Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang

Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah submandibula. Abses submandibula menempati urutan pertama abses leher yang
paling sering dijumpai (42,30%) dengan prevalensi causa odontogenik sebesar 34,21%.
Infeksi odontogenik dengan asal dari periapikal sebagai akibat dari nekrosis pulpa adalah
yang paling banyak dijumpai. Nekrosis pulpa gigi sebagai akibat dari karies yang dalam
menjadi alur masuk untuk bakteri menuju jaringan periapikal. Setelah terjadi inokulasi
bakteri di periapikal, terjadi pembentukan infeksi yang akan menyebar ke segala arah,
namun lebih banyak pada daerah dengan daya tahan paling rendah.
Infeksi akan menyebar melalui tulang kanselus sampai memasuki tulang kortikal.
Bila tulang kortikal ini tipis, infeksi akan menembus tulang dan memasuki jaringan lunak
disekitarnya. Perluasan infeksi ke jaringan sekitarnya tergantung pada gigi penyebab.
Infeksi pada gigi molar mandibula biasanya akan keluar ke arah bukal menuju spasia
submandibula. Bila terjadi abses odontogenik, maka harus dilakukan tindakan untuk
membuat drainase dan mengeliminasi etiologi infeksi.
Sebagian besar infeksi leher dalam disebabkan oleh berbagai kuman, baik aerob
maupun anaerob. Kuman aerob yang paling sering ditemukan adalah Streptococcus sp,
Staphylococcus sp, Neisseria sp, Klebsiella sp, Haemophillus sp. Pada kasus yang berasal
dari infeksi gigi, sering ditemukan kuman anaerob Bacteroides melaninogenesis,
Eubacterium Peptostreptococcus dan yang jarang adalah kuman Fusobacterium. Infeksi
dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring,kelenjarliurataukelenjerlimfa submandibula.
Sebagian lain dapat merupakan kelanjutan infeksi ruang leher dalam lainnya. Abses pada
spasium submandibula berasal dari gigi premolar atau molar rahang bawah.yang meluas
ke arah lingual di bawah otot mylohyoid.
Diagnosis abses pada spasium submandibula ditegakkan berdasarkan hasil.
Anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik dan penunjang. Pemeriksaan penunjang sangat
berperan menegakkan diagnosis. Clarence LT. Periodontal and pulpal infections. In Topazian,
Goldberg, Hupp. Oral maxillofacial, 4th edition. St. Louis: WB. Saunders Company; 2002.p.126-30 7.
Rabie MS, Thomas RF. Principles of antimicrobial and surgical infection management. In
James RH. Head, neck, and orofacial infections an interdisciplinary approach. Mosby Elsevier, 2016.
p.121-39
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Infeksi odontogenik merupakan infeksi akut atau kronis yang berasal dari gigi yang
berhubungan dengan patologi. Mayoritas infeksi yang bermanifestasi pada region
orofacial adalah odontogenik. Infeksi odontogenik tersebut dapat menyebabkan
terjadinya abses. Abses adalah pengumpulan nanah yang terlokalisir sebagai akibat dari
infeksi yang melibatkan mikroorganisme. Nanah merupakan campuran dari jaringan
nekrotik, bakteri dan sel darah putih yang sudah mati, yang dicairkan oleh enzim
autolitik. Pada saat tekanan di dalam rongga meningkat, maka nanah mengambil jalur
pada daya tahan terendah dan dapat keluar melalui kulit.
Abses rongga mulut adalah suatu infeksi pada mulut, wajah, rahang, atau
tenggorokan yang dimulai sebagai infeksi gigi atau karies gigi.Jumlah dan penyebaran
infeksi tergantung pada lokasi gigi yang terkena serta virulensi organisme. Pencabutan
gigi dengan riwayat infeksi juga harus memperhatikan beberapa hal yang bisa
mengakibatkan tersebarnya infeksi lebih luas. Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan
gigi dari dalam soket dari tulang alveolar. Ekstraksi gigi dapat dilakukan dengan dua
teknik yaitu teknik sederhana dan teknik pembedahan.

