Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Era globalisasi saat ini semakin meningkatkan mobilitas manusia, baik


dalam perjalanan antar desa, antar kota, maupun propinsi, serta antar negara.
Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap
sarana transportasi, dan pada akhirnya meningkatkan angka kejadian kecelakaan
lalu lintas. Apalagi dalam kondisi sarana transportasi, dan pada akhirnya
meningkatkan angka kejadian kecelakaan lalu lintas.1
Trauma kapitis dapat merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan
kematian yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh
karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat, dan produktif.2
Trauma merupakan penyebab utama kematian pada anak dia atas usia 1
tahun di Amerika Serikat. Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase
trauma kapitis adalah yang tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%.
Kira-kira sekitar 5% penderita trauma kapitis meninggal di tempat kejadian.
Trauma kapitis mempunyai dampak emosi, psikososial, dan ekonomi yang cukup
besar sebab penderitanya sering menjalani masa perawatan rumah sakit yang
panjang, dan 5-10% setelah perawatan rumah sakit masih membutuhkan
pelayanan jagka panjang.2
Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar,
meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar
pasien dengan trauma kapitis (75-80%) adalah trauma kapitis ringan, sisanya
merupakan trauma dengan kategori sedang dan berat dalam jumlah yang sama.
Manajemen trauma kapitis sendiri pada dasarnya dibagi dalam manajemen
non operatif (kasus terbanyak), ditangani oleh keilmuan penyakit saraf (neurologi)
dan manajemen operatif, ditangani oleh keilmuan bedah saraf.2

1
BAB II
PENYAJIAN KASUS

A. IDENTITAS
a. Nama : An. R
b. Jenis kelamin : Laki-laki
c. Usia : 10 tahun
d. Pekerjaaan : Pelajar
e. Agama : Islam
f. Datang ke UGD : 5 September 2017

B. PRIMARY SURVEY
Keluhan Utama
An. A, laki-laki, usia 10 tahun datang dengan penurunan kesadaran post
KLL.
1. Airway
Snoring (-), gargling (-), stridor (-), servikal pain (-), deviasi trakea (-)
2. Breathing
Bernapas spontan, dinding dada simetris pada saat keadaan statis maupun
dinamis, frekuensi napas 24x/menit, suara napas dasar vesicular (+/+) di kedua
lapang paru, ronkhi (-/-), whezing (-/-), saturasi oksigen 98% dengan O2
masker non-rebreathing.
3. Circulation
Nadi teraba kuat angkat dan regular, frekuensi nadi 91x/menit, capillary refill
time < 2”, tekanan darah 120/80 mmHg, akral teraba hangat
4. Dissability
Glassgow Coma Scale E2V2M5 (verbal sulit dinilai dikarenakan bibir pasien
oedem), pupil isokor diameter OD/OS 3mm/3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+),
kesan parese (-), lateralisasi (-), refleks fisiologis normorefleks (+2)

2
5. Exposure
Suhu tubuh 36,5OC, akral teraba hangat, terdapat multiple VE pada regio
facial, multiple VE regio cranial, multiple VE regio brachii dan ante brachii
dextra serta multiple VE pada thorax dextra.

C. SECONDARY SURVEY
Anamnesa
Pasien merupakan rujukan RS Pemangkat. Pasien datang bersama
keluarga dan perawat menggunakan ambulance.
A: Alergi: tidak ada
M: Medikasi: pasien sedang tidak menjalani pengobatan apapun
P: Previus medication: pasien tidak pernah dioperasi
L: Last meal: Terakhir pasien makan sekitar ± 3 jam SMRS.
E: Environment:
Pasien merupakan korban kecelakaan lalu lintas, pasien sebagai
penumpang sebuah mobil pick-up yang duduk di gerobaknya. Pada saat itu, supir
mobil menyalip beberapa motor yang ada di depannya, kemudian dari arah yang
berlawanan terdapat motor yang sedang melaju, sehingga sang supir
mengelakkannya dengan membanting stir ke kiri, tetapi karena takut menghimpit
beberapa motor yang sedang disalipnya, sehingga sang supir membanting stir
kembali ke arah kanan. Kemudian mobil menjadi oleh dan terbalik miring
sehingga semua penumpangnya terlempar dari mobil tersebut.
Riwayat Penyakit Terdahulu
- Riwayat alergi (-)
- Riwayat medikasi (pengobatan) (-)
- Riwayat operasi (-)
- Riwayat hipertensi (-)

3
D. PEMERIKSAAN FISIK (5 September 2017)
1. Status generalis
a) Keadaan Umum : Tidak sadar
b) Status gizi : Baik
c) Tanda vital
Kesadaran : Sopor coma, GCS (E2V2M5)
Tekanan Darah :120/80 mmHg
Nadi : 91 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Suhu : 36,5°C
d) Kepala : Normocephali
e) Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), discharge
(-/-) pupil bulat, isokor 3 mm/3 mm, RCL +/+, RCTL +/+
f) Telinga : Sekret (-), otore (-), bettle sign (-)
g) Hidung : Sekret (-), deviasi septum (-), rinore (-)
h) Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran kelenjar getah bening (-), tidak ada JVP
i) Jantung : Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : SI-SII regular, Gallop (-), Murmur (-)
Interpretasi : Dalam Batas Normal
j) Paru : Inspeksi : normal, gerakan dinding dada simetris
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikular (+/+), Rhonki (-/-), Whezing (-/-)
k) Abdomen : Inspeksi : Simetris, hiperemis (-), tumor (-), pembesaran (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : batas hepar dan lien normal, perbesaran (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
l) Ekstremitas : Ektremitas atas: akral hangat (+), edema (-), ekstremitas
bawah: akral hangat (+), edema (-). Kesan hemiparese (-)
m) Kulit : Sianosis (-), warna kecoklatan, turgor kulit baik

4
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Dilakukan pemeriksaan Head CT-Scan tanpa kontras a/i trauma.

