Apabila terjadi sebuah kondisi abses periapikal pada sebuah gigi yang mengalami proses infeksi,
maka pada prinsipnya, pus yang terkandung harus dikeluarkan, namun jika tidak dikeluarkan,
maka ia pun dapat mencari jalan keluar sendiri, eits… tunggu dulu… jangan berasumsi “kalau
gitu dibiarin aja!”, karena pada proses perjalanannya, pasti sakit… dengan intensitas yang
berbeda di tiap individu.
Kali ini, kita membayangkan jika abses periapikal tidak dirawat dengan baik agar dapat
terdrainase, tentunya pus masih akan berkutat di regio periapikal. Seperti yang sempat
disebutkan diatas tadi, sesuai dengan pola penyebaran abses yang dipengaruhi oleh 3 kondisi :
1. Virulensi bakteri,
2. Ketahanan jaringan,
3. dan perlekatan otot.
Kondisi-kondisi yang tertulis di bawah ini adalah berkaitan dengan poin ke-2 dan ke-3, karena
ketahanan jaringan dan letak perlekatan otot mempengaruhi sampai dimana arah gerak pus.
Dengan adanya faktor-faktor tersebut, maka akan tercipta kondisi-kondisi seperti yang tertera
pada gambar, dengan syarat dan ketentuan yang berlaku :
a. Abses Submukosa (Submucous Abscess)
Disebut “submukosa” karena memang dikarenakan pus terletak dibawah lapisan mukosa, akan
tetapi, jika berbeda tempat, berbeda pula namanya. Ada 4 huruf “a” yang tertera pada gambar,
kesemuanya merupakan abses submukosa, namun untuk yang terletak di palatal, disebut sebagai
Abses Palatal (Palatal Abscess). Yang terletak tepat dibawah lidah dan diatas (superior dari)
perlekatan otot Mylohyoid disebut abses Sublingual (Sublingual Abscess). Yang terletak di
sebelah bukal gigi disebut dengan Abses vestibular, kadangkala sering terjadi salah diagnosa
karena letak dan secara klinis terlihat seperti Abses Bukal (Buccal Space Abscess), akan tetapi
akan mudah dibedakan ketika kita melihat arah pergerakan polanya, jika jalur pergerakan pusnya
adalah superior dari perlekatan otot masseter (rahang atas) dan inferior dari perlekatan otot
maseter (rahang bawah), maka kondisi ini disebut Abses Bukal, namun jika jalur pergerakan
pusnya adalah inferior dari perlekatan otot maseter (rahang atas) dan superior dari perlekatan
otot maseter (rahang bawah), maka kondisi ini disebut Abses Vestibular.
Abses Bukal (Buccal Space Abscess) dan Abses Vestibular kadang terlihat membingungkan
keadaan klinisnya, akan tetapi akan mudah dibedakan ketika kita melihat arah pergerakan
polanya, jika jalur pergerakan pusnya adalah superior dari perlekatan otot masseter (rahang atas)
dan inferior dari perlekatan otot maseter (rahang bawah), maka kondisi ini disebut Abses Bukal,
namun jika jalur pergerakan pusnya adalah inferior dari perlekatan otot maseter (rahang atas) dan
superior dari perlekatan otot maseter (rahang bawah), maka kondisi ini disebut Abses Vestibular.
Kondisi ini tercipta jika jalur pergerakan pus melalui inferior (dibawah) perlekatan otot
Mylohyoid dan masih diatas (superior) otot Platysma.
d. Abses Perimandibular
Kondisi ini unik dan khas , karena pada klinisnya akan ditemukan tidak terabanya tepian body of
Mandible, karena pada region tersebut telah terisi oleh pus, sehingga terasa pembesaran di region
tepi mandibula.
Sesuai namanya, abses ini terletak tepat dibawah lapisan kulit (subkutan). Ditandai dengan
terlihat jelasnya pembesaran secara ekstra oral, kulit terlihat mengkilap di regio yang mengalami
pembesaran, dan merupakan tahap terluar dari seluruh perjalanan abses. Biasanya jika dibiarkan,
akan terdrainase spontan, namun disarankan untuk melakukan insisi untuk drainase sebagai
perawatan definitifnya.
f. Sinusitis Maksilaris
Sebenarnya ini merupakan sebuah kelanjutan infeksi yang lumayan ekstrim, karena letak akar
palatal gigi molar biasanya berdekatan dengan dasar sinus maksilaris, maka jika terjadi infeksi
pada periapikal akar palatal gigi molar, jika tidak tertangani dari awal, maka penjalran infeksi
dimungkinkan akan berlanjut ke rongga sinus maksilaris dan menyebabkan kondisi sinusitis.
Dari penjelasan mengenai tata letak persebaran abses ini, saya bertujuan membuka jalur berpikir
kita, bahwa pola perjalanan ini bisa dilogika, bisa dipahami, dan bisa diprediksi, darimana asal
absesnya.. akan kemana setelah ini.. kapan seharusnya mulai melakukan tindakan.. tindakan apa
yang tepat jika di lokasi tertentu.. semua merupakan kesatuan yang logis. Jadi pesan saya
adalah.. teruslah memahami setiap permasalahan secara teratur, dan kita akan menemukan
solusinya. Semoga bermanfaat.
Terima Kasih!
Salam Sejawat.
Infeksi Odontogenik
A. Infeksi Odontogenik
Infeksi odontogenik merupakan infeksi akut atau kronis yang berasal dari gigi yang
berhubungan dengan patologi. Mayoritas infeksi yang bermanifestasi pada region orofacial
adalah odontogenik. Infeksi odontogenik merupakan pemyakit yang paling umum sedunia dan
merupakan alasan mencari perawatan dental (Fragiskos , 2007)
Infeksi terbanyak di regio maxila dan mandibula disebabkan oleh infeksi odontogenik
antara lain infeksi periapikal dan periodontal, kista, fraktur akar, infeksi residual dan poket
perikoronal (Archer, 1975).
Ada tiga variabel penting yang harus dievaluasi pada manajemen infeksi yaitu:
1. Penyebab infeksi (bakteri, virus atau jamur)
2. Anatomis tempat terjadinya infeksi
3. Kemampuan pasien melawan infeksi
(Archer, 1975)
Untuk memahami bagaimana penyembuhan infeksi, seorang dokter gigi harus
menmahami patofisiologi infeksi yaitu:
Inokulasi: masuknya mikroba patogen ke dalam tubuh tanpa menyebabkan penyakit
Infeksi : terjadinya proliferasi dari mikroba yang merangsang mekanisme pertahanan tubuh
Inflamasi : reaksi lokal dari jaringan pembuluh darah dan ikat serta menghasilkan pembentukan
eksudat yang kaya akan protein dan sel.
Berdasarkan lama dan keparahan, inflamasi diklasifikasikan menjadi akut, subakut dan kronis.
(Fragiskos, 2007)
B. Etiologi
Rongga mulut merupakan tempat hidup bakteri aerob dan anaerob yang berjumlah lebih
dari 400 ribu spesies bakteri. Ratio antara bakteri aerob dengan anaerob berbanding 10:1 sampai
100:1. Organisme-organisme ini merupakan flora normal dalam mulut yang terdapat dalam plak
gigi, cairan sulkus ginggiva, mucus membrane, dorsum lidah, saliva dan mukosa mulut.
Kekomplekan flora rongga mulut dan gigi dapat menjelaskan etiologi spesifik dari beberapa tipe
terjadinya infeksi gigi dan infeksi dalam rongga mulut, tetapi lebih banyak disebabkan oleh
adanya gabungan antara bakteri gram positif yang aerob dan anaerob. Dalam cairan gingival,
kira-kira ada 1.8 x 1011 anaerobs/gram.
Infeksi odontogen biasanya disebabkan oleh bakteri endogen. Lebih dari setengah kasus
infeksi odontogen yang ditemukan (sekitar 60 %) disebabkan oleh bakteri anaerob. Organisme
penyebab infeksi odontogen yang sering ditemukan pada pemeriksaan kultur adalah alpha-
hemolytic Streptococcus, Peptostreptococcus, Peptococcus, Eubacterium, Bacteroides
(Prevotella) melaninogenicus, and Fusobacterium. Bakteri aerob sendiri jarang menyebabkan
infeksi odontogen (hanya sekitar 5 %). Bila infeksi odontogen disebabkan bakteri aerob,
biasanya organisme penyebabnya adalah bakteri gram positif yaitu species Streptococcus. Infeksi
odontogen banyak juga yang disebabkan oleh infeksi campuran bakteri aerob dan anaerob yaitu
sekitar 25 %. Pada infeksi campuran ini biasanya ditemukan 5-10 organisme pada pemeriksaan
kultur. Bakteri Fusobacteria sp. biasanya ditermukan pada infeksi yang berat (Abubaker dan
Benson, 2007).
C. Patofisiologi
Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap abses dentoalveolar,
tahap yang menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut yang merupakan tahap komplikasi.
Infeksi biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang sudah
mendekati ruang pulpa, kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi
kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi gigi dapat terjadi secara lokal atau meluas secara
cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa
sampai apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang
terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain
yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut. Rangsangan yang ringan dan kronis
menyebabkan membran periodontal di apikal mengadakan reaksi membentuk dinding untuk
mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi tersebut dapat berupa
periodontitis apikalis yang supuratif atau abses dentoalveolar.
Pada infeksi sekitar foramen apikalis terjadi nekrosis disertai akumulasi leukosit
yang banyak dan sel-sel inflamasi lainnya. Sedangkan pada jaringan sekitar abses akan tampak
hiperemis dan edema. Bila masa infeksi bertambah, maka tulang sekitarnya akan tersangkut,
dimulai dengan hiperemia pembuluh darah kemudian infiltrasi leukosit dan akhirnya proses
supurasi. Penyebaran selanjutnya akan melalui kanal tulang menuju permukaan tulang dan
periosteum. Tahap berikutnya periosteum pecah dan pus akan terkumpul di suatu tempat di
antara spatia sehingga membentuk suatu rongga patologis. Pembentukan abses pada umumnya
didahului oleh periodontitis apikalis akut, namun dapat juga langsung tanpa didahului oleh
periodontitis apikalis.
