Anda di halaman 1dari 13

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi Abses
Infeksi odontogenik merupakan infeksi akut atau kronis yang berasal dari gigi
yang berhubungan dengan patologi. Mayoritas infeksi yang bermanifestasi pada
region orofacial adalah odontogenik. Infeksi odontogenik tersebut dapat
menyebabkan terjadinya abses.
Abses adalah pengumpulan nanah yang terlokalisir sebagai akibat dari infeksi
yang melibatkan mikroorganisme. Nanah merupakan campuran dari jaringan
nekrotik, bakteri dan sel darah putih yang sudah mati, yang dicairkan oleh enzim
autolitik. Pada saat tekanan di dalam rongga meningkat, maka nanah mengambil
jalur pada daya tahan terendah dan dapat keluar melalui kulit.
Abses rongga mulut adalah suatu infeksi pada mulut, wajah, rahang, atau
tenggorokan yang dimulai sebagai infeksi gigi atau karies gigi.Jumlah dan
penyebaran infeksi tergantung pada lokasi gigi yang terkena serta virulensi
organisme. Pencabutan gigi dengan riwayat infeksi juga harus memperhatikan
beberapa hal yang bisa mengakibatkan tersebarnya infeksi lebih luas. Ekstraksi
gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang alveolar. Ekstraksi
gigi dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik sederhana dan teknik
pembedahan.
3.2 Etiologi
Abses pada umumnya disebabkan karena patologi, trauma atau perawatan gigi
dan jaringan pendukungnya. Infeksi odontogenik ini dimulai dengan terjadinya
kematian pulpa, invasi bakteri dan perluasan proses infeksi kearah periapikal.
Terjadinya peradangan yang terlokalisir atau abses periapikal akut tergantung dari
virulensi kuman dan efektivitas pertahanan hospes
Infeksi odontogenik dapat berasal dari tiga jalur, yaitu
 Jalur periapikal, sebagai hasil dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke
jaringan periapikal
 Jalur periodontal, sebagai hasil dari inokulasi bakteri pada periodontal poket
 Jalur perikoronal, yang terjadi akibat terperangkapnya makanan di bawah
operkulum tetapi hal ini terjadi hanya pada gigi yang tidak/belum dapat
tumbuh sempuna.

8
9

Infeksi odontogen dapat menyebar secara perkontinuatum, hematogen dan


limfogen, namun yang paling sering adalah melalui perkontinuatum atau
kontinuitas jaringan.
3.3 Klasifikasi Abses Odontogen
 Abses periapikal
Abses periapikal sering juga disebut abses dento-alveolar, terjadi di daerah
periapikal gigi yang sudah mengalami kematian dan terjadi keadaan
eksaserbasi akut. Mungkin terjadi segera setelah kerusakan jaringan pulpa
atau setelah periode laten yang tiba-tiba menjadi infeksi akut dengan gejala
inflamasi, pembengkakan dan demam. Mikroba penyebab infeksi umumnya
berasal dari pulpa, tetapi juga bisa berasal sistemik (bakteremia).

Gambar ilustrasi abses periapikal


 Abses Subperiosteal
Gejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan selulitis jaringan lunak
mulut dan daerah maksilofasial. Pembengkakan yang menyebar ke ekstra
oral, warna kulit sedikit merah pada daerah gigi penyebab. Penderita
merasakan sakit yang hebat, berdenyut dan dalam serta tidak terlokalisir. Pada
rahang bawah bila berasal dari gigi premolar atau molar pembengkakan dapat
meluas dari pipi sampai pinggir mandibula, tetapi masih dapat diraba. Gigi
penyebab sensitif pada sentuhan atau tekanan.

