Anda di halaman 1dari 12

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan

Pembentukan jaringan parut kulit : Patofisiologi, mekanisme


molekuler, dan pengurangan jaringan parut secara terapeutik

Bagian I. Dasar molekuler pembentukan jaringan parut

Christos Profyris, MA, BM, Bch (Oxon), MRCS ((Eng), a Christos Tziotzios, MA, MB, BChir (Cantab), MRCP
(UK),b dan Isabel Do Vale, MB, BCh (Wits)c
London dan Cambridge, United Kingdom, dan Parktown, Afrika Selatan

Jaringan parut sering menjadi masalah utama pasien terkait dengan penyakitnya., dan
pertanyaan Apakah akan ada bekas luka? adalah salah satu pertanyaan sehari-hari yang sangat
akrab bagi para klinisi. Dalam pendekatan topik ini, kami telah meninjau patologi, embriologi,
dan biologi molekuler dari jaringan parut. (J Am Acad Dermatol 2012; 66:1-10).

Kata kunci: Jaringan parut kulit, early growth response protein-1, homeobox 13, interleukin;
mekanisme jaringan parut, platelet-derived growth factor, transforming growth factor beta, jalur
Wnt.

Orang dengan jaringan parut yang berlebihan mungkin menghadapi konsekuensi-fisik


dan psikososial yang cukup penting.1 Dalam pembahasan pertama dari dua bagian seri
pendidikan kedokteran berkelanjutan ini, kami bertujuan menggali patofisiologi mendasar dari
jaringan parut dan mekanisme molekuler yang mengatur pembentukan jaringan parut tersebut.
Memahami aspek biologi dari jaringan parut akan memungkinkan pemahaman yang lebih baik
tentang dasar ilmiah strategi penanganan jaringan parut. Yang terakhir ini akan dibahas dalam
Bagian II dari seri ini.

METODOLOGI
Dalam mempersiapkan penelitian ini, kami menggunakan PubMed untuk melakukan
pencarian literatur tentang penelitian lain terkait jaringan parut. Istilah kunci yang digunakan
dalam pencarian adalah jaringan parut, penyembuhan luka, pencegahan, dan
pengobatan. Ulasan beberapa artikel yang relevan juga digunakan sebagai sumber awal
literatur. Informasi dari penelitian utama juga didapatkan.

PATOFISIOLOGI PEMBENTUKAN JARINGAN PARUT


Poin utama:
Fase inflamasi dari penyembuhan luka bertujuan mengontrol cedera dan mencegah
infeksi. Fase proliferasi ditandai oleh adanya jaringan granulasi yang terdiri dari makrofag,

1
fibroblas, dan jaringan epitel. Fase remodeling merupakan proses panjang dari reorganisasi
matriks ekstrasel di sekitar lokasi cedera. Luka pada trimester pertama kehamilan sembuh tanpa
meninggalkan jaringan parut. Gangguan dari kontinuitas epitel kulit akan terlihat dalam bentuk
respon patofisiologi. Respon ini secara konvensional telah dikategorikan ke dalam tiga fase
penyembuhan luka normal. Fase-fase ini adalah fase inflamasi, proliferasi, dan remodeling
(Gambar 1). Penyembuhan luka, adalah sebuah proses yang dinamis, dan pada suatu titik waktu,
proses yang terjadi pada satu fase dapat tumpang tindih dengan fase yang lain.2

Fase inflamasi (hari 1-3)


