Oleh:
FAKULTAS HUKUM
2017
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Sinkronisasi Perjanjian Internasional
dan Hukum Nasional dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, untuk melengkapi
materi pelajaran Hukum Lingkungan. Tetapi, makalah ini disusun bukan hanya sebagai
pelengkap materi pelajaran, namun juga untuk menambah wawasan masyarakat umum yang
membaca makalah tentang pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi baik melalui dukungan moril maupun material sehingga terselesainya makalah ini
dengan tepat waktu.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dalam hal
isi makalah, oleh sebab itu kami mengharapkan adanya kritik dan juga saran yang membangun
dari pembaca agar kami dapat melakukan hal yang lebih baik lagi kedepannya. Kami berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah lingkungan hidup, dalam bahasa Inggris disebut dengan environment, dalam
bahasa Belanda disebut dengan millieu atau dalam bahasa Perancis disebut dengan lenvironment.1
Pengertian lingkungan hidup juga dirumuskan di dalam Pasal 1 angka 1 UUPPLH, bahwa:
Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
peri kehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.2
Berdasarkan beberapa definisi mengenai lingkungan hidup yang telah dikemukakan di
atas, maka dapat diuraikan unsur-unsur yang terdapat di dalam pengertian lingkungan hidup
secara terperinci, antara lain:3
1. Kesatuan Ruang
Maksud kesatuan ruang, yang berarti ruang adalah suatu bagian tempat berbagai
komponen lingkungan hidup bisa menempati dan melakukan proses interaksi di antara
berbagai komponen lingkungan hidup tersebut. Jadi, ruang merupakan suatu tempat
berlangsungnya ekosistem, misalnya ekosistem pantai, ekosistem hutan. Ruang atau
tempat yang mengitari berbagai komponen lingkungan hidup yang merupakan suatu
ekosistem satu sama lain pada hakikatnya berwujud pada satu kesatuan ruang.
2. Semua Benda
Benda dapat dikatakan juga sebagai materi atau zat. Materi atau zat merupakan segala
sesuatu yang berada pada suatu tempat dan pada suatu waktu. Pendapat kuno
mengatakan suatu benda terdiri atas empat macam materi asal (zat asal), yaitu api, air,
tanah, dan udara. Dalam perkembangan sekarang empat materi tersebut tidak dapat lagi
disebut zat tunggal (zat asal). Perkembangan ilmu pengetahuan alam dan teknologi,
materi adalah apa saja yang mempunyai massa dan menempati suatu ruang baik yang
berbentuk padat, cair, dan gas. Materi ada yang dapat dilihat dan dipegang seperti kayu,
kertas, batu, makanan, pakaian. Ada materi yang bisa dilihat, tetapi tidak bisa dipegang
seperti air, ada pula materi yang tidak dapat dilihat dan dipegang seperti udara, memang
udara tidak dapat dilihat dan dipegang, tetapi memerlukan teompat.
3. Daya
1
N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan edisi dua, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm 4
2
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 2009
3
Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan: Tinjauan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm.
2-3
4
Daya atau yang disebut juga dengan energi atau tenaga merupakan sesuatu yang
memberi kemampuan untuk menjalankan kerja atau dengan kata lain energi atau tenaga
adalah kemampuan untuk melakukan kerja. alam lingkungan hidup penuh dengan energi
yang berwujud seperti energi cahaya, energi panas, energi magnet, energi listrik, energi
gerak, energi kimia, dan lain-lain.
4. Keadaan
Keadaan disebut juga dengan situasi dan kondisi. Keadaan memiliki berbagai ragam
yang satu sama lainnya ada yang membantu berlangsungnya proses kehidupan
lingkungan, ada yang merangsang makhluk hidup untuk melakukan sesuatu, ada juga
yang mengganggu berprosesnya interaksi lingkungan dengan baik. Sebagai contoh
misalnya kucing atau musang dalam waktu gelap bukannya tidak bisa melihat justru
lebih mempertajam matanya untuk mencari mangsa atau makanannya. Dalam keadaan
berisik, pada umumnya orang sulit untuk tidur nyenyak atau pulas. Dalam keadaan
miskin masyarakat cenderung merusak lingkungannya.
