Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak
menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya
antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor
risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK;
semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda; serta
pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.

Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan tahun 1990 PPOK


menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, dan tahun 2002
menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO, 2002). Di
negara Amerika Serikat dibutuhkan dana sekitar 18 miliar US$ setahun untuk
penatalaksanaan PPOK dan biaya tak langsung sebesar 14 miliar US$, dengan jumlah
pasien sebanyak 16 juta orang dan lebih dari 100 ribu orang meninggal.

Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001,


sebanyak 54,5 % penduduk laki-laki dan 1,2% perempuan merupakan perokok, 92,0%
dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah ketika bersama
anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga
merupakan perokok pasif (BPS, 2001). Jumlah perokok yang berisiko menderita PPOK
atau kanker paru berkisar antara 20-25%. Hubungan antara rokok dengan PPOK
merupakan hubungan dose response, lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap
hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan
akan lebih besar.

Emfisema paru merupakan penyakit yang umum, kronis, progresif dan akhirnya
dapat berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh rokok 80% sampai 90% kasus4.
Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya
cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema,
termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan nafas yang tidak
reversibel penuh dan memenuhi kriteria PPOK5,6.

1.2 Tujuan
Mahasiswa kepaniteraan klinik senior dapat mampu mengetahui, memahami, dan
menjelaskan tentang :
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis
2. Emfisema Paru

1.3 Manfaat
1. Bagi penulis
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari,
mengidentifikasi, dan mengembangkan teori yang telah disampaikan
mengenai Penyakit Paru Obstruksi Kronis, Emfisema Paru.

2. Bagi institute pendidikan


Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi
kegiatan yang ada kaitannya dengan pelayanan kesehatan, khususnya yang
berkaitan dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis, Emfisema Paru.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

2.1.1 Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya, disertai efek ekstraparu yang
berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.

Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan


antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim
(emfisema) yang bervariasi pada setiap individu.

PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan akibat merokok dalam waktu
yang lama. PPOK sendiri juga mempunyai efek sistemik yang bermakna sebagai
petanda sudah terdapat kondisi komorbid lainnya.

Dampak ppok pada setiap individu tergantung derajat keluhan (khususnya


sesak dan penurunan kapasitas latihan), efek sistemik dan gejala komorbid lainnya.
Hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh derajat keterbatasan aliran udara.

Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena:

o Emfisema merupakan diagnosis patologik


o Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis

Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam saluran
napas.
2.1.2 Klasifikasi

Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderia, oleh
sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa
diprediksi dengan VEP1.
Derajat Klinis Faal Paru

Gejala klinis normal


(batuk, produksi sputum)
Derajat I : Gejala batuk kronik dan produksi VEP1/KVP < 70%
PPOK Ringan sputum ada tetapi tidak sering. VEP1≥ 80% prediksi
Pada derajat ini pasien sering
tidak menyadari bahwa faal paru
mulai menurun.

Derajat II : Gejala sesak mulai dirasakan saat VEP1/KVP < 70%


PPOK Sedang aktivitas dan kadang ditemukan 50% ≤ VEP1< 80%
gejala batuk dan produksi prediksi
sputum. Pada derajat ini biasanya
pasien mulai memeriksakan
kesehatannya
Derajat III : Gejala sesak lebih berat, VEP1/KVP < 70%
PPOK Berat penurunan aktivitas, rasa lelah 30% ≤ VEP1< 50%
dan serangan eksaserbasi prediksi
semakin sering dan berdampak
pada kualitas hidup pasien.

Derajat IV : Gejala diatas dimbah dengan VEP1/KVP <70%


PPOK Sangat tanda-tanda gagal napas atau VEP1< 30% prediksi
Berat gagal jantung kanan dan
atau
ketergantungan oksigen. Pada
derajat ini kualitas hidup pasien VEP1< 50% dprediksi
memburuk dan jika eksaserbasi disertai gagal napas
dapat mengancam jiwa. kronik

( dikutip dari: PPOK 2011 )


2.1.3 Faktor Resiko

1. Asap rokok
Asap rokok mempunyai prevalens yang tinggi sebagai penyebab gejala
respirasi dan gangguan fungsi paru. Risiko PPOK pada perokok tergantung
dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok
pertahun dan lamanya merokok (Indeks Brikman). Tidak semua perokok
berkembang menjadi PPOK secara klinis, karena dipengaruhi oleh faktor
genetik setiap individu. Perokok pasif atau environmental tobacco smoke
(ETS) dapat memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu di perhatikan :
a) Riwayat Perokok
- Perokok Aktif
- Perokok Pasif
- Bekas Perokok
b) Derajat berat merokok dengan indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun:
- Ringan : 0-199
- Sedang : 200-599
- Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hiperaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitrypsin alfa-1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
2.1.4 Gejala Klinik

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan
kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru.

Gejala Keterangan
Sesak yaitu: Progresif (sesak bertambah berat seiring
berjalannya waktu)
Bertambah berat dengan aktivitas
Persistent (menetap sepanjang hari)
Dijelaskan oleh bahasa pasien sebagai
"Perlu usaha untuk bernapas,"
Berat, sukar bernapas, terengah-engah

Batuk Kronik Hilang timbul dan mungkin tidak


berdahak.
Batuk kronik berdahak: Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengindikasikan PPOK.

Riwayat terpajan factor Asap rokok.


resiko, terutama Debu dan bahan kimia di tempat kerja
Asap dapur

Pada anamnesis perlu ditanyakan berbagai faktor risiko timbulnya PPOK

• Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
• Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
• Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
• Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
• Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
• Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2.1.5 Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
 Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
 Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
 Penggunaan otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i
leher dan edema tungkai
 Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Fremitus taktil melemah atau normal

Perkusi
Hipersonor atau normal
Auskultasi
 Suara napas vesikuler normal, atau melemah
 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
 Ekspirasi memanjang

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang / Anjuran


Faal paru
 Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
o Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
o VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
o Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupunkurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagidan sore, tidak lebih dari 20%.
 Uji bronkodilator
o Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
o Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudiandilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan
VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan< 200 ml
o Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
Darah rutin
Hb, Ht,Tr, leukosit
Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain dan
melihat komplikasi.

2.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu:

1. Mengurangi gejala
2. Mencegah progresifitas penyakit
3. Meningkatkan toleransi latihan
4. Meningkatkan status kesehatan
5. Mencegah dan menangani komplikasi
6. Mencegah dan menangani eksaserbasi
7. Menurunkan kematian
Penatalaksanaan menurut derajat PPOK

DERAJAT I DERAJAT II** DERAJAT III DERAJAT IV


VEP /KVP < 70% VEP 1/KVP < 70% VEP 1 /KVP 70% VEP 1 /KVP < 70%
1
VEP 1 80 % 50 % < VEP 1< 80 % 30 % VE P1 50 % VEP 1 < 30 %
prediksi prediksi prediksi prediksi

Hindari faktor risiko : BERHENTI MEROKOK, PAJANAN KERJA


Dipertimbangkan pemberian vaksinasi influenza
Tambakan bronkodilator kerja pendek (bila diperlukan)

Berikan pengobatan rutin d engan satu atau lebih bronkodilator kerja


lama
Tambahkan rehabilitasi fisis

VEP
Tambahkan inhalasi glukokortikosteroid
jika terjadi eksaserbasi berulang -ulang

Tambahkan
pemberian
oksigen jangka
panjang kalau
terjadi gagal
napas kronik
Lakukan
tindakan
opera si bila
diperlukan

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :


 Edukasi
 Berhenti merokok
 Obat-obatan
 Rehabilitasi
 Terapi oksigen
 Ventilasi mekanik
 Nutrisi
Derajat Karakteristik Rekomendasi pengobatan
Semua Derajat  Edukasi (hindari factor pencetus)
 Bronkodilator kerja singkat (SABA,
antikolinergik, kerja cepat,
xanthine) bila perlu.
 Vaksinasi influenza
Derajat 1 VEP1/KVP <70%  Bronkodilator kerja singkat (SABA,
PPOK ringan VEP1 80% Prediksi antikolinergik, kerja cepat,

dengan atau tanpa xanthine) bila perlu

gejala
Derajat 2 VEP1/KVP <70% Pengobatan regular dengan
PPOK Sedang 50% VEP1< 80% bronkodilator

Prediksi dengan atau  Agonis beta 2 kerja panjang


sebagai terapi pemeliharaan
tanpa gejala
(LABA)
 Antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
 Simptomatik
Rehabilitasi (edukasi, nutrisi,
rehabilitasi pernapasana)
Derajat 3 VEP1/KVP ≤70% Pengobatan regular dengan 1 atau
PPOK berat 30%≤ VEP1≤ 50% lebih bronkodilator

Prediksi dengan atau  Agonis beta 2 kerja panjang


sebagai terapi pemeliharaan
tanpa gejala
(LABA)
 Antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
 Simptomatik
Rehabilitasi (edukasi, nutrisi,
rehabilitasi pernapasanan
Derajat 4 VEP1/KVP <70% Pengobatan regular dengan 1 atau
PPOK sangat VEP1< 30% lebih bronkodilator

berat Prediksi/ gagal  Agonis beta 2 kerja panjang


sebagai terapi pemeliharaan
nafas/ gagal jantung
(LABA)
kanan
 Antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
 Pengobatan komplikasi
 Kortikosteroid inhalasi bila
memberikan respon klinis/
eksaserbasi berulang
 PDE-4 inhibitor
Rehabilitasi (edukasi, nutrisi,
rehabilitasi pernapasanan
Terapi oksigen jangka panjang
bila gagal nafas
Ventilasi non invasive
Pertimbangan terapi
pembedahan

