Anda di halaman 1dari 8

BANGKIT

Cerpen Karangan: Alfred Pandie


Pandanganku pada langit tua. Cahaya bintang berkelap kelip mulai hilang oleh kesunyian
malam. Aku berjalan menyusuri lorong malam sepi nan gelap. Cahaya bulan malam ini begitu
indahnya. Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Konflik dengan orang tua karena tidak
lulus sekolah. Hari ulang tahun yang gagal di rayakan. Dan hadiah sepeda motor yang terpaksa
di kubur dalam-dalam karena tak lulus, belum lagi si adik yang menyebalkan. Teman-teman
yang konvoi merayakan kemenangan, sedang aku?
Hari-hari yang keras kisah cinta yang pedas. Angin malam berhembus menebarkan
senyumku walau sakit dalam hati mulai mengiris. Sesekali aku menghapus air mataku yang jatuh
tanpa permisi. Sakit memang putus cinta.
Rasanya beberapa saat lalu, aku masih bisa mendengar kata-kata terakhirnya yang tergiang-
ngiang merobek otak ku.
“sudah sana… Kejarlah keinginanmu itu!, kamu kira aku tak laku, jadi begini sajakah
caramu, oke aku ikuti.. Semoga kamu tidak menyesal menghianati cinta suci ini.” beberapa kata
yang sempat masuk ke hpku, di ikuti telpon yang sengaja ku matikan karena kesal atau muak.
Aku termenung di pinggir jalan, memegang kepalaku yang sakit. “selamat malam..? Sorii
mba kayanya lagi sedih banget boleh aku minta duitnya..” seorang pemabuk dengan botol bir di
tangan kiri dengan jalan yang tak beraturan, Ia mengeluarkan sebilah pisau lipat dan
mengancamku. Aku hanya terdiam tak berkata, membuatnya sedikit binggung. Aku meraih tas di
sampingku dan menyerahkan padanya. “ini ambil semua.. Aku tak butuh semua ini. Aku hanya
ingin mati…!” Aku melemparkan tas ke hadapannya yang di sambut dengan senyum picik dan
iapun menghilang di gelapnya malam.
Aku bangkit berdiri dan berjalan menyusuri malam, berdiri menatap air suangai yang
mengalir deras.Di sini di atas jembatan tua ini. Angin sepoi-sepoi menyerang tubuh ku. Aku
berdiri menatap langit yang bertabur bintang, rasanya tak ada yang penting bagiku sekarang.
Perlahan-lahan aku berjalan menaiki jembatan dan berdiri bebas. Menutup mata dan tinggal
beberpa senti lagi aku akan terjatuh. Aku perlahan mengangkat kaki kananku dan…?
Tiba-tiba sosok pemabuk yang menodong pisau padaku ku tadi, menarik baju ku dan
menampar pipiku kuat, keras sekali tamparannya “ini uang dan tas mu…!! Aku tak butuh..! Aku
lebih baik mati kelaparan dari pada melihat wanita lemah sepertimu” ia menarik ku turun dan
melemparkan tasku di atas tanah Dan ia berlalu pergi. Aku bangkit dan meraih tas ku kembali
menyusuri tangga turun. Sosok yang tadi, pria mabok yang ternyata seumuran denganku, di
sekujur tubuhnya penuh tato dan tubuhnya kurus sekali. Ia berdiri termenung pada tangga jalan.
Sesekali menatap langit dan menghapus air matanya.
“boleh aku berdiri disini bersamamu? Aku menyapanya tapi ia hanya terdiam membisu”.
Aku berdiri di sampingnya menunggu sampai kapan ia akan berdiri pergi dari sini.
“kenapa kamu menamparku..? Kenapa kamu menolongku?”
Aku sudah tak berarti lagi. Pria yang aku cintai bertahun-tahun mencapakanku dengan
tuduhan yang tak jelas, aku memulai pembicaraan”.
Dengan sesekali menghapus air mata akibat dari gejolak di hatiku. “apa kamu akan
terdiam atau aku telah mengusikmu?”. Aku melihatnya dan ia balik menatapku tajam. Aroma
alkohol dari mulutnya jelas tercium saat ia bicara “maafkan aku..? Sungguh aku minta maaf,
menurut ku kamu terlalu lemah, masalah apapun jangan berhenti untuk bangkit, bukankah setiap
hari kita merasakan hal yang sama? Ia berkata sembari mengulurkan tangannya yang ternyata
cuma 2 jari yang utuh, Aku mulai merinding karena sedikit takut. Sehingga aku tak membalas
uluran tangannya.

