Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Nyeri seperti didefinisikan oleh International Association for Study of Pain (IASP)
merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk
kerusakan tersebut. Nyeri terdiri atas dua komponen utama, yaitu komponen sensorik (fisik)
dan emosional (psikogenik). Nyeri neuropatik yang didefinisikan sebagai nyeri akibat lesi
jaringan saraf baik perifer maupun sentral bisa diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti
amputasi, toksis (akibat khemoterapi) metabolik (diabetik neuropati) atau juga infeksi
misalnya herpes zoster pada neuralgia pasca herpes dan lain-lain. Nyeri pada neuropatik bisa
muncul spontan (tanpa stimulus) maupun dengan stimulus atau juga kombinasi.1

Gejala dan tanda neuropati perifer cukup sering ditemukan pada pasien usia lanjut, dan
seringkali dianggap sebagai bagian dari proses penuaan. Namun, sering ditemukan berbagai
kondisi yang menjadi penyebab neuropati perifer pada usia tua, antara lain diabetes mellitus,
keganasan, gangguan metabolik, defisiensi nutrisi dan pemakaian obat-obatan dalam jangka
waktu lama seperti obat anti kejang atau kemoterapi. Selain itu, juga terdapat penyebab
idiopatik neuropati perifer pada usia tua, yaitu polineuropati aksonal kronik,dimana keadaan
ini sering dijumpai.2,3,4

Prevalensi neuropati perifer yang bersifat umum, prevalensinya berkisar antara 2,4%
sampai 8%.4,5 Sedangkan pada penelitian terbaru dari subjek usia lanjut yang tidak bekerja
dilaporkan angka kejadian neuropati perifer mencapai 31%.6 Neuropati dapat disebabkan
oleh banyak faktor, termasuk faktor penuaan, diabetes, proses pengobatan, trauma, infeksi,
alkoholisme, gangguan nutrisi, imunitas, dan akibat gangguan metabolik lainnya. Neuropati
pada umumnya dialami oleh sekitar 26%, atau 1 dari 4 orang yang berusia 40 tahun keatas.
Pada penderita diabetes, angka prevalensi ini meningkat menjadi 50% atau 1 dari 2 penderita.
Neuropati juga dapat menyerang mereka yang mengalami defisiensi vitamin B1, B6, dan
B12. Berdasarkan hasil pemeriksaan pada lebih dari 5.000 pasien pada pelaksana Neuropathy
Service Point di 12 rumah sakit di Jakarta, Surabaya, dan Medan di temukan bahwa 37,8%

1
dari pasien terskrining sebagai berisiko neuropati. Dari persentase tersebut, 81%nya berusia
di atas 40 tahun.1,2
Neuropati dapat menimbulkan gejala, seperti rasa nyeri, kesemutan, baal atau kebas,
mati rasa, kaku otot, kram, hipersensitif sampai gangguan kontrol kandung kemih,
kelemahan bahkan penyusutan otot. Neuropati juga dapat menimbulkan gangguan
pengeluaran kelenjar keringat sehingga kulit tampak kering, mengkilap dan kerontokan
rambut.1
1.2.Tujuan

1. Mengetahui apa itu neuropati.


2. Mengetahui mekanisme terjadinya neuropati.
3. Mengetahui faktor resiko dan diagnosis neuropati.
4. Mengetahui penatalaksanaan neuropati.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Neuropati adalah proses patologi yang mengenai susunan saraf perifer, berupa proses
demielinisasi atau degenerasi aksonal atau kedua-duanya. Susunan saraf perifer mencakup
saraf otak, saraf spinal dengan akar saraf serta cabang-cabangnya, saraf tepi dan bagian-
bagian tepi dari susunan saraf otonom.1

2.2 Epidemiologi dan Etiologi

Neuropati perifer merupakan gambaran klinis yang sering dijumpai pada sebagian besar
penyakit sistemik. Etiologi neuropati tersering di negara maju adalah diabetes dan
alkoholisme, sedangkan di negara berkembang adalah lepra. Etiologi lain yang bisa
ditemukan pada usia lanjut antara lain trauma, toksik, metabolik, infeksi, iskemik dan
paraneoplastik. Selain itu, insiden neuropati pada HIV juga meningkat seiring meningkatnya
kasus infeksi HIV.2-10 Penyebab nyeri neuropatik yang paling sering.1,11
Nyeri neuropatik perifer
Poliradikuloneuropati demielinasi inflamasi akut dan kronik
Polineuropati alkoholik
Polineuropati oleh karena kemoterapi
Sindrom nyeri regional kompleks (complex regional pain syndrome)
Neuropati jebakan (misalnya, carpal tunnel syndrome)
Neuropati sensoris oleh karena HIV
Neuralgia iatrogenik (misalnya, nyeri post mastektomi atau nyeri post thorakotomi)
Neuropati sensoris idiopatik
Kompresi atau infiltrasi saraf oleh tumor
Neuropati oleh karena defisiensi nutrisional
Neuropati diabetic
Phnatom limb pain
Neuralgia post herpetic
Pleksopati post radiasi

3
Radikulopati (servikal, thorakal, atau lumbosakral)
Neuropati oleh karena paparan toksik
Neuralgia trigeminus (Tic Doulorex)
Neuralgia post traumatic

Nyeri neuropatik sentral


Mielopati kompresif dengan stenosis spinalis
Mielopati HIV
Multiple sclerosis
Penyakit Parkinson
Mielopati post iskemik
Mielopati post radiasi
Nyeri post stroke
Nyeri post trauma korda spinalis
Siringomielia