Setelah terjadi gangguan integritas epitel, proses yang segera terjadi adalah hemostasis.
Hal ini dicapai dengan aktivasi dari jalur pembekuan ekstrinsik. Pada akhirnya, terlihat hasilnya
dalam bentukan gumpalan fibrin, yang selanjutnya dipadatkan oleh kedatangan trombosit dari
mikrosirkulasi lokal.2
Setelah gangguan integritas epitel berhasil diatasi, proses berikutnya adalah pembersihan
jaringan mati dan pencegahan infeksi. Sel-sel inflamasi sangat penting untuk proses ini. Selama
5 hari pertama, neutrofil memasuki zona kaya fibrin pada luka. Melalui aksi fagositosis dan
sekresi protease, neutrofil membunuh bakteri lokal dan membantu menghancurkan jaringan yang
mati. Pada hari ketiga setelah cedera, makrofag juga memasuki area luka. Selain fagositosis
patogen dan sisa-sisa jaringan, sel-sel ini mengeluarkan sejumlah besar growth factor, kemokin,
dan sitokin. Molekul-molekul sinyal ini sangat penting untuk koordinasi proses akhir yang
terjadi selama fase proliferatif.
Fase Proliferasi (hari 4-21)
Jaringan granulasi, -terdiri dari makrofag, fibroblas, dan sel endotel- adalah ciri khas fase
proliferasi. Jaringan ini menggantikan gumpalan fibrin yang dibentuk selama fase inflamasi.
Makrofag, melalui sekresi platelet derived growth factor (PDGF) dan transforming growth
factor beta 1 (TGFb1), memicu proliferasi fibroblas dan kolagen tipe III. Keadaan ini merupakan
kerangka utama bagi sel endotel untuk berproliferasi dan membentuk pembuluh darah baru
melalui proses angiogenesis.2
Reepitelisasi sangat penting untuk pembentukan kembali integritas jaringan. Keratinosit
berdekatan dengan tepi luka dan folikel rambut mengalami diferensiasi ulang dan mereorganisasi
adesi molekulnya. Hal ini menyebabkan kendurnya koneksi antar membran basal yang kemudian
memungkinkan mereka bermigrasi di seluruh permukaan luka dan menutup defek kulit.2

Fase remodeling (hari 21 1 tahun)


Selama fase remodeling, pembentukan jaringan granulasi berhenti melalui apoptosis sel-
sel yang terkait. Proses ini penting, karena gangguannya akan menyebabkan terjadinya hipertrofi
jaringan parut dan keloid.2 Dengan adanya pematangan luka, komposisi matriks ekstraselular
mengalami perubahan. Kolagen tipe III yang ada pada fase proliferasi secara perlahan
mengalami degradasi dan digantikan dengan kolagen tipe I yang lebih kuat.
Kolagen jenis ini berbentuk bundel paralel kecil, yang sangat berbeda dari
bentuk keranjang anyam seperti kolagen yang ada dalam dermis yang normal. Menjelang tahap
selanjutnya dari proses penyembuhan, luka mengalami respon kontraktil melalui peran
2
miofibroblas. Dengan adanya kerjasama dengan kolagen, sel kaya aktin ini berkontraksi dan
mengurangi luas permukaan jaringan parut.2

Gambar 1. Histologi proses


penyembuhan luka.
(A) Fase inflamasi dari penyembuhan
luka (hari 1).
(B) Fase proliferatif awal penyembuhan
luka (hari 5).
(C) Fase proliferatif akhir penyembuhan
luka dengan remodeling awal (hari 14).

Clot (C), Dermis (D), Epidermis (E),


Eschar (ES), jaringan lemak (F),
jaringan granulasi (G), jaringan
granulasi akhir/awal jaringan parut
(G/S),epitel hiperproliferatif (HE),
folikel rambut (HF), otot (M),
regenerasi epitel (RE).
(Diadaptasi dari Schafer dan Werner9
dan dicetak ulang dengan izin dari
Review Tahunan Sel dan Perkembangan
Biologi, vol 23, 2007 by Annual
Reviews
[http://www.annualreviews.org].

Kolom ringkasan
Setelah kulit cedera, patofisiologi penyembuhan luka ditandai dengan fase inflamasi (hari
1-3), fase proliferatif (hari 4-21), dan fase remodeling (hari 21-1 tahun).
Luka pada mamalia pada trimester pertama kehamilan tidak menjadi jarinngan parut,
karena proses penyembuhan terjadi melalui jalur regenerasi jaringan.
Jaringan parut adalah akibat dari proses penyembuhan luka selama fase pergantian kulit
karena dapat menangani patogen dengan cepat, menjadi dinding dari benda asing, dan
pelindung daerah luka dari paparan lingkungan.
Transporting growth factor beta (TGFb) penting dalam pembentukan jaringan parut yang
diperantarai proses penyembuhan luka.
Ekspresi TGFb1 dan TGFb2 memicu pembentukan jaringan parut, dan ekspresi TGFb3
mengurangi pembentukan jaringan parut.
Sitokin proinflamasi interleukin-6 (IL-6) dan IL-8 memicu pembentukan jaringan parut,
tetapi anti-inflamasi sitokin IL-10 memiliki pengaruh yang berlawanan terhadap respon
pembentukan jaringan parut.
Homeobox b13, jalur sinyal Wnt, early growth response protein-1, dan platelet-derived
growth factor semua memicu respon fibroblas yang kuat dalam penyembuhan luka, yang
menyebabkan peningkatan jumlah jaringan parut.

