Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

PNEUMONIA PADA ANAK

A. DEFINISI
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai
parenkim paru. Menurut anatomis pneumonia pada anak dibedakan menjadi 3 yaitu
pneumonia lobaris, pneumonia lobularis (bronchopneumonia), Pneumonia interstisialis
(Mansjoer, 2000).
Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia yang mempunyai
pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi dalam bronki
dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. Pada bronkopneumonia terjadi
konsolidasi area berbercak. (Smeltzer,2003).
Jadi bronkopneumonia adalah radang paru dalam satu atau lebih area dalam bronki
dan meluas ke perenkim paru.

B. KLASIFIKASI
Berdasarkan tempat letak anatomisnya, pneumonia dapat diklasifikasikan menjadi
empat, yaitu (Price, 2005):
a. Pneumonia lobaris
Seluruh lobus mengalami konsolidasi, eksudat terutama terdapat intra alveolar.
Pneumococcus dan Klebsiella merupakan organism penyebab tersering.
b. Pneumonia nekrotisasi
Disebabkan oleh jamur dan infeksi tuberkel. Granuloma dapat mengalami nekrosis
kaseosa dan membentuk kavitas.
c. Pneumonia lobular/bronkopneumonia
Adanya penyebaran daerah infeksi yang bebercak dengan diameter sekitar 3 sampai 4
cm yang mengelilingi. Staphylococcus dan Streptococcus adalah penyebab infeksi
tersering.
d. Pneumona interstitial
Adanya peradangan interstitial yang disertai penimbunan infiltrate dalam dinding
alveolus, walaupun rongga alveolar bebas dari eksudat dan tidak ada konsolidasi.
disebabkan oleh virus atau mikoplasma.
Menurut Depkes RI (2002) klasifikasi pneumonia menurut program P2 ISPA antara
lain :
a. Pneumonia sangat berat
Ditandai dengan sianosis sentral dan tidak dapat minum, harus dirawat di rumah sakit.
b. Pneumonia berat
Ditandai dengan penarikan dinding dada, tanpa sianosis dan dapat minum, di rawat
rumah sakit dan diberi antibiotic.
c. Pneumonia sedang
Ditandai dengan tidak ada penarikan dinding dada dan pernafasan cepat, tidak perlu
dirawat, cukup diberi antibiotik oral.
d. Bukan pneumonia
Hanya batuk tanpa tanda dan gejala seperti di atas, tidak perlu dirawat, tidak perlu
antibiotik.
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Kesulitan dan sakit pada saat pernafasan
a. Nyeri pleuritik
b. Nafas dangkal dan mendengkur
c. Takipnea
d. Bunyi nafas di atas area yang menglami konsolidasi
a) Mengecil, kemudian menjadi hilang
b) Krekels, ronki, egofoni
c) Gerakan dada tidak simetris
d) Menggigil dan demam 38,8 C sampai 41,1C, delirium
e) Diafoesis
f) Anoreksia
g) Malaise
h) Batuk kental, produktif
i) Gelisah
j) Sianosis (Area sirkumoral, dasar kuku kebiruan)

D. ETIOLOGI
1. Bakteri : Pneumokokus merupakan penyebab utama pneumonia, dimana pada anak-
anak serotipe 14, 1, 6, dan 9, Streptokokus dimana pada anak-anak dan bersifat
progresif, Stafilokokus, H. Influenza, Klebsiela, M. Tuberkulosis, Mikoplasma
pneumonia.
2. Virus : Virus adeno, Virus parainfluenza, Virus influenza, Virus respiratori sinsisial.
3. Jamur : Kandida, Histoplasma, Koksidioides.
4. Protozoa : Pneumokistis karinii.
5. Bahan kimia :
a. Aspirasi makanan/susu/isi lambung
b. Keracunan hidrokarbon (minyak tanah, bensin, dan sebagainya).