Stadium
1. Stadium subperiostal dan periostal
• Pembengkakan belum terlihat jelas
• Warna mukosa masih normal
• Perkusi gigi yang terlibat terasa sakit yang sangat
• Palpasi sakit dengan konsistensi keras
2. Stadium serosa
• Abses menembus periosteum, masuk tunika serosa dari tulang dan
pembengkakan sudah ada
• Mukosa mengalami hiperemi dan merah
• Rasa sakit yang mendalam
• Palpasi sakit dan konsistensi keras, belum ada fluktuasi
3. Stadium subkutan
•Pembengkakan sudah sampai kebawah kulit
•Warna kulit ditepi pembengkakan merah, tapi tengahnya pucat
•Konsistensi sangat lunak seperti bisul yang mau pecah
•Turgor kencang, berkilat dan berfluktuasi tidak nyata
E. Macam Infeksi
Tahap awal infeksi odontogenik biasanya diinisiasi oleh bakteri aerob yang bervirulensi
tinggi (umumnya streptococci) yang menyebabkan terjadinya celulitis, yang diikuti dengan
infeksi dari bakteri campuran aerob dan anaerob. Infeksi akan berkembang menjadi semakin
kronis (tahap abses) dimana bakteri anaerob akan semakin mendominasi.
1. Celulitis
Istilah selulitis digunakan suatu penyebaran oedematus dari inflamasi akut padapermukaan
jaringan lunak dan bersifat difus. Selulitis dapat terjadi pada semua tempatdimana terdapat
jaringan lunak dan jaringan ikat longgar, terutama pada muka dan leher,karena biasanya
pertahanan terhadap infeksi pada daerah tersebut kurang sempurna.
Selulitis adalah suatu pembengkakan jaringan yang hangat, difus, eritematus dan terasa nyeri.
Selulitis bisa mudah ditangani namun bisa juga menjadi parah dan mengancam jiwa.
a) Etiologi
Etiologinya berasal dari bakteri Streptococcus sp. Mikroorganisme lainnya negatif anaerob
seperti Prevotella, Porphyromona dan Fusobacterium (Berini, et al, 1999). Infeksi odontogenik
pada umumnya merupakan infeksi campuran dari berbagai macam bakteri, baik bakteri aerob
maupun anaerob mempunyai fungsi yang sinergis.
Infeksi Primer selulitis dapat berupa perluasan infeksi/abses periapikal, osteomyielitis dan
perikoronitis yang dihubungkan dengan erupsi gigi molar tiga rahang bawah, ekstraksi gigi yang
mengalami infeksi periapikal/perikoronal, penyuntikan dengan menggunakan jarum yang tidak
steril, infeksi kelenjar ludah (Sialodenitis), fraktur compound maksila / mandibula, laserasi
mukosa lunak mulut serta infeksi sekunder dari oral malignancy. Penyebab dari selulitis adalah
bakteri streptokokus, streptokokus piogenes dan stapilokokus aureus.
b) Gejala Klinis
Selulitis pada mulanya pembengkakan yang terjadi terbatas pada area tertentu yaitu satu
atau dua ruangan fasial yag tidak jelas batasnya. Palpasi pada region tersebut mengungkapkan
konsistensinya sangat lunak dan spongios. Pasien juga menunjukkan gejala demam malaise, rasa
sakit, pembengkakan, trismus disfagia dan limfadenitis. Pada tahap ini akan terjadi leukositosis
dan meningkatnnya laju endap darah (ESR). Apabila perdarahan tubuh efektif, maka akan terjadi
pembentukan infiltrate regional dan konsistensi pembengkakan menjadi keras atau bahka seperti
papan (board like). Pada saat ini terjadi purulensi dan difus (tidak terlokalisir). Pada tahap ini
potensi untuk menyebar kejaringan sekitarnya sagat tinggi.
c) Penegakan Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis selulitis, dibutuhkan pemeriksaan laboratorium, yakni
pemeriksaan darah untuk melihat jumlah sel darah putih, eosinofil dan peningkatan laju
sedimentasi eritrosit. Pada penderita selulitis akan terjadi leukositosis, yakni jumlah sel leukosit
dalam darah meningkat akibat adanya infeksi. Setelah pemeriksaan darah selesai dilakukan,
kemudian dilanjutkan kultur bakteri dan pewarnaan gram bakteri untuk mengetahui jenis bakteri
yang menginfeksi jaringan tersebut. Dengan mengetahui jenis bakteri pada jaringan tersebut,
dapat diketahui jenis antibiotik yang akan digunakan sebagai terapi.
Hal pertama yang dilakukan untuk meng kultur bakteri pada penegakan diagnosis selulitis
adalah dengan mencuci kulit dengan sabun anti kuman, serta mukosa diolesi dengan alkohol.
Daerah selulitis tersebut dilakukan aspirasi menggunakan jarum 18-20 gauge. Aspirant yang
berupa serous dimasukan kedalam vital transport anaerob, atau apabila bisa diantarkan dengan
cepat (10-15 menit) dapat digunakan spuit
d) Terapi
Terapi dari selulitis adalah dengan antibiotik dan menghilangkan kausa infeksi. Namun
apabila belum terlihat tanda penyembuhan setelah 2-3 hari dan apabila ditemukan purulen, maka
sebaiknya dilakukan bedah incisi dan drainase (Abubaker dan Benson, 2007)
Selulitis memerlukan penanganan yang segera, dalam terapinya digunakan obat analgesic
dan antibiotic dengan dosis yang ditingkatkan. Pemberian antibiotika penicillin ataupun
clindamycin dalam dosis besar, Infeksi ringan dapat diobati dengan obat, analgesik, antipretik.
(Fragiskos, 2007)
Penanganan mengenai jalan nafas menjadi tujuan utama sehingga apabila terjadi
hambatan nafas maka bisa dilakukan laryngotomy namun tidak disarankan tracheostomy. (Malik,
2008). Untuk operasi pembedahan dilakukan dengan tujuan mengurangi kompresi sehingga jalan
nafas menjadi lebih terbuka dan kemudian untuk mengeluarkan dilakukan insisi submandibular
bilateral ataupun jika diperlukan submental midline. Hal ini dilakukan bila diperlukan. (Malik,
2008)
Pemberian obat tersebut dilakukan secara peroral, bila terjadi gangguan pada penelanan
seperti terhambatnnya laring, maka obat diberikan melalui suntikan intravena. Obat antibiotik
yang dapat diberikan melalui intravena adalah oksasilin dan nafsilin. Terapi dengan insisi dan
drainase dilakukan bila telah terbentuk mata abses yang ditunjukan pula dengan adanya fluktuan
dan pembentukan abses.
Insisi dan drainase melalui kulit dilakukan dengan memilih daerah bebas dengan
mempertimbangkan estetik. Pertama tama kulit dipersiapkan dengan menggunakan surgical
scrub yang diusapkan pada daerah incise menggunakan handuk. Kemudian dilakukan anestesi
local (infiltrasi, blok maksilar, mandibular, servikal, superficial baik sendiri ataupun kombinasi)
dan pemberian sedasi. Pemberian anestesi umum pada tindakan incise drainesi ini juga dapat
dilakukan. Sebelum incise dilakukan aspirasi eksudat untuk sampel pemeriksaan smear dan
kultur, incise dibuat sejajar dengan garis langer dan lipatan kulit. Agar dapat mencapai kantung
kantung nanah pada ruangan ruangan fasial yang jauh letaknya maka harus dilakukan diseksi
tertutup yang dalam menggunakan hemostat dengan lengkungan yang kecil.
Pada kunjungan kontrol pertama (biasanya sesudah 24 jam) dressing diganti dan bagian
yang di drainase diperiksa. Akan lebih baik bila dikultur ulang terhadap bahan drainase, karena
flora sangat cepat berubah, khususnya dengan adanya perubahan lingkugan jaringan local.
Kadang perlu dilakukan irigasi pada daerah yag di drainase. Bahan yang digunakan untuk irigasi
adalah larutan saline steril, larutan antibiotic topical dan kimia, misal larutan dankins atau
hydrogen peroxide.
2. Abses
Abses adalah suatu poket jaringan yang mengandung jaringan nekrotik, koloni bakteri dan
sel darah putih mati. Daerah infeksi bisa berfluktuasi maupun tidak berfluktuasi (Abubaker dan
Benson, 2007).
Secara harfiah, abses merupakan suatu lubang berisi kumpulan pus terlokalisir akibat
proses supurasi pada suatu jaringan yang disebabkan oleh bakteri piogenik. Abses yang sering
terjadi pada jaringan mulut adalah abses yang berasal dari regio periapikal. Daerah supurasi
terutama tersusun dari suatu area sentral berupa polimorfonuklear leukosit yang hancur
dikelilingi oleh leukosist hidup dan kadang-kadang terdapat limfosit. Abses juga merupakan
tahap akhir dari suatu infeksi jaringan yang dimulai dari suatu proses yang disebut inflamasi
(Aryati, 2006).
1). Etiologi
Abses pada umumnya disebabkan karena patologi, trauma atau perawatan gigi dan
jaringan pendukungnya. Infeksi odontogenik ini dimulai dengan terjadinya kematian pulpa,
invasi bakteri dan perluasan proses infeksi kearah periapikal. Terjadinya peradangan yang
terlokalisir atau abses periapikal akut tergantung dari virulensi kuman dan efektivitas pertahanan
hospes. Kerusakan pada ligamentum periodontium bisa memberikan kemungkinan masuknya
bakteri dan akhirnya terjadi abses periodontal akut. Apabila gigi tidak erupsi sempurna, mukosa
yang menutupi sebagian gigi tersebut mengakibatkan terperangkap dan terkumpulnya bakteri dan
debris, sehingga mengakibatkan abses perikoronal (Pedersen, 1996).
2). Gambaran Klinis
Abses merupakan infeksi akut yang terlokalisir, manifestasinya dapat berupa peradangan,
pembengkakan disertai nyeri jika ditekan atau disertai kerusakan jaringan setempat. Abses
periapikal berukuran kecil, berdiameter kurang lebih 1 cm sehingga menutupi vestibulum.
Mukosa di atasnya Nampak mengkilat, eritematous, tegang dan kencang. Abses periodontal akut
dapat ditandai dengan adanya pembengkakan yang besar dan pergeseran papilla interdental yang
jelas atau mungkin akan menjadi abses periapikal dengan penutupan/kelainan vestibular. Abses
perikoronal akut/perikoronitis yang melibatkan gigi yang erupsi sebagian menunjukkan tanda
pembengkakan yang eritematous, penonjolan dan pergeseran jaringan sekitarnya dan yang
menutupi (operculum). Ronsen periapikal menunjukkan adanya kerusakkan tulang disekitar gigi
yang terkena yang disebabkan karena infeksi kronis yang terjadi sebelumnya (Pedersen, 1996).
3). Tanda dan Gejala
Abses odontogenik akut menimbulkan gejala sakit yang kompleks, pembengkakkan,
kemerahan, supurasi, gangguan pengecapan dan bau mulut. Rasa sakit yag diderita disertai
dengan nyeri tekan regional yang ekstrim yang tidak mempan diobati dengan analgetik biasa.