2.3 Patofisiologi

Mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah: sensitisasi perifer, ectopic
discharge, sprouting, sensitisasi sentral, dan disinhibisi. Perubahan ekspresi dandistribusi
saluran ion natrium dan kalium terjadi setelah cedera saraf, dan meningkatkan eksitabilitas
membran, sehingga muncul aktivitas ektopik yang bertanggung jawab terhadap munculnya
nyeri neuropatik spontan.12,13,14

Kerusakan jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yang terjadi di nosiseptor disebut
nyeri inflamasi akut atau nyeri nosiseptif, atau terjadi di jaringan saraf, baik serabut saraf
pusat maupun perifer disebut nyeri neuropatik. Trauma atau lesi di jaringanakan direspon
oleh nosiseptor dengan mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, seperti bradikinin,
prostaglandin, histamin, dan sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor
yang menyebabkan munculnya nyeri spontan, atau membuat nosiseptor lebih sensitif
(sensitasi) secara langsung maupun tidak langsung. Sensitasi nosiseptor menyebabkan
munculnya hiperalgesia. Trauma atau lesi serabut saraf di perifer atau sentral dapat memacu

4
terjadinya remodelling atau hipereksibilitas membransel. Di bagian proksimal lesi yang
masih berhubungan dengan badan sel dalam beberapa jam atau hari, tumbuh tunas-tunas
baru (sprouting). Tunas-tunas baru ini, ada yang tumbuh dan mencapai organ target,
sedangkan sebagian lainnya tidak mencapai organ target dan membentuk semacam pentolan
yang disebut neuroma. Pada neuroma terjadi akumulasi berbagai ion-channel, terutama Na+
channel. Akumulasi Na+ channel menyebabkan munculnya ectopic pacemaker. Di samping
ion channel juga terlihat adanya molekul-molekul transducer dan reseptor baru yang
semuanya dapat menyebabkan terjadinya ectopic discharge, abnormal mechanosensitivity,
thermosensitivity, dan chemosensitivity. Ectopic discharge dan sensitisasi dari berbagai
reseptor (mechanical, termal, chemical) dapat menyebabkan timbulnya nyeri spontan dan
evoked pain. 12,13,14

Lesi jaringan mungkin berlangsung singkat, dan bila lesi sembuh nyeri akan hilang. Akan
tetapi, lesi yang berlanjut menyebabkan neuron-neuron di kornu dorsalis dibanjiri potensial
aksi yang mungkin mengakibatkan terjadinya sensisitasi neuron-neuron tersebut. Sensitisasi
neuron di kornu dorsalis menjadi penyebab timbulnya alodinia dan hiperalgesia sekunder.
Dari keterangan di atas, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa nyeri timbul karena
aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif baik perifer maupun sentral. 12,13,14

Baik nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari sensitisasi neuron sebagai
stimulus noksious melalui jaras nyeri sampai ke sentral. Bagian dari jaras ini dimulai dari
kornu dorsalis, traktus spinotalamikus (struktur somatik) dan kolum dorsalis (untuk viseral),
sampai talamus sensomotorik, limbik, korteks prefrontal dan korteksinsula. Karakteristik
sensitisasi neuron bergantung pada: meningkatnya aktivitas neuron; rendahnya ambang
batas stimulus terhadap aktivitas neuron itu sendiri misalnya terhadap stimulus yang
nonnoksious, dan luasnya penyebaran areal yang mengandung reseptor yang mengakibatkan
peningkatan letupan-letupan dari berbagai neuron. Sensitisasi ini pada umumnya berasosiasi
dengan terjadinya denervasi jaringan saraf akibat lesi ditambah dengan stimulasi yang terus
menerus dan inpuls aferen baik yang berasal dari perifer maupun sentral dan juga
bergantung pada aktivasi kanal ion di akson yang berkaitan dengan reseptor AMPA/kainat
dan NMDA. Sejalan dengan berkembangnya penelitian secara molekuler maka ditemukan
beberapa kebersamaan antara nyeri neuropatik dengan epilepsi dalam hal patologinya

5
tentang keterlibatan reseptor misalnya NMDA dan AMPA dan plastisitas disinapsis,
immediate early gene changes. Yang berbeda hanyalah dalam hal burst discharge secara
paroksismal pada epilepsi sementara pada neuropatik yang terjadi adalah ectopic discharge.
Nyeri neuropatik muncul akibat proses patologi yang berlangsung berupa perubahan
sensitisasi baik perifer maupun sentral yang berdampak pada fungsi sistem inhibitorik serta
gangguan interaksi antarasomatik dan simpatetik. Keadaan ini memberikan gambaran umum
berupa alodinia dan hiperalgesia. Permasalahan pada nyeri neuropatik adalah menyangkut
terapi yang berkaitan dengan kerusakan neuron dan sifatnya ireversibel. Pada umumnya hal
initerjadi akibat proses apoptosis yang dipicu baik melalui modulasi intrinsik kalsium
dineuron sendiri maupun akibat proses inflamasi sebagai faktor ekstrinsik. Kejadian
inilahyang mendasari konsep nyeri kronik yang ireversibel pada sistem saraf. Atas dasar ini
jugalah maka nyeri neuropatik harus secepat mungkin di terapi untuk menghindari proses
mengarah ke plastisitas sebagai nyeri kronik. Neuron sensorik nosiseptif berakhir pada
bagian lamina paling superfisial dari medula spinalis. Sebaliknya, serabut sensorik dengan
ambang rendah (raba, tekanan, vibrasi, dan gerakan sendi) berakhir pada lapisan yang
dalam. Penelitian eksperimental pada tikus menunjukkan adanya perubahan fisik sirkuit ini
setelah cedera pada saraf. Pada beberapa minggu setelah cedera, terjadi pertumbuhan baru
atau sprouting affreen dengan non noksious ke daerah-daerah akhiran nosiseptor. Sampai
saat ini belum diketahui benar apakah hal yang serupa juga terjadi pada pasien dengan nyeri
neuropati. Hal ini menjelaskan mengapa banyak kasus nyeri intraktabel terhadap terapi.
Rasa nyeri akibat sentuhan ringan pada pasien nyeri neuropati disebabkan oleh karena
respon sentral abnormal serabut sensorik non noksious. Reaksi sentral yang abnormal ini
dapat disebabkan oleh faktor sensitisasi sentral, reorganisasi struktural, dan hilangnya
inhibisi. 12,13,14

