Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH OSEANOGRAFI

DAMPAK BENCANA LUMPUR LAPINDO BAGI PERIKANAN TANGKAP

Oleh: Kelompok 16

Divarona Riandari (15/383423/PN/14254)

Fasikhatun Nafiah (15/383494/PN/1435)

Yosua Dwi Kurnia (15/379701/PN/14155)

Tugas Makalah Oseanografi

Dosen Pengasuh : Dr. Djumanto

JURUSAN PERIKANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2016

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Dampak Bencana Lumpur Lapindo Bagi Perikanan Tangkap. Makalah ini ditujukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Oseanografi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
proses penyusunanan makalah ini sehingga terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Yogyakarta, 25 April 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................

DAFTAR ISI .............................................................................................................

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

b. Rumusan Masalah..

c. Tujuan ..

ISI

a. Studi Area.........................................................................................................
b. Metode.............................................................................................................
c. Hasil dan Pembahasan......................................................................................

PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Peta Indek Lokasi Endapan Lumpur......................................................... 3


Gambar 2 Regresi Konsentrasi Cadmium (Cd) dan Suhu..4
Gambar 3 Regresi Cadmium dan DO ........................................................................ 4

iv
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Wilayah Pesisir merupakan zona interaksi antara lautan dan daratan yang
luasnya mencapai 15% dari daratan bumi. Wilayah pesisir di Indonesia sangat
potensial, karena merupakan lokasi perdagangan, transportasi, perikanan tangkap,
budidaya perairan, industri, pertambangan dan pariwisata. Terdapat beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi kondisi lingkungan pesisir di antaranya: pertumbuhan
penduduk, kegiatan-kegiatan manusia, sedimentasi, ketersediaan air bersih dan
pencemaran (Nontji, 2002).
Pada tanggal 29 Mei 2006 Lokasi semburan Lumpur Sidoarjo, Terletak di
Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Semburan lumpur panas di
Sidoarjo merupakan fenomena geologi yang menarik dan menjadi perhatian tidak
saja para ahli dari dalam negeri namun juga dari luar negeri. Awal semburan terjadi
di sekitar Sumur Banjar Panji 1 (BJP-1), dengan debit 5.000 m3/hari. Lubang
semburan terjadi di beberapa tempat, sebelum akhirnya menjadi satu lubang yang
dari waktu ke waktu menyemburkan lumpur panas dengan volume yang terus
meningkat. Pada bulan Mei-Agustus 2006 debit lumpur telah mencapai 126.000
m3/hari. Semburan lumpur dari lubang pemboran yang menembus sampai pada
kedalaman 10.300 kaki membawa bahan padat dan cair dengan unsur-unsur dan
senyawa terlarut di dalamnya. Bahan padat berasal dari batuan penyusun formasi
yang ditembus lubang bor, sedangkan bahan cair sangat tergantung kondisi geologi
dan hidrogeologi daerah di sekitarnya.
Dalam penelitian ini parameter utama yang dipantau adalah Cadmium dan
Merkuri. Senyawa ini sangat membahayakan kelestarian ekosistem perairan.
Keberadaan logam berat cadmium yang berada dalam lumpur di perairan muara
Sungai Porong, diduga akan berpengaruh terhadap kualitas air di muara Sungai
Porong dan kelangsungan hidup biota air. Mengingat daerah muara Sungai Porong
merupakan daerah pertambakan, sehingga dibutuhkan penelitian kadar kandungan
logam berat Cd dan Hg di perairan muara Sungai Porong. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kadar kandungan logam berat

v
Cadmium dan Merkuri dan parameter kualitas perairan lainnya di muara Sungai
Porong.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja kandungan Lumpur lapindo ?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya Lumpur Lapindo ?
3. Dampak Lumpur lapindo bagi perikanan tangkap

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisa kandungan Merkuri dan Cadmium di perairan muara sungai Porong.

2. Menentukan status pencemaran merkuri dan Cadmium di perairan muara sungai


Porong.