4). Penegakkan Diagnosis
Abses periodontal dan perikoronal sering disertai dengan purulensi yang biasa dijadikan
sampel untuk kultur sebelum dilakukan tindakan lokal. Apabila abses memiliki dinding yang
tertutup, yang merupakan ciri khas dari lesi periapikal maka palpasi digital yang dilakukan
perlahan terhadap lesi yang teranastesi bisa menunjukkan adanya fluktuasi yang merupakan
bukti adanya purulensi. Untuk menegakkan diagnosi abses dilakukan kultur dan pengecatan
bakteri serta foto ronsen berupa ronsen periapikal atau OPG dan jika infeksi sudah menyebar
luas dibutuhkan ronsen CT Scan.
Daerah yang mengalami fluktuasi diaspirasi untuk diambil purulensinya. Hal tersebut
dilakukan dengan memasukkan jarum besar 18 atau 20 gauge yang dicekatkan pada spuit
disposibel yang berukuran 3 ml atau lebih kedalam lesi. Biasanya didapatkan eksudat yang
bercampur darah dengan warna kuning atau seperti krim. Apabila tidak didapatkan bahan
purulensi maka infeksinya bersifat difus. Sedangkan pada ronsen foto terlihat adanya gambaran
radiolusen dengan batas tepi yang tidak tegas pada daerah apical gigi.
5). Terapi
a). Penatalaksanaan Abses Odontogenik
Perawatan abses odontogenik dapat dilakukan secara lokal/sitemik. Perawatan lokal
meliputi irigasi, aspirasi, insisi dan drainase, sedangkan perawatan sistemik terdiri atas
pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit, terapi antibiotik, dan terapi pendukung. Walaupun
kelihatannya pasien memerlukan intervensi lokal dengan segera, tetapi lebih bijaksana apabila
diberikan antibiotik terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan terjadinya bakterimia dan
difusi lokal (inokulasi) sebagai akibat sekunder dari manipulasi (perawatan) yang dilakukan.
Pemberian antibiotik sesuai dengan kondisi infeksi diperlukan adanya kombinasi mengingat
bahwa lebih dominan infeksi abses merupakan bakteri anaerob sedangkan sisanya adalah bakteri
aerob. (Malik, 2008)
Pada pemberian antibiotik sebelumnya diperlukan kultur untuk mengetahui deposit bakteri
apa yang terdapat pada area tersebut sehingga pemberian antibiotika lebih tepat sasaran. Namun
dalam kultur perlu diketahui bahwa kendala mengenai ketahanan bakteri anaerob akan lebih
cepat mati dalam metode pengambilan bakteri dengan teknik aerob dan selain itu ketepatan
dalam pengambilan sampel. (Miloro dkk, 2004) Oleh karena itu menurut Balaji dkk (2009),
terkadang kultur bakteri tidak dilakukan secara rutin kecuali pada kasus:
Disaat pasien gagal merespon obat lebih dari 48 jam.
Ketika infeksi menyebar ke spasium lain
Pada pasien imunodepresed seperti pada HIV, maupun pasien dengan riwayat endokarditis.
Antibiotik yang biasa digunakan pertama kali antara lain amoksisilin/clavulanic acid
dengan pilihan lain penicillin dan clindamicin. (Balaji dkk, 2009) Terkadang adapun
penembahan metronidazole sebagai kombinasi untuk bakteri spesifik anaerob. (Malik, 2008)
Abses periodontal dan perikoronal sering disertai pernanahan (purulensi), yang bisa
dijadikan sampel untuk kultur sebelum dilakukan tindakan lokal. Apabila abses mempunyai
dinding yang tertutup, yang merupakan ciri khas dari lesi periapikal, maka palpasi digital yang
dilakukan perlahan-lahan terhadap lesi yang teranestesi bisa menunjukkan adanya fluktuasi yang
merupakan bukti adanya pernanahan.
Abses perikoronal dan periodontal superfisial yang teranestesi bisa diperiksa/dicari dengan
menggeser jaringan yang menutupinya yaitu papila interdental atau operkulum. Pada daerah
tersebut biasanya juga terdapat debris makanan, yang merupakan benda asing yang dapat
mendukung proses infeksi.
b). Alat dan Bahan
1) Jarum 18 atau 20 gauge
2) Spoit disposibel 3ml
3) Blade nomor 11 atau 15
4) Selang lateks, silikon, atau karet
c). Insisi dan Drainase
Abses fluktuan dengan dinding yang tertutup, baik abses periodontal maupun periapikal,
dirawat secara lokal yaitu insisi dan drainase, maka anestesi yang dilakukan sebelumnya yaitu
pada waktu sebelum aspirasi sudah dianggap cukup untuk melanjutkan tindakan ini.
Pada pembuatan insisi berprinsip insisi merupakan rute terpendek dengan akumulasi
eksudat atau nanah, tetapi selalu menjaga integritas struktur anatomi dan melakukan insisi
dengan kriteria estetika di daerah dengan dampak minimal pada daerah cutaneus atau mukosa
(dengan blade nomor 15 atau nomor 11). Kemudian dengan haemostat tumpul dimasukkan
sampai semua rongga yang terdapat eksudat atau nanah terhubung. Semua struktur anatomi yang
berhubungan harus dijaga dengan gerakan diseksi yang hati-hati. Setelah itu menjahit selang
lateks atau silikon ataupun karet sebagai tempat drainase. Hindari penggunaan kasa sebagai
bahan drainase, karena sekresi akan tertahan dan menggumpal, sehingga menciptakan tampon
yang akan menyebabkan infeksi bertahan di posisi tersebut.
Perlu diingat bahwa lokasi standar untuk melakukan insisi abses adalah daerah yang
paling bebas, yaitu daerah yang paling mudah terdrainase dengan memanfaatkan pengaruh
gravitasi. biasanya kesalahan yang sering dilakukan adalah membuat insisi yang terlalu kecil.
Insisi yang agak lebih besar mempermudah drainase dan pembukaannya bisa bertahan lebih
lama. Drain yang dipakai adalah suatu selang karet dan di pertahankan pada posisinya dengan
jahitan. Sedangkan untuk pembersihan drainase dilakukan setiap hari menggunakan larutan steril
sampai sekresi yang minimal atau tidak ada.
6). Perawatan Pendukung
Pasien diberi resep antibiotik (Penicillin atau erythromycin) dan obat-obatan analgesik
(kombinasi narkotik/non-narkotik). Perlu di tekankan kepada pasien bahwa mereka harus makan
dan minum yang cukup. Apabila menganjurkan kumur dengan larutan saline hangat,
onsentrasinya 1 sendok teh garam dilarutkan dalam 1 gelas air, dan dilaukan paling tidak seiap
selesai makan. Pasien dianjurkan untuk memperhatikan timbulnya gejala-gejala penyebaran
infeksi yaitu demam, meningkatnya rasa sakit dan pembengkakan, trismus/disfagia.
7). Macam macam Abses Odontogenik
a). Abses periapikal
Abses periapikal sering juga disebut abses dento-alveolar, terjadi di daerah periapikal gigi
yang sudah mengalami kematian dan terjadi keadaan eksaserbasi akut. Mungkin terjadi segera
setelah kerusakan jaringan pulpa atau setelah periode laten yang tiba-tiba menjadi infeksi akut
dengan gejala inflamasi, pembengkakan dan demam. Mikroba penyebab infeksi umumnya
berasal dari pulpa, tetapi juga bisa berasal sistemik (bakteremia).
b). Abses subperiosteal
Gejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan selulitis jaringan lunak mulut dan daerah
maksilofasial. Pembengkakan yang menyebar ke ekstra oral, warna kulit sedikit merah pada
daerah gigi penyebab. Penderita merasakan sakit yang hebat, berdenyut dan dalam serta tidak
terlokalisir. Pada rahang bawah bila berasal dari gigi premolar atau molar pembengkakan dapat
meluas dari pipi sampai pinggir mandibula, tetapi masih dapat diraba. Gigi penyebab sensitif
pada sentuhan atau tekanan.
c). Abses submukosa
Abses ini disebut juga abses spasium vestibular, merupaan kelanjutan abses subperiosteal
yang kemudian pus berkumpul dan sampai dibawah mukosa setelah periosteum tertembus. Rasa
sakit mendadak berkurang, sedangkan pembengkakan bertambah besar. Gejala lain yaitu masih
terdapat pembengkakan ekstra oral kadang-kadang disertai demam.lipatan mukobukal terangkat,
pada palpasi lunak dan fluktuasi podotip. Bila abses berasal darigigi insisivus atas maka sulkus
nasolabial mendatar, terangatnya sayap hidung dan kadang-kadang pembengkakan pelupuk mata
bawah. Kelenjar limfe submandibula membesar dan sakit pada palpasi.
d). Abses fosa kanina
Fosa kanina sering merupakan tempat infeksi yang bersal dari gigi rahang atas pada regio
ini terdapat jaringan ikat dan lemak, serta memudahkan terjadinya akumulasi cairan jaringan.
Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan pada muka, kehilangan sulkus nasolabialis dan
edema pelupuk mata bawah sehingga pak tertutup. Bibir atas bengkak, seluruh muka terasa sakit
disertai kulit yang tegang berwarna merah.
e). Abses spasium bukal
Spasium bukal berada diantara m. masseter ,m. pterigoidus interna dan m. Businator.
Berisi jaringan lemak yang meluas ke atas ke dalam diantara otot pengunyah, menutupi fosa
retrozogomatik dan spasium infratemporal. Abses dapat berasal dari gigi molar kedua atau ketiga
rahang atas masuk ke dalam spasium bukal.
Gejala klinis abses ini terbentuk di bawah mukosa bukaldan menonjol ke arah rongga
mulut. Pada perabaan tidak jelas ada proses supuratif, fluktuasi negatif dan gigi penyebab
kadang-kadang tidak jelas. Masa infeksi/pus dapat turun ke spasium terdekat lainnya. Pada
pemeriksaan estraoral tampak pembengkakan difus, tidak jelas pada perabaan.
f). Abses spasium infratemporal
Abses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya dan sering menimbulkan
komplikasi yang fatal. Spasium infratemporal terletak di bawah dataran horisontal arkus-
zigomatikus dan bagian lateral di batasi oleh ramus mandibula dan bagian dalam oleh
m.pterigoid interna. Bagian atas dibatasi oleh m.pterigoid eksternus. Spasium ini dilalui
a.maksilaris interna dan n.mandibula,milohioid,lingual,businator dan n.chorda timpani. Berisi
pleksus venus pterigoid dan juga berdekatan dengan pleksus faringeal.
g). Abses spasium submasseter
Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara insersi otot masseter
bagian superfisialis dan bagian dalam. Spasium ini berupa suatu celah sempit yang berjalan dari
tepi depan ramus antara origo m.masseter bagian tengah dan permukaan tulang. Keatas dan
belakang antara origo m.masseter bagian tengah dan bagian dalam. Disebelah belakang
dipisahkan dari parotis oleh lapisan tipis lembar fibromuskular. Infeksi pada spasium ini berasal
dari gigi molar tiga rahang bawah, berjalan melalui permukaan lateral ramus ke atas spasium ini.