5. Makhluk Hidup (termasuk manusia dan perilakunya)
Makhluk hidup merupakan komponen lingkungan hidup yang sangat dominan dalam
siklus kehidupan. Makhluk hidup memiliki ragam yang berbeda satu sama lainnya.
Makhuk hidup seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan peranannya dalam lingkungan
hidup sangat penting, tetapi makhluk hidup seperti itu tidaklah merusak dan menemari
lingkungan, lain halnya dengan manusia.
Dalam pengelolaan lingkungan hidup ditegaskan pula kewenangan negara, yaitu hak
menguasai dan mengatur oleh negara dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak memberikan wewenang untuk mengatur
peruntukan, pengembangan, penggunaan, penggunaan kembali (daur ulang), penyediaan,
pengelolaan dan pengawasan melalui perbuatan hukum dan mengatur pajak serta retribusi
lingkungan. Oleh karena itu, wawasan dalam menyelenggarakan pengelolaan lingkungan hidup
4
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 2009
5
di Indonesia adalah wawasan nusantara, karena kondisi obyektif geografi nusantara yang terdiri
dari ribuan pulau yang tersebar dan terbentang di khatulistiwa serta terletak pada posisi silang
yang sangat strategis, memiliki karakteristik yang berbeda dengan negara lain.5
Menurut Munadjat, wawasan nusantara adalah cara pandang bangsa dan negara
Indonesia tentang diri dan lingkungannya, yang (nyatanya) sarwa-nusantara (bersifat serba
nusantara). Wawasan nusantara memandang perwujudan Indonesia sebagai satu kesatuan utuh
menyeluruh, baik dari aspek fisik alamiah maupun dari aspek sosial politik ialah citra
lingkungan hidup nusantara.6
Kekayaan sumber daya alam yang terdapat di dalam lingkungan hidup manusia dapat
menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat apabila dikelola, diolah dan dimanfaatkan dengan
baik dan benar. Hal ini sesuai dengan perintah Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
yang berbunyi:7
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
5
Sodikin, Op.Cit., hlm. 26
6
Ibid., hlm. 29.
7
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
8
Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 4
6
faktor ekologi dalam sistem pendukung kehidupan. Hutan melakukan proses fotosintesis yang
budaya juga mempunyai peranan yang sangat penting, bahkan menentukan dalam daya dukung
terlanjutkan.9
Lebih jauh Otto Soemarwoto mengatakan bahwa sumber daya lingkungan milik umum
sering dapat digunakan untuk berbagai macam peruntukan secara simultan, tanpa suatu
peruntukan mengurangi manfaat yang dapat diambil dari peruntukan lain sumber daya yang
sama itu. Misalnya, air sungai dapat digunakan sekaligus untuk melakukan proses produksi
dalam pabrik, mengangkut limbah, pelayaran sungai, produksi ikan, dan keperluan rumah
tangga.
Bertitik tolak dari pendapat Otto Soemarwoto, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam
realitasnya lingkungan merupakan sumber daya yang memiliki kemampuan dalam melakukan
regenerasi pada dirinya, apalagi terhadap sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Oleh
karena itu, dalam menata lingkungan sebagai sumber daya, maka yang perlu dilakukan adalah
agar melakukan pengelolaan dengan bijaksana.10
Kepedulian umat manusia terhadap lingkungan hidup pada saat ini sudah merupakan kep
edulian global dalam rangka kepentingan hidup umat itu sendiri. Kepedulian sekelompok
manusia saja terhadap lingkungan hidup tidak cukup oleh karena perubahan suatu lingkungan
yang dampaknya bukan saja terbatas secara lokal, tetapi berdampak global. Itulah sebabnya
mengapa "United Nations Conference on the Human Environment" yang diselenggarakan di
Stockholm tanggal 5 - 16 Juni 1972 telah menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan hidup
demi pelestarian kemampuan lingkungan hidup merupakan kewajiban dari segenap umat
manusia dan setiap pemerintah di seluruh dunia.
