Anda di halaman 1dari 9

FASCIAL SPACE ABSCESS

Patogenesa Dan Pola Penyebaran

Saluran pulpa yang sempit menyebabkan drainase yang tidak sempurna


pada pulpa yang terinfeksi, namun dapat menjadi tempat berkumpulnya bakteri
dan menyebar kearah jaringan periapikal secara progresif. Ketika infeksi
mencapai akar gigi, jalur patofisiologi proses infeksi ini dipengaruhi oleh jumlah
dan virulensi bakteri, ketahanan host, dan anatomi jaringan yang terlibat.

Abses merupakan rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh
infeksi bakteri campuran. Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan abses
ini yaitu Staphylococcus aureus dan Streptococcus mutans. Staphylococcus
aureus dalam proses ini memiliki enzim aktif yang disebut koagulase yang
fungsinya untuk mendeposisi fibrin. Sedangkan Streptococcus mutans memiliki 3
enzim utama yang berperan dalam penyebaran infeksi gigi, yaitu streptokinase,
streptodornase, dan hyaluronidase. Hyaluronidase adalah enzim yang bersifat
merusak jembatan antar sel, yang pada fase aktifnya nanti, enzim ini berperan
layaknya parang yang digunakan petani untuk merambah hutan.

1
Seperti yang kita semua ketahui, pada umumnya abses merupakan proses
yang kronis, meskipun sebenarnya ada juga abses periapikal akut, namun di
catatan ini saya hendak membahas mengenai perjalanan abses secara kronis.

Seperti yang disebutkan diatas, bakteri Streptococcus mutans (selanjutnya


disingkat S.mutans) memiliki 3 macam enzim yang sifatnya destruktif, salah
satunya adalah enzim hyaluronidase. Enzim ini berperan layaknya parang petani
yang membuka hutan untuk dijadikan ladang persawahannya, ya.. enzim ini
merusak jembatan antar sel yang terbuat dari jaringan ikat (hyalin/hyaluronat),
kalau ditilik dari namanya hyaluronidase, artinya adalah enzim pemecah
hyalin/hyaluronat. Padahal, fungsi jembatan antar sel penting adanya, sebagai
transpor nutrisi antar sel, sebagai jalur komunikasi antar sel, juga sebagai unsur
penyusun dan penguat jaringan. Jika jembatan ini rusak dalam jumlah besar, maka
dapat diperkirakan, kelangsungan hidup jaringan yang tersusun atas sel-sel dapat
terancam rusak/mati/nekrosis.

Proses kematian pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah enzim
dari S.mutans tadi, akibatnya jaringan pulpa mati, dan menjadi media
perkembangbiakan bakteri yang baik, sebelum akhirnya mereka mampu
merambah ke jaringan yang lebih dalam, yaitu jaringan periapikal.

Pada perjalanannya, tidak hanya S.mutans yang terlibat dalam proses


abses, karenanya infeksi pulpo-periapikal seringkali disebut sebagai mixed
bacterial infection. Kondisi abses kronis dapat terjadi apabila ketahanan host
dalam kondisi yang tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi. Yang
terjadi dalam daerah periapikal adalah pembentukan rongga patologis abses
disertai pembentukan pus yang sifatnya berkelanjutan apabila tidak diberi
penanganan.

Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya


mengundang respon keradangan untuk datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut,
namun karena kondisi hostnya tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup
tinggi, yang terjadi alih-alih kesembuhan, namun malah menciptakan kondisi
abses yang merupakan hasil sinergi dari bakteri S.mutans dan S.aureus.

S.mutans dengan 3 enzimnya yang bersifat destruktif tadi, terus saja


mampu merusak jaringan yang ada di daerah periapikal, sedangkan S.aureus
dengan enzim koagulasenya mampu mendeposisi fibrin di sekitar wilayah kerja
S.mutans, untuk membentuk sebuah pseudomembran yang terbuat dari jaringan
ikat, yang sering kita kenal sebagai membran abses (oleh karena itu, jika dilihat
melalui ronsenologis, batas abses tidak jelas dan tidak beraturan, karena jaringan
ikat adalah jaringan lunak yang tidak mampu ditangkap dengan baik dengan
ronsen foto). Ini adalah peristiwa yang unik dimana S.aureus melindungi dirinya
dan S.mutans dari reaksi keradangan dan terapi antibiotika.

2
Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses
saja yang terjadi pada peristiwa pembentukan abses ini, tapi juga ada
pembentukan pus oleh bakteri pembuat pus (pyogenik), salah satunya juga adalah
S.aureus. jadi, rongga yang terbentuk oleh sinergi dua kelompok bakteri tadi,
tidak kosong, melainkan terisi oleh pus yang konsistensinya terdiri dari leukosit
yang mati (oleh karena itu pus terlihat putih kekuningan), jaringan nekrotik, dan
bakteri dalam jumlah besar.