Gejala klinis dapat berupa sakit berdenyut diregio ramus mansibula bagian dalam,
pembengkakan jaringan lunak muka disertai trismus yang berjalan cepat, toksik dan delirium.
Bagian posterior ramus mempunyai daerah tegangan besar dan sakit pada penekanan.
h). Abses spasium submandibula
Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang memisahkannya dari spasium
sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial bagian belakang mandibula. Dibatasi oleh
m.hiooglosus dan m.digastrikus dan bagian posterior oleh m.pterigoid eksternus. Berisi kelenjar
ludah submandibula yang meluas ke dalam spasium sublingual. Juga berisi kelenjar limfe
submaksila. Pada bagian luar ditutup oleh fasia superfisial yang tipis dan ditembus oleh arteri
submaksilaris eksterna.
Infeksi pada spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar, abses periodontal dan
perikoronitis yang berasal dari gigi premolar atau molar mandibula.
i). Abses sublingual
Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal , teletek diatas m.milohioid
dan bagian medial dibatasi oleh m.genioglosus dan lateral oleh permukaan lingual mandibula.
Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan daasarr mulut dan lidah terangkat, bergerser
ke sisi yang normal. Kelenjar sublingual aan tampak menonjol karena terdesak oleh akumulasi
pus di bawahnya. Penderita akan mengalami kesulitan menelen dan terasa sakit.
j). Abses spasium submental
Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di depannya melintang
m.digastrikus, berisi elenjar limfe submental. Perjalanan abses kebelakang dapat meluas ke
spasium mandibula dan sebaliknya infesi dapat berasal dari spasium submandibula. Gigi
penyebab biasanya gigi anterior atau premolar.
Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submental. Tahap akhir akan terjadi
supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif. Pada npemeriksaan intra oral tidak tampak adanya
pembengkakan. Kadang-kadang gusi disekitar gigi penyebab lebih merah dari jaringan
sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi dapat menyebar juga kearah spasium yang terdekat
terutama kearah belakang.
molar dua atau tiga bawah. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada tingkat otot
myohyloid, dan abses di sini akan menyebar ke ruang submandibula. Ada juga penyebab lain
yang sedikit dilaporkan antara lain adalah sialadenitis, abses peritonsilar, fraktur mandibula
terbuka, infeksi kista duktus thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher, trauma
oleh karena bronkoskopi, intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah, infeksi saluran
Organisme yang paling banyak ditemukan pada penderita Ludwig angina melalui isolasi
adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus. Bakteri anaerob seringkali juga
diisolasi meliputi bacteroides, peptostreptococci, dan peptococci. Bakteri gram positif yang telah
Candida, Eubacteria, dan spesies Clostridium. Bakteri Gram negatif yang diisolasi antara lain
spesies Klebsiella.
Ludwig Angina berawal dari infeksi odontogenik, khususnya dari molar dua atau tiga bawah.
Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada tingkat otot myohyloid, dan abses di sini akan
menyebar ke ruang submandibula. Ada juga penyebab lain yang sedikit dilaporkan antara lain
adalah sialadenitis, abses peritonsilar, fraktur mandibula terbuka, infeksi kista duktus
thyroglossus, epiglotitis, injeksi obat intravena melalui leher, trauma oleh karena bronkoskopi,
intubasi endotrakeal, laserasi oral, luka tembus di lidah, infeksi saluran pernafasan atas, dan
trauma pada dasar atau lantai mulut. Organisme yang paling banyak ditemukan padapenderita
angina Ludwig melalui isolasi adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus.
b. Gejala Klinik
Penderita Ludwig angina yang mempunyai riwayat hygiene mulut buruk atau baru saja
malakukan ekstraksi gigi dan sakit gigi yang buruk gejala yang timbul dapat bersamaan dengan
Gejala yang lain adalah nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengkakan di daerah
submandibula, yang tampak hiperemis, nyeri tekan dan keras pada perabaan (seperti
kayu),drooling, dan trismus. Ada juga yang mengalami disfonia (a hot potato voice),dikarenakan
Pada pemeriksaan mulut didapatkan dasar mulut dan leher depan membengkak secara
bilateral berwarna kecoklatan , dapat mendorong lidah ke atas dan belakang sehingga
menimbulkan sesak nafas. Pada palpasi teraba tegang dan kadangkala ada emfisema subkutan
serta tidak ada fluktuasi atau adenopati. Meskipun banyak pasien sembuh tanpa komplikasi,
angina Ludwig dapat berakibat fatal dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke atas
belakang, sehingga menimbulkan sesak napas dan atau stridor karena sumbatan jalan napas
kemudian sianosis.
Ciri lainnya adalah adanya pembengkakan besar, tenderness (+), konsistensi keras seperti papan
- lidah terangkat
- trismus
d. Penatalaksanaan
4 Prinsip utama
Setelah diagnosis angina Ludwig ditegakkan, maka penanganan yang utama adalah menjamin
jalan napas yang stabil melalui trakeostomi yang dilakukan dengan anastesi lokal. Selain itu,
diberikan antibiotik dosis tinggi dan berspektrum luas secara intravena untuk organisme gram
positif dan gram negatif, aerob maupun anaerob. Antibiotik yang diberikan sesuai dengan hasil
kultur dan hasil sensitifitas pus. Antibiotik yang diberikan misalnya penicillin-G dengan
secara intravena untuk mengurangi edema pada jalan napas masih sering diterapkan.
Drainase dipertimbangkan apabila terdapat infeksi supuratif, adanya penemuan radiologis berupa
akumulasi cairan atau udara pada jaringan lunak, krepitus, atau needle aspirate yang
purulen. Drainase juga dipertimbangkan bila tidak ada perbaikan klinik setelah pemberian terapi
antibiotik.
- roburantia
- bed rest
- insisi
- tracheoctomi
Prognosis Angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas dan kemudian
pemberian antibiotik.Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan
jiwa. Kematian pada era preantibiotik adalah sekitar 50%.Namun dengan diagnosis dini,
perlindungan jalan nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat,
penanganan dalam ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan komplikasi. Dengan
begitu angka mortalitas juga menurun hingga kurang dari 5%.
Albumin merupakan protein serum dengan jumlah paling besar dan memiliki beberapa
fungsi penting. Albumin menjaga tekanan osmotik koloid plasma sebesar 75-80% dan
merupakan 50% dari seluruh protein tubuh. Jika protein plasma khususnya albumin tidak dapat
lagi menjaga tekanan osmotic koloid akan terjadi ketidakseimbangan tekanan hidrostatik yang
akan menyebabkan terjadinya edema.
Albumin berfungsi sebagai transport berbagai macam substansi termasuk bilirubin, asam
lemak, logam, ion, hormone dan obat-obatan. Salah satu konsekuensi hipoalbumin adalah obat
yang seharunya berikatan dengan protein akan berkurang, dilain pihak obat yang tidak berikatan
akan meningkat, hal ini akan meningktakan kadar obat dalam darah. Perubahan pada albumin
akan menyebabkan gangguan fungsi pada platelet.
Kadar normal albumin dalam darah antara 3,5-4,5 g/dl, dengan jumlah total 300-500 g.
Inflamasi akut dan kronis dapat menyebabkan kadar albumin rendah dan akan menjadi normal
dalam beberapa minggu setelah inflamasi hilang. Pada inflamasi terjadi pelepasan cytokine
(TBF, IL-6) sebagai akibat respons inflamasi pada stress fisiologis (infeksi, bedah, trauma)
sehingga mengakibatkan penurunan kadar albumin. Mekanisme penurunan kadar albumin pada
inflamasi yakni:
1. Peningkatan permeabilitas vascular (mengijinkan albumin untuk berdifusi ke ruang
ekstravaskular)
2. Peningkatan degradasi albumin
3. Penurunan sintesis albumin (TNF-α yang berperan dalam penuruanan trankripsi gen
albumin)
menggunakan antibiotik yang sesuai. Apabila menjadi bentuk kronik, akan lebih sukar diterapi
Daftar Pustaka
Proses infeksi pada jaringan pulpo-periapikal dapat menyebabkan beberapa kondisi ketika
melibatkan jaringan periapikal, dapat berupa granuloma, abses, kista, atau osteomyelitis. Dalam
catatan ini akan dibahas mengenai patogenesa abses mulai dari jaringan periapikal hingga ke
jaringan lunak.
Saluran pulpa yang sempit menyebabkan drainase yang tidak sempurna pada pulpa yang
terinfeksi, namun dapat menjadi tempat berkumpulnya bakteri dan menyebar kearah jaringan
periapikal secara progresif (Topazian, 2002). Ketika infeksi mencapai akar gigi, jalur
patofisiologi proses infeksi ini dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi bakteri, ketahanan host,
dan anatomi jaringan yang terlibat.
Abses merupakan rongga patologis yang berisi pus yang disebabkan oleh infeksi bakteri
campuran. Bakteri yang berperan dalam proses pembentukan abses ini yaitu Staphylococcus
aureus dan Streptococcus mutans. Staphylococcus aureus dalam proses ini memiliki enzim aktif
yang disebut koagulase yang fungsinya untuk mendeposisi fibrin. Sedangkan Streptococcus
mutans memiliki 3 enzim utama yang berperan dalam penyebaran infeksi gigi, yaitu
streptokinase, streptodornase, dan hyaluronidase. Hyaluronidase adalah enzim yang bersifat
merusak jembatan antar sel, yang pada fase aktifnya nanti, enzim ini berperan layaknya parang
yang digunakan petani untuk merambah hutan.
Seperti yang kita semua ketahui, pada umumnya abses merupakan proses yang kronis, meskipun
sebenarnya ada juga abses periapikal akut, namun di catatan ini saya hendak membahas
mengenai perjalanan abses secara kronis.
Seperti yang disebutkan diatas, bakteri Streptococcus mutans (selanjutnya disingkat S.mutans)
memiliki 3 macam enzim yang sifatnya destruktif, salah satunya adalah enzim hyaluronidase.