Gambar ilustrasi abses subperiosteal


10

 Abses submukosa
Abses ini disebut juga abses spasium vestibular, merupaan kelanjutan abses
subperiosteal yang kemudian pus berkumpul dan sampai dibawah mukosa
setelah periosteum tertembus. Rasa sakit mendadak berkurang, sedangkan
pembengkakan bertambah besar. Gejala lain yaitu masih terdapat
pembengkakan ekstra oral kadang-kadang disertai demam, lipatan mukobukal
terangkat. Bila abses berasal darigigi insisivus atas maka sulkus nasolabial
mendatar, terangatnya sayap hidung dan kadang-kadang pembengkakan
pelupuk mata bawah. Kelenjar limfe submandibula membesar dan sakit pada
palpasi.

Gambar ilustrasi abses submukosa


 Abses fosa kanina
Fosa kanina sering merupakan tempat infeksi yang bersal dari gigi rahang
atas pada regio ini terdapat jaringan ikat dan lemak, serta memudahkan
terjadinya akumulasi cairan jaringan. Gejala klinis ditandai dengan
pembengkakan pada muka, kehilangan sulkus nasolabialis dan edema
pelupuk mata bawah sehingga tampak tertutup. Bibir atas bengkak, seluruh
muka terasa sakit disertai kulit yang tegang berwarna merah.

Gambar ilustrasi abses fosa kanina


11

 Abses spasium bukal


Spasium bukal berada diantara m. masseter ,m. pterigoidus interna dan m.
Businator. Berisi jaringan lemak yang meluas ke atas ke dalam diantara otot
pengunyah, menutupi fosa retrozogomatik dan spasium infratemporal. Abses
dapat berasal dari gigi molar kedua atau ketiga rahang atas masuk ke dalam
spasium bukal.
Gejala klinis abses ini terbentuk di bawah mukosa bukal dan menonjol ke
arah rongga mulut. Pada perabaan tidak jelas ada proses supuratif, fluktuasi
negatif dan gigi penyebab kadang-kadang tidak jelas. Masa infeksi/pus dapat
turun ke spasium terdekat lainnya. Pada pemeriksaan estraoral tampak
pembengkakan difus, tidak jelas pada perabaan.

Gambar ilustrasi abses spasium bukal


 Abses spasium infratemporal
Abses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya dan sering
menimbulkan komplikasi yang fatal. Spasium infratemporal terletak di bawah
dataran horisontal arkus-zigomatikus dan bagian lateral di batasi oleh ramus
mandibula dan bagian dalam oleh m.pterigoid interna. Bagian atas dibatasi
oleh m.pterigoid eksternus. Spasium ini dilalui a.maksilaris interna dan
n.mandibula,milohioid,lingual,businator dan n.chorda timpani. Berisi pleksus
venus pterigoid dan juga berdekatan dengan pleksus faringeal.
12

Gambar ilustrasi abses spasium infratemporal


 Abses spasium submasseter
Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara insersi otot
masseter bagian superfisialis dan bagian dalam. Spasium ini berupa suatu
celah sempit yang berjalan dari tepi depan ramus antara origo m.masseter
bagian tengah dan permukaan tulang. Keatas dan belakang antara origo
m.masseter bagian tengah dan bagian dalam. Disebelah belakang dipisahkan
dari parotis oleh lapisan tipis lembar fibromuskular. Infeksi pada spasium ini
berasal dari gigi molar tiga rahang bawah, berjalan melalui permukaan lateral
ramus ke atas spasium ini.
Gejala klinis dapat berupa sakit berdenyut diregio ramus mansibula bagian
dalam, pembengkakan jaringan lunak muka disertai trismus yang berjalan
cepat, toksik dan delirium. Bagian posterior ramus mempunyai daerah
tegangan besar dan sakit pada penekanan.

