Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anemia adalah suatu masalah global yang terjadi pada negara berkembang
maupun negara maju., dapat terjadi pada seluruh fase kehidupan, namun paling
sering pada wanita hamil dan anak-anak.
Anemia dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab, dan biasanya
setiap kejadian anemia terjadi akibat beberapa kemungkinan penyebab.berbagai
komplikasi dapat terjadi akibat anemia, bahkan gagal jantung kongestif pun dapat
terjadi. Oleh karena itu, perlunya diagnosis dan tatalaksana anemia yang tepat dan
sedini mungkin.
Anemia secara fungsional didefenisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit ( red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer ( penurunan oksigen carrying
capacity ) Secara praktis anemia ditunjukan oleh penurunan kadar Hemoglobin(Hb)
, Hematokrit , atau hitung eritrosit ( Red cell count ). Tetapi yang paling lazim
dipakai adalah Hemoglobin kemudian hematokrit. Kadar Hb dan eritosit sangat
bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan
fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan.

Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh karena
meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan ketidakmampuan
dari sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit untuk mengatasi kebutuhan
tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit. Untuk mengatasi kebutuhan tubuh
terhadap berkurangnya sel eritrosit tersebut, penghancuran sel eritrosit yang
berlebihan akan menyebabkan terjadinya hiperplasia sumsum tulang sehingga
produksi sel eritrosit akan meningkat dari normal. Hal ini terjadi bila umur eritrosit
berkurang dari 120 hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemia, namun
bila sumsum tulang tidak mampu mengatasi keadaan tersebut maka akan terjadi
anemia.

1
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum

Case report session ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Solok dan diharapkan agar dapat menambah
pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi para pembaca.

1.2.2 Tujuan Khusus

Tujuan penulisan dari case report session ini adalah untuk mengetahui defenisi,
etiologi, patofisiologi, gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan diskusi
mengenai Anemia

1.3 Metode Penulisan

Case report session ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk
pada berbagai literatur.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anemia

2.1.1. Definisi Anemia

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah


massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya
untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer
(penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung
eritrosit (red cell count).
Karena sulitnya menentukan kadar hemoglobin normal akibat variasi
usia, jenis kelamin, tempat tinggal, dan lain-lain, maka anemia telah
didefinisikan oleh WHO berdasarkan kadar hemoglobin berikut ini.
Tabel 2.1. Kriteria Anemia
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Anak 6-59 bulan < 11 g/dl
Anak 5-11 tahun < 11,5 g/dl
Anak 12-14 tahun < 12 g/dl
Laki-laki dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl

2.1.2. Epidemiologi Anemia


Berdasarkan data WHO sejak tahun 1993 hingga 2005, anemia
diderita oleh 1,62 milyar orang di dunia. Prevalensi tertinggi terjadi pada
anak usia belum sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki dewasa.
Asia tenggara merupakan salah satu daerah yang dikategorikan berat dalam
prevalensi anemia, termasuk Indonesia, yang tergambar pada gambar di
bawah ini dengan warna merah tua :

3
Gambar 2.1. Gambaran prevalensi anemia pada anak usia belum sekolah di dunia

Anemia terjadi pada 58% populasi di Asia, dimana prevalensi tertinggi


terjadi pada anak usia belum sekolah (47,7%), wanita hamil (41,6%), dan
wanita dewasa tidak hamil (33,0%). Di Indonesia, sekitar 44,5% populasi
diperkirakan mengalami anemia dengan kadar Hb <11,0 g/dl, sehingga
Indonesia masuk ke dalam kategori berat dalam prevalensi anemia.

2.1.3. Etiologi

Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena:

1.Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang

2.Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)

3.Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya

2.1.4. Kriteria Anemia

Kriteria Anemia menurut WHO


Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dL
Wanita dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dL
Wanita hamil Hb < 11 gr/dL

4
2.1.5. Klasifikasi Anemia

Klasifikasi menurut WHO dalam Waryana (2010)


1) Tidak anemia : 11 gr %
2) Anemia ringan : 9-10 gr %
3) Anemia sedang : 7-8 gr %
4) Anemia berat : < 7 gr %

Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis :


A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum
tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik

B. Anemia akibat perdarahan


1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik

C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)

5
b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat
defisiensi
G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalasemia
- Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain

D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan


patogenesis yang kompleks

Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi:


I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
Anemia defisiensi asam folat

6
Anemia defisiensi B12, termasuk anemia
pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
Anemia pada penyakit hati kronik
Anemia pada hipotiroidisme
Anemia pada sindrom mielodisplastik

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran


morfologik dengan melihat indek eritrosit / hapusan darah tepi. Dalam
klasifikasi ini anemia dibagi menjadi 3 golongan. 1). Anemia hipokromik
mikrositer bila MCV < 80 fl ,dan MCH < 27 pg ; 2). Anemia Normokromik
Normositer , bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg; 3). Anemia makrositer
bila MCV > 95 fl.