Secara alamiah, sebenarnya pus yang terkandung dalam rongga tersebut


akan terus berusaha mencari jalan keluar sendiri, namun pada perjalanannya
seringkali merepotkan pasien dengan timbulnya gejala-gejala yang cukup
mengganggu seperti nyeri, demam, dan malaise. Karena mau tidak mau, pus
dalam rongga patologis tersebut harus keluar, baik dengan bantuan dokter gigi
atau keluar secara alami.

Rongga patologis yang berisi pus (abses) ini terjadi dalam daerah
periapikal, yang notabene adalah di dalam tulang. Untuk mencapai luar tubuh,
maka abses ini harus menembus jaringan keras tulang, mencapai jaringan lunak,
lalu barulah bertemu dengan dunia luar. Terlihat sederhana memang, tapi
perjalanan inilah yang disebut pola penyebaran abses.

Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu (lagi-lagi)


virulensi bakteri, ketahanan jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang
tinggi mampu menyebabkan bakteri bergerak secara leluasa ke segala arah,
ketahanan jaringan sekitar yang tidak baik menyebabkan jaringan menjadi rapuh
dan mudah dirusak, sedangkan perlekatan otot mempengaruhi arah gerak pus.

Sebelum mencapai dunia luar, perjalanan pus ini mengalami beberapa


kondisi, karena sesuai perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone,
pus bergerak menuju ke arah tepian tulang atau lapisan tulang terluar yang kita
kenal dengan sebutan korteks tulang. Tulang yang dalam kondisi hidup dan
normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis yang tervaskularisasi dengan baik guna
menutrisi tulang dari luar, yang disebut periosteum. Karena memiliki vaskularisasi
yang baik ini, maka respon keradangan juga terjadi ketika pus mulai mencapai
korteks, dan melakukan eksudasinya dengan melepas komponen keradangan dan
sel plasma ke rongga subperiosteal (antara korteks dan periosteum) dengan tujuan
menghambat laju pus yang kandungannya berpotensi destruktif tersebut. Peristiwa
ini alih-alih tanpa gejala, tapi cenderung menimbulkan rasa sakit, terasa hangat
pada regio yang terlibat, bisa timbul pembengkakan, peristiwa ini disebut
periostitis/serous periostitis. Adanya tambahan istilah serous disebabkan
karena konsistensi eksudat yang dikeluarkan ke rongga subperiosteal
mengandung kurang lebih 70% plasma, dan tidak kental seperti pus karena
memang belum ada keterlibatan pus di rongga tersebut. Periostitis dapat
berlangsung selama 2-3 hari, tergantung keadaan host.

3
Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak
mampu menghambat aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi
yang disebut abses subperiosteal. Abses subperiosteal terjadi di rongga yang
sama, yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan lapisan periosteum, bedanya
adalah.. di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus, alias pus sudah berhasil
menembus korteks dan memasuki rongga subperiosteal, karenanya nama abses
yang tadinya disebut abses periapikal, berubah terminologi menjadi abses
subperiosteal. Karena lapisan periosteum adalah lapisan yang tipis, maka dalam
beberapa jam saja akan mudah tertembus oleh cairan pus yang kental, sebuah
kondisi yang sangat berbeda dengan peristiwa periostitis dimana konsistensi
cairannya lebih serous.

Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang
tadi, maka dengan bebasnya, proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial
space terdekat, karena telah mencapai area jaringan lunak. Apabila infeksi telah
meluas mengenai fascial spaces, maka dapat terjadi fascial abscess. Fascial
spaces adalah ruangan potensial yang dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh lapisan
jaringan ikat. Fascial spaces dibagi menjadi :

Fascial Spaces Primer


1. Maksila
a. Canine spaces
b. Buccal spaces
c. Infratemporal spaces

2. Mandibula
a. Submental spaces
b. Buccal spaces
c. Sublingual spaces
d. Submandibular spaces

Fascial Spaces Sekunder

Fascial spaces sekunder merupakan fascial spaces yang dibatasi oleh


jaringan ikat dengan pasokan darah yang kurang. Ruangan ini berhubungan secara
anatomis dengan daerah dan struktur vital. Yang termasuk fascial spaces sekunder
yaitu masticatory space, cervical space, retropharyngeal space, lateral pharyngeal
space, prevertebral space, dan body of mandible space. Infeksi yang terjadi pada
fascial spaces sekunder berpotensi menyebabkan komplikasi yang parah.
Terjadinya infeksi pada salah satu atau lebih fascial space yang paling sering oleh
karena penyebaran kuman dari penyakit odontogenik terutama komplikasi dari
periapikal abses. Pus yang mengandung bakteri pada periapikal abses akan
berusaha keluar dari apeks gigi, menembus tulang, dan akhirnya ke jaringan
sekitarnya, salah satunya adalah fascial spaces. Gigi mana yang terkena periapikal
abses ini kemudian yang akan menentukan jenis dari fascial spaces yang terkena
infeksi.

