Anda di halaman 1dari 25

Post Operative Deep Vein Thrombosis

(Literature Review)

Oleh :

dr. Adhi Tanjung Laksono

Pembimbing :

dr. Darmawan Ismail, Sp.BTKV

STASE BEDAH DASAR

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NEGRI SEBELAS MARET
SURAKARTA

2017
BAB. I
PENDAHULUAN

Trombosis adalah terjadinya bekuan darah di dalam sistem kardiovaskuler termasuk arteri,
vena, ruangan jantung dan mikrosirkulasi.(6) Menurut Robert Virchow, terjadinya trombosis adalah
sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran darah dan komponen pembekuan darah (Virchow
Triad).

Trombus dapat terjadi pada arteri atau pada vena, trombus arteri di sebut trombus putih
karena komposisinya lebih banyak trombosit dan fibrin, sedangkan trombus vena di sebut trombus
merah karena terjadi pada aliran daerah yang lambat yang menyebabkan sel darah merah
terperangkap dalam jaringan fibrin sehingga berwarna merah.(6)

Trombosis vena dalam adalah satu penyakit yang tidak jarang ditemukan dan dapat
menimbulkan kematian kalau tidak di kenal dan di obati secara efektif. Kematian terjadi sebagai
akibat lepasnya trimbus vena, membentuk emboli yang dapat menimbulkan kematian mendadak
apabila sumbatan terjadi pada arteri di dalam paru-paru (emboli paru).

Insidens trombosis vena di masyarakat sangat sukar diteliti, sehingga tidak ada dilaporkan
secara pasti. Banyak laporan-laporan hanya mengemukakan data-data penderita yang di rawat di
rumah sakit dengan berbagai diagnosis.(6)

Di Amerika Serikat(6), dilaporkan 2 juta kasus trombosis vena dalam yang di rawat di rumah
sakit dan di perkirakan pada 600.000 kasus terjadi emboli paru dan 60.000 kasus meninggal karena
proses penyumbatan pembuluh darah.(3) Pada kasus-kasus yang mengalami trombosis vena perlu
pengawasan dan pengobatan yang tepat terhadap trombosisnya dan melaksanakan pencegahan
terhadap meluasnya trombosis dan terbentuknya emboli di daerah lain, yang dapat menimbulkan
kematian.

Pada makalah ini akan dibicarakan faktor resiko, manifestasi klinis, diagnosis dan
pengobatan trombosis vena dalam, terutama pada kondisi postoperative.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. A. Definisi
Deep vein thrombosis adalah keadaan dimana terbentuk bekuan darah di dalam vena
yang terletak pada bagian yang dalam dari tubuh.

II. B. Insidensi
Beberapa studi terakhir menunjukkan insiden DVT yang lebih besar pada pasien
traumatis. Spain et al mengidentifikasikan 184 pasien trauma risiko tinggi yang menerima
profilaksis DVT, baik dengan kompresi pneumatic bertahap ataupun, ketika cedera
ekstremitas bawah menghambat penggunaannya, dengan footpump. Alat pneumatic
digunakan pada 118 pasien dan footpump digunakan pada 66 pasien, dengan tanpa adanya
perbedaan pada skor umur-keparahan dan status respiratorik. Insiden DVT secara umum
adalah 5,4% dengan tanpa perbedaan di antara dua kelompok. Laporan lain oleh Napolitano
et al, sebuah penelitian selama 5 tahun yang mengevaluasi insiden, risk faktor, dan efikasi
dari profilaksis untuk DVT dan pasien trauma. Pasien berisiko tinggi diperiksa setiap dua
minggu dengan venous duplex scan, dan profilaksis DVT diberikan melalui penyuntikan low
molecul weight heparin dan kompresi pneumatik. 10% kejadian DVT asimptomatik
ditemukan pada grup ini.(2)
Retrospektif studi yang dilakukan oleh Meyer et al meneliti 183 pasien multiple
trauma dan 261 venous duplex scan. Semua pasien mendapatkan profilaksis baik dengan
kompresi pneumatik maupun dengan low molecul weight heparin. Dari 261 hasil scan, 6%
dinyatakan positif DVT tungkai bawah, dan 25% yang lain memiliki thrombus yang
terlokalisir di vena betis. Pada pasien yang simptomatik 15% positif DVT dan pada pasien
yang asimptomatik didapatkan 5% yang positif. Pasien dengan cedera spine memiliki insiden
DVT sebesar 18%.(2) Usia dewasa lebih rentan untuk terjadinya trombosis daripada anak-
anak.(3) DVT terutama terjadi pada kaki namun dapat juga terjadi pada lengan.(4)
II. C. Anatomi Normal(5)
Arteri-arteri mempunyai otot-otot yang tipis didalam dinding-dinding mereka supaya mampu
untuk menahan tekanan darah yang dipompa jantung keseluruh tubuh. Vena-vena tidak mempunyai
lapisan otot yang signifikan, dan disana tidak ada darah yang dipompa balik ke jantung kecuali
fisiologi. Darah kembali ke jantung karena otot-otot tubuh yang besar menekan/memeras vena-vena
ketika mereka berkontraksi dalam aktivitas normal dari gerakan tubuh. Aktivitas-aktivitas normal
dari gerakan tubuh mengembalikan darah ke jantung.

Gambar 1 : anatomi normal vaskularisasi ekstrimitas inferior

Sistem vena perifer berfungsi sebagai reservoir untuk menahan darah ekstra dan sebagai
saluran untuk arus balik darah dari perifer ke jantung dan paru-paru. Tidak seperti arteri, yang
memiliki 3 lapisan (intima tipis, otot, dan serat adventitia), kebanyakan vena terdiri dari lapisan
jaringan tunggal. Hanya vena besar yang memiliki membran internal yang elastis, yang tipis serta
tidak merata, hanya memberikan sedikit tahanan terhadap tekanan internal yang tinggi. Sistem vena
yang berfungsi dengan baik tergantung pada serangkaian kompleks katup dan pompa yang lemah
serta rentan terhadap kerusakan, namun sistem ini secara keseluruhan bekerja dengan sangat baik
pada kondisi yang sangat buruk.

