Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

Abses merupakan suatu proses supuratif yang terlokalisir. lnfeksi


orofasial merupakan suatu peradangan di rongga mulut dan jaringan
sekitarnya yang berasal dan odontogenik maupun non odontogenik, Infeksi
orofasial yang berasal dan odontogenik merupakan kausa yang paling
sering dijumpai. Abses merupakan infeksi yang gambaran utamanya berupa
pembentukan pus. Pus merupakan pertahanan efektif terhadap penjalaran
infeksi dan cenderung berpindah akibat pengaruh tekanan, gravitasi, panas
lokal atau lapisan otot dekat permukaan.
Abses merupakan rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan
oleh infeksi bakteri campuran. Bakteri yang berperan dalam proses
pembentukan abses ini yaitu Staphylococcus aureus dan Streptococcus
mutans. Staphylococcus aureus dalam proses ini memiliki enzim aktif yang
disebut koagulase yang fungsinya untuk mendeposisi fibrin. Sedangkan
Streptococcus mutans memiliki 3 enzim utama yang berperan dalam
penyebaran infeksi gigi, yaitu streptokinase, streptodornase, dan
hyaluronidase.
Terjadinya infeksi pada salah satu fascial space yang paling sering
oleh karena penyebaran kuman dari penyakit odontogenik terutama
komplikasi dari periapikal abses. Pus yang mengandung bakteri pada
periapikal abses akan berusaha keluar dari apeks gigi, menembus tulang,
dan akhirnya ke jaringan sekitarnya, salah satunya adalah fascial spaces.

0
Gigi mana yang terkena periapikal abses ini kemudian yang akan
menentukan jenis dari fascial spaces yang terkena infeksi.
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang
penyebab terjadinya abses di rongga mulut, macam-macam abses di rongga
mulut serta penanganan abses di rongga mulut.

1
BAB II
PEMBAHASAN

DEFINISI

Abses merupakan suatu bentuk infeksi akut atau kronis dan proses
supuratif yang dapat terjadi diseluruh tubuh. Abses rongga mulut yang
sering dijumpai adalah abses dentoalveolar yang dapat terjadi sebagai
akibat masuknya bakteri ke daerah periapikal baik melalui saturan pulpa,
jaringan periodontal maupun jaringan perikoronal. Mukosa pipi dan
palatum merupakan daerah yang senng ditempatinya. Abses dapat juga
didefinisilcan sebagai sebuah penumpukan pus dalam tubuh, dimana ini
dapat terjadi secara akut ataupun kronis. Dinding abses terdiri dan jaringan
granulasi yang sebagian besar ditempati oleb mikroorganisme untuk
penyebaran yang lebih lanjut. Kadar purulen dari suatu abses mernpunyai
sifat menekan dan dapat muncul kepermukaan.
Abses rongga mulut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Faktor organisme

Infeksi orofasial umumnya disebabkan oleh streptokokus dan stapilokokus


dan biasanya daya tahan tubuh penderita dapat melakukan invasi dan
bakteri tersebut.

2. Faktor anatomis jaringan

Jaringan disekitarnya mempunyai penggaruh yang besar terhadap


penyebaran infeksi.

2
3. Faktor penderita

Daya tahan tubuh penderita sangat berpengaruh terhadap penyebaran


bakteri.

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Abses merupakan rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan


oleh infeksi bakteri campuran. Bakteri yang berperan dalam proses
pembentukan abses ini yaitu Staphylococcus aureus dan Streptococcus
mutans. Staphylococcus aureus dalam proses ini memiliki enzim aktif yang
disebut koagulase yang fungsinya untuk mendeposisi fibrin. Sedangkan
Streptococcus mutans memiliki 3 enzim utama yang berperan dalam
penyebaran infeksi gigi, yaitu streptokinase, streptodornase, dan
hyaluronidase. Hyaluronidase adalah enzim yang bersifat merusak
jembatan antar sel, yang pada fase aktifnya nanti, enzim ini berperan
layaknya parang yang digunakan petani untuk merambah hutan.
Bakteri Streptococcus mutans memiliki 3 macam enzim yang
sifatnya destruktif, salah satunya adalah enzim hyaluronidase. enzim ini
merusak jembatan antar sel yang terbuat dari jaringan ikat
(hyalin/hyaluronat). Fungsi enzim ini adalah transpor nutrisi antar sel,
sebagai jalur komunikasi antar sel, juga sebagai unsur penyusun dan
penguat jaringan. Jika jembatan ini rusak dalam jumlah besar,
kelangsungan hidup jaringan yang tersusun atas sel-sel dapat terancam.
Proses kematian pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah
enzim dari S.mutans tadi, akibatnya jaringan pulpa mati, dan menjadi media

3
perkembangbiakan bakteri yang baik, sebelum akhirnya mereka mampu
merambah ke jaringan yang lebih dalam, yaitu jaringan periapikal.
Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya
mengundang respon inflamasi untuk datang ke jaringan yang terinfeksi
tersebut, namun karena kondisi host tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri
cukup tinggi akan menciptakan kondisi abses.
Selain S.mutans yang merusak jaringan yang ada di daerah
periapikal, S.aureus dengan enzim koagulasenya mampu mendeposisi
fibrin di sekitar wilayah kerja S.mutans, untuk membentuk sebuah
pseudomembran yang terbuat dari jaringan ikat, yang dikenal sebagai
membran abses. Membran ini melindungi dari reaksi inflamasi dan terapi
antibiotika.
Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran
abses saja yang terjadi pada peristiwa pembentukan abses ini, tetapi ada
pembentukan pus oleh bakteri pembuat pus (pyogenik), salah satunya
adalah S.aureus. pus terdiri dari leukosit yang mati (oleh karena itu pus
terlihat putih kekuningan), jaringan nekrotik, dan bakteri dalam jumlah
besar.
Secara alamiah, sebenarnya pus yang terkandung dalam rongga
tersebut akan terus berusaha mencari jalan keluar sendiri, namun pada
perjalanannya seringkali menyebabkan timbulnya gejala-gejala yang cukup
mengganggu seperti nyeri, demam, dan malaise.

4
POLA PENYEBARAN ABSES

Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu virulensi


bakteri, ketahanan jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang
tinggi mampu menyebabkan bakteri bergerak secara leluasa ke segala arah,
ketahanan jaringan sekitar yang tidak baik menyebabkan jaringan menjadi
rapuh dan mudah dirusak, sedangkan perlekatan otot mempengaruhi arah
gerak pus.
Sebelum mencapai “dunia luar”, perjalanan pus ini mengalami
beberapa kondisi, karena sesuai perjalanannya, dari dalam tulang melalui
cancelous bone, pus bergerak menuju ke arah korteks tulang. Tulang yang
dalam kondisi hidup dan normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis yang
tervaskularisasi dengan baik guna menutrisi tulang dari luar, yang disebut
periosteum. Karena memiliki vaskularisasi yang baik ini, maka respon
inflamasi juga terjadi ketika pus mulai “mencapai” korteks, dan melakukan
eksudasinya dengan melepas komponen inflamasi dan sel plasma ke rongga
subperiosteal (antara korteks dan periosteum) dengan tujuan menghambat
laju pus yang kandungannya berpotensi destruktif tersebut. Peristiwa ini
menimbulkan rasa sakit, terasa hangat pada regio yang terlibat, bisa timbul
pembengkakan, peristiwa ini disebut periostitis/serous periostitis. Adanya
tambahan istilah “serous” disebabkan karena konsistensi eksudat yang
dikeluarkan ke rongga subperiosteal mengandung kurang lebih 70%
plasma, dan tidak kental seperti pus karena memang belum ada keterlibatan
pus di rongga tersebut. Periostitis dapat berlangsung selama 2-3 hari,
tergantung keadaan host.
Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon inflamasi diatas tidak
mampu menghambat aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke

5
kondisi yang disebut abses subperiosteal. Abses subperiosteal terjadi di
rongga yang sama, yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan lapisan
periosteum. Pada kondisi ini, pus sudah berhasil “menembus” korteks dan
memasuki rongga subperiosteal. Karena lapisan periosteum adalah lapisan
yang tipis, maka dalam beberapa jam saja akan mudah tertembus oleh
cairan pus yang kental, sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan
peristiwa periostitis dimana konsistensi cairannya lebih serous.
Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam
tulang tadi, proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat,
karena telah mencapai area jaringan lunak. Apabila infeksi telah meluas
mengenai fascial spaces, maka dapat terjadi fascial abscess. Fascial spaces
adalah ruangan potensial yang dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh lapisan
jaringan ikat.