Pembahasan dari segi makroskopik


Gambaran makroskopik pada luka yang muncul segera setelah cedera adalah defek kulit
dengan permukaan berkilau yang menunjukkan adanya eksudat fibrin. Beberapa hari kemudian,
timbul eschar, yaitu kumpulan jaringan mati, yang menggantikan defek ini. Beberapa minggu

3
kemudian, terbentuk jaringan parut eritema dengan indurasi. Remodeling jaringan parut ini
dalam beberapa tahun akan menjadi lunak dengan warna yang sedikit lebih cerah dari kulit
sekitarnya.3,4
Kolagen dengan struktur abnormal yang dihasilkan setelah fase remodeling adalah
penyebab timbulnya jaringan parut. Dalam jaringan kolagen yang abnormal ini, tidak terdapat
folikel rambut, kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat. Sejauh mana terjadinya fenotip dermis
yang abnormal ini tergantung dari kedalaman cedera, makin dalam cedera kulit, makin
memungkinkan timbulnya jaringan parut.5

Penyembuhan luka secara regeneratif pada embrio


Luka kulit yang dibuat pada trimester pertama kehamilan pada mamalia, pulih melalui
proses regenerasi jaringan. Jenis pemulihan ini menggunakan reaktivasi jalur perkembangan
yang kemudian menimbulkan jaringan baru. Pada akhirnya, konstituen jaringan asli diganti dan
penyembuhan terjadi tanpa meninggalkan jaringan parut.6 Akibatnya, hal ini mendorong
munculnya pertanyaan: Mengapa dapat timbul jaringan parut sebagai respon penyembuhan?
Dalam konteks evolusioner, luka yang paling sering dialami oleh hewan adalah hasil dari
trauma setelah berkelahi atau jatuh. Akibatnya, luka yang didapat oleh mamalia adalah gigitan,
pukulan, memar, dan cedera degloving. Cedera ini melibatkan daerah luas dari jaringan dan
sering terkontaminasi dengan bakteri dan benda asing. Dalam kasus seperti itu, tekanan
evolusioner membantu respon penyembuhan yang akan mengontrol infeksi, dinding bagi
masuknya benda asing, dan menutup daerah luka dari paparan sekitar. Tahapan fase inflamasi
dan proliferasi yang dilihat pada penyembuhan normal luka orang dewasa adalah sisa-sisa dari
seleksi evolusi ini.
Banyaknya leukosit dalam fase inflamasi membantu mencegah infeksi sistemik, dan
aktivitas fibroblas selama fase proliferasi menghalangi masuknya benda asing dan membangun
kembali integritas jaringan. Berlawanan degan pembentukan jaringan parut akibat respon
penyembuhan seperti yang terlihat pada embrio dan pada regenerasi hati, terdapat ketiadaan
aktivitas fibroblas atau sel inflamasi. Dalam konteks evolusi, penyembuhan jenis regeneratif ini
tidak terjadi, karena hewan akan menghadapi risiko tinggi septikemia dan kematian.7
Penyembuhan luka saat ini, kemungkinan akan terjadi di area luka yang telah di-
debridemen, disterilkan, dan dijahit. Akibatnya, luka-luka kasar dan kotor yang ditemui pada
masa konvensional kurang sama prosesnya dan jumlah sel inflamasi dan fibroblas yang terlihat
pada jaringan parut akibat proses penyembuhan saat ini kurang dari yang dibutuhkan. Bahkan,
dalam kondisi yang baik pada proses penyembuhan luka, proses regeneratif akan memberikan
keuntungan unggul secara kosmetik dan akan menghindari potensi pembentukan jaringan parut
yang menyimpang seperti yang terlihat pada hipertrofi jaringan parut dan keloids.7

BIOLOGI MOLEKULER PENYEMBUHAN LUKA


Poin-poin penting:
Ekspresi TGFb1 dan TGFb2 memicu pembentukan jaringan parut, sedangkan
ekspresi. TGFb3 mengurangi pembentukan jaringan parut.