Gambar. CT-Scan Kepala tanpa kontras (Bone Window)

Gambar. CT-Scan kepala tanpa kontras (brain window)

5
2. Dilakukan pemeriksaan rontgen thorax AP.

Gambar. Rontgen thorax AP


3. Dilakukan pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Darah berupa, H2TL, CT, BT, Golongan darah, Anti HIV,
anti HbsAg.
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 11,4 g/dL 10 thn 10,8 - 15,6 g/dL
Hematokrit 34,9 % 10 thn 33 - 45 %
Trombosit 360.000/µL 6-10 thn (L)
181.000 – 521.000 µL
Leukosit 26.900/µL 8-12 thn 4.500 – 13.500 µL
Jumlah Eritrosit 4,40 x 106/ µL 10 thn 3,8 – 5,8 x 106/ µL
Golongan Darah B
Anti HIV Non reaktif
Anti HBsAg Non reaktif
Clothing Time
Bleeding Time

6
F. DIAGNOSIS
a) Diagnosis klinis
Cedera Kepala Sedang
b) Diagnosis Topis
- Intra Cerebral Hemorrage (L) Putanea
- Intra ventrikular hemorrage

G. PENATALAKSANAAN
Non-Medikamentosa:
- Head up 30o
- O2 non-rebreathing mask 8-10 lpm
- Pro ICU
- Rawat luka
Medikamentosa:
- IVFD RL 10 tpm
- Drip Phenytoine 50 mg / 8 jam dalam 100 NaCl 0,9%
- Inj. Paracetamol infus 250 mg / 6 jam
- Drip Mersitropil 6 gr / 24 jam 10gtt.

H. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad malam
Ad Functionam : dubia ad malam
Ad Sanactionam : dubia ad malam

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Kepala
3.1.1. Anatomi3,4
Anatomi kepala memiliki beberapa bagian, seperti kulit kepala, tengkorak, lapisan
pelindung otak, otak, cairan serebrospinal dan vaskularisasinya.
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
 Skin atau kulit
 Jaringan subkutis
 Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang
berhubungan langsung dengan tengkorak
 Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
 Pericranium: Jaringan penunjang longgar memisahkan galea
aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa
terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh
darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau
penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan
waktu lama untuk mengeluarkannya.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu os. frontal, os. parietal, os.
temporal dan os. oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal lebih tipis
dibanding tempat lain, namun pada region temporal dilapisi lagi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,
fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian
bawah batang otak dan serebelum.

8
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu:
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput
yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam
dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan
dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari
dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia
mater oleh spatium subarakhnoidyang terisi oleh liquor serebrospinalis.
Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

9
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater
adalah membran vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi
gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membran ini
membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri
yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh piamater.

Gambar. Lapisan pelindung otak


4. Otak
Otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:
1) Cerebrum
Serebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium
serebri kanan dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri
dari lobus frontal, oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing
lobus memiliki fungsi yang berbeda, yaitu:
a) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan
keahlian motorik misalnya menulis, memainkan alat musik. Lobus
frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. daerah
tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap aktivitas
motorik tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari
kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan

10
lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya
mengenai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan
perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luasyang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia.
b) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari
bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Kerusakan
kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi
tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi
kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang
di sekitarnya.
c) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi
menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus
temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori
dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan
terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa
yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita
dalam mengekspresikan bahasanya.
d) Lobus Oksipital
Dibawah lapisan durameter. Cereblum merangsang dan
menghambat serta mempunyai tanggung jawab yang luas terhadap
koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang
benar, keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input sensori.
2) Cerebellum
Terdapat dibagian belakang kranium menepati fosa serebri
posterior dibawah lapisan durameter. Cerebellum merangsang dan
menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap

11
koordinasi dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar,
keseimbangan posisi dan mengintegrasikan input sensori.
3) Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan medula oblomata.
Otak tengah midbrain/ ensefalon menghubungkan pons dan sereblum
dengan hemisfer sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik,
sebagai pusat reflek pendengaran dan penglihatan. Pons terletak didepan
sereblum antara otak tengah dan medula, serta merupakan jembatan antara
2 bagian sereblum dan juga antara medula dengan serebrum. Pons berisi
jarak sensorik dan motorik. Medula oblomata membentuk bagian inferior
dari batang otak, terdapat pusat-pusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi
vital seperti pernafasan, frekuensi jantung, pusat muntah, tonus vasomotor,
reflek batuk dan bersin.
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.
6. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior)
7. Vaskularisasi
Otak disuplai oleh arteri carotis interna dan arteri vetebralis, yaitu dua
arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus

12
Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya
yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak
dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.