2.2 Etiologi
Abses pada umumnya disebabkan karena patologi, trauma atau perawatan gigi dan
jaringan pendukungnya. Infeksi odontogenik ini dimulai dengan terjadinya kematian
pulpa, invasi bakteri dan perluasan proses infeksi kearah periapikal. Terjadinya
peradangan yang terlokalisir atau abses periapikal akut tergantung dari virulensi kuman
dan efektivitas pertahanan hospes Infeksi odontogenik dapat berasal dari tiga jalur, yaitu:
a. Jalur periapikal, sebagai hasil dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan
periapikal
b. Jalur periodontal, sebagai hasil dari inokulasi bakteri pada periodontal poket;
dan
c. Jalur perikoronal, yang terjadi akibat terperangkapnya makanan di bawah
operkulum tetapi hal ini terjadi hanya pada gigi yang tidak/belum dapat tumbuh
sempuna. Infeksi odontogen dapat menyebar secara perkontinuatum, hematogen
dan limfogen, namun yang paling sering adalah melalui perkontinuatum atau
kontinuitas jaringan.
2.3 Macam-macam Abses Odontogen
2.3.1 Abses periapikal
Abses periapikal sering juga disebut abses dento-alveolar, terjadi di daerah
periapikal gigi yang sudah mengalami kematian dan terjadi keadaan eksaserbasi
akut. Mungkin terjadi segera setelah kerusakan jaringan pulpa atau setelah periode
laten yang tiba-tiba menjadi infeksi akut dengan gejala inflamasi, pembengkakan
dan demam. Mikroba penyebab infeksi umumnya berasal dari pulpa, tetapi juga
bisa berasal sistemik (bakteremia).

2.3.2 Abses Subperiosteal


Gejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan selulitis jaringan lunak mulut dan
daerah maksilofasial. Pembengkakan yang menyebar ke ekstra oral, warna kulit
sedikit merah pada daerah gigi penyebab. Penderita merasakan sakit yang hebat,
berdenyut dan dalam serta tidak terlokalisir. Pada rahang bawah bila berasal dari
gigi premolar atau molar pembengkakan dapat meluas dari pipi sampai pinggir
mandibula, tetapi masih dapat diraba. Gigi penyebab sensitif pada sentuhan atau
tekanan.
2.3.3 Abses submukosa
Abses ini disebut juga abses spasium vestibular, merupaan kelanjutan abses
subperiosteal yang kemudian pus berkumpul dan sampai dibawah mukosa setelah
periosteum tertembus. Rasa sakit mendadak berkurang, sedangkan pembengkakan
bertambah besar. Gejala lain yaitu masih terdapat pembengkakan ekstra oral
kadang-kadang disertai demam, lipatan mukobukal terangkat, pada palpasi lunak
dan fluktuasi podotip. Bila abses berasal darigigi insisivus atas maka sulkus
nasolabial mendatar, terangatnya sayap hidung dan kadang-kadang pembengkakan
pelupuk mata bawah. Kelenjar limfe submandibula membesar dan sakit pada
palpasi.

2.3.4 Abses fosa kanina


Fosa kanina sering merupakan tempat infeksi yang bersal dari gigi rahang atas
pada regio ini terdapat jaringan ikat dan lemak, serta memudahkan terjadinya
akumulasi cairan jaringan. Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan pada
muka, kehilangan sulkus nasolabialis dan edema pelupuk mata bawah sehingga
tampak tertutup. Bibir atas bengkak, seluruh muka terasa sakit disertai kulit yang
tegang berwarna merah.

2.3.5 Abses spasium bukal


Spasium bukal berada diantara m. masseter ,m. pterigoidus interna dan m.
Businator. Berisi jaringan lemak yang meluas ke atas ke dalam diantara otot
pengunyah, menutupi fosa retrozogomatik dan spasium infratemporal. Abses dapat
berasal dari gigi molar kedua atau ketiga rahang atas masuk ke dalam spasium
bukal. Gejala klinis abses ini terbentuk di bawah mukosa bukaldan menonjol ke
arah rongga mulut. Pada perabaan tidak jelas ada proses supuratif, fluktuasi negatif
dan gigi penyebab kadang-kadang tidak jelas. Masa infeksi/pus dapat turun ke
spasium terdekat lainnya. Pada pemeriksaan estraoral tampak pembengkakan difus,
tidak jelas pada perabaan.