Nyeri neuropati merupakan nyeri yang dikarenakan adanya lesi pada sistem saraf perifer
maupun pusat. Nyeri ini bersifat kronik dan mengakibatkan penurunan kualitas hidup
penderita. Nyeri neuropati melibatkan gangguan neuronal fungsional dimana saraf perifer
atau sentral terlibat dan menimbulkan nyeri khas bersifat epikritik (tajam dan menyetrum)
yang ditimbulkan oleh serabut A yg rusak, atau protopatik seperti disestesia, rasa terbakar,
parestesia dengan lokalisasi tak jelas yang disebabkan oleh serabut C yangabnormal. Gejala-
gejala ini biasa disertai dengan defisit neurologik atau gangguan fungsi lokal.

6
Umumnya, lesi saraf tepi maupun sentral berakibat hilangnya fungsi seluruh atau
sebagian sistim saraf tersebut, ini sering disebut sebagai gejala negatif. Akan tetapi, pada
bagian kecil penderita dengan lesi saraf tepi, seperti pada penderita stroke, akan
menunjukkan gejala positif yang berupa disestesia, parestesia atau nyeri. Nyeri yang terjadi
akibat lesi sistem saraf ini dinamakan nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik adalahnyeri yang
didahuluhi atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem saraf. 12,13,14

Iskemia, keracunan zat tonik, infeksi dan gangguan metabolik dapat menyebabkan lesi
serabut saraf aferen. Lesi tersebut dapat mengubah fungsi neuron sensorik yang dalam
keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan
lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron
sensorik, melalui perubahan molekular, sehingga aktivitas serabut saraf aferen menjadi
abnormal (mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptik sentral.
12,13,14

Pada nyeri inflamasi maupun nyeri neuropatik sudah jelas keterlibatan reseptor NMDA
dalam proses sensitisasi sentral yang menimbulkan gejala hiperalgesia terutama sekunder
dan alodinia. Akan tetapi di klinik ada perbedaaan dalam terapi untuk kedua jenis nyeri
inflamasi sedangkan untuk nyeri neuropatik obat tersebut kurang efektif. Banyak teori telah
dikembangkan untuk menerangkan perbedaan tersebut. 12,13,14

Prinsip terjadinya nyeri adalah gangguan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akibat
kerusakan jaringan (inflamasi) atau sistem saraf (neuropatik). Eksitasi meningkat pada
kedua jenis nyeri tersebut pada neyeri neuropatik dari beberapa keterangan sebelumnya telah
diketahui bahwa inhibisi menurun yang sering disebut dengan istilah disinhibisi. Disinhibisi
dapat disebabkan oleh penurunan reseptor opioid dineuron kornu dorsalis terutama di
presinap serabut C. 12,13,14

Mekanisme yang mendasari neuropati perifer tergantung dari kelainan yang


mendasarinya. Diabetes sebagai penyebab tersering, dapat mengakibatkan neuropati melalui
peningkatan stress oksidatif yang meningkatkan Advance Glycosylated End products
(AGEs), akumulasi polyol, menurunkan nitric oxide, mengganggu fungsi
endotel,mengganggu aktivitas Na/K ATP ase, dan homosisteinemia. Pada hiperglikemia,

7
glukosa berkombinasi dengan protein, menghasilkan protein glikosilasi, yang dapat dirusak
oleh radikal bebasi dan lemak, menghasilkan AGE yang kemudian merusak jaringan saraf
yang sensitif. Selain itu, glikosilasi enzim antioksidan dapat mempengaruhi sistem
pertahanan menjadi kurang efisien.15

Gambar 1. Patofisiologi pada neuropati diabetik. Dari:Head KA. Peripheral


neuropathy:pathogenic mechanisms and alternative therapies. Alternative
Medicine Review 2006;11(4):294-296

Glukosa di dalam sel saraf diubah menjadi sorbitol dan polyol lain oleh enzim aldose
reductase. Polyol tidak dapat berdifusi secara pasif ke luar sel, sehingga akan terakumulasi
di dalam sel neuron, yang menganggu kesetimbangan gradien osmotik sehingga
memungkinkan natrium dan air masuk ke dalam sel dalam jumlah banyak. Selain itu,
sorbitol juga dikonversi menjadi fruktosa, dimana kadar fruktosa yang tinggi meningkatkan
prekursor AGE. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf menurunkan aktivitas Na/K
ATP ase.15,16

8
Gambar 2. Jalur sorbitol, sebagai salah satu mekanisme patogenesis pada neuropati
perifer. Dari: Head KA. Peripheral neuropathy:pathogenic mechanisms and
alternative therapies. Alternative Medicine Review 2006;11(4):294-296

Nitric oxide memainkan peranan penting dalam mengontrol aktivitas Na/K ATP ase.
Radikal superoksida yang dihasilkan oleh kondisi hiperglikemia mengurangi stimulasi NO
pada aktivitas Na/K ATP ase. Selain itu penurunan kerja NO juga mengakibatkan penurunan
aliran darah ke saraf perifer.15

2.4 Manifestasi Klinis

Klasifikasi nyeri neuropati terbagi menjadi 2, yakni berdasarkan penyakit yang


mendahului dan letak anatomisnya, dan berdasarkan gejala. Berdasarkan penyakit yang
mendahului dan letak anatomisnya, nyeri neuropati terbagi menjadi :14
Perifer, dapat diakibatkan oleh neuropati, nueralgia pasca herpes zoster, trauma susunan
saraf pusat, radikulopati, neoplasma, dan lain-lain
Medula spinalis, dapat diakibatkan oleh multiple sclerosis, trauma medulla spinalis,
neoplasma, arakhnoiditis, dan lain-lain
Otak, dapat diakibatkan oleh stroke, siringomielia, neoplasma, dan lain-lain.

Berdasarkan gejala, nyeri neuropati terbagi menjadi :


Nyeri spontan (independent pain)
Nyeri oleh karena stimulus (evoked pain)
Langkah awal dalam mendiagnosis neuropati perifer adalah menentukan gejala dan tanda
yang berhubungan dengan disfungsi saraf perifer. Biasanya pasien mengalami munculan
gejala yang bermacam-macam.2,3,5,9,15 Pada pasien usia tua sering terjadi neuropati yang
berkaitan dengan mielopati spondilosis servikalis, dimana gejala neuropati aksonal

9
predominan sensorik baru muncul pada onset lanjut. Sama halnya dengan radikulopati
spondilosis, yang bisa muncul dengan gejala neuropati entrapment pada anggota gerak atas,
patologi yang terlibat perlu digali secara cermat.2,3,4

Gejala neuropati dapat dikelompokkan menjadi gejala negatif atau positif. Gejala positif
mencerminkan aktivitas spontan serabut saraf yang tidak adekuat, sedangkan gejala negatif
menunjukkan terjadinya penurunan aktivitas serabut saraf. Gejala negatif meliputi
kelemahan, fatigue, dan wasting, sementara gejala positif mencakup kram, kedutan otot, dan
myokimia.2,3,5,9 Kelemahan biasanya belum bermanifestasi sampat 50-80% serabut saraf
mengalami kerusakan; gejala positif mungkin muncul pada awal proses penyakit. Gejala
negatif seperti hipestesia dan abnormalitas melangkah. Gejala lain yang juga sering adalah
kesulitan membedakan rasa panas atau dingin dan keseimbangan yang semakin memburuk
terutama saat gelap dimana input visual tidak cukup mengkompensasi gangguan
propriopseptif. Gejala positif mencakup rasa terbakar atau tertusuk, rasa geli/kesemutan.
Gejala yang mungkin melibatkan sistem saraf otonom mencakup rasa haus, kembung,
konstipasi, diarem impotensi, inkontinensia urin, abnormalitas keringat, dan rasa melayang
yang berkaitan dengan orthostasis. Pasien dengan gangguan vasomotor mungkin melaporkan
keempat anggota gerak terasa dingin sejalan dengan perubahan warna kulit dan trofi otot.

2.5 Diagnosis

Riwayat sosial pasien perlu digali berkaitan dengan pekerjaan (kemungkinan paparan
toksik dari bahan kimia), riwayat seksual (kemungkinan HIV atau hepatitis C), konsumsi
alkohol, kebiasaan makan, dan merokok. Sedangkan dari riwayat keluarga dan pengobatan
sebelumnya perlu difokuskan pada penyakit yang berhubungan dengan neuropati, seperti
endokrinopati (diabetes, hipotiroid), insufisiensi renal, disfungsi hepar, penyakit jaringan
penyambung, dan keganasan. Pengobatan yang pernah dikonsumsi pasien juga perlu
dijelaskan untuk menentukan kemungkinan adanya hubungan temporal antara obat dengan
neuropati. Kemoterapi, pengobatan HIV, dan antibiotik golongan kuinolon merupakan
beberapa contoh agen penyebab neuropati. Selain itu, konsumsi vitamin B6 (Pyridoxine)
melebihi dosis 50-100 mg per hari juga dapat mencetuskan neuropati. 2,5,9,15

10
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda vital ortostatik dapat mengidentifikasi adanya
disautonomia. Pemeriksaan terstruktur dari sistem organ dapat menentukan kemungkinan
adanya endokrinopati, infeksi, vaskulopati, dan lain-lain. Selanjutnya, pemeriksaan saraf
kranial mencakup penilaian adanya anosmia (refsum disease, defisiensi vitamin B12), atrofi
saraf optik, anisokoria dan penurunan refleks cahaya (disautonomia parasimpatetik),
gangguan gerakan okuler (sindrom Miller Fisher), kelemahan otot wajah (sindrom Guillain
Barre), dan sensorik trigeminal (sindrom Sjogren). Pemeriksaan motorik komprehensif
mencakup penilaian tonjolan otot, contohnya observasi atrofi otot intrinsik tangan dan kaki.
Selain itu dinilai hipereksitabilitas, tonus, dan kekuatan otot dengan skala Medical Research
Council. Dynamometri dapat dipakai untuk penilaian kekuatan otot yang lebih tepat. Karena
sebagian besar neuropati mengakibatkan kelemahan distal, otot intrinsik kaki dapat terkena
lebih dulu, dengan manifestasi kaki bengkok dan ibu jari seperti palu (hammer toes).
Kelemahan saat fleksi dan ekstensi jari kelingking dan kelemahan ekstensi ibu jari sering
muncul pada fase awal. Sudut antara tibia dan punggung kaki sekitar 130. Sudut yang lebih
besar menunjukkan kelemahan dorsofleksi pergelangan kaki. Pada tangan, otot abduktor jari
telunjuk dan kelingking yang terkena lebih dulu. Selain itu, perlu diperhatikan gaya berjalan
pasien. Pada pasien neuropati kronik, pasien mengalami kesulitan berjalan dengan tumit
dibanding berjalan dengan ujung jari.2,3,5

Pemeriksaan sensorik perlu dilakukan sesuai anatomi saraf perifer dan pola penyakit.
Pemeriksaan ini terbagi tipe serabut saraf ukuran besar atau kecil. Penilaian serabut saraf
besar mencakup sensasi getar, posisi sendi, dan rasa raba ringan. Sedangkan penilaian
serabut kecil mencakup uji pin-prick dan sensasi suhu. Tes Romberg juga bermanfaat
menilai fungsi serabut besar.2,5

Dalam melakukan pemeriksaan sensorik, perlu memikirkan jenis neuropati yang


dikeluhkan, mencakup mononeuropati, polineuropati (distal simetrik atau multifokal),
radikulopati, pleksopati. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi area yang mengalami
kelainan dan dibandingkan dengan area kontralateral yang simetris. Selain itu juga
dibandingkan dengan area lain yang normal, dan dikaitkan dengan dermatom saraf. 2,3,5,9,15

Penurunan refleks tendon sangat membantu dalam menentukan lokalisasi kerusakan


lower motor neuron. Hiporefleks atau arefleks sering ditemukan pada neuropati serabut saraf

11
yang besar, namun pada neuropati serabut saraf kecil refleks tendon dalam seperti refleks
Achilles masih baik. 2,3,5,9

Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis cukup banyak, dan


tergantung dari klinis pada pasien. American Academy of Neurology (AAN) mengajukan
parameter praktis pemeriksaan laboratorium dan genetik pada polineuropati distal simetrik.
Panduan tersebut merekomendasikan pemeriksaan gula darah puasa, elektrolit untuk menilai
fungsi ginjal dan hati, pemeriksaan darah tepi lengkap, kadar vitamin B12 serum, laju endap
darah, uji fungsi tiroid, dan immunofixation electrophoresis serum (IFE). Sedangkan
pemeriksaan lainnya mencakup Myelin associated glycoprotein (MAG), sulfatide, dan
antibodi GD1B. Pada neuropati demielinisasi dengan pemanjangan latensi distal, diperlukan
pemeriksaan anti MAG. Sedangkan pada mononeuropati multifokal, perlu dilakukan
pemeriksaan anti GM1. Selanjutnya, pada pasien sindrom Guillain Barre, uji anti GQ1b, anti
GM1, dan anti GD1a dapat menunjang diagnosis.17

Pada pasien yang dicurigai menderita vaskulitis dan connective tissue disorder (Sjogren
syndrome, SLE, rheumatoid arthritis), pemeriksaan C-reactive protein, antinuclear antibody,
double-stranded DNA, reumatoid factor, proteinase 3, myeloperoxidase, complement,
angiotensin converting enzyme, panel hepatitis B dan C, serta cryoglobulin perlu dilakukan.
Sedangkan pada pasien predominan neuropati sensorik, perlu dilakukan uji anti Hu
antibody, dimana keadaan ini berkaitan dengan neuropati paraneoplastik. Pemeriksaan urin
dapat mengkonfirmasi kemungkinan paparan bahan kimia logam berat, seperti uji kadar
arsenik dan tembaga dalam urin. Prosedur ini perlu dilakukan bila terdapat riwayat paparan
logam berat, setelah menjalani pembedahan bariatric, atau intake Zinc berlebihan.17,18

Uji elektrodiagnostik pada pasien neuropati perifer mencakup kecepatan hantaran saraf
dan needle Electromyography. Kedua uji tersebut merupakan standar untuk neuropati,
terutama neuropati serabut besar. EMG dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosis selain
polineuropati, seperti miopati, neuronopati, pleksopati, atau poliradikulopati. Sebagai
pemeriksaan lanjutan setelah pemeriksaan klinis, elektrodiagnostik memberikan gambaran
mengenai keterlibatan relatif motorik atau sensorik, beratnya kelainan neuropati, dan
distribusi kelainan. Selain itu uji elektrodiagnostik dapat menilai kelainan dari anatomi,
apakah suatu aksonopati atau mielinopati. Demielinisasi dapat dikelompokkan sebagai

12
demielinisasi komplit atau sebagian. Dan elektrodiagnostik dapat dilakukan untuk emonitor
progresivitas penyakit. Risiko pemeriksaan elektrodiagnostik minimal, meskipun pada
sebagian penderita terdapat ketidaknyamanan.19,20

Pemeriksaan hantaran saraf (Nerve Conduction Study=NCS) pada neuropati aksonal


diawali dengan menurunnya potensial aksi serabut sensorik (SNAP), kemudian diikuti oleh
penurunan amplitudo potensial aksi (CMAP). Kecepatan saraf biasanya tidak menunjukkan
kelainan atau mengalami penurunan minimal sampai terdapatnya kerusakan pada serabut
saraf tipe penghantar cepat (fast conducting) dan besar. Pada polineuropati aksonal kronik
dari saraf yang panjang, awalnya terjadi penurunan SNAP pada bagian distal saraf (sural dan
peroneal).14 Selanjutnya amplitudo CMAP dari saraf peroneal menurun, diikuti saraf tibial,
kemudian saraf medianus dan ulnaris. Pada neuropati demielinisasi, terjadi pemanjangan
latensi distal dan perlambatan kecepatan hantaran saraf, namun jarang ditemukan penurunan
amplitudo pada awal penyakit. Temuan lain yang mungkin didapatkan adalah blok konduksi
dan dispersi temoral sepanjang segmen saraf, dispersi temporal dari respon distal, dan F
wave impersisten, kronodispersi atau absen. Sedangkan pemanjangan latensi distal motorik
yang lebih berat ditemui pada neuropati anti MAG. 21,22

Pemeriksaan needle EMG menilai aktivitas listrik dari otot volunter. Morfologi dari
motor unit potential (MUP) dapat memberikan gambaran lesi neurogenik dengan reinervasi
(terdapatnya peningkatan durasi, amplitudo, dan polifasik) atau suatu lesi miopati (brief
durasi, aplitudo dan polifasik).20-22 Namun, pada awal reinervasi gambaran MUP lesi
neurogenik menyerupai lesi miopati. Pada neuropati bisa didapatkan peningkatan frekuensi
letupan yang berhubungan dengan penurunan pola interferensi. Needle EMG dapat
menentukan distribusi disfungsi serabut saraf, kronisitas suatu aksonopati berdasarkan
distribusi dan amplitudo dari fibrilasi dan gelombang runcing EMG. Pemeriksaan
elektrodiagnostik lainnya adalah stimulasi magnetik, yang menilai konduksi pada segmen
proksimal seperti saraf femoralis atau cauda equina, namun pemeriksaan ini hanya terbatas
pada kasus neuropati perifer. Terdapatnya perlambatan KHS pada cauda equnia menandakan
terjadinya neuropati demielinisasi. Pemeriksaan Somatosensory evoked potential (SSEP)
dapat menentukan lokasi gejala sensorik pada saraf, pleksus, ataupun radiks dan

13
mengevaluasi segmen saraf yang terkena. SSEP dapat direkam walaupun SNAP menghilang
karena amplifikasi sentral dari pemeriksaan ini.21

Pemeriksaan Quantitative Sensory Testing (QST) berguna untuk mendeteksi neuropati


sensorik. Uji QST meliputi pemeriksaan vibrasi, suhu, dan nyeri panas pada ibu jari atau
telunjuk untuk menentukan ambang sensasi tersebut. Pemeriksaan ini banyak dipakai pada
neuropati HIV, neuropatik toksik dan neuropati demielinisasi. Walaupun pemeriksaan ini
non invasif, uji QST memakan waktu cukup lama dan memerlukan kerjasama pasien. AAN
menyatakan bahwa QST hanya merupakan salah satu pemeriksaan penunjang untuk evaluasi
kelainan neurologis, dan mungkin berguna dalam mengidentifikasi abnormalitas sensorik
serabut besar dan kecil. 19-21

Pemeriksaan biopsi saraf dilakukan untuk menilai etiologi, lokalisasi patologik, dan
beratnya kerusakan saraf. Namun pemeriksaan ini menjadi kurang penting dalam dua dekade
terakhir seiring berkembangnya teknologi di bidang elektrodiagnostik, laboratorium dan uji
genetik. Biopsi saraf hanya berguna pada neuropati progresif akut/ sub akut, asimetrik dan
multifokal. AAN menganjurkan pemeriksaan ini pada diagnosis penyakit inflamasi seperti
vaskulitis, sarkoidosis, dan CIDP. Selain itu uji ini bisa dilakukan pada penyakit infeksi
seperti lepra.21,22

American Academy of Neurology (AAN), dan American Academy of Neuromuscular


and Electrodiagnostic Medicine (AANEM) pada tahun 2009 menerbitkan suatu telaah kritis
berdasarkan bukti (evidence based review) mengenai evaluasi polineuropati distal simetris,
terkait pemeriksaan otonom, biopsi saraf dan biopsi kulit. Mereka menyebutkan bahwa uji
fungsi otonom dilakukan pada pasien polineuropati untuk mengetahui keterlibatan sistem
saraf otonom (level B). Pemeriksaan otonom juga bisa dilakukan pada polineuropati
sensorik serabut kecil (SFSN) (level C). Selain itu, pemeriksaan penyaring otonom dan
Composite Autonomic Scoring Scale (CASS) dapat dilakukan untuk mendapatkan akurasi
diagnostik yang lebih baik (level B). Mengenai kepentingan biopsi saraf, AAN dan AANEM
menyatakan bahwa tidak terdapat bukti yang mendukung atau menolak peranan pemeriksaan
ini untuk menilai polineuropati distal simetris (Class IV). Sedangkan untuk biopsi kulit,
mereka menyatakan pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien yang simptomatik dan
dicurigai polineuropati, terutama jenis SFSN (level C).17,22,23

14
Gambar 4. Alur diagnostik neuropati perifer. Dari: England JD, Asbury AK. Peripheral neuropathy.
The Lancet 2004;363:2151-61

2.6 Tatalaksana

Obat-obatan yang banyak digunakan sebagai terapi nyeri neuropati adalah antidepresan
trisiklik dan anti konvulsan karbamasepin.

Anti depresan

Dari berbagai jenis anti depresan, yang paling sering digunakan untuk terapi nyerineuropati
adalah golongan trisiklik, seperti amitriptilin, imipramin, maprotilin,desipramin. Mekanisme
kerja anti depresan trisiklik (TCA) terutama mampu memodulasitransmisi dari serotonin dan
norepinefrin (NE). Anti depresan trisiklik menghambat pengambilan kembali serotonin (5-
HT) dan noradrenalin oleh reseptor presineptik.Disamping itu, anti depresan trisiklik juga
menurunkan jumlah reseptor 5-HT(autoreseptor), sehingga secara keseluruhan mampu

15
meningkatkan konsentrasi 5-HTdicelah sinaptik. Hambatan reuptake norepinefrin juga
meningkatkan konsentrasinorepinefrin dicelah sinaptik. Peningkatan konsentrasi
norepinefrin dicelah sinaptik menyebabkan penurunan jumlah reseptor adrenalin beta yang
akan mengurangi aktivitasadenilsiklasi. Penurunan aktivitas adenilsiklasi ini akan
mengurangi siklik adenosummonofosfat dan mengurangi pembukaan Si-Na. Penurunan Si-
Na yang membuka berartidepolarisasi menurun dan nyeri berkurang. 13,14

Anti konvulsan
Anti konvulsan merupakan gabungan berbagai macam obat yang dimasukkankedalam satu
golongan yang mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan abnormaldari neuron-
neuron di sistem saraf sentral. Seperti diketahui nyeri neuropati timbulkarena adanya
aktifitas abnormal dari sistem saraf. Nyeri neuropati dipicu olehhipereksitabilitas sistem
saraf sentral yang dapat menyebabkan nyeri spontan dan paroksismal. Reseptor NMDA
dalam influks Ca2+ sangat berperan dalam proseskejadian wind-up pada nyeri neuropati.
Prinsip pengobatan nyeri neuropati adalah penghentian proses hiperaktivitas terutama
dengan blok Si-Na atau pencegahansensitisasi sentral dan peningkatan inhibisi.13,14

Karbamasepin dan Okskarbasepin


Mekanisme kerja utama adalah memblok voltage-sensitive sodium channels(VSSC). Efek
ini mampu mengurangi cetusan dengan frekuensi tinggi dari neuron.Okskarbasepin
merupakan anti konvulsan yang struktur kimianya mirip karbamasepinmaupun amitriptilin.
Dari berbagai uji coba klinik, pengobatan dengan okskarbasepin pada berbagai jenis nyeri
neuropati menunjukkan hasil yang memuaskan, sama, atausedikit diatas karbamazepin,
hanya saja okskarbasepin mempunyai efek samping yang minimal.

Lamotrigin
Merupakan anti konvulsan baru untuk stabilisasi membran melalui VSCC,merubah atau
mengurangi pelepasan glutamat maupun aspartat dari neuron presinaptik,meningkatkan
konsentrasi GABA di otak. Khusus untuk nyeri neuropati penderita HIV,digunakan
lamotrigin sampai dosis 300 mg perhari. Hasilnya, efektivitas lamotrigin lebih baik dari
plasebo, tetapi 11 dari 20 penderita dilakukan penghentian obat karena efek samping. Efek
samping utama lamotrigin adalah skin rash, terutama bila dosisditingkatkan dengan cepat.

16
Gabapentin
Akhir-akhir ini, penggunaan gabapentin untuk nyeri neuropati cukup populer mengingat
efek yang cukup baik dengan efek samping minimal. Khusus mengenaigabapentin, telah
banyak publikasi mengenai obat ini diantaranya untuk nyeri neuropatidiabetika, nyeri pasca
herpes, nyeri neuropati sehubungan dengan infeksi HIV, nyerineuropati sehubungan dengan
kanker dan nyeri neuropati deafferentasi. Gabapentincukup efektif dalam mengurangi
intensitas nyeri pada nyeri neuropati yang disebabkanoleh neuropati diabetik, neuralgia
pasca herpes, sklerosis multipel dan lainnya. Dalochio, Nicholson mengatakan bahwa
gabapentin dapat digunakan sebagai terapi berbagai jenisneuropati sesuai denngan
kemampuan gabapentin yang dapat masuk kedalam sel untuk berinteraksi dengan reseptor
2 yang merupakan subunit dari Ca2+-channel.

17
BAB III

KESIMPULAN

Neuropati adalah proses patologi yang mengenai susunan saraf perifer, berupa proses
demielinisasi atau degenerasi aksonal atau kedua-duanya. Mekanisme yang mendasari
munculnya nyeri neuropati adalah: sensitisasi perifer, ectopic discharge, sprouting, sensitisasi
sentral, dan disinhibisi. Perubahan ekspresi dandistribusi saluran ion natrium dan kalium terjadi
setelah cedera saraf, dan meningkatkaneksitabilitas membran, sehingga muncul aktivitas ektopik
yang bertanggung jawabterhadap munculnya nyeri neuropatik spontan.

Gejala dan tanda neuropati perifer cukup sering ditemukan pada pasien usia lanjut. Berbagai
kondisi pada usia tua seperti diabetes, alkoholisme, defisiesi nutrisi, infeksi, keganasan maupun
kelainan autoimun, dapat mempengaruhi kualitas fungsional saraf yang mengakibatkan
neuropati. Untuk mendiagnosis neuropati perifer secara komprehensif dan efisien, diperlukan
pendekatan yang sistematis dan logis, terutama pada neuropati perifer yang dapat diobati.
Aplikasi elektrodiagnostik yang non invasif cukup memuaskan untuk menegakkan diagnosis,
walaupun dalam kasus tertentu diperlukan pemeriksaan elektrodiagnostik invasif. Obat-obatan
yang banyak digunakan sebagai terapi nyeri neuropati adalah antidepresan trisiklik dan anti
konvulsan karbamasepin.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Nicholson B. Differential Diagnosis: Nociceptive and Neuropathic Pain. The


AmericanJournal of Managed Care. Juni 2006. p256-61.
2. Alport AR, Sander HW. Clinical approach to peripheral neuropathy: Anatomic
localizaion and diagnostic testing. Continuum Lifelong Learning Neurol 2012;18(1):13-
38
3. England JD, Asbury AK. Peripheral neuropathy. Lancet 2004;363:2151-2161
4. Mold JW, Vesely SK, Keyl BA, Schenk JB, Roberts M. The prevalence, predictors, and
consequences of peripheral sensory neuropathy in older adults. J Am Board Fam Pract
2004;17:309-318
5. Burns TM, Mauermann ML. The evaluation of polyneuropathies. Neurology 2011;76:S6-
S13
6. Martyn CN, Hughes RAC. Epidemiology of peripheral neuropathy. J Neurol Neurosurg
Psychiatry 1997;62:310-318
7. Chia L, Fernandez A, Lacroix C, Adams D, Plante V, Said G. Contribution of nerve
biopsy findings to the diagnosis of disabling neuropathy in the elderly. A retrospective
review of 100 consecutive patients. Brain 1996;119:1091-1098
8. Chio A, Cocito D, Bottachi E, et al. Idiopathic chronic inflammatory demyelinating
polyneuropathy; an epidemiological study in Italy. J Neurol Neurosurg Psychiatry
2007;78:1349-1353
9. Van Schaik IN, Leger JM, Nobile-Orazio E, et al. Multifocal motor neuropathy. In:
Gilbus NE, Barnes MP, Brainin M (eds). European Handbook of Neurological
Management. Vol 1, 2nd ed. New York. Blackwell Publishing Ltd. 2011:343-350
10. Lor TL, Boon KY, Cheo FF, et al. The frequency of symptomatic sensory
polyneuropathy in the elderly in an urban Malaysian community. Neurology Asia
2009;14(2):109-113
11. Romanoff ME. Neuropathic Pain. In: Ramamurthy S, Alanmanou E, Rogers JN.
DecisionMaking in Pain Management. 2nd ed. Philadelphia: Mosby, 2006: p86-89
12. Purba JS. Penggunaan Obat Antiepilepsi sebagai terapi Nyeri Neuropatik. [serial
online]Oktober 2006 [cited 2017 April 11] : [3 screens]. Available from:
URL:http://www.dexa-medica.com
13. Argoff CE. Managing Neuropathic Pain: New Approaches For Today's Clinical
Practice.[online] 2002 [cited 2017 April 11] : [31 screens]. Available from: URL :
http://www.medscape.com/viewprogram/2361.html
14. Richeimer S. Understanding neuropathic pain. [online] 2007 [cited 2017 April 11] : [6
screens]. Available from URL : http://www.spineuniverse.com
15. Head KA. Peripheral neuropathy; pathogenic mechanisms and alternative therapies.
Altern Med Rev 2006;11(4):294-329
16. Gilron IG, Watson PN, Cahill CM, Moulin DE. Neuropathic pain; a practical guide for
the clinician. CMAJ 2006;175(3):265-275
17. Bril V, England J, Franklin GM et al. Evidence-based guideline: Treatment of painful
diabetic neuropathy : Report of the American Academy of Neurology, the American
Association of Neuromuscular and Electrodiagnostic Medicine, and the American
Academy of Physical Medicine and Rehabilitation. Neurology 2011;76:1-10

19
18. Wambolt C, Kapustin J. Evidence-based treatment of diabetic peripheral neuropathy. The
Journal for Nurse Practitioners 2006:370-378
19. Jagga M, Lehri A, Verma SK. Effect of aging and anthropometric measurement on nerve
conduction properties a review. Journal of Exercise Science and Physiotherapy
2011;7(1):1-10
20. Smith AG, Singleton JR. The diagnostic yield of a standardized approach to idiopathic
sensorypredominant neuropathy. Arc Intern Med 2004;164:1021-1025
21. Boulton AJM. Management of diabetic peripheral neuropathy. Clinical Diabetes
2005;23(1):9-15
22. England JD, Gronseth GS, Franklin G, et al. Evaluation of distal symetric
polyneuropathy: the role of autonomic testing, nerve biopsy, and skin biopsy (an
evidence-based review). Muscle Nerve 2009;39:106-115
23. Cho SC, Ferrante MA, Levin KH, Harmon RL, So YT. Utility of electrodiagnostic testing
in evaluating patients with lumbosacral radiculopathy; an evidence-based review. Muscle
Nerve 2010;42:276-282

20

Anda mungkin juga menyukai