“Kaget ya mbak?. Jari ku yang lain di potong oleh preman karena persaingan. Hidup di
jalan seperti ku ini, hawanya sangat dingin dan penuh nyali besar, bahkan untuk tertidur saja itu
sulit. Harus rela kedinginan, Di gigit nyamuk dan tempat ku tertidur hanya di emperan toko, Dan
kalau sudah penuh oleh gembel lain, terpaksa aku harus mencari tempat lain yang menurutku
layak. Maaf bila aku mengambil tas mu. Aku butuh makan, sudah 3 hari aku tidak makan, sisa
makanan di tong sampah sudah membusuk karena hujan kemarin, Biasanya aku mencari secerca
kenikmatan disana yang masih bisa layak ku telan, rasa lapar tak akan bisa membuatmu jijik.
Setiap hari saat membuka mata yang anda ingat hanya perut dan perut.”Ia terdiam dan
mengalihkan pandanganya luas menembus angkasa, langit malam ini. Aku hanya terdiam
terpaku dengan mulut terbuka, betapa aku tak percaya setengah mati. Bagaimana mungkin
seandainya sekarang aku berada di posisi ini? Aku yang terlahir dari keluar sederhana namun
penuh kehangatan, uang bukan masalah, aku hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang
tuaku mendapatkannya, semuanya cukup, tapi ternyata itu bukan kebahagian, itu nafsu sesaat,
Aku memang memiliki segalanya tapi tidak dengan cinta, selalu ada yang kurang setiap hari.
Tanpa kebersaman kita mati. Terutama pentingnya mensyukuri apa yang ada. Aku menarik
tangan dan menjabat tangannya kuat-kuat yang tinggal dua jari meski sedikit risih karena aneh
menurutku. Aku memberinya sedikit pelukan hangat. Ia tersenyum memamerkan mulutnya yang
bau alkohol dan bau wc umum. Aku menyerahkan tas ku padanya.

“Ambil lah.. Aku tak mengenalmu tapi kamu memberi ku banyak alasan hari ini, kenapa
aku harus kuat menghadapi hidupku sekarang dan nanti, bukankah hidup harus tetap di jalani.
Aku sadar masih punya segalanya, bodoh sekali cuma karena cinta semangatku hilang, belum
tentu ia jodohku, belum tentu ia juga memikirkan hal yang sama, rasa sakitku”. Aku berlari
menuruni tangga meninggalkan ia sendiri yang masih terdiam menatap kembali langit yang
menampakan bintang-bintang kecil yang berkelip dengan jenaka, seakan hari ini tak akan
berlalu.
Ketika aku akan menapaki jalan. Kekasihku sedang berdiri di depanku dengan bunga
mawar banyak sekali di tangannya, sementara di belakangnya orang tua dan adikku yang berdiri
di samping mobil, kami saling terdiam untuk beberapa saat ia memulai.“maafkan aku sayang,
ternyata aku yang salah menilaimu, makasih ya?, sudah membuat hidupku lebih berharga karena
ini. Ia menyerahkan bunga dengan sebuah diary usang punyaku, yang entah dari mana ia
mendapatkannya. Tapi disinilah aku bisa menulis menitikan setiap masalah, rasa banggaku atas
kekasihku ini. Aku memeluk erat tubuhnya lama kami terdiam di iringi tangis dan canda
menghiasi malam, sementara kedua orang tuaku tersenyum senang. Aku mengajak kekasihku
menaiki tangga untuk mengenalkan pada orang yang mengajarkanku banyak hal. Khususnya arti
bersyukur.Kami menapaki jalan tangga dan melirik sekeliling dan mencari namun sosok itu
hilang tak berbekas? Kami turun dan kami pergi ke mall bersama orang tua dan adik ku untuk
merayakan ulang tahunku.
Walaupun tetap aku tak dapat sepeda motor karena tak lulus tapi bukan berarti
kehangatan ini harus berakhir