Vena kolektif primer tungkai bawah bersifat pasif, merupakan tampungan berdinding tipis
yang dapat di distensikan. Sebagian besar terletak suprafascial, dikelilingi oleh alveolar ikat longgar
dan jaringan lemak yang mudah terdislokasi. Vena kolektif suprafascial dapat berdilatasi untuk
mengakomodasi volume darah yang besar dengan hanya mengakibatkan sedikit peningkatan tekanan
balik sehingga volume darah tersekuester di dalam sistem vena setiap waktu serta dapat bervariasi
dengan dipengaruhi 2faktor atau lebih tanpa mengganggu fungsi normal pembuluh vena. Vena
pengumpul suprafascial merupakan bagian dari sistem vena superfisialis.

Aliran outflow dari vena pengumpul mengalir melalui saluran vena sekunder yang memiliki
dinding yang tebal dan kurang dapat berdilatasi. Sebagian besar dari vena ini terletak subfascial dan
dikelilingi oleh jaringan padat dan terikat erat. Vena subfascial merupakan bagian dari sistem vena
dalam (deep vein), dimana semua darah vena akan lewat dalam perjalanan kembali ke atrium kanan
jantung. Sistem vena dalam (deep vein) ekstrimitas bawah terbagi sebagai 2 sistem terpisah, di
bawah dan atas lutut.

Tungkai bawah memiliki 3 kelompok vena dalam (deep vein) yang berpasangan: vena tibialis
anterior (menyalurkan aliran di kaki bagian dorsal), vena tibialis posterior ( menyalurkan darah dari
telapak kaki), dan vena peroneal(menyalurkan darah dari bagian lateral kaki). Vena sinusoid di
dalam otot betis menyatu membentuk pleksus vena intramuskular muskulus solealis dan muskulus
gastrocnemius, yang akan bersatu dengan vena peroneal di pertengahan betis. Vena ini mempunyai
peran penting dalam fungsi pompa otot betis. Tepat di bawah lutut, ini vena tibialis bersatu menjadi
vena popliteal.

Otot-otot betis dan sistem vena dalam (deep vein) membentuk suatu kesatuan katup dan
pompa yang kompleks, yang sering disebut sebagai "peripheral heart," yang berfungsi untuk
mendorong darah dari kaki ke tubuh bagian atas. Pompa otot betis serupa dengan pompa tangan
sphygmomanometer biasa yang mengisi manset tekanan darah. Sebelum memompa, tekanan netral
dan sama di seluruh bagian tubuh, tungkai terisi darah sekitar 100-150 mL. Ketika tungkai kontraksi,
katup-katup vena perforator dipaksa menutup dan katup outflow dipaksa membuka mengalirkan
darah ke bagian proksimal. Ketika tungkai relaksasi, vena dan sinusoid terisi ulang dari sistem vena
superficial melalui vena perforantes, dan katup outflow dipaksa menutup, untuk mencegah aliran
darah balik. Dengan setiap kali kontraksi, 40-60% volume darah vena pada tungkai didorong ke
bagian tubuh proksimal..

Vena dalam (deep vein) paha dimulai dari bagian distal, vena popliteal berjalan proksimal
melewati lutut bagian posterior dan melewati canalis adduktor, dan berubah menjadi vena
femoralis. Vena ini merupakan vena dalam (deep vein) yang penting dan seringkali disangka sebagai
vena femoralis superficial karena sukar dibedakan dengan vena femoralis profunda, atau vena
femoralis dalam, yang mempunyai ciri : vena yang pendek dan besar. Pada femur bagian proksimal,
vena femoralis superficial dan vena femoralis profundus bersatu menjadi vena femoralis communis,
yang berjalan di atas inguinal menjadi vena iliaka.

Istilah yang salah dan kurang tepat dalam menyebut Vena femoralis superficial seringkali
menyesatkan dan tidak benar. Karena vena femoralis merupakan vena dalam (deep vein) dan bukan
merupakan bagian dari sistem vena superficial. Kesalahan timbul dari penggunaan nama yang tidak
tepat, dan dihubungkan pada kasus kesalahan diagnosis klinis yang dapat berakibat kematian.

Vena iliaka eksterna adalah lanjutan dari vena femoralis yang berjalan melewati bagian
belakang ligamentum inguinal. Pada level artikulatio sacroiliac, vena iliaka eksterna bersatu dengan
vena hipogastrikus membentuk vena iliaka communis. Vena iliaka communis sinistra lebih panjang
dan berjalan lebih oblique dari vena iliaka communis dekstra, berjalan melewati bagian belakang dari
arteri iliaka communis dekstra. Susunan anatomi yang asimetris ini kadang-kadang menyebabkan
keluhan dan bermanifestasi klinis yang disebabkan oleh karena kompresi vena iliaka communis
sinistra oleh arteri iliaka communis dekstra yang disebut sindrom Mei-Thurner: suatu penyakit
obstruksi aliran keluar iliaka sinistra disertai dengan fibrosis adventitial lokal dan proliferasi intima,
seringkali berhubungan dengan DVT. Pada tingkat VL - V, 2 vena iliaka communis (dextra-sinistra)
bersatu membentuk vena cava inferior.
Gambar 3 : anatomi vena normal manusia
II. D. Faktor resiko
Bekuan darah (thrombus) dalam sistim vena dalam dari kaki sebenarnya tidak berbahaya.
Situasi menjadi mengancam nyawa ketika sepotong dari bekuan darah(emboli) terlepas, berjalan ke
arah muara melalui jantung kedalam sistim peredaran paru, dan terjebak dalam paru. Diagnosis dan
perawatan dari deep venous thrombosis (DVT) dimaksudkan untuk mencegah pulmonary embolism.