MACAM-MACAM ABSES
1. Periodontal Absess
Merupakan inflamasi purulen akut maupun kronis yang berkembang
dari poket periodontal. Secara klinis terlihat edema di tengah gigi
disertai rasa nyeri dan kemerahan pada gusi. Gejala yang timbul tidak
separah dentoalveolar abses. Perawatan yang diberikan biasanya insisi
sederhana pada sulkus gingiva dengan probe atau scalpel. Insisi dapat
pula dilakukan pada gingiva pada titik paling tumpul dari edema.

6
2. Acute Dentoalveolar Abscess

Merupakan infeksi akut purulen yang berkembang pada bagian


apikal gigi pada tulang cancellous. Biasanya disebabkan oleh bakteri
yang berasal dari gigi yang terinfeksi baik pada maksila maupun pada
mandibula. Gejala yang khas adalah rasa sakit yang berat, gigi goyang,
serta gigi penyebab serasa memanjang.
Perawatan pertama bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan
dilanjutkan dengan drainase. Drainase dilakukan melalui saluran akar
dengan cara mengebur dengan handpiece high-speed dengan lembut.
Selanjutnya jaringan nekrotik dibersihkan dengan barbed broach dan
tekanan diberikan pada daerah apikal gigi. Jika drainase dari saluran
akar tidak memungkinkan, dapat dilakukan trepanasi setelah posisi
apeks ditentukan secara radiograf. Insisi horizontal dilakukan pada
bukal sedekat mungkin dengan apeks gigi yang terinfeksi. Selanjutnya
periosteum direfleksi sehingga tulang bukal terlihat. Lalu tulang dibuka
menggunakan roundbur low speed sampai eksudat keluar. Kemudian
dilakukan suturing.

7
3. Subperiosteal Abscess

Abses subperiosteal adalah abses yang terletak diantara tulang dan


periosteum baik pada bukal, palatal, maupun lingual gigi penyebab
infeksi. Gejala yang ditimbulkan adalah edema ringan, rasa sakit karena
tekanan pada periosteum serta sensitif pada palpasi. Perawatan
dilakukan dengan membuat insisi intraoral dan drainase. Insisi
dilakukan pada mukosa dengan menghindari saraf dan pembuluh darah.

4. Submucosal Abscess

Abses ini tepat terletak di bawah mukosa vestibular bukal maupun


palatal/lingual gigi yang menjadi sumber infeksi. Secara klinis terlihat
pembesaran mukosa dengan fluktuasi yang jelas, sensitif terhadap

8
palpasi, serta hilangnya lipatan mucobukal pada area infeksi. Perawatan
dilakukan dengan insisi superfisial dengan pisau bedah. Hemostat kecil
lalu dimasukkan untuk memperbesar drainase dan rubber drain
dimasukkan untuk menjaga drainase tetap terbuka minimal 48 jam.
Insisi pada palatal dilakukan dengan menghindari arteri, vena, dan
nervus palatinus mayor.

5. Abses pada fossacanina

Abses ini biasanya berasal dari gigi anterior, dan jarang dari gigi
premolar. Terjadinya tanda klinis yang paling dramatis termasuk
pembengkakan substansial pada daerah atas pipi, dengan rasa sakit
yang terletak di wilayah fossa kaninus. Kulit di atasnya tampak
streched (tertarik), eritem, dan pada umumnya mengkilap. Edema
sering terjadi pada bibir atas dan kelopak mata. Jaringan lunak hidung
juga mungkin akan terkena dampaknya. Rasa sakit yang parah dan
menjalar menuju sudut orbital median merupakan indikasi
kemungkinan infeksi melalui vena. Infeksi dapat menyebar melalui
vena ini ke dalam sinus cavernous. Perawatan terdiri dari insisi
intraoral dan drainase abses, dan menghilangkan agen penyebab. Ketika

9
pembukaan abses harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari
cedera saraf infraorbital yang berasal dari tengkorak.
Anestesi diadministrasikan ekstraoral dekat foramen infraorbital.

6. Abses vestibular

Abses vestibular biasanya berasal dengan gigi premolar rahang atas


dan geraham. Pemeriksaan klinis biasanya memperlihatkan
pembengkakan yang terasa sakit dalam vestibulum bukal dekat gigi
yang menyebabkan kondisi tersebut. Pengobatan terdiri dari membuka
abses, drainase, dan penghapusan etiologi. Incisi utama harus vertikal,
ini memudahkan untuk membuat flap yang tepat jika kemudian
diperlukan untuk menutup sinus.

10
7. Abses pada pipi

Abses vestibular dari rahang atas, serta dari mandibula, dapat


menyebar ke jaringan lunak pipi. Jika abses berkembang menuju ke
arah cranial, memenuhi jaringan adiposa di pipi, dengan penyebaran
berikutnya pada bidang anatomi menuju fossa infratemporal atau fossa
pterygopalatine. Kemungkinan terjadi penyebaran lebih lanjut pada
dorsal dan cranial. Pengobatan terdiri dari membuka abses dan
memperbesar rongga abses. Cabangcabang dari arteri wajah melalui
jaringan lunak. Untuk anestesi, nervus bukal diinfiltrasi pada
perbatasan anterior ramus.

8. Mental Abscess

Akumulasi pus pada regio anterior mandibula, mendekati tulang,


lebih tepatnya pada muskulus mentalis, dengan penyebaran infeksi
melalui symphysis menti. Biasanya disebabkan oleh infeksi pada gigi
anterior mandibula. Berupa pembesaran yang cekat dan nyeri pada
dagu dan kemerahan pada kulit disekitarnya. Perawatan yang dilakukan
adalah insisi pada lipatan mukobukal secara intra oral. Jika pus

11
menyebar secara ekstraoral, insisi dilakukan pada kulit secara pararel di
batas bawah lidah ke arah posterior.

9. Sublingual Abscess

Merupakan abses yang terbentuk pada spasia sublingual di atas


musculus mylohyoid kanan atau kiri. Biasanya disebabkan oleh infeksi
pada gigi anterior, premolar, atau gigi molar pertama mandibula. Spasia
sublingual dibatasi oleh mukosa dasar mulut, musculus mylohyoid,
permukaan mandibula, os mylohyoid, dan septum lingua. Spasia
sublingual mengandung ductus wharton, glandula sublingual, nervus
lingualis, cabang terminal arteri lingual dan sebagian glandula
submandibula. Secara klinis terlihat pembesaran mukosa pada dasar
mulut menyebabkan lidah terangkat. Pasien kesulitan berbicara
disebabkan oleh edema, dan nyeri saat menggerakkan lidah. Perawatan
dilakukan dengan cara insisi untuk drainase secara intra oral pada
lateral sepanjang ductus wharton dan nervus lingual. Untuk mencapai
pus digunakan hemostat untuk mengeksplorasi spasia dibawah
glandula.