Enzim ini berperan layaknya parang petani yang membuka hutan untuk dijadikan ladang
persawahannya, ya.. enzim ini merusak jembatan antar sel yang terbuat dari jaringan ikat
(hyalin/hyaluronat), kalau ditilik dari namanya “hyaluronidase”, artinya adalah enzim pemecah
hyalin/hyaluronat. Padahal, fungsi jembatan antar sel penting adanya, sebagai transpor nutrisi
antar sel, sebagai jalur komunikasi antar sel, juga sebagai unsur penyusun dan penguat jaringan.
Jika jembatan ini rusak dalam jumlah besar, maka dapat diperkirakan, kelangsungan hidup
jaringan yang tersusun atas sel-sel dapat terancam rusak/mati/nekrosis.
Proses kematian pulpa, salah satu yang bertanggung jawab adalah enzim dari S.mutans tadi,
akibatnya jaringan pulpa mati, dan menjadi media perkembangbiakan bakteri yang baik, sebelum
akhirnya mereka mampu merambah ke jaringan yang lebih dalam, yaitu jaringan periapikal.
Pada perjalanannya, tidak hanya S.mutans yang terlibat dalam proses abses, karenanya infeksi
pulpo-periapikal seringkali disebut sebagai mixed bacterial infection. Kondisi abses kronis dapat
terjadi apabila ketahanan host dalam kondisi yang tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup
tinggi. Yang terjadi dalam daerah periapikal adalah pembentukan rongga patologis abses disertai
pembentukan pus yang sifatnya berkelanjutan apabila tidak diberi penanganan.
Adanya keterlibatan bakteri dalam jaringan periapikal, tentunya mengundang respon keradangan
untuk datang ke jaringan yang terinfeksi tersebut, namun karena kondisi hostnya tidak terlalu
baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi, yang terjadi alih-alih kesembuhan, namun malah
menciptakan kondisi abses yang merupakan hasil sinergi dari bakteri S.mutans dan S.aureus.
S.mutans dengan 3 enzimnya yang bersifat destruktif tadi, terus saja mampu merusak jaringan
yang ada di daerah periapikal, sedangkan S.aureus dengan enzim koagulasenya mampu
mendeposisi fibrin di sekitar wilayah kerja S.mutans, untuk membentuk sebuah pseudomembran
yang terbuat dari jaringan ikat, yang sering kita kenal sebagai membran abses (oleh karena itu,
jika dilihat melalui ronsenologis, batas abses tidak jelas dan tidak beraturan, karena jaringan ikat
adalah jaringan lunak yang tidak mampu ditangkap dengan baik dengan ronsen foto). Ini adalah
peristiwa yang unik dimana S.aureus melindungi dirinya dan S.mutans dari reaksi keradangan
dan terapi antibiotika.
Tidak hanya proses destruksi oleh S.mutans dan produksi membran abses saja yang terjadi pada
peristiwa pembentukan abses ini, tapi juga ada pembentukan pus oleh bakteri pembuat pus
(pyogenik), salah satunya juga adalah S.aureus. jadi, rongga yang terbentuk oleh sinergi dua
kelompok bakteri tadi, tidak kosong, melainkan terisi oleh pus yang konsistensinya terdiri dari
leukosit yang mati (oleh karena itu pus terlihat putih kekuningan), jaringan nekrotik, dan bakteri
dalam jumlah besar.
Secara alamiah, sebenarnya pus yang terkandung dalam rongga tersebut akan terus berusaha
mencari jalan keluar sendiri, namun pada perjalanannya seringkali merepotkan pasien dengan
timbulnya gejala-gejala yang cukup mengganggu seperti nyeri, demam, dan malaise. Karena mau
tidak mau, pus dalam rongga patologis tersebut harus keluar, baik dengan bantuan dokter gigi
atau keluar secara alami.
Rongga patologis yang berisi pus (abses) ini terjadi dalam daerah periapikal, yang notabene
adalah di dalam tulang. Untuk mencapai luar tubuh, maka abses ini harus menembus jaringan
keras tulang, mencapai jaringan lunak, lalu barulah bertemu dengan dunia luar. Terlihat
sederhana memang, tapi perjalanan inilah yang disebut pola penyebaran abses.
Pola penyebaran abses dipengaruhi oleh 3 kondisi, yaitu (lagi-lagi) virulensi bakteri, ketahanan
jaringan, dan perlekatan otot. Virulensi bakteri yang tinggi mampu menyebabkan bakteri
bergerak secara leluasa ke segala arah, ketahanan jaringan sekitar yang tidak baik menyebabkan
jaringan menjadi rapuh dan mudah dirusak, sedangkan perlekatan otot mempengaruhi arah gerak
pus.
Sebelum mencapai “dunia luar”, perjalanan pus ini mengalami beberapa kondisi, karena sesuai
perjalanannya, dari dalam tulang melalui cancelous bone, pus bergerak menuju ke arah tepian
tulang atau lapisan tulang terluar yang kita kenal dengan sebutan korteks tulang. Tulang yang
dalam kondisi hidup dan normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis yang tervaskularisasi dengan
baik guna menutrisi tulang dari luar, yang disebut periosteum. Karena memiliki vaskularisasi
yang baik ini, maka respon keradangan juga terjadi ketika pus mulai “mencapai” korteks, dan
melakukan eksudasinya dengan melepas komponen keradangan dan sel plasma ke rongga
subperiosteal (antara korteks dan periosteum) dengan tujuan menghambat laju pus yang
kandungannya berpotensi destruktif tersebut. Peristiwa ini alih-alih tanpa gejala, tapi cenderung
menimbulkan rasa sakit, terasa hangat pada regio yang terlibat, bisa timbul pembengkakan,
peristiwa ini disebut periostitis/serous periostitis. Adanya tambahan istilah “serous” disebabkan
karena konsistensi eksudat yang dikeluarkan ke rongga subperiosteal mengandung kurang lebih
70% plasma, dan tidak kental seperti pus karena memang belum ada keterlibatan pus di rongga
tersebut. Periostitis dapat berlangsung selama 2-3 hari, tergantung keadaan host.
Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak mampu menghambat
aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke kondisi yang disebut abses subperiosteal.
Abses subperiosteal terjadi di rongga yang sama, yaitu di sela-sela antara korteks tulang dengan
lapisan periosteum, bedanya adalah.. di kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus, alias pus
sudah berhasil “menembus” korteks dan memasuki rongga subperiosteal, karenanya nama abses
yang tadinya disebut abses periapikal, berubah terminologi menjadi abses subperiosteal. Karena
lapisan periosteum adalah lapisan yang tipis, maka dalam beberapa jam saja akan mudah
tertembus oleh cairan pus yang kental, sebuah kondisi yang sangat berbeda dengan peristiwa
periostitis dimana konsistensi cairannya lebih serous.
Jika periosteum sudah tertembus oleh pus yang berasal dari dalam tulang tadi, maka dengan
bebasnya, proses infeksi ini akan menjalar menuju fascial space terdekat, karena telah mencapai
area jaringan lunak. Apabila infeksi telah meluas mengenai fascial spaces, maka dapat terjadi
fascial abscess. Fascial spaces adalah ruangan potensial yang dibatasi/ditutupi/dilapisi oleh
lapisan jaringan ikat. Fascial spaces dibagi menjadi :
1. Maksila
a. Canine spaces
b. Buccal spaces
c. Infratemporal spaces
2. Mandibula
a. Submental spaces
b. Buccal spaces
c. Sublingual spaces
d. Submandibular spaces
Fascial spaces sekunder merupakan fascial spaces yang dibatasi oleh jaringan ikat dengan
pasokan darah yang kurang. Ruangan ini berhubungan secara anatomis dengan daerah dan
struktur vital. Yang termasuk fascial spaces sekunder yaitu masticatory space, cervical space,
retropharyngeal space, lateral pharyngeal space, prevertebral space, dan body of mandible space.
Infeksi yang terjadi pada fascial spaces sekunder berpotensi menyebabkan komplikasi yang
parah.
Terjadinya infeksi pada salah satu atau lebih fascial space yang paling sering oleh karena
penyebaran kuman dari penyakit odontogenik terutama komplikasi dari periapikal abses. Pus
yang mengandung bakteri pada periapikal abses akan berusaha keluar dari apeks gigi, menembus
tulang, dan akhirnya ke jaringan sekitarnya, salah satunya adalah fascial spaces. Gigi mana yang
terkena periapikal abses ini kemudian yang akan menentukan jenis dari fascial spaces yang
terkena infeksi.
• Canine spaces
Berisi musculus levator anguli oris, dan m. labii superior. Infeksi daerah ini disebabkan
periapikal abses dari gigi caninus maksila. Gejala klinisnya yaitu pembengkakan pipi bagian
depan dan hilangnya lekukan nasolabial. Penyebaran lanjut dari infeksi canine spaces dapat
menyerang daerah infraorbital dan sinus kavernosus.
• Buccal spaces
Terletak sebelah lateral dari m. buccinator dan berisi kelenjar parotis dan n. facialis. Infeksi
berasal dari gigi premolar dan molar yang ujung akarnya berada di atas perlekatan m. buccinator
pada maksila atau berada di bawah perlekatan m. buccinator pada mandibula. Gejala infeksi
yaitu edema pipi dan trismus ringan.
• Infratemporal spaces
Terletak di posterior dari maksila, lateral dari proc. Pterigoideus, inferior dari dasar tengkorak,
dan profundus dari temporal space. Berisi nervus dan pembuluh darah. Infeksi berasaal dari gigi
molar III maksila. Gejala infeksi berupa tidak adanya pembengkakan wajah dan kadang terdapat
trismus bila infeksi telah menyebar.
• Submental space
Infeksi berasal dari gigi incisivus mandibula. Gejala infeksi berupa bengkak pada garis midline
yang jelas di bawah dagu.
• Sublingual space
Terletak di dasar mulut, superior dari m. mylohyoid, dan sebelah medial dari mandibula. Infeksi
berasal dari gigi anterior mandibula dengan ujung akar di atas m. mylohyoid. Gejala infeksi
berupa pembengkakan dasar mulut, terangkatnya lidah, nyeri, dan dysphagia.
• Submandibular space
Terletak posterior dan inferior dari m. mylohyoid dan m. platysma. Infeksi berasal dari gigi
molar mandibula dengan ujung akar di bawah m. mylohyoid dan dari pericoronitis. Gejala
infeksi berupa pembengkakan pada daerah segitiga submandibula leher disekitar sudut
mandibula, perabaan terasa lunak dan adanya trismus ringan.