Darah seharusnya mengalir, jika alirannya terganggu maka berpotensi untuk


terjadinya bekuan darah. Darah di vena secara konstan membentuk bekuan mikroskopis yang
secara rutin dihancurkan di dalam tubuh. Jika keseimbangan antara pembentukan dan
penghancuran ini terganggu maka pembekuan darah dapat terjadi.
Banyak hal telah diidentifikasi sebagai faktor risiko yang berpengaruh dalam pembentukan
trombosis vena. Faktor resiko yang paling tinggi adalah riwayat DVT sebelumnya, 25% pasien
dengan riwayat DVT mengalami trombosis vena akut. Secara patologis, sisa-sisa trombusi
sebelumnya sering terlihat dalam spesimen yang diambil dari trombosis akut yang baru. Meskipun,
trombosis berulang kemungkinan sebenarnya merupakan hasil dari keadan hiperkoagulasi primer.
Kelainan dalam pembentukan koagulasi merupakan efek langsung dari mutasi genetik. Kekurangan
protein C, protein S, atau antithrombin golongan III terjadi pada 5-10% dari semua kasus
trombosis vena dalam (DVT).
Umur telah diteliti secara seksama sebagai faktor risiko independen yang berpengaruh dalam
pembentukan trombosis vena. Meskipun peningkatan 30 x lipat insidensi trombosis vena tercatat
pada usia 30 - 80, efeknya tampak multifaktorial, dengan faktor risiko thrombogenic terjadi pada usia
lanjut dibandingkan pada usia kurang dari 40 tahun. Vena stasis, seperti pada pasien yang menjalani
perawatan immobilisasi dan kelumpuhan alat gerak, berkontribusi terhadap pembentukan trombosis
vena. Studi otopsi secara paralel hubungan antara durasi istirahat terhadap insidensi trombosis vena,
ditemukan bahwa 15% pasien pada penelitian tersebut meninggal dalam kurun waktu 7 hari bedrest ,
dan lebih besar lagi bahwa 80% pasien meninggal setelah 12 minggu bedrest. Pada pasien stroke,
trombosis vena dalam ( DVT) ditemukan pada 53% dari anggota tubuh yang lumpuh, dibandingkan
dengan hanya 7% pada sisi yang normal.

Keganasan tercatat terjadi pada 30% pasien dengan thrombosisvena, mekanisme


thrombogenic melibatkan koagulasi abnormal, seperti yang terbukti pada 90% pasien kanker
memiliki beberapa faktor koagulasi yang abnormal. Kemoterapi dapat meningkatkan risiko
trombosis vena dengan mempengaruhi endotelium vaskular, pembentukan koagulasi, dan lisis dari
sel tumor. Insidensi ini mengalami peningkatan pada pasien yang menjalani terapi jangka panjang
untuk kanker payudara, dengan 4,9% yang menjalani 12 minggu pengobatan menjadi 8,8% untuk
yang menjalani 36 minggu pengobatan. Selain itu, trombosis vena dalam (DVT) menjadi
komplikasipada 29% prosedur pembedahan yang dilakukan untuk kasus keganasan.
Trombosis vena pascaoperasi bervariasi tergantung pada banyak faktor yang terdapat pada
pasien, termasuk tipe operasi yang dilakukan. Tanpa pemberian profilaksis, operasi bedah biasa
umumnya memiliki kejadian trombosis vena dalam (DVT) sekitar 20%, sedangkan bedah ortopedi
khususnya operasi hip kejadian trombosis vena dalam (DVT) dapat terjadi sampai dengan 50%.
Berdasarkan fibrinogen yang diperiksa dengan radioaktif, sekitar setengah dari trombus ekstremitas
bawah terbentuk intraoperatif. Imobilisasi perioperatif, kelainan koagulasi, dan cedera vena, semua
berpengaruh terhadap perkembangan trombosis vena pada tindakan pembedahan.
Konferensi Konsensus The thromboembolic ACCP VII pada antithrombotic dan Terapi
trombolisis, yang dipublikasikan pada bulan September 2004, mendata faktor-faktor risiko utama.
Joseph Caprini, MD, dkk, mencoba untuk mengukur faktor-faktor ini dengan cara tertentu untuk
membantu dokter dalam melakukan assesmen faktor risiko preoperative. Faktor risiko yang ada
dikelompokkan menurut tingkat keparahan dan ditambahkan beberapa factor untuk menghasilkan
skor faktor risiko secara keseluruhan, yang sesuai untuk potensi rendah hingga sangat tinggi bagi
terbentuknya deep vein thrombosis (DVT) pada seorang pasien.
DVT Risk Assessment

Name: Date:

Add 5 points for each of the following statements that apply:


Recent elective hip or knee joint replacement surgery
Broken hip, pelvis, or leg within the past month
Serious trauma within the past month (for example, a fall, broken bone, or car accident)
Spinal cord injury resulting in paralysis within the past month

Add 3 points for each of the following statements that apply:


Age 75 or over
History of blood clots, either DVT or pulmonary embolism (PE)
Family history of blood clots (thrombosis)
Family history of blood-clotting disorders

Add 2 points for each of the following statements that apply:


Age 6074 years
Cancer (current or previous)
Recently had major surgery that lasted longer than 45 minutes
Recent laparoscopic surgery that lasted longer than 45 minutes (surgery performed through a small incision with a lighted, tube-
shaped instrument)
Recently confined to bed rest for more than 72 hours
Plaster cast that has kept you from moving your limb within the past month
Tube in blood vessel in neck or chest that delivers blood or medicine directly to heart (also called central venous access)

For women only: add 1 point for each of the following statements that apply:
Use of birth control or hormone replacement therapy (HRT)
Pregnant or had a baby within the past month

Add 1 point for each of the following statements that apply:


Age 41 60 years
Planning minor surgery in the near future
Had major surgery within the past month
Varicose veins
A history of inflammatory bowel disease (IBD) (for example, Crohns disease or ulcerative colitis)
Legs are currently swollen
Overweight or obese
Heart attack
Congestive heart failure
Serious infection (for example, pneumonia)
Lung disease (for example, emphysema or chronic obstructive pulmonary disease [COPD])
Currently on bed rest or restricted mobility

TOTAL RISK FACTOR SCORE _______

Low risk (01 point)you may not be at risk now, but its a good idea to reassess your risk of DVT at regularly scheduled doctor
visits or annual exams.