Tamat
1. Unsur Intrinsik cerpen ‘‘Bangkit’’
1) Tema: Jangan mudah putus asa / kehidupan
2) Latar:
- Waktu : Malam hari
Bukti : Cahaya bulan malam ini begitu indahnya.
- Tempat : di pinggir jalan dan di atas jembatan
Bukti : ‘Aku termenung di pinggir jalan, memegang kepalaku yang sakit. ‘
‘ Di sini di atas jembatan tua ini angin sepoi-sepoi menyerang tubuh ku’.
- Suasana : Sunyi sepi
Bukti : ‘Aku berjalan menyusuri lorong malam sepi nan gelap.’
3) Alur : Maju
- Karena jalan cerita dijelaskan secara runtut mulai dari pengenalan latar
dan masalah sampai ke konflik dan di akhir cerita terdapat penyelesaian konflik.
4) Penokohan :
- Aku : mudah putus asa, kurang bersyukur dan selalu mengeluh
Bukti :
‘Kenapa kamu menolongku? Aku sudah tak berarti lagi.’
‘Aku hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang tuaku
mendapatkannya.’
- Pria pemabuk : pemabuk dan kuat menghadapi beratnya hidup
Bukti :
‘seorang pemabuk dengan botol bir di tangan kiri dengan jalan yang tak
beraturan’
‘Hidup di jalan seperti ku ini, hawanya sangat dingin dan penuh nyali besar,
bahkan untuk tertidur saja itu sulit.’
5) Sudut pandang : orang pertama sebagai pelaku utama.
- Bukti : Cerpen bangkit menggunakan kata ganti “aku” sebagai tokoh utama dan
mengisahkan tentang dirinya sendiri.
6) Amanat :
a. Jangan mudah putus asa dalam menjalani kerasnya hidup.
b. Bersyukurlah atas apa yang telah dimiliki.
c. Hidup tidaklah sempurna kadang manusia diatas dan kadang dibawah.
d. Jangan lari dari permasalahan.
e. Kegagalan adalah awal dari keberhasilan.
f. Masalah apapun jangan berhenti untuk bangkit
“Senyum Terakhir”
Dengan nafas yang terengah-engah setelah mengendarai sepeda. Aku terhenti saat ku
melihat dia, aku tak tahu siapa dia. Wajahnya cukup cantik dan manis, aku singgah membeli
segelas air untuk melepaskan dahaga yang melanda tenggorokanku.
Setelah beristirahat aku langsung mengayuh pedal sepeda untuk pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, kedua orang tuaku sedang pergi ke sebuah tempat yang aku tidak tahu. Aku
segera pergi mandi karena badanku sudah bermandi keringat. Setelah mandi aku memakai
pakaian dan menuju taman yang tak jauh dari kompleks rumahku. Aku kaget si dia juga sedang
berada di taman. Tanpa pikir panjang aku langsung menghampirinya. “Hai…..”, kataku
Dengan senyum aku menyapanya.
Tapi dia tidak merespon dan tetap saja membaca sebuah novel. Sekali lagi aku mengulangi
sapaanku.
“Hai.. boleh kenalan gak?”.
“Iya ada apa?”, katanya sambil menatap novel yang dibacanya.
“Aku boleh gak kenalan? Namaku Zhaky”, sambil mengulurkan jemariku.
Dia langsung berdiri lalu meletakkan bukunya di atas kursi dan memberi tahu namanya.
“Namaku Tamara”, katanya dengan senyum.
“Kamu tinggal dimana?”, kataku.
“Aku tinggal di sebelah kiri toko buku dekat gerbang kompleks. Aku baru pindah
kemarin.”
“Oooo…. Kamu anak baru yah?”.
“Memang kenapa?”.
“Tidak kenapa-kenapa kok”.
“Ayo aku temani jalan-jalan di taman ini. Lagi pula gak enak juga kalau suasananya
begini-begini saja”, pintaku.
“Ok.. baiklah”, katanya dengan lembut.
Langkah demi langkah mengawali perkenalanku dengan si dia yaitu Tamara. Kami
berjalan mengelilingi taman, dari pada hanya terdiam lebih baik aku memulai pembicaran. Aku
menanyakan banyak hal kepadanya. Dan kami selalu menyelingi pembicaraan kami dengan
candaan yang cukup untuk mengocok perut hingga sakit.
Sekarang sang mentari akan kembali ke peraduannya. Kami berjalan pulang bersama
karena arah rumah kami searah. Tamara berada di depan kompleks sedangkan rumahku ada di
lorong kedua sebelah kanan di kompleks tempat tinggalku. Sesampai di depan rumah Tamara,
kami berhenti dan menyempatkan diri untuk bercanda sebentar.
Suara teriakan Ibunya yang memanggil membuat kami berdua kaget. “Tamara…
Tamara… ayo cepat masuk, udah hampir malam nih!, teriak ibunya.
“Ya bu.. tunggu!, Zhaky aku duluan yah?”, katanya dengan senyum.
“Iya…”, kataku sembari membalas tersenyumnya.
“Kamu juga cepetan pulang, nanti di cariin sama Ibu kamu”.
“Ok… aku pulang yah.. dadah..!”, sambil berjalan dan melambaikan tangan.
Di perjalanan, aku hanya bisa berkata “Baru kali ini aku bisa cepat berkenalan dengan
seorang gadis, apalagi gadis seperti Tamara”. Kini aku berjalan di antara jalan yang sepi dengan
sedikit penerangan dari lampu jalan yang mulai redup dan di kerumuni serangga.
Sesampai di rumah aku di marahi oleh Ibuku. “Kamu ke mana aja”?, bentak Ibu.
“Maaf Bu, aku tadi dari keliling taman”, kataku sambil menunduk.
“Lain kali jangan pulang telat lagi yah?”.
“ Iya Bu”, sembariku meninggalkan ibu di teras rumah.

