Anda di halaman 1dari 11

Assessment (Penalaran klinik)

A. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan
diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas
yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat
berat penyakit (PDPI, 2010)
B. Faktor Resiko
Genetik Infeksi saluran nafas
Paparan lingkungan Hiperreaktivitas
Asap rokok asthma/bronkial
Polusi udara Status sosioekonomi
Polusi lingkungan kerja
C. Diagnosis
Spirometri diperlukan untuk menegakkan diagnosis pada konteks klinis, munculnya
postbronkodilator Volume Ekspirasi Paksa1 (VEP1)/ Kapasitas Vital Paksa (KVP) <
0,70 mengkonfirmasi bahwa terdapat pembatasan aliran udara yang persisten, atau PPOK
(GOLD, 2011).
Pertimbangkan PPOK dan lakukan spirometri, bila ada indicator di bawah ini yang
muncul pada pasien berusia >40 tahun. Indikator ini bukan sebagai alat diagnosis, namun
munculnya beberapa dari indicator kunci di bawah ini menaikkan probabilitas diagnosis
PPOK. Spirometri diperlukan untuk menegakkan diagnosis PPOK.

Dyspneu Progresif
Memberat
Persisten
Batuk kronis Bisa intermitten dan bisa tidak produktif
Produksi sputum Semua pola produksi sputum yg kronis
kronis mengindikasikan dgn PPOK
Riwayat paparan Rokok tembakau
faktor resiko Asap dari rumah tangga atau kendaraan
Debu dan zat kimia di lingkungan kerja
Riwayat keluarga
PPOK
D. Algoritma

E. Pemeriksaan Fisik
Bentuk dada : Barrel chest Hipersonor
Penggunaan otot bantu nafas Suara nafas vesikuler
Pelebaran sela iga melemah atau normal
Hipertrofi otot bantu nafas Ekspirasi memanjang
Fremitus melemah, sela iga Wheezing
melebar
F. Pemeriksaan Penunjang

Ro- thorax
Hiperinflasi
Hiperlusen Diafragma mendatar
Corakan bronkovaskuler
meningkat
Bulla
Jantung pendulum
G. Klasifikasi

Derajat Klinis VEP1/KVP VEP1


Derajat I : Gejala batuk kronik dan produksi < 70% 80 %
PPOK ringan sputum ada namun tidak sering.
Pada derajat ini pasien sering tidak
menyadari kalau fungsi paru mulai
menurun

Derajat II : Gejala sesak mulai dirasakan saat < 70% 50 80%


PPOK sedang aktivitas dan kadang ditemukan
gejala batuk dan produksi sputum.
Pada derajat ini biasanya pasien
mulai memeriksakan kesehatannya

Derajat III : Gejala sesak lebih berat, penurunan < 70% 3050%
PPOK Berat aktivitas, rasa lelah dan serangan
eksaserbasi makin sering dan
berdampak pada kualitas hidup
pasien

Derajat IV : Gejala di atas ditambah tanda-tanda < 70% <30% atau <50%
PPOK sangat berat gagal nafas atau gagal jantung disertai dengan
kanan dan ketergantungan oksigen. gagal nafas
Pada derajat ini kualitas hidup
pasien memburuk dan jika
eksaserbasi bisa mengancam jiwa

H. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
Di dalam GOLD (2011), dijelaskan bahwa terapi farmakologi untuk PPOK
digunakan untuk mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan keparahan
eksaserbasi, dan menaikkan status kesehatan dan toleransi latihan. Pilihan setiap
kelas obat tergantung pada ketersediaan dan biaya pengobatan serta respon
pasien. Setiap regimen terapi harus spesifik untuk pada tiap pasien dimana
hubungan antara keparahan gejala, keterbatasan aliran udara, dan keparahan
eksaserbasi akan berbeda pada setiap pasien. Ketika terapi akan diberikan melalui
rute inhalasi, perhatian terhadap efektivitas pemakaian obat dan latihan pada
pasien untuk teknik memakai inhaler sangat diperlukan.
Pilihan alat inhaler akan tergantung pada ketersediaan, harga, dokter yang
meresepkan, serta keterampilan dan kemampuan pasien. Pasien PPOK mungkin
akan mengalami kesulitan dengan inhalasi dosis terukur (IDT), sehingga penting
memastikan teknik inhaler benar dan selalu mengecek ulang bila pasien dating
kontrol. Inhalasi serbuk kering (ISK) bisa juga digunakan, namun biasanya pasien
akan lebih kesulitan memakai ISK. Banyak obat tersedia pula pada sediaan
larutan nebulizer, untuk pasien yang overinflasi sangat parah dan mungkin
mempunyai tingkat aliran inspirasi sangat rendah, maka nebulizer berguna secara
teoritis.
Terapi nebulizer hanya boleh diberikan pada pasien yang jelas mendapatkan
perbaikan gejala yang tidak bisa dicapai dengan alternative yang lebih sederhana,
lebih murah, dan lebih mudah dibawa-bawa.
Bronkodilator
Pengobatan yang menaikkan VEP1 atau mengubah variable spirometri
yang lain dengan jalan mengubah tonus otot polos jalan nafas, disebut
dengan bronkodilator, karena perbaikan aliran ekspirasi terjadi pada
melebarnya jalan nafas, bukan pada perubahan pada recoil elastic paru.
Pengobatan yang memperbaiki pengosongan paru, mempunyai
kecenderungan untuk mengurangi hiperinflasi dinamis saat istirahat
maupun saat berolahraga dan memperbaiki performa olahraga. Hubungan
antara dosis dan respon menggunakan VEP1 sebagai outcome relative
sama pada semua kelas bronkodilator. Toksisitas juga berkorelasi dengan
dosis. Menaikkan dosis baik agonis beta maupun antikolinergik, terutama
bila diberikan dengan nebulizer, lebih bermanfaat pada episode akut, tapi
tidak membantu pada PPOK stabil.
Pengobatan bronkodilator diberikan berdasarkan basis kebutuhan atau
basis regular untuk mencegah atau mengurangi gejala (bukti A).

Agonis Beta2
Prinsip kerja agonis beta2 adalah untuk merelaksasi otot polos jalan nafas
dengan menstimulasi reseptor beta adrenergik, yang menaikkan AMP
siklik dan memproduksi antagonis fungsional terhadap bronkokonstriksi.
Efek bronkodilator dari agonis beta2 kerja singkat akan hilang dalam 4-6
jam.
Penggunaan agonis beta2 yang teratur dan sesuai kebutuhan memperbaiki
VEP1 dan gejala (bukti B). Penggunaan agonis beta2 kerja singkat dosis
tinggi pada saat dibutuhkan pada pasien yang sudah diterapi dengan
bronkodilator kerja lama tidak direkomendasikan.
Agonis beta2 kerja lama mempunyai durasi kerja 12 jam atau lebih.
Formoterol dan salmeterol secara signifikan memperbaiki VEP1 dan
volume paru, dispneu, kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan dan
tingkat eksaserbasi (bukti A), namun tidak memiliki efek terhadap
mortalitas dan tingkat penurunan fungsi paru. Salmeterol mengurangi
tingkat mondok (bukti B).
Indacaterol adalah agonis beta2 kerja lama baru yang memiliki durasi
kerja 24 jam, secara signifikan memperbaiki VEP1, dispneu, dan kualitas
hidup yang terkait kesehatan (bukti A).
Efek samping : stimulasi reseptor beta2 adrenergik dapat menyebabkan
sinus takikardi saat istirahat dan mempunyai potensi untuk memicu
gangguan ritme jantung pada pasien yang rentan namun secara klinis
tidak ada implikasinya. Tremor somatic yang berlebihan merupakan
masalah pada pasien usia tua yang diterapi dengan agonis beta2 dengan
dosis tinggi dengan rute administrasi apapun dan batas dosis yang bisa
ditoleransi. Walaupun bisa terjadi hipokalemia, terutama bila dikombinasi
dengan diuretic thiazid dan konsumsi oksigen bisa dinaikkan pada kondisi
istirahat, efek metabolic ini menyebabkan kerja bronkodilator menjadi
tidak optimal. PO2 bisa turun sedikit setelah administrasi agonis beta2
namun tidak signifikan secara klinis. Tidak ada hubungan antara
penggunaan agonis beta2 dengan percepatan berkurangnya fungsi paru
atau naiknya mortalitas pada PPOK.