2.3.6 Abses spasium infratemporal


Abses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya dan sering
menimbulkan komplikasi yang fatal. Spasium infratemporal terletak di bawah
dataran horisontal arkus-zigomatikus dan bagian lateral di batasi oleh ramus
mandibula dan bagian dalam oleh m.pterigoid interna. Bagian atas dibatasi oleh
m.pterigoid eksternus. Spasium ini dilalui a.maksilaris interna dan
n.mandibula,milohioid,lingual,businator dan n.chorda timpani. Berisi pleksus
venus pterigoid dan juga berdekatan dengan pleksus faringeal.

2.3.7 Abses spasium submasseter


Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara insersi otot
masseter bagian superfisialis dan bagian dalam. Spasium ini berupa suatu celah
sempit yang berjalan dari tepi depan ramus antara origo m.masseter bagian tengah
dan permukaan tulang. Keatas dan belakang antara origo m.masseter bagian tengah
dan bagian dalam. Disebelah belakang dipisahkan dari parotis oleh lapisan tipis
lembar fibromuskular. Infeksi pada spasium ini berasal dari gigi molar tiga rahang
bawah, berjalan melalui permukaan lateral ramus ke atas spasium ini. Gejala klinis
dapat berupa sakit berdenyut diregio ramus mansibula bagian dalam,
pembengkakan jaringan lunak muka disertai trismus yang berjalan cepat, toksik
dan delirium. Bagian posterior ramus mempunyai daerah tegangan besar dan sakit
pada penekanan.