Pada tahun 1982 Indonesia mengeluarkan undang-undang yang sangat penting mengenai
pengelolaan lingkungan hidup, yaitu: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
KetentuanKetentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (filosofinya bertumpu pada
hukum lingkungan sebagai payung), yang kemudian telah diganti dengan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut Undang-
Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup/UUPLH) (filosofinya bertumpu pada pengelolaan).
Kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup dengan diundangkannya undang-undang
lingkungan hidup tersebut merupakan tanggapan (response) pemerintah dan bangsa Indonesia
9
Ibid., hlm 3
10
Ibid., hlm. 4
7
terhadap hasil United j bnva sswzZANations Conference on The Human Environment yang
diselenggarakan tanggal 5 sampai dengan 16 Juni 1972 di Stockholm itu.
Karya ilmiah ini akan membahas teori-teori tentang hubungan perjanjian internasional
dengan hukum nasional mengenai dalam pengelolaan hidup di Indonesia,. Karya ilmiah ini
kemudian mengambil judul: Sinkronisasi Perjanjian Internasional dan Hukum Nasional
dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia?
2. Apa tujuan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia?
C. Metode Penulisan
1. Sumber dan Jenis Data
Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan makalah ini berasal dari berbagai
literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Beberapa
jenis referensi utama yang digunakan adalah buku pelajaran Hukum Internasional,
jurnal imiah edisi cetak maupun edisi online, dan artikel ilmiah yang bersumber dari
internet.
2. Pengumpulan Data
Metode penulisan bersifat studi pustaka. Informasi didapatkan dari berbagai literatur
dan disusun berdasarkan hasil studi dari informasi yang diperoleh. Penulisan
diupayakan saling terkait antar satu sama lain dan sesuai dengan topik yang dibahas.
3. Analisis Data
Data yang terkumpul diseleksi dan diurutkan sesuai dengan topik kajian. Kemudian
dilakukan penyusunan makalah berdasarkan data yang telah dipersiapkan secara
logis dan sistematis. 6
4. Penarikan Kesimpulan
Simpulan didapatkan setelah merujuk kembali pada rumusan masalah dan
pembahasan. Simpulan yang ditarik mempresentasikan pokok bahasan makalah,
serta didukung dengan saran praktis sebagai rekomendasi selanjutnya.
8
BAB II
PEMBAHASAN
11
Dita Putri Effendi dan Indah Nur Azizah, Jurnal Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut dalam Hukum Laut
Internasional, 2016
12
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hlm 45
13
Nita Triana, Pendekatan Ekoregion dalam Sistem Hukum Pengelolaan Sumber Daya Air Sungai di Era Otonomi
Daerah, Pandecta, Volume 9 Nomor 2 Desember 2014, hlm 158
14
Djanius Djamin, Pengawasan dan Pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014),
hlm. 45
9
Tepat sepuluh tahun setelah berlangsungnya Konferensi Lingkungan Hidup Sedunia
(UNCHE, United Nations Conference on the Human Environment, 1972, Stockholm), negara kita
berhasil merumuskan satu produk perundangan penting di bidang lingkungan hidup.15
Perkembangan selanjutnya, pada 11 Maret 1982, diundangkan sebuah produk hukum
mengenai pengelolaan lingkungan hidup, dengan nama Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, sering disingkat dengan
UUPLH. Dengan hadirnya Undang-Undang Lingkungan ini, terbukalah lembaran baru bagi
kebijaksanaan lingkungan hidup di Indonesia guna terciptanya pengendalian kondisi
lingkungan yang memiliki harmoni yang baik dengan dimensidimensi pembangunan.16
Undang-undang ini kita nilai begitu penting karena Undang-undang ini lahir dalam
situasi sebagai berikut:17
1. Saat negara kita sedang giatnya melancarkan pembangunan dengan pesat di semua segi
kehidupan. Dalam kenyataan, segi apapun yang akan diambil untuk tujuan membangun,
Undang-undang ini akan selalu berhadapan dengan aspek ekologi lingkungan hidup.
