Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Melena (BAB hitam) merupakan keadaan yang diakibatkan oleh
perdarahan saluran cerna bagian atas (upper gastroinstestinal tract). Faktor
utama yang berperan dalam tingginya angka kematian adalah kegagalan untuk
menilai masalah ini sebagai keadaan klinis yang gawat dan kesalahan
diagnostik dalam menentukan sumber perdarahan.
Di Eropa dan Amerika dalam buku Current Diagnosis & Treatment in
Gastroenterology, sebagian besar penyebab perdarahan saluran cerna atas
adalah tukak peptik. Hal itu sesuai data penelitian CURE yaitu sekitar 55%
pasien perdarahan saluran cerna atas yang disebabkan oleh tukak peptik.
Ari F. Syam (2005) dalam penelitiannya di RSCM Jakarta
menyebutkan kebanyakan penderita perdarahan saluran cerna atas disebabkan
oleh varises esophagus (33,5%). Tingginya angka penderita varises
esophagus dikarenakan adanya hubungan antara varises esophagus dengan
penyakit hepatitis B dan C di Indonesia. Demikian pula pada penelitian
Nasrul Zubir dan Julius (1992) di RSU dr. M. Jamil Padang, jenis kelainan
yang ditemukan pada pemeriksaan endoskopi yang terbanyak adalah varises
esophagus sebanyak 196 penderita (23,17%), gastritis refluks menempati
urutan tertinggi diantara gastritis lainnya (41,21%). Jumlah tukak lambung
dan tukak duodenum pada penelitian ini hampir sebanding.
Di Indonesia, Gastropati NSAID merupakan penyebab kedua
gastropati setelah Helicobacter pylori dan penyebab kedua perdarahan saluran
cerna bagian atas setelah ruptur varises oesophagus.Menurut data dari
Moskow Ilmiah Lembaga Penelitian Gastroenterology, pengobatan dengan
NSAID menyebabkan gastritis akut dalam 100% kasus dalam satu minggu
setelah awal pengobatan. Lesi erosif gastrointestinal terjadi pada 20-40%
pasien, yang menerima secara teratur NSAID. Sekali atau untuk perawatan

1
waktu yang lama dengan tukak lambung NSAID menyatakan di 12-30%, dan
ulkus duodenum di 2-19%.
Para pasien dengan rheumatoid arthritis yang mengkomsumsi NSAID
secara jangka panjang, komplikasi yang terkait dengan risiko GI perdarahan
dan kematian perkiraan 1,3-1,6% per tahun. Hal ini membuat kemungkinan
untuk menyimpulkan bahwa pada pasien dengan rheumatoid arthritis masalah
gastrointestinal adalah salah satu komplikasi yang paling sering dari
perawatan penyakit.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami tentang melena dan gastropati NSAID +
Anemia berat.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan memahami tentang defenisi, etiologi, klasifikasi,
patogenesa, diagnosa dan penatalaksanaan melena.
2. Mengetahui dan memahami tentang defenisi, etiologi, klasifikasi,
patogenesa, diagnosan dan penatalaksanaan Gastropati NSAID.
3. Mengetahui dan memahami tentang defenisi, etiologi, klasifikasi,
patogenesa, diagnosa dan penatalaksanaan Anemia berat.

1.2.3. Manfaat Penulisan

2. Sebagai sumber media informasi mengenai hematemesis melena dan


gastropati NSAID.
3. Sebagai laporan kasus menyajikan analisis kasus tentang
hematemesis melena dan gastropati NSAID.
4. Untuk memenuhi tugas case report session kepaniteraan klinik senior
dibagian ilmu penyakit dalam RSUD Solok 2017.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Melena

2.1.1 Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) yaitu perdarahan yang
berasal dari dalam lumen saluran cerna di atas (proksimal) ligamentum Treitz,
mulai dari jejunum proksimal, duodenum, gaster, dan esophagus.Hal tersebut
mengakibatkan muntah darah (hematemesis) dan berak darah berwarna hitam
seperti aspal (melena).
Melena yaitu keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti aspal (ter)
dengan bau khas, yang menunjukkan perdarahan saluran cerna atas serta
dicernanya darah pada usus halus.

2.1.2 Etiologi
Beberapa penyebab timbulnya perdarahan di saluran cerna atas yaitu :
1. Kelainan di esophagus
a. Pecahnya varises esophagus
Perdarahan varises secara khas terjadi mendadak dan masif,
kehilangan darah gastrointestinal kronik jarang.
ditemukan.Perdarahan varises esofagus atau lambung
biasanya disebabkan oleh hipertensi portal yang terjadi sekunder
akibat sirosis hepatis. Darah berwarna kehitaman dan tidak akan
membeku karena sudah tercampur asam lambung. Setelah
hematemesis selalu disusul dengan melena.
b. Karsinoma esophagus
Karsinoma esophagus lebih sering menunjukkan keluhan
melena daripada hematemesis.Pasien juga mengeluh disfagia,
badan mengurus dan anemis.Hanya sesekali penderita muntah
darah tidak masif.Pada panendoskopi jelas terlihat gambaran
karsinoma yang hampir menutup esophagus dan mudah berdarah
terletak di sepertiga bawah esophagus.
c. Sindrom Mallory-Weiss

3
Riwayat medis ditandai oleh gejala muntah tanpa isi
(vomitus tanpa darah).Muntah hebat mengakibatkan ruptur mukosa
dan submukosa daerah kardia atau esophagus bawah sehingga
muncul perdarahan.Karena laserasi aktif disertai ulserasi, maka
timbul perdarahan.Laserasi muncul akibat terlalu sering muntah
sehingga tekanan intraabdominal naik menyebabkan pecahnya
arteri di submukosa esophagus/ kardia. hiperemesis gravidarum.
d. Esofagogastritis korosiv
Pernah ditemukan penderita wanita dan pria yang muntah
darah setelah tidak sengaja meminum air keras untuk patri.Air
keras tersebut mengandung asam sitrat dan asam HCl yang bersifat
korosif untuk mukosa mulut, esophagus dan lambung.Penderita
juga mengeluh nyeri dan panas seperti terbakar di mulut, dada dan
epigastrium.
e. Esofagitis dan tukak esophagus
Esofagitis yang menimbulkan perdarahan lebih sering
bersifat intermiten atau kronis, biasanya ringan, sehingga lebih
sering timbul melena daripada hemetemesis.Tukak esophagus
jarang menimbulkan perdarahan jika dibandingkan dengan tukak
lambung dan duodenum.
2. Kelainan di lambung
a. Gastritis erosiv hemoragik
Penyebab terbanyak adalah akibat obat-obatan yang
mengiritasi mukosa lambung atau obat yang merangsang timbulnya
tukak (ulcerogenic drugs).Misalnya obat-obat golongan salisilat
seperti Aspirin, Ibuprofen, obat bintang tujuh dan lainnya. Obat-
obatan lain yang juga dapat menimbulkan hematemesis yaitu :
golongan kortikosteroid, butazolidin, reserpin, spironolakton dan
lain-lain. Golongan obat-obat tersebut menimbulkan hiperasiditas.

b. Tukak lambung
Tukak lambung lebih sering menimbulkan perdarahan
terutama di angulus dan prepilorus bila dibandingkan dengan tukak
duodeni.Tukak lambung akut biasanya bersifat dangkal dan
multipel yang dapat digolongkan sebagai erosi.