***

Keesokan paginya aku bertemu dengan Tamara, ternyata aku sama sekolah dengan dia,
kemarin aku lupa nanya sih. Aku langsung berlari menghampirinya.
“Tamara… Tamara…. tunggu aku!”, kataku sambil berlari.
Tamara berhenti dan memegang pundakku.
“Masih pagi-pagi kok dah keringatan kayak gini?, ini usap keringatmu!”, katanya sembari
menyodorkan sapu tangannya.
“Iya nih, kamunya tuh. Kamu jalannya cepat amat” .
“Iya maaf”, kataya sambil tersenyum.
“Ayo buruan entar pintu gerbang ditutup”.
Sesampai di sekolah aku langsung ke kelas dan ternyata Tamara juga sekelas dengan aku.
Dia duduk di sampingku, karena Dino teman aku baru pindah sekolah dua hari yang lalu. Tamara
naik dan memperkenalkan dirinya ke teman-teman kelasku.
“Hai perkenalkan namaku Tamara Adelia, panggil aja aku Tamara. Aku baru pindah dari
Makassar kemarin, semoga kita semua bisa menjadi teman yang akrab”.
“Ok….”, Teriak semua temanku.
Kini kami semakin dekat. Kami selalu bersama, kami duduk di depan kelas sembari
bercerita tentang tugas sekolah.
“Kamu suka pelajaran apa?”, tanyaku.
“Aku paling suka pelajaran matematika”.
“Kenapa kamu suka pelajaran itu?, padahal pelajaran itu agak rumit dan memusingkan”.
“Karena aku suka aja dengan pelajaran itu, kalau kamu sukanya pelajaran apa?”.
“Aku paling suka dengan pelajaran bahasa Indonesia, yah pelajaran sastra”.
“Kenapa kamu suka pelajaran itu?, tanyaku.
“Seperti kamu tadi, aku suka aja dengan pelajaran itu. Aku sudah buat beberapa cerpen,
mau baca?”, kataku sambil menyodorkan beberapa cerpen karyaku.
“Ini buatan kamu?, aku gak percaya”.
“Iyalah, ini buatan aku. Kamu baca yah dan berikan saran, ok?”.
“Ok…”, katanya sambil tersenyum.