Pembangunan ialah hasil proses dari sumber daya (alam, lingkungan hidup, manusia).
2. UUPLH adalah Undang-undang pokok yang merupakan dasar peraturan pelaksanaan bagi
semua sektor yang menyangkut lingkungan hidup. Undang-undang ini berfungsi sebagai
ketentuan payung (umbrella provision) bagi peraturan-peraturan lingkungan hidup yang sudah
ada (lex lata) maupun bagi pengaturan lebih lanjut (lex feranda) atas lingkungan hidup.
3. Corak ekologis negara kita sangat spesifik. Negara kita merupakan wilayah berkepulauan
(Nusantara) yang terdiri dari dua pertiga wilayah laut, yaitu terletak di antara dua benua, Asia
dan Australia, serta dua lautan raksasa yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Negara kita
memiliki sumber alam yang kaya raya dan dihuni oleh penduduk dengan berbagai corak ragam
suku, budaya, agama, tingkatan sosial ekonomi, dan lain-lain.
Adapun dasar-dasar pemikiran yang diberikan oleh UUPLH ini adalah konsep
perpaduan prinsip-prinsip pembangunan dan lingkungan serta ekologi yang lazim disebut
dengan Prinsip Ecodevelopment, yang dinyatakan sebagai berikut:18
1. Lingkungan hidup Indonesia adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus kita
kembangkan berdasarkan asas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia
sebagai pribadi; dalam hubungan manusia dengan manusia; dalam hubungannya dengan alam
lingkungan; dalam hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa maupun dalam
kehidupan lahiriah serta kebahagiaan batiniah.
15
N.H.T. Siahaan, Op. cit., hlm. 152
16
N.H.T. Siahaan, Op. cit., hlm. 34
17
N.H.T. Siahaan, Op. cit., hlm. 152
18
N.H.T. Siahaan, Op. cit., hlm. 153
10
2. Sumber daya alam yang dapat digunakan untuk menuju kesejahteraan harus dilestarikan
kemampuan ekosistem secara serasi dan seimbang dengan cara bijaksana, terpadu, dan
menyeluruh dengan memperhitungkan generasi kini dan mendatang.
3. Pengelolaan lingkungan berasaskan kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk
menunjang pembangunan yang berkesinambungan.
4. Hanya dalam lingkungan yang serasi dan seimbang dapat tercapai kehidupan optimal. UULH
1982 memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menandai lahirnya suatu bidang hukum baru,
yakni hukum lingkungan karena ketentuan-ketentuan itu mengandung konsep-konsep yang
sebelumnya tidak dikenal dalam bidang hukum. Di samping itu, ketentuan-ketentuan UULH
1982 memberikan landasan bagi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup.19
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup telah menandakan awal pengembangan perangkat hukum
sebagai dasar bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai bagian integrasi dari
upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Dalam kurun
waktu lebih dari satu dasawarsa sejak diundangkannya undang- undang tersebut, kesadaran
lingkungan hidup masyarakat telah meningkat dengan pesat, yang ditandai antara lain oleh
makin banyaknya di bidang lingkungan hidup selain swadaya masyarakat. Terlihat pula
peningkatan kepeloporan masyarakat dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga
masyarakat tidak hanya sekedar berperan serta, tetapi juga mampu berperan serta secara nyata.20
Asas-asas hukum yang diadopsi UUPLH 1982 dirasakan banyak membawa kemajuan
dalam pembangunan lingkungan. Prinsip dan pola pembinaan lingkungan hidup sedemikian
majunya untuk diintroduksikan ke dalam pembangunan nasional dan hendaknya diakui bahwa
pengenalan asas-asas itu ke dalam sistem hukum guna memulihkan prinsip pembangunan yang
berwawasan lingkungan tidak kalah dengan negara lain.21
