Anda di halaman 1dari 97

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI AKTIVITAS ANTIHIPERGLIKEMIK EKSTRAK


ETANOL 70% DAUN SELEDRI JEPANG (Angelica keiskei)
PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR SPRAGUE DAWLEY
DENGAN METODE INDUKSI ALOKSAN

SKRIPSI

FARIS MOHAMMAD HADININGRAT


NIM. 1113102000071

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
JAKARTA
2017
ii

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

UJI EFEK ANTIHIPERGLIKEMIK EKSTRAK ETANOL 70%


DAUN SELEDRI JEPANG (Angelica keiskei) PADA TIKUS
PUTIH JANTAN GALUR SPRAGUE DAWLEY DENGAN
METODE INDUKSI ALOKSAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

FARIS MOHAMMAD HADININGRAT


NIM. 1113102000071

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM


STUDI FARMASI
JAKARTA
2017

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


iii

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


iv

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


v

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


vi

ABSTRAK

Nama Faris Mohammad Hadiningrat


Program Studi Farmasi
Judul Uji Efek Antihiperglikemia Ekstrak Etanol 70% Daun Seledri
Jepang (Angelica keiskei) pada Tikus putih jantan galur Sprague
Dawley dengan Metode Induksi Aloksan

Daun Seledri Jepang (Angelica keiskei) merupakan salah satu tanaman yang memiliki khasiat
sebagai tanaman antioksidan yang kuat. Berbagai senyawa metabolit sekunder seperti fenol
dan flavonoid berperan besar dalam timbulnya efek antioksidan yang juga diduga dapat
mengendalikan kadar glukosa darah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek
antihiperglikemia ekstrak etanol 70% daun seledri jepang terhadap tikus Sprague-Dawley
jantan yang diinduksi aloksan. Sebanyak 30 ekor tikus dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan.
Kelompok normal diberi akuades, kelompok kontrol positif diinduksi dan diberikan
Glibenklamid, kelompok kontrol negatif diinduksi dan diberi aquadest, dan kelompok dosis
ekstrak yang diinduksi dan diberi dosis ekstrak 1; 10; dan 100 mg/kgBB. Sebelum diberi
perlakuan, sebanyak 25 tikus uji diinduksi Aloksan pada dosis 150 mg/kgBB secara
intraperitoneal. Setelah 7 hari diinduksi, tikus uji diberikan perlakuan selama 21 hari.
Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan sebanyak 5 kali yaitu pada hari sebelum
induksi,hari ke-0, 7, 14, dan 21. Kadar glukosa darah secara statistik diuji Kruskal-Wallis yang
kemudian dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak etanol
70% daun seledri jepang dapat mengendalikan kadar gula darah yaitu ada perbedaan yang
bermakna dengan kontrol negatif (p < 0,05), tidak ada perbedaan yang bermakna (p > 0,05)
dengan obat antihiperglikemik (glibenklamid) yang beredar di masyarakat, dan tidak ada
perbedaan yang bermakna (p > 0,05) antar ekstrak etanol 70% daun seledri jepang pada
berbagai dosis (1, 10, 100mg/kgBB). Hal ini menunjukkan ekstrak etanol 70% daun Seledri
jepang memiliki kemampuan menurunkan kadar glukosa darah pada tikus yang diinduksi
aloksan

Kata Kunci : Antihiperglikemia, aloksan, daun Seledri jepang, kadar glukosa darah, Angelica
keiskei.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


vii

ABSTRACT

Name Faris Mohammad Hadiningrat


Mayor Pharmacy
Title Test Effect of Antihiperglikemia Ethanol Extract 70% Japanese
Celery Leaf (Angelica keiskei) on Sprague-Dawley male white rats
with Aloksan Induction Method