Antikolinergik
Efek antikolinergik (ipratropium, oksitropium, dan tiotropium bromide)
yang paling penting pada pasien PPOK adalah blockade efek asetilkolin
pada reseptor muskarinik. Obat kerja singkat memblok reseptor M2 dan
Mr dan memodifikasi transmisi pada pre ganglionic junction, walaupun
efek ini kurang penting pada PPOK.
Antikolinergik kerja lama tiotropium mempunyai farmakokinetik yang
selektif untuk reseptor M1 dan M3.
Efek bronkodilasi dari antikolinergik kerja singkat yang diinhalasi
bertahan lebih lama dari agonis beta2, dengan beberapa efek bronkodilator
secara umum bekerjasampai 8 jam setelah administrasi.
Tiotropium mempunyai durasi kerja > 24 jam. Tiotropium mengurangi
eksaserbasi dan kebutuhan mondok, memperbaiki gejala dan status
kesehatan (bukti A) dan memperbaiki efektivitas rehabilitasi pulmoner
(bukti B).
Efek samping : obat antikolinergik sulit diabsorbsi sehingga efek
sistemiknya terbatas. Penggunaan agen inhalasi yang banyak pada rentang
dosis yang lebar terbukti sangat aman. Efek samping utama adalah
keringnya mulut. 21 hari setelah menginhalasi tiotropium, 18 mcg/hari
dalam bubuk kering, tidak menunda pembersihan mucus dari paru.
Beberapa pasien yang menggunakan ipratropium merasakan pahit dan
seperti metal.
Penggunaan larutan dengan facemask dilaporkan memicu glaucoma akut,
mungkin karena efek langsung larutan ke mata.

Metilxantin
Teofilin, metilxantin yang paling banyak digunakan, dimetabolisme oleh
oksidase fungsi campuran sitokrom P450.
Klirens obat menurun sesuai usia. Banyak variable fisiologis lain dan
obat-obatan yang mengubah metabolism dari teofilin. Semua penelitian
menunjukkan efikasi teofilin pada PPOK didapatka dari preparat yang
lepas lambat. Teofilin kurang efektif dan kurang bisa ditoleransi bila
dibandingkan dengan bronkodilator kerja lama yang diinhalasi dan tidak
direkomendasi bila bronkodilator lain tersedia dan terjangkau.
Bagaimanapun juga, ada bukti untuk efek bronkodilator yang terbatas
dibandingkan dengan placebo pada PPOK stabil (bukti A).
Penambahan teofilin pada salmeterol membuat perbaikan yang lebih besar
pada VEP1 dan sesak nafas dibandingkan dengan salmeterol saja (bukti
B).
Teofilin dosis rendah mengurangi eksaserbasi namun tidak memperbaiki
fungsi paru post bronkodilator (bukti B). Efek samping : Toksisitas
bergantung pada dosis, masalah yang khusus terjadi pada derivate xanthin
karena rentang terapinya kecil dan kebanyakaan efek terapi muncul hanya
jika diberikan pada dosis yang mendekati toksik. Insomnia, mual, dan
heartburn dapat terjadi pada rentang terapi teofiin serum.
Pengobatan ini juga memiliki interaksi yang signifikandengan digitalis,
coumadin, dll. Tidak seperti bronkodilator yang lain, derivate xanthin
memiliki risiko overdosis (baik disengaja maupun tidak).

Kombinasi terapi bronkodilator


Mengkombinasikan bronkodilator dengan mekanisme dan durasi kerja
yang berbeda bisa menaikkan derajat dilatasi bronkus dengan efek
samping yang sama atau lebih sedikit.
Sebagai contoh, kombinasi dari agonis beta2 kerja singkat dan
antikolinergik menghasilkan perbaikan yang lebih banyak pada VEP1
daripada masing-masing obat sendiri dan tidak menimbulkan takifilaksis
(berkurangnya efek obat) selama lebih dari 90 hari terapi.
Kombinasi agonis beta2, antikolinergik, dan/atau teofilin menunjukkan
perbaikan tambahan pada fungsi paru dan status kesehatan. Terapi singkat
menggunakan kombinasi formoterol dan tiotropium menunjukkan dampak
yang lebih besar pada VEP1 daripada komponen tunggal (bukti B).
Kombinasi dari agonis beta2 kerja singkat dan antikolinergik juga lebih
baik dibandingkan dengan pengobatan tunggal yang lain dalam
memperbaiki VEP1 dan gejala (bukti B).