• Masticator space
Berisi m. masseter, m. pterygoid medial dan lateral, insersi dari m. temporalis. Infeksi berasal
dari gigi molar III mandibula. Gejala infeksi berupa trismus dan jika abses besar maka infeksi
dapat menyebar ke lateral pharyngeal space. Pasien membutuhkan intubasi nasoendotracheal
untuk alat bantu bernapas.
Berhubungan dengan banyak space di sekelilingnya sehingga infeksi pada daerah ini dapat
dengan cepat menyebar. Gejala infeksi berupa panas, menggigil, nyeri dysphagia, trismus.
Infeksi berasal dari gigi molar mandibula, dari infeksi saluran pernapasan atas, dari tonsil,
parotis, telinga tengah, dan sinus. Gejala infeksi berupa kaku leher, sakit tenggorokan,
dysphagia, hot potato voice, stridor. Merupakan infeksi fascial spaces yang serius karena infeksi
dapat menyebar ke mediastinum dan daerah leher yang lebih dalam (menyebabkan kerusakan n.
vagus dan n cranial bawah, Horner syndrome)
PRINSIP TERAPI
Pada dasarnya, prinsip terapi abses adalah insisi untuk drainase (mengeluarkan cairan pus),
dengan catatan, prinsip ini dipergunakan untuk abses yang berada di jaringan lunak. Lalu
bagaimana dengan abses periapikal? Yang terjadi didalam tulang? Biasanya abses periapikal
memiliki “kondisi” khas berupa gigi mengalami karies besar dan terasa menonjol, sakit bila
digunakan mengunyah, kadang terasa ada cairan asin keluar dari gigi yang berlubang tersebut.
Terapi kegawat-daruratannya dalam kondisi ini tentunya belum dapat dilakukan insisi, oleh
karena pus berada dalam tulang, namun yang dapat dilakukan adalah melakukan prosedur open
bur, melakukan eksterpasi guna mengeluarkan jaringan nekrotik, oklusal grinding, dan
pemberian terapi farmakologi.
Terima Kasih!
Salam Sejawat.
Iklan
Pathway Abses Mandibula
Oleh I am a Nurse
Wednesday, August 20, 2014
Bagikan :
Pathway Abses Mandibula
Abses adalah suatu penimbunan nanah, biasanya terjadi akibat atau infeksi bakteri.
(www.,medicastore.com,2004)
Abses adalah kumpulan tertutup jaringan cair, yang dikenal sebagai nanah, di suatu tempat di
dalam tubuh. Ini adalah hasil dari reaksi pertahanan tubuh terhadap benda asing (Mansjoer A,
2005)
Abses adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang diawali dengan proses yang disebut
peradangan (Bambang, 2005)
Abses adalah infeksi kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong berisi nanah. (Siregar,
2004). Sedangkan abses mandibula adalah abses yang terjadi di mandibula. Abses dapat
terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari
daerah leher. (Smeltzer dan Bare, 2001)
Etiologi
Menurut Siregar (2004) suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses melalui beberapa cara
antara lain:
1. Bakteri masuk kebawah kuit akibat luka yang berasal dari tusukan jarum yang tidak steril
2. Bakteri menyebar dari suatu infeksi dibagian tubuh yang lain
3. Bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh manusia dan tidak
menimbulkan gangguan, kadang bisa menyebabkan terbentuknya abses.
Lebih lanjut Siregar (2004) menjelaskan peluang terbentuknya suatu abses akan meningkat jika :
Menurut Hardjatmo Tjokro Negoro, PHD dan Hendra Utama, (2001), abses mandibula sering
disebabkan oleh infeksi didaerah rongga mulut atau gigi. Peradangan ini menyebabkan adanya
pembengkakan didaerah submandibula yang pada perabaan sangat keras biasanya tidak teraba
adanya fluktuasi. Sering mendorong lidah keatas dan kebelakang dapat menyebabkan trismus.
Hal ini sering menyebabkan sumbatan jalan napas. Bila ada tanda-tanda sumbatan jalan napas
maka jalan napas hasur segera dilakukan trakceostomi yang dilanjutkan dengan insisi digaris
tengah dan eksplorasi dilakukan secara tumpul untuk mengeluarkan nanah. Bila tidak ada tanda-
tanda sumbatan jalan napas dapat segera dilakukan eksplorasi tidak ditemukan nanah, kelainan
ini disebutkan Angina ludoviva (Selulitis submandibula). Setelah dilakukan eksplorasi diberikan
antibiotika dsis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob.
Abses bisa terbentuk diseluruh bagian tubuh, termasuk paru-paru, mulut, rektum, dan otot. Abses
yang sering ditemukan didalam kulit atau tepat dibawah kulit terutama jika timbul diwajah.
1. DEFINISI
Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang
terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau
parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik).
Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan
infeksi ke bagian tubuh yang lain. Abses adalah infeksi kulit dan subkutis dengan gejala berupa
kantong berisi nanah.(Siregar, 2004).
Abses adalah pengumpulan nanah yang terlokalisir sebagai akibat dari infeksi yang melibatkan
organisme piogenik, nanah merupakan suatu campuran dari jaringan nekrotik, bakteri, dan sel
darah putih yang sudah mati yang dicairkan oleh enzim autolitik. (Morison, 2003)
Abses (misalnya bisul) biasanya merupakan titik “mata”, yang kemudian pecah; rongga abses
kolaps dan terjadi obliterasi karena fibrosis, meninggalkan jaringan parut yang kecil.
(Underwood, 2000)
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa abses adalah suatu infeksi kulit yang
disebabkan oleh bakteri / parasit atau karena adanya benda asing (misalnya luka peluru maupun
jarum suntik) dan mengandung nanah yang merupakan campuran dari jaringan nekrotik, bakteri,
dan sel darah putih yang sudah mati yang dicairkan oleh enzim autolitik.
2. Klasifikasi Abses
Abses septic
Kebanyakan abses adalah septik, yang berarti bahwa mereka adalah hasil dari infeksi. Septic
abses dapat terjadi di mana saja di tubuh. Hanya bakteri dan respon kekebalan tubuh yang
diperlukan. Sebagai tanggapan terhadap bakteri, sel-sel darah putih yang terinfeksi berkumpul di
situs tersebut dan mulai memproduksi bahan kimia yang disebut enzim yang menyerang bakteri
dengan terlebih dahulu tanda dan kemudian mencernanya. Enzim ini membunuh bakteri dan
menghancurkan mereka ke potongan-potongan kecil yang dapat berjalan di sistem peredaran
darah sebelum menjadi dihilangkan dari tubuh. Sayangnya, bahan kimia ini juga mencerna
jaringan tubuh. Dalam kebanyakan kasus, bakteri menghasilkan bahan kimia yang serupa.
Hasilnya adalah tebal, cairan-nanah kuning yang mengandung bakteri mati, dicerna jaringan, sel-
sel darah putih, dan enzim.
Abses adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang diawali dengan proses yang disebut
peradangan. Awalnya, seperti bakteri mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, beberapa kejadian
terjadi:
* Ternyata merah.
Abses steril
Abses steril kadang-kadang bentuk yang lebih ringan dari proses yang sama bukan disebabkan
oleh bakteri, tetapi oleh non-hidup iritan seperti obat-obatan. Jika menyuntikkan obat seperti
penisilin tidak diserap, itu tetap tempat itu disuntikkan dan dapat menyebabkan iritasi yang
cukup untuk menghasilkan abses steril. Seperti abses steril karena tidak ada infeksi yang terlibat.
Abses steril cukup cenderung berubah menjadi keras, padat benjolan karena mereka bekas luka,
bukan kantong-kantong sisa nanah.
1. Abses Ginjal
Abses ginjal yaitu peradangan ginjal akibat infeksi.Ditandai dengan pembentukan sejumlah
bercak kecil bernanah atau abses yang lebih besar yang disebabkan oleh infeksi yang menjalar ke
jaringan ginjal melalui aliran darah.
1. Abses Perimandibular
Bila abses menyebar sampai di bawah otot-otot pengunyahan, maka akan timbul bengkak-
bengkak yang keras, di mana nanah akan sukar menembus otot untuk keluar, sehingga untuk
mengeluarkan nanah tersebut harus dibantu dengan operasi pembukaan abses.
Radang kronis, yang terbungkus dengan terbentuknya nanah pada ujung akar gigi atau
geraham.Menyebar ke bawah selaput tulang (sub-periostal) atau di bawah selaput lendir mulut
(submucosal) atau ke bawah kulit (sub-cutaneus).Nanah bisa keluar dari saluran pada permukaan
gusi atau kulit mulut (fistel).Perawatannya bisa dilakukan dengan mencabut gigi yang menjadi
sumber penyakitnya atau perawatan akar dari gigi tersebut.
Bila nanah menyebar ke rongga-rongga tulang, maka sumsum tulang akan terkena radang
(osteomyelitis). Bagian-bagian dari tulang tersebut dapat mati dan kontradiksi dengan tubuh.
Dalam hal ini nanah akan keluar dari beberapa tempat (multiple fitsel).
Pada abses ini, karena sedikitnya radang, maka abses ini merupakan abses menahun yang
terbentuk secara perlahan-lahan.Biasanya terjadi pada penderita tuberkulosis tulang, persendian
atau kelenjar limfa akibat perkijuan yang luas.
1. Abses hati
Abses ini akibat komplikasi disentri amuba (Latin: Entamoeba histolytica), yang sesungguhnya
bukan abses, karena rongga ini tidak berisi nanah, melainkan jaringan nekrotik yang disebabkan
oleh amuba. Jenis abses ini dapat dikenali dengan ditemukannya amuba pada dinding abses
dengan pemeriksaan histopatologis dari jaringan.
3. Etiologi
Menurut Siregar (2004) suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses melalui beberapa cara:
1. Bakteri masuk ke bawah kulit akibat luka yang berasal dari tusukan jarum yang tidak
steril
2. Bakteri menyebar dari suatu infeksi di bagian tubuh yang lain
3. Bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh manusia dan tidak
menimbulkan gangguan, kadang bisa menyebabkan terbentuknya abses.
4. Patofisiologi
Jika bakteri masuk ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi suatu infeksi. Sebagian sel
mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel
darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak kedalam rongga
tersebut, dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati, sel darah putih yang mati inilah
yang membentuk nanah yang mengisi rongga tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong. Jaringan pada
akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas.Abses dalam hal ini
merupakan mekanisme tubuh mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut.Jika suatu abses pecah di
dalam tubuh, maka infeksi bisa menyebar kedalam tubuh maupun dibawah permukaan kulit,
tergantung kepada lokasi abses. (Utama, 2001)
5. Manifestasi Klinis
Abses bisa terbentuk diseluruh bagian tubuh, termasuk paru-paru, mulut, rektum, dan otot.Abses
yang sering ditemukan didalam kulit atau tepat dibawah kulit terutama jika timbul diwajah.