Japanese Celery Leaf (Angelica keiskei) is one of the plants that has the property as a powerful
antioxidant plant. Various secondary metabolite compounds such as phenols and flavonoids
play a major role in the emergence of antioxidant effects that are also thought to control blood
glucose levels. The purpose of this study was to investigate the antihyperglycemia effect of
ethanol extract 70% of Japanese celery leaves against male-induced all-male Sprague-Dawley
rats. A total of 30 rats were divided into 6 treatment groups. The normal group was given
aquadest, a positive control group induced and given Glibenclamide, a negative control group
induced and given aquadest, and a group of extract dose induced and given a dose of extract 1;
10; And 100 mg / kgBW. Prior to treatment, a total of 25 Aloksan-induced mice were tested at
a dose of 150 mg / kgBW intraperitoneally. After 7 days induced, the test rats were treated for
21 days. Measurement of blood glucose level was done 5 times ie on the day before induction,
day 0, 7, 14, and 21. Blood glucose level was statistically tested Kruskal-Wallis which then
continued with Mann-Whitney test. The results showed that ethanol extract 70% of Japanese
celery leaves can control blood glucose level which has significant difference with negative
control (p <0,05), has no significant difference (p > 0,05) with antihipergicemic drug
(glibenklamid) Circulating in the community, and had no significant difference (p > 0.05)
between ethanol extract 70% of Japanese celery leaves at various doses (1, 10, 100mg / kgBW).
This shows 70% ethanol extract of Japanese Celery leaves have the ability to lower blood
glucose levels in alloxan-induced rats

Keywords: Antihiperglikemia, alloxan, Japanese Celery leaves, blood glucose level, Angelica
keiskei.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT atas segala nikmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi. Serta
shalawat dan salam untuk baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa petunjuk bagi
seluruh umat manusia, semoga kelak kita mendapatkan syafaat beliau. Skripsi ini berjudul “Uji
Efek Antihiperglikemik Ekstrak Etanol 70% daun seledri jepang (Angelica keiskei) pada Tikus
Putih Jantan galur Spargue dawley dengan Metode Induksi Aloksan” yang telah diajukan
sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi Program Studi Farmasi FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa penulisan
skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada:
1. Kementerian Agama Republik Indonesia, selaku pemberi beasiswa saya selama
pendidikan strata-1.
2. Bapak Prof. Dr. Arief Sumantri, M. Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Nurmeilis, M. Si., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Bapak Yardi, Ph.D., Apt dan Bapak Drs. Ahmad Musir, M. Sc., Apt. selaku
pembimbing yang memiliki andil besar dalam proses penelitian dan penyelesaian
skripsi ini.
5. Bapak dan ibu dosen Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis.
6. Para staf karyawan dan laboran Program Studi Farmasi yang telah banyak membantu
selama berlangsungnya penelitian ini.
7. Abi M. Imbran, Umi Endang lukmiati, Fakhry Muhammad Lutfirahman, dan Farhan
Mohammad Al-Aziz yang selalu menjadi keluarga terhebat yang telah berjuang keras
membantu, mendo’akan dan mendukung penulis dengan sepenuh hati.
8. Amalia Rahmatika, dan Sagita praja atas pencerahan dalam terwujudnya penelitian ini
9. Teman seperjuangan penelitian Eksperimen 2013 terima kasih atas segala bantuan dan
semangat selama penelitian berlangsung.
10. Teman-teman Farmasi 2013, yang banyak membantu penulis selama masa perkuliahan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


ix

11. Teman-teman CSSMoRA 2013 yang banyak membantu penulis selama masa
perkuliahan.
12. Lisa Ibrahim, Haka Asada, Dwipuspita terima kasih atas segala bantuan selama
penelitian berlangsung.
13. Serta kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan skripsi
ini yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan
pengetahuan khususnya di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembaca pada umumnya.

Ciputat, Agustus 2017

Penulis

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


x

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI


TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya
yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Faris Mohammad Hadiningrat


NIM : 1113102000071
Program Studi : Farmasi
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya : Skripsi

Demi perkembangan ilmu pengetahuan saya menyetujui skirpsi karya ilmiah saya dengan
judul :

UJI EFEK ANTIHIPERGLIKEMIA EKSTRAK ETANOL 70% DAUN SELEDRI


JEPANG (Angelica keiskei) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR SPRAGUE-
DAWLEY DENGAN METODE INDUKSI ALOKSAN SECARA IN VIVO

Untuk dipublikasikan atau ditampilkan diinternet atau media lain yaitu : Digital Library
Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan
akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di : Jakarta