 Penatalaksanaan umum PPOK


a) Edukasi
b) Obat-obatan bronkodilator
 Antikolinergik : ipratropium bromide
 Agonis beta 2 :
 Kerja singkat : terbutalin, salbutamol, fenoterol, prokaterol
 Kerja lama: salmeterol, bambuterol, prokaterol,
formoterol
 Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2
 Xanthine : aminofilin, teofilin.
c) Anti inflamasi : metilprednisolon, prednisolon
d) Antibiotic (jika ada tanda-tanda akut ) :amoxicillin, makrolide
e) Antioksidan : N-asetil sistein
f) Mukolitik : ambroxol

2.2. EMFISEMA
2.2.1 Definisi
Suatu kelainana anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
Emfisema adalah sebuah keadaan di mana kantong udara (alveoli) di paru-paru
mengalami kerusakan. Hal inilah yang pada akhirnya membuat jumlah oksigen dalam
darah berkurang.

Definisi emfisema menurut gambaran radiologik yaitu suatu keadaan di mana


paru lebih banyak berisi udara, sehingga ukuran paru bertambah, baik anterior-
posterior maupun ukuran paru secara vertikal kearah diafragma. Bentuk emfisema yang
paling sering ditemui adalah emfisema sentrilobular. Bentuk emfisema tersebut timbul
pada orang yang merokok dan biasanya terkena pada lobus superior. Emfisema
panlobular sering berhubungan dengan defisiensi alfa-1 antitripsin dan terkena pada
lobus inferior. Secara patologis emfisema merupakan pembesaran ruang udara distal
kearah bronkiolus terminal yang disertai dengan destruksi dari dinding alveolus tanpa
jaringan fibrosis.
2.2.2 Klasifikasi
 Emfisema sentriasinar : dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke
perifer, terutama mengenai bagian ats paru akibat kebiasaan merokok lama.
 Emfisema panasinar : melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak
pada paru bagain bawah
 Emfisema asinar distal: lebih banyak mengenai saluran nafas distal, duktus dan
sakus alveolar, proses terlokasir diseptal/ dekat pleura

2.2.3 Etiologi
Faktor- faktor yang menyebabkan timbulnya Emfisema paru adalah:
1. Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya Emfisema paru, secara patologis
rokok berhubungan dengan hiperplasia kelenjar mukus, bronkus metaplasia,
epitel skuamus dan saluran nafas. Menurut Sharma (2006), emfisema terjadi
pada seseorang dengan kebiasaan merokok lebih dari 20 batang perhari dan
kebiasaan merokok tersebut sudah terjadi selama 20 tahun1.
2. Polusi
Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi
bila di tambah merokok resiko akan lebih tinggi.
3. Faktor sosial ekonomi
Emfisema lebih banyak terdapat pada golongan sosial ekonomi rendah,
mungkin karena perbedaan pola merokok, selain itu juga disebabkan faktor
lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.
4. Faktor genetik
Ditandai dengan adanya Eosinofil / peningkatan kadar Imunoglobin E serum.
Adanya hiperresponsif bronkus, riwayat penyakit obstruktif paru pada keluarga
dan defisiensi protein ɑ-1 antitripsin.

2.2.4 Gejala Klinik


 Penampilan pink puffer
 Penderita kurus
 Kulit kemerahan
 Pernapasan pursed lips breathing
 Hipoksemia
 Sesak nafas

2.2.5 Pemeriksaan Fisik

 Inspeksi : normal, barrel chest, sela iga melebar


 Palpasi : fremitus melemah
 Perkusi : hipersonor, batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, dan
hepar terdorong kebawah.
 Auskultasi : mengi dan atau ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdengar
jauh.
a) Hiperlusen
b) Hiperinflasi
c) Ruang retrosternal melebar
d) Diafragma mendatar
e) Jantung menggantung (jantung pendulum)
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang

a. Faal paru
1) Spirometri (VEP1, KVP)12
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 < 80%, KV menurun, KFR
dan VR meningkat. VEP merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya dan perjalanan penyakit.
2) Uji bronkodilatator
Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan 15-20
menit kemudian dilihat perubahan VEP111.
b. Darah rutin
Hemoglobin, hematokrit, leukosit11.
c. Radiologi
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosentral melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung ( jantung pendulum/ tear drop/ eye drop
appearance)
d. Pemeriksaan analisis gas darah
Terdapat hipoksemia dan hipokalemia akibat kerusakan kapiler alveoli.
e. Pemeriksaan EKG
Untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai hipertensi
pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
f. Pemeriksaan enzimatik
Kadar ɑ-1 antitripsin rendah.
2.2.7 Penatalaksanaan

Tatalaksana penyakit emfisema sama dengan tatalaksana PPOK.