4
Biasanya sebelum hematemesis dan melena pasien
mengeluh nyeri dan pedih di ulu hati selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun.Sesaat sebelum hematemesis rasa nyeri dan pedih
dirasakan bertambah hebat, namun setelah muntah darah rasa nyeri
dan pedih tersebut berkurang.Sifat hematemesis tidak begitu masif,
lalu disusul melena.
c. Karsinoma lambung
Insidensinya jarang, pasien umumnya berobat dalam fase
lanjut dengan keluhan rasa pedih dan nyeri di ulu hati, rasa cepat
kenyang, badan lemah.Jarang mengalami hematemesis, tetapi
sering melena.
3. Kelainan di duodenum
a. Tukak duodeni
Sebagian pasien mengeluhkan hematemesis dan melena,
sedangkan sebagian kecil mengeluh melena saja.Sebelum
perdarahan, pasien mengeluh nyeri dan pedih di perut atas agak ke
kanan.Keluhan ini juga dirasakan waktu tengah malam saat sedang
tidur pulas sehingga terbangun. Untuk mengurangi rasa nyeri dan
pedih, pasien biasanya mengkonsumsi roti atau susu.
b. Karsinoma papilla Vateri
Karsinoma papilla Vateri merupakan penyebaran karsinoma
di ampula menyebabkan penyumbatan saluran empedu dan saluran
pancreas yang umumnya sudah dalam fase lanjut.Gejala yang
timbul selain kolestatik ekstrahepatal, juga dapat menimbulkan
perdarahan tersembunyi (occult bleeding), sangat jarang timbul
hematemesis.Selain itu pasien juga mengeluh badan lemah, mual
dan muntah.

2.1.3 Patofisiologi

Mekanisme perdarahan pada hematemesis dan melena sebagai berikut :


1. Perdarahan tersamar intermiten (hanya terdeteksi dalam feces atau
adanya anemia defisiensi Fe+)
2. Perdarahan masif dengan renjatan.

5
Untuk mencari penyebab perdarahan saluran cerna dapat
dikembalikan pada faktor-faktor penyebab perdarahan, yaitu:
1. Faktor pembuluh darah (vasculopathy) seperti pada tukak peptik,
pecahnya varises esophagus.
2. Faktor trombosit (trombopathy) seperti pada Idiopathic
asam dalam lumen +empedu,
Thrombocytopenia Purpura (ITP).
ASA, alkohol,dan lain-lain
3. Faktor kekurangan zat pembekuan darah (coagulopathy) seperti
pada hemophilia, sirosis hati, dan lain-lain.
Pada sirosis kemungkinan terjadi ketiga hal di
atas :vasculopathy (pecahnya varises esophagus); trombopathy
Penghancuran sawar
(pengurangan trombosit epitel
di tekanan perifer akibat hipersplenisme);
coagulopathy (kegagalan sel-sel hati).

Khusus pada pecahnya


Asamvarises
kembaliesophagus ada 2 teori :
1. Teori erosi berdifusi
:pecahnyake mukosa
pembuluh darah karena erosi dari
makanan kasar (berserat tinggi dan kasar) atau konsumsi NSAID
2. Teori erupsi :karena tekanan vena porta terlalu tinggi, atau
peningkatan tekanan intraabdomen
Penghancuran sel yang tiba-tiba karena
mukosa
mengedan, mengangkat barang berat, dan lain-lain.

Asam Peningktan
meningkat histamin
Pepsinogen
pepsin

Rangsangan
kolinergik Peningkatan
Fungsi vasodilatasi
sawar
menurun Permeabilitas
terhadap protein
Meningkat
plasma bocor ke
motilitas
lumen lambung dan
Meningkat
interstisium edema
Destruksi pepsinogen
kapiler dan
vena
men
perdarahan

ulkus
2.1.4 Manifestasi klinis
Gambaran klinis yang muncul bisa berbeda-beda, tergantung pada :
1. Letak sumber perdarahan dan kecepatan gerak usus
2. Kecepatan perdarahan
3. Penyakit penyebab perdarahan
4. Keadaan penderita sebelum perdarahan
Tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada pasien
hematemesis melena adalah muntah darah (hematemesis),
mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena), mengeluarkan darah dari
rectum (hematoskezia), syok (frekuensi denyut jantung meningkat,
tekanan darah rendah), akral terasa dingin dan basah, penyakit hati
kronis (sirosi hepatis), dan koagulopati purpura serta memar, demam
ringan antara 38-39C, nyeri pada lambung/perut, nafsu makan
menurun, hiperperistaltik, jika terjadi perdarahan yang berkepanjangan
dapat menyebabkan terjadinya penurunan Hb dan Ht (anemia) dengan
gejala mudah lelah, pucat, nyeri dada, dan pusing yang tampak setelah
beberapa jam, leukositosis dan trombositosis pada 2-5 jam setelah

7
perdarahan, dan peningkatan kadar ureum darah setelah 24-48 jam
akibat pemecahan protein darah oleh bakteri usus.