3.1.2. Fisiologi
1. Tekanan Intra Kranial (TIK)
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat
mengakibatkan perubahan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan
mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap
penderita. TIK ini merupakan suatu keadaan dinamis yang berfluktuasi
secara terus menerus yang dapat berubah sebagai respon terhadap
berbagai aktivitas dan proses fisiologis tertentu seperti olahraga, batuk,
peregangan, denyut nadi dan siklus pernapasan. Secara klinis TIK bisa
diukur langsung dari intraventikuler, intraparenkim, subdural atau
epidural dimana dengan pengukuran secara terus menerus dapat
diperoleh informasi adanya perubahan fisiologis dan patologis didalam
rongga intrkranial. Pengukuran ini dapat bermanfaat dalam penanganan
penderita dengan kelainan intrakranial. TIK dipengaruhi oleh banyak
faktor antara lain orientasi sumbu kraniospinal terhadap gravitasi,

13
volume komponen intrakranial, elastan, dan tekanan atmosfer.5
Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan gangguan
fungsi otak dan mempengaruhi kesembuhan penderita. Jadi kenaikan
tekanan intrakranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya
masalah serius dalam otak, tetapi justru merupakan masalah
utamanya.TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg
(136mmH2O). TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal
dan TIK lebih dari 40mmHg termasuk ke dalam kenaikan TIK berat.
Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala semakin buruk prognosisnya.5
Tabel nilai normal tekanan intrakranial (TIK)
Usia Nilai Normal (mmHg)
Dewasa < 10-15
Anak-anak 3-7
Infants 1,5-6

2. Doktrin Monro-Kellie
Konsep utama doktrin Monro-Kellie adalah bahwa volume
intrakranial selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya
merupakan rongga yang tidak mungkin terekspansi. TIK yang normal
tidak berarti tidak adanya lesi massa intrakranial, karena TIK umumnya
tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik
dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume.5

14
3. Tekanan Perfusi Otak (TPO)
Tekanan perfusi otak merupakan indikator yang sama penting
dengan TIK. TPO mempunyai formula sebagai berikut: TPO = MAP –
TIK. Maka dari itu, mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada
penderita cedera kepala adalah sangat penting, terutama pada keadaan
TIK yang tinggi. TPO kurang dari 70 mmHg umunya berkaitan dengan
prognosis yang buruk pada penderita cedera kepala.5
4. Aliran Darah ke Otak (ADO)
Aliran darah ke otak normal kira-kira 50 ml/ 100 gr jaringan otak/
menit. Bila ADO menurun sampai 20-25ml/ 100 gr/ menit, aktivitas EEG
akan hilang dan pada ADO 5 ml/ 100 gr/ menit sel-sel otak mengalami
kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita trauma,
fenomena autoregulasi akan mempertahankan ADO pada tingkat konstan
apabila MAP 50-160 mmHg. Bila MAP < 50 mmHg ADO menurun
tajam, dan bila MAP > 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah
otak dan ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering mengalami
gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya penderita tersebut
sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemi sebagai akibat
hipotensi yang tiba-tiba.5
Bila mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi
kenaikaneksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang, terutama pada
penderitayang mengalami hipotensi. Maka dari itu, bila terdapat TTIK,
harusdikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap
harus dipertahankan.5

3.2. Cedera Kepala


3.2.1. Definisi
Didalam pembicaraan sehari-hari, kita menggunakan istilah Head Injury dan
Traumatic Brain Injury (TBI) untuk satu pengartian yang sama. Padahal
sesungguhnya kedua istilah tersebut diatas secara komprehensif berbeda. Dengan
istilah TBI, permasalahan utama hanya mencakup cedera pada jaringan otak,

15
sedangkan pada istilah Head Injury, kecuali cedera jaringan otak, juga mencakup
cedera pada tulang tengkorak dan kulit kepala. Untuk selanjutnya didalam
pembahasan lapkas ini akan dipergunakan istilah TBI dan Head Injury untuk
pengartian yang sama. TBI didefinisikan sebagai cedera pada kepala sebagai
akibat trauma tumpul (blunt trauma) atau trauma tembus (penetrating injury) atau
tenaga aselerasi / tenaga deselerasi yang menyebabkan gangguan fungsi otak
sementara atau permanen. Definisi TBI yang kita kenal selama ini, adalah trauma
yang mengenai kepala, dapat menyebabkan gangguan struktural dan atau
gangguan fungsional sementara atau menetap.6
3.2.2. Klasifikasi
Trauma brain injury (TBI) dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian berdasarkan
berat ringannya suatu cedera pada otak. Klasifikasi tersebut didasarkan pada
penilaian kesadaran dalam kuantitatif (glasgow coma scale).6
1) TBI ringan : GCS 13-15
2) TBI sedang : GCS 9-12
3) TBI berat : GCS 3-8
3.2.3. Etiologi dan Pathofisiologi
TBI memicu sederetan kejadian pada tingkat selular dan molekular
sehingga menimbulkan histochemical responses, molecular responses, dan genetic
response yang menyebabkan secondary insult, terutama keadaan iskemia, dan
memperberat cedera otak primer (primary brain damage). Akan tetapi sebaliknya,
beberapa dari respon ini ada yang bersifat neuroprotective.6
Biomechanical Charateristics of Neurotrauma from Brain Movement During
Impact
Subdural Hemorrhage (SDH) dan Diffuse Axonal Injury (DAI) keduanya
merupakan hal yang lebih mematikan daripada lesi otak yang lain pada TBI.
Gennarelli memperkirakan bahwa SDH disebabkan olah short duration and high
amplitude of angular accelerations, sedangkan DAI disebabkan oleh longer
duration and low amplitude of coronal accelerations.6