12
10. Submandibular Abscess

Spasia submandibular dibatasi oleh corpus mandibula, venter


anterior dan posterior musculus digastricus, ligament stylohyoid,
musculus mylohyoid dan musculus hyoglossus. Spasia ini mengandung
glandula submandibula dan linfonodi submandibula. Biasanya
disebabkan oleh infeksi yang berasal dari molar pertama dan kedua
mandibula. Dapat pula berasal dari penyebaran infeksi dari spasia
sublingual dan submental. Submandibular absess terlihat sebagai
pembesaran ringan pada daerah submandibular yang menyebar
menyebabkan kulit mengeras dan berwarna merah. Sudut mandibula
menghilang, serta terdapat nyeri saat palpasi dan trismus ringan.
Perawatan dilakukan dengan membuat insisi sepanjang 1 cm dibawah
dan sejajar batas bawah mandibula dengan menghindari artery dan vena
fasialis.

13
11. Cellulitis

Merupakan kondisi inflamasi difus akut yang menginfiltrasi jaringan


ikat longgar di bawah kulit. Cellulitis biasanya berasal dari infeksi gigi,
mikroorganisma yang bertanggung jawab adalah golongan
streptococcus dan staphylococcus. Penyakit ini dikarakteristikkan
dengna pusing disertai edema dan kemerahan pada kulit. Edema
memiliki batas tidak jelas dan dapat berada di berbagai tempat
tergantung gigi yang terinfeksi. Jika gigi posterior mandibula yang
bertanggung jawab, edema berada pada submandibular dan pada kasus
yang parah dapat menyebar ke pipi dan sisi berlawanan menyebabkan
perubahan bentuk wajah. Jika infeksi berasal dari gigi anterior maksila,
edema dapat melibatkan bibir atas sehingga terlihat protrusif. Pada
tahap awal, cellulitis terasa lunak pada palpasi dan tidak terdapat pus.
Pada tahap lanjut, penebalan terlihat dan terdapat adanya supurasi serta
terdapat pus pada dasar lidah.
Perawatan dilakukan dengan pemberian antibiotik dosis tinggi
seperti penicillin atau ampicillin. Dilanjutkan dengan terapi panas
untuk mengurangi supurasi. Pada beberapa kasus diperlukan drainase

14
dapat pada satu atau beberapa tempat untuk mengeluarkan eksudat.
Pada kasus yang parah sebaiknya dirujuk ke rumah sakit.

12. Ludwig’s Angina (Phlegmon)

Merupakan infeksi cellular akut yang secara bilateral melibatkan


ruang submandibular, sublingual, dan submental serta dapat berakibat
fatal ditidak dilakukan perawatan. Peyebabnya dapat berasal dari
infeksi periapikal atau periodontal pada gigi mandibula khususnya pada
gigi yang memiliki apeks di bawah musculus mylohyoid.
Pasien mengalami demam disertai kesulitan menelan, berbicara dan
bernafas. Secara klinis terlihat bebesaran yang keras seperti papan
dikarenakan pus terletak pada jaringan yang dalam. Secara intra oral,
terdapat edema dasar mulut yang keras sehingga lidah terangkat dan
menyebabkan tersumbatnya saluran udara.
Perawatan dilakukan dengan pembedahan untuk drainase infeksi dan
pemberian antibiotik dosis ganda. Insisi dilakukan secara bilateral, intra
oral, sejajar di medial batas bawah mandibula pada regio premolar dan
molar. Lalu insisi intra oral sejajar dengan duktus submandibula.
Rubber drain di tempatkan minimal selama 3 hari sampai gejala klinis

15
reda. Pada kasus dengan obstruksi nafas yang parah, pembedahan
saluran nafas harus dilakukan.

PENATALAKSANAAN ABSES RONGGA MULUT

Adapun tahap penatalaksanaa abses odontogenik secara umum adalah:

1. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan x-ray secara periapikal dan panoramik perlu dilakukan


sebagai skrining awal untuk menentukan etiologi dan letak fokal
infeksi.
2. Tes Serologi

Tes Serologi yang paling sering digunakan adalah tes fiksasi


komplemen dan tes aglutinasi. Kedua tes ini digunakan untuk
mengetahui etiologi.
3. Penatalaksanaan

Langkah utama yang paling penting dalam penatalaksanaan abses gigi


adalah incisi abses, dan drainase pus yang berisi bakteri. Tujuan dari
tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah terjadinya perluasan
abses/infeksi ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit, menurunkan
jumlah populasi mikroba beserta toksinnya, memperbaiki vaskularisasi

16
jaringan (karena pada daerah abses vakularisasi jaringan biasanya jelek)
sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi yang ada dan
pemberian antibiotik lebih efektif, dan mencegah terjadinya jaringan
parut akibat drainase spontan dari abses. Selain itu, drainase dapat juga
dilakukan dengan melakukan open bur dan ekstirpasi jarngan pulpa
nekrotik, atau dengan pencabutan gigi penyebab (Topazian et al, 1994).
Prosedur ini pada umumnya dilakukan apabila sudah di anaestesi lokal
terlebih dahulu, sehingga area yang sakit akan mati rasa. Jika abses
periapikal, abses akan dipindahkan melalui perawatan saluran akar
untuk mengeluarkan abses dan membuang jaringan yang rusak dari
pulpa. Kemudian ditumpat untuk mencegah infeksi peradangan lebih
lanjut. Jika abses periodontal, maka abses akan dikeluarkan, dan secara
menyeluruh membersihkan periodontal pocket. Kemudian melicinkan
permukaan akar gigi dengan scaling dan marginal gingiva untuk
membantu penyembuhan dan mencegah infeksi/peradangan lebih lanjut
a. Jika merupakan abses periapikal dan infeksi berulang, maka harus

membuang jaringan yang rusak


b. Jika abses periodontal dan infeksi berulang, maka perawatannya

dengan membuang poket periodontal dan membentuk kembali


jaringan gingiva.
c. Dalam stadium periostal meningkat tinggi dan sub periostal

dilakukan trepanasi untuk mengeluarkan abses dan gas gangren yang


terbentuk, kemudian diberikan obat-obatan antibiotik, antiinflamasi,
antipiretik, analgesik dan roboransia. Dengan cara ini diharapkan
abses tidak meluas dan dapat sembuh.

17
d. Dalam stadium serosa dianjurkan untuk kumur-kumur air garam

hangat dan kompres hangat, supaya abses masuk ke arah rongga


mulut.
e. Dalam stadium submukosa dan subkutan dimana sudah terjadi

fluktuasi maka dilakukan insisi dan dimasukkan kain gaas steril atau
rubber-dam sebagai drainase, kemudian diberikan obat-obatan
antibiotika, antiinflamasi, antipiretika, analgesika dan roboransia.
Pencabutan gigi yang terlibat (menjadi penyebab abses) biasanya
dilakukan sesudah pembengkakan sembuh dan keadaan umum
penderita membaik. Dalam keadaan abses yang akut tidak boleh
dilakukan pencabutan gigi karena manipulasi ekstraksi yang
dilakukan dapat menyebarkan radang sehingga mungkin terjadi
osteomyelitis.
Prinsip berikut ini harus digunakan bila memungkinkan pada saat
melakukan insisi dan drainase adalah sebagai berikut (Topazian et al.,
1994; Peterson, 2003; Odell, 2004).
a. Melakukan insisi pada kulit dan mukosa yang sehat. Insisi yang

ditempatkan pada sisi fluktuasi maksimum di mana jaringannya


nekrotik atau mulai perforasi dapat menyebabkan kerutan, jaringan
parut yang tidak estetis (Gambar 1)