Pada tanggal : 30 Agustus 2017

Yang menyatakan,

(Faris Mohammad H)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


xi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...................................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................................ iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................. iv
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................................. v
ABSTRAK ......................................................................................................................... vi
ABSTRACT ........................................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................................... x
DAFTAR ISI...................................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... xv
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 5
1.3 Hipotesis .............................................................................................................. 5
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 5
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 6


2.1. Tanaman seledri jepang (Angelica kieskei) ........................................................ 6
2.1.1 Sistematika Tumbuhan .............................................................................. 6
2.1.2 Morfologi Tumbuhan ................................................................................ 6
2.1.3 Habitat ....................................................................................................... 8
2.1.4 Kandungan Kimia...................................................................................... 8
2.1.5 Literatur Review ........................................................................................ 10
2.1.6 Kalkon ....................................................................................................... 12
2.2. Simplisia ............................................................................................................. 14

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


xii

2.2.1 Definisi Simplisia ...................................................................................... 14


2.2.2 Pengelolaan Simplisia ............................................................................... 14
2.3. Ekstraksi ............................................................................................................. 15
2.3.1 Ekstrak ....................................................................................................... 15
2.3.2 Proses Pembuatan Ekstrak......................................................................... 15
2.3.3 Metode Ekstraksi ....................................................................................... 17
2.3.3.1 Ekstraksi dengan Menggunakan Pelarut ....................................... 17
2.3.3.2 Destilasi Uap ................................................................................. 18
2.4. Diabetes Melitus ................................................................................................. 18
2.4.1 Definisi ...................................................................................................... 18
2.4.2 Klasifikasi .................................................................................................. 18
2.4.3 Gejala Klinik ............................................................................................. 19
2.4.4 Patofisiologi Diabetes Melitus .................................................................. 20
2.4.5 Terapi Diabetes Melitus ............................................................................ 21
2.4.5.1 Terapi non Farmakologis .............................................................. 21
2.4.5.1 Terapi Farmakologis ..................................................................... 22
2.5. Tinjauan Hewan Coba ........................................................................................ 24
2.5.1 Model Hewan Uji pada Pengujian efek Antihiperglikemia ...................... 25
2.6. Model Penginduksian Diabetes Melitus secara Kimiawi ................................... 26
2.6.1 Model Streptozosin.................................................................................... 26
2.6.2 Model Aloksan .......................................................................................... 27
2.7. Senyawa yang digunakan untuk kontrol positif Glibenklamid .......................... 28
2.8. Metode Pengukuran Glukosa Darah ................................................................... 28
2.8.1 Glukometer ( Glukosa meter) .................................................................... 29

BAB III METODE PENELITIAN .................................................................................. 32


3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................................ 32
3.2. Desain penelitian ................................................................................................ 32
3.3. Alat dan Bahan ................................................................................................... 32
3.3.1 Alat ............................................................................................................ 32

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


xiii

3.3.2 Bahan ......................................................................................................... 33


3.4. Prosedur Kerja .................................................................................................... 33
3.4.1 Penyiapan Ekstrak Etanol 70% Daun Seledri jepang ................................ 33
3.4.1.1 Determinasi tanaman .................................................................... 33
3.4.1.2 Pembuatan Simplisia ..................................................................... 34
3.4.1.3 Ekstraksi ........................................................................................ 34
3.5. Penapisan Fitokimia ........................................................................................... 35
3.6. Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak ................................... 36
3.6.1 Parameter Spesifik ..................................................................................... 36
3.6.2 Parameter non Spesifik .............................................................................. 36
3.7. Penyiapan bahan ................................................................................................. 37
3.8. Uji Pendahuluan Induksi Aloksan ...................................................................... 38
3.9. Uji Antihiperglikemik ........................................................................................ 39
3.9.1 Pengelompokan Hewan Uji ....................................................................... 39
3.9.2 Uji Antihiperglikemia dengan Metode Induksi Aloksan .......................... 39
3.10. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah .................................................................. 40
3.11. Alur penelitian .................................................................................................. 41
3.11.1 Alur pembuatan ekstrak........................................................................... 41
3.11.2 Alur aklimatisasi hewan uji metode induksi aloksan .............................. 42
3.11.3 Alur kerja uji induksi aloksan ................................................................. 43
3.12. Metode Pengolahan dan Statistik Data ............................................................. 44
3.12.1 Presentase pengendalian hiperglikemia glukosa darah ........................... 44
3.12.2 Pengolahan data ....................................................................................... 44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 45