4
Sitokin proinflamasi interleukin-6 (IL-6) dan IL-8 memicu pembentukan jaringan
parut, sedangkan sitokin antiinflamasi IL-10 menurunkan jumlah jaringan parut.
Homeobox b13, jalur sinyal Wnt, early growth response-1, dan platelet derived
growth factor semua memicu proliferasi fibroblas.
Luka pada kulit mamalia diperkaya dengan banyak protein matriks ekstraselular, growth
factor, dan sitokin yang biasanya tidak didapatkan pada kulit yang intak.8 Karena molekul yang
diduga memiliki peran dalam penyembuhan luka sangat banyak, pembahasan berikut ini akan
berkonsentrasi pada molekul yang tercatat memiliki pengaruh signifikan
pada pembentukan jaringan parut.9, 10 Yang akan dibahas adalah molekul dengan bukti penelitian
yang kuat. Molekul kunci pada proses penyembuhan luka dan peran penting mereka dirangkum
dalam Tabel I.

Molekul Fungsi
TGFb1dan Kunci dalam fase proliferasi dari penyembuhan luka, meningkatkan sinyal
TGFb2 melalui SMAD dan jalur Wnt dependen untuk meningkatkan pembentukan
jaringan parut.
TGFb3 Reseptor antagonis, mengurangi pembentukan jaringan parut
IL-6 dan IL-8 Sitokin proinflamasi yang diekspresikan segera setelah terjadi cedera kulit,
merekrut dan mengaktifkan sel-sel inflamasi, sehingga memicu pembentukan
jaringan parut
IL-10 Sitokin antiinflamasi yang mengurangi jaringan parut, menghambat infiltrasi
neutrofil dan makrofag menuju lokasi luka dan menghambat ekspresi sitokin pro
inflamasi.
Homeobox13 Faktor transkripsi, tidak didapatkan di proses penyembuhan luka bebas jaringan
parut pada janin, memicu proliferasi fibroblas
Sinyal jalur Transduksi abnormal, terlibat sebagai faktor penyebab
Wnt. fibromatosis agresif, jaringan parut hipertrofik dan keloid menampilkan sinyal
yang berlebihan melalui jalur Wnt
PDGF. Disekresikan oleh makrofag selama fase proliferasi penyembuhan luka dan
menginduksi fibroblas untuk memproduksi kolagen tipe III dan eksositosis
osteopontin, diekspresikan berlebihan pada jaringan parut hipertrofik dan keloid
Osteopontin. Glikoprotein ekstraselular yang meningkatkan proliferasi fibroblas,
menghubungkan integrin pada permukaan sel kolagen dalam matriks
ekstraseluler dan memicu adhesi sel dan migrasi sel; ketiadaan osteopontin
mengurangi jumlah sel inflamasi dan fibroblas dan juga menyebabkan sejumlah
besar sel-sel tersebut mati karena apoptosis.
EGRe1 A Zinc- Mengatur ekspresi TGFb1 dan PDGF, mediator yang meningkatkan proliferasi
Finger fibroblas
Transcription
Factor
Tabel 1. Molekul kunci pada proses penyembuhan luka dan perannya

Transforming growth factor beta.


Sinyal. Transforming growth factor beta (TGFb) sangat penting dalam regulasi jaringan parut.
Tiga isoform: TGFb1-3, mengerahkan efek mereka dengan mengikat kompleks reseptor dimerik
TGFb. Setelah aktivasi, kompleks reseptor phosphorylates SMAD2 dan protein SMAD3
kemudian membentuk dimer dengan SMAD4. Dalam bentuk dimer, agregasi SMAD ini mampu
bertranslokasi ke dalam inti dan berfungsi sebagai faktor transkripsi (Gambar 2). TGFs b1dan b2