2.1.5 Diagnosis Banding


1. Hemoptoe
2. Hematokezia
3. Gastritis erosif
4. Perdarahan saluran cerna bagian bawah
5. Ulkus peptikum
6. Varises esofagus

2.1.6 Diagnosis
1. Anamnesis
a. Sejak kapan terjadi perdarahan, perkiraan jumlah, durasi dan
frekuensi perdarahan
b. Riwayat perdarahan sebelumnya dan riwayat perdarahan dalam
keluarga
c. Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain
d. Riwayat muntah berulang yang awalnya tidak berdarah (Sindrom
Mallory-Weiss)
e. Konsumsi jamu dan obat (NSAID dan antikoagulan yang
menyebabkan nyeri atau pedih di epigastrium yang berhubungan
dengan makanan)
f. Kebiasaan minum alkohol (gastritis, ulkus peptic, kadang varises)
g. Kemungkinan penyakit hati kronis, demam dengue, tifoid, gagal
ginjal kronik, diabetes mellitus, hipertensi, alergi obat
h. Riwayat tranfusi sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
Langkah awal adalah menentukan berat perdarahan dengan
fokus pada status hemodinamik, pemeriksaannya meliputi:
a. Tekanan darah dan nadi posisi baring
b. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
c. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
d. Kelayakan napas dan tingkat kesadaran
e. Produksi urin
Perdarahan akut dalam jumlah besar (> 20% volume
intravaskuler) mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan
tanda:

8
a. Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP <70 mmHg) dengan
frekuensi nadi > 100 x/menit
b. Tekanan diastole ortostatik turun >10 mmHg, sistole turun >20
mmHg.
c. Frekuensi nadi ortostatik meningkat >15 x/menit
d. Akral dingin
e. Kesadaran turun
f. Anuria atau oligouria (produksi urin <30 ml/jam)
Selain itu pada perdarahan akut jumlah besar ditemukan hal-hal
berikut:
a. Hematemesis
b. Hematokezia
c. Darah segar pada aspirasi nasogastrik, dengan lavase tidak segera
jernih
d. Hipotensi persisten
e. Tranfusi darah > 800 1000 ml dalam 24 jam
Khusus untuk penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu
dilakukan evaluasi jumlah perdarahan, dengan kriteria:

Perdarahan (%) Keadaan hemodinamik


<8 Hemodinamik stabil
8 15 Hipotensi ortostatik
15 25 Renjatan (syok)
25 40 Renjatan + penurunan kesadaran
>40 Moribund (physiology futility)

Selanjutnya pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan adalah :


a. Stigmata penyakit hati kronis (ikterus, spider naevi, ascites, splenomegali,
eritema palmaris, edema tungkai)
b. Colok dubur karena warna feses memiliki nilai prognostik
c. Aspirat dari nasogastric tube (NGT) memiliki nilai prognostik mortalitas
dengan interpretasi :
1) Aspirat putih keruh : perdarahan tidak aktif
2) Aspirat merah marun : perdarahan masif (mungkin perdarahan arteri)
d. Suhu badan dan perdarahan di tempat lain
e. Tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai perdarahan
saluran cerna (pigmentasi mukokutaneus pada sindrom Peutz-Jeghers)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes darah : darah perifer lengkap, cross-match jika diperlukan tranfusi
b. Hemostasis lengkap untuk menyingkirkan kelainan faktor pembekuan
primer atau sekunder : CTBT, PT/PPT, APTT

9
c. Elektrolit : Na, K, Cl
d. Faal hati : cholinesterase, albumin/ globulin, SGOT/SGPT
e. EKG& foto thoraks: identifikasi penyakit jantung (iskemik), paru kronis
f. Endoskopi :gold standart untuk menegakkan diagnosis dan sebagai
pengobatan endoskopik awal. Selain itu juga memberikan informasi
prognostik dengan mengidentifikasi stigmata perdarahan

Perbedaan perdarahan saluran cerna bagian atas (scba) dengan bawah (scbb)

Perbedaan Perdarahan SCBA Perdarahan SCBB


Manifestasi klinik Hematemesis dan/atau Hematokezia
umumnya melena
Aspirasi nasogastrik Berdarah Jernih
Rasio (BUN : kreatinin) Meningkat >35 <35
Auskultasi usus Hiperaktif Normal

2.1.7 Penatalaksanaan
1. Tatalaksana Umum
Tindakan umum terhadap pasien diutamakan airway-breathing-
circulation (ABC).Terhadap pasien yang stabil setelah pemeriksaan
memadai, segera dirawat untuk terapi lanjutan atau persiapan
endoskopi.
Untuk pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih agresif seperti:
a. Pemasangan iv-line minimal 2 dengan jarum (kateter) besar minimal
no 18. Ini penting untuk transfuse, dianjurkan pemasangan CVP
b. Oksigen sungkup/ kanula. Bila gangguan airway-breathing perlu
ETT
c. Mencatat intake- output, harus dipasang kateter urine
d. Monitor tekanan darah, nadi, saturasi O2, keadaan lain sesuai
komorbid
e. Melakukan bilas lambung agar mempermudah tindakan endoskopi.

Dalam melaksanakan tindakan umum ini, pasien dapat diberikan terapi:


a. Transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%
b. Pemberian vitamin K 3x1 amp
c. Obat penekan sintesa asam lambung (PPI)
d. Terapi lainnya sesuai dengan komorbid

10
2. Tatalaksana Khusus
A. Varises gastroesofageal
a. Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif
Glipressin (Vasopressin) : Menghentikan perdarahan lewat
efek vasokonstriksi pembuluh darah splanknik,
menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta
menurun. Pemberian dengan mengencerkan vasopressin 50
unit dalam 100 ml Dextrose 5%, diberikan 0,51
mg/menit/iv selama 2060 menit dan dapat diulang tiap 36
jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infuse
0,10,5 U/menit
Somatostatin : Menurunkan aliran darah splanknik, lebih
selektif daripada vasopressin. Untuk perdarahan varises
atau nonvarises. Dosis pemberian awal dengan bolus 250
mcg/iv, lanjut per infus 250 mcg/jam selama 1224 jam
atau sampai perdarahan berhenti.
b. Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau
Minesota
c. Terapi endoskopi
Ligasi : Mulai distal mendekati cardia bergerak spiral
setiap 12 cm. Dilakukan pada varises yang sedang
berdarah atau ditemukan tanda baru saja mengalami
perdarahan (bekuan darah melekat, bilur merah, noda
hematokistik). Efek samping sklerosan dapat dihindari,
mengurangi frekuensi ulserasi dan striktur.
Skleroterapi : alternatif bila ligasi sulit dilakukan karena
perdarahan masif, terus berlangsung atau teknik tidak
memungkinkan. Yang digunakan campuran yang sama
banyak antara polidokanol 3%, NaCl 0,9% dan alcohol
absolute; dibuat sesaat sebelum skleroterapi.
Penyuntikan dari bagian paling distal mendekati cardia,
lanjut ke proksimal bergerak spiral sejauh 5cm.
Terapi radiologi : pemasangan transjugular intrahepatic
portosystemic shunting (TIPS)& perkutaneus obliterasi
spleno-porta.