2.3.8 Abses spasium submandibula


Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang memisahkannya dari
spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial bagian belakang mandibula.
Dibatasi oleh m.hiooglosus dan m.digastrikus dan bagian posterior oleh
m.pterigoid eksternus. Berisi kelenjar ludah submandibula yang meluas ke dalam
spasium sublingual. Juga berisi kelenjar limfe submaksila. Pada bagian luar ditutup
oleh fasia superfisial yang tipis dan ditembus oleh arteri submaksilaris eksterna.
Infeksi pada spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar, abses periodontal
dan perikoronitis yang berasal dari gigi premolar atau molar mandibula.
2.3.9 Abses sublingual
Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal , terletak diatas
m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh m.genioglosus dan lateral oleh
permukaan lingual mandibula. Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan dasar
mulut dan lidah terangkat, bergerser ke sisi yang normal. Kelenjar sublingual akan
tampak menonjol karena terdesak oleh akumulasi pus di bawahnya. Penderita akan
mengalami kesulitan menelan dan terasa sakit.
2.3.10 Abses spasium submental
Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima, di depannya melintang
m.digastrikus, berisi kelenjar limfe submental. Perjalanan abses kebelakang dapat
meluas ke spasium mandibula dan sebaliknya infesi dapat berasal dari spasium
submandibula. Gigi penyebab biasanya gigi anterior atau premolar. Gejala klinis
ditandai dengan selulitis pada regio submental. Tahap akhir akan terjadi supuratif
dan pada perabaan fluktuatif positif. Pada npemeriksaan intra oral tidak tampak
adanya pembengkakan. Kadang-kadang gusi disekitar gigi penyebab lebih merah
dari jaringan sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi dapat menyebar juga kearah
spasium yang terdekat terutama kearah belakang.
2.3.11 Abses spasium parafaringeal
Spasium parafaringeal berbentuk konus dengan dasar kepala dan apeks
bergabung dengan selubung karotid. Bagian luar dibatasi oleh muskulus pterigoid
interna dan sebelah dalam oleh muskulus kostriktor, sebelah belakang oleh
glandula parotis, muskulus prevertebalis dan prosesus stiloideus serta struktur
yang berasal dari prosesus ini. Kebelakang dari spasium ini merupakan lokasi
arteri karotis, vena jugularis dan nervus vagus, serta sturktur saraf spinal,
glosofaringeal, simpatik, hipoglosal dan kenjar limfe. Infeksi pada spasium ini
mudah menyebar keatas melalui berbagai foramina menuju bagian otak. Kejadian
tersebut dapat menimbulkan abses otak, meningitis atau trombosis sinus. Bila
infeksi berjalan ke bawah dapat melalui selubung karotis sampai mediastinuim.
2.4 Patogenesis
Proses terjadinya abses adalah proses yang panjang, berawal dari kematian pulpa,
menjadi media perkembangbiakan bakteri yang baik, sebelum akhirnya mereka mampu
merambah ke jaringan yang lebih dalam, yaitu jaringan periapikal. Infeksi pulpo-
periapikal seringkali disebut sebagai mixed bacterial infection, karena tidak hanya
melibatkan bakteri Streptococcus Mutan. Kondisi abses kronis dapat terjadi apabila
ketahanan host dalam kondisi yang tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi.
Yang terjadi dalam daerah periapikal adalah pembentukan rongga patologis abses
disertai pembentukan pus yang sifatnya berkelanjutan. Adanya bakteri dalam jaringan
periapikal, mengundang respon keradangan untuk datang ke jaringan yang terinfeksi
tersebut, namun karena kondisi hostnya tidak terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup
tinggi, sehingga tercipta kondisi abses yang merupakan hasil sinergi dari bakteri
Streptoccocus Mutans dan Streptococcus Aureus.
Streptoccocus Mutans yang bersifat destruktif, mampu merusak jaringan yang ada di
daerah periapikal, sedangkan Streptococcus Aureus dengan enzim koagulasenya mampu
mendeposisi fibrin di sekitar wilayah kerja StreptoccocusMutans untuk membentuk
sebuah pseudomembran yang terbuat dari jaringan ikat, yang disebut sebagai membran
abses. Membran abses ini yang menyebabkan adanya gambaran radiolusen dengan batas
yang tidak tegas pada foto rontgen. Selain itu terdapat pembentukan pus oleh bakteri
pyogenik, salah satunya juga adalah Streptococcus Aureus. Pusyang terdiri dari leukosit
yang mati, jaringan nekrotik, dan bakteri dalam jumlah besar tersebut akan mengisi
rongga yang terbentuk oleh sinergi dua kelompok bakteri tadi. Pus yang terkandung
dalam rongga tersebut akan terus berusaha mencari jalan keluar sendiri, namun pada
perjalanannya seringkali menimbulkan gejala-gejala yang seperti nyeri, demam, dan
malaise. Karena pus dalam rongga patologis tersebut harus keluar, baik dengan bantuan