5
mengaktifkan kompleks reseptor dan dengan demikian memicu sinyal, sedangkan TGFb3
merupakan antagonis reseptor dan dengan demikian memblok transduksi sinyal. 9,10

Gambar 2. Jalur sinyal transforming


growth factor beta (TGFb)
(lihat teks untuk penjelasannya)

Ekspresi. Penelitian mengenai ekspresi TGFbs menunjukkan bahwa TGFb besar pengaruhnya
terhadap pembentukan jaringan parut, karena TGFbs dan reseptornya diekspresikan dalam
jumlah banyak pada pembentukan jaringan parut orang dewasa. Sebaliknya, pada jaringan parut
janin, ekpresinya hanya sebentar.11 Selain itu, fibroblas dari hipertrofi jaringan parut dan keloid
yang diekspresikan berlebihan, berkaitan dengan transduksi sinyal TGFb.

Penelitian pada hewan.


Rekayasa genetika pada hewan percobaan telah memberikan informasi berharga
mengenai keterlibatan sinyal TGFb dalam penyembuhan luka kulit. Model hewan percobaan,
yaitu tikus knock-out* untuk penelitian TGFb1 telah memberikan informasi mengenai
karakteristik defek dalam proses penyembuhan selama fase proliferatif : 10 hari setelah dibuat
luka insisi, analisis histologis dari luka menunjukkan penurunan jaringan granulasi dalam jumlah
besar dan adanya deposit kolagen.17 Sebaliknya, pada model tikus transgenik di mana TGFb1
diekspresikan berlebihan dalam sel keratin, ekpresi kolagen tipe I diatur secara signifikan dan
pembentukan jaringan parut meningkat.18

*Tikus knock-out: tikus rekayasa genetika di mana peneliti telah melemahkan atau membuang
gen yang ada dan mengganti atau memanipulasi dengan sebuah DNA buatan. Hilangnya aktivitas
gen ini akan menyebabkan perubahan fenotipe tikus, meliputi penampilan, perilaku dan
karakteristik fisik dan biokimia yang dapat diamati.

6
Mediator dari aktivasi sinyal TGFb, juga telah menjadi subjek penelitian intensif. Karena
SMAD3 merupakan molekul penting dalam aktivasi sinyal TGFb, SMAD3 pada tikus knock-out
telah dibuat untuk dilihat perannya dalam penyembuhan luka. Penelitian ini menunjukkan bahwa
hewan dengan kadar SMAD3 yang sedikit, mengalami penyembuhan luka kulit yang cepat
dengan mengurangi deposisi jaringan parut.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa bekas luka merangsang mekanisme transduksi
sinyal TGFb1 yang diperantarai lewat jalur Wnt (Gambar 3). Aplikasi oexogenous TGFb1a scar
inducer pada luka buatan dengan b-catenin menunjukkan minimalnya pembentukan jaringan
parut pada tikus.20 Selain itu, ekspresi konstitutif bentuk aktif b-catenin di SMAD3 tikus knock-
out menunjukkan terbentuknya jaringan parut yang normalnya tidak terbentuk pada hewan
20
dengan defisiensi SMAD3 murni. Data ini menunjukkan bahwa TGFb1 menginduksi SMAD3
untuk mentranskripsi protein yang mengaktifkan jalur Wnt untuk menginduksi terbentuknya
jaringan parut.

Gambar 3. Jalur sinyal Wnt.


Pengikatan Wnt ke tujuh reseptor
domain transmembran membantu
mengaktivasi disheyelled (Dsh). Setelah
diaktifkan, Dsh mem-blok kompleks
ubiquination* dari Axin, glycogen
synthase kinase 3 (GSK3), dan
adenomatous polyposis coli (APC). Hal
ini menyebabkan ubiquination
berkurang sehingga mendegradasi
proteosomal b-catenin. b-catenin
sekarang mampu bertranslokasi ke
dalam inti dan menginduksi transkripsi
melalui kerjasama dengan T-sel factor
(TCF) dan lymphoid enhacer factor
(LEF) transkripsi faktor.

Penelitian modulasi Transforming growth factor beta.