3. Menentukan trend konsentrasi parameter logam berat dan parameter kualitas air.

vi
ISI

A. STUDY AREA
Study area yang dilakukan pada pembuatan makalah ini, lebih banyak
mengacu pada jurnal-jurnal hasil penelitian yang dilakukan di daerah Jawa. Secara
umum tentanmg Lumpur Lapindo di Sidoharjo.
B. METODE
Penulisan makalah ini, menggunakan metode pengumpulan data dari berbagai
referensi terutama jurnal mengenai Lumpur Lapindo dan juga mengacu pada
buku-buku ilmiah. Kegiatan penelitian telah dilaksanakan di Porong Sidoharjo,
Jawa Timur pada bulan Oktober tahun 2009 dengan menggunakan metode AAS
(Automatic AbsorbanceSpektrofotometer), untuk mengetahui kandungan lumpur
lapindo pada perikanan tangkap.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil

vii
Gambar 2. Regresi Konsentrasi Cadmium (Cd) dan Suhu Perairan

Gambar 3. Regresi Cadmium dan DO

Pembahasan
1. Kandungan Lumpur Lapindo
Pada penelitian ini kadar merkuri tidak terdeteksi di muara sungai porong. Hal ini
didukung oleh penelitian sebelumnya yakni Badan Lingkungan Daerah (2007),
menyatakan kadar merkuri terdeteksi rata-rata 0,009 0,012 mg/liter baik di spillway

viii
(Desa Mindi) dan di kolam Banjar Panji rata-rata 0,02 mg/liter. Berdasarkan Harahap
(1991), logam berat merkuri mudah larut dan mengubah kestabilan dari bentuk karbonat
menjadi hidroksida yang membentuk ikatan partikel pada perairan, kemudian mengendap
membentuk lumpur. Penyebab logam berat merkuri tidak terdeteksi di permukaan perairan
karena merkuri memiliki sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di
dasar perairan. Logam berat merkuri yang bersatu dengan sedimen menyebabkan kadar
logam berat di dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan di perairan.
Cadmium (Cd) bersama dengan Hg dan Pb merupakan logam yang hingga kini
belum jelas peranannya bagi tumbuhan dan makhluk hidup lainnya. Tetapi di dalam
suatu perairan Cadmium terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (renik) dan
bersifat tidak larut dalam perairan. Cadmium (Cd) selain bersifat esensial juga toksik
terhadap organisme yang hidup di air. Oleh karena sifat tersebut, dalam berbagai
penelitian logam berat, logam berat Merkuri dan Cadmium tersebut selalu mendapat
prioritas untuk dianalisis dan dievaluasi. Cadmium adalah logam toksik yang umumnya
ditemukan dalam pekerjaan-pekerjaan industri, logam Cadmium digunakan secara intensif
dalam proses electroplating. Nilai rata-rata Cadmium pada stasiun ke- 1 yaitu 0,001
mg/liter. Sedangkan pada stasiun lainnya berkisar antara 0,025 0,075 mg/liter.
Kandungan parameter Cadmium lebih tinggi pada lokasi ke-3, karena lokasi ini
dekat dengan area penambangan pasir dan kondisi tepi laut sudah dibentuk lahan baru
berupa daratan sehingga banyak endapan sedimen yang terkandung di perairan ini. Karena
kandungan Cadmium memiliki sifat mudah terakumulasi di sedimen, sehingga
konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Disamping itu sedimen
mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang
dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar potensial dalam
skala waktu tertentu.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 standar baku nilai logam
berat Cadmium untuk perikanan adalah 0,01 mg/liter. Kriteria baku mutu logam berat
Cadmium untuk biota laut menurut Menteri Lingkungan Hidup (2004) adalah 0,001
mg/liter. Kandungan parameter Cadmium di lokasi ke-2 dan ke-3 di muara sungai porong
nilainya melebihi standar baku, sehingga kondisi perairan ini tidak sesuai untuk kegiatan
perikanan dan habitat biota laut.
Hasil untuk parameter Cd dan suhu menunjukkan tren yang meningkat (Gambar 2).
Berdasarkan Panteleyev (1990), kenaikan suhu air akan mengurangi adsorpsi senyawa