2.1.6 Pendekatan Diagnosis Anemia

Gambar. Algoritma Pendekatan diagnosa anemia

7
Gambar 1. Anemia Hipokromik Mikrositer

8
Gambar 2. Anemia Normokrom Normositer

9
Gambar 5. Anemia Makrositer

2.1.7 Pendekatan Terapi Anemia


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien
anemia adalah
Pengobatan hendaknya berdasarkan diagnosis definitif yang telah
ditegakkan terlebih dahulu
Pemberian hematiniktanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan
Pengobatan anemia dapat berupa :
Terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan
akut akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien atau pada
anemia pasca perdarahan akut yang disertai gangguan
hemodinamik
Terapi suportif
Terapi yang khas untuk masing-masing anemia
Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan
anemia tersebut

10
Dalam keadaan dimana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita
terpaksa memberikan terapi percobaan
Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-
tanda gangguan hemodinamik

2.1.8 Prognosis Anemia


Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi
saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang
adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan
pemberian preparat besi. Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu
dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut :
Diagnosis salah
Dosis obat tidak adekuat
Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak
berlangsung menetap
Penyakit yang mempengaruhi absorbsi dan pemakaian besi

2.2 Anemia Hemolitik


2.2.1 Definisi
Anemia hemolitik adalah suatu keadaan anemia yang terjadi oleh
karena meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan
ketidakmampuan dari sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit
untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit.
Untuk mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit
tersebut, penghancuran sel eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan
terjadinya hiperplasia sumsum tulang sehingga produksi sel eritrosit akan
meningkat dari normal. Hal ini terjadi bila umur eritrosit berkurang dari 120
hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemia, namun bila sumsum
tulang tidak mampu mengatasi keadaan tersebut maka akan terjadi anemia.

11
Memendeknya umur eritrosit tidak saja terjadi pada anemia
hemolitik tetapi juga terjadi pada keadaan eritropoesis inefektiv seperti pada
anemia megaloblastik dan thalasemia. Hormon eritropoetin akan
merangsang terjadinya hiperplasia eritroid (eritropoetin-induced eritroid
hyperplasia) dan ini akan diikuti dengan pembentukan sel eritrosit sampai
10 x lipat dari normal. Anemia terjadi bila serangan hemolisis yang akut
tidak diikuti dengan kemampuan yang cukup dari sumsum tulang untuk
memproduksi sel eritrosit sebagai kompensasi, bila sumsum tulang mampu
mengatasi keadaan tersebut di atas sehingga tidak terjadi anemia, keadaan
ini disebut dengan istilah anemia hemolitik kompensata.

2.2.2 Epidemiologi
Kebanyakan jenis anemia hemolitik sama-sama sering terjadi pada
pria maupun wanita dan dapat terjadi pada usia berapapun. Orang-orang dari
semua ras dapat mengembangkan anemia hemolitik.

2.2.3 Etiologi
Ada dua faktor utama dan mendasar yang memegang peranan
penting untuk terjadinya anemia hemolitik yaitu:
1. Faktor Intrinsik (Intra Korpuskuler).
Biasanya merupakan kelainan bawaan, diantaranya yaitu: a) Kelainan
membran, b) Kelainan molekul hemoglobin, c) Kelainan salah satu enzim
yang berperan dalam metabolisme sel eritrosit.

2. Kelainan Faktor Ekstrinsik (Ekstra Korpuskuler)


Biasanya merupakan kelainan yang didapat (acquired) dan selalu
disebabkan oleh faktor imun dan non imun. Bila eritrosit normal
ditransfusikan pada pasien ini, maka penghancuran sel eritrosit tersebut
menjadi lebih cepat, sebaliknya bila eritrosit pasien dengan kelainan ekstra
korpuskuler ditransfusikan pada orang normal maka sel eritrosit akan
normal.