Gambar ilustrasi abses submasseter


 Abses spasium submandibula
Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang memisahkannya
dari spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial bagian belakang
mandibula. Dibatasi oleh m.hiooglosus dan m.digastrikus dan bagian
13

posterior oleh m.pterigoid eksternus. Berisi kelenjar ludah submandibula


yang meluas ke dalam spasium sublingual. Juga berisi kelenjar limfe
submaksila. Pada bagian luar ditutup oleh fasia superfisial yang tipis dan
ditembus oleh arteri submaksilaris eksterna.
Infeksi pada spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar, abses
periodontal dan perikoronitis yang berasal dari gigi premolar atau molar
mandibula.

Gambar ilustrasi abses submandibula


 Abses sublingual
Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal , terletak diatas
m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh m.genioglosus dan lateral oleh
permukaan lingual mandibula.
Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan dasar mulut dan lidah
terangkat, bergerser ke sisi yang normal. Kelenjar sublingual akan tampak
menonjol karena terdesak oleh akumulasi pus di bawahnya. Penderita akan
mengalami kesulitan menelan dan terasa sakit.

Gambar ilustrasi abses sublingual


 Abses spasium submental
Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima, di depannya
melintang m.digastrikus, berisi kelenjar limfe submental. Perjalanan abses
kebelakang dapat meluas ke spasium mandibula dan sebaliknya infesi dapat
14

berasal dari spasium submandibula. Gigi penyebab biasanya gigi anterior atau
premolar.
Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submental. Tahap akhir
akan terjadi supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif. Pada npemeriksaan
intra oral tidak tampak adanya pembengkakan. Kadang-kadang gusi disekitar
gigi penyebab lebih merah dari jaringan sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi
dapat menyebar juga kearah spasium yang terdekat terutama kearah
belakang.

Gambar ilustrasi abses submental


 Abses spasium parafaringeal
Spasium parafaringeal berbentuk konus dengan dasar kepala dan apeks
bergabung dengan selubung karotid. Bagian luar dibatasi oleh muskulus
pterigoid interna dan sebelah dalam oleh muskulus kostriktor, sebelah
belakang oleh glandula parotis, muskulus prevertebalis dan prosesus
stiloideus serta struktur yang berasal dari prosesus ini. Kebelakang dari
spasium ini merupakan lokasi arteri karotis, vena jugularis dan nervus vagus,
serta sturktur saraf spinal, glosofaringeal, simpatik, hipoglosal dan kenjar
limfe.
Infeksi pada spasium ini mudah menyebar keatas melalui berbagai foramina
menuju bagian otak. Kejadian tersebut dapat menimbulkan abses otak,
meningitis atau trombosis sinus. Bila infeksi berjalan ke bawah dapat melalui
selubung karotis sampai mediastinuim
3.4 Patogenesis
Proses terjadinya abses adalah proses yang panjang, berawal dari kematian
pulpa, menjadi media perkembangbiakan bakteri yang baik, sebelum akhirnya
15