Moderate risk (2 points)share your answers to this survey with your doctor at your next scheduled appointment so he or she can
assess your risk of DVT.

High risk (3+ points)because of your increased risk, you should share your answers with your doctor so that he or she can assess
your risk of DVT.

Adapted from Caprini JA. Thrombosis risk assessment as a guide to quality patient care. Dis Mon. 2005;51(2-3):70-78.
II. E. Etiologi dan Patofisiologi (6)

1. Immobilitas (menyebabkan stasis vena)


a. Bepergian duduk dalam jangka waktu yang lama, misalnya penerbangan yang lama
(economy calss syndrome), bepergian dengan mobil, atau kereta.
b. Rawat inap di rumah sakit.
c. Trauma pada tungkai bawah dengan atau tanpa operasi atau bebat
d. Kehamilan, termasuk 6-8 minggu post partum
e. obesitas

2. Hiperkoagulabilitas
a. Pengobatan (misalnya: obat KB, estrogen)
b. Merokok
c. Predisposisi genetic
d. Polisitemia
e. Kanker

3. Trauma pada vena (menyebabkan kerusakan pada dinding vena)


a. Fraktur pada tungkai
b. Memar pada tungkai
c. Komplikasi dari prosedur invasif pada vena
Ketiga hal ini, stasis vena, kerusakan dinding vena, dan hiperkoagulabilitas, dikenal sebagai
Triad Virchow-penyebab dari DVT.(1)

Lebih dari satu abad yang lalu, Rudolf Virchow menjelaskan 3 faktor yang sangat penting
dalam pembentukan trombosis vena: (1) stasis vena, (2) aktivasi koagulasi darah, dan (3) kerusakan
pembuluh darah. Seiring waktu dan berkembangnya ilmu pengetahuan, perbaikan telah dibuat dalam
penjelasan penting mengenai pembentukan trombosis vena. Penyebab trombosis vena seringkali
multifaktorial, dengan komponen dari variabel triad virchow pada masing-masing pasien.

Penelitian menunjukkan bahwa daerah dengan aliran yang rendah, seperti sinus solealis,
bagian inferior katup vena serta pada confluences vena, mempunyai resiko paling tinggi dalam
pembentukan thrombus vena. Akan tetapi, vena stasis saja tidak akan cukup untuk memfasilitasi
pembentukan trombosis vena. Percobaan ligasi vena jugularis kelinci dalam jangka waktu 60 menit
secara konsisten tidak terbukti dapat menyebabkan thrombosis vena. Meskipun, pasien yang
immobilitas untuk jangka waktu lama berisiko tinggi untuk pembentukan trombosis vena, dan
diperlukan stimulus tambahan untuk pembentukan trombosis vena dalam (DVTs).

Cedera mekanis pada dinding vena diperkirakan memberikan stimulus tambahan untuk
terjadinya trombosis vena. Pasien Hip artroplasty disertai dengan manipulasi vena femoralis
merupakan kelompok risiko tinggi yang tidak dapat dijabarkan hanya karena imobilisasi, dengan
57% kejadian trombus berasal dari vena femoralis yang terkena daripada lokasi tempat vena stasis
pada tungkai biasa terjadi. Cedera endotelium dapat mengubah endotelium yang biasanya
antithrombogenic menjadi protrombotik dengan merangsang produksi faktor jaringan, faktor von
Willebrand, dan fibronektin.

Gambar 4: Pembekuan Darah pada Trauma Vena

Pasien dengan mutasi genetik dalam proses pembentukan koagulasi darah merupakan pasien
yang berisiko tertinggi untuk terbentuknya trombosis vena. Defisiensi primer inhibitor koagulasi
antithrombin, protein C, dan protein S dihubungkan 5-10% dari insidensi thrombosis secara
keseluruhan. Resistensi terhadap faktor procoagulant ke sistem antikoagulasi menjadi hasil penelitian
terbaru dan menjelaskan adanya penemuan adanya mutasi pada faktor V Leiden, muncul pada 10-
65% pasien dengan trombosis vena dalam (DVT). Dalam keadaan vena yang stasis, faktor-faktor ini
menumpuk di lokasi yang rawan terjadinya trombosis, di mana luka mekanik pembuluh terjadi,
merangsang endotel untuk menjadi bersifat protrombotik.
Komponen dari triad Virchow merupakan variabel penting pada pasien, tetapi hasil akhirnya
adalah interaksi awal trombus dengan endotelium. Interaksi ini merangsang produksi sitokin lokal
dan mempengaruhi adhesi leukosit ke endotel, kedua hal tersebut memicu terbentuknya trombosis
vena. Tergantung pada keseimbangan relatif antara pengaktifan koagulasi dan proses trombolisis,
pembentukan trombus terjadi.

Seiring waktu, pembentukan trombus dimulai dengan infiltrasi sel radang ke dalam bekuan
darah. Hal ini menghasilkan penebalan intimal fibroelastik di lokasi penempelan trombus pada
sebagian besar pasien dan fibrous synechiae pada 11% pasien. Sebagian besar pasien, interaksi
antara dinding pembuluh dan trombus menyebabkan disfungsi alular dan fibrosis dinding pembuluh
darah secara keseluruhan. Pemeriksaan histologi remodeling dinding pembuluh darah setelah
trombosis vena menunjukkan ketidakseimbangan pada pengaturan matriks jaringan ikat dan
hilangnya kontraktilitas pengaturan vena yang memberikan kontribusi terhadap terjadinya
insufficiency vena kronis.