Menurut Smeltzer & Bare (2001), gejala dari abses tergantung kepada lokasi dan pengaruhnya
terhadap fungsi suatu organ saraf. Gejalanya bisa berupa:
1. Nyeri
2. Nyeri tekan
3. Teraba hangat
4. Pembengakakan
5. Kemerahan
6. Demam
Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak sebagai benjolan. Adapun
lokasi abses antaralain ketiak, telinga, dan tungkai bawah. Jika abses akan pecah, maka daerah
pusat benjolan akan lebih putih karena kulit diatasnya menipis. Suatu abses di dalam tubuh,
sebelum menimbulkan gejala seringkali terlebih tumbuh lebih besar.Paling sering, abses akan
menimbulkan nyeri tekan dengan massa yang berwarna merah, hangat pada permukaan abses ,
dan lembut.
Abses yang progresif, akan timbul “titik” pada kepala abses sehingga Anda dapat
melihat materi dalam dan kemudian secara spontan akan terbuka (pecah).
Sebagian besar akan terus bertambah buruk tanpa perawatan. Infeksi dapat menyebar ke
jaringan di bawah kulit dan bahkan ke aliran darah.
Jika infeksi menyebar ke jaringan yang lebih dalam, Anda mungkin mengalami demam
dan mulai merasa sakit. Abses dalam mungkin lebih menyebarkan infeksi keseluruh
tubuh.
6. Pemeriksaan Diagnostik
Abses di kulit atau dibawah kulit sangat mudah dikenali, sedangkan abses dalam seringkali sulit
ditemukan. Pada penderita abses biasanya pemeriksaan darah menunjukkan peningkatan jumlah
sel darah putih. Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses dalam, bisa dilakukan pemeriksaan
rontgen, USG, CT scan atau MRI.
7. Komplikasi
Komplikasi mayor dari abses adalah penyebaran abses ke jaringan sekitar atau jaringan yang
jauh dan kematian jaringan setempat yang ekstensif (gangren). Pada sebagian besar bagian
tubuh, abses jarang dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tindakan medis secepatnya
diindikasikan ketika terdapat kecurigaan akan adanya abses. Suatu abses dapat menimbulkan
konsekuensi yang fatal.Meskipun jarang, apabila abses tersebut mendesak struktur yang vital,
misalnya abses leher dalam yang dapat menekan trakea. (Siregar, 2004)
8. Penatalaksanaan Medis
1. Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik.
Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah,
debridemen, dan kuretase. hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa
penanganan hanya dengan menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan
jarang merupakan tindakan yang efektif. Hal tersebut terjadi karena antibiotik
sering tidak mampu masuk ke dalam abses, selain bahwa antibiotik tersebut
seringkali tidak dapat bekerja dalam pH yang rendah.
9. Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya, utamanya
apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut harus diambil. Apabila
tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya,
bersamaan dengan pemberian obat analgesik dan mungkin juga antibiotik.
10. Drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya diindikasikan apabila abses
telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap nanah yang lebih
lunak.
11. Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis, tindakan
pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir yang perlu
dilakukan.
12. Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus, antibiotik
antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan. Dengan adanya
kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA) yang didapat melalui
komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang
didapat melalui komunitas, digunakan antibiotik lain: clindamycin, trimethoprim-
sulfamethoxazole, dan doxycycline.
Adapun hal yang perlu diperhatikan bahwa penanganan hanya dengan menggunakan antibiotik
tanpa drainase pembedahan jarang merupakan tindakan yang efektif.Hal tersebut terjadi karena
antibiotik sering tidak mampu masuk ke dalam abses, selain itu antibiotik tersebut seringkali
tidak dapat bekerja dalam pH yang rendah.
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang
sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001, hal.17).
Menurut Smeltzer & Bare (2001), Pada pengkajian keperawatan, khususnya sistem integumen,
kulit bisa memberikan sejumlah informasi mengenai status kesehatan seseorang dan merupakan
subjek untuk menderita lesi atau terlepas. Pada pemeriksaan fisik dari ujung rambut sampai
ujung kaki, kulit merupakan hal yang menjelaskan pada seluruh pemeriksaan bila bagian tubuh
yang spesisifik diperiksa.Pemeriksaan spesifik mencakup warna, turgor, suhu, kelembaban, dan
lesi atau parut. Hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Riwayat Kesehatan
Abses di kulit atau dibawah kulit sangat mudah dikenali, sedangkan abses dalam
seringkali sulit ditemukan.
Riwayat trauma, seperti tertusuk jarum yang tidak steril atau terkena peluru.
Riwayat infeksi ( suhu tinggi ) sebelumnya yang secara cepat menunjukkan rasa sakit
diikuti adanya eksudat tetapi tidak bisa dikeluarkan.
1. Pemeriksaan Fisik
2. Diagnosa Keperawatan
3. Intervensi Keperawatan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2×24 jam diharapkan rasa nyaman
nyeri terpenuhi
Rencana tindakan :
Rasional : Untuk mengetahui seberapa berat rasa nyeri yang dirasakan dan mengetahui
pemberian terapi sesuai indikasi.
1. Berikan posisi senyaman mungkin
Rasional : Untuk mendukung tindakan yang telah diberikan guna mengurangi rasa nyeri.
2. Resiko infeksi berhubungan dengan kulit yang rusak, trauma jaringan, stasis
jaringan tubuh
Tujuan
Kriteria hasil
Intervensi keperawatan
R/ mengetahui secara dini terjadinya infeksi dan untuk membantu memiih intervesi yang tepat
R/ Teknik aseptic yang tepat menurunkan resiko penyebaran bakteri dan kontaminasi silang.
3. Tingkatkan intake cairan 2-3 liter/hari Tingkatan nutrisi dengan diet TKTP
Gunakan pelunak feses bila terdapat konstipasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3×24 jam diharapkan gangguan pola
tidur teratasi
Rencana tindakan :
Rasional : Untuk mengetahui pola tidur yang normal pada pasien dan dapat menentukan kelainan
pada pola tidur.
Rasional : Agar nengurangi rasa nyeri yang menggangu pola tidur pasien
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1×24 jam, pasien tidak mengalami perubahan suhu
tubuh yang signifikan
Kriteria hasil:
Intervensi Keperawatan
R/ Kehilangan panas dapat terjadi ketika kulit dipajankan pada aliran udara atau lingkungan yang
dingin
Tujuan
Kriteria hasil
Intervensi Keperawatan
4. Mengobservasi TTV
DAFTAR PUSTAKA
Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC, Jakarta
Soeparman & Waspadji (1990), Ilmu Penyakit Dalam, Jld.II, BP FKUI, Jakarta.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius FKUI: Jakarta
Nanda International. 2012. Nursing Diagnoses : Definition and classification 2010-2012. Wiley-
Blackwell: United Kingdom
INFEKSI DENTOALVEOLAR
RUANG VESTIBULAR
Infeksi ruang vestibular terjadi karena keluarnya abses dentoalveolar melalui alveolus, superior
dari otot bucinator di mandibulla dan inferior dari otot bucinator di maksilla bagian posterior. Di
mandibulla bagian anterior, abses terkurung di ruang vestibular dengan otot mentalis dan otot
labial. Di maksilla bagian anterior, otot labial tipis dan tidak memiliki tulang sehingga
mempunyai pengaruh kecil membatasi penyebaran infeksi. Infeksi vestibular di maksilla anterior
sering berhubungan dengan sellulitis di bibir atas dan midface. Periosteum merupakan barier
kuat dari penyebaran infeksi; meskipun infeksi sering melewati bidang supperiosteal.
Tanda dan gejala infeksi ruang vestibular adalah pembengkakan berbatas tegas atau
pembengkakan difuse di vestibula bukal dekat dengan gigi yang abses.
RUANG PALATAL
Infeksi ruang palatal berasal dari akar palatal molar dan premolar maksilla, menyebabkan kista
periapikal yang berhubungan dengan tulang palatal yang hancur.
Tanda dan gejala infeksi ruang palatal adalah pembengkakan dengan batas jelas karena
komposisi dense dari mukosa palatal yang berkeratin.
INFEKSI RUANG FASIAL
Ketika infeksi dental menyebar melewati barier anatomi dari ruang vestibular (otot buccinator,
mylohoid dan labial) dan melewati pertahanan terakhir yaitu jaringan ikat bidang fasial , infeksi
akan melewati jaringan ikat dari ruang fasial. Pengetahuan mengenai bidang fasial dan anatomi
kepala dan leher penting untuk memahami penyebaran infeksi odontogenik. Umumnya, visera
kepala dan leher dari klavikula hingga vertex tengkorak diliputi oleh fasia. Fasia terbagi menjadi
dua yaitu lapisan superfisial dan lapisan dalam. Fasia superfisialis meliputi platysma di servikal,
otot yang mengekspresikan wajah dan otot epikranial ditulang kepala.
Fasia servikal dalam dibagi lagi menjadi lapisan anterior, medial, dan posterior yang meliputi
otot, pembuluh darah, saraf, dan visera sekitar leher dari dasar tengkorak hingga akar leher. Fasia
servikal dalam dari leher berdampingan dengan struktur mediastinal toraks melalui thoracic inlet.
Lapisan anterior dari fasia servikal dalam (fasia parotideomessentericca) meliputi mandibula,
otot mastikasi dan kelenjar parotis. Lapisan tengah dari fasia servikal dalam (fasia viseral)
meliputi otot infrahyoid dan yang lebih penting adalah meliputi secara lengkap trakea, laring,
esofagus, kelenjar tiroid, nasofaring, orofaring dan hipofaring. Hal ini berdampingan dengan
bagian torakss dari trakhea dan esofagus dan menyatu dengan mediastinum superior sepanjang
thoracic inlet. Lapisan posterior dari fasia servikal dalam meliputi arteri karotis, vena jugular
interna, dan nervus vagus yang membentuk carotid sheath. Lapisan tersebut menyambung di
posterior sebagai fasia prevertebra dan fasia alar. Fasia prevertebra meliputi otot leher posterior
(kecuali trapezius) dan kolumna spinal servikal. Fasia alar membentuk partisi sinkomplit antara
fasia buccopharingeal di area retroviseral leher anterior dan fasia prevertebra leher posterior.