18
Penempatan insisi untuk drainase ekstraoral infeksi kepala leher. Insisi
pada titik-titik berikut ini digunakan untuk drainase infeksi pada spasium
yang terindikasi: superficial dan deep temporal, submasseteric,
submandibular, submental, sublingual, pterygomandibular,
retropharyngeal, lateral pharyngeal, retropharyngeal (Peterson, 2003)

b. Tempatkan insisi pada daerah yang dapat diterima secara estetis,

seperti di bawah bayangan rahang atau pada lipatan kulit alami

Garis Langer wajah. Laserasi yang menyilang garis Langer dari kulit
bersifat tidak menguntungkan dan mengakibatkan penyembuhan yang
secara kosmetik jelek. Insisi bagian fasia ditempatkan sejajar dengan
ketegangan kulit. (Pedersen, 1996).

c. Apabila memungkinkan tempatkan insisi pada posisi yang bebas

agar drainase sesuai dengan gravitasi.


d. Lakukan pemotongan tumpul, dengan clamp bedah rapat atau jari,

sampai ke jaringan paling bawah dan jalajahi seluruh bagian kavitas

19
abses dengan perlahan-lahan sehingga daerah kompartemen pus
terganggu dan dapat diekskavasi. Perluas pemotongan ke akar gigi
yang bertanggung jawab terhadap infeksi
e. Tempatkan drain (lateks steril atau catheter) dan stabilkan dengan

jahitan.
f. Pertimbangkan penggunaan drain tembus bilateral, infeksi ruang

submandibula.
g. Jangan tinggalkan drain pada tempatnya lebih dari waktu yang

ditentukan; lepaskan drain apabila drainase sudah minimal. Adanya


drain dapat mengeluarkan eksudat dan dapat menjadi pintu gerbang
masuknya bakteri penyerbu sekunder.
h. Bersihkan tepi luka setiap hari dalam keadaan steril untuk

membersihkan bekuan darah dan debris.


Pengetahuan yang seksama mengenai anatomi fascial dan leher
sangat penting untuk drain yang tepat pada abses yang dalam, tetapi
abses yang membatasi daerah dentoalveolar menunjukkan batas anatomi
yang tidak jelas bagi ahli bedah. Hanya mukosa yang tipis dan menonjol
yang memisahkan scalpel dari infeksi. Idealnya, abses harus didrain
ketika ada fluktuasi sebelum ada ruptur dan drainase spontan. Insisi dan
drainase paling bagus dilakukan pada saat ada tanda awal dari
“pematangan” abses ini, meskipun drainase pembedahan juga efektif,
sebelum adanya perkembangan klasik fluktuasi (Peterson, 2003).
Teknik insisi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut (Peterson,
2003).

a. Aplikasi larutan antiseptik sebelum insisi.

20
b. Anestesi dilakukan pada daerah sekitar drainase abses yang akan

dilakukan dengan anestesi infiltrasi.


c. Untuk mencegah penyebaran mikroba ke jaringan sekitarnya maka

direncanakan insisi :
1) Menghindari duktus (Wharton, Stensen) dan pembuluh darah

besar.
2) Drainase yang cukup, maka insisi dilakukan pada bagian

superfisial pada titik terendah akumulasi untuk menghindari sakit


dan pengeluaran pus sesuai gravitasi.
3) Jika memungkinkan insisi dilakukan pada daerah yang baik

secara estetik, jika memungkinkan dilakukan secara intraoral.


4) Insisi dan drainase abses harus dilakukan pada saat yang tepat,

saat fluktuasi positif.


d. Drainase abses diawali dengan hemostat dimasukkan ke dalam

rongga abses dengan ujung tertutup, lakukan eksplorasi kemudian


dikeluarkan dengan unjung terbuka. Bersamaan dengan eksplorasi,
dilakukan pijatan lunak untuk mempermudah pengeluaran pus.
e. Penembatan drain karet di dalam rongga abses dan distabilasi dengan

jahitan pada salah satu tepi insisi untuk menjaga insisi menutup dan
drainase.
f. Pencabutan gigi penyebab secepatnya.

21
BAB III

LAPORAN KASUS

Abses yang Ditimbulkan dari Gigi impaksi Pada Usia tua dengan
Kekurangan Gizi

Department of Physiology, Tokyo Dental


College, 2-9-18 Misaki-cho, Tokyo 101-
0061, Japan 2
Sakaguchi Dental Clinic, 1-20-5 Kasuga,
Chuo-ku, Chiba 260-0033, Japan
Correspondence should be addressed to
Yuki Kojima; yukikojima@tdc.ac.jp
Received 24 August 2016; Revised 19
October 2016; Accepted 25 October 2016
Academic Editor: Pia L. Jornet

Seorang pria berusia 94 tahun merasakan ketidaknyamanan di


geraham rahang bawah kanan sudah sebulan yang lalu .Diamengalami
kesulitan dalam membuka mulutnya, pipinya dirasakan telah membengkak
selama 2 minggu. Dia mengalami kesulitan dalam mengkonsumsi
makanan. Dia memiliki riwayat atrial fibrillasi dan hypoalbuminemia.
Pernah mengkonsumsi obat clopidogrel.

22
Pada kunjungan awal, pipi kanan daerah submandibular bengkak dan
kemerahan. Ia merasakan nyeri tekan pada kelenjar getah bening
submandibular kanan. Jarak pembukaan mulutnya adalah 23 mm. Dia tidak
demam (36,4∘ C) dan tidak ada nyeri telan tetapi ditemukan bengkak dan
kemerahan di daerah mukosa bukal dan alveolar Kami melihat fistula di
dalam mulut di daerah geraham kanan Fistula ini mengeluarkan nanah
berbau busuk berwarna putih kekuningan. Dia mengatakan bahwa semua
giginya telah diekstraksi Kami kemudian memeriksa dan didapatkan
Peradangan di sekitar gigi yang diduga impaksi gigi. Oleh karena itu kami
menganggap bahwa sumber Infeksi melalui luka yang disebabkan oleh gigi
yang tidak dapat impaksi sempurna.
Kami mendiagnosis abses bukal ringan Kemudian kami melakukan
tindakan drainase insisional dengan anestesi lokal.dengan membedah
sekitar 1 cm mukosa di atas gigi disertai keluarnya nanah. Kami
meresepkan antibiotik cephem100mg (3x1) selama 3 hari Pada post operasi
hari pertama. pembengkakannya telah hilang dan mulutnya sudah bisa
membuka dengan jarak mencapai 55 mm. Kami menganggap gigi yg
diekstraksi yaitu gigi geraham sebagai sumber infeksi.setelah pencabutan
gigi 20 tahun sebelumnya kemudian pasien tidak mau untuk menjalani
prosedur operasi apapun,dikarenakan faktor usia. Dia kemudian memilih
untuk menghindari prosedur bedah lebih lanjut. Karena itu kami
mengamati dia dengan saksama dan melakukan edukasi kepada pasien
tentang perawatan secara teratur, dan peradangannya tidak kambuh
lagi. Meskipun fistula tidak hilang, dan sudah merasa lebih baik dari
sebelumnya . Kami mengantisipasi pasien ini, dan mencegah risiko infeksi
di masa yang akan datang.