11
d. Terapi pembedahan
Shunting
Transeksi esofagus + devaskularisasi + splenektomi
Devaskularisasi + splenektomi
B. Tukak peptic
a. Terapi medikamentosa
PPI (proton pump inhibitor) : obat anti sekresi asam untuk
mencegah perdarahan ulang. Diawali dosis bolus
Omeprazol 80 mg/iv lalu per infuse 8 mg/kgBB/jam selama
72 jam. Antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2
masih boleh diberikan untuk tujuan penyembuhan lesi
mukosa perdarahan.
Obat vasoaktif
b. Terapi endoskopi
Injeksi : penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan
dengan adrenalin (1:10000) sebanyak 0,51 ml/suntik
dengan batas 10 ml atau alcohol absolute (98%) tidak
melebihi 1 ml
Termal : koagulasi, heatprobe, laser
Mekanik : hemoklip, stapler
c. Terapi bedah
3. Memulangkan pasien
Sebagian besar pasien umumnya pulang pada hari ke 14
perawatan.Perdarahan ulang (komorbid) sering memperpanjang masa
perawatan. Bila tidak ada komplikasi, perdarahan telah berhenti,
hemodinamik stabil serta risiko perdarahan ulang rendah pasien dapat
dipulangkan .Pasien biasanya pulang dalam keadaan anemis, karena itu
selain obat pencegah perdarahan ulang perlu ditambahkan preparat Fe.

2.1.8 Komplikasi
1. Syok hipovolemik
2. Aspirasi pneumonia
3. Gagal ginjal akut
4. Sindrom hepatorenal koma hepatikum
5. Anemia karena perdarahan

12
2.2 Gastropati NSAID

2.2.1 Definisi
Gastropati NSAID adalah gejala gastropati yang mengacu kepada
spektrum komplikasi saluran cerna bagian atas yang dihubungkan oleh
penggunaan obat anti inflamasi non steroid dengan durasi waktu tertentu, dan
biasanya disebabkan oleh penggunaan jangka panjang NSAID. Disebut
gastropati NSAID bila terdapat kumpulan gejala-gejala gastropati yang
bervariasi seperti dispepsia, nyeri abdominal, sampai komplikasi yang fatal
seperti perforasi, ulserasi, dan perdarahan dimana gejala-gejala tersebut tidak
ditemukan sebelum menggunakan NSAID.

2.2.2 Epidemiologi
Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dengan prevelensi berbeda
tergantung pada sosial ekonomi,demografi dan dijumpai lebih banyak pada
pria usia lanjut dan kelompok sosial ekonomi rendah dengan puncak pada
dekade keenam. Di Amerika Serikat, diperkirakan 13 juta orang
menggunakan NSAID secara teratur. Sekitar 70 juta resep ditulis setiap
tahun, dan 30 miliar NSAID dijual setiap tahun.Dengan meluasnya
penggunaan NSAID telah mengakibatkan peningkatan prevalensi terjadi
gastropati NSAID.

2.2.3 Faktor Risiko


Beberapa faktor risiko gastropathy NSAID meliputi:
- usia lanjut >60 tahun
- Riwayat pernah menderita tukak
- Riwayat perdarahan saluran cerna
- Digunakan bersama-sama dengan steroid
- Dosis tinggi atau menggunakan 2 jenis NSAID
- Menderita penyakit sistemik yang berat
- Bersama-sama dengan infeksi Helicobacter pylory
- Merokok
- Meminum alkohol

13
2.2.4. Patofisiologi Gastropati NSAID
NSAID merusak mukosa lambung melalui 2 mekanisme yaitu tropikal
dan sistemik.Kerusakan mukosa secara tropikal terjadi karena NSAID bersifat
asam dan lipofili, sehingga mempermudah trapping ion hydrogen masuk
mukosa dan menimbulkan kerusakan.Efek sistemik NSAID lebih penting
yaitu kerusakan mukosa terjadi akibat produksi prostaglandin menurun secara
bermakna.Seperti diketahui prostaglandin merupakan substansi sitoprotektif
yang amat penting bagi mukosa lambung. Efek sitoproteksi itu dilakukan
dengan cara menjaga aliran darah mukosa, meningkatkan sekresi mukosa dan
ion bikarbonat dan meningkakan epitel defensif. Ia memperkuat sawar mukosa
lambung duodenum dengan meningkatkan kadar fosfolipid mukosa sehingga
meningkatkan hidrofobisitas permukaan mukosa, dengan demikian
mencegah/mengurangi difusi balik ion hidrogen. Selain itu, prostaglandin juga
menyebabkan hiperplasia mukosa lambung duodenum (terutama di antara
antrum lambung), dengan memperpanjang daur hidup sel-sel epitel yang sehat
(terutama sel-sel di permukaan yang memproduksi mukus), tanpa
meningkatkan aktivitas proliferasi.
Elemen kompleks yang melindungi mukosa gastroduodenal
merupakan prostaglandin endogenous yang di sintesis di mukosa traktus
gastrointestinal bagian atas.COX (siklooksigenase) merupakan tahap
katalitikator dalam produksi prostaglandin.Sampai saat ini dikenal ada dua
bentuk COX, yakni COX-1 dan COX-2. COX-1 ditemukan terutama dalam
gastrointestinal, ginjal,endotelin,otak dan trombosit : dan berperan penting
dalam pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat. COX-2 pula
ditemukan dalam otak dan ginjal yag juga bertanggungjawab dalam respon
inflamasi. Endotel vaskular secara terus-menerus menghasilkan vasodilator
prostaglandin E dan I yang apabila terjadi gangguan atau hambatan (COX-1)
akan timbul vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan menyebabkan
nekrosis epitel.

14
Gambar 2. Mekanisme NSAID mempengaruhi mukosa lambung

2.2.5. Gejala Klinis


Gastropati NSAID ditandai dengan inbalance antara gambaran
endoskopi dan keluhan klinis.Misalnya pada pasien dengan berbagai gejala,
seperti ketidaknyamanan dan nyeri epigastrium, dispepsia, kurang sering
muntah memiliki lesi minimal pada studi endoskopi.Sementara pasien dengan
keluhan tidak ada ataupun ringan GI memiliki lesi erosi mukosa parah dan
ulcerating.Perkembangan penyakit berbahaya tersebut dapat menyebabkan
pasien dengan komplikasi mematikan.30-40% dari pasien yang menggunakan
NSAID secara jangka panjang (> 6 minggu), memiliki keluhan dispepsia yang
tidak dalam korelasi dengan hasil studi endoskopi. Hampir 40% dari pasien
dengan tidak ada keluhan GI telah luka parah mengungkapkan pada studi
endoskopi, dan 50% dari pasien dengan keluhan GI memiliki integritas
mukosa normal.
Gastropati NSAID dapat diungkapkan dengan tidak hanya dispepsia
tetapi juga dengan gejala sakit, juga mungkin memiliki onset tersembunyi
dengan penyebab mematikan seperti ucler perforasi dan perdarahan.