dokter gigi atau keluar secara alami dengan membentuk sebuah fistula. Sebelum
membentuk fistula, pus bergerak dari dalam tulang melalui cancelous bone, menuju ke
lapisan tulang terluar yang kita disebut korteks tulang.
Tulang yang dalam kondisi hidup dan normal, selalu dilapisi oleh lapisan tipis yang
tervaskularisasi dengan baik yang disebut periosteum. Sehingga akan terjadi respon
keradangan ketika pus sudah mencapai korteks dan melepas komponen peradangan dan
sel plasma ke rongga subperiosteal. Reaksi ini menimbulkan rasa sakit, terasa hangat
pada regio yang terlibat, timbul pembengkakan. Peristiwa ini disebut periostitis dandapat
berlangsung selama 2- 3 hari, tergantung keadaan host. Apabila dalam rentang 2-3 hari
ternyata respon keradangan diatas tidak mampu menghambat aktivitas bakteri penyebab,
maka dapat berlanjut ke kondisi yang disebut abses subperiosteal.
Abses subperiosteal terjadi di rongga yang sama namun dalam kondisi ini sudah
terdapat keterlibatan pus. Jika periosteum sudah tertembus oleh pus, proses infeksi ini
akan menjalar menuju fascial space terdekat, karena telah mencapai area jaringan lunak.
Apabila infeksi telah meluas mengenai fascial spaces, maka dapat terjadi fascial abscess.
Fascial abscess terdiri dari:
 Maksila
o Canine spaces
o Buccal spaces
o Infratemporal spaces
 Mandibula
o Submental spaces
o Buccal spaces
o Sublingual spaces
o Submandibular spaces
Terjadinya infeksi pada salah satu atau lebih fascial space yang paling sering oleh
karena penyebaran kuman dari penyakit odontogenik terutama komplikasi dari periapikal
abses. Pus yang mengandung bakteri pada periapikal abses akan berusaha keluar dari
apeks gigi, menembus tulang, dan akhirnya ke jaringan sekitarnya, salah satunya adalah
fascial spaces. Gigi yang terkena periapikal abses kemudian akan menentukan jenis dari
fascial spaces yang terkena infeksi.
 Canine spaces Berisi musculus levator anguli oris, dan m. labii superior. Infeksi
daerah ini disebabkan periapikal abses dari gigi caninus maksila. Gejala
klinisnya yaitu pembengkakan pipi bagian depan dan hilangnya lekukan
nasolabial. Penyebaran lanjut dari infeksi canine spaces dapat menyerang daerah
infraorbital dan sinus kavernosus.
 Buccal spaces Terletak sebelah lateral dari m. buccinator dan berisi kelenjar
parotis dan n. facialis. Infeksi berasal dari gigi premolar dan molar yang ujung
akarnya berada di atas perlekatan m. buccinator pada maksila atau berada di
bawah perlekatan m. buccinator pada mandibula. Gejala infeksi yaitu edema
pipi dan trismus ringan.
 Infratemporal spaces Terletak di posterior dari maksila, lateral dari proc.
Pterigoideus, inferior dari dasar tengkorak, dan profundus dari temporal space.
Berisi nervus dan pembuluh darah. Infeksi berasaal dari gigi molar III maksila.
Gejala infeksi berupa tidak adanya pembengkakan wajah dan kadang terdapat
trismus bila infeksi telah menyebar.
 Submental space Infeksi berasal dari gigi incisivus mandibula. Gejala infeksi
berupa bengkak pada garis midline yang jelas di bawah dagu.
 Sublingual space Terletak di dasar mulut, superior dari m. mylohyoid, dan
sebelah medial dari mandibula. Infeksi berasal dari gigi anterior mandibula
dengan ujung akar di atas m. mylohyoid. Gejala infeksi berupa pembengkakan
dasar mulut, terangkatnya lidah, nyeri, dan dysphagia.
 Submandibular space Terletak posterior dan inferior dari m. mylohyoid dan m.
platysma. Infeksi berasal dari gigi molar mandibula dengan ujung akar di bawah
m. mylohyoid dan dari pericoronitis. Gejala infeksi berupa pembengkakan pada
daerah segitiga submandibula leher disekitar sudut mandibula, perabaan terasa
lunak dan adanya trismus ringan.
2.4 Abses Submandibula
2.4.1 Anatomi Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh
fasia servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisialis dan fasia
profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh m. plastima yang tipis dan meluas ke
anterior leher. Muskulus platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal
profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior
mandibula. Ruang potensial leher dibagi menjadi ruang yang melibatkan seluruh
leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid. Ruang yang melibatkan seluruh leher
terdiri dari ruang retrofaring, ruang bahaya (danger space) dan ruang prevertebra.
Ruang suprahioid terdiri dari ruang submandibula, ruang parafaring, ruang parotis,
ruang peritonsil dan ruang temporalis. Ruang infrahioid meliputi bagian anterior
dari leher mulai dari kartilago tiroid sampai superior mediastinum setinggi vertebra
ke empat dekat arkus aorta.