Penelitian ini menggunakan strategi untuk mengubah konsentrasi TGFb selama proses
penyembuhan luka yang mengungkapkan bahwa mekanisme pembentukan jaringan parut pada
orang dewasa dapat diubah. Penerapan netralisasi antibodi TGFs b1 dan b2 pada luka insisi di
tikus menghasilkan penurunan yang signifikan dari deposit matriks ekstraseluler, dan secara luas,
selanjutnya berefek pada jaringan parut.21

*Ubiqutination: merupakan proses inaktivasi protein melalui penempelan ubiquitin pada protein
tersebut (kiss of death). Ubiquitin adalah sebuah bentuk protein yang kecil namun sangat
penting. Terdiri dari 76 asam amino.

7
Yang penting diperhatikan, peningkatan kadar TGFb3 pada proses penyembuhan luka
lewat pemberian rekombinan TGFb3 menghasilkan reduksi jaringan parut dan pembentukan
struktur kolagen subepidermal yang menyerupai kulit normal (Gambar 4). 22

Gambar 4. Aplikasi transforming growth factor beta 3(TGFb3) pada permukaan luka
menstimulasi penyembuhan luka bebas jaringan parut. (A) Gambaran Makroskopik
dan mikroskopik luka yang diterapi. Ada jaringan parut yang terlihat dengan dermis
yang abnormal (B) Gambaran makroskopik dan mikroskopis luka yang diterapi
rekombinan TGFb3. Dibandingkan dengan luka yang diterapi plasebo, jaringan parut
tidak terlihat dan struktur dermis pada luka mirip dengan dermis yang tidak
Ringkasan
mengalami cedera di sekitarnya. (Diadaptasi dari Ferguson dan O'Kane7 dengan izin
Penelitian-penelitian
dari di atas mendukung peran penting dari sinyal TGFb pada jaringan
penulis dan Royal Society.)
parut yang diperantarai proses penyembuhan luka. TGFs b1 dan b2 mempromosikan sinyalnya
melalui jalur SMAD dan Wnt dependen untuk memicu pembentukan jaringan parut. Sebaliknya,
TGFb3 mencegah sinyalnya melalui jalur-jalur tersebut dan menurunkan pembentukan jaringan
parut. Menguraikan peran sinyal TGFb dalam proses penyembuhan luka telah memberikan jalan
yang bermanfaat untuk intervensi terapeutik.

Modulasi respon inflamasi


Sitokin proinflamasi. Pada proses penyembuhan regeneratif terdapat ketiadaan aktivitas sel
inflamasi. Akibatnya, mediator respon inflamasi telah menjadi fokus penyelidikan dalam
penelitian yang bertujuan untuk membatasi terjadinya pembentukan jaringan parut.7
Kedua interleukin-6 (IL-6) dan IL-8 diekspresikan segera setelah terjadi cedera kulit dan
terus diekspresikan dalam kadar yang tinggi selama beberapa hari. Sitokin ini bertindak merekrut
dan mengaktifkan sel-sel inflamasi.
Berbeda sekali dengan luka pada orang dewasa, disini hanya terjadi ekpresi sementara
dari interleukin-interleukin ini di luka pada janin yang sembuh tanpa meninggalkan jaringan
parut.23,24 Secara kolektif, penelitian ini menunjukkan bahwa deposit jaringan parut kemungkinan
dapat dikurangi dengan cara mengurangi profil sitokin pro-inflamasi pada proses penyembuhan

8
luka. Yang lebih penting, adanya IL-6 di luka pada janin yang menyembuh, menghasilkan bentuk
jaringan parut yang normalnya tidak terbentuk.24

Sitokin antiinflamasi
IL-10 merupakan sitokin anti inflamasi. IL-10 menghambat infiltrasi neutrofil dan
makrofag pada daerah luka dan menghambat ekspresi sitokin pro inflamasi. Pentingnya IL-10
sebagai modulator jaringan parut dapat dilihat dari IL-10 pada embrio tikus knock-out. Cedera
kulit pada tikus knock-out ini menghasilkan pembentukan jaringan mirip jaringan parut akibat
proses penyembuhan pada orang dewasa, yang tidak didapat pada embrio tikus wild** sebagai
25
pasangannya. Peran anti pembentukan jaringan parut dari IL-10 telah dimanfaatkan dalam
percobaan klinis baru-baru ini.

