik
yang didapatkan dari pemeriksaan di atas masih belum tipikal mengarah ke diagnosa gagal
jantung. Hipertensi merupakan salah satu penyebab terjadi gagal jantung. Adanya
hipertensi meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung koroner lebih dari dua kali
lipat dan meningkatkan resiko gagal jantung kongestif lebih dari tiga kali lipat. Penderita
hipertensi sering memiliki struktur dan fungsi jantung yang abnormal meliputi hipertrofi
ventrikel kiri, disfungsi sistolik, disfungsi diastolik, dan akhirnya gagal jantung. Ada dua
mekanisme mengenai hubungan hipertensi dengan peningkatan resiko terjadinya gagal
jantung. Pertama, hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya infark miokard akut yang
dapat menyebabkan gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri dan gagal jantung. Kedua,
hipertensi menyebabkan terjadinya hipertrofi ventrikel kiri yang dihubungkan dengan

32
terjadinya disfungsi diastolik dan meningkatkan resiko gagal jantung. Pada pasien ini
didapatkan kedua hal di atas yaitu penyakit jantung koroner dari gambaran hasil
ekokardiografi dan hipertrofi ventrikel kiri dari gambaran hasil ekokardiografi dan rontgen
thorax.
Edema perifer yang terdapat pada hasil pemeriksaan fisik merupakan pitting edema
yang menandakan adanya tanda dari penyakit seperti insufisiensi vena, gagal jantung
kongestif, gagal ginjal, hipoalbuminemia, dan gangguan fungsi hati. Maka dari itu
diperlukan teknik diagnostik lain untuk menegakkan diagnosa, beberapa diantaranya yang
sudah dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium darah, EKG, pemeriksaan X-ray thorax,
dan ekokardiografi. Pada pemeriksaan laboratorium darah, dilakukan pemeriksaan darah
lengkap, pemeriksaan fungsi ginjal, gula darah sewaktu, elektrolit, dan kadar albumin.
Pada dasarnya, hasil laboratorium darah yang sudah dilakukan bukan bertujuan untuk
mendiagnosa gagal jantung dikarenakan pada laboratorium RS Bhayangkara tidak
mempunyai pemeriksaan peptide natriuretik sebagai pendukung penegakan diagnosis tetapi
lebih mengarah pada penemuan faktor resiko komorbid gagal jantung.
Pada kasus ini, hasil laboratorium pasien menunjukkan bahwa kadar albumin
rendah. Kadar albumin rendah dapat disebabkan oleh beberapa macam keadaan patologis
antara lain sindrom nefrotik, sirosis hepatis, gagal jantung, dan malnutrisi. Pada kasus ini
hasil lab fungsi ginjal dan hepar dalam keadaan yang baik. Maka dari itu, keadaan
hipoalbumin yang terjadi pada pasien dikarenakan oleh penyakit gagal jantung yang
mendasarinya. Sesak napas yang diakibatkan oleh penyakit gagal jantung membuat selera
makan pasien berkurang sehingga asupan nutrisipun ikut berkurang. Adanya
hipoalbuminemia ini meningkatkan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung,
progresivitas penyakit gagal jantung, dan peningkatan tata laksana transplantasi jantung.
Rendahnya kadar albumin berhubungan dengan perburukan gejala gagal jantung. Pasien
dengan gagal jantung sistolik dan hipoalbuminemia mempunyai angka mortalitas 2x lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien yang mempunyai kadar albumin normal.1
Berdasarkan pemeriksaan EKG didapatkan adanya keabnormalitasan berupa
takikardia, aksis jantung ke kanan dan incomplete RBBB yang mengarahkan diagnosa ke
gagal jantung. Tetapi berdasarkan dasar teori, pemeriksaan EKG memiliki nilai prediktif
yang kecil maka dari itu pada kasus ini dilakukan pemeriksaan tambahan yaitu foto X-ray
thorax. Pada foto X-ray thorax ditemukan adanya kardiomegali, efusi pleura dan kongesti
vena paru sebagai tanda spesifik dari gagal jantung. Pemeriksaan selanjutnya untuk
memastikan penegakan diagnosis gagal jantung adalah dengan pemeriksaan