Ruang Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual, submaksila dan submental.
Muskulus milohioid memisahkan ruang sublingual dengan ruang submental dan
submaksila. Ruang sublingual dibatasi oleh mandibula di bagian lateral dan
anterior, pada bagian inferior oleh m. milohioid, di bagian superior oleh dasar
mulut dan lidah, dan di posterior oleh tulang hioid. Di dalam ruang sublingual
terdapat kelenjer liur sublingual beserta duktusnya.

Ruang submental di anterior dibatasi oleh fasia leher dalam dan kulit dagu, di
bagian lateral oleh venter anterior m. digastrikus, di bagian superior oleh m.
milohioid, di bagian inferior oleh garis yang melalui tulang hyoid. Di dalam ruang
submental terdapat kelenjer limfa submental. (gambar 2) Ruang maksila bagian
superior dibatasi oleh m. milohioid dan m. hipoglossus. Batas inferiornya adalah
lapisan anterior fasia leher dalam, kulit leher dan dagu. Batas medial adalah m.
digastrikus anterior dan batas posterior adalah m. stilohioid dan m. digastrikus
posterior. Di dalam ruang submaksila terdapat kelenjer liur submaksila atau
submandibula beserta duktusnya. Kelenjar limfa submaksila atau submandibula
beserta duktusnya berjalan ke posterior melalui tepi m. milohioid kemudian masuk
ke ruang sublingual. Akibat infeksi pada ruang ini mudah meluas dari satu ruang
ke ruang lainnya.
2.4.2 Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjer liur atau kelenjer
limfa submandibula. Sebagian lain dapat merupakan kelanjutan infeksi ruang leher
dalam lainnya. Sebelum ditemukan antibiotika, penyebab tersering infeksi leher
dalam adalah faring dan tonsil, tetapi sekarang adalah infeksi gigi. Bottin dkk.
mendapatkan infeksi gigi merupakan penyebab yang terbanyak kejadian angina
Ludovici (52,2%), diikuti oleh infeksi submandibula (48,3%), dan parafaring.
Sebagian besar kasus infeksi leher dalam disebabkan oleh berbagai kuman, baik
aerob maupun anaerob. Kuman aerob yang paling sering ditemukan adalah
Streptococcus sp, Staphylococcus sp, Neisseria sp, Klebsiella sp, Haemophillus sp.
Pada kasus yang berasal dari infeksi gigi, sering ditemukan kuman anaerob
Bacteroides melaninogenesis, Eubacterium Peptostreptococcus dan yang jarang
adalah kuman Fusobacterium.
2.4.3 Patogenesis
Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi
anatomi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi
dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Infeksi dari
submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring. Perluasan
infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya
infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya. Penyebaran abses leher dalam
dapat melalui beberapa jalan yaitu limfatik, melalui celah antara ruang leher dalam
dan trauma tembus.
2.4.4 Gejala klinis
Pada abses submandibula didapatkan pembengkakan di bawah dagu atau di bawah
lidah baik unilateral atau bilateral, disertai rasa demam, nyeri tenggorok dan
trismus. Mungkin didapatkan riwayat infeksi atau cabut gigi. Pembengkakan dapat
berfluktuasi atau tidak
2.4.5 Diagnosis
Diagnosis abses leher dalam ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada beberapa kasus kadang-
kadang sulit untuk menentukan lokasi abses terutama jika melibatkan beberapa
daerah leher dalam dan jika pasien sudah mendapatkan pengobatan sebelumnya.
Pemeriksaan penunjang sangat berperan dalam menegakkan diagnosis. Pada foto
polos jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral didapatkan gambaran
pembengkakan jaringan lunak, cairan di dalam jaringan lunak, udara di subkutis