E. FAKTOR RESIKO
Faktor-faktor risiko kesakitan (morbiditas) pneumonia adalah antara lain umur, jenis
kelamin, gizi kurang, riwayat BBLR, pemberian ASI yang kurang memadai, defisiensi
vitamin A, status imunisasi, polusi udara, kepadatan rumah tangga, ventilasi rumah, dan
pemberian makanan yang terlalu dini (Depkes RI, 2004). Selain itu, dari sebuah hasil
penelitian diketahui faktor-faktor risiko lain yang dapat meningkatkan insidens pneumonia
yaitu perilaku ibu dalam pengobatan, lamanya waktu anak berada di dapur, riwayat ke
Posyandu dalam 3 bulan terakhir, serta pendapatan rumah tangga. Jika diklasifikasikan,
maka faktor-faktor risiko pneumonia dapat dibedakan atas faktor anak, faktor orang tua,
dan faktor lingkungan.
1. Faktor Anak
a. Umur
Umur merupakan salah satu faktor risiko utama pada beberapa penyakit. Hal ini
disebabkan karena umur dapat memperlihatkan kondisi kesehatan seseorang. Anak-anak
yang berumur 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia dibandingkan anak-
anak yang berumur di atas 2 tahun. Hal ini disebabkan imunitas yang belum sempurna dan
lubang pernapasan yang masih relatif sempit (Depkes RI dalam Tantry, 2008). Umur yang
sangat muda dan sangat tua juga lebih rentan menderita pneumonia yang lebih berat (Ewig
dalam Machmud, 2006 ). Penelitian Tuparsi di Filipina telah membuktikan bahwa
morbiditas pneumonia berhubungan dengan status sosial ekonomi yang rendah serta umur
balita yang kurang dari 1 tahun. Hasil surveilans pada tahun 1998/1999 juga
memperlihatkan bahwa proporsi pneumonia pada bayi 14,1% lebih tinggi daripada pada
balita (Herman, 2002). Balita juga rentan terhadap risiko kematian akibat pneumonia.
Semakin muda umur seorang balita penderita ISPA/pneumonia, maka semakin besar risiko
untuk meninggal daripada usia yang lebih tua (Sutrisna dalam Tantry, 2008 ).
b. Jenis Kelamin
Di dalam buku pedoman P2 ISPA, disebutkan bahwa laki-laki adalah faktor risiko yang
mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI, 2004). Penelitian di Srilanka
memperlihatkan bahwa balita dengan jenis kelamin laki-laki mempunyai risiko 2,19 kali
lebih tinggi dibandingkan perempuan (Dharmage et al dalam Herman, 2002 ). Penelitian di
Uruguay juga menunjukkan bahwa pada tahun 1997-1998, 56% penderita pneumonia yang
dirawat di rumah sakit adalah laki- laki (Pirez dalam Machmud: 2006 ).
c. Riwayat BBLR
BBLR atau bayi berat lahir rendah adalah bayi (neonatus) yang lahir dengan berat
kurang dari 2500 gram. Bayi dan balita dengan BBLR umumnya lebih berisiko terhadap
kematian, bahkan sejak masa-masa awal kehidupannya. Hal ini disebabkan karena zat anti
kekebalan di dalam tubuhnya belum sempurna (Molyneux dalam Tantry, 2008). Sebuah
penelitian juga menyebutkan bahwa bayi 0-4 bulan dengan riwayat BBLR memiliki risiko
yang lebih besar untuk menderita pneumonia (Abdullah dalam Tantry, 2008).
d. Pemberian ASI
ASI (Air Susu Ibu) adalah air susu yang alami diproduksi oleh ibu dan merupakan
sumber gizi yang sangat ideal dan berkomposisi seimbang sesuai dengan kebutuhan
pertumbuhan bayi, sehingga dapat dikatakan ASI adalah makanan yang paling sempurna
bagi bayi, baik kuantitas maupun kualitasnya (Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan,
2000). ASI mengandung nutrisi dan zat-zat penting yang berguna terhadap kekebalan tubuh
bayi. Zat-zat yang bersifat protektif tersebut dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit
infeksi. Oleh sebab itu, sangat penting bagi bayi untuk segera diberikan ASI sejak lahir
karena pada saat itu bayi belum dapat memproduksi zat kekebalannya sendiri.
Pemberian ASI ternyata dapat menurunkan risiko pneumonia pada bayi dan balita.
Penelitian Widiawati di Klapa Nunggal, Bogor menunjukkan bahwa balita yang tidak
mendapatkan ASI lebih berisiko 4,59 kali menderita pneumonia dibandingkan yang telah
mendapatkan ASI (Tantry, 2008). Penelitian di Rwanda juga melaporkan hal yang sama.
Bayi yang dirawat di rumah sakit karena pneumonia lebih berisiko meninggal dengan Case
Fatality Ratenya dua kali lebih besar pada bayi yang tidak memperoleh ASI (Victora dalam
Machmud, 2006).
e. Status Gizi
Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan derajat kesehatan, khususnya
kesehatan anak. Status gizi pada anak dapat dinilai dari pengukuran rasio berat badan dan
tinggi (panjang) badan. Status gizi yang baik dapat diperoleh dari asupan gizi yang tentu
saja cukup dan seimbang. Kekurangan gizi (malnutrisi) dapat terjadi pada bayi dan anak dan
akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak diatasi
secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan
dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus
periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak
memperoleh asupan gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal (Depkes RI, 2006).
f. Status Imunisasi
Pada dasarnya beberapa penyakit-penyakit infeksi yang terjadi pada anak-anak
dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu antara lain difteri, pertusis, tetanus, hepatitis,
tuberkulosis, campak dan polio. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa pneumonia juga
merupakan penyakit yang dapat dicegah melalui pemberian imunisasi, yaitu dengan
imunisasi campak dan pertusis (Kanra dalam Machmud, 2006). Penyakit pertusis berat
dapat menyebabkan infeksi saluran napas berat seperti pneumonia. Oleh karena itu,
pemberian imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, dan Tetanus) dapat mencegah pneumonia.
Akan tetapi, kini telah berkembang di dunia sebuah vaksin yang penggunaannya dapat
menurunkan kejadian penyakit infeksi pneumokokus (IPD) pada bayi dan anak-anak.
Pemberian vaksin ini merupakan tindakan pencegahan yang dipercaya sebagai langkah
protektif setelah diketahui bahwa saat ini resistensi kuman
terhadap antibiotik semakin meningkat. Setelah divaksinasi, bayi dan anak-anak akan
memperoleh Herd Immunity atau kekebalan populasi. WHO telah merekomendasikan
penggunaan vaksin pneumokokus konjugasi (PCV-7) ini di setiap negara dalam program
imunisasi nasional, khususnya pada negara dengan mortalitas anak usia <5 tahun mencapai
lebih dari 50 kematian per 1000 kelahiran atau mencapai lebih dari 50.000 kematian per
tahunnya (WHO dalam Weekly Epid, 2006). Meskipun telah memperoleh izin edar dari
Badan POM, Menteri Kesehatan RI menyebutkan bahwa vaksin pneumokokus konjugasi
belum ditetapkan sebagai Program Imunisasi Nasional di Indonesia (Pusat Komunikasi
Publik, Depkes RI, 2009).
g. Defisiensi Vitamin A
Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan adanya hubungan antara kejadian
pneumonia dengan pemberian vitamin A. Penelitian Herman (2002) menunjukkan bahwa
balita yang tidak mendapat vitamin A dosis tinggi secara lengkap 4,1 kali berisiko terhadap
kejadian pneumonia.