Fasia prevertebra meluas dari dasar tulang tengkorak hingga diafragma, dimana berhubungan
dengan mediastinum posterior. Fasia alar melebar dari dasar tulang tengkorak hingga spina C6-
T4, dimana ini menyatu dengan fasia viseral (bukofaringeal). Celah di fasia alar menyebabkan
penyebaran infeksi dari ruang faring lateral dan ruang retrofaring, anterior ruang prevertebra di
leher posterior. Ruang potensial antara fasia alar dan fasia prevertebra merupakan ruang
berbahaya, atau ruang 4 Grodinsky dan Halyoke. Ini mewakili bidang dimana infeksi kepala dan
leher dapat secara cepat mengakses kavitas toraks.
RUANG BUKAL
Infeksi dapat menyebar dari premolar atas, molar bawah atau premolar bawah. Infeksi ruang
bukal harus dibedakan dari sellulitis Haemophillus influenza (blue dome infection).
Tanda dan gejala infeksi ruang bukal adalah pembengkakan unilateral di kulit dalam dan
jaringan subkutanes otot buccinator. Beberapa menyebar ke ruang infraorbital dan
submandibulla.
RUANG SUBMANDIBULAR
Infeksi menyebar dari molar bawah. Ini harus dibedakan dengan patologi kelenjar submandibula
dan nodus limfe cervikal superior, branchial cleft cyst, dan plunging ranula.
Tanda dan gejala infeksi ruang submandibular adalah pembengkakan daerah segitiga
submandibula di leher. Trismus jarang terjadi karena kurangnya inflamasi dari otot mastikasi.
Trismus dengan gejala dan tanda klinik dari ruang submandibular mengindikasikan penyebaran
infeksi secara posterior ke dalam ruang mastikator atau ruang faringeal lateral. Infeksi dapat
menyebar secara anterior sekitar otot digastrik anterior ke ruang faring lateral. Limfadenopati
servikal sering terlihat namun sulit melakukan palpasi karena sakit dan nyeri tekan di daerah
tersebut.
RUANG SUBLINGUAL
Infeksi menyebar dari molar bawah dan premolar bawah atau terjadi dari trauma bedah,
inflamasi kelenjar sublingual dan sistem duktusnya, dan sialodochitis duktus Wharton’s kelenjar
submandibula.
Tanda dan gejala infeksi ruang sublingual adalah pembengkakan unilateral atau bilateral dasar
mulut. Karena tidak adanya barier anatomi yang memisahkan ruang sublingual dari yang ruang
lainnya, infeksi dapat memotong secara bilateral dengan pertahanan yang kecil. Pada kasus yang
berat, lidah tertukar antara superior dengan posterior, menyebabkan derajat yang bervariasi dari
penutupan jalan nafas dan disfasia.
Salivasi/sialorrhea sering terjadi karena pasien tidak mampu membersihkan sekresinya. Pasien
dapat duduk condong ke depan dengan fleksi kepala dan ekstensi leher untuk memperbaiki jalan
nafas. Infeksi dapat menyebar secara posterior ke ruang submandibula dan ruang faring lateral
dengan cara tepi posterior otot mylohoid.
RUANG SUBMENTAL
Infeksi dapat meyebar melalui insisif bawah atau ruang submandibular. Ini harus dibedakan
dengan patologi midline seperti kista epidermoid, kista dermoid, atau kista duktus thyroglossal.
Tanda dan gejala infeksi ruang submental adalah pembengkakan dagu dan triangle submental
sepanjang midline leher. Adenopati cervikal superior bilateral dan unilateral dapat terjadi.
LUDWIG’S ANGINA
Abses molar mandibula dapat menyebabkan ludwig’s angina pada pasien immunokompromise.
Tanda dan gejalanya adalah ”Boardlike”sellulitis yang meliputi ruang mental, ruang sublingual
bilateral, dan ruang submandibula bilateral. Pembengkakannya cepat, sering dalam 24 jam.
Terdapat edema di leher, dasar mulut dan epiglotis; disfasia; odynophagia; dan dispnea. Infeksi
dapat menyebar mengenai ruang mastikator dan ruang parafaringeal bila penanganannya
terlambat.
Diusulkan oleh Chow bahwa infeksi disebabkan oleh interaksi sinergis dari bermacam spesies.
Permulaan infeksi disebabkan jenis virulen dari streptococcus yang secara cepat menembus
fascial planes yang terlibat tanpa pembentukan pus. Lingkungan anaerob menciptakan media
yang cocok untuk organisme anaerob yang memproduksi pus untuk berkembang ke tingkat
selanjutnya dari infeksi. Resolusi dari infeksi dan dihubungkan gejala klinis biasanya cepat dan
tanpa kecacatan.
RUANG PARAFARINGEAL
1. RUANG PARAFARINGEAL LATERAL
Penyebab infeksi ini adalah penyebaran dari molar ketiga rahang bawah, faringotonsilitis,
adenoid, otitis media, kelenjar getah bening yang nekrotik, keganasan dengan infeksi sekunder,
dan penyebaran dari infeksi parotis intrakapsular. Abses pterygomandibular space juga dapat
muncul dalam bentuk yang sama.
Gejala dan tanda infeksi ruang parafaringeal lateral adalah pada bagian anterior terdapat
pembengkakan dari dinding lateral faring ke arah medial, menyebabkan deviasi dari uvula ke sisi
kontralateral. Sedikit bengkak pada angulus mandibula mewakili perpanjangan inferior dari
bagian anterior. Trismus berat dapat muncul kemudian setelah iritasi dari otot medial pterygoid.
Gejala konstitusional termasuk demam dan menggigil dapat terjadi. Disfasia dan odinofagia
merupakan hasil dari iritasi dari otot deglutition. Dispneu merupakan manifestasi klinis pada
kasus berat karena dapat menyebabkan penyempitan jalan nafas dan trakea.
Keterlibatan bagian posterior adalah bukti adanya edema dinding posterolateral faring dan pilar
posterior tonsil. Keterlibatan neurologi dari nervus kranial IX sampai XII harus diperhatikan.
Minimal trismus muncul disebabkan oleh hilangnya otot mastikasi pada bagian posterior.
Sindrom Horner (ptosis, miosis, dan anhidrosis) dapat muncul oleh karena disrupsi ganglion
servikal superior (ganglion stelata) atau serat saraf simpatik post-sinaps yang berjalan sepanjang
pembuluh darah kepala dan leher.
2. RUANG RETROFARINGEAL
Perluasan langsung dari infeksi odontogenik dan trauma intubasi dapat menyebabkan infeksi
ruang retrofaringeal. Pada bayi dan anak kurang dari 4 tahun, infeksi ini dapat berkembang
sampai terdapat abses kelenjar getah bening retrofaring. Kelenjar getah bening ini atrofi setelah
usia 4 tahun.
Gejala yang paling umum adalah demam dan menggigil, odinofagia, disfasia, sakit leher,
kekakuan leher , mual dan muntah. Pemeriksaan fisik termasuk leher bengkak, pembengkakan
faring, dan gangguan pernapasan. Pemeriksaan harus meliputi evaluasi dada, karena penyebaran
infeksi ke mediastinum sering sebagai sekuel dari abses ruang retropharingeal. Akhir inferior
dari ruang retrofaringeal adalah dimana fasia viseral menyatu dengan fasia alar setinggi
bifurkasio trakea, dengan akses langsung ke mediastinum superior.
RUANG PREVERTEBRAL
Ruang prevertebral merupakan ruang potensial diantara fasia alar dan fasia prevertebral. Ruang
memanjang dari dasar tengkorak ke setinggi sakrum. Maka dari itu infeksi pada ruang
prevertebral dapat memanjang sepanjang kolum vertebra dari servikal hingga sakral vertebra.
Infeksi pada ruang ini disebabkan osteomielitis vertebra atau perpanjangan posterior infeksi pada
ruang prevertebral ke fasia alar ke dalam ruang prevertebral.
Gejala klinis
Perubahan jaringan dapat disebabkan karena aktivitas bakteri dalam fokus infeksi, pertahanan
lokal dari hospes dan mekanisme serupa yang bekerja secara sistemik. Terjadinya perubahan
jaringan tersebut dapat menimbulkan gambaran klinis seperti rasa sakit tekan, kemerahan
(eritema) dan pembengkakan (edema). Bakteri yang memproduksi gas dapat memicu dan
mendukung terjadinya proses pembengkakan. Timbulnya pus adalah akibat langung dari
mekanisme lokal pertahanan virulensi bakteri atau hospes.
Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses submukosa, abses
gingival, trombosis sinus kavernosus, abses labial, dan abses fasial. Penjalaran infeksi pada
rahang bawah dapat membentuk abses sublingual, abses submental, abses submandibula, abses
submaseter, dan angina Ludwig.
Selain gejala di atas, terdapat juga menifestasi sistemik dari fokus infeksi yaitu demam. Keadaan
tersebut mungkin disebabkan oleh endotoksin bakteri. Bakterimia dapat mengakibatkan demam,
malaise, takikardi. Sistem hematopoetik merespon dengan terjadinya leukositosis dan
meningkatnya neutrofil polimorfonuklear serta meningkatnya laju endap darah (LED).
Patogenesis dan patofisiologi
Patogenesis
Terdapat 3 mekanisme patogenesis yang dapat bekerja antara lain:
Toksin bakteri
Bakteri dapat memproduksi toksin, baik itu eksotoksin maupun endotoksin. Eksotoksin dapat
menyebabkan keadaan patologik seperti leukopenia, peningkatan permeabilitas kapiler,
perdarahan dan syok. Toksisitas endotoksin didapat ketika membran sel host mengalami
kerusakan, respon imunologik seperti inflamasi dan aktivasi sistem komplemen.
Enzim bakteri
Bakteri patogenik dapat memproduksi enzim yang mampu merusak sel-sel tubuh host atau
konstituen jaringan lainnya.
Imunopatologi infeksi bakteri
Produk-produk mikroba dapat menyebabkan tubuh tersensitisasi. Proses ini menyebabkan
aktivasi respon imun seperti reaksi antigen-antibodi, sistem komplemen, reaksi sitotoksik, dan
hipersensitivitas.
Patofisiologi
Nekrosis pulpa dapat disebabkan oleh karies dalam yang tidak terawat dan pocket periodontal.
Hal tersebut merupakan port d’entre bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah
bakteri yang banyak, maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang spongiosa sampai
tulang kortikal. Jika tulang ini semakin menipis, maka infeksi akan menembus dan masuk ke
jaringan lunak. Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan tubuh. Fokus infeksi yang
biasanya berawal dari infeksi odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat
(perkontinuitatum), pembuluh darah (hematogen), dan pembuluh limfe (limfogen). Yang paling
sering terjadi adalah penjalaran secara perkontinuitatum karena adanya celah/ruang di antara
jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus.