PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak
menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya
antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor
risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK;
semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda; serta
pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.
Emfisema paru merupakan penyakit yang umum, kronis, progresif dan akhirnya
dapat berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh rokok 80% sampai 90% kasus4.
Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya
cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema,
termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan nafas yang tidak
reversibel penuh dan memenuhi kriteria PPOK5,6.
1.2 Tujuan
Mahasiswa kepaniteraan klinik senior dapat mampu mengetahui, memahami, dan
menjelaskan tentang :
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis
2. Emfisema Paru
1.3 Manfaat
1. Bagi penulis
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari,
mengidentifikasi, dan mengembangkan teori yang telah disampaikan
mengenai Penyakit Paru Obstruksi Kronis, Emfisema Paru.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya, disertai efek ekstraparu yang
berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.
PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan akibat merokok dalam waktu
yang lama. PPOK sendiri juga mempunyai efek sistemik yang bermakna sebagai
petanda sudah terdapat kondisi komorbid lainnya.
Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam saluran
napas.
2.1.2 Klasifikasi
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderia, oleh
sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa
diprediksi dengan VEP1.
Derajat Klinis Faal Paru
1. Asap rokok
Asap rokok mempunyai prevalens yang tinggi sebagai penyebab gejala
respirasi dan gangguan fungsi paru. Risiko PPOK pada perokok tergantung
dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok
pertahun dan lamanya merokok (Indeks Brikman). Tidak semua perokok
berkembang menjadi PPOK secara klinis, karena dipengaruhi oleh faktor
genetik setiap individu. Perokok pasif atau environmental tobacco smoke
(ETS) dapat memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu di perhatikan :
a) Riwayat Perokok
- Perokok Aktif
- Perokok Pasif
- Bekas Perokok
b) Derajat berat merokok dengan indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun:
- Ringan : 0-199
- Sedang : 200-599
- Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hiperaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitrypsin alfa-1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
2.1.4 Gejala Klinik
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan
kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru.
Gejala Keterangan
Sesak yaitu: Progresif (sesak bertambah berat seiring
berjalannya waktu)
Bertambah berat dengan aktivitas
Persistent (menetap sepanjang hari)
Dijelaskan oleh bahasa pasien sebagai
"Perlu usaha untuk bernapas,"
Berat, sukar bernapas, terengah-engah
• Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
• Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
• Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
• Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
• Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
• Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2.1.5 Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i
leher dan edema tungkai
Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Fremitus taktil melemah atau normal
Perkusi
Hipersonor atau normal
Auskultasi
Suara napas vesikuler normal, atau melemah
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
Ekspirasi memanjang
2.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu:
1. Mengurangi gejala
2. Mencegah progresifitas penyakit
3. Meningkatkan toleransi latihan
4. Meningkatkan status kesehatan
5. Mencegah dan menangani komplikasi
6. Mencegah dan menangani eksaserbasi
7. Menurunkan kematian
Penatalaksanaan menurut derajat PPOK
VEP
Tambahkan inhalasi glukokortikosteroid
jika terjadi eksaserbasi berulang -ulang
Tambahkan
pemberian
oksigen jangka
panjang kalau
terjadi gagal
napas kronik
Lakukan
tindakan
opera si bila
diperlukan
gejala
Derajat 2 VEP1/KVP <70% Pengobatan regular dengan
PPOK Sedang 50% VEP1< 80% bronkodilator
2.2. EMFISEMA
2.2.1 Definisi
Suatu kelainana anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
Emfisema adalah sebuah keadaan di mana kantong udara (alveoli) di paru-paru
mengalami kerusakan. Hal inilah yang pada akhirnya membuat jumlah oksigen dalam
darah berkurang.
2.2.3 Etiologi
Faktor- faktor yang menyebabkan timbulnya Emfisema paru adalah:
1. Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya Emfisema paru, secara patologis
rokok berhubungan dengan hiperplasia kelenjar mukus, bronkus metaplasia,
epitel skuamus dan saluran nafas. Menurut Sharma (2006), emfisema terjadi
pada seseorang dengan kebiasaan merokok lebih dari 20 batang perhari dan
kebiasaan merokok tersebut sudah terjadi selama 20 tahun1.
2. Polusi
Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi
bila di tambah merokok resiko akan lebih tinggi.
3. Faktor sosial ekonomi
Emfisema lebih banyak terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah,
mungkin karena perbedaan pola merokok, selain itu juga disebabkan faktor
lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.
4. Faktor genetik
Ditandai dengan adanya Eosinofil / peningkatan kadar Imunoglobin E serum.
Adanya hiperresponsif bronkus, riwayat penyakit obstruktif paru pada keluarga
dan defisiensi protein ɑ-1 antitripsin.
a. Faal paru
1) Spirometri (VEP1, KVP)12
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 < 80%, KV menurun, KFR
dan VR meningkat. VEP merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya dan perjalanan penyakit.
2) Uji bronkodilatator
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan 15-20
menit kemudian dilihat perubahan VEP111.
b. Darah rutin
Hemoglobin, hematokrit, leukosit11.
c. Radiologi
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosentral melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung ( jantung pendulum/ tear drop/ eye drop
appearance)
d. Pemeriksaan analisis gas darah
Terdapat hipoksemia dan hipokalemia akibat kerusakan kapiler alveoli.
e. Pemeriksaan EKG
Untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai hipertensi
pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
f. Pemeriksaan enzimatik
Kadar ɑ-1 antitripsin rendah.
2.2.7 Penatalaksanaan
a. Bronkodilator short-acting
Terdapat 2 kelas bronkodilator yang bersifat short-acting yaitu beta2-
agonis dan agen antikolinergik. Beta2-agonis menstimulasi beta2-
adrenergik reseptor sehingga akan meningkatkan cyclic adenosine
monophosphate (cAMP) dan menyebabkan bronkodilatasi. Pemakaian
secara inhalasi lebih dipilih karena dapat meminimalisasikan efek
samping sistemik. Dimana efek samping yang dapat terjadi yaitu
takikardia dan tremor. Meskipun jarang, tetapi efek samping yang dapat
terjadi yaitu aritmia kardiak. Agen antikolinergik akan memblok M2
dan M3 kolinergik reseptor dan menghasilkan bronkodilatasi. Agen
antikolinergik ini relative aman untuk digunakan. Efek samping yang
dapat terjadi yaitu mulut kering, rasa metalik, gejala prostat.
b. Bronkodilator long-acting
Jika obat short-acting tidak membuat perubahan, pasien harus
diberikan bronkodilator long-acting. Contoh obat long-acting beta-
agonists yaitu salmeterol, formoterol, arformoterol, da indacaterol.
Dosis yang biasa dipakai yaitu 2 kali sehari, kecuali indacaterol
diberikan 1 kali sehari. Oral phosphodiesterase inhibitors seperti teofilin
juga merupakan long acting bronchodilation, walaupun penggunaan
obat ini terbatas. Selain itu, terdapat pilihan lain yaitu dengan memakai
long acting muscarinic agents seperti tiotropium.
II. Terapi antiinflamasi
Terapi antiinflasi merupakan tugas penting dalam patogenesis PPOK.
Penggunaan obat steroid oral untuk eksaserbasi akut direkomendasikan.
Tetapi penggunaan obat steroid oral pada PPOK kronik yang stabil tidak
direkomendasikan, karena dapat memberikan efek samping. Kortikosteroid
inhalasi memiliki efek samping yang terbatas dan hanya sedikit yang
terabsorbsi. NSAID seperti cromolyn dan nedocromil tidak memperlihatkan
kemanjuran pada terapi PPOK. Kortikosteroid inhalasi tidak
direkomendasikan sebagai monoterapi, tetapi harus ditambahkan dengan
regimen yang sudah termasuk brokodilator long-acting.
III. Antibiotik
Pada pasien PPOK, infeksi kronik atau kolonisasi pada saluran
pernafasan bagian bawah pada umumnya terdapat kuman S pneumoniae, H
influenzae, dan Moraxella catarrhalis. Pasien dengan penyakit berat
memilki prevalensi yang lebih tinggi pada organism Gram-negative seperti
Pseudomonas. Penggunaan antibiotik untuk terapi eksaserbasi akut sangat
membantu. Penggunaan antibiotik yang paling berguna bagi pasien dengan
kondisi eksaserbasi diikuti dengan 2 karakteristik dari peningkatan dispnea,
produksi sputum, dan sputum purulen (criteria The Winnipeg). Tidak ada
bukti yang menunjang pemakaian antibiotik berkelanjutan atau sebagai
profilaksis dapat mencegah eksaserbasi.