15
2.2.6 Diagnosis
Spektrum klinis Gastropati NSAID meliputi suatu keadaan klinis yang
bervariasi sangat luas, mulai yang paling ringan berupa keluhan
gastrointestinal discontrol. Secara endoskopi akan dijumpai kongesti mukosa,
erosi-erosi kecil kadang-kadang disertai perdarahan kecil-kecil. Lesi seperti ini
dapat sembuh sendiri.
Untuk mengevaluasi gangguan mukosa dapat menggunakan Modified
Lanza Skor (MLS) kriteria. Sistem grading ini menurut MLS adalah sebagai
berikut:
- Grade 0 : tidak ada erosi atau perdarahan
- Grade 1 : erosi dan perdarahan di satu wilayah atau jumlah lesi 2
- Grade 2 : erosi dan perdarahan di satu daerah atau ada 3-5 lesi
- Grade 3 : erosi dan perdarahan di dua daerah atau ada 6-10 lesi
- Grade 4 : erosi dan perdarahan> 3 daerah atau lebih dalam lambung
- Grade 5 : sudah ada tukak lambung
Secara histopatologis tidak khas.Dapat dijumpai regenerasi epitelial,
hiperplasia foveolar, edema lamina propia dan ekspansi serabut otot polos ke
arah mukosa.Ekspansi dianggap abnormal bila sudah mencapai kira-kira
sepertiga bagian atas.Namun, tanpa informasi yang jelas tentang konsumsi
NSAID gambaran histopatologis seperti ini sering disebut sebagai gastropati
reaktif.
Feces dapat diambil setiap hari sampai laporan laboratorium adalah
negatif terhadap darah samar.
Pemeriksaan sekretori lambung merupakan nilai yang menentukan
dalam mendiagnosis aklorhidria(tidak terdapat asam hdroklorida dalam getah
lambung) dan sindrom zollinger-ellison. Nyeri yang hilang dengan makanan
atau antasida, dan tidak adanya nyeri yang timbul juga mengidentifikasikan
adanya ulkus.
Selain itu, adanya H. Pylory dapat ditentukan dengan biopsy dan
histology melalui kultur, meskipun hal ini merupakan tes laboratorium
khusus. serta tes serologis terhadap antibody pada antigen H. Pylori.7

16
2.2.7.Diagnosis Banding
Dengan tanda-tanda perdarahan pada sistem gastrointestinal bagian
atas maupun dispepsia, Gastropati NSAID dapat didiagnosis banding dengan:
1. Varises esofagus
2. Karsinoma lambung
3. Zollinger-Ellison Syndrome
4. Ulkus duodenum

2.2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien gastropati NSAID, terdiri dari non-
mediamentosa dan medikamentosa.Pada terapi non-medikametosa, yakni
berupa istirahat, diet dan jika memungkinkan, penghentian penggunaan
NSAID.Secara umum, pasien dapat dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila
kurang berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap di rumah
sakit.
Pada pasien dengan disertai tukak, dapat diberikan diet lambung yang
bertujuan untuk memberikan makanan dan cairan secukupnya yang tidak
memberatkan lambung, mencegah dan menetralkan asam lambung yang
berlebihan serta mengusahakan keadaan gizi sebaik mungkin. Adapun syarat
diet lambung yakni:
1. Mudah cerna, porsi kecil, dan sering diberikan.
2. Energi dan protein cukup, sesuai dengan kemampuan pasien untuk
menerima
3. Rendah lemak, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total yang ditingkatkan
secara bertahap hingga sesuai dengan kebutuhan.
4. Rendah serat, terutama serat tidak larut air yang ditingkatkan secara
bertahap.
5. Cairan cukup, terutama bila ada muntah
6. Tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam, baik secara
termis, mekanis, maupun kimia (disesuaikan dengan daya terima
perseorangan)
7. Laktosa rendah bila ada gejala intoleransi laktosa; umumnya tidak
dianjurkan minum susu terlalu banyak.
8. Makan secara perlahan
9. Pada fase akut dapat diberikan makanan parenteral saja selama 24-48jam
untuk memberikan istirahat pada lambung.

17
Tiga strategi saat ini diikuti secara rutin klinis untuk mencegah
kerusakan yang disebabkan gastropati NSAID: (i) coprescription agen
gastroprotektif, (ii) penggunaan inhibitor selektif COX-2, dan (iii)
pemberantasan H. pylori.
Gastroprotektif
Misoprostol
Misoprostol adalah analog prostaglandin yang digunakan untuk
menggantikan secara lokal pembentukan prostaglandin yang dihambat oleh
NSAID. Menurut analisis-meta dilakukan oleh Koch, misoprostol mencegah
kerusakan GI: ulserasi lambung ditemukan dikurangi secara signifikan dalam
kedua penggunaan NSAID, kronis dan akut, sedangkan ulserasi duodenum
berkurang secara signifikan hanya dalam pengobatan kronis. Sukralfat /
antasida
Antasida diberikan untuk menetralkan asam lambung dengan
mempertahankan PH cukup tinggi sehingga pepsin tidak diaktifkan, sehingga
mukosa terlindungi dan nyeri mereda.
H2-reseptor antagonis
H 2 reseptor antagonis (H2RA) merupakan standar pengobatan ulkus
sampai pengembangan PPI.Mereka adalah obat pertama yang efektif untuk
menyembuhkan esofagitis refluks serta tukak lambung.Namun, dalam
pencegahan Gastropati NSAID, H2RA pada dosis standar tidak hanya kurang
efektif tetapi juga dapat meningkatkan risiko ulkus
pendarahan.Menggandakan dosis standar (famotidin 40 mg dua kali sehari)
secara signifikan menurunkan kejadian 6 bulan ulkus lambung.
Proton-pump inhibitor
Supressi asam oleh PPI lebih efektif dibandingkan dengan H2RA dan
sekarang terapi standar untuk pengobatan baik tukak lambung dan refluks
gastro-esofageal penyakit (GERD).Jika diberikan dalam dosis yang cukup,
produksi asam harian dapat dikurangi hingga lebih dari 95%. Sekresi asam
akan kembali normal setelah molekul pompa yang baru dimasukkan ke dalam
membran lumen. Omeprazol juga secara selektif menghambat karbonat
anhidrase mukosa lambung yang kemungkinan turut berkontribusi terhadap

18
sifat supresi asamnya. Proton Pump Inhibitor yang lain diantaranya
lanzoprazol, esomeprazol, rabeprazol dan Pantoprazol.