mereka mampu merambah ke jaringan yang lebih dalam, yaitu jaringan


periapikal.
Infeksi pulpo-periapikal seringkali disebut sebagai mixed bacterial
infection, karena tidak hanya melibatkan bakteri Streptococcus Mutan. Kondisi
abses kronis dapat terjadi apabila ketahanan host dalam kondisi yang tidak
terlalu baik, dan virulensi bakteri cukup tinggi. Yang terjadi dalam daerah
periapikal adalah pembentukan rongga patologis abses disertai
pembentukan pus yang sifatnya berkelanjutan.Adanya bakteri dalam jaringan
periapikal, mengundang respon keradangan untuk datang ke jaringan yang
terinfeksi tersebut, namun karena kondisi hostnya tidak terlalu baik, dan
virulensi bakteri cukup tinggi, sehingga tercipta kondisi abses yang merupakan
hasil sinergi dari bakteri Streptoccocus Mutans dan Streptococcus Aureus.
Streptoccocus Mutans yang bersifat destruktif, mampu merusak
jaringan yang ada di daerah periapikal, sedangkan Streptococcus Aureus
dengan enzim koagulasenya mampu mendeposisi fibrin di sekitar wilayah
kerja Streptoccocus Mutans untuk membentuk sebuah pseudomembran yang
terbuat dari jaringan ikat, yang disebut sebagai membran abses. Membran abses
ini yang menyebabkan adanya gambaran radiolusen dengan batas yang tidak
tegas pada foto rontgen. Selain itu terdapat pembentukan pus oleh bakteri
pyogenik, salah satunya juga adalah Streptococcus Aureus. Pus yang terdiri dari
leukosit yang mati, jaringan nekrotik, dan bakteri dalam jumlah besar tersebut
akan mengisi rongga yang terbentuk oleh sinergi dua kelompok bakteri tadi.
Pus yang terkandung dalam rongga tersebut akan terus berusaha mencari
jalan keluar sendiri, namun pada perjalanannya seringkali menimbulkan gejala-
gejala yang seperti nyeri, demam, dan malaise. Karena pus dalam rongga
patologis tersebut harus keluar, baik dengan bantuan dokter gigi atau keluar
secara alami dengan membentuk sebuah fistula.
Sebelum membentuk fistula, pus bergerak dari dalam tulang
melalui cancelous bone, menuju ke lapisan tulang terluar yang kita disebut
korteks tulang. Tulang yang dalam kondisi hidup dan normal, selalu dilapisi
oleh lapisan tipis yang tervaskularisasi dengan baik yang disebut periosteum.
Sehingga akan terjadi respon keradangan ketika pus sudah mencapai korteks
dan melepas komponen peradangan dan sel plasma ke rongga subperiosteal.
Reaksi ini menimbulkan rasa sakit, terasa hangat pada regio yang terlibat,
16

timbul pembengkakan. Peristiwa ini disebut periostitis dandapat berlangsung


selama 2-3 hari, tergantung keadaan host.
Apabila dalam rentang 2-3 hari ternyata respon keradangan diatas tidak
mampu menghambat aktivitas bakteri penyebab, maka dapat berlanjut ke
kondisi yang disebut abses subperiosteal. Abses subperiosteal terjadi di rongga
yang sama namun dalam kondisi ini sudah terdapat keterlibatan pus.
Jika periosteum sudah tertembus oleh pus, proses infeksi ini akan
menjalar menuju fascial space terdekat, karena telah mencapai area jaringan
lunak. Apabila infeksi telah meluas mengenai fascial spaces, maka dapat
terjadi fascial abscess. Fascial abscess terdiri dari:
 Maksila
o Canine spaces
o Buccal spaces
o Infratemporal spaces
 Mandibula
o Submental spaces
o Buccal spaces
o Sublingual spaces
o Submandibular spaces
Terjadinya infeksi pada salah satu atau lebih fascial space yang paling
sering oleh karena penyebaran kuman dari penyakit odontogenik terutama
komplikasi dari periapikal abses. Pus yang mengandung bakteri pada periapikal
abses akan berusaha keluar dari apeks gigi, menembus tulang, dan akhirnya ke
jaringan sekitarnya, salah satunya adalah fascial spaces. Gigi yang terkena
periapikal abses kemudian akan menentukan jenis dari fascial spaces yang
terkena infeksi.
 Canine spaces
Berisi musculus levator anguli oris, dan m. labii superior. Infeksi daerah
ini disebabkan periapikal abses dari gigi caninus maksila. Gejala klinisnya
yaitu pembengkakan pipi bagian depan dan hilangnya lekukan
nasolabial. Penyebaran lanjut dari infeksi canine spaces dapat menyerang
daerah infraorbital dan sinus kavernosus.
17