12
Umur sel eritrosit yang memendek tidak selalu dikaitkan dengan anemia
hemolitik, ada beberapa penyakit yang menyebabkan anemia dengan umur
eritrosit yang pendek namun tidak digolongkan kedalam anemia hemolitik,
diantaranya yaitu : a) leukemia, b) limfoma malignum, c) gagal ginjal
kronik, d) penyakit liver kronik, e) rheumatoid arthritis, f) anemia
megaloblastik.

2.2.4 Klasifikasi
1. Anemia Hemolitik Bawaan
1.1. Kelainan pada Membran Sel Eritrosit
1.1.1. Hereditary Spherositosis
1.1.2. Hereditary Ellipstositosis
1.1.3. Abetalipoproteinemia ( Acanthositosis )
1.1.4. Hereditary Stomacytosis
1.1.5. Defisiensi Lecithin-cholesterol acyl Transferase (LCAT)
1.1.6. Hereditary Pyropoikilositosis
1.1.7. High Phosphatydil-choline Hemolitik Anemia
1.1.8. Rh-nul Diseases
1.1.9. McLeod Phenotype
1.2. Defisiensi Enzim Glikolitik Eritrosit
1.2.1. Pyruvate Kinase C
1.2.2. Hexokinase
1.2.3. Glucose-phosphat Isomerase
1.2.4. Phosphofruktokinase
1.2.5. Triosephosphate Isomerase
1.2.6. Phosphoglyserate Kinase
1.3. Kelainan Metabolisme Nukleotida Eritrosit
1.3.1. Defisiensi Pyrimidine 5 nukleotidase
1.3.2. Adenosine Deaminase Excess
1.3.3. Defisiensi Adenosine Triphosphatase
1.3.4. Defisiensi Adenylate Kinase

13
1.4. Defisiensi dari Enzim yang terlibat dalam Metabolisme Pentose
Phosphate Pathway dan Glutatione
1.4.1. Glucose 6 Phosphate Dehyrogenase (G6PD)
1.4.2. Glutamyl-Cystein Synthetase
1.4.3. Glutathione Synthetase
1.4.4. Glutathione Reduktase
1.5. Kelaianan Sintesis dan Struktur Hemoglobin
1.5.1. Unstable Hemoglobin Disease
1.5.2. Sickle Cell Anemia
1.5.3. Hemoglobinopathies Homozygote (CC,DD,EE)
1.5.4. Thalassemia Mayor
1.5.5. Hemoglobin-H Diseases
1.5.6. Doubly Heterozygous Disorders ( SC-Dis.,Sickle-Thalass.)

2. Anemia Hemolitik Didapat


2.1. Immuno-hemolytic Anemia
2.1.1. Incompatible Blood Transfusion
2.1.2. Hemolytic Disease of the Newborn
2.1.3. Anemia Hemolitik Autoimmune yang disebabkan Antibodi
Reaksi Hangat (Warm- Antibody)
2.1.3.1. Idiopatik
2.1.3.2. Sekunder
2.1.3.2.1. Infeksi Virus dan Mikoplasma .
2.1.3.2.2. Lyn1phosarcome
2.1.3.2.3. Immune Deficiency State
2.1.3.2.4. SLE dan Penyakit Autoimun yang lain
2.1.3.2.5. Penyakit Keganasan yang lain
2.1.3.3. Drug-induced.
2.1.4. Anemai Hemolitik Autoimmune yang disebabkan Antibodi
Reaksi Dingin (Cold-Antibody )
2.1.4.1. Cold Hemaglutinin Disease
2.1.4.1.1. Idiopatik

14
2.1.4.1.2. Sekunder
2.1.4.2. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria
2.2. Anemia Hemolitik Mikroangiopatik dan Traumatik
2.2.1. Prosthetic Valve dan Kelainan jantung yang lain
2.2.2. Hemolitik -Uremia Syndrome
2.2.3. Trombotic Trombositopenia Purpura
2.2.4. DIC ( Disseminated Intravascular Coagulation )
2.2.5. Hubungannya dengan Phenomena Immunologic (Graft-
rejection, Immune-complex Disease)
2.3. Infektious .
2.3.1. Protozoa: Malaria, Toxoplasma, Lheismaniasis,
Trypanosomiasis
2.3.2. Bakteri: Bartonellosis, Infeksi Clostridial, Kolera, Typhoid
Fever dan lain-lain.
2.4. Zat Kimia, Obat dan Racun Bisa
2.4.1. Zat Kimia dan Obat-obat Oksidan
2.4.1.1. Napththalene
2.4.1.2. Nitrofurantoin
2.4.1.3. Sulfonamide
2.4.1.4. Sulfones
2.4.1.5. Para-aminosalicylate
2.4.1.6. Phenacetin
2.4.1.7. Phenylsemicarbazide
2.4.1.8. Resorcin
2.4.1.9. Phenylhydrazine
2.4.1.10. Aniline
2.4.1.11. Hydroxilamine
2.4.1.12. Nitrobenzene
2.4.1.13. Phenolderivate
2.4.1.14. Chlorates
2.4.1.15. Molekuler Oxygen