I. Bronkodilator
Bronkodilator bekerja dengan cara dilatasi saluran pernafasan dan
mengurangi resistensi aliran udara. Obat ini hanya mengurangi gejala
simtomatik saja tetapi tidak mengubah progesifitas penyakit atau
mengurangi mortalitas.

a. Bronkodilator short-acting
Terdapat 2 kelas bronkodilator yang bersifat short-acting yaitu beta2-
agonis dan agen antikolinergik. Beta2-agonis menstimulasi beta2-
adrenergik reseptor sehingga akan meningkatkan cyclic adenosine
monophosphate (cAMP) dan menyebabkan bronkodilatasi. Pemakaian
secara inhalasi lebih dipilih karena dapat meminimalisasikan efek
samping sistemik. Dimana efek samping yang dapat terjadi yaitu
takikardia dan tremor. Meskipun jarang, tetapi efek samping yang dapat
terjadi yaitu aritmia kardiak. Agen antikolinergik akan memblok M2
dan M3 kolinergik reseptor dan menghasilkan bronkodilatasi. Agen
antikolinergik ini relative aman untuk digunakan. Efek samping yang
dapat terjadi yaitu mulut kering, rasa metalik, gejala prostat.

b. Bronkodilator long-acting
Jika obat short-acting tidak membuat perubahan, pasien harus
diberikan bronkodilator long-acting. Contoh obat long-acting beta-
agonists yaitu salmeterol, formoterol, arformoterol, da indacaterol.
Dosis yang biasa dipakai yaitu 2 kali sehari, kecuali indacaterol
diberikan 1 kali sehari. Oral phosphodiesterase inhibitors seperti teofilin
juga merupakan long acting bronchodilation, walaupun penggunaan
obat ini terbatas. Selain itu, terdapat pilihan lain yaitu dengan memakai
long acting muscarinic agents seperti tiotropium.
II. Terapi antiinflamasi
Terapi antiinflasi merupakan tugas penting dalam patogenesis PPOK.
Penggunaan obat steroid oral untuk eksaserbasi akut direkomendasikan.
Tetapi penggunaan obat steroid oral pada PPOK kronik yang stabil tidak
direkomendasikan, karena dapat memberikan efek samping. Kortikosteroid
inhalasi memiliki efek samping yang terbatas dan hanya sedikit yang
terabsorbsi. NSAID seperti cromolyn dan nedocromil tidak memperlihatkan
kemanjuran pada terapi PPOK. Kortikosteroid inhalasi tidak
direkomendasikan sebagai monoterapi, tetapi harus ditambahkan dengan
regimen yang sudah termasuk brokodilator long-acting.

III. Antibiotik
Pada pasien PPOK, infeksi kronik atau kolonisasi pada saluran
pernafasan bagian bawah pada umumnya terdapat kuman S pneumoniae, H
influenzae, dan Moraxella catarrhalis. Pasien dengan penyakit berat
memilki prevalensi yang lebih tinggi pada organism Gram-negative seperti
Pseudomonas. Penggunaan antibiotik untuk terapi eksaserbasi akut sangat
membantu. Penggunaan antibiotik yang paling berguna bagi pasien dengan
kondisi eksaserbasi diikuti dengan 2 karakteristik dari peningkatan dispnea,
produksi sputum, dan sputum purulen (criteria The Winnipeg). Tidak ada
bukti yang menunjang pemakaian antibiotik berkelanjutan atau sebagai
profilaksis dapat mencegah eksaserbasi.

IV. Agen Mukolitik


POK, sekresi kental dari paru berisi mukus yang berasal dari
glikoprotein dan leukosit yang berasal dari DNA. Agen mukolitik dapat
mengurangi kekentalan sputum dan meningkatkan pembersihan sekresi.
Meskipun agen mukolitik menunjukkan pengurangan batuk dan
ketidaknyamanan bagian dada depan, agen mukolitik ini tidak
memperlihatkan perbaikan dari dispnea dan fungsi dari paru-paru.
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunana Dokter Paru Indonesia.2003. Pedoman Diagnosis Dan


Penatalaksanaan PPOK Di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia
2. Perhimpunana Dokter Paru Indonesia.2011. Pedoman Diagnosis Dan
Penatalaksanaan PPOK Di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia
3. Lynn S.Bickle. BATES buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi
8 .EGC
4. Djojodibroto, R A. 2009. Emfisema. Dalam: Respirologi. Jakarta: EGC. Hal:
116-118.
5. Perhimpunana Dokter Paru Indonesia.2003. Emfisema, penyakit yang
melemahkan fungsi paru-paru . Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

Anda mungkin juga menyukai