Akan tetapi, hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemberian vitamin A berguna
dalam mengurangi beratnya penyakit dan mencegah terjadinya kematian akibat pneumonia.
Pemberian vitamin A dikhususkan pada balita berumur 6 bulan sampai 2 tahun yang dirawat
di rumah sakit karena campak dan komplikasi pneumonia (Kanra dalam Machmud, 2006).
Oleh karena itu, jika anak menderita pneumonia tetapi telah memperoleh vitamin A
sebelumnya dalam jangka waktu tertentu, maka anak tersebut tidak akan menderita
pneumonia berat dan dapat mencegah mortalitas. Penelitian Sutrisna pada tahun 1993
menunjukkan balita yang tidak memperoleh suplementasi vitamin A berisiko 14,8 kali untuk
meninggal dibandingkan dengan yang telah disuplementasi (Herman, 2002).
h. Pemberian Makanan Terlalu Dini
Pemberian makanan terlalu dini kepada bayi dapat mengakibatkan bayi terkena
pneumonia (Depkes RI, 2004). Pada bulan-bulan pertama kehidupannya, belum mampu
menerima makanan. Hal ini disebabkan karena saluran pencernaannya yang belum
sempurna. Kekebalan tubuh pada bayi juga belum sepenuhnya terbentuk. Oleh karena itu
diperlukan asupan dari ibu yang diberikan kepada bayi melalui ASI. Pada dasarnya,
makanan mulai diperkenalkan ketika bayi sudah mencapai usia 6 bulan. Makanan juga
sangat rentan untuk tercemar oleh kuman.Pemberian makanan terlalu dini berpotensi
menimbulkan infeksi pada bayi karena bayi belum mampu mencernanya dengan baik
sehingga jika ada kuman yang masuk melalui makanan, bayi akan mudah terinfeksi
penyakit.
2. Faktor Orang Tua
a. Pendidikan Ibu
Pengetahuan seseorang terhadap suatu hal dapat diperoleh melalui jenjang pendidikan.
Di negara-negara berkembang, terdapat petunjuk yang jelas tentang adanya perbedaan
tingkat kelangsungan hidup anak yang berkaitan dengan pendidikan ibu (Ware dalam
Machmud, 2006). Pendidikan ibu adalah salah satu faktor yang secara tidak langsung
mempengaruhi kejadian pneumonia pada bayi dan balita (Sukar dalam Tantry, 2008).
b. Pengetahuan Ibu
Tingkat pengetahuan ibu berperan besar terhadap kejadian pneumonia balita. Hal ini
berkaitan dengan perilaku ibu dalam memberikan makanan yang memadai dan bergizi
kepada anaknya serta perilaku ibu dalam pencarian pengobatan. Pengetahuan lebih jauh
tentang penyakit pneumonia dan praktek pelayanan yang benar akan meningkatkan
keberhasilan dalam upaya penurunan angka kesakitan dan kematian pneumonia (Machmud,
2006).
c. Sosial Ekonomi
Faktor sosio-ekonomi merupakan salah satu kontributor utama dalam penyakit
pernapasan. Terdapat hubungan korelasi negatif antara status sosial ekonomi dengan
morbiditas infeksi saluran napas (Purwana dalam Machmud, 2006). Pada umumnya, status
ekonomi yang berhubungan dengan insidens pneumonia diukur dari besarnya rumah tangga,
banyaknya kamar, dan banyaknya orang yang menghuni tiap kamar (Foster dalam
Machmud, 2006). Masyarakat miskin juga identik dengan ketidakmampuannya dalam
pemenuhan kebutuhan dasar. Balita yang hidup dalam keluarga dengan sosial ekonomi
rendah cenderung kurang mendapat asupan makanan yang cukup sehingga lebih rentan
terkena penyakit.
Sosial ekonomi yang rendah dapat mempengaruhi upaya pencarian pengobatan. Salah
satu program yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat dalam upaya menurunkan
kematian akibat pneumonia balita tahun 1972 adalah dengan meningkatkan akses penduduk
miskin ke fasilitas pelayanan kesehatan (Dowell dalam Machmud, 2006).