4.1. Determinasi Tanaman ......................................................................................... 45
4.1.1 Determinasi Tanaman ................................................................................ 45
4.1.2 Pembuatan Simplisia................................................................................... 45
4.1.3 Ekstraksi ..................................................................................................... 45
4.1.4 Penapisan Fitokimia .................................................................................. 46

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


xiv

4.1.5 Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak ............................................ 47


4.2 Uji Pendahuluan Dosis Aloksan .......................................................................... 48
4.2.1 Uji Antihiperglikemia dengan Metode Induksi Aloksan........................... 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 55


5.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 55
5.2 Saran .................................................................................................................... 55

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 56


LAMPIRAN....................................................................................................................... 62

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Daun Seledri jepang berbentuk menjari ................................................................ 6


Gambar 2. 2 Stuktur kalkon, FABAD J. Pharm. Sci., 36, 223-242, 2011 ............................... 13
Gambar 2. 3 Struktur kimia aloksan ........................................................................................ 27
Gambar 2. 4 Struktur Glibenklamid......................................................................................... 28
Gambar 2. 5 Test strip glukometer .......................................................................................... 30
Gambar 2. 6 Reaksi kimia glukosa pada strip Glukometer ..................................................... 30
Gambar 4. 1 Skema toksisitas sel β pankreas ......................................................................... 53

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Hasil penapisan fitokimia ekstrak etanol 70% daun seledri jepang secara kualitatif
.................................................................................................................................................. 10
Tabel 2. 2 Tabel parameter penegakkan diagnosis Diabetes Melitus ...................................... 19
Tabel 3. 1 Kelompok Perlakuan Hewan Uji ............................................................................ 39
Tabel 4.1 Hasil penapisan fitokimia ekstrak etanol 70% daun seledri jepang..........................45
Tabel 4.2 Hasil Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak...............................46
Tabel 4.3 Kadar glukosa darah hewan uji pendahuluan dosis aloksan.....................................47
Tabel 4.4 Rerata Kadar Glukosa Darah Puasa pada Uji Metode Induksi Aloksan...................50
Tabel 4.5 Persentase pengendalian hiperglikemia glukosa darah tikus.....................................51

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik


menahun akibat penurunan fungsi pankreas dalam memproduksi hormon
insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan hormon insulin yang diproduksi
secara efektif sehingga menyebabkan kondisi hiperglikemia, yaitu kadar
glukosa darah yang melebihi batas normal (GDP : >126mg/dL dan GDS : >
200mg/dL) . Diabetes melitus dikenal sebagai silent killer karena sering tidak
disadari oleh penderita dan saat telah diketahui sudah terjadi komplikasi.
(Depkes, 2014).
Berdasarkan estimasi terakhir International Diabetes Federation (IDF),
terdapat 382 juta orang yang hidup dengan diabetes di dunia pada tahun 2013.
Pada tahun 2035 jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta
orang. Indonesia merupakan negara terbesar ke-4 untuk pravelensi penyakit
diabetes. (Depkes, 2014).
Di abad ke-21 ini, telah terjadi perubahan paradigma masyarakat dalam
mengonsumsi obat. Riset Kesehatan Dasar 2010 menyebutkan bahwa 59,12%
(lima puluh sembilan koma dua belas persen) penduduk semua kelompok umur,
laki-laki dan perempuan, baik di pedesaan maupun diperkotaan menggunakan
jamu, yang merupakan produk obat tradisional asli Indonesia. Berdasarkan riset
tersebut 95,60% (sembilan puluh lima koma enam puluh persen) merasakan
manfaat jamu. Dari berbagai kekayaan aneka ragam hayati yang berjumlah
sekitar 30.000 (tiga puluh ribu) spesies, terdapat 1.600 (seribu enam ratus) jenis
tanaman obat yang berpotensi sebagai produk ramuan kesehatan tradisional atau
pada gilirannya sebagai obat modern. (Kemendag RI, 2014)
Dalam ajaran agama islam baik dalam Al-quran maupun Hadist telah
tertulis bahwa setiap penyakit selalu dibarengi dengan obatnya. Seperti
disebutkan dalam QS Al-isra 17 : 82