2.2.9. Komplikasi
Pada gastropati NSAID, dapat terjadi ulkus, yang memiliki beberapa
komplikasi yakni:
1. Hemoragi-gastrointestinal atas, gastritis dan hemoragi akibat ulkus
peptikum adalah dua penyebab paling umum perdarahan saluran GI.
Insiden 15-25%, meningkat pada usia lanjut (>60 tahun) yang 20% tanpa
simtom dan tanda penyakit sebelumnya. Sebagian besar perdarahan
berhenti spontan, sebagian memerlukan tindakan endoskopi terapi, bila
gagal dilanjutkan dengan operasi (5% memerlukan transfusi darah).
Pantozol/PPI 2 ampul/100 cc NaCl 0,9% drip selama 10 jam dan diteruskan
beberapa hari dapat menurunkan kejadian ulang perdarahan, pemberian
transfusi dengan memperhatikan hemodinamik: 1.) Tekanan Darah Sistol
<100mmHg, 2.) Hb < 10g%, 3.) Nadi >100x/menit, 4.) HT <30/jam
dianjurkan pemberian transfusi darah segar sampai HT >30.11
2. Perforasi, merupakan erosi ulkus melalui mukosa lambung yang menembus
ke dalam rongga peritoneal tanpa disertai tanda. Insidensi 6-7%, hanya 2-
3% mengalami perforasi terbuka ke peritoneum, 10% tanpa keluhan/tanda
perforasi dan 10% disertai perdarahan tukak. Penetrasi adalah suatu bentuk
perforasi yang tidak terbuka/tanpa pengeluaran isi lambung karena tertutup
oleh omentum/organ perut sekitar. Terapi perforasi: dekompresi,
pemasangan nasogastrik tube, aspirasi cairan lambung terus menerus,
pasien dipuasakan, diberi nutrisi parenteral total dan pemberian antibiotika
diikuti tindakan operasi.
3. Stenosis pilorik terjadi bila area distal pada sfingter pilorik menjadi
jaringan parut dan mengeras karena spasme atau edema atau karena
jaringan parut yang terbentuk bila ulkus sembuh atau rusak. Obstruksi
dapat bersifat permanen akibat fibrosis dari suatu tukak, dapat diterapi
dengan pemasangan nasogastrik tube, aspirasi isi lambung, puasa,
dilanjytkan dengan pemasangan balon dilatasi dengan endoskopi dan bila
gagal dilakukan tindakan operasi piloroplasti.

19
2.3. ANEMIA BERAT
2.3.1. Definisi Anemia
Anemia diartikan sebagai penurunan jumlah eritrosit sehingga eritrosit tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen

dalam jumlah yang cukup ke jaringan. Anemia dapat didefinisikan pula sebagai berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah

merah. Anemia menurut WHO berdasarkan kadar hemoglobin berikut ini:

Kelompok Kriteria Anemia (Hb)


Anak 6-59 bulan < 11 g/dl
Anak 5-11 tahun < 11,5 g/dl
Anak 12-14 tahun < 12 g/dl
Laki-laki dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl
2.3.2. Epidemeologi Anemia
Berdasarkan data WHO sejak tahun 1993 hingga 2005, anemia diderita
oleh 1,62 milyar orang di dunia. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia belum
sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara merupakan
salah satu daerah yang dikategorikan berat dalam prevalensi anemia, termasuk
Indonesia, yang tergambar pada gambar di bawah ini dengan warna merah tua.

Gambar 2.1. Gambaran prevalensi anemia pada anak usia belum sekolah
di dunia2

20
Anemia terjadi pada 58% populasi di Asia, dimana prevalensi tertinggi terjadi
pada anak usia belum sekolah (47,7%), wanita hamil (41,6%), dan wanita dewasa
tidak hamil (33,0%). Di Indonesia, sekitar 44,5% populasi diperkirakan
mengalami anemia dengan kadar Hb <11,0 g/dl, sehingga Indonesia masuk ke
dalam kategori berat dalam prevalensi anemia.

2.3.3. Etiologi dan klasifikasi Anemia


Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan:
I. Etiopatogenesis
A. Gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a) Anemia defisiensi besi
b) Anemia defisiensi asam folat
c) Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a) Anemia akibat penyakit kronik
b) Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a) Anemia aplastik
b) Anemia mieloplastik
c) Anemia pada keganasan hematologi
d) Anemia diseritropoietik
e) Anemia pada sindrom mielodisplastik
4. Anemia akibat kekurangan eritropoietin
B. Anemia hemoragik
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a) Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
Anemia akibat defisiensi G6PD
c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia
Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a) Anemia hemolitik autoimun
b) Anemia hemolitik mikroangiopati
c) Lainnya
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis
yang kompleks3
II. Gambaran morfologik (melalui indeks eritrosit atau hapusan darah tepi)
A. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg
B. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34
pg

21
C. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl

Penggabungan penggunaan klasifikasi etiopatogenesis dan morfologi akan


sangat menolong dalam mengetahui penyebab anemia. Berikut ini klasifikasi
anemia berdasarkan morfologi dan etiologi
I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia Defisiensi Besi
b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik

2.3.4. Patofisiologi Anemia


I. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan
zat besi (Fe), yang disebabkan oleh beberapa hal berikut :
a. Kurangnya asupan Fe
Diet tidak adekuat, misalnya karena rendahnya asupan besi
total dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang
dikonsumsi kurang baik (makanan banyak serat, rendah
daging, rendah vitamin C)
Gangguan absorpsi zat besi, misalnya pada gastrektomi,
colitis kronik, atau achlorhydria
b. Kehilangan Fe
Perdarahan saluran cerna
Perdarahan saluran kemih
Hemoglobinuria
Hemosiderosis pulmonari idiopatik

22
Telangiektasia hemoragik herediter
Gangguan hemostasis
Infeksi cacing tambang
c. Meningkatnya kebutuhan Fe
Bayi prematur
Anak-anak dalam pertumbuhan
Ibu hamil dan menyusui