ix
logam berat pada partikulat. Suhu air yang lebih dingin akan meningkatkan adsorpsi logam
berat ke partikulat untuk mengendap di dasar. Sementara saat suhu air naik, senyawa
logam berat akan melarut di air karena penurunan laju adsorpsi ke dalam partikulat. Logam
yang memiliki kelarutan yang kecil akan ditemukan di permukaan air selanjutnya dengan
perpindahan dan waktu tertentu akan mengendap hingga ke dasar, artinya logam tersebut
hanya akan berada di dekat permukaan air dalam waktu yang sesaat saja untuk kemudian
mengendap lagi. Hal ini ditentukan antara lain oleh massa jenis air, viskositas
(kekentalan) air, temperatur air, arus serta faktor-faktor lainnya. Namun, hasil uji F untuk
regresi menunjukkan bahwa suhu tidak berpengaruh terhadap konsentrasi Cd.
Pada logam berat seperti Zn, Cu, Cd, Pb, Hg dan Ag akan sulit terlarut dalam
kondisi perairan yang anoksik dan kandungan oksigen yang rendah (Reason, 2010). Hasil
diagram pencar (scatter plot) untuk analisa regresi linier Cadmium dengan kadar oksigen
terlarut disajikan pada Gambar 3 Daya larut logam berat dapat menjadi lebih tinggi atau
lebih rendah tergantung pada kondisi lingkungan perairan. Hasil regresi menunjukkan
bahwa kandungan Cd tinggi seiring dengan meningkatkan kandungan oksigen terlarut. Hal
ini sesuai dengan Rawson (1984), pada daerah yang kekurangan oksigen, misalnya akibat
kontaminasi bahan bahan organik, daya larut logam berat akan menjadi lebih rendah dan
mudah mengendap. Logam berat Cadmium akan sulit terlarut dalam kondisi perairan yang
anoksik. Logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam sedimen jika
berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang melapisi permukaan
sedimen, dan penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen.
Dari hasil uji laboratorium tentang kandungan lumpur Lapindo ditemukan beberapa
logam dalam satuan Ppm artinya part per million atau bagian per juta, mg/liter larutan.
Lumpur Lapindo, kandungan terbanyak adalah besi (Fe), yakni 77,3760, alumunium (Al)
sebesar 42,969, timbal sebesar 14,1600, silikon sebesar 11,423, mangan (Mn) sebesar
1,8715, dan tembaga sebesar 0,1181. Secara keseluruhan, Lumpur Lapindo tidak
mengandung zat yang berbahaya, yang artinya adalah cukup aman untuk dimanfaatkan
(Kasiyan, 2012). Berdasarkan hasil observasi secara fisik, lumpur Lapindo itu
berwarna hitam keabu-abuan dan sifatnya licin, plastis, yang disebabkan kemungkinan
terdapat kandungan kotoran (impurity) lain, misalnya minyak. Kondisi susut kering
tersebut, bahkan jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kebanyakan susut kering tanah
pada umumnya, yakni paling sedikit 8%-12 %. Terkait dengan pengujian susut kering ini
perlu disampaikan juga bahwa proses pengeringan sampel lumpur Lapindo memerlukan

x
waktu yang cukup lama (lebih dari 5 hari) pada suhu kamar. Hal ini kemungkinan
disebabkan kotoran kandungan minyak pada sampel dan mineral pemlastis dengan
kandungan tinggi.
Salah satu kandungan senyawa yang terdapat dalam lumpur yang di buang ke
Sungai Porong adalah logam berat Cadmium (Cd) dan Merkuri (Hg) (Badan Lingkungan
Daerah, 2007). Apabila kandungan logam berat Cadmium dan Merkuri telah melebihi
standar baku mutu lingkungan, akan berpengaruh terhadap kualitas air di Muara Sungai
Porong. Kadar Merkuri untuk standar baku perikanan 0,002 mg/liter sedangkan untuk
biota laut 0,001 mg/liter (MENKLH, 2004). Untuk melindungi kehidupan pada ekosistem
akuatik, perairan sebaiknya memiliki kadar Cadmium sekitar 0,0002 mg/liter.

2. Faktor Penyebab Lumpur Lapindo


Hasil studi MRP Tingay dari Australian School of Petroleum, University of
Adelaide, dan rekannya itu bertentangan dengan studi Stephen Miller dari University of
Bonn di Jerman yang juga dimuat di Nature Geoscience tahun 2013 lalu menganalisis data
konsentrasi gas dan komposisinya sejak Maret 2006 hingga 29 Mei 2006, dua hari setelah
gempa Yogyakarta. Pengukuran ini memungkinkan analisis pelepasan gas sebelum gempa
dan erupsi lumpur serta sesudahnya. Pandangan bahwa bencana Lapindo disebabkan
gempa menyatakan, gelombang seismik menjalar hingga lokasi pengeboran di Sidoarjo,
menyebabkan pencairan formasi clay di bawah wilayah Kalibeng, memicu luapan.
Tekanan yang menyebabkan luapan lumpur memicu pelepasan gas. Pelepasan gas
sendiri memang terjadi saat lumpur meluap. Namun, bila memang gempa memicu
pencairan formasi clay, seharusnya pelepasan gas juga terjadi saat gempa. Hasil
pengukuran menunjukkan bahwa dari 48 jam sebelum gempa Yogyakarta bermagnitudo
6,3 pada 27 Mei 2006 hingga 24 jam sesudahnya, tidak ada peningkatan pelepasan gas di
sekitar lokasi pengeboran Lapindo. Analisis data setelah gempa menunjukkan bahwa gas
yang lepas di wilayah Banjar Panji, sumur gas terdekat dari tempat luapan lumpur, lebih
rendah dari biasanya. Padahal, jika memang gempa memicu luapan lumpur, pelepasan gas
seharusnya meningkat.
Tingay juga membandingkan gas hidrogen sulfida (H2S) sebelum dan sesudah
erupsi. Sebelum erupsi lumpur, konsentrasi gas H2S selalu rendah. Namun, gas itu lalu
terobservasi begitu erupsi lumpur terjadi. Satu-satunya sumber H2S di cekungan Jawa
Timur adalah di batuan karbonat tersier. Tak jelas apakah pengeboran sampai pada lapisan

