Anda di halaman 1dari 3

Definisi Konsep

Sister City/Kota Kembar

Sister City atau Kota Kembar adalah konsep penggandengan dua kota yang berbeda lokasi dan
administrasi politik dengan tujuan menjalin hubungan budaya dan kotrak sosial antar penduduk. Kota
kembar umumnya memiliki persamaan keadaan demografi dan masalah-masalah yang dihadapi. Konsep
kota kembar bisa diumpamakan sebagai sahabat pena antara dua kota. Hubungan kota kembar sangat
bermanfaat bagi program kerjasama di bidang budaya dan perdagangan. (SCI: 2004)

Syarat Umum Pembentukan Sister City

Pembentukan kerjasama Siter City atau Kota Kembar ini telah diatur dalam pasal 5 Peraturan Menteri
Dalam Negeri (Permendagri) No. 03 Tahun 2008. Dalam pasal itu disebutkan bahwa jika ada daerah yang
hendak mengadakan kerjasama Sister City dengan daerah lain baik internal maupun lintas negara, maka
harus memperhatikan lima hal yaitu:

Kesetaraan Status Administrasi


Kesamaan Karakteristik
Kesamaan Permasalahan
Upaya Saling Melengkapi; dan
Peningkatan Hubungan Kerjasama
Syarat Khusus Pembentukan Sister City

Selain itu, dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 03 Tahun 2008 diberikan penegasan
bahwa sebelum menjalin sebuah kerjasama Sister City, Pemerintah Daerah setempat harus memenuhi
berbagai persyaratan:

Hubungan Diplomatik. Daerah yang diajak kerjasama harus memiliki hubungan diplomatik
dengan Indonesia.
Tidak membuka kantor perwakilan di luar negeri. Pertemuan antar perwakilan daerah tidak
bersifat diplomatik tetapi hanya berupa pendelegasian.
Merupakan Urusan Pemerintah Daerah. Segala permasalahan dan perjanjian yang dilakukan
selama program Sister City menjadi tanggung jawab setiap pemerintah daerah yang terlibat.
Tidak mengarah pada campur tangan urusan dalam negeri.
Sesuai dengan kebijakan dan rencana pembangunan. Kerjasama Sister City tidak boleh
dilaksanakan secara insidental.

Tata Cara Kerjasama Sister City

Usulan Kerjasama Sister City bisa diprakarsai oleh Pemerintah Daerah itu sendiri, Pihak Luar kepada
Pemerintah Daerah, atau Pihak Luar melalui Menteri Dalam Negeri kepada Pemerintah Daerah.
Kepala Daerah menyampaikan usulan kerjasama tersebut kepada DPRD dan meminta persetujuan
terkait pelaksanaannya. DPRD diberi waktu 30 hari untuk mempertimbangkan rencana kerjasama
tersebut, jika dalam 30 hari DPRD tidak memberikan pendapat maka dianggap telah menyetujui rencana
tesebut.

Setelah disetujui, Kepala Daerah bertugas untuk membuat MoU terkait dengan kerjasama tersebut dan
dikonsultasikan kepada Gubernur dan Menteri Dalam Negeri guna mendapat persetujuan dari
Pemerintah.

Aspek Hukum Perjanjian Sister City

Perjanjian kerjasama pembentukan Sister City pada umumnya berupa nota


kesepahaman/Memorandum of Understanding (MoU). Nota Kesepahaman tersebut harus mengatur
berbagai hal terkait dengan pelaksanaan Sister City atau dalam ilmu hukum dikenal dengan istilah unsur
essensialia. Diantaranya meliputi:

Adanya dua pemerintahan kota yang otonom. Perjanjian yang ditandatangani dalam nota
tersebut harus menjelaskan adanya kerjasama antara kedua pihak. Dalam kasus ini, Pemerintah
Kabupaten Wonogiri sebagai pemerintahan otonom setingkat Dati II dan pihak Pemerintah
Kabupaten Wuming, dibawah administrasi Kota Nanning, Daerah Otonom Guangxi Zhuang
Republik Rakyat China.
Adanya unsur work atau pekerjaan/bidang kerjasama. Unsur work dalam hal ini yaitu lingkup
kerjasama atau bidang yang disepakati dan akan dilakukan oleh kedua belah pihak, biasanya
meliputi Pendidikan, Perekonomian, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Seni dan Budaya,
Pariwisata dan Lingkungan Hidup, serta Bisnis dan Investasi
Adanya Jangka Waktu Kerjasama. Harus ada ketentuan terkait Pemberlakuan, Masa Berlaku,
dan Penghentian

