Anda di halaman 1dari 8

Korelasi antara tuli sensorineural dengan otorrhea kronis

Fernanda Martinho Dobrianskyj, MS; sis Rocha Dias Gonalves, DO; Yumi Tamaoki, DO;
Edson Ibrahim Mitre, MD; Fernando A. Quintanilha Ribeiro, PhD

Abstrak

Banyak penelitian tertulis untuk menghubungkan otorrhea kronis pada anak-anak dan
orang dewasa dengan tuli sensorineural di telinga yang terkena, hasil dari penelitian tersebut
kontradiktif. Tuli tersebut mungkin dapat terjadi akibat dari toksisitas bakteri yang terlibat,
efek dari sitokin inflamasi, atau penggunaan antibiotik yang ototosik. Semua penelitian
dievaluasi sampai saat ini dengan membandingkan telinga yang terkena dengan telinga
kontralateral yang normal. Berdasarkan data dari arsip operasi Departemen
Otorhinolaringologi di Santa Casa de So Paulo School of Medical Sciences, telinga pasien
dengan otorrhea kronis dievaluasi secara visual dan dibandingkan dengan telinga
kontralateral yang normal. Telinga dengan otorrhea juga dibandingkan dengan telinga pasien
lain yg mengalami perforasi membran timpani yang sudah kering. Telinga dengan supurasi
dievaluasi untuk kolesteatoma. Ambang dengarsensorineural dievaluasi dengan frekuensi
500, 1.000, 2.000, dan 4.000 Hz.Sebanyak 98 pasien dengan otorrhea kronis dan 60 lainnya
dengan perforasi membran timpani yang sudah kering dilakukan evaluasi. Ada korelasi antara
tuli sensorineural dan otorrhea kronik saat dibandingkan dengan telinga kontralateral yang
normal dan telinga pasien lain yang mengalami perforasi membran timpani yang sudah
kering. Tidak ditemukan adanya hubungan antara tuli dengan kolesteatoma. Tuli
sensorineural terjadi di telinga dengan otorrhea kronis. Durasi otorrhea dan etiologi dari
supurasi tidak mempengaruhiketulian.

Pengantar

Penelitian mengenai korelasi antara otorrhea kronis dan tuli sensorineural ipsilateral
pada sejumlah besar pasien, sebagian besar dilakukan di negara-negara dengan populasi yang
memiliki daya beli rendah, dimana otitis media kronis bersifat endemik, seperti di Brazil.
Data tersebut saling bertentangan dan korelasi masih belum terbukti, mungkin karena
metodologi yang digunakan tidak adekuat. Banyak pasien menderita otorrhea selama
bertahun-tahun, yang berawal dari otitis media atau disfungsi tuba yang tidak teratasi dengan
baik pada masa anak-anak dan kemudian berkembang menjadi otitis media supuratif
kronis.Penyebab tuli sensorineural dianggap berhubungan dengan toksisitas dari infeksi
,sitokin inflamasi terkait, atau obat ototoksik biasanya digunakan. Melalui permeabilitas
jendela oval dan jendela bundar, faktor-faktor tersebut akan membahayakan sel siliasi organ
korti dari koklea.

Penelitian telah berusaha untuk menghubungkan ambang pendengaran sensorineural


dari telinga yang terganggu dengan telinga kontralateral tanpa otorrhea. Jika tuli
sensorineural benar-benar terjadi dan berhubungan dengan durasi otorrhea, mendiagnosis dan
mengobatinya pada tahap awal mungkin menghindari kebutuhan alat bantu pendengaran
dikemudian hari.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi apakah ada korelasi antara
durasi otorrhea dan tuli sensorineural dan apakah durasi penyakit atau etiologinya
berhubungan dengan ketulian ini.

Pasien dan metode

Penelitian ini merupakan penelitian cross-setional.Sebanyak 98 telinga dengan


otorrhea kronis dan 60 telinga dengan perforasi membran timpani yang kering . Data pasien
dengan unilateral otorrhea kronis (otitis media suppuratif kronis selama bertahun-tahun)
diperoleh dari berkas digital Departemen Otorhinolaringologi institusi akademis diSo Paulo,
dan Ambang dengar menggunakan frekuensi 500 Hz, 1 kHz, 2 kHz dan 4 kHz dengan
audiometri.

Hanya sensorineural yang dianggap, tuli konduktif yang disebabkan oleh lesi pada
telinga tengah, tidak dianggap. Ambang batas ini nantinya akan dikurangkan dengan ambang
batas dari telinga yang normal (diambil dari hasil otoskopi pasien) yang bertujuan untuk
menghilangkan penyebab lainnya seperti presbikusis.