 Buccal spaces
Terletak sebelah lateral dari m. buccinator dan berisi kelenjar parotis dan
n. facialis. Infeksi berasal dari gigi premolar dan molar yang ujung
akarnya berada di atas perlekatan m. buccinator pada maksila atau berada
di bawah perlekatan m. buccinator pada mandibula. Gejala infeksi yaitu
edema pipi dan trismus ringan.
 Infratemporal spaces
Terletak di posterior dari maksila, lateral dari proc. Pterigoideus, inferior
dari dasar tengkorak, dan profundus dari temporal space. Berisi nervus
dan pembuluh darah. Infeksi berasaal dari gigi molar III maksila. Gejala
infeksi berupa tidak adanya pembengkakan wajah dan kadang terdapat
trismus bila infeksi telah menyebar.
 Submental space
Infeksi berasal dari gigi incisivus mandibula. Gejala infeksi berupa
bengkak pada garis midline yang jelas di bawah dagu.
 Sublingual space
Terletak di dasar mulut, superior dari m. mylohyoid, dan sebelah medial
dari mandibula. Infeksi berasal dari gigi anterior mandibula dengan ujung
akar di atas m. mylohyoid. Gejala infeksi berupa pembengkakan dasar
mulut, terangkatnya lidah, nyeri, dan dysphagia.
 Submandibular space
Terletak posterior dan inferior dari m. mylohyoid dan m. platysma. Infeksi
berasal dari gigi molar mandibula dengan ujung akar di bawah m.
mylohyoid dan dari pericoronitis. Gejala infeksi berupa pembengkakan
pada daerah segitiga submandibula leher disekitar sudut mandibula,
perabaan terasa lunak dan adanya trismus ringan.
3.5 Manifestasi Klinis
1. Adanya respon Inflamasi
Respon tubuh terhadap agen penyebab infeksi adalah inflamasi. Pada
keadaan ini substansi yang beracun dilapisi dan dinetralkan. Juga dilakukan
perbaikan jaringan, proses inflamasi ini cukup kompleks dan dapat
disimpulkan dalam beberapa tanda :
18

A. Hiperemi yang disebabkan vasodilatasi arteri dan kapiler dan


peningkatan permeabilitas dari venula dengan berkurangnya aliran
darah pada vena.
B. Keluarnya eksudat yang kaya akan protein plasma, antiobodi dan nutrisi
dan berkumpulnya leukosit pada sekitar jaringan.
C. Berkurangnya faktor permeabilitas, leukotaksis yang mengikuti migrasi
leukosit polimorfonuklear dan kemudian monosit pada daerah luka.
D. Terbentuknya jalinan fibrin dari eksudat, yang menempel pada dinding
lesi.
E. Fagositosis dari bakteri dan organisme lainnya
F. Pengawasan oleh makrofag dari debris yang nekrotik
2. Adanya gejala infeksi
Gejala-gejala tersebut dapat berupa : rubor atau kemerahan terlihat
pada daerah permukaan infeksi yang merupakan akibat vasodilatasi. Tumor
atau edema merupakan pembengkakan daerah infeksi. Kalor atau panas
merupakan akibat aliran darah yang relatif hangat dari jaringan yang lebih
dalam, meningkatnya jumlah aliran darah dan meningkatnya metabolisme.
Dolor atau rasa sakit, merupakan akibat rangsangan pada saraf sensorik yang
di sebabkan oleh pembengkakan atau perluasan infeksi. Akibat aksi faktor
bebas atau faktor aktif seperti kinin, histamin, metabolit atau bradikinin pada
akhiran saraf juga dapat menyebabkan rasa sakit. Fungsio laesa atau
kehilangan fungsi, seperti misalnya ketidakmampuan mengunyah dan
kemampuan bernafas yang terhambat. Kehilangan fungsi pada daerah
inflamasi disebabkan oleh faktor mekanis dan reflek inhibisi dari pergerakan
otot yang disebabkan oleh adanya rasa sakit.
3. Limphadenopati
Pada infeksi akut, kelenjar limfe membesar, lunak dan sakit. Kulit di
sekitarnya memerah dan jaringan yang berhubungan membengkak. Pada
infeksi kronis perbesaran kelenjar limfe lebih atau kurang keras tergantung
derajat inflamasi, seringkali tidak lunak dan pembengkakan jaringan di
sekitarnya biasanya tidak terlihat. Lokasi perbesaran kelenjar limfe
merupakan daerah indikasi terjadinya infeksi. Supurasi kelenjar terjadi jika
organisme penginfeksi menembus sistem pertahanan tubuh pada kelenjar
19