Kortikosteroid
o Kortikosteroid inhalasi
Hubungan dosis dengan respon dan keamanan penggunaan jangka panjang
dari kortikosteroid inhalasi tidak diketahui. Efikasi dan efek samping dari
kortikosteroid inhalasi pada asthma tergantung pada dosis dan tipe
kortikosteroid, namun pada PPOK hal ini masih belum jelas.
Efek kortikosteroid pada inflamasi pulmoner dan sistemik pada pasien
PPOK masih kontroversial, dan peran kortikosteroid pada penanganan
PPOK stabil masih terbatas pada indikasi yang spesifik. Terapi teratur
dengan kortikosteroid inhalasimemperbaiki gejala, fungsi paru, dan
kualitas hidup, dan mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien PPOK
dengan VEP1 prediksi <60% (bukti A).
Penghentian kortikosteroid inhalasi bisa menyebabkan eksaserbasi pada
beberapa pasien. Terapi regular dengan kortikosteroid inhalasi tidak
mengubah penurunan VEP1 atau mortalitas pada pasien dengan PPOK
(bukti A). Efek samping : penggunaan kortikosteroid inhalasi
dihubungkan prevalensi tinggi terjadinya kandidiasis oral, suara serak, dan
kulit lebam. Terapi dengan kortikosteroid inhalasi juga dihubungkan
dengan naiknya risiko pneumonia. Terdapat penelitian yang menunjukkan
bahwa tidak ada efek budesonid pada densitas tulang dan tingkat fraktur.
o Kombinasi kortikosteroid inhalasi dengan bronkodilator
Kortikosteroid inhalasi dikombinasikan dengan agonis beta2 kerja lama
lebih efektif dalam memperbaiki fungsi paru dan status kesehatan serta
mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan PPOK sedang (bukti B)
sampai PPOK sangat berat (bukti A).
Terapi kombinasi ini dihubungkan dengan naiknya risiko pneumonia
namun tidak ada efek samping lain yang signifikan (bukti A).
Penambahan kombinasi agonis beta2 kerja lama/kortikosteroid inhalasi
pada tiotropium memperbaiki fungsi paru dan kualitas hidup dan
selanjutnya bisa mengurangi eksaserbasi (bukti B).
o Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid oral mempunyai beberapa efek samping. Efek samping
yang penting selama terapi jangka panjang PPOK dengan kortikosteroid
oral adalah miopati steroid yang menyebabkan kelemahan otot, fungsional
menurun, dan gagal nafas pada subyek dengan PPOK sangat berat
Mukolitik
Penggunaan mukolitik pada PPOK sebenarnya masih kontroversial. Pada
beberapa pasien dengan sputum kental, penggunaan mukolitik mungkin
bermanfaat. Ada penelitian yang menyebutkan bahwa pada pasien PPOK
yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi, terapi dengan mukolitik bisa
mengurangi eksaserbasi (bukti B).

Obat obatan untuk PPOK


Obat Inhalasi Nebulize Oral Vial Lama
(ugr) r (mg) (mg) injeksi Kerja (jam)
Antikolinergik
Short-acting
Ipatropium 40-80 0,25- - - 6-8
0,50
Long-acting
Tiotropium 18 24
Agonis B2
Short-acting
Fenoterol 100-200 0,5-2,0 - 4-6
Salbutamol 100-200 2,5- 5,0 2-4 4-6
Terbutaline 250-500 5-10 2,5-5 4-6
Procaterol 10 - 0,25- 0,5 6-8
Long- acting
Formoterol 4,5 12 - - 12
Salmeterol 50- 100 - - 12
Terapi kombinasi
Fenoterol+ Ipatropium 200+20 - 4-8
Salbutamol+ 75+15 2,5+ 0,5 - 4-8
Ipatropium 50/125+25 12
80/160+4,5 12
Fluticasone+ Salmeterol
Budesonide+Formoterol
Metilxanthin
Aminophylline - - 200 240 4-6
Theophylline LL - - 100-400 Bervariasi,bs
smp 24
Kortikosteroid
Beclomethasone 100, 200
Budesonide 100,200,400 0,5
Fluticasone 0,5
Kortikosterid sistemik
Prednisone 5, 30
Methylprednisolone 10-1000 4,8,18 125

2. Non farmakologi
Rehabilitasi
Tujuan utama rehabilitasi paru adalah untuk mengurangi gejala,
memperbaiki kualitas hidup, dan menaikkan partisipasi fisik dan emosi
pada aktivitas sehari-hari. Termasuk didalamnya adalah latihan fisik,
konseling gizi, motivasi, edukasi, dll.