4
KETERANGAN :

Canine Spaces

Canine space adalah ruang yang terletak diatas perlekatan m. levator


anguli oris dan dibawah perlekatan m. levator labii superior. Infeksi daerah ini
disebabkan periapikal abses dari gigi caninus maksila. Gejala klinisnya yaitu
pembengkakan pipi bagian depan dan hilangnya lekukan nasolabial. Penyebaran
lanjut dari infeksi canine spaces dapat menyerang daerah infraorbital dan sinus
kavernosus.

Buccal Spaces

Terletak sebelah lateral dari m. buccinator dan berisi kelenjar parotis dan
n. facialis. Infeksi berasal dari gigi premolar dan molar yang ujung akarnya berada
di atas perlekatan m. buccinator pada maksila atau berada di bawah perlekatan m.
buccinator pada mandibula. Gejala infeksi yaitu edema pipi dan trismus ringan.

5
Infratemporal Spaces

Terletak di posterior dari maksila, lateral dari proc. Pterigoideus, inferior


dari dasar tengkorak, dan profundus dari temporal space. Berisi nervus dan
pembuluh darah. Infeksi berasaal dari gigi molar III maksila. Gejala infeksi
berupa tidak adanya pembengkakan wajah dan kadang terdapat trismus bila
infeksi telah menyebar.

Submental Space

Infeksi berasal dari gigi incisivus mandibula. Gejala infeksi berupa


bengkak pada garis midline yang jelas di bawah dagu.

6
Sublingual Space

Terletak di dasar mulut, superior dari m. mylohyoid, dan sebelah medial


dari mandibula. Infeksi berasal dari gigi anterior mandibula dengan ujung akar di
atas m. mylohyoid. Gejala infeksi berupa pembengkakan dasar mulut,
terangkatnya lidah, nyeri, dan dysphagia.

Submandibular Space

Terletak posterior dan inferior dari m. mylohyoid dan m. platysma. Infeksi


berasal dari gigi molar mandibula dengan ujung akar di bawah m. mylohyoid dan
dari pericoronitis. Gejala infeksi berupa pembengkakan pada daerah segitiga
submandibula leher disekitar sudut mandibula, perabaan terasa lunak dan adanya
trismus ringan.

7
Masticator Space

Berisi m. masseter, m. pterygoid medial dan lateral, insersi dari m.


temporalis. Infeksi berasal dari gigi molar III mandibula. Gejala infeksi berupa
trismus dan jika abses besar maka infeksi dapat menyebar ke lateral pharyngeal
space. Pasien membutuhkan intubasi nasoendotracheal untuk alat bantu bernapas.

Lateral Pharyngeal Space (Parapharyngeal Space)

Berhubungan dengan banyak space di sekelilingnya sehingga infeksi pada


daerah ini dapat dengan cepat menyebar. Gejala infeksi berupa panas, menggigil,
nyeri dysphagia, trismus.

8
Retropharyngeal Space (Posterior Visceral Space)

Infeksi berasal dari gigi molar mandibula, dari infeksi saluran pernapasan
atas, dari tonsil, parotis, telinga tengah, dan sinus. Gejala infeksi berupa kaku
leher, sakit tenggorokan, dysphagia, hot potato voice, stridor. Merupakan infeksi
fascial spaces yang serius karena infeksi dapat menyebar ke mediastinum dan
daerah leher yang lebih dalam (menyebabkan kerusakan n. vagus dan n cranial
bawah, Horner syndrome).

PRINSIP TERAPI

Pada dasarnya, prinsip terapi abses adalah insisi untuk drainase


(mengeluarkan cairan pus), dengan catatan, prinsip ini dipergunakan untuk abses
yang berada di jaringan lunak. Lalu bagaimana dengan abses periapikal? Yang
terjadi didalam tulang? Biasanya abses periapikal memiliki kondisi khas berupa
gigi mengalami karies besar dan terasa menonjol, sakit bila digunakan
mengunyah, kadang terasa ada cairan asin keluar dari gigi yang berlubang
tersebut. Terapi kegawat-daruratannya dalam kondisi ini tentunya belum dapat
dilakukan insisi, oleh karena pus berada dalam tulang, namun yang dapat
dilakukan adalah melakukan prosedur open bur, melakukan eksterpasi guna
mengeluarkan jaringan nekrotik, oklusal grinding, dan pemberian terapi
farmakologi.

Anda mungkin juga menyukai