Gambar 5: proses pembentukan clot Gambar 6: terbentuknya clot pada vena dalam

Hiperkoagulabilitas, peningkatan kecenderungan terjadinya bekuan darah, juga


memberi kontribusi pada terjadinya DVT. Gangguan pembekuan darah turunan, termasuk
defisiensi antitrombin III, protein C, atau protein S, dapat mengarah ke meningkatnya
pembentukkan thrombus. Selain itu trauma, kanker, kehamilan, penggunaan kontrasepsi
estrogen, usia tua, dan sepsis juga dapat meningkatkan pembentukan thrombus. Pasien post
operasi biasanya berisiko mengalami hiperkoagulabilitas karena kemampuan tubuh untuk
melawan bekuan darah berkurang sampai dengan 10 hari post operasi
II. F. Diagnosis(5)
Keluhan dan gejala klinis
Gejala yang dapat muncul pada DVT terutama yang terjadi pada betis adalah:(16)
1. Nyeri
2. Pembengkakan pada bagian distal tungkai
3. Nyeri di sepanjang vena (di daerah midline posterior)
4. Hangat
5. Kemerahan, pucat, atau kebiruan dari kulit pada tungkai yang terkena
6. Dorsofleksi pada tungkai memperberat nyerinya (Homans sign)
Namun, hanya kurang dari 50% kasus DVT yang dapat didiagnosis secara klinis
karena itu pemeriksaan klinis pada DVT kurang dapat diharapkan untuk diagnosis.(1,2)

Gambar 7: DVT Pada Tungkai

Diagnosis klinis trombosis vena dalam (DVT) sulit dan penuh dengan ketidakpastian.
Tanda dan gejala klasik trombosis vena dalam (DVT) berhubungan dengan obstruksi untuk
drainase vena dan termasuk rasa sakit, nyeri, dan kaki bengkak unilateral. Temuan lain dapat
spesifik terkait kehangatan, eritema, palpable cord, dan nyeri pada kaki dorsofleksi pasif
(Homan sign). Kongesti vena yang parah akan memberikan penampilan klinis yang dapat
dibedakan dari selulitis. Pasien dengan kaki hangat,bengkak, nyeri tekan harus dievaluasi
untuk membedakan selulitis dan trombosis vena dalam (DVT), karena pasien dengan
trombosis vena dalam primer (DVT) mengalami selulitis sekunder, sedangkan pasien dengan
selulitis primer sering mengalami thrombosis vena dalam sekunder (DVT). Superficial
tromboflebitis, , juga sering dikaitkan dengan DVT yang mendasari timbulnya gejala klinis.

Kongesti vena yang parah akan memberikan penampilan klinis yang dapat dibedakan
dari selulitis. Pasien dengan kaki hangat,bengkak, nyeri tekan harus dievaluasi untuk
membedakan selulitis dan trombosis vena dalam (DVT), karena pasien dengan trombosis
vena dalam primer (DVT) mengalami selulitis sekunder, sedangkan pasien dengan selulitis
primer sering mengalami thrombosis vena dalam sekunder (DVT). Superficial tromboflebitis,
,juga sering dikaitkan dengan DVT yang mendasari timbulnya gejala klinis

Namun, bahkan pasien dengan gejala klasik, 46% diantaranya memiliki hasil
pemeriksaan venograms negatif. Trombosis vena dalam (DVT) tidak dapat didiagnosis
ataupun kesampingkan hanya berdasarkan temuan klinis, sehingga diagnostik tes harus
dilakukan jika diagnosis trombosis vena dalam (DVT) dipertimbangkan pada seorang pasien.
Venografi dengan injeksi kontras intravena, dan limb serial radiography adalahgold
standard tetapi prosedur tersebut invasif dan mempunyai risiko.Identifikasi defek pengisian
vena merupakan diagnostik untuk trombosis vena.

Impedance plethysmografi memiliki kelebihan karena biayanya yang murah, relatif


akurat, dan efisien pada tes serial; ini mengacu pada akurasinya yang lebih dari 90%.
Bagaimanapun, ketidakmampuan tes tersebut untuk membedakan kompresi intra atau
ekstravaskular telah menimbulkan pertanyaan mengenai sensitivitasnya.

Duplex ultrasonografi telah menjadi skrining primer untuk evaluasi DVT. Akurasinya
untuk mendiagnosis dapat dibandingkan dengan venografi. Duplex ultrasonografi memiliki
sensitivitas dan spesifisitas kurang lebih 95% untuk DVT femoral dan popliteal DVT, namun
kurang akurat untuk mendetekasi DVT betis dan pelvis. Sonografi penggunaannya
bergantung pada operator dan spesifisitasnya kurang untuk kasus-kasus DVT rekuren dan
sensitivitasnya hanya kurang lebih 66% untuk DVT asimtomatis.
MRI telah menjadi alat yang berguna untuk mendiagnosis DVT secara akurat.
Trombus vana dapat terlihat dengan teknik spin echo konvensional. Aliran darah normal
memiliki intensitas sinyal yang rendah (tampak gelap); trombus memiliki intensitas yang
lebih tinggi. Teknik gradient echo (aliran darah normal memiliki intensitas yang tinggi,
tampak putih pada gambar; trombus memiliki intensitas rendah) memiliki spesifisitas yang
lebih tinggi untuk DVT (100% dibandingkan 75% pada spin echo), namun sensitivitas
keduanya adalah sama. Pada prospekif studi dari 61 pasien, hasil diagnosis dengan MRI lebih
baik daripada venografi untuk pelvis, sama dengan venografi untuk paha, dan lebih buruk
untuk betis