23
Diskusi
Cedera pada usia tua memiliki risiko kegagalan penyembuhan yang tinggi.
Selain itu, pasien yang digambarkan disini mengalami kekurangan
gizi. Nafsu makan menurun, hal ini bisa berdampak pada perawatan yang
akan dijalaninya saat ini Luka yang disebabkan oleh gigi yang tidak dapat
impaksi tersebut menimbulkan keluhan pada pasien untuk beberapa saat
,kadang kadang terasa nyeri walaupun sedikit Namun,Dalam kasus ini, kita

24
tidak hanya memberikan terapi obat, tapi juga dilakukan pembedahan
untuk pengendalian infeksi secara cepat.Kasus seperti ini akan meningkat
seiring dengan bertambahnya penduduk dengan usia tua. Pasien pertama
kali mencabut giginya kurang lebih 20 tahun yang lalu dan tidak control
sudah 10 tahun. Selanjutnya, kami mengusulkan agar dokter gigi
mempertimbangkan kualitas hidup pasien sebelum kondisi umumnya
memburuk.

25
Abses Periodontal Akut Pada Pasien Remaja
DDS, PhD. Professor, Department of Periodontology, Faculty of Dentistry,
Atatürk University, Erzurum/ Turkey

Seorang gadis berusia 17 tahun dengan rasa sakit yang parah,


bengkak, Perdarahan pada gingiva, gingiva lebih merah, nyeri tekan pada
daerah anterior kanan bawah, dan membuat pasien kesulitan dalam
mengkonsumsi makanan, menyikat gigi dan berbicara,kemudian dia
memeriksakan dirinya ke Departemen Periodontologi, Dia tampak sehat,
tidak ada riwayat alergi obat dan makanan. Dia tidak merokok dan tidak
minum minuman beralkohol Pasien mengeluhkan bahwa dia Sakit gigi
kanan bawah yang dirasakan pada saat malam hari Selama pemeriksaan
fisik, pemeriksaan ekstraoral didapatkan bau mulut. Keadaan umum baik
tapi, ada beberapa kelenjar getah bening yang membesar dan lunak di
kedua sisi pada daerah submandibular Gingiva bengkak dan kemerahan.
Pemeriksaan intra-oral dia merasakan sangat sakit,terjadi
pembengkakan dan pendarahan gingiva. Ditemukan plak dan kalkulus ,
jaringan gingiva bengkak, pocket periodontal berukuran 7mm di gigi
41,42. Setelah menjalani pemeriksaan klinis, dia didiagnosis "abses
periodontal akut". Pasien diresepkan antibiotik (amoxicillin 1000mg, setiap
8 jam, 3 hari), analgesic (Naproxen 550mg, setiap 12 jam, 3 hari) dan
disarankan untuk membilas dua kali sehari dengan 0,12% chlorhexidine
Bilas selama tujuh hari.

26
Tujuh hari kemudian, rasa sakit sudah mulai mereda. Setelah
itu,dilakukan scalling pada daerah supragingiva dan subgingiva, dan
perawatan saluran akar setelah itu dilakukan probing dengan hati-hati
sampai nanah berhasil dikeluarkan . Sepuluh hari kemudian setelah
kuretase subgingival dilakukan. Tiga minggu berikutnya diobservasi , dan
hasilnya dimana daerah yang terkena abses benar-benar sembuh, tidak ada
kemerahan gingiva, perdarahan, pembengkakan, dan tidak ada pembesaran
kelenjar limfe Dia diajarkan untuk menjaga kebersihan mulut yang baik
dengan sikat gigi bulu yang lembut. Dan rutin kontrol ke seorang
periodontics secara teratur selama tiga tahun sejak saat itu.

27
Diskusi
Abses periodontal adalah tipe yang paling umum Yang terjadi pada
jaringan periodontial. Dalam Kasus ini, abses periodontal berkaitan
dengan kalkulus subgingival dan adanya pocket periodontal. Diagnosis
abses periodontal harus dilakukan setela keseluruhan evaluasi dan
interpretasi dari keluhan pasien, riwayat kesehatan gigi, dan klinis dan
pemeriksaan radiografi, Abses periodontal dapat ditangani dengan
drainase, perawatan saluran akar, kuretase dan pemberian antibiotik, dan
teknik bedah Kesimpulannya, diagnosis dan pengobatan periodontal Abses
terutama berbasis empiris, karena berbasis bukti data tidak
tersedia Merawat kesehatan periodontal dan perbaiki estetika, patologi
mereka harus diobati.

28
Abses Periapikal Gigi Insisivus Bawah yang Berhubungan dengan
Tindik Lidah
Mehmet Oztel* and Paul G. Birch
Mehmet Oztel* and Paul G. Birch

Seorang wanita berusia 29 tahun merasakan kegoyangan pada gigi


41. Pasien pertama kali merasakan lebih dari setahun yang lalu dan
khawatir akan menjadi semakin parah. Dia tidak merasa sakit atau gejala
yang terkait dengan gigi. Dia mengatakan bahwa dia telah memakai tindik
lidah logam besar selama 11 tahun.
Pemeriksaan klinis menunjukkan grade dua mobilitas gigi 41. Pada
mukosa gingiva bukal dan lingual sedikit meradang dan mengalami resesi
gingiva 5 mm pada permukaan bukal, dan 6 mm resesi pada permukaan
lingual di daerah gigi 41. Tidak ada karies, retakan, patah tulang atau
perubahan warna. respon positif terhadap rangsangan dingin. Pada foto
periapikal didapatkan radiolusen pada gigi 41.Keseluruhan tulang alveolar
tampak utuh Temuan radiografi dan klinis menunjukkan bahwa periapikal
Lesi berasal dari endodontik. tindik metalik sebesar itu Dapat menjadi
agen penyebab cedera pada gigi, setelah dijelaskan hubungan dengan tindik
tersebu, pasien sadar dan dengan senang hati melepaskannya. Kemudian

29
dilakukan perawatan saluran akar pada gigi 41 dan pasien diminta untuk
kontrol kembali dalam 3 bulan.

Diskusi
Resesi gingiva atau fraktur gigi berhubungan erat dengan Cedera
traumatis dari tindik oral. Sepengetahuan kami terbentuknya lesi periapikal
timbul dari trauma mekanik dari Literatur menunjukkan bahwa ukuran
tindik, lamanya pemakaian tindik dan kebiasaan pasien memiliki pengaruh
terbesar terjadinya komplikasi , Meski pasien tidak menggambarkan
keluhan yang spesifik, dia memakai tindik lidah logam yang cukup besar
selama 11 tahun.
Temuan radiografi radiolusen gigi yang ditemukan pada gigi 41
adalah dari lesi periapikal. Meskipun Gigi tidak ada karies, restorasi,
retakan atau patah tulang, ada bukti adanya bekas pada permukaan lingual
yang kemungkinan disebabkan oleh tindik mulut. Pengujian dingin dengan
Endofrost dirasakan lambat namun ada respon positif pada gigi 41.
Pengujian vitalitas dengan uji dingin memiliki nilai prediksi negatif 0,82
menghasilkan tingkat positif palsu 18%. Pemeriksaan pasien tersebut harus
dievaluasi untuk tanda-tanda trauma yang jelas dan juga untuk tanda klinis
seperti keausan pada gigi .