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2

yang artinya “Dan Kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi obat
(penawar) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Quran itu
tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”. Begitu
pula dalam hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh imam muslim
: “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat itu tepat untuk suatu penyakit,
penyakit itu akan sembuh dengan seizin Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR Muslim).
Dalam ayat lainpun disebutkan bahwa apa-apa yang diciptakan oleh Allah SWT
pasti bermanfaat, yaitu dalam surat Shad 38: 27 yang artinya : “Dan Kami tidak
menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah.
Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-
orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka”. Maka dari itu peneliti
mencoba menjadikan al-quran dan hadist sebagai dasar dari penelitian ini.
Praktik pelayanan medik herbal telah berkembang dengan pesat,
bermanfaat dan dapat dipertanggungjawabkan keamanannya. Dalam kasus DM
ini, banyak literatur menunjukkan beberapa spesies tanaman memiliki
efektivitas yang cukup tinggi dalam menurunkan kadar gula darah, dengan
sedikit efek samping, dan dengan harga yang lebih murah daripada obat
konvensional. Sebagian masyarakat telah menggunakan tanaman tradisional
sebagai terapi diabetes militus, banyak obat antihiperglikemia yang bersumber
dari tumbuhan yang juga berpotensi sebagai antioksidan.
Salah satu penyebab terjadinya diabetes militus adalah stress oksidasi.
Mekanisme Stres oksidasi menimbulkan diabetes melitus dengan meningkatkan
hasil glikosidasi dan liposidasi di dalam plasma dan jaringan protein yang
merusak sel β pankreas sehingga berakibat terjadinya diabetes melitus. Bahan
diabetonik diantaranya adalah aloksan yang dapat menyebabkan stres oksidatif
pada sel β pangkreas, demikian pula pasien menderita diabetes sering
mengalami stres oksidatif karena rusaknya sel β pangkreas yang merupakan
penghasil insulin.
Beberapa tumbuhan antioksidan yang juga berpotensi sebagai
antihiperglikemia diantaranya adalah ekstrak Pycnogenol sebagai antioksidan
ternyata dapat mencegah komplikasi vaskuler diabetes, mencegah diabetes
retinopathy dengan pemberian ekstrak pycnogenol 20-160 mg/hari. Pemberian
ekstrak pycnogenol secara signifikan dapat mengurangi kadar glukosa darah

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

dan meningkatkan sistem antioksidan endogenous pada tikus diabetes (Hughes,


K. An Antioxidant for Diabetes,2003). Tanaman lain adalah yacon, telah
terbukti memiliki bahan aktif seperti fructooligosacakira, karbohidrat, dan
flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan dan bisa menyebabkan
penurunan glukosa dalam darah dengan cara memperbaiki sel beta pankreas
sehingga dapat meningkatkan sekresi insulin dan meningkatkan sensitivitas
reseptor insulin. (Valentova, 2002). Contoh lain adalah ekstrak Gymnema
sylvestre yang mempunyai aktivitas antioksidan, diinduksi pada mencit ternyata
dapat memperbaiki fungsi insulin dan mengontrol kadar glukosa darah,
pemberian ekstrak Gymnema sylvestre dapat mengurangi kadar glukosa darah
dan meningkatkan kadar insulin plasma (Pragya Tiwari,2014).
Tanaman dengan potensi antioksidan umumnya memiliki kandungan
flavanoid yang tinggi. Dan tanaman yang mengandung flavonoid tinggi mampu
menurunkan kadar glukosa darah karena mampu meregenerasi sel beta pankreas
dan membantu merangsang sekresi insulin (Dheer dan Bhatnagar, 2010).
Sejumlah studi telah dilakukan untuk menunjukkan efek hipoglikemik dari
flavonoid dengan menggunakan model eksperimen yang berbeda, hasilnya
tanaman yang mengandung flavonoid telah terbukti memberi efek
menguntungkan dalam melawan penyakit diabetes melitus, baik melalui
kemampuan mengurangi penyerapan glukosa maupun dengan cara
meningkatkan toleransi glukosa (Brahmachari, 2011).
Mekanisme lain dari flavonoid yang menunjukkan efek hipoglikemik
yaitu mengurangi penyerapan glukosa dan mengatur aktivitas ekspresi enzim
yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat (Brahmachari, 2011). Ada
beberapa mekanisme kerja obat hipoglikemik oral, yaitu meningkatkan sekresi
insulin (golongan sulfonilurea), meningkatkan kepekaan reseptor insulin
sehingga absorpsi glukosa di jaringan perifer meningkat, meningkatkan
kepekaan insulin jaringan otot, jaringan lemak dan hati, serta menghambat
penguraian polisakarida menjadi monosakarida, (Tjay dan Rahadja, 2003) dan
disini flavonoid mempunyai mekanisme sama dengan obat hipoglikemik oral
golongan sulfonilurea dalam menurunkan kadar glukosa darah tikus dengan
cara meningkatkan sekresi insulin pada organ pankreas.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