xi
batuan karbonat, tetapi di bawah lokasi pengeboran Banjar Panji dipercaya memang
terdapat formasi karbonat Tuban dari masa Miocene. Bencana lumpur Lapindo
sebelumnya juga sempat dikaitkan dengan faktor hidrotermal. Fluida hidrotermal bersama
gempa Yogyakarta memicu pencairan formasi clay dan memobilisasinya ke
permukaan.mHasil pengukuran H2S membantah skenario adanya hubungan antara
hidrotermal dengan formasi tanah liat sebelum erupsi. Hidrotermal bisa saja berpengaruh,
tetapi sistemnya tetap ada pada kedalaman, "terkunci" hingga saat erupsi.
Dugaan atas meluapnya lumpur tersebut kepada PT Lapindo Brantas adalah kurang
telitinya PT Lapindo dalam melakukan pengeboran sumur dan terlalu menyepelekan. Dua
hal tersebut sudah tampak ketika rancangan pengeboran akhirnya tidak sesuai dengan yang
ada dilapangan. Rancangan pengeboran adalah sumur akan dibor dengan kedalaman 8500
kaki (2590 meter) untuk bisa mencapai batu gamping. Lalu sumur tersebut dipasang casing
yang bervariasi sesuai dengan kedalaman sebelum mencapai batu gamping.
Awalnya, PT Lapindo sudah memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki,
20 inchi pada 1195 kaki, 16 inchi pada 2385 kaki dan 13-3/8 inchi pada 3580 kaki. Namun
setelah PT Lapindo mengebor lebih dalam lagi, mereka lupa memasang casing. Mereka
berencana akan memasang casing lagi setelah mencapai/menyentuh titik batu gamping.
Selama pengeboran tersebut, lumpur yang bertekanan tinggi sudah mulai menerobos, akan
tetapi PT Lapindo masih bisa mengatasi dengan pompa lumpur dari PT Medici.
Dan setelah kedalam 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. PT
Lapindo mengira target sudah tercapai, namun sebenarnya mereka hanya menyentuh titik
batu gamping saja. Titik batu gamping itu banyak lubang sehingga mengakibatkan lumpur
yang digunakan untuk melawan lumpur dari bawah sudah habis, lalu PT Lapindo berusaha
menarik bor, tetapi gagal, akhirnya bor dipotong dan operasi pengeboran dihentikan serta
perangkap BOP (Blow Out Proventer) ditutup. Namun fluida yang bertekanan tinggi sudah
terlanjur naik ke atas sehingga fluida tersebut harus mencari jalan lain untuk bisa keluar.
Itu lah yang menyebabkan penyemburan tidak hanya terjadi di sekitar sumur melainkan di
beberapa tempat. Oleh karena itu terjadilah semburan lumpur lapindo.

3. Dampak Lumpur Lapindo pada Perikanan Tangkap


Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar
maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Lumpur menggenangi kurang lebih
duabelas desa di tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan

xii
ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan
serta rusaknya areal pertanian maupun perikanan. Luapan lumpur ini juga menggenangi
sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan
lumpur ini telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan
Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa dan tak
25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77
unit rumah ibadah terendam lumpur.
Belum lagi akibat dari warga yang terdampak yang harus mengungsi dan memulai
usaha baru karena ditempat lama sudah mapan dengan usahanya. Perusahaan-perusahaan
yang pindah dan mengalami kerugian besar akibat lumpur yang sampai sekarang ganti
ruginya masih belum jelas, rusaknya ekosistem lingkungan di wilayah Sidoarjo Timur.
Lumpur memiliki kadar PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) dalam lumpur Lapindo
yang mencapai 2000 kali di atas ambang batas bahkan ada yang lebih dari itu. Kandungan
PAH sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Berikut akibat yang dapat
diakibatkan oleh zat PAH bagi manusia da lingkungan ,yaitu: Biokumulasi dalam jaringan
lemak manusia dan hewan dan terjadi permasalahan reproduksi pada makhluk hidup. Kita
tahu Sidoarjo Timur merupakan kawasan perikanan yang merupakan sektor pendorong
ekonomi masyarakat Sidoarjo. Dengan adanya lumpur yang dibuang ke laut dikawatirkan
akan merusak ekosistem kawasan tersebut yang menyebabkan turunnya produksi
perikanan. Sekarang dampak tersebut mulai dikeluhkan oleh nelayan nelayan yaitu
menurunnya kualitas air sungai Porong sebagai air baku utama bagi para nelayan tersebut,
berapa besar kerugian nelayan akibat penurunan hasil panen. Untuk itu perlu dicarikan
solusi bagaimana lumpur Lapindo itu tidak memberikan dampak yang sedemikian buruk
bagi masyarakat Sidoarjo dan sekitarnya. Maka perlu adanya terobosan-terobosan baru
guna mengurangi dampak lumpur tersebut dengan slogan "Sidoarjo
Dr Ir Acmad Fahrudin, MSi, selaku pengajar di Departemen Sosial Ekonomi dan
Perikanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), menganalisa kerugian sektor perikanan akibat
luapan lumpur lapindo tersebut akan mencapai Rp 1,1 trilliun per tahun dengan rincian
kerugian dari perikanan tangkap 201,8 milliar per tahun dan dari perikanan budidaya
(tambak) mencapai 905,9 milliar per tahun. Selain itu, hal itu juga berpotensi mengurangi
sumbangsih Jawa Timur sebesar 15% dari total produksi udang nasional.

xiii
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan data dan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

1. Pada proses keluarnya Lumpur Sidoarjo terdapat sistim geotermal yang ikut
mempengaruhi. Hal ini tercermin dari pola sebaran unsur yang umum dijumpai pada
lingkungan sistim geotermal khusunya pada suhu epitermal yang memberikan pola
peninggian dari pusat semburan.

2. Pola sebaran kandungan unsur menunjukkan adanya fluktuasi kadar unsur dari waktu
ke waktu, serta memberikan gambaran pada beberapa unsure terdispersi dari pusat
semburan.

3. Kandungan penyusun Lumpur Sioarjo dapat berasal dari sekitar lubang Bor Banjar
Panji I (BJP-I) yang merupakan zona cekungan hidrokarbon, dari zona resapan air
daerah sekitarnya serta dari system geothermal.

xiv
DAFTAR PUSTAKA

Ainun , Emha . 2007 . Banjir Lumpur Banjir Janji . Jakarta : KompasHamzah.


Badan Lingkungan Hidup Daerah. 2007. Dampak Buangan Lumpur Sidoarjo.
(http://journal Dampak Buangan Lumpur Lapindo.ac.id. diakses pada 10 Mei 2017
pukul 19.00).
Harahap, 1991. Toxicity of marine organism caused by polutan. Dalam: Marine pollution
and sea life.FAO. Fishing News Book Ltd, Surrey England. 584-594.
Kasiyan. 2012. Pengembangan Model Pemanfaatan Lumpur Lapindo dan Abu Gunung
Merapi sebagai Bahan Baku Pembuatan Keramik Seni Earthenware dan Stoneware.
Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Yogyakarta.
MenKLH, 2004. Kriteria baku mutu biota dan perikanan dalam perairan. Jakarta.
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
Panteleyev, A., 1990. A Canadian Cordilleran Model for Epithermal Gold-Silver Deposits.
Di dalam : Roberts, R.G. dan Sheahan, P.A. Ore Deposit Models. Geological
Association of Canada, Ontario.
Rawson, Philip S. 1984. Ceramics. London: Oxord University Press.
Reason, Emily. 2010. Ceramics for Beginners: Wheel Throwing. New York:
Sterling Publishing Company, Inc.
Suning . 2012. Dampak Lumpur Lapindo Terhadap Kualitas Lingkungan Pesisir Sidoarjo
Dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Teknik
WAKTU. 10 (02) : 45 53.
Suprapto, S. J., R. Gunradi dan Y. R. Ramli. 2010. Geokimia Sebaran unsure Logam pada
Endapan Lumpur Sidoarjo. Kelompok Program Penelitian Konservasi, Kelompok
Program Penelitian Mineral Pusat Sumber Daya Geologi.

Web
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/07/studi-baru-menggugat-teori-penyebab-
bencana-lumpur-lapindo

xv

Anda mungkin juga menyukai