15
2.4.2. Zat Kimia Non-Oksidan
2.4.2.1. Arsine
2.4.2.2. Copper
2.4.2.3. Water
2.4.2.4. Hubungannya dengan Dialisis dan Uremia.
2.4.2.5. Venoms
2.5. Physical Agent
2.5.1. Thermal Injury
2.5.2. Ionizing Irradiation
2.6. Hypophosphatemia
2.7. Spur-cell Anemia pada Penyakit Hati .
2.8. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria ( PNH )
2.9. Defisiensi Vit.E pada Newborn.

2.2.5 Manifestasi Klinis dan Laboratorium


Untuk membantu menegakkan diagnosis anemia hemolitik pemeriksaan
laboratorium memegang peranan yang sangat penting sekali, selain
pemeriksaan klinis dan fisik diagnostik, diagnosis hanya dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik dan pemeriksaan laboratorium.
Kelainan fisik diagnostik yang umumnya didapat adalah berupa adanya: a)
anemia, b) ikterus dan c) pembesaran limpa (splenomegali) akan memberikan
kesan kemungkinan adanya anemia hemolitik. Secara garis besar
kemungkinan anemia hemolitik dapat kita pertimbangkan bila pada
pemeriksaan laboratorium dijumpai adanya beberapa kelainan seperti
tersebut dibawah ini yaitu:
1. Adanya tanda-tanda peningkatan proses penghancuran dan pembentukan
sel eritrosit yang berlebihan.
2. Kelainan laboratorium yang hubungannya dengan meningkatnya
kompensasi dalam proses eritropoesis.
3. Adanya beberapa variasi yang penting terutama dalam membuat diagnosis
banding dari anemia hemolitik. Kelainan laboratorium yang menunjukkan

16
adanya tanda-tanda meningkatnya proses penghancuran dan pembentukan
sel eritrosit yang berlebihan dapat kita lihat berupa:
Berkurangnya umur sel eritrosit.
Umur eritrosit dapat diukur dengan menggunakan Cr-Labeled eritrosit,
pada anemia hemolitik umur eritrosit dapat berkurang sampai 20 hari.
Meningkatnya penghancuran eritrosit dapat kita lihat dari tingkat
anemia, ikterus dan retikulositosis yang terjadi, oleh sebab itu
pemeriksaan umur eritrosit ini bukan merupakan prosedur pemeriksaan
rutin untuk menegakkan diagnosis anemia hemolitik.
Meningkatnya proses pemecahan heme, ditandai dengan adanya:
Meningkatnya kadar billirubin indirek darah.
Meningkatnya pembentukan CO yang endogen.
Meningkatnya kadar billirubin darah (hiperbillirubinemia).
Meningkatnya ekskresi urobillinogen dalam urin.
4. Meningkatnya kadar enzim Lactat Dehydrogenase (LDH) serum.
Enzim LDH banyak dijumpai pada sel hati, otot jantung, otak dan sel
eritrosit, kadar LDH dapat mencapai 1200 U/ml.
Isoenzim LDH-2 lebih dominan pada anemia hemolitik sedang
isoenzim LDH-1 akan meninggi pada anemia megaloblastik.
5. Adanya tanda-tanda hemolisis intravaskular diantaranya yaitu:
Hemoglobinemia (meningkatnya kadar Hb.plasma).
Tidak adanya/rendahnya kadar haptoglobulin darah.
Hemoglobinuria (meningkatnya Hb.urin).
Hemosiderinuria (meningkatnya hemosiderin urin).
Methemoglobinemia.
Berkurangnya kadar hemopexin serum.