Pemeriksaan laboratorium juga telah digunakan dalam membantu diagnosis trombosis vena.
D-dimer adalah produk degradasi fibrin cross-linked oleh plasmin yang dapat terdeteksi oleh tes
diagnostik. Banyak situasi klinis lain dapat menghasilkan tingkat D-dimer tinggi, termasuk infeksi,
trauma, keadaan pasca operasi, dan malignancy darah. Tambahan pemeriksaan darah harus
mencakup uji koagulasi untuk mengevaluasi bagi suatu keadaan hiperkoagulasi, jika terindikasi
klinis. Pemanjangan waktu protrombin time atau aktivasi tromboplastin parsial tidak berarti resiko
yang lebih rendah terhadap trombosis baru. Pembentukan trombosis vena dalam (DVT) dan PE
ditemukan pada 13% pasien.Yang sedang menjalani terapi penuh antikoagulasi.
Gambar 8: Algoritma klinis DVT

II. G. Pemeriksaan Penunjang(7)


Pemilihan pemeriksaan penunjang untuk DVT tergantung dari tanda, gejala, faktor
risiko, ketersediaan alat, dan tenaga ahli yang ada untuk melakukan dan menginterpretasikan
pemeriksaan.
Pemeriksaan penunjang yang sering dipakai adalah:
1. Pemeriksaan untuk DVT simtomatis pada paha atau vena poplitea: USG
2. Pasien risiko tinggi dengan kemungkinan asimtomatis : MRI
3. Didapatkan tanda dan gejala pada tungkai bawah bilateral : USG harus dilakukan sebagai
skrining awal; pertimbangkan MRI untuk kecurigaan perluasan pada pelvis dan abdomen
4. Riwayat DVT : USG pada pemeriksaan sebelumnya; jika tidak tersedia, lakukan MRI atau
venografi untuk membedakan DVT akut atau kronis.
5. Pemeriksaan untuk patologi ekstravaskular : MRI
6. Pemeriksaan DVT betis (< 20% DVT pada betis meluas ke paha atas atau vena popliteal) : jika
USG pada paha hasilnya negatif, dapat dilakukan venografi/MRI untuk mengevaluasi vena betis
secara langsung.
Venogram adalah pameriksaan yang paling membantu untuk melokalisir tempat
trombosis. Metode lain yang dapat digunakan adalah impedance plethysmografi dan Doppler
ultrasound.

II. H. Manajemen dan terapi


Tujuan utama dari penanganan DVT adalah:
1.Menghentikan pertumbuhan bekuan darah(8,9)
2.Mencegah pecahnya bekuan darah di dalam vena yang dapat bergerak ke paru dan
menyebabkan emboli paru(8,9)
3.Mengurangi kemungkinan terbentuknya bekuan darah baru(8)
4.Meluruhkan bekuan darah (terkadang)(9)

II. H. 1. Terapi medikamentosa(3,9)


Segera setelah diagnosis ditegakkan, pasien harus segera diobati dengan antikoagulan yang
sesuai. Antikoagulan yang dapat mencegah pembentukan bekuan darah lebih lanjut adalah:(1,16)
1. Injeksi heparin: obat yang bekerja cepat mencegah pembentukan bekuan darah
baru; diberikan beberapa hari.
2. Warfarin (oral): secara lambat mencegah pembentukan bekuan darah baru;
biasanya diberikan beberapa bulan.
3. Enzim fibrinolitik: membantu meluruhkan bekuan darah yang utama. Yang
termasuk golongan ini adalah:
a. Streptokinase
b. Urokinase
c. tPA
Kontraindikasi terapi antikoagulan

Kontraindikasi absolut
Hemorrhagic stroke
Perdarahan akut dengan hamatokrit < 20.000/ mm3
Neurosurgery, operasi okuler atau perdarahan intracranial dalam jangka 10 hari terakhir

Kontraindikasi relatif
Trombositopenia ringan
Metastase otak
Riwayat trauma dalam jangka waktu dekat
Operasi mayor abdomen dalam 2 hari terakhir
Perdarahan saluran gastrointestinal atau genitourinaria dalam 14 hari terakhir
Endocarditis
Hipertensi akut sistolik (>200mmHg, diastolic >120)

II. H. 2. Tindakan operatif (10)


A. Filter vena cava Inferior

Filter vena cava inferior dikembangkan untuk menjebak emboli dan meminimalkan kondisi
stasis vena. Pasien trombosis vena dalam (Deep vein thrombosis), dengan atau tanpa disertai emboli
paru, dengan kontraindikasi untuk antikoagulasi, merupakan indikasi yang paling utama untuk
pemasangan filter IVC.

Filter vena cava yang ideal akan menjebak emboli vena dengan tetap menjaga aliran normal
vena. Konfigurasi filter yang berbeda-beda telah digunakan, namun patokan saat ini tetap Greenfield
filter dengan data jangka panjang terpanjang. Patensi rata-ratanya lebih dari 95% dan tingkat emboli
berulang kurang dari 5% telah dibuktikan oleh sejumlah penelitian. Bentukan kerucut
memungkinkan pusat pengisian emboli serta memungkinkan darah mengalir bebas di pinggiran.
Beberapa jenis filter dengan track record yang serupa telah dikembangkan, termasuk filter yang dapat
dicopot.

Gambar 9: Greenfield filter

Terlepas dari jenis filter yang ditempatkan, teknik yang digunakan tetap sama. Digunakan
anestesi lokal untuk membius daerah inguinal pada pendekatan terhadap vena femoralis atau daerah
leher untuk pendekatan terhadap vena jugularis. Sebuah jarum dinding tunggal digunakan, dengan
bimbingan ultrasonik untuk masuk ke pembuluh darah target, dan kawat pemandu berdiameter 0,035
inci dimasukkan ke dalam IVC. Sebuah venogram digunakan untuk mengidentifikasi vena renalis
dan mengukur diameter vena cava untuk memastikan diameter vena tidak terlalu besar untuk filter
yang akan dipasang. USG Intravaskuler (IVUS) juga dapat digunakan untuk hal ini. Tindakan ini
memiliki manfaat tambahan , tidak hanya memungkinkan untuk pemasangan filter pada pasien yang
dirawat di ICU, tetapi juga menyingkirkan kebutuhan kontras intravena. Lokasi pemasangan filter
yang benar pada umumnya memerlukan suatu fiksasi infra-renal dengan ekstensi center filter pada
tingkat vena renalis. Pemasangan IVC suprarenal atau SVC dapat diindikasikan dalam beberapa
kasus.
Gambar 10: Pemasangan Greenfield filter

b. Catheter based intervention

Teknik berbasis kateter (Catheter based intervention) perkutan bertujuan mengurangi


hambatan oleh trombus. Penghancuran trombus dengan segera akan menjaga fungsi katup. Penelitian
observasional dari University of Washington menunjukkan bahwa lisis awal akan menjaga fungsi
katup tetap baik, sedangkan thrombus yang persisten akan menghasilkan morbiditas pasca-trombotik
yang paling parah.