Faktor transkirpsi respon inflamasi.


Modulasi faktor transkripsi respon inflamasi pada cedera kulit juga telah menghasilkan data yang
menjanjikan. Tikus percobaan untuk PU.1 transcription factor kekurangan makrofag dan
neutrofil fungsional. Luka insisi pada neonatus dengan latar belakang genetik tersebut
menunjukkan penyembuhan normal bebas jaringan parut.26 Hal ini menambah kekuatan hipotesis
bahwa respon inflamasi dalam peyembuhan luka adalah sisa dari evolusi dan dalam banyak hal
kontraproduktif dengan penyembuhan pada luka insisi.

Proliferasi fibroblas
Biologi molekuler di balik proliferasi fibroblas dan deposisi kolagen merupakan kunci dari
penelitian mengenai penyembuhan luka. Akibatnya, beberapa faktor transkripsi dan growth
factor telah terlibat untuk mengontrol kedua proses tersebut.

Homeobox b13. Faktor transkripsi homeobox (hox) b13 adalah ketiadaan yang penting dalam
proses penyembuhan bebas jaringan parut di luka pada janin. Sebaliknya, pada dewasa, hoxb13
diekspresikan dalam kadar yang tinggi.27 Akibatnya dalam upaya menciptakan proses
penyembuhan luka pada janin sebagai parameter penyembuhan luka pada dewasa, hoxb13 hewan
direkayasa. Pada hewan-hewan ini, proses penyembuhan ditingkatkan secara maksimal dengan
menambah kekuatan tekanan luka dan pengurangan pembentukan jaringan parut (Gambar 5).

*Tikus wild: Bentuk khas dari strain, gen, atau karakteristik yang alami dari tikus, yang
dibedakan dengan bentuk mutan yang dibuat dari rekayasa pembiakan.

Gambar 5. Penyembuhan bertahap dari luka insisi. (Homeobox13 (Hoxb13) knock-


out (KO)).
Pewarnaan full-thickness hematoxyline-eosin pada wild type (WT) (A) dan Hoxb13
KO (B) kulit dipanen 7 hari setelah dilukai. Daerah yang terluka, digambarkan dalam
warna hitam, mengindikasikan sedikit deposit jaringan parut di Hoxb13 hewan KO.
Pewarnaan full-thickness Masson trichrome pada potongan dermis, memperjelas
struktur kolagen, pada kulit yang dilukai dan kulit yang tidak dilukai dari Hoxb13
kedua tikus KO dan WT. Hoxb13 pada luka tikus KO (D) menampilkan kolagen
dengan gambaran keranjang anyam yang sama dengan kolagen pada kulit yang tidak 9
terluka.(D). Pada hewan WT, struktur kolagen berupa bundel paralel kecil (C) yang
berbeda dengan kulit yang tidak terluka (C). (Diadaptasi dari Mack et al 28 dengan
izin.)
Analisis struktural dari luka yang sembuh pada hewan-hewan ini memperlihtkan struktur
kolagen yang menyerupai dermis yang belum mengalami cedera. Ini berarti bahwa inaktivasi
hoxb13 merupakan pemicu penting untuk mengaktifkan proses penyembuhan regeneratif. 28

Jalur sinyal Wnt*


Gangguan transduksi melalui jalur sinyal Wnt telah terlibat sebagai faktor penyebab
fibromatosis agresif, gangguan jaringan ikat yang mengarah ke nodul multiple subkutan -tumor
desmoid- dan pembentukan respon penyembuhan luka yang berlebihan.29 Hipertofi jaringan
parut dan keloid pada individu tanpa kelainan ini, juga menampilkan sinyal yang berlebihan
melalui jalur Wnt (Gambar 3).30 Insiden hipertrofi jaringan parut dan keloid lebih tinggi di
daerah-daerah tubuh tertentu, dan variasi regional dalam aktivasi dari jalur ini akan menjadi
suatu topik menarik - salah satu yang belum dibahas dalam literatur ilmiah.

*Jalur sinyal Wnt adalah sekumpulan protein yang menangkap sinyal dari reseptor-reseptor
permukaan sel hingga ekspresi DNA dalam nukleus. Dia mengontrol komunikasi antar sel pada
embrio dan dewasa.