Kelainan laboratorium yang selalu dijumpai sebagai akibat meningkatnya


proses eritropoesis dalam sumsum tulang diantaranya yaitu:
1. Pada darah tepi bisa dijumpai adanya:
Retikulositosis ( polikromatopilik, stipling )

17
Sel retikulosit merupakan sel eritrosit yang masih mengandung
ribosom, pemeriksaannya dilakukan dengan menggunakan
pengecatan Brelian Cresiel Blue (BCB), nilai normal berkisar antara
0,82,5 % pada pria dan 0,84,1 % pada wanita, jumlah retikulosit ini
harus dikoreksi dengan rasio hemoglobin/hematokrit (Hb/0.45)
sedang jumlah retikulosit absolut dapat dihitung dengan mengkalikan
jumlah retikulosit dengan jumlah eritrosit.
Perlu juga dihitung Retikulosit Production Index ( RPI ) yaitu:

Makrositosis
Sel eritrosit dengan ukuran lebih besar dari normal, yaitu dengan nilai
Mean Corpuscular Volume (MCV) > 96 fl.
Eritroblastosis
Leukositosis dan trombositosis

2. Pada sumsum tulang dijumpai adanya eritroid hiperplasia


3. Ferrokinetik :
Meningkatnya Plasma Iron Turnover ( PIT )
Meningkatnya Eritrosit Iron Turnover ( EIT )
4. Biokimiawi darah :
Meningkatnya kreatin eritrosit
Meningkatnya aktivitas dari enzim eritrosit tertentu diantaranya yaitu:
urophorphyrin syntese,hexokinase, SGOT.

Tanda-tanda laboratorium lain yang digunakan untuk membuat diagnosis


banding diantaranya yaitu:
1. Kelainan bentuk sel eritrosit pada pemeriksaan sediaan apus darah tepi
yang sering kita lihat adalah bentuk:
Sel Spherosit: biasanya pada hereditary spherositosis immunohemolitik
anemia didapat, thermalinjury, hypophosphatemia, keracunan zat kimia
tertentu.

18
Sel Akantosit, kelainan pada komposisi zat lemak sel eritrosit yaitu
pada abetalipoproteinemia.
Sel Spur biasanya ditemukan pada keadaan sirosis hati.
Sel Stomatosit, ada hubungannya dengan kation eritrosit jarang pada
keadaan penyakit hemolitik yang diturunkan biasa terjadi pada
keracunan alcohol.
Sel Target, spesifik untuk: penyakit thalassemia, LCAT defisiensi dan
post-splenektomi.
Elliptocyte bentuk eritrositnya oval.
Sickle Cell.
Schistocyte, Helmet Bel dan fragmentosit sel, biasanya ada
hubungannya dengan trauma pada sel eritrosit.

2. Eritrophagositosis, merupakan kelainan yang jarang yaitu adanya


fagositik sel yang mengandung eritrosit hal ini memberi kesan adanya
kerusakan pada permukaan sel eritrosit terutama oleh adanya induced
komplement fixing antibody, protozoa, infeksi bakteri dan keracunan zat
kimia tertentu.
3. Autoaglutinasi, hal ini merupakan karakteristik utama dari adanya
penyakit cold aglutinin immunohemolitik, autoaglunatinasi harus
dibedakan dengan rouleaux formation yang sering kita jumpai pada
multiple mieloma dan hal ini sering diikuti dengan peningkatan laju endap
darah ( LED )
4. Osmotic Fragility Test yaitu mengukur ketahanan sel eritrosit untuk
menjadi lisis oleh proses osmotik dengan menggunakan larutan saline
hipotonik dengan konsentrasi berbeda-beda. Pada keadaan normal lisis
mulai terjadi pada konsentrasi saline 0745-0,50 gr/l dan lisis sempurna
terjadi pada konsentrasi 0730-0,33 gr/l. Median Corpuscular Fragility
(MCF) yang meninggi akan menyebabkan terjadinya pergeseran kurva ke
kiri hal ini ada hubungannya dengan spherositosis, sebaliknya nilai MCF
yang menurun (fragilitas menurun atau osmotik resisten yang meningkat)
maka kurva akan bergeser ke kanan, hal ini sering kita temui pada

19
thalassemia, sickle cell anemia, leptositosis, sel target, dengan kata lain
osmotik fragiliti sitosis penting dalam menentukan adanya kelainan
morfologi eritrosit.