4

Tanaman yang memiliki potensi sebagai antidiabetes adalah Seledri


jepang atau biasa disebut tanaman seledri jepang. Tanaman yang banyak
tumbuh di Asia ini mempunyai cairan pekat berwarna kuning pada daun dan
batangnya yang mengandung Chalcone (Okuyama, et al., 1991). Chalcone
adalah getah berwarna kuning cerah dan mengandung senyawa flavonoid yaitu
xantoangeol dan 4-hidrooxyricine. Senyawa inilah yang membedakan Seledri
jepang dengan tanaman sejenisnya dan memiliki potensi antioksidan dan dapat
meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan metabolisme untuk
mengontrol berat badan serta menurunkan kadar gula darah.
Menurut Enoki, (2007), secara umum Seledri jepang berkhasiat sebagai
antioksidan, membantu melindungi organ tubuh dari kerusakan oleh radikal
bebas dan memperlambat proses penuaan (antiaging). Seledri jepang juga
berkemampuan detoksifikasi,membuang sisa racun dalam tubuh, memperhalus
gerakan usus, membersihkan darah, membantu melancarkan peredaran darah,
mengatur kadar kolesterol, menurunkan tekanan darah, mencegah osteoporosis,
memperkuat sistem kekebalan tubuh, serta menekan sekresi asam lambung.
Hasil skrining fitokimia daun,batang dan umbi seledri jepang dari Balai
Tanaman Obat Manoko, secara kualitatif menunjukkan bahwa tanaman seledri
jepang mengandung senyawa kimia golongan alkaloid, saponin, flavonoid,
triterfenoid dan glikosida cukup kuat, dan khusus pada daun terdapat senyawa
kimia golongan tanin paling kuat yang disebut juga dengan polifenol. Data hasil
tersebut menunjukkan bahwa tanaman seledri jepang dapat digunakan sebagai
sumber antioksidan terutama bagian daun karena memiliki aktivitas antioksidan
dalam menangkap radikal bebas lebih tinggi dibandingkan dengan batang dan
umbi yang ditunjukkan dengan nilai (EC50) (Sembiring, 2011).
Mekanisme kerja yang diharapkan dari ekstrak daun seledri jepang
(ashitaba) adalah pada perbaikan di beta pankreas, kandungan fenol dan
flavanoid yang tinggi berpotensi meningkatkan sekresi insulin di beta pankreas
dengan memperlambat laju autooksidasi (stress oksidatif) dengan mekanisme
transfer elektron dari ikatan glikasi-oksidasi glukosa menjadi ikatan glikasi
dengan atom –H dari gugus hidroksil (flavanoid) sehingga dapat menghambat
pembentukan radikal bebas.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


5

Tingginya kandungan senyawa fenol dan flavanoid dari Ashibata


menjadi dasar terhadap dilakukannya penelitian Uji Aktivitas antihiperglikemik
ekstrak etanol 70% daun seledri jepang/ashitaba (Angelica keiskei) pada tikus
putih jantan galur Sprague Dawley dengan metode induksi Aloksan.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diketahui bahwa tanaman yang memiliki kandungan


antioksidan yang tinggi memiliki senyawa mayor berupa flavanoid yang juga
memiliki khasiat dalam menurunkan kadar glukosa darah.
Tanaman seledri jepang (Angelica keiskei) memiliki aktvitas antioksidan tinggi
karena kandungan xantoangeol dan 4-hidrooxyricine yang merupakan senyawa
flavanoid.
Namun, penelitian Uji Aktivitas antihiperglikemik ekstrak etanol 70% daun
seledri jepang/ashitaba (Angelica keiskei) belum pernah dilakukan.
1.3. Hipotesis
Ekstrak etanol 70% daun seledri jepang (Angelica keiskei) dapat mengendalikan
kadar glukosa darah tikus Sprague dawley yang diinduksi aloksan.