30
Abses Submandibular dengan insufisiensi velofaringeal: presentasi
klinis tuberculosis yang tidak biasa
Swati Tandon*, Purodha Prasad, Vikram Wadhwa and Ishwar Singh

Seorang pria berusia 27 tahun ke poli THT dengan pembengkakan


di bawah dagu sudah 6 hari. pembengkakan awalnya dimulai dari benjolan
yang secara bertahap berkembang ke seluruh wilayah di bawah dagu.hal
ini menyebabkan pasien kesusahan dakam mengkonsumsi makanan. Tidak
ada kesulitan bernafas atau demam. Tidak ada riwayat trauma. Tidak ada
riwayat tuberkulosis. Pada pemeriksaan klinis, pasien kurus kering dan
disertai demam. Pasien tergolong kelompok sosioekonomi rendah. Tidak
ada limfadenopati. Pada pemeriksaan leher , didapatkan pembengkakan
dengan ukuran 8 × 8 cm yang menyebar di bawah mandibula. Konsistensi
lunak, kulit kering dan hiperpigmentasi dan suhu meningkat.
Diagnosis sementara abses submandibular akut dilakukan sayatan
dan drainase sekitar 10 mL nanah.Pus dikirim ke laboratorium untuk
dilakukan pewarnaan Gram, pewarnaan ZN (untuk TB) dan sensitivitas
kultur. Didapatkan Asam Fast Bacilli (AFB) negatif pada pewarnaan ZN.
Pada kultur tersebut, bakteri pseudomonas diisolasi diberikan antibiotik
untuk mengetahui sensivitas tes darah lengkap termasuk hitung darah
lengkap, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati dan mikroskopi rutin urin
dilakukan, yang berada dalam batas normal. Tidak ada ganggun autoimun.
Pada hari kedua, pasien mengeluh keluar cairan hidung dan telinga kanan.
Suara pasien juga tampak berdengung. Pemeriksaan hidung tidak
didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan telinga kanan, nanah terlihat dekat
membran timpani. Membran Tympanic ditemukan utuh. Pus di telinga
diduga disebabkan oleh penyebaran infeksi melalui ruang parotid ke kanal
auditorial eksternal (EAC) melalui fisura Santorini. pada hari kedua Kira-
kira 10-15 mL nanah mengalir dari tempat sayatan submandibular.

31
Pasien diberikan antibiotik intravena. Pada hari ketiga, pasien mulai
mengeluhkan batuk berdahak dengan kesulitan bernapas ringan. Pendapat
dokter gigi disarankan foto rontgen dada, montoux test, dahak untuk
pemeriksaanl AFB dan diberikan terapai levofloksasin selama 7 hari. Pada
sinar X dada, parenkim paru normal dengan penonjolan sudut costofrenicus
terlihat menunjukkan efusi pleura dimana pleura ultrasound didapatkan
ketebalan pleura 4 cm di sisi kanan dan 5 cm di sisi kiri. Montoux adalah
10 mm, dahak untuk AFB negatif ESR yang meningkat (72 mm / jam).
Analisis cairan pleura menunjukkan warna kuning keruh, jumlah
lymphocytic yang meningkat, peningkatan LDH (550I U / L) dan ADA
(130 U / L) s / o tuberculosis. Diagnosis tuberkulosis ekstrapulmoner,
Awalnya, pasien tidak merespon dan gangguan pernafasan memburuk.
Ulangi rontgen dada menunjukkan efusi pleura besar dimana saluran
pembuangan dada dimasukkan secara bilateral. Nanota 1000 mL
dikeringkan dari sisi kanan dan 450 mL dari sisi kiri.

Figure 1:
Pre and Post Treatment Photograph of Submandibular
Abscess.

Figure 2: Pre and Post Treatment Photograph of Palatal


Perforation
.

32
DISKUSI
Dengan munculnya infeksi HIV, tuberkulosis ekstrapulmoner
(EPTB) Faktor risiko lain yang menjadi predisposisi EPTB adalah gagal
ginjal kronis, diabetes, pengobatan imunosupresif, penyalahgunaan obat
intravena, transplantasi organt dan malnutrisi berat.Dalam praktik klinis,
reaksi kutaneous terhadap PPD yang biasa dikenal dengan uji montoux
digunakan sebagai alat bantu untuk mendiagnosis TB namun nilainya
sebagai alat diagnostik terbatas pada orang dewasa di India, karena sekitar
40% populasi orang dewasa terinfeksi TB. Dalam kasus kami, montoux
adalah 10 mm sugestif TB Pemeriksaan smear untuk AFB, kultur dan
pemeriksaan histopatologis tetap sebagai tes diagnostik klasik untuk TB.
Diagnosis laboratorium TB adalah proses yang lama karena
tergantung pada pertumbuhan organisme. Pewarnaan ZN untuk
demonstrasi bacilli asam cepat pada smear adalah metode yang cepat tapi
kurang sensitif. Dalam sebuah penelitian, pewarnaan ZN dibandingkan
dengan pewarnaan neon (Auramine Rhodamine (AR)) untuk demonstrasi
AFB dan diamati bahwa pewarnaan ZN menunjukkan 23,4% AFB BTA
positif; 32,7% pada sputum dan 1,4% pada spesimen ekstra paru,
sedangkan pewarnaan AR menunjukkan 31,87% BTA positif, 41,6% pada
dahak dan 9,9% pada kasus ekstrapulmoner.

33
ABSES LIDAH
Thiago Bittencourt Ottoni de Carvalho1, Atílio Maximino Fernandes2,
Raphael Angelo Sanches3.

Pasien EF berusia 76 tahun itu datang dengan keluhan rasa sakit saat
menelan sekitar satu minggu. Pasien mengeluh nafsu makan menurun
karena rasa sakit. Ada riwayat penyakit miokard 19 tahun yang lalu,
riwayat hipertensi dan gagal ginjal kronik yang terkontrol. merokok dan
minum disangkal. Tampak dehidrasi ++ / 4+, eupneic dan tidak demam.
Pemeriksaan di rongga mulut ditemukan bulatan kasar sekitar 2x2 cm di
sisi kanan, terasa nyeri saat disentuh, tidak terasa ngganjal saat membuka
mulut. Tidak ada lesi vegetasi yang jelas atau ulserasi. Nasofibroscopy
menunjukkan penonjolan di dasar lidah sisi kanan, hiperemi epiglotis, tidak
adanya lesi pada laring. MRI menunjukkan lesi yang tidak beraturan,
multilokulasi, dengan diameter 4x3 cm pada sebagian besar pangkal lidah
di sisi kanan, ditandai dengan meningkatnya intensitas T2 dan menurunnya
intensitas T1.
Lesi menunjukkan peningkatan perifer setelah diinjeksi kontras
paramagnetik dan tampak deviasi di sebelah kiri septum interlingual. Dari
riwayat klinis, gambaran klinis dan MRI, maka pasien diberikan terapi
antibiotic intravena clindamicin dan ceftriaxone. Eksplorasi lesi dilakukan
pada hari kelima rawat inap karena pasien menggunakan AAS. Tampak
penebalan sekresi dalam tindakan bedah, didapatkan sampel untuk
anatomiopatologis dan kultur. Pada hari ke tujuh rawat inap, pasien
dipulangkan karena rasa nyeri sudah berkurang . Pemeriksaan PA dari
sampel yang diambil menunjukkan proses inflamasi kronis nonspesifik di
antara fibrosis ringan dan jaringan otot rangka, tidak ada tanda-tanda
keganasan. Hasil kultur negative

34
Figure 1. Axial contrast-enhanced T1 SPIR. Figure 2. Axial
T2 Court.

Figure 3. Court Coronal T1 with contrast Figure 4. Cut Axial


T1 without contrast.