F. PATOFISIOLOGI
Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh virus
penyebab Bronchopneumonia yang masuk ke saluran pernafasan sehingga terjadi
peradangan broncus dan alveolus. Inflamasi bronkus ditandai adanya penumpukan sekret,
sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual. Bila penyebaran kuman
sudah mencapai alveolus maka komplikasi yang terjadi adalah kolaps alveoli, fibrosis,
emfisema dan atelektasis.
Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan napas, sesak napas, dan napas
ronchi. Fibrosis bisa menyebabkan penurunan fungsi paru dan penurunan produksi
surfaktan sebagai pelumas yang berpungsi untuk melembabkan rongga fleura. Emfisema
(tertimbunnya cairan atau pus dalam rongga paru) adalah tindak lanjut dari pembedahan.
Atelektasis mngakibatkan peningkatan frekuensi napas, hipoksemia, acidosis respiratori,
pada klien terjadi sianosis, dispnea dan kelelahan yang akan mengakibatkan terjadinya gagal
napas. Secara singkat patofisiologi dapat digambarkan pada skema proses.
1. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja
sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat
plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan
jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini
dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
3. Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena
berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak
lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
G. PATWAY

Etiologi (virus, bakteri, jamur)

MK: ketidakefektifan
MK: defisiensi pengetahuan bersihan jalan nafas
Droplet terhirup

Kurang Sesak, ronkhi


pengetahuan, Masuk pada alveoli
informasi
Reaksi peradangan Obstuksi saluran nafas
Merangsang IL-1

Merangsang IL-1 PMN (leukosit & Konsolidasi-


makrofag meningkat) penumpukkan
eksudat di alveoli
Zat endogen pyrogen
Mengaktifasi cytokine Gangguan difusi O2
prostaglandin
Ekstravasasi cairan ke alveoli BGA abnormal

Berdistribusi ke transportasi O2 terganggu Konfusi, iritabilitas,


hipotalamus sianosis, dispneu,
pernafasan cuping hidung
HR meningkat,
Menggeser kelelahan, kelemahan
setpoint anterior MK: gangguan
pertukaran gas
Suhu tubuh MK: intoleransi
meningkat aktivitas Respon batuk

Demam, berkeringat
Peningkatan pemecahan Penggunaan otot
cadangan makanan bantu abdomen
Cairan tubuh <<

MK: resiko tinggi MK: ketidakseimbangan Refluk fagal


kekurangan volume cairan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Mual, muntah
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Sinar X
Mengidentifikasi distribusi structural (mis, lobar, bronkial); dapat juga menyatakan
abses luas/ infiltrate, ampiema (stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi
(bakterial); atau penyebaran/ perluasan infiltrate nodul (lebih sering virus).
b. GDA/ nadi oksimentari
Tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit
paru yang ada.
c. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah
Diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopi fiberoptik, atau biopsi
pembukaan baru untuk mengatasi organisme penyebab. Lebih dari 1 tipe organisme
ada: bakteri yang umum meliputi Diplococcus pneumonia, stpilococcus aereus, A-
hemolitik strepcoccus, Haemopilus influenza; CMV. Catatan: Kultur sputum dapat tak
mengidentifikasi semua organism yang ada. Kultur darah dapat menunjukkan
baktremia sementara.
d. JDL
Leukositosis biasanya ada, meskipun sel darah putih rendah terjadi pada infeksi virus,
kondisi tekanan imun seperti AIDS, memungkinkan berkembangnya pneumonia
bacterial
e. LED: meningkat
f. Pemeriksaan fungsi paru
Volume mungkin menurun (kogesti dan kolaps alveolar): tekanan jalan nafas mungkin
meningkat dan complain menurun. Mungkin terjadi pembebasan (hipoksemia).
a) Elektrolit: Natrium dan kalorida mungkin rendah
b) Bilirubin: mungkin meningkat
c) Aspirasi perkutan/ biopsy jaringan paru terbuka
d) Dapat menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik (CMV);
karaktristik sel raksasa (rubeolla) (Misnadiarly, 2008).