menyebabkan reaksi seluler dan memproduksi pus. Proses ini dapat terjadi
secara spontan dan memerlukan insisi dan drainase.
3.6 Diagnosis
Abses pada bucal sering disertai dengan purulensi yang biasa dijadikan
sampel untuk kultur sebelum dilakukan tindakan lokal. Apabila abses memiliki
dinding yang tertutup, yang merupakan ciri khas dari lesi periapikal maka
palpasi digital yang dilakukan perlahan terhadap lesi yang teranastesi bisa
menunjukkan adanya fluktuasi yang merupakan bukti adanya purulensi. Untuk
menegakkan diagnosis abses, perlu dilakukan kultur dan pengecatan bakteri
serta foto rontgen berupa rontgen periapikal dan jika infeksi sudah menyebar
luas dibutuhkan rontgen CT Scan.
Daerah yang mengalami fluktuasi diaspirasi untuk diambil purulensinya.
Hal tersebut dilakukan dengan memasukkan jarum besar 18 atau 20 gauge yang
dicekatkan pada spuit disposibel yang berukuran 3 ml atau lebih kedalam lesi.
Biasanya didapatkan eksudat yang bercampur darah dengan warna kuning atau
seperti krim. Apabila tidak didapatkan bahan purulensi maka infeksinya bersifat
difus. Sedangkan pada rontgen foto terlihat adanya gambaran radiolusen dengan
batas tepi yang tidak tegas pada daerah apical gigi.
3.7 Penatalaksanaan
Perawatan abses odontogenik dapat dilakukan secara lokal/sitemik.
Perawatan lokal meliputi irigasi, aspirasi, insisi dan drainase, sedangkan
perawatan sistemik terdiri atas pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit,
terapi antibiotik, dan terapi pendukung.Walaupun kelihatannya pasien
memerlukan intervensi lokal dengan segera, tetapi lebih bijaksana apabila
diberikan antibiotik terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
bakterimia dan difusi lokal (inokulasi) sebagai akibat sekunder dari manipulasi
(perawatan) yang dilakukan.
Prinsip utama dari perawatan infeksi odontogenik adalah melakukan
pembedahan drainase dan menghilangkan penyebab dari infeksi. Tujuan
utamanya adalah menghilangkan pulpa nekrotik dan poket periodontal yang
dalam. Tujuan yang kedua adalah menghilangkan pus dan nekrotik debris.
Ekstraksi dilakukan apabila memenuhi kriteria indikasi, diantaranya adalah:
a) Karies yang parah
b) Nekrosis pulpa
20

c) Penyakit periodontal yang parah


d) Alasan orthodontik
e) Gigi yang mengalami malposisi
f) Gigi yang retak
g) Pra-prostetik ekstraksi
h) Gigi impaksi
i) Supernumary gigi
j) Gigi yang terkait lesi patologis
k) Terapi pra radiasi
l) Gigi yang mengalami fraktur rahang
m) Estetik
n) Ekonomis
Ekstraksi tidak dapat dilakukan apabila terdapat kontraindikasi,baik lokal
maupun sistemik, dapat bergantung pada kondisi umum pasien.
Kontraindikasi
a) Lokal  adanya infeksi, perikoronitis, penyakit ganas, dan iradiasi
b) Sistemik  diabetes tidak terkontrol, penyakit jantung, kelainan
darah, medically compromised, terapi steroid, kehamilan

Anda mungkin juga menyukai