dan pendorongan trakea. Pada foto polos toraks, jika sudah terdapat komplikasi
dapat dijumpai gambaran pneumotoraks dan juga dapat ditemukan gambaran
pneumomediastinum. Jika hasil pemeriksaan foto polos jaringan lunak
menunjukkan kecurigaan abses leher dalam, maka pemeriksaan tomografi
komputer idealnya dilakukan. Tomografi Komputer (TK) dengan kontras
merupakan standar untuk evaluasi infeksi leher dalam. Pemeriksaan ini dapat
membedakan antara selulitis dengan abses, menentukan lokasi dan perluasan abses.
Pada gambaran TK dengan kontras akan terlihat abses berupa daerah hipodens
yang berkapsul, dapat disertai udara di dalamnya, dan edema jaringan sekitar. TK
dapat menentukan waktu dan perlu tidaknya operasi. Pemeriksaan penunjang
lainnya adalah pemeriksaan pencitraan resonansi magnetik (Magnetic resonance
Imaging / MRI) yang dapat mengetahui lokasi abses, perluasan dan sumber infeksi.
Sedangkan Ultrasonografi (USG) adalah pemeriksaan penunjang diagnostik yang
tidak invasif dan relatif lebih murah dibandingkan TK, cepat dan dapat menilai
lokasi dan perluasan abses. Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi gigi
dan adanya abses pada gigi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses
leher dalam yang diduga sumber infeksinya berasal dari gigi. Pemeriksaan darah
rutin dapat melihat adanya peningkatan leukosit yang merupakan tanda infeksi.
Analisis gas darah dapat menilai adanya sumbatan jalan nafas. Pemeriksaan kultur
dan resistensi kuman harus dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan antibiotik
yang sesuai.
2.4.6 Komplikasi
Komplikasi terjadi karena keterlambatan diagnosis, terapi yang tidak tepat dan
tidak adekuat. Komplikasi diperberat jika disertai dengan penyakit diabetes
mellitus, adanya kelainan hati dan ginjal dan kehamilan. Komplikasi yang berat
dapat menyebabkan kematian. Infeksi dapat menjalar ke ruang leher dalam lainnya,
dapat mengenai struktur neurovaskular seperti arteri karotis, vena jugularis interna
dan n. X. Penjalaran infeksi ke daerah selubung karotis dapat menimbulkan erosi
sarung karotis atau menyebabkan trombosis vena jugularis interna. Infeksi yang
meluas ke tulang dapat menimbulkan osteomielitis mandibula dan vertebra
servikal. Dapat juga terjadi obstruksi saluran nafas atas, mediastinitis, dehidrasi
dan sepsis.
2.4.7 Terapi
Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral. Hal yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang adekuat
dan drainase abses yang baik. Seharusnya pemberian antibiotik berdasarkan hasil
biakan kuman dan tes kepekaan terhadap bakteri penyebab infeksi, tetapi hasil
biakan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan
pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil mikrobiologi ada, diberikan
antibiotik kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam
anastesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam
narkosis bila letak abses dalam dan luas. Adanya trismus menyulitkan untuk
masuknya pipa endotrakea peroral. Pada kasus demikian diperlukan tindakan
trakeostomi dalam anastesi lokal. Jika terdapat fasilitas bronkoskop fleksibel,
intubasi pipa endotrakea dapat dilakukan secara intranasal. Insisi abses
submandibula untuk drainase dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau
setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas abses.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. S.M
No. RM : 48 97 72
Usia : 25 Thn
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku : Papua
Agama : Kristen
Masuk Rumah Sakit: : 03 Maret 2021
Tanggal Pemeriksaan : 01 Maret 2021