Catheter directed thrombolysis melibatkan percepatan dari jalur alami trombolitik tubuh.
Mekanisme dasarnya adalah aktivasi dari fibrin-bound plasminogen. Injeksi intra-trombus aktivator
plasminogen berfungsi melindungi obat dari penonaktifan zat tersebut oleh inhibitor yang ada pada
system sirkulasi dan memungkinkan obat dengan level yang lebih rendah untuk membantu
meminimalkan komplikasi potensi perdarahan.

Tingkat kesuksesan tindakan Catheter directed thrombolysis bervariasi tergantung pada umur
trombus dan kedekatan trombus ke IVC. Tingkat kesuksesan penggunaan trombolitik trombosis vena
dalam iliofemoral akut dilaporkan sekitar 80-85%, dengan tingkat 1-year patency sekitar 60-65%.
Tingkat komplikasi pendarahan besar bervariasi sekitar 5-11%, sebagian besar terjadi pada lokasi
tusukan.
Pendekatan yang paling disukai yaitu dengan ultrasound-guided popliteal vein puncture
dengan kateter infus segmen panjang. Infus plasminogen aktivator dimulai dengan suatu serial
venograms setiap 12-24 jam untuk memastikan kelisisan trombus. Penempatan filter IVC temporer
kadang dilakukan ketika terdapat adanya risiko emboli paru yang signifikan. Setiap stenosis residual
harus didilatasikan dengan angioplasti atau stent self-expanding untuk meminimalkan risiko
rethrombosis.

Thrombectomy perkutaneus mekanik dikembangkan sebagai upaya untuk mempersingkat


waktu perawatan dan menghindari biaya rawat inap ICU yang mahal selama pemberian infus
trombolitik. Gangguan mekanik pada trombosis vena memiliki kekurangan yaitu berpotensi merusak
endotelium dan katup vena, selain itu terjadi fragmentasi thrombus dan kemungkinan emboli
pulmoner.

Berbagai macam alat sedang dan telah dikembangan: pemotong pada ujung kateter dengan
menggunakan bilah pemotong fisik, dengan vortex, dengan jet salin tekanan tinggi atau rendah,
dengan suction, atau dengan ultrasonik liquefaction. Contohnya trellis kateter oleh Bacchus Vascular,
yang mengisolasi segmen thrombosed dengan 2 balon oklusi dan filamen berputar berada di antara 2
balon tersebut, menghancurkan trombus secara mekanis dan pada saat bersamaan menyuntikkan zat
trombolisis. Setelah tindakan, zat thrombus dan trombolisis di aspirasi dan dilakukan venogram. Data
yang ada dari tindakan menunjukkan hasil dengan patensi 97% pada perlakuan tunggal dan tidak
ditemukan komplikasi pendarahan dalam kelompok studi yang melibatkan lebih dari 700 patients

c. Bedah thrombectomy

Operasi pengangkatan trombus secara umum telah digunakan pada pasien dengan swelling
yang masif dan phlegmasia cerulean dolens. Pada kebanyakan pasien, fibrinolisis mnjadi terapi yang
efektif, dan menjadi pilihan pengobatan primer pada banyak bentukan trombosis vena dan arteri.
Tetapi ketika trombosis sangat luas, fibrinolisis saja mungkin tidak mampu untuk melisiskan volume
trombus yang ada. Bahkan ketika sebagian besar trombus tersebut tidak eksessif, banyak pasien
dengan trombosis menjadi kandidat yang buruk untuk terapi fibrinolisis karena baru saja menjalani
operasi atau mengalami trauma yang melibatkan sistem saraf pusat.
Penentuan lokasi dan luas trombosis sebelum memutuskan tindakan bedah harus dilakukan.
Duplex ultrasound kadang dapat membantu, tapi Venography (termasuk iliocavography kontralateral
rutin) merupakan panduan lebih handal terhadap sistem anatomi dan patologi yang harus ditangani.

Pasien harus mendapatkan heparininisasi sebelum tindakan. Thrombectomy vena umumnya


dilakukan dengan pembedahan dengan mengekspos vena femoralis communis dan saphenofemoral
junction melalui insisi kulit longitudinal. Sebuah kateter Fogarty diinsersi menembus clot, dan balon
dikembangkan kemudian ditarik, bersama dengan bekuan darah. Namun, harus diperhatikan untuk
menghindari mencabut clot atau memecahnya menjadi fragmen kecil karena berisiko untuk
mengakibatkan pulmonary embolus.

Gambar 12: fogarty catheter

Sebuah balon yang di tempatkan pada bagian proksimal atau filter kava temporer dapat
digunakan untuk mengurangi kemungkinan embolisasi. Venogram wajib dilakukan untuk
mengkonfirmasi keberadaan trombus.

Katup vena kadang dapat mencegah lewatnya kateter ke arah posterior dari kaki. Ketika hal
ini terjadi, kaki dibungkus erat dengan perban Esmarch dalam upaya untuk memaksa clot terdorong..
Untuk mengurangi kemungkinan thrombosis ulang, heparin diberikan sebelum operasi, selama
prosedur, dan dipertahankan selama 6-12 bulan sesudahnya.

Berbagai penelitian menunjukkan tingkat thrombosis ulang sekitar 12% bila fistula
arteriovenosa temporer digunakan. Hasil yang optimal dihasilkan apabila usia trombosis
kurang dari 7 hari, pembersihan trombus yang dilakukan dari vena iliaka eksternal dan vena
iliaka internal, Venography intraoperatif, dan ambulation awal. Dalam penelitian secara
prospektif acak yang dilakukan di Swedia yang membandingkan operasi dengan penggunaan
antikoagulan, dalam jangka waktu 5 tahun, 37% dari pasien yang dioperasi tanpa gejala,
dibandingkan dengan hanya 18% pada kelompok dengan antikoagulasi.

Tindakan suportif
Tindakan suportif yang dapat dilakukan meliputi:(16)
1. Bedrest
2. Elevasi tungkai yang terkena di atas jantung.
3. Memakai compression stocking sesuai anjuran dokter.

II. I. Komplikasi dan Prognosis(11)

Komplikasi dan prognosis trombosis vena dapat bervariasi dari mengancam nyawa hingga
kelemahan kronis. Komplikasi yang paling diperhatikan adalah emboli paru. Gejalanya adalah nafas
yang dangkal, nyeri dada seperti ditusuk, takikardi, bloody sputum, dan hipotensi. Jika demikian
maka diagnosis perlu segera ditegakkan dan dilakukan terapi untuk emboli parunya. Selain itu perlu
juga diperhatikan kemungkinan perdarahan karena penggunaan obat.
Pulmonary embolism berkembang sebagai thrombus vena yang pecah dari lokasi asalnya dan
berjalan melalui bagian kanan jantung dan masuk ke arteri paru-paru, menyebabkan defek perfusi
ventilasi dan cardiac strain. PE terjadi pada sekitar 10% pasien dengan trombosis vena dalam (DVT )
akut dan dapat menyebabkan sampai 10% kematian di rumah sakit. Namun, kebanyakan pasien
(hingga 75%) tidak menunjukkan gejala ataupun keluhan.

Trombosis vena dapat menyebabkan cedera pada lapisan endotel sehingga memulai inflamasi
yang menyebabkan fibrosis dinding pembuluh darah. Penurunan kontraktilitas dinding pembuluh
darah dan disfungsi dari katup vena berkontribusi terhadap terjadinya insufisiensi vena kronis.
Beberapa bentuk insufisiensi vena kronis pada 29-79% pasien trombosis vena dalam (DVT) akut,
ulkus 4-6%. Risiko ini meningkat 6 kali lebih besar pada pasien dengan trombosis berulang.
II. J. Preventif(7)
- Metode fisik :
1. Elastic stocking
2. Intermitent compression device , Intermitent compression device meningkatkan aliran
darah ke vena femoralis dan meningkatkan aktivitas fibrinolitik. Ini menguntungkan bagi
pasien yang tidak dapat kontraindikatif terhadap antikoagulan.

- Metode farmakologis :
1. Coumadin , Coumadin kurang dapat diterima secara luas karena risiko perdarahannya,
keharusan untuk monitoring laboratorium, dan efeknya baru timbul setelah 3-4 hari setelah
terapi dimulai.
2. Low Molecular Weight Heparin (LMWH) , LMWH menunjukkan keuntungan yang besar
dalam profilaksis dan pengobatan DVT.
3. Dextran , Dextran, suatu koloid, dapat menurunkan viskositas plasma, menghambat fungsi
platelet, dan mengurangi polimerisasi fibrin. Komplikasi utama penggunaan dextran adalah
overload cairan, anafilaksis, dan toksisitas pada renal.

Gambar 13: Perjalanan clot DVT


Daftar Pustaka

1. JCS Guidelines 2011. Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of pulmonary
thromboembolism and deep vein thrombosis. Circ J. 2011; 75: 1258-81

2. Goldhaber S. Risk factors for venous thromboembolism. J Amer Coll Cardiol. 2010; 56:1-7

3. Bates S, Ginsberg G. Treatment of deep vein thrombosis. N Engl J Med. 2004; 351:268-77

4. Hirsh J, Lee AY. How we diagnose and treat deep vein thrombosis. Blood 2002;99(9):3102-10.

5. Buller H, Davidson B, Decousus H, Gallus A, Gent M. Fondaparinux or enoxaparin for the initial
treatment of symptomatic deep vein thrombosis. Ann Intern Med. 2004; 140:867-73.

6. Ginsberg, J. Deep venous thrombosis. Cecil Medicine. 23rd ed. New York: Mc Graw-Hill; 2007.

7. Bates SM, Jaeschke R, Stevens SM, Goodacre S, Wells PS, Stevenson MD, et al Diagnosis of
DVT: Antithrombotic therapy and prevention of thrombosis. 9th ed.

8. American College of chest physicians. Evidence-based clinical practice guidelines. Chest 2012;
141(2)(Suppl):351418. doi: 10.1378/chest.11-2299.

9. Breddin HK, Hach-Wunderle V, Nakov R, Kakkar VV; CORTES Investigators. Clivarin:


Assessment of Regression of Thrombosis, Efficacy, and Safety. Effects of a LMH on thrombus
regression and recurrent thrombo-embolism in patient DVT. N. Engl J Med. 2001; 344:626-31.

11. Acang, Nuzirwan. Trombosis vena alam. Maj Kedokt Andalas 2001; 25(2) : 46-55.

12. Dupras D, Bluhm J, Felty C, Hansens C, Johnsons T, Lim K. Venous thromboembolism


diagnosis and treatment. Institute for Clinical System Improvement. 2013; 5 : 1-36.

13. David L, Erica P, James D, Mark B. Diagnosis and management of iliofemoral deep vein
thrombosis: Clinical practice guideline. CMAJ. 2015;23: 1-9

Anda mungkin juga menyukai