16
Dengan menggunakan collision test pada cadaver, Löwenhielm meng-
hipotesa-kan bahwa putusnya bridging veins pada kepala terjadi setelah
pergerakan anteroposterior rotations.6
Houlbourne menjelaskan bagaimana gesekan terjadi pada otak,
menunjukkan bahwa rotational acceleration forces merupakan penyebab utama
kerusakan pada otak6
Ommaya dan Gennarelli memperkirakan bahwa acceleration-deceleration
forces menyebabkan mechanical strains. Cedera ini dapat terjadi bila kepala
terputar melalui ruangan dan mendadak dihentikan oleh benda yang solid,
misalnya tanah (ground) atau bila kepala bergerak misalnya bila seorang petinju
dipukul wajahnya.6
Mekanisme terjadinya trauma kepala dapat secara:
1) Acceleration-Deceleration Forces
2) Static and Dynamic Loading
3) Contact Injury
4) Inertial Injury (Head motion Injury)
A. Primary Brain Injury
Semua cedera yang terjadi baik contact injury maupun inertial injury
adalah suatu primary brain damage. Pada beberapa buku tentang cedera kepala
terdapat perbedaan persepsi mengenai apa yang disebut sebagai secondary brain
damage. Beberapa penulis secara sederhana menempatkan intrakranial hematoma,
cerebral edema, hipoksia dan hipotensi sebagai suatu bentuk secondary brain
damage.6
Cerebral Contusion
Cerebral contusion dapat merupakan akibat dari focal impact atau diffuse
acceleration-deceleration forces. Aksentuasi gelombang yang menyebar dari
daerah impact dapat merusak jaringan otak yang berada dibawahnya. Bila tekanan
atau tegangan itu melampaui batas-batas toleransi jaringan otak dan pembuluh
darahnya maka akan terjadi kerusakan jaringan otak dan sistem pembuluh
darahnya, disebut sebagai direct cerebral contusion (coup contusion, yaitu

17
kontusio langsung dibawah tempat impact). Hal ini sering tampak pada kontusio
yang terjadi dibawah fraktur (fracture contusion).6
Sebuah kontusio otak yang khas terdiri dari perdarahan dibagian sentral
bercampur dengan daerah non-hemorrhagic necrosis dan jaringan otak yang
sebagian rusak dan edema. Dengan berkembangnya waktu daerah sentral ini akan
dikelilingi oleh zone of peri-contusional edema. Dalam beberapa kasus, didalam
kontusio otak dapat berkembang traumatic ICH. Didaerah sentral kontusio, tidak
terdapat aliran darah, dan aliran darah akan berkurang di zone of peri-contusional
edema, disini terdapat kerusakan autoregulation (vasoparalysis), sehingga daerah
perifer dari suatu kontusio akan rentan terhadap perfusi jaringan yang berkurang
karena menurunnya mean arterial pressure (MAP), atau peningkatan tekanan
intrakranial atau vasokontriksi yang terjadi akibat hipocapnia karena
hiperventilasi.6
Cerebral Laceration
Cerebral laceration menyerupai cerebral contusion, perbedaanya dari
cerebral contusion ialah pia-arachnoid pada permukaan yang terlibat trauma
menjadi rusak. Laserasi pada lobus frontalis dan lobus temporalis biasanya
berhubungan dengan lesi-lesi lain, seperti ICH dan SDH akut. Kombinasi ini
dinamakan 'burst frontal lobe' atau 'burst temporal lobe' dan SDH yang terjadi
disebut 'complicated SDH'.6
Cerebral laceration juga dapat terjadi karena cedera tembus (penetrating
injury) misalnya pada fraktur depresi bila bagian tajam dari fragmen tulang
menembus jaringan otak dan merusak piaarachnoid.6
Diffuse Axonal Injury
Diffuse brain injury dapat terjadi tanpa impact forces tetapi tergantung
pada inertial forces yang biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan
beberapa oleh trauma karena jatuh atau karena perkelahian. Inertial forces adalah
akibat dari perputaran kepala yang cepat (rapid head rotational motion) yang
menyebabkan deformasi substansia alba dan menyebabkan DAI, biasanya disebut
juga sebagai Shearing Brain Injury. Cedera ini biasa disebut sebagai diffuse, tetapi
melihat pola-pola cedera axon di substansia alba lebih tepat disebut multifocal,