II. Anemia penyakit kronik


Merupakan anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi
akibat infeksi kronis, peradangan, trauma, atau penyakit neoplastik yang
telah berlangsung 1-2 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal, dan
endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolisme besi,
sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Anemia
penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit atau kondisi,
seperti infeksi kronik (infeksi paru, endokarditis bakterial), inflamasi
kronik (artritis reumatoid, demam reumatik), penyakit hati alkoholik,
gagal jantung kongestif, dan idiopatik.
III. Anemia megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah anemia yang disebabkan oleh abnormalitas
hematopoiesis dengan karakteristik dismaturasi nukleus dan sitoplasma sel
myeloid dan eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA. Penyebab
anemia megaloblastik adalah
1. Defisiensi asam folat
2. Defisiensi vitamin B12 (kobalamin)
a. Asupan kurang, misalnya pada vegetarian.
b. Malabsorpsi
c. Gangguan metabolisme seluler
IV. Anemia hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh peningkatan
destruksi eritrosit yang melebihi kemampuan kompensasi eritropoiesis
sumsum tulang. Pada prinsipnya anema hemolitik dapat terjadi akibat
defek molekular hemoglobinopati atau enzimopati, abnormalitas struktur
dan fungsi membran, dan faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau
autoantibodi.
V. Anemia aplastik
Anemia aplastik merupakan anemia dengan karakteristik adanya
pansitopenia disertai hipoplasia / aplasia sumsum tulang tanpa adanya

23
penyakit primer yang mensupresi atau menginfiltrasi jaringan
hematopoietik.
2.3.5. Manifestasi klinis Anemia
a) Gejala umum anemia
Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ
target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan
kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah
penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu ( HB<7). Sindrom
anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging
(tinnitus), mata berkunang kunang, kaki terasa dingin, sesak napas
dan sispepsia. Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah
dilihat pada konjunctiva, mukosa mulut, telapak tangn dan jaringan
dibawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat
ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena
timbul setelah penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7 g/dL).
b) Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :
Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis
angularis, dan kuku sendok (koilonychia).
Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada
defisiensi vitamin B12.
Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali.
Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi.
c) Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia
sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut.
Contohnya, pada anemia akibat infeksi cacing tambang dapat
ditemukan keluhan sakit perut, pembengkakan parotis dan warna
kuning pada telapak tangan.

2.3.6. Penegakkan Diagnosis Anemia


Kriteria diagnosa anemia :
I. Anemia defisiensi besi menurut WHO
Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia

24
Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% ( normal 32-35%)
Kadar Fe serum < 50 g/dL (normal 80 180 g/dL)
Saturasi transferin < 15% (normal 20 50%)
II. Anemia penyakit kronik
Diagnosis untuk anemia akibat penyakit kronik dibuat bila:
Dijumpai anemia ringan sampai sedang pada setting penyakit dasar
yang sesuai ( seperti disebutkan pada tabel 3-4 di depan)
Anemia hipokromik mikrositer ringan atau normokromik normositer
Besi serum menurun disertai dengan TIBC menurun dengan
cadangan besi sumsum tulang masih positif
Dengan menyingkirkan adanya gagal ginjal kronik, penyakit hati
kronik dan hipotiroid
III. Anemia megaloblastik
Diagnosis anemia megaloblastik dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan
klinik dimana terjadi anemia, makrositer pada sarah tepi yang disertai sel
megaloblast dalam sumsum tulang. Pada defisiensi vitamin B 12 dijumpai
gejala neurologik, sedangkan pasa defisiensi asam folat tidak dijumpai
gejala neurologik.
IV. Anemia hemolitik
Menurut wintrobe, memberikan petunjuk praktis anemia hemolitik patut
dicurigai bila didapatkan:
Tanda tanda destruksi eritrosit berlebihan bersamaan dengan tanda-
tanda peningkatan eritropoiesis. Hal ini ditandai oleh anemia,
retikulosis dan peningkatan bilirubin indirek dalam darah. Apabila
tidak dijumpai tanda perdarahan ke dalam rongga tubuh atau jaringan
maka didiagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan.
Anemia persisten disertai retikulositosis tanpa adanya tanda-tanda
perdarahan yang jelas. Jika perdarahan dan pemulihan anemia
defisiensi akibat terapi dapat disingkirkan, diagnosis anemia
hemolitik dapat ditegakkan.
Apabila terdapat penurunan hemoglobin >1 g/dL dalam waktu satu
minggu serta perdarahan akut dan hemodelusi dapat disingkirkan
maka anemia hemolitik dapat ditegakkan.
Aapabila dijumpai hemoglobinuria atau tanda hemolisis
intravaskuler lain.
V. Anemia aplastik

25
Menurut international agranulocytosis and aplastic anemia study group
(IAASG) adalah satu dari tiga sebagai berikut :
Hemoglobin kurang dari 10 gd/dL atau hematokrit kurang dari 30%
Trombosit kurang dari 50x109//L
Leukosit kurang dari 3,5 x 109/L atau netrofil kurang dari 1,5 x 10
dengan retikulosit <30x109/l (<1%).
Yang tergolong anemia apalstik berat (severe aplastic anemia) bial
memenuhi kriteria paling sedikit dua dari tiga :
Granulosit < 0,5 x 109 /L
Trombosit < 20 x 109 /L
Corrected reticulocte <1%
Selularitas sumsum tulang tulang < 25% atau selularitas < 50% dengan <
30% sel sel hematopoietik. Tergolong anemia aplastik sangat berat bila
netrofil < 0,2 x 109 /L.

2.3.7. Penatalaksanaan Anemia


I. Anemia defisiensi besi
Prinsip penatalaksanaan anemia defisiensi besi adalah mengetahui
faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian
dengan preparat besi.
a) Preparat besi peroral :
Dosis besi elemntal yang dianjurkan :
Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan, dianjurkan 1
mg/KgBB/hari
Bayi 1,5 2,0 Kg, 2mg/KgBB/hari, diberikan sejak usia 2
minggu
Bayi 1,0 1,5 Kg, 3 mg/KgBB/hari diberikan sejak usia 2
minggu
Bayi < 1 Kg, 4 mg/KgBB/hari, ddiberikan sejak usia 2 minggu
Preparat yang tersedia, yaitu: ferrous sulphat ( sulfat ferosus) :
preparat pilihan pertama ( murah dan efektif). Dosis 3 x 200 mg.
Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous
succinate, harga lebih mahal, tetapi efektivas dan efek samping hampir
sama.
b) Preparat besi parenteral
Pemberian besi secara parenteral melalui dua cara yaitu secara
intramuskular dalam dan intravena pelan. Efek samping yang
ditimbulkan dapat berbahaya, yaitu reaksi anafilakksis, flebitis, sakit

26
kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, dan sinkop. Indikasi
pemberian parenteral: intoleransi oral berat, kepatuhan berobat kurang,
kolitis ulseratif, perlu peningkatan Hb secara cepat (misal preoperasi,
hamil trimester akhir).
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB(Kg) x 3
Preparat yang tersedia : iron dextran complex, iron sorbitol citric acid
complex.
II. Anemia Penyakit Kronik
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam anemia penyakit
kronik berupa:
Jika penyakit dasar dapat diobati dengan baik, anemia akan
sembuh dengan sendirinya.
Anemia tidak memberi respons pada pemberian besi, asam folat,
atau vitamin B 12.
Transfusi jarang diperlukan karena derajat annemia ringan.
Sekarang pemberian eritropoetin terbukti dapat menaikkan
hemoglobin, tetapi harus diberikan terus menerus.