I. PENATALAKSANAAN
Pada penyakit yang ringan, mungkin virus tidak perlu antibiotic. Pada penderita yang
rawat inap (penyakit berat) harus segera diberi antibiotic. Pemilihan jenis antibiotic
didasarkan atas umur, keadaan umum penderita dan dugaan kuman penyebab.
1. Umur 3 bulan-5 tahun, bila toksis mungkin disebabkan oleh Streptokokus
pneumonia, Hemofilus influenza atau Stafilokokus. Pada umumnya tidak dapat
diketahui kuman penyebabnya, maka secara praktis dipakai :
2. Kombinasi :

1) Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/kg/24jam IM, 1-2 kali sehari, dan


Kloramfenikol 50-100 mg/kg/24 jam IV/oral, 4 kali sehari.

Atau kombinasi :

2) Ampisilin 50-100 mg/kg/24 jam IM/IV, 4 kali sehari dan Kloksasilin 50


mg/kg/24 jam IM/IV, 4 kali sehari.

Atau kombinasi :

3) Eritromisin 50 mg/kg/24 jam, oral, 4 kali sehari dan Kloramfenikol (dosis sda).

3. Umur < bulan, biasanya disebabkan oleh : Streptokokus pneumonia, Stafilokokus


atau Entero bacteriaceae.

Kombinasi :

1) Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/kg/24jam IM, 1-2 kali sehari, dan


Gentamisin 5-7 mg/kg/24 jam, 2-3 kali sehari.

Atau kombinasi :

2) Kloksasilin 50 mg/kg/24 jam IM/IV, 4 kali sehari dan Gentamisin 5-7 mg/kg/24
jam, 2-3 kali sehari.
4. Kombinasi ini juga diberikan pada anak-anak lebih 3 bulan dengan malnutrisi berat
atau penderita immunocompromized.
5. Anak-anak > 5 tahun, yang non toksis, biasanya disebabkan oleh
1) Streptokokus pneumonia :
a. Penisilin prokain IM atau
b. Fenoksimetilpenisilin 25.000-50.000 KI/kg/24 jam oral, 4 kali sehari atau
c. Eritromisin (dosis sda) atau
d. Kotrimoksazol 6/30 mg/kg/24 jam, oral 2 kali sehari.
e. Mikoplasma pneumonia : Eritromisin (dosis sda).
6. Bila kuman penyebab dapat diisolasi atau terjadi efek samping obat (misalnya
alergi) atau hasil pengobatan tidak memuaskan, perlu dilakukan reevaluasi apakah
perlu dipilih antibiotic lain.

Lamanya pemberian antibiotic bergantung pada :

1) kemajuan klinis penderita


2) jenis kuman penyebab
3) Indikasi rawat inap :
a. Ada kesukaran napas, toksis.
b. Sianosis
c. Umur kurang dari 6 bulan
d. Adanya penyulit seperti empiema
e. Diduga infeksi Stafilokokus
f. Perawatan di rumah kurang baik.