2.2.6 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnostik anemia hemolitik dan penyebabnya maka
kita harus berpatokan pada dua keadaan yang berbeda yaitu:
1. Menentukan ada tidaknya anemia hemolitik, yaitu:
1.1.Adanya tanda-tanda penghancuran serta pembentukan sel eritrosit
yang berlebihan pada waktu yang sama.
1.2.Terjadi anemia yang persisten yang diikuti dengan hipereaktivitas
dari sistem eritropoesis .
1.3.Terjadi penurunan kadar hemoglobin dengan sangat cepat tanpa bisa
diimbangi dengan eritropoesis normal.
1.4.Adanya tanda-tanda hemoglobinuria atau penghancuran eritrosit
intravaskular.
2. Menentukan penyebab spesifik dari anemia hemolitik, yaitu dengan
mendapatkan informasi dari anamnesa yang tepat dan cermat terhadap
pasien serta dari basil pemeriksaan sediaan apus darah tepi Clan
Antiglobulin Test (Coombs Test) , dari data ini dapat kita bedakan lima
grup pasien yaitu :
2.1 Anemia hemolitik yang disebabkan oleh adanya exposure terhadap
infeksi , zat kimia dan kontak fisik .
2.2 Hasil pemeriksaan Coombs Test positif menunjukan Anemia
Hemolitik Autoimune (AlHA).
2.3 Hasil pemeriksaan Coombs Test negatif kemungkinan adanya
anemia hemolitik spherositik yaitu pada hereditary spherositosis.
2.4 Kelainan morfologi sel eritrosit yang spesifik : elliptositosis dan
sickle sel anemi .
2.5 Golongan pasien dengan Coombs test negatip dan tidak adanya
kelainan morfologi eritrosit yang spesifik, hal ini perlu pemeriksaan
tambahan yaitu Hemoglobin elektroforese dan heat denaturation test

20
untuk unstable hemoglobin diseases. Bila hasil pemeriksaan
laboratorium tersebut diatas menunjukan hasil normal maka
diagnosis anemi hemolitik menjadi sulit, kelainan enzym-enzym
eritrosit merupakan penyakit yang sangat jarang kali dijumpai,
namun perlu dilakukan pemeriksaan enzym eritrosit tersebut
diantaranya yaitu enzim Glukose 6-phosphat dehydrogenase dengan
pemeriksaan secara enzimatik.

2.2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia hemolitik disesuaikan dengan
penyebabnya. Bila karena reaksi toksik-imunologik yang didapat diberikan
adalah kortikosteroid (prednison, prednisolon), kalau perlu dilakukan
splenektomi. Apabila keduanya tidak berhasil, dapat diberikan obat-obat
sitostatik, seperti klorambusil dan siklofosfamid.

2.2.8 Prognosis
Prognosis jangka panjang pada pasien penyakit ini adalah baik. Splenektomi
sering kali dapat mengontrol penyakit ini atau paling tidak memperbaikinya.

21
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS

Nama : Tn. D

Umur : 24 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Pekerjaan : Pedagang

No MR : 157542

Alamat : Kacang

Tgl Masuk : 22 oktober 2017

3.2 ANAMNESA

Keluhan Utama :

Seorang pasien laki-laki berumur 24 tahun dating ke IGD RSUD Solok dengan
keluhan demam sejak 2 minggu SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Demam dialami sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya


demam hilang timbul, menggigil (+), berkeringat (+)
Pasien mengeluhkan tampak pucat sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Cepat lelah saat beraktivitas, badan terasa lemas
Pusing (+), riwayat sering pusing (+) sejak 2 minggu terakhir
Mual (+), muntah (+) riwayat muntah darah 3 hari SMRS, dan riwayat
keluar darah dari hidung/ epistaksis (+)
BAB : tidak lancar, warna kehitaman sejak 3 hari SMRS
BAK : lancar, berwarna kuning, tidak nyeri saat BAK
Batuk dan flu disangkal
Nyeri dada disangkal
Sesak nafas disangkal
Nyeri dada disangkal

22
Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat minum obat nafsu makan sejak 2 bulan yang lalu


Riwayat penyakit yang sama sebelumnya (-) disangkal
Riwayat kurang darah atau anemia disangkal
Riwayat sakit kuning atau hepatitis disangkal
Riwayat penyakit tifus disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat jantung disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat penyakit yang sama sebelumnya (-) disangkal


Riwayat kurang darah atau anemia disangkal
Riwayat sakit kuning atau hepatitis disangkal
Riwayat penyakit tifus disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat jantung disangkal
Riwayat psikososial :