Prosedur yang sama juga dilakukan pada pasien denga perforasi membran timpani
yang sudah kering selama bertahun-tahun.Korelasi antara umur pasien dengan ketulian,dan
etiologi dari otorrhea juga dipertimbangkan (yaitu,apakah supurasi disebabkan oleh
kolesteatoma).

Kriteria inklusi. Pasien dengan otitis media supuratif unilateral lebihdari 1 tahun dan
telinga kontralateral normal, dan pasien dengan perforasi membran timpani yang kering, juga
disertakan. Evaluasi pasien dilakukan dengan otoskopi dan berdasarkan riwayat perjalanan
penyakit pasien sendiri.

Kriteria eksklusi. Pasien dengan riwayat operasi sebelumnya, trauma otologis atau
cephalic, dan terpapar oleh kebisingan tidak diikut sertakan.

Analisis statistik. Dilakukan dengan menggunakan Social science software (v.13).


Uji t-test berpasangan digunakan untuk menganalisa kejadian otorrhea pada pasien dengan
supurasi di satu telinga dan telinga kontralateral normal. Uji t-test independent digunakan
untuk menganalisa tuli sensorineural pada pasien dengan otorrhea dan dengan perforasi
membran timpani yang kering.

Hasil

Sebanyak 98 pasiendengan otorrhea pada satu telinga dan telinga kontralateral


normal, dan 60 pasien dengan perforasi membran timpani yang kering. Dengan demikian
terdapat 158 pasien. Diantarapasien dengan otorrhea, 39 pasien berusia <18 tahun dan 20
pasien melaporkan bahwa mereka sudah mulai mengalami gejala sejak kecil tapi baru berobat
saat dewasa. Karena itu, 60,2% kasus otorrhea media kronik telah dimulai sejak kecil. Usia
rata-rata pasien denganotorrhea adalah 32,2 tahun (median: 26,5 tahun). Durasi rata-
rataotorrhea adalah 11,6 tahun (median: 6tahun).

Gambar 1 menunjukkan perbandingan ketulian antara telinga kering dan telinga


dengan otorrhea pada empat frekuensi di salah satu pasien kami. Perbedaan tuli sensorineural
antara yang normal dan telinga yang terkena diamati pada semua frekuensi, dengan statistik
menggunakan Uji t-test (p <0,001).

Gambar 1. Grafik menggambarkan ketulian pada keempat frekuensi di telinga normal


vs telinga dengan otorrhea kronik.
Perbandingan antara telinga pasien dengan perforasi timpani yang kering dan telinga
pasien dengan otorrhea kronis terlihat pada gambar 2. Perbedaan tuli sensorineural antara
telinga dengan perforasi kering dan telinga dengan otorrhea kronis kembali diamati pada
semua frekuensi, dengan statistik menggunakan uji t-test (p <0,001).

Gambar 2. Grafik menunjukkan ketulian vs frekuensi di telinga dengan perforasi tanpa


otorrhea dan mereka dengan otorrhea kronik

Pada gambar 3 menunjukkan perbandingan antara telinga dengan supurasi


tanpakolesteatoma dan telinga dengan supurasi dan kolesteatoma. Hasil menunjukkan tidak
ada perbedaan dalam tuli sensorineural antara mereka yang dengandan tanpa cholesteatoma
pada pasien dengan otorrhea kronis.
Gambar 3. Grafik menunjukan ketulian vs frekuensi pada telinga dengan otitis media
supuratif kronis dengan dan tanpa kolesteatoma

Korelasi antara durasi otorrhea dan tuli sensorineural pada setiap frekuensi terlihat
pada gambar 4.

Gambar 4. Menunjukkan ketulian pada masing-masing frekuensi vs durasi otorrhea


Diskusi

Hubungan antara otorrhea kronis dan tuli sensorineural masih kontroversial dan sering
dipelajari dengan cara yang kurang jelas. Apakah durasi otorrhea dan
etiologinyamenyebabkan ketulian, apakah etiologi kolesteatoma memperparahtuli
sensorineural, masih belum diperiksa.

Dalam penelitian ini, sebanyak 98 pasien dievaluasi, pertama membandingkantelinga


otorrhea kronis dengan telinga kontralateral normal, dan kemudian memeriksa korelasi antara
supurasi telinga pasien tersebut dengan 60 telinga pasien yang dengan perforasi membran
timpani yang kering. Durasi otorrhea juga masuk ke dalampertimbangan apakah otorrhea
terjadi terus menerus.Untuk menghilangkan kemungkinan tuli sensorineural bilateral pada
pasien yang lebih tua dengan presbikusis, nilaimasing-masing telinga kontralateral
dikurangkan dari nilai masing-masingfrekuensi di telinga yang terkena, sehingga menentukan
nilaisebenarnya.