Bentuk-bentuk Kerjasama antar Daerah (Mardiasmo: 2006)

a. Handshake Agreement, yang dicirikan oleh tidak adanya dokumen perjanjian kerjasama yang formal.
Kerjasama model ini didasarkan pada komitmen dan kepercayaan secara politis antar daerah yang
terkait. Biasanya, bentuk kerjasama seperti ini dapat berjalan pada daerah-daerah yang secara historis
memang sudah sering bekerja sama dalam berbagai bidang. Bentuk kerjasama ini cukup efisien dan
lebih fleksibel dalam pelaksanaannya karena tidak ada kewajiban yang mengikat bagi masing-masing
pemerintah daerah. Meski begitu, kelemahan model ini adalah potensi munculnya kesalah-pahaman,
terutama pada masalah-masalah teknis, dan sustainibility kerja sama yang rendah, terutama apabila
terjadi pergantian kepemimpinan daerah. Oleh karena itu, bentuk kerjasama ini sangat jarang
ditemukan pada isu-isu strategis.

b. Fee for service contracts (service agreements). Sistem ini, pada dasarnya adalah satu daerah
menjual satu bentuk pelayanan publik pada daerah lain. Misalnya air bersih, listrik, dan sebagainya,
dengan sistem kompensasi (harga) dan jangka waktu yang disepakati bersama. Keunggulan sistem ini
adalah bisa diwujudkan dalam waktu yang relatif cepat. Selain itu, daerah yang menjadi pembeli tidak
perlu mengeluarkan biaya awal (start-up cost) dalam penyediaan pelayanan. Akan tetapi, biasanya
cukup sulit untuk menentukan harga yang disepakati kedua daerah.

c. Joint Agreements (pengusahaan bersama). Model ini, pada dasarnya mensyaratkan adanya partisipasi
atau keterlibatan dari daerah-daerah yang terlibat dalam penyediaan atau pengelolaan pelayanan
publik. Pemerintah-pemerintah daerah berbagi kepemilikan kontrol, dan tanggung jawab terhadap
program. Sistem ini biasanya tidak memerlukan perubahan struktur kepemerintahan daerah
(menggunakan struktur yang sudah ada). Kelemahannya, dokumen perjanjian (agreement) yang
dihasilkan biasanya sangat rumit dan kompleks karena harus mengakomodasi sistem birokrasi dari
pemda-pemda yang bersangkutan.

d. Jointly-formed authorities (Pembentukan otoritas bersama). Di Indonesia, sistem ini lebih populer
dengan sebutan Sekretariat Bersama. Pemda-pemda yang bersangkutan setuju untuk mendelegasikan
kendali, pengelolaan dan tanggung jawab terhadap satu badan yang dibentuk bersama dan biasanya
terdiri dari perwakilan dari pemda-pemda yang terkait. Badan ini bisa juga diisi oleh kaum profesional
yang dikontrak bersama oleh pemda-pemda yang bersangkutan. Badan ini memiliki kewenangan yang
cukup untuk mengeksekusi kebijakan-kebijakan yang terkait dengan bidang pelayanan publik yang
diurusnya, termasuk biasanya otonom secara politis. Kelemahannya, pemda-pemda memiliki kontrol
yang lemah terhadap bidang yang diurus oleh badan tersebut.

e. Regional Bodies. Sistem ini bermaksud membentuk satu badan bersama yang menangani isu-isu
umum yang lebih besar dari isu lokal satu daerah atau isu-isu kewilayahan. Seringkali, badan ini bersifat
netral dan secara umum tidak memiliki otoritas yang cukup untuk mampu bergerak pada tataran
implementasi langsung di tingkat lokal. Lebih jauh, apabila isu yang dibahas ternyata merugikan satu
daerah, badan ini bisa dianggap kontradiktif dengan pemerintahan lokal. Di Indonesia, peranan badan
ini sebenarnya bisa dijalankan oleh Pemerintah Provinsi.

Perlu dipahami bahwa kerjasama tersebut adalah kerja sama antar kota sehingga segala sesuatu yang
dapat dilakukan merujuk pada hak dan kewenangan setingkat kota. Dengan demikian perlu adanya
kejelasan apa yang harus dilakukan kedua belah pihak ketika nantinya muncul kendala atau
permasalahan yang harus diselesaikan di luar kewenangan kedua belah pihak/kota tersebut.

Anda mungkin juga menyukai