***

“Tttttttteeettt….”, Bunyi bel menandakan kami akan melanjutkan ke pelajaran


berikutnya. Tapi, guru yang mengajar tidak datang. Jadi aku dan Tamara bersama teman-teman
yang lain hanya bercerita tentang hal-hal yang dapat mengocok perut.
Tak lama kemudian, kami pun pulang. Aku bersama Tamara dan temanku yang lain
berjalan menuju pintu gerbang, menertawai hal yang tak patut ditertawai. Di perjalanan pulang
Tamara berteriak, “Auuuuhh sakit, Zhaky bantu aku berdiri!” pintanya sambil meneteskan air
matanya. Kaki Tamara tersandung batu, dan kelihatannya kaki Tamara terkilir.
“Sudah jangan nangis dong, pasti kamu akan sembuh kok”, kataku menyemangati.
“Iya Zhaky, tapi kaki aku sakit banget. Bantu aku berdiri dong!”, pintanya
“Auuuuhh…. Sakit!!”, katanya sambil merintih kesakitan.
“Sini biar aku gendong deh, gak apakan?” .
“Betul mau gendong aku, aku berat loh!”, katanya sambil tersenyum.
“Sakit-sakit gini sempat aja ngelawak, sini naik cepat”.
“Hehehe…. Aku beratkan?”, tanyanya, sambil tertawa.
“Gak kok..”, kataku sambil tersenyum.
Sesampai di depan rumah Tamara, Ibunya yang sedang membaca koran kaget saat
melihat kedatanganku yang menggendong Tamara. “Tamara, kamu gak apa-apakan nak?”.
“Gak apa-apa kok Bu”, kata Tamara.
“Kakinya terkilir tadi waktu jalan pulang tante”, kataku.
“Terima kasih yah nak ….”
“ Zhaky, tante!”, ucapku dengan maksud memperkenalkan diri.
“Iya terima kasih yah nak Zhaky”, katanya sambil tersenyum.
“Tamara, tante, Zhaky pulang dulu yah?”, kataku.
“Iyaa nak Zhaky, kapan-kapan main ke rumah yah?”, kata ibu Tamara.
“Baik tante”, kataku sambil tersenyum.
Sehabis menggendong Tamara punggungku rasanya ingin copot, benar juga kata Tamara
badannya berat. Tapi, tidak apalah dari pada sahabat aku Tamara gak pulang ke rumah. Sesampai
di rumah aku langsung melepas pakaian dan makan siang. Sesudah itu aku langsung tidur karena
aku lelah banget udah gendong Tamara.

***

Keesokan paginya aku menunggu Tamara di depan rumahnya. Saat melihat dia keluar
rumah, dia sudah bisa berjalan dengan baik. Aku kaget dan bengong melihatnya.
“Woii kamu kenapa bengong kayak gitu?”, tanyanya sambil mencubit pipiku.
“Akh gak apa kok!, eh kok cepat amat sembuhnya?”.
“Iyaa nih, semalam aku dibawa ke tukang urut, rasanya sakit amat waktu di urut”.
“Baguslah, daripada berjalan dengan pincang”, kataku sambil tersenyum.
Sampai di sekolah teman-teman ku berkumpul membicarakan sesuatu, aku dan Tamara bergegas
ke sana dan mendengar apa yang di ceritakan teman-temanku itu.
“Teman-teman, besokkan kita libur bagaimana kalau kita liburan?”, kata Naila.
“Kita mau ke mana ?”, tanyaku memotong pembicaraan.
“Kita akan pergi liburan, baiknya kita ke mana?”, kata Denny.
“Bagaimana kalau kita pergi ke tempat rekreasi terkenal di kota ini!”, kata Tamara.
“Baiklah kita akan ke Pantai Bira!”, kataku.
Tak sabar menunggu saat itu, aku menceritakan sedikit tentang Pantai Bira kepada
Tamara. Kami tidak memerhatikan penjelasan guru, akibat cerita kami yang semakin
mengasyikkan. Tak lama kemudian bel istirahat pun berbunyi. Rasanya aku tidak ingin berpisah
dengan Tamara walau sekejap saja. Tapi, mungkin itu cuman perasaanku saja. Kami berkeliling
sekolah mencari hal-hal yang baru dan melupakan apa yang aku banyangkan tadi.
Tidak lama kemudian, bel kembali berbunyi kami berlari ke kelas. Kami berlari sambil
tertawa dengan senangnya. Rasanya hal ini adalah hal yang terindah bagiku. Sesampai di kelas
kami duduk dan menunggu guru. Tak lama kemudian, guru yang mengajar pun datang.
Aku merasa agak tidak enak badan. Tamara iseng mencubit pipiku dan Tamara kaget.
“Zhaky kamu gak apa-apa, kan?” tanyanya dengan khawatir.
“Aku gak apa-apa kok”, kataku dengan nada yang pelan.
“Kamu sakit dan aku harus antar kamu pulang!”, katanya sambil berjalan menuju guruku.
“Pak, Zhaky sakit”, katanya.
“Baiklah bawa dia pulang, kamu mau mengantarnya?” tanya pak guru.
“Iya pak aku bisa kok”, katanya.
Berhubung sudah hampir pulang Tamara memasukkan barang-barangku ke dalam tas
lalu dia juga membereskan barang-barangnya.
“Ayo aku antar kamu pulang”, katanya.
Tamara meminta izin mengantar aku pulang. Sambil memegang jemari-jemariku dan
sesekali memegang keningku. Tamara selalu bertanya tentang keadaanku. Tapi, aku hanya bisa
menjawabnya dengan kalimat, “Aku baik-baik saja kok, gak usah khawatir”.
Sesampai di rumah aku langsung di bawa Tamara ke kamarku sembari ibu mengomel-
ngomeliku.
“Ini sebabnya kalau makan gak teratur”, katanya.
“Sudah tante, Zhaky ‘kan lagi sakit”, pinta Tamara ke Ibuku.
“Biarlah nak, biar dia tahu rasa”, kata Ibuku.
“Kalau begitu aku pulang dulu tante”.
“Nak nama kamu siapa?”.
“Nama aku Tamara, tante”.
“Terima kasih yah nak Tamara, udah bawa pulang anak tante ini”.
“Iya, sama-sama tante”, katanya.
Aku melihat senyuman indah dari Tamara saat akan keluar dari kamarku.

***

Keesokan paginya, rasanya badanku udah sehat. Aku bergegas menyiapkan barang yang
akan ku bawa. Aku mandi dan sesudah itu berpakaian rapi dan langsung menuju rumah Tamara.
Tapi, Tamara sudah berangkat duluan. Aku langsung ke sekolah. Sampai di sekolah aku melihat
Tamara dan langsung menghampirinya.
“Zhaky, kamu udah sembuh?”, katanya.
“Iya.. aku udah sembuh kok”.
“Betul aku udah sembuh”, kataku sambil meraih tangannya dan meletakkannya di
keningku.
Tak berapa lama kemudian, bus yang akan mengantar kami ke Pantai Bira pun datang.
Aku duduk di belakang bersama anak lelaki lainnya. Tamara berada di depan bersama teman
wanitanya. Di perjalanan rasa gelisahku semakin tak menentu. Aku memiliki firasat buruk dan
naas tak berselang beberapa lama mobil yang aku tumpangi kecelakaan.
Aku merasa kepalaku sakit, saat ku pegang kepalaku mengeluarkan darah yang banyak.
Tapi, yang ada di pikiranku sekarang adalah Tamara. Aku langsung berteriak dengan nada yang
lemah. “Tamara.. kamu gak apa-apa, kan?”. Aku tak mendengar suaranya. Aku melihat teman-
temanku terluka dan mengeluarkan banyak darah. Saat aku ke tempat duduk Tamara, aku
melihat kepala Tamara mengeluarkan banyak darah. Rasa sakit yang aku rasa membuat aku
pingsan.
“Zhaky, Zhaky, bangun nak, ibu di sini”, kata ibuku sambil menangis.
Mendengar suara itu, aku terbangun. Aku sekarang berada di rumah sakit, aku kaget dan
berteriak.
“Dimana Tamara Bu? Tamara baik-baik sajakan Bu?”.
Ibu hanya terdiam sambil menatap ayah.
“Ibu apa yang terjadi?”, aku mulai meneteskan air mata.
“Maaf nak, kini Tamara sudah berada di tempat lain”, dengan nada yang pelan ibu
memberitahuku.
“Jadi maksud ibu?”.
“Iya Nak, Tamara telah meninggal akibat kecelakaan itu”, kata ibu sembari memelukku.
Aku terduduk di ranjang dan dipeluk ibu sambil menangis dengan keras dan berkata “
Kenapa dia terlalu cepat meninggalkan aku Bu?”. Aku terdiam dan mengingat saat aku sakit, dia
memberiku senyuman yang kuanggap indah itu dan menjadi senyuman terakhir darinya.

(SELESAI)

ANALISIS
JUDUL : SENYUM TERAKHIR
UNSUR INTRINSIK
 Tema : Persahabatan Sejati
 Setting :
1. Tempat : Taman, sekitar kompleks rumah, rumah Zacky, jalan menuju sekolah,
sekolah, bus.
2. Waktu : Pagi, siang, petang.
3. Suasana : Menyenangkan, asik, seru, manis, tragis, sedih, mengharukan.
 Alur : Maju

 Amanat :
1. Hargailah semua waktu-waktu kebersamaan bersama sahabatmu, karena kita tak pernah
tahu kapan akan berpisah selamanya dengannya.
2. Sayangilah sahabatmu dengan tulus dari hati hingga akhir waktu.

Anda mungkin juga menyukai