Seorang pasien laki-laki berumur 24 tahun belum menikah, sebelumnya


pasien tinggal di solo ngekos sendiri bekerja sebagai pedagang.
Semejak sakit pasien pulang kampong dan tinggal bersama orang tuanya.
Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak remaja
Pasien tidak memiliki riwayat minum kopi dan mengkonsumsi alkohol.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang TB : 165 cm

Kesadaran : CMC BB : 60 kg

Tekanan Darah : 120/70 mmHg IMT : 22 (normal)

Pernafasan : 18x/menit

Nadi : 85x/menit, reguler

Suhu : 37,6 oC

23
STATUS GENERALISATA

Kulit : tampak pucat


Kepala : ukuran normochepal
Mata : konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-)
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
Mulut : bibir pucat
Leher : JVP (5-2 cmH2O)
Kelenjer Getah Bening : tidak terdapat pembesaran KGB pada leher bagian
kiri di sepanjang M. sternocleidomastoideus
Thorax :
Paru-paru :

- Inspeksi : bentuk dada normochest, simetris


kiri=kanan, ikut gerak nafas
- Palpasi : focal fremitus kiri=kanan
- Perkusi : sonor kiri=kanan, batas paru hepar ICS VI
dextra anterior
- Auskultasi : vesikuler, Rh -/-, Wh -/-

Jantung :

- Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak


- Palpasi : Ictus Cordis teraba 2 jari kearah medial
LMCS RIC V
- Perkusi :
o Batas kiri : RIC V sejajar linea
midclavicula sinistra 2 jari kearah medial
o Batas kanan : RIC IV linea sternalis
dexstra
o Batas atas : RIC II lineaparasternalis
sinistra
- Auskultasi : S1/S2 murni, regular, bising (-)

Abdomen :

- Inspeksi : tampak striae(+)


- Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (+)
Ginjal : bimannual (-), ballottement (-),
nyeri ketok CVA (-)
- Perkusi : timpani (+)

24
- Auskultasi : bising usus (+) normal

Extremitas :

Superior :

- Inspeksi : tampak pucat, edema (-)


- Palpasi : perabaan hangat

Inferior :

- Inspeksi : tampak pucat, edema (-)


- Palpasi : perabaan hangat

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium pada tanggal 22-10-17

Darah Rutin
Hb : 5,6 gr/dl
MCV : 83,9 fL
MCH : 25,1 pg
MCHC : 29,9 gr/dL
Ht : 18,7 %
WBC : 9.280 /mm3
PLT : 891.000 /mm3

Kimia Klinik
Tes widal :
Tipe H : 1/80
Tipe O : - negative

3.5 Point Diagnostic

Pucat
Lesu
Mudah lelah
Kurang nafsu makan
Konjungtiva anemis (+)
Hb : 5,6 gr/dl (Hb menurun)

25
3.6 Diagnosa Kerja

Anemia berat normositik normokrom ec susp Anemia Hemolitik

3.7 Diagnosa Banding

Perdarahan akut
Trombositosis
Anemia hemolitik autoimun

3.8 Penatalaksanaan

IVFD RL 12 jam/kolf
Paracetamol 3 x 500 mg
Domperidon 2 x 15 mg
As. Folat 2 x 5 mg
Curcuma 3 x 20 mg

3.9 Pemeriksaan Anjuran

Cek Coomb test


Gambaran darah tepi
Hitung retikulosit
Cek feses

3.10 Komplikasi

Gagal Ginjal akut


Gagal jantung
hipoglikemia

3.11 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad malam


Quo ad fungtionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

26
FOLLOW UP PASIEN

TANGGAL PERJALANAN PENYAKIT INSTRUKSI DOKTER

23/10/17 PERAWATAN HARI 1 R/

S: demam(+), mual (+) Diet ML

Kurang tidur (+), keringat dingin (+) IVFD RL 12 j/kolf

Ceftriaxone 2x1 gr(iv)

O: KU: tampak sakit sedang Paracetamol 3x500mg

Kes: CMC As.folat 2x5 mg

TD: 120/60 NF: 18 Sulfas ferosus 1x300mg

ND: 112 S : 37,8 Metilprednisolon 2x1/2

Mata: konjungtiva anemis (+/+) Omeprazole 2x20mg

Paru: vesikuler , BT-/-

Jantung: BJ I/II murni, regular Periksa:

peristaltik (+) kesan N - coomb test direct


Abd : H/L tidak teraba, NT(+) NL(-) - gambaran darah tepi
Striae (+) - rontgen thorak
Ext : tampak pucat (+) udema(-)