Hanya saja tentunya harus diakui bahwa dalam aspek-aspek pelaksanaannya, negara kita
tidak bisa banyak berbicara mengenai hal itu, karena mengenai segala sesuatu tentang
pelaksanaan asas (konsistensi), kita selalu serba tertinggal dengan negara lain.45 Sejak
pengundangan UULH 1982, kualitas hidup di Indonesia ternyata tidak semakin baik dan
banyak kasus hukum lingkungan hidup tidak dapat terselesaikan dengan baik. Para pengambil
kebijakan di pemerintah, khususnya di lingkungan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
dan BAPEDAL, berpandangan bahwa kegagalan dari kebijakan pengelolaan lingkungan hidup
19
Takdir Rahmadi, Op. cit., hlm. 50
20
Sodikin, Op.cit., hlm.19
21
N.H.T. Siahaan, Op. cit., hlm. 154
11
di Indonesia akibat dari kelemahan penegakan hukum UULH 1982. Dan kelemahan penegakan
hukum itu bersumber dari UULH 1982 itu sendiri.22
Perkembangan global mengenai isu lingkungan, terutama setelah berlangsungnya Earth
Summit di Rio de Jainero, 1992, yang lebih dikenal dengan KTT Rio telah menjadi salah satu
alasan mengapa UUPLH 1982 harus direvisi, karena bila melihat hasil-hasil yang dicapai dalam
KTT Rio, terlihat bahwa dengan UUPLH 1982 tidak banyak hal yang dapat kita lakukan dalam
rangka membuat kebijakan pembangunan lingkungan sesuai dengan majunya prinsip-prinsip
yang telah diadopsi dalam KTT Rio.23
Deklarasi Rio tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang juga disebut sebagai The
Earth Charter merupakan soft-law agreements, yang memuat 27 prinsip kemudian ditambah
dengan banyaknya perkembangan mengenai konsep dan pemikiran mengenai masalah
lingkungan, serta dengan mengingat hasil-hasil yang dicapai masyarakat dunia melalui KTT Rio
tahun 1992, dirasakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 sudah tidak banyak lagi
menjangkau perkembangan-perkembangan yang ada sehingga perlu ditinjau dengan membuat
penggantinya. Untuk itulah lima tahun kemudian setelah berlangsungnya KTT Rio, dibuat
UUPLH yang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982, yakni Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, diundangkan tanggal
19 September 1997 melalui Lembaran Negara No. 68 Tahun 1997. UUPLH baru atau UU No.
23 Tahun 1997 memuat berbagai peraturan sebagai respons terhadap berbagai kebutuhan yang
berkembang yag tidak mampu diatasi melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982.
Demikian juga Undang-undang baru ini dimaksudkan untuk menyerap nilai-nilai yang bersifat
keterbukaan, paradigma pengawasan masyarakat, asas pengelolaan dan kekuasaan negara
berbasis kepentingan umum (bottom-up), akses publik terhadap manfaat sumber daya alam, dan
keadilan lingkungan (environmental jusice).24
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 ini memuat norma-norma hukum lingkungan
hidup. Selain itu, Undang-undang ini menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan semua
peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang lingkungan hidup yang
berlaku, yaiu peraturan perundang-undangan mengenai perairan, pertambangan dan energi,
kehutanan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, industri, permukiman,
penataan ruang, tata guna tanah, dan lain-lain.
UULH 1997 tetap memuat konsep-kosep yang semula dituangkan dalam UULH 1982,
misalnya kewenangan negara, hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan lingkungan
22
Takdir Rahmadi, Op. cit., hlm. 50
23
Op. cit., hlm. 154
24
N.H.T. Siahaan, Op. cit., hlm. 35
12
hidup, perizinan, AMDAL, penyelesaian sengketa dan sanksi pidana. Selain itu, UULH 1997
memuat konsep-konsep atau hal-hal yang sebelumnya tidak diatur dalam UULH 1982.