1.4. Tujuan Penelitian


 Umum : Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol 70% daun seledri
jepang (Angelica keiskei) terhadap aktivitas pengendalian hiperglikemik
pada tikus Sprague dawley yang diinduksi aloksan.
 Khusus : Untuk mengetahui zat berkhasiat dalam daun seledri jepang
(Angelica keiskei) yang berfungsi sebagai antihiperglikemia.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis
Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan di
bidang bahan alam yang mempunyai efek antihiperglikemia dan menambah
perbendaharaan tanaman dalam buku Materia Medika.
b. Secara aplikatif
Hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan obat
antihiperglikemia dari bahan alam dan dapat menjadi masukan bagi pemerintah
dalam menata tumbuhan obat dari bahan alam.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman seledri jepang (Angelica keiskei)


2.1.1 Sistematika Tumbuhan
Adapun klasifikasi dari seledri jepang tersebut adalah :
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Famili : Apiaceae
Ordo : Apiales
Genus : Angelica
Spesies : Angelica keiskei
Gambar 2. 1 Daun seledri jepang
Nama Indonesia : Seledri jepang berbentuk menjari (Mitalom.com)

2.1.2. Morfologi tumbuhan


Daun ashitaba (bahasa jepang) atau yang lebih di kenal di indonesia
daun seledri jepang termasuk daun lengkap yang terdiri dari pelepah, tangkai,
dan helaian. Pelepah daun melekat pada batang pokok yang sepintas kita tidak
dapat membedakan antara batang pokok dengan daunnya. Tangkai daun silinder
agak sedikit kecil bila di bandingkan dengan pelepah daun yang mengalami
pelebaran di bagian samping yang kemudian melekat di batang pokok. Daun
tersebar, majemuk atau terbagi menjadi menyirip, menjari, atau trifoliolatus
(beranak daun tiga), dengan pelepah yang lebar, ada atau tidak stipula (daun
penumpu).
Daun seledri jepang termasuk daun majemuk karena dari mulai pelepah
dan ujung tangkai daun-daun mulai tumbuh dengan anak daun yang sebenarnya
berjumlah tiga atau lebih. Anak-anak daun pada daun seledri jepang ini
mempunyai anak tangkai yang seolah-olah seperti tangkai daun untuk daun-
daun yang melekat padanya.
Ujung daun seledri jepang meruncing dengan pangkal daun yang
tumpul. Susunan tulang daun pada tanaman ashitaba ada dua macam yaitu ada

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

yang menjari dan menyirip. Hal ini di lihat dengan dua sudut pandang yang
berbeda yaitu , pertama jika kita melihat mulai dari bagian tempat melekatnya
daun tanaman tersebut, tulang daunnya menjari. Tulang daun menjari yaitu jika
dari ujung tangkai daun keluar beberapa tulang yang memencar, memperihatkan
susunan seperti jari-jari pada tangan (Gembong Citro Soepomo,1997).
Berdasarkan argumentasi buku tersebut,daun seledri jepang di katakan
memiliki susunan tulang daun menjari karena tulang daun muncul dari ujung
anak tangkai dengan tulang daun mengikuti susunan tulang daun yang berasal
dari tangkai tersebut. Sedangkan seledri jepang dikatakan sebagai susunan
tulang daun menyirip karena pada helaian daun yang merupakan hasil torehan
daun tersebut, tulang daunnya tersusun menyirip. Daun menyirip yaitu daun -
daun yang mempunyai ibu tulang daun yang berjalan dari pangkal keujung dan
merupakan terusan tangkai daun. Dari ibu tulang ini akan muncul tulang-tulang
cabang, sehingga susunannya seperti susunan sirip-sirip pada ikan (Gembong
Citro Soepomo,1997).
Ada daun seledri jepang yang menjadi ibu tulang daun ada sistem
pertulangan yang menyirip ini yaitu tulang daun yang mengalami sistem
pertulangan daun menjari. Dari sanalah kemudian akan muncul tulang-tulang
cabang yang membentuk seperti sirip ikan tadi. Tepi daun seledri jepang yaitu
bergerigi dengan duri yang berwarna putih yang tidak terlalu keras atau kaku.
Daging daunnya tipis seperti kertas jika pada usia muda tapi pada daun-
daun yang sudah dewasa, daun tanaman ini tipis agak keras dengan permukaan
yang agak kasar. Warna daun yang masih muda berwarna hijau agak kekuning-
kuningan sedangkan daun yang sudah dewasa berwarna hijau tua. Daun
tanaman yang oleh orang Barat di panggil dengan sebutan Tomorrow’s
leaf yang berasal dari Jepang ini berdasarkan sisitem pertulangan daunnya
merupakan daun tipe majemuk campuran.daun majemuk campuran yaitu
daunsuatu daun majemuk ganda yang mempunyai cabang – cabang ibu tangkai
memencar seperti jari dan terdapat anak-anak daun yang tersusun menyirip
(Gembong Citro Soepomo,1997).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