A : anemia berat normositik normokrom


ec susp anemia hemolitik

Hasil lab: 23/10/17

Darah rutin
Hb : 5.2 g/dL
Ht : 17,3 %
Mcv : 84.8 fL
Mch : 25.5 pg
Mchc : 30.1 g/dl
Retikulosit : 10 %

27
Wbc : 7.960 /mm3
Plt : 666.000 /mm3

GDT:
- Basofil: 0
- Eosinofil : 3
- Netrofil batang : 0
- Netrofil segmen: 65
- Limfosit : 22
- Monosit : 10
- Eritrosit : anisositosis,
fragmentosit, burr cell
- Trombosit : jumlah
meningkat
Kesan : anemia normositik
normokrom

Coomb test direct : 1+ (positif)

Hasil gambaran darah tepi

28
29
BAB IV

PEMBAHASAN KASUS

Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berumur 24 tahun di RSUD Solok


masuk bangsal penyakit dalam pria pada tanggal 22 oktober 2017 dengan keluhan
deman sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya tidak nafsu makan
sejak 2 bulan SMRS, pasien meminum obat nafsu makan. Demam di rasakan hilang
timbul sejak 2 minggu SMRS disertai dengan menggigil dan berkeringat. Pasien
tampak pucat sejak 2 minggu SMRS, cepat lelah saat beraktifitas, pusing dan
mudah lemas. Riwayat mual(+), muntah (+) keluar darah dari hidung dan muntah
darah. Riwayat BAB tidak lancar dan berwarna hitam (+) BAK lancer (+). Riwayat
batuk (-) flu (-) nyeri dada(-) sesak nafas (-).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang


dengan kesadaran compos mentis, Tekanan Darah 120/60, Nadi 112x/menit,
pernafasan 18x/menit. Suhu 37,8 C, status gizi normoweight. Pada mata
ditemukan konjungtiva anemis (+/+) bibir dan extremitas pucat. Pada pemeriksaan
labor didapatkan. Hb : 5.2 g/dL,Ht : 17,3 %, Mcv : 84.8 fL, Mch : 25.5 pg, Mchc :
30.1 g/dl, Retikulosit : 10 %, Wbc : 7.960 /mm3, Plt : 666.000 /mm3, Tes widal :
Tipe H : 1/80, Tipe O : - negative. Pada pemeriksaan gambaran darah tepi di
dapatkan Basofil: 0, Eosinofil : 3, Netrofil batang : 0, Netrofil segmen: 65, Limfosit
: 22, Monosit : 10, Eritrosit : anisositosis,fragmentosit, burr cell, Trombosit : jumlah
meningkat, Kesan : anemia normositik normokrom dan Coomb test direct : 1+
(positif).

Diagnose pada pasien ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik


dan pemeriksaan penunjang. Dari keseluruhan didapatkan diagnose Anemia Berat
Normositik Normokrom ec susp. Anemia Hemolitik. Penatalaksanaanya adalah diet
ML, IVFD RL 12 j/kolf, Ceftriaxone 2x1 gr(iv), Paracetamol 3x500mg, As.folat
2x5 mg, Sulfas ferosus 1x300mg, Metilprednisolon 2x1/2, Omeprazole 2x20mg.
selanjutnya pasien di bolehkan pulang pada tanggal 23 oktober 2017 untuk rujuk.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Surjono, Achmad. 1997. Vade-Mecum Pediatri. Jakarta: EGC. hal 47-57.


2. Price, Sylvia. 2005. Patofisiologis: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta: EGC. hal 98-125.
3. Sulistyo A. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Hematologi. Jakarta: Salemba Medika. hal 48-88.
4. Charles H. Packman, John P. Leddy; Aquired Hemolytic Anemi dueto Warm-
Reacting Autoantibodies; in Williams Hematology, Editors Ernest Beutler,
Marshall A.Lichtman, Barry S. Coller, Thomas J. Kipps, Mcgraw-Hill. Inc.
Health Professions Devision, Fifth Edition, 1995, hal. 677-684.
5. Charles H. Packman, John P. Leddy; Cryopathic Hemolytic Syndrome in
Williams Hematology, Editors; Ernest Beutler, Marshall A. Lichtman, Barry S.
Coller, Thomas J. Kipps, Mcgraww-Hill. Inc. Health Profesions Devision, Fifth
Edition, 1995, hal. 685 -690.

31

Anda mungkin juga menyukai