DISKUSI
Manifestasi klinis dari abses lidah bisa bervariasi. Nyeri, demam,
penonjolan, odynophagia, disfagia dan otalgia. Diagnosis harus
berdasarkan dengan riwayat klinis, yang berhubungan dengan faktor risiko
yang berkaitan dengan merokok, kebersihan mulut yang buruk,
penggunaan prostesis gigi dan seks, pemeriksaan fisik rongga mulut dan
memastikan dengan pemeriksaan foto. Ultrasonografi dapat menjelaskan

35
dan membedakan struktur kista, vaskularisasi dan abses tetapi sulit pada
lidah untuk penggunaan transduser. computed tomography menunjukkan
adanya hubungan lesi di sepertiga posterior lidah.
MRI menunjukkan penampakan yang lebih baik pada jaringan lunak
dan terhindar dari artefak rahang dan amalgam gigi, karena itu pemeriksaan
MRI dipilih dalam kasus ini. Di lihat dari perjalanan penyakit pada kasus
ini , riwayat implan gigi sebelumnya, manifestasi klinis pasien dan temuan
pada MRI, mengarahkan kita pada abses lidah, namun sangat penting kita
mempertimbangkan diagnosis banding yang tergantung pada lokasi lesi.
Diagnosis banding dari lesi anterior lidah meliputi lingual artery false
aneurysm, tuberkulosis, sifilis, neoplasma dan aktinomikosis. Lesi dari
sepertiga posterior mencakup thyroglossal cyst dan lingual tonsil abscess.
Infark, edema, macroglossia akibat hipopituitarisme, perubahan
metabolisme akibat defisiensi vitamin B12, hipotiroidisme, amyloidosis,
akromegali, defisiensi besi, juga harus dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding. Penatalaksanaan mencakup permeabilitas saluran napas, clinical
support, terapi antibiotik sistemik dan drainase abses. Terapi antibiotik
yang digunakan yaitu, klindamisin dan ceftriakson yang mampu melawan
mikroorganisme yang menyebabkan abses lidah. Dapat juga untuk flora
campuran yang sering ada di jalan napas superior dan flora pada rongga
mulut. Yang paling umum adalah Streptococus Viridans, Haemophilus
influenzae, Staphylococus aureus, Bacterioides e Neisseria, dan lain-lain.
Pilihan untuk surgical drainage, segera dilakukan, dilakukan setelah hari
kelima rawat inap karena pasien menggunakan agen antiplatelet dan
kondisi klinis pasien telah membaik saat awal perawatan, yang
memungkinkan untuk terhindar dari risiko perdarahan.
Dapat juga memilih untuk drainase yang dipandu oleh
ultrasonografi, ini merupakan prosedur invasif, dengan risiko perdarahan
yang lebih rendah juga efektif dalam drainase abses. Saat abses ditemukan
pada sepertiga posterior lidah, diperlukan drainase bedah dengan anestesi
umum, karena dengan edema lokal dan penyumbatan jalan nafas, dapat
meningkatkan risiko dari prosedur. Prognosis yang baik dan tidak ada
kekambuhan abses pada kasus di mana dilakukan abses drainase (bedah
atau tusukan) adalah karena faktor perlindungan yang ada pada lidah
seperti bakterisida air liur, banyaknya vaskularisasi dan otot-ototnya yang
berkontraksi membatasi radang dan rongga yang terbentuk oleh abses (1).

36
Namun gravitasi abses, tidak ada laporan dalam literatur tentang kejadian
fatal setelah penggunaan antibiotik secara ekstensif (4).

KESIMPULAN
Abses lidah adalah penyakit yang langka, tetapi harus
dipertimbangkan sebagai diagnosis banding dari tonjolan lidah. Foto
membantu dalam diagnosis. Terapi antibiotik sistemik yang terkait dengan
drainase merupakan pengobatan pilihan untuk abses lidah dan harus
dilakukan secara rutin

ABSES PALATAL PADA PASIEN ANAK

37
A.Pinar Sumera
Peruze Celenkb

Laporan kasus

Seorang anak perempuan berusia 5 tahun datang dengan keluhan


pembengkakan yang tidak terasa sakit di langit-langit mulutnya. Pasien
punya riwayat bengkak di pipi kirinya dan nyeri di daerah gigi posterior
kiri satu bulan yang lalu. Satu minggu setelah keluhan ini, dia merasa ada
sebuah massa di langit-langitnya. Dia sudah pergi ke dokter gigi umum.
Massa itu diinsisi dan diterapi antibiotik, tapi tidak ada resesi dalam
pembengkakan tersebut.

Riwayat medis pasien tidak memberi kontribusi. Pemeriksaan


ekstraoral menunjukkan adanya pembengkakan ringan di pipi kiri. Ada
kelenjar getah bening submandibular kiri yang bisa dipalpasi. Pada
pemeriksaan intraoral, karies gigi pada gigi posterior dan pembengkakan
berukuran 2x3 cm muncul di langit-langit. Posisinya berdekatan dengan
garis tengah sebagaimana yang diamati (Gambar 1).
Bengkak tidak menunjukkan tanda-tanda fluktuasi dan mukosa di
atasnya normal dan tidak ada ulserasi. Secara klinis, tampak sinus pada
mukosa bukal molar primer kedua kiri atas. Baik radiograf periapikal
maupun radiografi panoramik menunjukkan karies di molar primer kedua
kiri atas tanpa radiolusen periapikal (Gambar 2).
Pasien dilakukan ekstraksi gigi molar primer kedua kiri atas. Pasien
pulih sepenuhnya setelah ekstraksi (Gambar 3).

38
Figure 1. Clinical view of the palatal abscess adjacent to the midline.
Figure 2. Panoramic radiography shows caries in the upper left

Figure 3. Clinical view of the palate after extraction. second primary


molar without periapical radiolucency.

Pembahasan

Sebagian besar infeksi pada rongga mulut adalah infeksi


odontogenik utama yang berasal dari pulpa gigi (yang paling umum
begitu), jaringan periodontal, atau jaringan perikoronal. Infeksi
odontogenik dapat menyebar dari gigi yang tidak terinfeksi sepanjang jalur
yang tidak resistan ke ruang anatomis yang jauh dari awal lokasi infeksi.
Abses palatal biasanya berasal dari arah palatal dari infeksi pulpa atau

39
periodontal. Sumber yang paling umum adalah dari bagian palatal dari akar
gigi molar rahang atas.

Abses palatal sering tampak di daerah premolar-molar dan tampak


sebagai massa yang padat atau bengkak yang biasanya berada pada arah
lateral dari garis tengah. Abses palatal tidak biasanya berdekatan dengan
garis tengah langit-langit mulut.

Perawatan definitif untuk abses odontogenik dimulai dengan


ekstraksi atau pulpektomi gigi yang terserang dan terapi antibiotik. Prinsip
perawatan abses palatal sama dengan abses lainnya: drainase harus
ditegakkan setelah identifikasi sumber infeksi. Gigi molar kedua primer
kiri atas diekstraksi dalam kasus ini.

Abses palatal umumnya tampak pada bagian lateral garis tengah dan
mudah untuk mendiagnosisnya. Namun, pada kasus yang jarang
ditemukan, abses palatal dapat ditemukan berdekatan dengan garis tengah
dan dapat menimbulkan dilema diagnostik yang sulit bagi klinisi.
Pengambilan dari riwayat medis dan pemeriksaan intraoral sangat berguna
sebagai alat diagnostic jika disertai dengan pemeriksaan radiografi untuk
evaluasi abses palatal.

40
KESIMPULAN

Abses merupakan suatu bentuk infeksi akut atau kronis dan proses
supuratif yang dapat terjadi diseluruh tubuh. Abses rongga mulut yang
sering dijumpai adalah abses dentoalveolar yang dapat terjadi sebagai
akibat masuknya bakteri ke daerah periapikal baik melalui saturan pulpa,
jaringan periodontal maupun jaringan perikoronal. Abses merupakan
rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh infeksi bakteri
campuran yaitu Staphylococcus aureus dan Streptococcus mutans.
Terjadinya infeksi pada salah satu atau lebih fascial space yang
paling sering oleh karena penyebaran kuman dari penyakit odontogenik
terutama komplikasi dari periapikal abses. Pus yang mengandung bakteri
pada periapikal abses akan berusaha keluar dari apeks gigi, menembus
tulang, dan akhirnya ke jaringan sekitarnya, salah satunya adalah fascial
spaces. Gigi mana yang terkena periapikal abses ini kemudian yang akan
menentukan jenis dari fascial spaces yang terkena infeksi.
Adapun tahap penatalaksanaa abses odontogenik secara umum
adalah Pemeriksaan Radiologi periapikal dan panoramik sebagai skrining
awal untuk menentukan etiologi dan letak fokal infeksi, tes Serologi untuk
mengetahui etiologi dan incisi abses, dan drainase pus yang berisi bakteri.
Selanjutnya didukung dengan pemberian antibiotik, analgesik dan
roburantia.