Misalnya, di bidang hak masyarakat, UULH 1997 mengakui hak masyarakat untuk
mendapatkan informasi. Di bidang instrumen pengelolaan lingkungan, UULH 1997 mengatur
penerapan audit lingkungan. Di bidang penyelesaian sengketa, UULH 1997 mengatur
penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atas
dasar kebebasan memilih para pihak. Di bidang sanksi pidana, UULH 1997 memberlakukan
delik formil di samping materil dan delik korporasi.25
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 memang belum beperan maksimal sebagai
dasar menangani masalah lingkungan dalam hubungannya dengan pembangunan. Demikian
pula dengan konsep-konsep yang dicapai dalam Deklarasi Rio, belum banyak yang diserap
sebagai instrumen hukum dan kebijakan menata lingkungan. Namun dari segi landasan hukum,
Undang-undang ini dapat dikatakan sudah cukup lebih baik dari Undang-undang sebelumnya.26
Perkembangan terbaru adalah pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN Tahun 2009 No.
140) yang menggantikan UULH 1997. Setidaknya ada empat alasan mengapa UULH 1997
perlu untuk digantikan oleh undang-undang yang baru. Pertama, UUD 1945 setelah perubahan
secara tegas menyatakan bahwa perkembangan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan
prinsip pembangunan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kedua,
kebijakan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara pemerintah dan
pemerintah daerah termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ketiga,
pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga
memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup. Ketiga alasan ini belum ditampung dalam
UULH 1997. Keempat, UULH 1997 sebagaimana UULH 1982 memiliki celah-celah
kewenangan penegakan hukum administratif yang dimiliki Kementerian Lingkungan Hidup
dan kewenangan penyidikan penyidik pejabat pegawai negara sipil sehingga perlu penguatan
dengan mengundangkan sebuah undang-undang baru guna peningkatan penegakan hukum.27
B. Tujuan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 menyebutkan tujuan pengelolaan
lingkungan hidup:28
25
Takdir Rahmadi, Op. cit., hlm. 51
26
N.H.T. Siahaan, Op. cit, hlm. 36
27
Op. cit, hlm. 51-52
28
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Nomor 68
Tahun 1997
13
Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab
negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, disebutkan tujuan
pengelolaan lingkungan hidup di dalam Pasal 3, yang berbunyi:29
Tujuan lingkungan hidup seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tersebut adalah adanya kata-kata pembangunan berwawasan lingkungan. Maksud
pembangunan berwawasan lingkungan adalah melaksanakan pembangunan dengan
memperhatikan kepentingan lingkungan atau dengan kata lain pembangunan tanpa merusak
lingkungan, sehingga akan berguna bagi generasi kini dan generasi mendatang.30
29
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran
Negara Nomor 140 Tahun 2009
30
Sodikin, Op.cit., hlm. 33
14
Lingkungan dan Pembangunan) sebagaimana tersaji dalam laporan Komisi yang terkenal
dengan Komisi Brundtland yang terumuskan berupa:31 If it meets the needs of the present
without compromising the ability of future generation to meet their own needs.
Istilah pembangunan berkelanjutan kini telah menjadi konsep yang bersifat subtle
infiltration, mulai dari perjanjian-perjanjian internasional, dalam implementasi nasional, dan
peraturan perundang-undangan. Susan Smith mengartikan sustainable development sebagai
meningkatkan mutu hidup generasi kini dengan mencadangkan modal/sumber alam bagi
generasi mendatang. Menurutnya, dengan cara ini dapat dicapai empat hal:35
1. Pemeliharaan hasil-hasil yang dicapai secara berkelanjutan atas sumber daya yang
dapat diperbarui;
2. Melestarikan dan menggantikan sumber alam yang bersifat jenuh (exhaustible
resources);
3. Pemeliharaan sistem-sistem pendukung ekologis; dan
31
Ibid., hlm. 147
32
N.H.T. Siahaan, Op.cit., hlm. 10
33
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 2009
34
N.H.T. Siahaan 2, Op.cit., hlm. 23
35
Ibid., hlm. 147-148
15
4. Pemeliharaan atas keanekaragaman hayati.
36
N.H.T. Siahaan, Op.cit., hlm 12
37
Ibid., hlm. 14-15
38
N.H.T. Siahaan 2, Op.cit., hlm. 23
16
BAB III
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
15
18