7. Pengobatan simptomatis :
1) Zat asam dan uap.
2) Ekspetoran bila perlu

8. Fisioterapi :
1) Postural drainase.
2) Fisioterapi dengan menepuk-nepuk.

J. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
a. Pengumpulan data
1. Indentitas
Meliputi indentitas klien, indentitas orang tua (ayah dan ibu) serta indentitas
penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama.
Anak sangat gelisah, dispnea, pernapasan cepat dan dangkal, diserai pernapasan
cuping hidupng, serta sianosis sekitar hidung dan mulut. Kadang disertai muntah
dan diare.atau diare, tinja berdarah dengan atau tanpa lendir, anoreksia dan muntah.
b) Riwayat penyakit sekarang.
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas
selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik sangat mendadak sampai 39-40oC dan
kadang disertai kejang karena demam yang tinggi.
c) Riwayat penyakit dahulu.
Pernah menderita penyakit infeksi yang menyebabkan sistem imun menurun.
d) Riwayat kesehatan keluarga.
Anggota keluarga lain yang menderita penyakit infeksi saluran pernapasan dapat
menularkan kepada anggota keluarga yang lainnya.
e) Riwayat kehamilan dan kelahiran
Perlu dikaji keadaan pada masa prenatal, natal dan natal.
f) Riwayat imunisasi
Yang sering berkaiatn adalah imunisasi BCG, DPT dan campak
g) Riwayat tumbuh kembang anak
Dalam hal ini pengkajiannya meliputi bagaimana adaptasi sosial klien, bahasa,
motorik halus dan motorik kasarnya disesuaikan dengan usia klien.
3. Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Perlu dikaji pada keluarga apakah keluarga mengerti tentang penyakit anaknya dan
dibawah kemana bila sakit
b) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada kasus ini pula makan dan minum klien cenderung menurun, karena adanya
sesak, batuk dan tidak jarang karena klien mengalami muntah dan diare
c) Pola eliminasi
Pada umumnya klien diare
d) Pola istirahat dan tidur
Biasanya klien terganggu karena sesak dan batuk
e) Pola aktivitas dan latihan
Pada umumnya klien tidak bisa beraktivitas (bermain) dengan baik
f) Pola peersepsi dan konsep diri
Keluarga akan khawatir dengan anak karena mereka tidak mengetahui apa yang
terjadi dan apa yang harus dilakukan pada anak yang sakit dan dampak dirawat di
rumah sakit
g) Pola sensasi dan kognitif
Disesuaikan dengan tahap tumbuh kembang anak
h) Pola reproduksi sosial
Perlu ditanyakan jenis kelamin pada klien,apakah ada kelainan dalam sistem
reproduksinya
i) Pola hubungan peran
Perlu dikaji bagaimana sianak beradaptasi dengan lingkungan baru dan
keluarganya
j) Pola penaggulangan stess
Perlu dikaji bagaimana sianak pola tingkah lakunya dalam mengatasi penyakitnya
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Dalam pola ini kadang ada yang mempercayakan diri pada hal-hal yang bersifat
gaib.
4. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Pada kasus ini klien lemah, suhu tinggi (390 400). Pernafasan cepat dan dangkal
(sesak nafas), batuk, adanya sianosis. Dapat juga terjadi kejang, gelisah sampai
penurunan tingkat kesadaran
b. Kulit, rambut, kuku
Pada umumnya klien lemah ini turgor kulitnya menurun, rembut normal, kuku bisa
cyanosis atau pucat
c. Kepala dan leher
Ubun-ubun cekung, mata tampak cowong karena kurang cairan akibat takipne,
diaphoresis. Intake peroral inadekuat. Leher terdapat kaku kuduk jika terjadi
infeksi lebih lanjut pada meningeal dan adanya pembesaran kelenjar lymfhe
sebagai kompensasi infeksi
d. Mata
Pada kasus ini mata klien tampak cowong karena kurang cairan akibat takipnea,
diaphoresis, intake peroral inadekuat
e. Telinga, hidung, mulut, dan tenggorokan
Pada umumnya telinga normal, hidung terdapat sekret yang kental, pernafasan
cuping hidung, adanya cyanosis, mukosa mulut kering, dan sulit menelan.
f. Dada dan thorak
Terjadi retraksi supra sternal atau intercostal hampir selalu ditemukan, inspeksi
seakan tertinggalpada sisi yang sakit, persensi akan redupdan vokal fremitus akan
meningkat atau melemah jika terjadi efusi pleura, adanya ronchi pada sisi yang
sakit dan weezing.
g. Abdomen
Terjadi keluhan dinding abdomen dan adanya pembesaran hepar dan nyeri tekan
bila terjadi dekompensisasi cordis
h. Ektremitas
Kekuatan otot cenderung melemah, akral dingin, pucat capillary refill time
terganggu.
i. Integumen
Kulit kerinf, turgor menurun dan akral dingin.

5. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
a) LED meningkat
b) HB cenderung tetap atau sedang menurun
c) Analisa Gas Darah : asidosis metabolik dengan atau tanpa retensi CO2
b. Radiologi
a) Tampak gambaran konsolidasi radang yang bersifat difus atau berupa bercak
yang mengikut sertakan alveoli secara tersebar.