33
ekokardiografi. Pada hasil ekokardiografi, hasil yang didapatkan adalah adanya hipokinetik
pada dinding ventrikel kiri anteroseptal dan septal oleh karena penyumpatan pembuluh
darah koroner. Sumbatan pembuluh darah koroner menyebabkan gerakan dinding jantung
tidak maksimal. Berdasarkan dasar teori yang didapatkan, penyakit jantung koroner
menjadi penyebab utama timbulnya gagal jantung kongestif disamping hipertensi yang
menyertainya. Penyakit jantung koroner akan menyebabkan kerusakan miosit, yang
nantinya akan terjadi gangguan kontraktilitas jantung, isi sekuncup berkurang, dan
timbullah gejala penurunan curah jantung.
Kompetensi untuk penatalaksaan gagal jantung untuk dokter umum termasuk
dalam kompetensi 3 dimana seorang dokter umum harus mampu membuat diagnosis klinik
dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang gawat darurat ataupun yang bukan
gawat darurat. Selanjutnya, seorang dokter harus mampu menentukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Pada kasus ini akan dibahas mengenai tata
laksana awal dan lanjutan untuk kasus gagal jantung terkhusus gagal jantung kongestif.
Tata laksana awal pada kasus ini diberikan di IGD sedangkan tata laksana lanjutan
diberikan di ruangan dengan melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan dokter spesialis
jantung. Tata laksana awal diberikan pasang O2 3-4 Lpm, infus cairan PZ dengan batasan
500cc/24 jam, infus albumin 20% 100 cc, injeksi furosemide bolus 2 ampul dilanjutkan
injeksi furosemide pump 10 mg/jam IV dan injeksi gastridin 1 ampul sedangkan untuk
terapi oral diberikan canderin 8 mg, nevodio 5 mg, coten 100 mg dan diet rendah garam.
Pada umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi
aktifitas sesuai dengan beratnya keluhan. Pada gagal jantung berat harus dirawat di rumah
sakit untuk menjalani tirah baring. Pengobatan awal dari gagal jantung adalah pengurangan
beban awal (preload) dengan membatasi cairan, pemberian diuretika, dan vasodilator. Pada
kasus ini restriksi cairan 1,5 2 Liter/hari akan membantu mengurangi preload tetapi tidak
memberikan keuntungan klinis. Infus albumin 20% digunakan pada kondisi hipoalbumin.
Albumin merupakan derivate plasma manusia. Pemberian albumin 25% dapat
meningkatkan tekanan osmotic intravascular sehingga dapat menarik cairan dari ruang
interstitial ke dalam pembuluh darah dan meningkatkan volume plasma 4-5 kali dari
volume albumin yang diinfuskan. Pemberian tambahan terapi infus albumin pada pasien
dengan terapi furosemide secara signifikan meningkatkan oksigenisasi, keseimbangan
cairan, dan stabilitas hemodinamik dibandingkan pada pasien yang hanya diberikan terapi
furosemide.15

34
Beberapa injeksi diberikan pada tatalaksana awal salah satu adanya furosemide dan
pemberian oral spirola yang mengandung spironolakton 25 mg. Diuretik direkomendasikan
pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kongesti.Tujuan dari pemberian
diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang
serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari
dehidrasi atau retensi. Cara pemberian diuretik pada gagal jantung, pada saat inisiasi
pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit terlebih dahulu. Sebagian
besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid karena efisiensi diuresis
dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop. Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk
mengatasi keadaan edema yang resisten. Obat kedua yaitu spirola yang mengandung
spironolakton 25 mg sebagai antagonis aldosteron. Penambahan obat antagonis aldosteron
dosis kecil harus dipertimbangakan pada semua pasien dengan FE 35% dan gagal jantung
simptomatik berat. Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron adalah konsentrasi
serum kalium > 5,0 mmol/L, serum kreatinin> 2,5 mg/dL, bersamaan dengan diuretik
hemat kalium atau suplemen kalium, dan kombinasi ACEI dan ARB.
Terapi injeksi lain yang diberikan adalah gastridin 1 ampul yang mengandung
ranitidine, obat golongan antagonis reseptor histamine H2 sebagai protector untuk lambung
dan duodenum.
Terapi oral lain yang diberikan pada pasien adalah obat golongan ARB yaitu
canderin yang berisi candesartan 8 mg, nevodio yang berisi nebivolol 5 mg, serta coten 100
mg yang berfungsi sebagai antioksidan. Dua obat pertama yaitu canderin dan nevodio
merupakan obat pilihan pertama untuk tatalaksana awal gagal jantung. ARB
direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejek ventrikel kiri 40%.
Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka
perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung. ARB direkomedasikan sebagai
alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian
karena penyebab kardiovaskular. Kontra indikasi pemberian ARB adalah stenosis renal
bilateral, kadar kalium serum > 5,0 mmol/L, serum kreatinin >2,5 mg/dL, stenosis aorta
berat, pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan, dan monitor fungsi
ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI. Selanjutnya adalah
terapi oral yang kedua yaitu nevodio yang berisi nebivolol 5 mg. nebivolol merupakan
golongan blocker. Penyekat harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simptomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40%. Penyekat memperbaiki fungsi