18
dan terjadi di substansia alba dibagian dalam maupun di subcortical, terutama
sekali didaerah garis tengah termasuk splenium dari corpus callosum dan batang
otak. Pada low dan moderate DAI, biasanya tidak ditemukan keadaan patologik
makro pada pemeriksaan radiologis, tetapi pada pemeriksaan mikroskopik
ditemukan tanda-tanda keadaan patologik DAI, yaitu banyaknya axon-axon yang
membengkak dan putus. Pada DAI yang berat, keadaan patologik axon diikuti
oleh robekan jaringan dan perdarahan intraparenkimal. Tenaga mekanik utama
yang berhubungan dengan terjadinya DAI adalah rotational acceleration force
dari otak dimana terjadi pergerakan tiba-tiba dari kepala (tanpa halangan) pada
saat terjadinya trauma. Inertial loading pada otak akan menyebabkan gesekan
(shear), tarikan (tensile) dan regangan tekanan (compressive strain) didalam
jaringan otak sehingga terjadi deformasi jaringan otak.6
Didalam aktifitas normal sehari-hari, jaringan otak bersifat elastis terhadap
regangan dan dapat kembali kebentuknya semula. Akan tetapi sebaliknya, bila
tegangan (strain) terjadi dengan cepat seperti pada tabrakan mobil, jaringan otak
bersifat agak kaku dengan demikian terjadi uniaxial strecth atau tarikan dalam
arah memanjang (tensile elongation) yang akan menyebabkan cedera pada axonal
cytoskeleton.6
Acute Subdural Hematoma
Akut SDH lebih kurang 20% merupakan komplikasi pada TBI dan
mempunyai hasil akhir yang buruk pada penderita TBI berat.6
Komplikasi ini hampir selalu disebabkan oleh ruptur dari pembuluh-pembuluh
darah pada permukaan otak:
• Ruptur dari bridging veins
• SDH yang berasal dari arteri
• Ruptur dari pembuluh-pembuluh kecil di parenkim dan perdarahan yang
berasal dari kontusio

19
Chronic Subdural Hematoma
Suatu SDH dikatakan kronik, bila ditemukan 2-3 minggu setelah terjadi
cedera kepala. Kebanyakan pasien berusia lanjut, atau pecandu alkohol dan atrofi
serebri tampaknya merupakan predisposisi yang penting. Lesi bilateral ditemukan
pada 15% - 20% dari seluruh kasus. Cedera kepala biasanya ringan dan hampir
separuh dari semua kasus bahkan menyatakan tidak mengalami cedera kepala.
Penyebab pasti dari SDH kronik biasanya tidak diketahui, walaupun sering
dihubung-hubungkan dengan ruptur dari bridging veins.6
Suatu otak yang atrofi dapat menyebabkan pembentukan SDH tanpa ada
tekanan intrakranial yang meningkat, walaupun bertentangan, distorsi otak sering
begitu hebat, sehingga walaupun SDH sudah dievakuasi, otak tetap tertekan
dibawah duramater. Neuroimaging membuktikan bahwa akut SDH yang kecil
sering menghilang dan tidak berkembang menjadi kronik SDH.6
Epidural Hematoma
EDH didefinisikan sebagai darah yang berada diruang epidural. Bila tebal
hematoma lebih dari 1 cm dan volumenya lebih dari 25 ml , EDH akan
menunjukkan gejala-gejala klinis. Pada kasus-kasus yang fatal, volume
perdarahan paling tidak 100 ml. EDH terjadi 2% dari seluruh cedera kepala dan
lebih dari 15% dari cedera kepala yang fatal. Bekuan darah paling banyak

20
ditemukan di daerah temporoparietal (73%) dimana arteri menigea media dan
vena-vena mengalami kerusakan (putus) biasanya sebagai akibat fraktur tulang
temporal. Sebelas persen (11%) dari hematoma didapatkan di fossa kranial
anterior (anterior meningeal artery), 9% didaerah parasagittal (sinus sagittalis),
dan 7% di fossa posterior (occipital meningeal artery dan sinus-sinus transversus
dan sigmoid), 10% - 40% EDH merupakan perdarahan vena sebagai akibat
robekan sinus duramater, vena emissaria atau pelebaran vena (venous lakes) di
duramater. Kebanyakan EDH yang berasal dari sinus terdapat pada anak-anak dan
tidak berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak. Pada anak-anak dibawah usia
2 tahun, duramater sangat melekat pada tulang tengkorak dan arteri meningea
media tidak berada dalam alur tulang temporal, sehingga EDH jarang didapat
pada anak dibawah usia 2 tahun.6
Sering sekali cedera awal ringan kemudian penderita mengalami lucid
interval (20% dari seluruh kasus). Sepertiga bagian dari kasus EDH berhubungan
dengan cedera jaringan otak seperti, akut SDH, kontusio dan laserasi, sehingga
pasien tidak mengalami lucid interval, dan sudah tidak sadar sejak kejadian
trauma.6