III. Anemia Sideroblastik


Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan anemia
sideroblastik adalah:
Terapi untuk anemia sideroblastik herediter bersifat simtomatik
dengan transfusi darah
Pemberian vitamin B 6 dapat dicoba karena sebagian kecil
penderita responsif terhadap peridoksin.
Untuk bentuk didapat (RARS) pengobatannya dapat dilihat pada
bab sindroma mielodisplastik.

IV. Anemia megaloblastik


Terapi subsitusi/supplement
Penyebab anemia megaloblastik tersering pada anak adalah
defisiensi asam folat. Terapi dapat digunakan dengan pemberian
asam folat.
Asam folat, diberikan 5 mg/hari per oral selama 4 bulan atau
parenteral dan vitamin C 200 mg/hari.
Vitamin B12 (bila pemberian terapi asam folat gagal) 15-30 gi,
diberikan 3 -5 kali/minggu sampai Hb normal, ppada anak besar
dapat diberikan 100 g. Bila perlu diteruskan pemberian vitamin
B12 tiap bulan.

27
Pengobatan penyakit kausal/penyakit primer.
Transfusi darah bila terdapat indikasi: gagal jantung yang
mengancam, menghadapi tindakan operatif darah lengkap dosis
10-20 ml/KgBB/hari, PRC pada penderita tanpa perdarahan, whole
blood bila ada kehilangan volume darah, dosis disesuaikan
banyaknya darah yang hilang.
Respons terhadap terapi: retikulosit mulai naik hari 2 -3 dengan puncak
pada hari 7 8. Hb harus naik 2 3 g/dL tiap minggu.
V. Anemia hemolitik
Tergantung etiologinya :
a) Anemia hemolitik autoimun :
Glukokortikoid : prednison 40 mg/m2 luuas permukaan tubuh
(LPT)/hari.
Splenektomi : pada kausa yang tidak berespon dengan pemberian
glukoortikoid.
Imunosupresif : pada kasus gagal steroid dan tidak memungkinkan
splenektomi. Obat imunosupresif diberikan selama 6 bulan,
kemudian tappering off, biasanya dikombinasi dengan Prednison
40 mg/m2 . dosis prednison diturunkan bertahap dalam waktu 3
bulan.
Azatioprin : 80mg/m2/hari
Siklofosfamid : 60 75 mg/m2/hari
Obati penyakit dasar : SLE, infeksi, malaria, keganasan.
Stop obat-obatan yang diduga menjadi penyebab
b) Kelainan kongenital, misalnya thalasemia :
Transfusi berkala, pertahankan Hb 10 gr%
Desferal untuk mencegah penumpukan besi. Diberikan bila serum
Feritin mencapai 1000 g/dL biasanya setelah transfusi ke 12.
Dosis inisial 20 mg/KgBB, diberikan 8 12 jam infus SC di
idnding anterior abddomen, selama 5 hari/minggu.
VI. Anemia aplastik
Secara garis besarnya terapi untuk anemia aplastik atas:
Terapi kausal
Terapi suportif, dengan menghindari kontak dengan penderita infeksi,
isolasi, menggunakan sabun antiseptik, sikat gigi lunak, obat peunak
buang ait besar, pencegahan menstruasi obat anovulator.
Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang : terapi untuk
merangsang pertumbuhan sumsum tulang, berupa :

28
Transfusi : diberikan PRC jika Hb < 7 g/dL atau ada tanda payah
jantung atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai 9 10 g
%, tidak perlu sampai Hb normal, karena akan menekan eritropoesis
internal.
Trombosit profilaksis untuk penderita dengan trombosit < 10.000
20.000/mm3. Bila terdapat infeksi, perdarahan, atau demam, maka
diperlukan transfusi pada kadar trombosit yang lebih tinggi.
Granulosit tidak bermanfaat sebagai profilaksis. Dapat
dipertimbangkan pemberian 1 x 1010 neutrofil selama 4 7 hari pada
infeksi yang tidak berespon dengan pemberian antibiotik.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Adi, P. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas : Ilmu Penyakit


Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI. 2006 : 289 97
2. Almatsier S (editor). Diet penyakit lambung. In: Penuntun diet edisi baru.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2011. p.108-16.
3. Astera, I W.M. & I D.N. Wibawa. Tata Laksana Perdarahan Saluran Makan
Bagian Atas : dalam Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta :
EGC. 1999 : 53 62.
4. Becker JC, Domschke W, Pohie T. Current approaches to prevent
NSAIDinduced gastropathy COX selectivity and beyond. Br J Clin
Pharmacol 58 : 6.2012; p.587600.
5. Davey, P. Hematemesis &Melena : dalam At a Glance Medicine. Jakarta :
Erlangga. 2006 : 36 7.
6. Djumhana, A. Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian
Atas
:pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/03/pendarahan_akut_saluran
_cerna_bagian_atas.pdf . 2011.
7. Hadi, S. Perdarahan Saluran Makan : dalam Gastroenterologi. Bandung : PT
Alumni. 2002 : 281 305.
8. Hastings,G.E.Hematemesis&Melena
:wichita.kumc.edu/hastings/hematemesis.pdf . 2005.
9. Hirlan. Gastritis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed.4 Jilid.I. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2012. p.335-7.
10. Lindseth GN. Gangguan lambung dan duodenum. In: Price SA, Wilson LM
(editors). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit Ed.6
Vol.1.Jakarta: Penerbit ECG. 2012. p.417-35.
11. PB PAPDI. Standar Pelayanan Medik. Jakarta : PB PAPDI. 2005: 272 3.
12. Purwadianto, A. & Budi S. Hematemesis &Melena : dalam Kedaruratan
Medik. Jakarta : Binarupa Aksara. 2000 : 105 10.

30
13. Richter, J.M. & K.J. Isselbacher. Perdarahan Saluran Makanan : dalam
Harrison (Prinsip Ilmu Penyakit Dalam) Jilid I. Jakarta : EGC. 1999 : 259
62.
14. Scheiman JM. Nonsteroidal antiinflamatory drug (NSAID)-induced
gastropathy. In: Kim, Karen (editor). Acute gastrointestinal bleeding;
diagnosis and treatment. New Jersey: Humana Press Inc. 2014. p.75-93.
15. Tarigan P. Tukak Gaster. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed.4 Jilid.I. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2010. p.338-48.

31

Anda mungkin juga menyukai