10
Dalam fibromatosis yang agresif, ada mutasi gen b-catenin, yang mengarah ke stabilisasi
produk protein catenin sehingga terjadi aktivasi terus-menerus dari jalur sinyal Wnt. Tikus
transgenik yang mengekspresikan bentuk mutan dari b-catenin secara konstitusif memiliki
fenotipe yang mirip dengan fibromatosis agresif. Selain itu, kulit yang dibuat luka pada
percobaan hewan ini menimbulkan jaringan parut yang berlebihan yang mengingatkan kepada
keloid dan hipertrofi jaringan parut.31
Dalam rangka agar lebih bisa menilai hasil manipulasi kadar b-catenin selama
penyembuhan luka, kondisi tikus knock-out direkayasa. Dalam percobaan pada binatang, gen b-
catenin bisa secara khusus dihapus pada lokasi cedera. Sebagai perbandingan, tikus tipe wild,
yang dihapus b-catenin-nya, menampilkan luka yang jauh lebih kecil dan memiliki lebih sedikit
fibroblas di jaringan granulasi mereka.20

Early growth response protein-1


Early growth response protein-1 (EGR-1) adalah anggota dari kelompok zinc-finger
transcription factor. Setelah kulit cedera, konsentrasinya dalam fibroblas naik dengan cepat.32
Dalam embrio tikus yang telah dimodifikasi untuk mengekpresi EGR-1 berlebihan, eksisi luka
mengakibatkan deposisi kolagen meningkat dan terjadi kontraksi luka. Karena EGR-1 juga
mengatur ekspresi TGFb1 dan PDGF, growth factor ini kemungkinan adalah mediatornya.33

Platelet-derived growth factor.


Platelet-derived growth factor (PDGF) ada dalam beberapa isoform, dan sinyalnya
melalui aktivasi reseptor dimer tirosin kinase transmembran. Pada cedera kulit, ia adalah
penginduksi kuat dari fibroblas diperantarai deposit kolagen, dan telah diamati bahwa baik
PDGF maupun reseptornya, ekspresinya berlebihan pada hipertrofi jaringan parut dan keloid.34, 35
Yang perlu diperhatikan, penelitian terbaru menunjukkan bahwa PDGF yang disekresikan oleh
makrofag selama fase proliferasi pada proses penyembuhan luka menginduksi fibroblas untuk
memproduksi dan mengeksositosis osteopontin.36
Osteopontin adalah glikoprotein ekstraseluler yang menghubungkan integrin pada
permukaan sel kolagen dalam matriks ekstraseluler. Osteopontin bertindak membantu adhesi sel
dan meningkatkan migrasi seluler. Selain itu, melalui integrin-mediated intracellular signaling,
osteopontin memberikan sinyal penting antiapoptotis melalui kelompok faktor transkripsi
nuclear factor kB.37 Yang perlu diperhatikan, penerapan osteopontin antisense oligonucleotides
pada luka insisi tikus menghasilkan percepatan penyembuhan melalui pengurangan jaringan
36
granulasi dan jaringan parut. Hasil ini menunjukkan bahwa penghapusan osteopontin dari
lingkungan luka mengurangi peran sel-sel inflamasi dan fibroblas dan juga menyebabkan
sejumlah besar sel-sel ini mati oleh apoptopis .

11
KESIMPULAN
Sebuah pemahaman yang lebih baik mengenai mekanisme molekuler yang mengatur
regenerasi pada proses penyembuhan kulit diharapkan dapat menghilangkan gagasan bahwa
jaringan parut pada usia tua merupakan konsekuensi tak terelakkan dari cedera atau pembedahan.
Banyak pendekatan yang telah diambil dan berhasil memanipulasi jaringan parut pada orang
dewasa dan membentuk lingkungan luka dalam konteks operasi dermatologi dengan tujuan
untuk menciptakan lingkungan penyembuhan luka bebas jaringan parut. Jadi, Apakah akan ada
bekas luka? Bagian II dari seri ini akan membahas bukti-bukti medis dari modalitas
pengurangan jaringan parut yang ada dan berusaha untuk menjawab pertanyaan ini

12

Anda mungkin juga menyukai