41
DAFTAR PUSTAKA

Fragiskos, FG. 2013. Oral Surgery. Thieme, New York.

Sailer, Hermann.F., dan Pajarola, Gion. F.2015, Color Atlas of Dental


Medicine Oral Surgery for The General Dentist, Thieme, New York.
T. Hoshino, H. Sotome, S. Hidaka et al., “Statistical clinical investigation of
odontogenic infections requiring hospitalization,” Shikwa Gakuho,
vol. 116, no. 1, pp. 37–42, 2016.
T. Osaki, Y. Nomura, J. Hirota et al., “Infections in elderly
patientsassociatedwithimpactedthirdmolars,”OralSurgery,Oral
Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology, and Endodontology, vol.
79, no. 2, pp. 137–141, 1995.
M. Moghimi, J. A. Baart, K. H. Karagozoglu, and T. Forouzanfar, “Spread
of odontogenic infections: a retrospective analysis and review of the
literature,” Quintessence International, vol. 44, no. 4, pp. 351–361,
2013.
D. G. Chiles and B. J. Cosentino, “The third molar question: report of
cases,” Journal of the American Dental Association, vol. 115, no. 4,
pp. 575–576, 1987.
I. Venta, E. Kyl¨ atie, and K. Hiltunen, “Pathology related to third¨ molars
in the elderly persons,” Clinical Oral Investigations, vol. 19, no. 8,
pp. 1785–1789, 2015.
F. R. G. de Araujo, C. M. M. B. de Castro, J. A. Rocha et al.,´ “Perialveolar
bacterial microbiota and bacteraemia after dental alveolitis in adult

42
rats that had been subjected to neonatal malnutrition,” The British
Journal of Nutrition, vol. 107, no. 7, pp. 996–1005, 2012.
A. L. Pilgrim, D. Baylis, K. A. Jameson et al., “Measuring appetite with the
simplified nutritional appetite questionnaire identifies hospitalised
older people at risk of worse health outcomes,” Journal of Nutrition,
Health & Aging, vol. 20, no. 1, pp. 3–7, 2016.
P. W. Flint, B. H. Haughey, V. J. Lund et al., Eds., Cummings
Otolaryngology—Head & Neck Surgery, Mosby/Elsevier,
Philadelphia, Pa, USA, 5th edition, 2013.
J. M. McCoy, “Complications of retention: pathology associated with
retained third molars,” Atlasof the Oral and Maxillofacial
SurgeryClinicsofNorthAmerica,vol.20,no.2,pp.177–195,2012.
Korownyk and G. M. Allan, “Evidence-based approach to abscess
management,” Canadian Family Physician, vol. 53, no. 10, pp.
1680–1684, 2007.
DeWitt GV, Cobb CM, Killoy WJ. The acute periodontal abscess: microbial
penetration of the soft tissue wall. Int J Periodontics Restorative
Dent. 1985; 5: 38-51.
Herrare D, Rolden S, Sonz M. The periodontal Abscess: A review. J Clin
Meng HX. Periodontal Abscess. Ann Periodontol. 1999; 4: 79-82. doi:
10.1902/annals.1999.4.1.79
Mc Leod DE, Lainson PA, Spivey JD. Tooth Loss due to Periodontal
Abscess: A retrospective study. J Periodontol. 1997; 68: 963-966.
doi: 10.1902/ jop.1997.68.10.963
Vence MG, Benfenati SP. Treatment of periodontal abscess: A rationolized
approach. Quintessence Int. 1984; 15: 219-227.

43
Palmer RM. Acute lateral periodontal abscess. Br Dent J. 1984; 15: 311-
312.

Balatsouras DG, Elioupolous NP, Kaberos AC. LingualAbscess:


Diagnousis and Treatment. Head Neck. 2004, 26(6):550-554.
Hehar SS, Johnson IJM, Jones NS. Glossal abscesspresenting as unilateral
tongue swelling. The Journal of Laryngology and Otology. 1996,
110:389-390.
Bernardini CV. Abscess of the tongue. California andWestern Medicine.
1945, 63:1316-1317.
Carvalho et al.
Sands M, Pepe J, Brown RB. Tongue abscess: case reportand review. Clin
Infect Dis. 1993, 16:133-35.
Munõz A, Ballesteros AI, Castelo JAB. Primary LingualAbscess Presenting
as Acute Swelling of the Tongue Obstructing the Upper Airway:
Diagnosis with MR. Am J Neuroradiol. 1998, 19:496–498.
Ozturk M, Mavili E, Erdogan N, Cagli S, Guney E. TongueAbscesses: MR
Imaging Findings. Am J Neuroradiol. 2006, 27:1300-03.
Kim HJ, Lee BJ, Kim SJ, Shim WY, Baik SK, Sunwoo M.Tongue Abscess
Mimicking Neoplasia. Am J Neuroradiol. 2006, 27:2202-03.
Antoniades K, Hadjipetrou L, Antoniades V. Acute tongueabscess: report of
three cases. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod.
2004, 97:570-73.
Olsen JC. Lingual abscess secondary to body piercing. JEmerg Med.
2001;20:409.

44
Eviatar E, Pitaro K, Segal S, Kessler A. Lingual abscess: Secondary to
follicular tonsillitis. Otolaryngology - Head and Neck Surgery. 2004,
131(4) 558-559.
Boon M, Pribitkin E, Spiegel J, Nazarian L, Herbison GJ.Lingual abscess
from a grill cleaning brush bristle. Laryngoscope. 2009, 119(1):79-8.
Vellin JF, Crestani S, Saroul N, Bivahagumye L,Gabrillargues J, Gilain L.
Acute Abscess of the Base of the Tongue: A Rare but Important
Emergency. J Emerg Med. 2008 Nov 18.
Moya Albiol S, Estors JL, De la Fuente Arjona, UrchueguíaNavarro MT.
Tongue abscess. Report of a case and bibliographic review. Acta
Otorrinolaringol Esp. 2000, 51(6):535-8.
Ozturk M, Yorulmaz I, Guney E, Ozcan N. Masses of thetongue on mouth
floor: findings on magnatic resonance imaging. Eur Radiol. 2000,
10:1669-1674.
Zamarro MTL, Pérez ML, Soriano JAM, Sanz GM.Actinomicosis de base
de lengua. Acta Otorrinolaringol Esp. 2005, 56:222-225.
Houston GD, Brown FH. Differential diagnosis of the palatal mass.
Compendium 1993;14:1222-1224.
Odell EW. Clinical Problem solving in dentistry. 2nd ed. Elsevier Science,
2004:223-226.
Hargreaves KM, Goodis HE. Seltzer and Bender’s dental pulp. 3rd ed.
Quintessence Publishing, 1984.
Maestre Vera JR. Treatment options in odontogenic infection. Med Oral
Patol Oral Cır Bucal 2004;9:19-31.

45
Mitchell CS, Nelson Jr MD. Orofacial abscess of odontogenic origin in the
pediatric patient: Report of two cases. Pediatr Radiol 1993;23:432-
434.
Jimenez Y, Bagan JV, Murillo J, Poveda R. Odontogenic infections.
Complications. Systemic manifestations. Med Oral Patol Oral Cır
Bucal 2004;9:139-147

46

Anda mungkin juga menyukai