35
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian penyekat adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri 40%, gejala
ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA), ACEI/ARB sudah diberikan, pasien
stabil secara klinis. Kontraindikasi pemberian penyekat adalah asma, blok AV derajat 2
dan 3, sinus bradikardia.
Coten mengandung Ubidecarenone (CoQ10) sebagai antioksidan. Pada perjalanan
penyakit gagal jantung, stress oksidatif yang dihasilkan oleh sel-sel jantung yang mati
berhubungan dengan progresivitas dan perkembangan dari gagal jantung, maka dari itu
antioksidan diperlukan untuk mengurangi resiko tersebut. Coten yang mengandung
Ubidecarenone secara seluler berfungsi sebagai membrane antioxidant. Pada pasien
dengan gagal jantung kongestif, miokardium kandungan CoQ10 berkurang sejalan
perburukan dari gagal jantung. Supplement CoQ10 terbukti meningkatkan parameter
fungsional seperti fraksi ejeksi, stroke volume, dan cardiac output tanpa adanya efek
samping.16
Terapi lanjutan juga diberikan pada pasien ini antara lain starxone, sanmol dan
xypras 0,5 mg. Perkembangan keadaan dari pasien dalam kasus ini cukup fluktuatif. Pada
hari kedua (8/07/2017) pasien mengalami disorientasi dan dikonsulkan kepada dokter
penanggung jawab (DPJP). Saran dari DPJP dilakukan pemeriksaan elektrolit dan hasilnya
normal.
Pemberian obat tambahan lain pada kasus ini adalah starxone dan sanmol. Starxone
mengandung ceftriaxone 1 gram dan sanmol mengandung parasetamol. Pada kasus ini,
kedua obat diberikan pada saat kondisi pasien dalam keadaan demam sehingga
mengindikasikan obat ini untuk diberikan. Selain itu, diberikan pula obat atorvastatin 20
mg dan aspilet. kedua obat ini diberikan dikarenakan hasil ekokardiografi tanggal 11 Juli
2017 menunjukkan adanya coronary artery disease yang menjadi salah satu penyebab
keadaan CHF pada pasien ini. Aspilet yang mengandung aspirin sebagai antiplatelet
diberikan untuk semua pasien dengan penyakit jantung koroner. Obat ini mencegah
agregasi platelet sehingga mencegah pembentukan thrombus. Dosis pemeliharaan aspirin
adalah 75-100 mg setiap harinya dan diberikan kepada semua pasien. Obat tambahan lain
adalah atorvastatin sebagai golongan statin. Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan
tanpa mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A
reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka
yang telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra. Terapi statin

36
dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi
untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/ dL. Menurunkan kadar kolesterol LDL
sampai <70 mg/dL mungkin untuk dicapai.
Kasus gagal jantung diikuti penyakit komorbid lainnya selayaknya diberikan
pengawasan khusus. Edukasi kepada pasien dan keluarga sangatlah penting mengingat
perkembangan penyakit ini dapat dikontrol dengan baik. Peran dokter umum disini adalah
mengawasi dan melakukan tata laksana awal agar perkembangan penyakit tidak semakin
memburuk.

DAFTAR PUSTAKA
1. Dahlan, Z. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Pulmonologi. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Pneumonia Komuniti.2003
3. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM; 2007.
4. Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
Edisi 6, Volume 2: Penerbit EGC. Jakarta.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial.2003
6.
7. Guyton, A. C., dan Hall, J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC.
8. Hanafiah, A., dkk. 2001. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
9. Hobbs FDR, Davis RC, Lip GYH. ABC of Heart Failure: Heart Failure in
General Practice. BMJ 2000; 320: 626-9.

37
10. Horwich TB, and Fonarow GC.Glucose, Obesity, Metabolic Syndrome, and Diabetes:
Relevance to Incidence Heart Failure. J. Am. Coll. Cardiol. 2010; 55; 283-293.
11. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of Heart Failure:
Pathophysiology. BMJ 2000; 320: 167-70.
12. Kabo P, Sjukri K. 1996. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung untuk
Dokter Umum: Gagal jantung Kongestif. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
13. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tentang Epidemiologi Jantung. Updated
2013. Available from
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-
jantung.pdf
14. PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana pada Gagal Jantung, edisi pertama. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
15. Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC.
16. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
17. Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan. 2004. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
18. Wilson, Sylvia A. Price, dan Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC.
19. Stephane Arques, Md,1 And Pierre Ambrosi, Md, Phd. Human Serum Albumin in the
Clinical Syndrome of Heart Failure. Journal of Cardiac Failure Vol. 17 No. 6 2011
20. James J, DiNicolantonio, Jaikrit Bhutani, Mark F McCarty, James H OKeefe1.
Coenzyme Q10 for the treatment of heart failure: a review of the literature. Open
Heart 2015;2:e000326. doi:10.1136/openhrt-2015-000326

38
39

Anda mungkin juga menyukai