Pada gambar 1, ambang batas sekitar 15 dB dapat dilihat pada telinga normal,
dibandingkan dengan ketulian 40 dB di telinga yang supurasi.Padafrekuensi yang dievaluasi,
tidak ada ketulian progresif dalam nada yang lebih tinggi,yang mana jika ketulian ini terjadi,
disebabkan oleh telinga tengah yang terinfeksi melalui jendela oval dan bundar dengan
dasarkoklea, dimana tempat suara diproses.

Gambar 2 menunjukkan perbandingan antara telinga supurasi dan perforasi kering


pada pasien lain. Ambang rata-rata dari perforasi kering itu0 dB, dibandingkan dengan 40 dB
pada telinga supurasi. Jadi, telingadengan perforasi kering dan otorrhea sporadik tidak
menggangguambang sensorineural.

Seperti yang terlihat pada gambar 3, tidak ada korelasi yang antara etiologi dari
supurasi (contohnya seperti kolesteatoma) dengan tuli sensorineural. Dengan demikian,
ketulian itu ternyata disebabkan oleh supurasi itu sendiri,tanpa gangguan dari faktor lain.

Gambaran pada gambar 4 menunjukkan bahwa durasi otorrhea tidakmempengaruhi


keparahan tuli sensorineural.Temuan ini tak terduga karena durasi penyakit
seharusnyamemperparah ketulian. Mungkin proses peradangan yang kronis entah bagaimana
melindungi jendela oval dan bulat darikemungkinan kontaminasi ke telinga bagian dalam.
Pengobatan otorrhea dengan tetes telinga umumnyamengandung antibiotika ototoksik.
Jadi, mungkin sajaotorrhea kronis menimbulkan tuli sensorineural, tapi bukan disebabkan
karena proses infeksinya sendiri.

Penyakit ini mulai secara perlahan selama masa kanak-kanak, karena terdapat
gangguan pada tuba akibat rhinitis, sinusitis, hipertrofi tonsil, atauhipertrofi kelenjar adenoid,
sehingga menyebabkan otitis dan perforasi membran timpani. Pengobatan dini penyakit atau
penyebabnya tidak hanya bisa menghindari tuli konduktif yang menetap, dimana terapi
pembedahan kadang-kadang hanya sebagian saja yang berhasil, tapi juga dapat menghindari
terjadinya tuli sensorineural. Dengan demikian, otorrhea pada telinga tengah menimbulkan
tuli sensorineural, tapi tidakmemburuk dengan seiring berjalannya penyakit.

Dalam sampel kami, tidak ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa kolesteatoma
berpengaruh terhadapketulian.Hasil juga menunjukkan bahwa perforasi kering tidak
menyebabkan tuli sensorineural. Sebagian besar pasien dengan infeksi kronis mulai
menunjukkangejala saat masa kanak-kanak.

Daftar pustaka

1. Redaelli de Zinis LO, Campovecchi C, Parrinello G, Antonelli AR.Predisposing factors for


inner ear hearing loss association with chronicotitis media. Int J Audiol 2005; 44 (10): 593-8.

2. Kaplan DM, Fliss DM, Kraus M, et al. Audiometric findings in childrenwith chronic
suppurative otitis media without cholesteatoma. Int J PediatrOtorhinolaryngol 1996; 35 (2):
89-96.

3. Dumich PS, Harner SG. Cochlear function in chronic otitis media.Laryngoscope 1983; 93
(5): 583-6.

4. Da Costa SS, Rosito LP, Dornelles C. Sensorineural hearing loss inpatients with chronic
otitis media. Eur Arch Otorhinolaryngol 2009; 266(2): 221-4.

5.Papp Z, Rezes S, Jkay I, Sziklai I. Sensorineural hearing loss inchronic otitis media.
OtolNeurotol 2003; 24 (2): 141-4.
6. De Azevedo AF, Pinto DC, de Souza NJ, et al. Sensorineural hearingloss in chronic
suppurative otitis media with and without cholesteatoma.Braz J Otorhinolaryngol 2007;73
(5): 671-4.

7.Kolo ES, Salisu AD, Yaro AM, Nwaorgu OG. Sensorineural hearing lossin patients with
chronic suppurative otitis media. Indian J OtolaryngolHead Neck Surg 2012: 64 (1): 59-62.

8.Noordzij JP, Dodson EE, Ruth RA, et al. Chronic otitis media andsensorineural hearing
loss: Is there a clinically significant relation? Am JOtol 1995;16 (4): 420-3.

9.Yehudai N, Most T, Luntz M. Risk factors for sensorineural hearing lossin pediatric
chronic otitis media. Int J Pediatr Otorhinolaryngol 2015;79(1): 26-30

10.Luntz M, Yehudai N, Haifler M, et al. Risk factors for sensorineuralhearing loss in


chronic otitis media. Acta Otolaryngol 2013; 133 (11):1173-80.

Anda mungkin juga menyukai