Terapi Oksigen
Administrasi oksigen jangka panjang (>15 jam/hari) pada pasien dengan
gagal nafas kronis menunjukkan kenaikkan survival pasien dengan
hipoksemia istirahat yang parah (bukti B). Terapi oksigen jangka panjang
diindikasikan pada pasien yang :
o PaO2 pada atau di bawah 55 mmHg atau SaO2 pada atau di bawah
88%, dengan atau tanpa hiperkapnia yang dikonfirmasi 2 kali
dalam waktu 3 minggu (bukti B) atau
o PaO2 antara 55-60 mmHg atau SaO2 88%, bila ada tanda
hipertensi pulmoner, edema perifer yang menunjukkan adanya
gagal jantung kongestif atau polisitemia (Hct >55%) (bukti D)
Keputusan untuk menggunakan oksigen jangka panjang harus
didasarkan pada PaO2 istirahat atau nilai saturasi yang diulangi 2
kali dalam 3 minggu pada pasien stabil. Harus hati-hati pada
pasien yang memiliki komorbiditas yang mungkin mengganggu
penghantaran oksigen ke jaringan, misalnya gangguan jantung atau
anemia).
Ventilator
Ventilasi yang tidak invasive mulai meningkat penggunaannya pada
pasien PPOK stabil yang sangat berat. Kombinasi ventilasi tidak invasive
dengan terapi oksigen jangka panjang bisa menaikkan tingkat survival tapi
tidak memperbaiki kualitas hidup.
Lung Volume Reduction Surgery
LVRS adalah prosedur bedah dimana bagian paru direseksi untuk
mengurangi hiperinflasi, sehingga otot pernafasan lebih efektif dengan
memperbaiki efisiensi mekanis. LVRS juga menaikkan tekanan recoil
elastic paru yang memperbaiki aliran ekspirasi dan mengurangi
eksaserbasi.

Transplantasi Paru
Pada pasien PPOK sangat berat, transplantasi paru terbukti memperbaiki
kualitas hidup dan kapasitas fungsional. Namun harus diingat bahwa
transplantasi paru mempunyai banyak risiko.

PPOK EKSASERBASI AKUT


kejadian akut yang dicirikan dengan memburuknya gejala respirasi pasien yang melebihi
variasi normal dari hari ke hari.
Penyebab yang paling sering adalah infeksi saluran nafas (virus atau bakteri). Polusi
udara juga bisa memicu eksaserbasi.
Gejala eksaserbasi :

1. Batuk makin sering /hebat


2. Produksi sputum bertambah banyak
3. Sputum berubah warna
4. Sesak napas bertambah
5. Keterbatasan aktivitas bertambah
6. Terdapat gagal napas akut pada gagal napas kronik
7. Kesadaran menurun

Prinsip penatalaksanaan :

1. Optimalisasi penggunaaan obat :


a. Bronkodilator
Agonis B2 short-acting kombinasi dengan antikolinergik per inhalasi (nebuliser)
Xanthin intravena (bolus dan drip)
b. Kortikosteroid sistemik
c. Antibiotik
Gol. Macrolide baru (Azithromycin, Roxythromycin, Clarthromycin)
Gol. Kuinolon
Cephalosporin generasi III/ IV
d. Mukolitik
e. Ekspektoran
2. Terapi oksigen
3. Terapi nutrisi
4. Rehabilitasi fisik dan respirasi
5. Evaluasi progresivitas penyakit
6. Edukasi

Indikasi rawat :

1. Eksaserbasi sedang dan berat


2. Terdapat kompilkasi
3. Infeksi saluran napas berat
4. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
5. Gagal jantung kanan

Indikasi rawat ICU :

1. Sesak berat setelah penanganan adekuat di IGD/ bangsal


2. Kesadaran menurun/letargi, atau kelemahan otot respirasi
3. Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau perburukan PaO2 <50 atau PaCO2 > 50
mmHg memerlukan ventilasi mekanis (invasif/ non invasif)
DAFTAR PUSTAKA

Donohue, J.F., Sheth, K. 2006. Ashtma and COPD : Management Strategies for Primary
Care Provider. Medical Communication Media : US

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2009. Global Strategy
for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (Revised). National Institute of Health. National Heart, Lung, and Blood
Institute

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2011. Global Strategy for
the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (Revised). National Institute of Health. National Heart, Lung, and Blood
Institute

McPhee, S.J., Papadakis, M.A, Tierney Jr, L.M. 2008. Chronic Obstructive Pulmonary
Disease, In : Current Medical Diagnosis and Treatment 47th Ed. Lange : San Fransisco

National Institute of Health (NIH). 1995. Chronic Obstructive Pulmonary Disease.


National Institute of Health. National Heart, Lung, and Blood Institute

PDPI. 2010. PPOK : Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.


PDPI : Jakarta

Scanlon, P.D. 2004. The Pathogenesis and Pathology of COPD : Identifying Risk Factors
And Improving Morbidity and Mortality. Adv Stud Med. ;4(10A):S744-S749

Universitas Sumatera Utara. 2011. Penyakit Paru Obstruktif Kronis. USU : Medan

WHO. 2005. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. World Health Organization :


Switzerland

Anda mungkin juga menyukai