6. Analisa data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa untuk menentukan masalh
penderita, Analisa merupakan proses intelektual yang meliputi kegiatan menyeleksi
data, mengklarifikasikan dan mengumpulkan data, mengaitkan dan menentukan
kesenjangan informasi, membandingkan dengan standart, menginterprestasikan
serta akhirnya membuat diagnosa keperwatan

7. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


1. Kersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi bronkus
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan pemasukan b.d faktor biologis
3. Kekurangan volume cairan b. d kegagalan mekanisme pengaturan

8. Rencana Keperawatan
Diagnosa Rencana Keperawatan
NIC NOC
Bersihan jalan nafas tidak efektif Setelah dilakukan NIC: airway manajement
berhubungan dengan sekresi bronkus perawatan ... x 24 jam Aktifitas:
klien dapat: - Buka jalan nafas
- mempertahankan - Atur posisi yang
kepatenan jalan nafas. memungkinkan ventilasi
- Mempertahankan maximum
ventilasi berkurang - dengarkan suara nafas
Dg Indikator: - Monitor dan oksigenasi
- Tidak ada spasme - pantau kelembaban
- Tidak ada cemas oksigenasi pasien
- Tidak ada suara - Kaji status pernafasan
tambahan - Berikan terapi sesuai
- RR normal program
- Mampu bernafas
dalam
- Ekspansi dan
simetris
- Tidakada retraksi
dada
- Mudah bernafas
- Tidak dyspnea

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari NOC: Status nutrisi, NIC: Eating disorder
kebutuhan tubuh berhubungan dengan setelah diberikan manajemen
ketidakmampuan pemasukan b.d faktor penjelasan dan Aktifitas:
biologis.(Sesak nafas)
perawatan selama ... x
24 jam kebutuhan - Tentukan kebutuhan
nutrisi ps terpenuhi kalori harian
dengan Indikator: - Ajarkan keluarga

- Pemasukan nutrisi tentang pentingnya

yang adekuat nutrien

- Pasien mampu - Monitoring TTV dan

menghabiskan diet nilai Laboratorium

yang dihidangkan - Monitor intake dan

- Tidak ada tanda-tanda output

malnutrisi - Pertahankan kepatenan

- Nilai laboratorim, pemberian nutrisi

protein total 8-8 gr%, parenteral

Albumin 3.5-5.4 gr%, - Pertimbangkan nutrisi

Globulin 1.8-3.6 gr%, enteral

HB tidak kurang dari NIC: terapi gizi


10 gr % Aktifitas:
- Membran mukosa - Monitor masukan
dan konjungtiva tidak makanan/ minuman dan
pucat hitung kalori harian
secara tepat
- Kaloborasi ahli gizi
- Pastikan dapat diet
TKTP
- Berikan perawatan mulut
- Pantau hasil
labioratoriun protein,
albumin, globulin, HB
- Sajikan makanan hangat
dengan variasi yang
menarik
Kekurangan volume cairan b.d NOC: Hidrasi, Manajemen cairan
kegagalan mekanisme pengaturan atau keseimbangan cairan - Hitung kebutuhan
regulasi adekuat, selama cairan harian klien
dilakukan tindakan - Pertahankan intake
keperawatan ... x 24 jam output tercatat secara
keseimbangan cairan adekuat
pasien adekuat - Monitor status hidrasi

Indikator: - Monitor nilai

- Urine output laboratorium yang

30ml/jam sesuai

- TTV dalam batas - Monitor TTV

normal - Berikan cairan secara

- Turgor kulit baik, tetap

membran mukosa - Tingkatkan masukan

lembab, urine jernih peroral


- Libatkan
keluargadalam
membantu peningkatan
masukan cairan
- Monitoring cairan
- Pantau keadaan urine
- Monitor nilai lab urine
- Monitor membran
mukosa, turgor, dan
tanda haus
- Monitor cairan per IV
line.
- Pertahankan pemberian
terapi cairan peri infus.

Anda mungkin juga menyukai