3.2 Anamnesis (alloanamnesis)


 Keluhan utama
Bengkak pada pipi sebelah kanan
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Gigi dan Mulut dengan keluhan bengkak pada pipi sebelah
kanan + 2 minggu. Bengkak awalnya berukuran kecil seperti kelereng kemudian
lama kelamaan membesar seperti bola tenis. Nyeri (+) nyeri dirasakan hingga ke
bagian telinga, dengan skala nyeri vas 8, demam (+), batuk (-), mual (-), muntah
(-). Pasien sebelumnya mengeluhkan gigi yang lubang dan sakit disebelah kiri.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku adanya gigi berlubang sebelah kiri , tetapi sebelah kanan tidak
terdapat gigi yang berlubang
Riwayat DM : Disangkal
 Riwayat Penyakit Keluarga
Didalam keluarga tidak ada yang sebelumnya menderita sakit yang sama
 Riwayat Alergi : Disangkal
 Riwayat Pengobatan : Pasien Sebelumnya sudah datang berobat ke poli Gigi dan
mulut tgl 27 Februari 2021
Pasien juga mengaku sebelumnya sudah minum obat penghilang rasa nyeri

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
TTV : Tekanan Darah : 86/59 mmHg
Nadi : 77x/m
Respirasi : 20x/m
Suhu badan : 36,5oC
Sp02 : 98%

Kepala Leher
Kepala : normocephal, rambut warna hitam
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : simetris, sekret (-/-)
Telinga : simetris
Leher : Pembesaran KGB (+)

Ekstremitas: Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-)

Pemeriksaan Ekstra Oral


Regio Facial
Inspeksi : Asimetris wajah (+), terdapat bengkak pada daerah buccal hingga ke sub
mandibula sebelah kanan, berukuran 7x6x4cm, eritema (+), inti abses (-),
fistula (-), ulkus (-), tampak nyeri (+), mengkilap (+)

Palpasi : Nyeri tekan (+), kenyal, lunak, hangat

Pemeriksaan Intra Oral


Trismus (+), sulit untuk dinilai.
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium 03 Maret 2021
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Hematologi rutin + diff
Hemogobin L 12,5 g/dl 13,3-16,6
Hematokrit L 36,3 % 41,3-52,1
Leukosit H 9.23 103/µl 3,37—8,38
Trombosit 209 103/µl 140-400
Eritrosit 4,76 106/µl 3,69-5,46
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0,3 % 0,3-1,4
Eosinofil 1,5 % 0,6-5,4
Neutrofil 69,3 % 39,8-70,5
Limfosit L 20,0 % 23,1-49,9
Monosit H 3,47 % 4,3-10,0
Koagulasi
PT 12,1 detik 10,2-12,1
APTT H 39,1 detik 24,8-34,4
Kimia Darah
GDS 95 mg/dl ≤140
Elektolit
Natrium L 128,70 mEq/l 135-148
Kalium 4,59 mEq/l 3,50-5,30
Klorin 101,70 mEq/l 98-106
Kalsium 1,25 mEq/l 1,15-1,35
Serologi
Antigen Covid-19 Nonreaktif Nonreakif

Foto Thorax
Deskripsi
 Cor: Tidak membesar
 Sinus Kostofrenikus: Tajam
 Diafragma: normal
 Pulmo
 Hilus: normal
 Corakan bronkovaskular: normal
 Tidak tampak infiltrate

Kesan: Tidak tampak kelainan

Foto Skull

3.5 Diagnosis
Abses Submandibula + Obstruksi jalan napas parsial
3.6 Terapi
 IVFD RL : D5 1000:500cc/24 jam Pro persiapan operasi
 Injeksi Ceftriaxone 2g/24 jam IV
 Metronidazole 500mg /8 jam
 Injeksi Antrain/8jam (1g IV)
 Injeksi Metilpredisonolone 125mg (IV)

3.7 Laporan operasi


1. Antiseptik regio wajah dengan betadine
2. Pasang dook steril
3. Injeksi Phcain : aquadest = 1:1 2 cc di submandibula
4. Insisi kulit dengan mess II di perdalam sampai kavitas abses, blunt, didesinfektan
5. Pus (+) 50cc, berbau (+)
6. Irigasi kavitas abses dengan H202, betadine, Nacl 0.9%
7. Pasang drain karet steril sebanyak 2 di bucal dan 1 di submandibula
8. Kemudian di fiksasi dengan Hipafix
9. Pasang dressing steril
10. Operasi selesai

Terapi pascaoperasi
1. IVFD RL:D5 1000:500
2. Injeksi Cefriaxone 2g/24jam
3. Injeksi Metronidazole 500mg/8jam
4. Injeksi Antrain 1g/8jam
5. GV (rawat luka) setiap hari, pertahankan drain jangan dilepas
6. Bila sadar baik, minum sedikit-sedikit
7. Bila tidak muntah, makan 1 jam setelahnya
8. Monitor tanda-tanda vital dan perdarahan

Foto Pre OP
A. Anterior B. Lateral C. Posterior

Tampak Asimetris pada Tampak Edema (+), eritema Tidak tampak edema, dan
wajah, edema pada daerah (+) eritema
buccal hingga ke
submandibular sebelah
kanan

Foto Durante OP

Anda mungkin juga menyukai