EDH klasik yang terletak ditemporal akan mendorong jadingan otak


kearah medial sehingga terjadi herniasi uncus. Uncus akan menekan nervus

21
okulomotor sehingga pupil yang ipsilateral dengan hematoma akan melebar dan
tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya, pupil yang kontralateral reaksinya tetap
normal (refleks consensual).6
Traumatic Subarachnoid Hemorrhage
Traumatic Subaracnoid Hemorrhage (tSAH) merupakan kelainan yang paling
sering ditemukan pada TBI fatal, walaupun pada kebanyakan kasus TBI, adanya
tSAH tidak begitu bermakna. Bagaimanapun, suatu tSAH yang bermakna
biasanya berhubungan dengan kontusio kortikal dan laserasi atau traumatic
rupture dari arteri intrakranial dan bridging veins. Akumulasi darah mungkin
begitu masif sehingga merupakan suatu space occupying lesion. tSAH dapat
merupakan tanda bagi hasil akhir yang buruk, dan dapat menyebabkan
vasospasme dan iskemia seperti halnya pada SAH karena ruptur aneurysma. Suatu
basal SAH masif dan fatal, bukan karena ruptur aneurysma dapat terjadi karena
perkelahian (assaults), penderita akan meninggal dengan cepat. Ruptur arteri
vertebralis adalah penyebab yang paling sering pada cedera jenis ini. Ruptur arteri
vertebralis dapat terjadi di:6
• Ekstrakranial 28.8 %
• Intrakranial 50%
• Junction zone 21.2%
Traumatic Intracerebral Hemorrhage
Traumatic intracerebral hemorrhage (ICH) di definisikan sebagai
hematoma dengan diameter 2 cm atau lebih, tidak berhubungan dengan
permukaan otak. Patogenesis dari ICH disebabkan oleh deformasi atau ruptur dari
intrinsic blood vessels (single atau multipel) pada saat terjadi trauma. Traumatik
ICH sering multipel dan berhubungan dengan SDH (28%), dengan EDH (10%)
dan dapat timbul pada daerah yang tampaknya normal pada CT-Scan yang dibuat
sesudah terjadi cedera. Sepertiga sampai separuh dari pasien ICH, tidak sadar
pada saat dirawat dan sampai 20% menunjukkan klasik lucid interval sebelum
terjadi koma. Pasien dengan koma yang dalam, dan hematoma yang besar
mempunyai mortalitas yang tinggi. Hematoma yang besar, bertindak sebagai
space occupying lesion dan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan

22
herniasi transtentorial. Penelitian hewan menunjukkan adanya hipoperfusi
disekitar hematoma dan iskemia hemisfer ipsilateral. Pemeriksaan neuroimaging
menunjukkan bahwa traumatik ICH berkembang dalam waktu beberapa jam
sampai beberapa hari setelah trauma dan mungkin tidak tampak pada CT-Scan
pada saat segera setelah kejadian trauma. Delayed Traumatic Intracerebral
Hematoma (DTICH) merupakan penyebab yang sering dari secondary
neurological deterioration setelah cedera kepala, dan peningkatan yang progresif
dari ukuran ICH mencapai 51% dari pasien, pada pemeriksaan ulang 24 jam
pertama. DTICH dapat terjadi pada pasien dengan TBI berat atau pada pasien
dengan TBI yang relatif ringan. ICH dapat ditemukan beberapa jam, beberapa hari
atau beberapa minggu setelah trauma.6
Traumatic Intraventricular Hemorrhage
Intra ventricular hemorrhage (IVH) sering ditemukan pada penderita
cedera kepala yang tidak survive mencapai rumah sakit. Sering tidak mungkin
menentukan sumber perdarahan, tetapi perdarahan mungkin disebabkan robekan
pada vena-vena kecil pada dinding ventrikel, robekan pada corpus callosum,
septum pellucidum dan fornix atau robekan pada plexus choroideus. Telah
diperkirakan bahwa dilatasi yang tiba-tiba pada sistem ventrikel pada saat impact
mengakibatkan deformasi dan ruptur pada pembuluh-pembuluh vena
subependymal.6

Skull Fraktur
Patah tulang tengkorak dapat terjadi pada saat trauma akibat benturan, jenis-jenis
fraktur tulang tengkorak antara lain:6
- Linear skull fracture

23
- Depressed skull fracture
- Skull base fracture : anterior skull base fracture, middle skull base fracture
dan posterior skull base fracture

B. Secondary Brain Injury


Merupakan tahap lanjutan dari kerusakan otak primer dan timbul karena
kerusakan primer membuka jalan untuk kerusakan berantai karena berubahnya
struktur anatomi maupun fungsional dari otak misalnya meluasnya perdarahan,
edema otak, kerusakan neuron berlanjut, iskemia fokal/global otak, kejang,
hipertermi.6
Insult sekunder pada otak berakhir dengan kerusakan otak iskemik yang dapat
melalui beberapa proses:
a. Kerusakan otak berlanjut (progressive injury)
Terjadi kerusakan berlanjut yang progresif terlihat pada daerah otak yang
rusak dan sekitarnya serta terdiri dari 3 proses:6
o Proses kerusakan biokimia yang menghancurkan sel-sel
dansistokeletonnya. Kerusakan ini dapat berakibat:
- Edema sintotoksik karena kerusakan pompa natrium terutama pada
dendrit dan sel glia
- Kerusakan membran dan sitoskeleton karena kerusakan pada pompa
kalsium mengenai semua jenis sel
- Inhiblsi dari sintesis protein intraseluler
o Kerusakan pada mikrosirkulasi seperti vasoparisis, disfungsi membran
kapiler disusul dengan edema vasogenik. Pada mikrosirkulasi regional ini
tampak pula sludging dari sel-sel darah merah dan trombosit. Pada
keadaan ini sawar darah otak menjadi rusak.
o Perluasan dari daerah hematoma dan perdarahan petekial otak yang
kemudian membengkak akibat proses kompresi lokal dari hematoma dan
multipetekial. Ini menyebabkan kompresi dan bendungan pada pembuluh
di sekitarnya yang pada akhirnya menyebabkan peninggian tekanan
intrakranial

24
b. Insult otak sekunder berlanjut (delayed secondary barin injury)
Intrakranial
Karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat secara
berangsur-angsur dimana suatu saat mencapai titik toleransi maksimal dari
otak sehingga perfusi otak tidak cukup lagi untuk mempertahankan integritas
neuron disusul oleh hipoksia/hipoksemia otak dengan kematian akibat
herniasi, kenaikan TIK ini dapat juga akibat hematom berlanjut misalnya
pada hematoma epidural. Sebab TIK lainnya adalah kejang yang dapat
menyebabkan asidosis dan vasospasme/vasoparalisis karena oksigen tidak
mencukupi.
Sistemik
Perubahan sistemik akansangat mempengaruhi TIK. Hipotensi dapat
menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak berlanjut dengan iskemia
global. Penyebab gangguan sistemik ini disebut oleh Dearden (1995) sebagai
nine deadly Hs yaitu hipotensi , hipokapnia, hiperglikemia, hiperkapnia,
hiperpireksia, hipoksemia, hipoglikemia, hiponatremia dan hipoproteinemia.
Mechanism of Secondary Brain Damage
Sebagai konsekuensi dari initial mechanical impact terhadap jaringan otak,
cerebral metabolism, blood flow dan ion homeostasis akan berubah untuk
beberapa jam sampai beberapa hari, bahkan sampai beberapa bulan.6
Secondary Ischemic Neurological Damage
Inflamasi dan mekanisme cytotoxic pada cedera sering merupakan produk dari
iskemia. Iskemia dapat dianggap sebagai faktor yang paling penting yang
berhubungan dengan secondary damage setelah cedera otak awal. Focal injuries
membentuk zona dimana CBF sangat berkurang yang mungkin merupakan faktor
untuk terjadinya ischemic neuronal necrosis. Diperkirakan bahwa antara 60%-
90% pasien yang mengalami cedera kepala berat dan meninggal, menunjukkan
ischemic brain damage post mortem.6
Konsep delayed secondary neurological damage setelah cedera kepala juga
didukung oleh 'lucid interval' statistik. Diantara 30% - 40% pasien dengan cedera
kepalaberat dan meninggal, kadang-kadang, pada suatu saat akan menunjukkan

25
suatu periode lucid, cukup untuk menuruti perintah atau berbicara. Ini berarti
bahwa primary impact tidaklah cukup berat untuk melumpuhkan fungsi otak
secara keseluruhan, karena itu perlu menekankan pentingnya secondary damage.6
Pemantauan menunjukkan bahwa hampir 70% dari pasien-pasien dengan
cedera kepala berat menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial
selama perawatan di ICU sesuai / konsisten dengan konsep delayed secondary
neurological damage. CBF yang menurun akan menyebabkan kerusakan jaringan
otak. 6

3.2.4. Tatalaksana Pasien Cedera Kepala


Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya
cedera dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh
suatu tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf,
radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik.7,8

26
Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak
tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit,
diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan
atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hlpotensl, kejang
dan sebagalnya.7,8
Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas
dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:7,8,9
A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
1. Simple head injury (SHI)
Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa
maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka.
Pemeriksaan radlologik hanya atas Indikasi. Keluarga dilibatkan untuk
mengobservasi kesadaran.
2. Kesadaran terganggu sesaat
Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat
diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radlologik dibuat dan
penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.
B. Pasien dengan kesadaran menurun6,7,8
1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)
Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal
serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto
kepala. CT Scan kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada
riwayat lucid interval, pada follow up kesadaran semakinmenurun atau timbul
lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-
tanda vital.
2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)
Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh
karena itu urutan tindakannya sebagai berikut:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
b. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera

27
c. organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
d. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
e. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial
f. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
3. Cedera kepala berat (CGS=3-8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu
disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.

Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:9


a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)
Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan
pertama adalah:
 Jalan nafas (Air way)
Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi
kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal,
bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung
dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi
muntahan
 Pernafasan (Breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata,
pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation.
Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli
paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan
hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi
faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.
 Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan
sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial,
kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat

28
perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade
jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah
menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung danmengganti
darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah
b. Pemeriksaan fisik
Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil,
defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama
ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah
satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan
harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
c. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada danabdomen
dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang
tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom intrakranial
d. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom
intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya
dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20
mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
1. Hiperventilasi
Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang
terkontrol, dengan sasaran tekanan C02 (pC02) 27-30 mmHg dimana terjadi
vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral.
Hiperventilasi dengan pC02 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72
jam, lalu dicoba dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi
hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun
dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk
menyingkirkan hematom

29
2. Drainase
Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka
pendek dilakukan drainase ventrikulär, sedangkan untuk jangka panjang
dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus
3. Terapi diuretik
 Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak
normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang
intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.
Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5
gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak
melebihi 310 mOSm
 Loop diuretik (Furosemid)
Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada
edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek
sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis
40 mg/hari/iv
4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua
jenis terapi yang tersebut diatas.Cara pemberiannya:Bolus 10 mg/kgBB/iv
selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu
pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1
mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.
5. Streroid
Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi
menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak
digunakan lagi pada kasus cedera kepala

30
6. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan
bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang,
jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher
tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
e. Keseimbangan cairan elektrolit
Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah
bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari
diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl
starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCI 0,9% atau
ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena
terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan
tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal
dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan
peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi
gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan,
misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of
inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau
kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.
f. Nutrisi
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali
normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara
lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah
danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai
pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai,
sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
g. Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
epilepsi, setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih
sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur
impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.

31
h. Komplikasi sistematik
 Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi seperti:
pada fraktur tulang terbuka, luka luar dan fraktur basis kranii
 Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan
menambah kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh
karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi dengan menghilangkan
penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu dengan kompres
 Gastro-intestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan ini dapat
dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor
bloker.
 Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia, hipo
hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun
ada yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar tidak
memperparah kondisi pasien.
i. Neuroproteksi
Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan
jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan.
Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti pada penderita cedera kepala berat
antara lain, antagonis kalsium, antagonis glutama dan sitikolin

32
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien anak laki-laki dengan usia 10 tahun datang ke IGD RSUD Abdul
Aziz dengan penurunan kesadaran post KLL sejak ± 5 jam SMRS. Pasien
merupakan rujukan dari rumah sakit Pemangkat. Saat pasien datang, dilakukan
primary survey segera. Airway, breathing dan circulation dalam batas normal,
tetapi disability mengalami masalah akibat terjadinya trauma pada kepala. GCS
pasien saat pertama datang adalah 9 (E2V2M5).
Dari hal tersebut maka sudah dapat dikatakan pasien mengalami cedera
kepala sedang. Karena pasien mengalami penurunan kesadaran maka curiga topis
dari pasien adalah di otaknya, maka dilakukan pemeriksaan CT-Scan kepala
tanpa kontras atas indikasi trauma kepala. Dari hasil CT-Scan kepala tanpa
kontras, didapatkan terdapat perdarahan pada otak pasien, yaitu intra cerebral
hemorrhage sinistra putanea dan intraventrikular hemorrhage. Total perdarahan
pada otak pasien ini berkisar ±30,9 mL.
Apabila dilihat dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien
tidak sadar, kesadaran pasien sopor, dengan tanda vital terdapat nadi takikardi
yaitu 91x/menit, frekuensi napas pasien yaitu 24x/menit, tekanan darah 120/80
mmHg dan suhu 36,5ºC. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik pada kepala didapat
multiple vulnus excoriatum dan tidak ada tanda-tanda cedera cervikal,
pemeriksaan thoraks dalam batas normal hanya terdapat jejas pada daerah thorax
dextra sehingga diindikasikan untuk dilakukan rontgen thoraks AP. Pemeriksaan
abdomen dalam batas normal. Selain dilakukan pemeriksaan radiologi, pasien
juga diperiksa labarotarium darahnya, salah satu tujuannya adalah untuk
kepentingan operasi cito yang akan dilakukan. Pemeriksaan darah rutin
menunjukkan peningkatan leukosit hingga 26.900/µL dan yang lain dalam batas
normal. Peningkatan leukosit tersebut dapat terjadi akibat proses inflamasi akibat
adanya trauma.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan
penunjang maka dapat disimpulkan bahwa pasien ini mengalami cedera kepala

33
sedang dengan intra cerebral hemorrhage (L) putanea dan intraventrikular
hemorrage dengan total perdarahan sekitar ±30,9 cc.
Tatalaksana pada kasus ini yaitu diperlukannya cito untuk pemasangan
extra ventrikular drainage (EVD) agar dapat mengurangi peningkatan tekanan
intrakranial yang terjadi. Sedangkan tatalaksana yang dapat dilakukan pada
emergency room yaitu: penstabilan ABC, Head up 30º, O2 non-rebreathing mask
8-10 lpm, rawat luka, IVFD RL 10 tpm, Drip Phenytoine 50 mg / 8 jam dalam 100
NaCl 0,9%, Inj. Paracetamol infus 250 mg / 6 jam, drip Mersitropil 6 gr / 24 jam
10gtt.
Prognosis pada pasien ini yaitu dubia ad malam baik itu vitam, functionam
maupun sanactionam.

34
BAB V
KESIMPULAN

Pasien An. R, usia 10 tahun, didiagnosis mengalami cedera kepala sedang


dengan intra cerebral hemorrage (L) putanea dan intraventrikular hemorrage
dengan volume ± 30,9 cc dan diperlukan cito pemasangan EVD.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A,


Dian S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF
Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74.

2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma


Kapitis. In: Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. Jakarta: PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. p1-18.

3. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam


Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer.
2004. p1154.

4. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price SA.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2006. p1006-1042
5. Sherwood, L. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC.
2014.

6. Sastrodiningrat AG. Neurosurgery Lecture Notes. Usu Press: Sumatra Utara.


2012.
7. Jenneth B. management of head ijnury. Philadelphia; FA Davis, 1981

8. Judson JA. Management of severe and multiple trauma, in TE Oh(ed).


Sydney: Butterworth, 1990: 422-426
9. American College of Student. Advanced Trauma Life Support. 9th Edition.
United States of America. 2012.

36

Anda mungkin juga menyukai