2.1.3. Habitat
Tumbuhan Ashitaba (Angelica keiskei) atau seledri jepang sangat cocok
dilakukan di dataran tinggi dengan ketinggian 1000-1200 meter dari permukaan
laut. Namun tanaman ini masih toleran ditumbuhkan di dataran rendah.
Tanaman ini kurang tahan terhadap curah hujan tinggi.
Jenis tanah yang dikehendaki dalam budidaya seledri jepang adalah
tanah yang gembur dan mengandung banyak bahan organik. Tanaman ini
tumbuh baik pada tingkat keasaman tanah pH 5,5-6,5. Apabila tanah terlalu
asam sebaiknya tambahkan kapur atau dolomit.

2.1.4. Kandungan Kimia


Seledri jepang mengandung klorofil yang cukup tinggi sehingga dapat
meningkatkan produksi darah serta keseimbangan fungsi tubuh. Zat aktif yang
terdapat dalam chalcone bermanfaat untuk meningkatkan produksi sel darah
merah, meningkatkan perhatian dan konsentrasi, produksi hormon pertumbuhan
serta meningkatkan pertahanan tubuh untuk melawan penyakit infeksi (Hida et
al.,2007).
Tanaman Seledri jepang mengandung vitamin A, B, B2, C, B12, zat besi
dan potassium. Tanaman Seledri jepang adalah lactogate dan sebagai
detoksifier yang dapat mengeluarkan logam berat seperti merkuri, timbal dan
sebagainya. Tanaman Seledri jepang dapat meningkatkan sistem kekebalan
tubuh dan meningkatkan metabolisme untuk mengontrol berat badan serta
menurunkan kadar gula darah.Tanaman Seledri jepang mempunyai cairan pekat
berwarna kuning pada batangnya yang mengandung Chalcone (Okuyama, et al.
1991).
Sedang menurut Hasil penelitian Universitas Farmasi Osaka tahun 1990,
jumlah kandungan bahan aktif dalam 100 g seledri jepang adalah terdapat
xanthoangelol 0,25%, 4-Hydroksiderricin 0,07% dan total kalkone 0,32%
(Baba 1995). Total flavonoid di dalam pucuk seledri jepang berkisar 219
mg/100 g per berat basahnya (Yang et al., 2008).
Selanjutnya menurut Ma’mun et al., (2009), di dalam seledri jepang
terdapat zat asam heksadekanoat 2,42%, asam palmitat 5,08%, xanthotoksin
3,12%, asam linoleat 9,17%, pirimidin 2,70%, strisinidin 3,18% dan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

smenokromena 7,55%. Selain zat tersebut di dalam seledri jepang juga terdapat
vitamin, asam amino dan unsur mineral. Seledri jepang merupakan tanaman
yang kaya akan vitamin, mineral, asam amino maupun zat aktif penciri sehingga
dapat disebut sebagai tanaman multi fungsi.
Sigurdsson et al., (2005) ekstrak daun Angelica kaeshei mempunyai
aktivitas sebagai antitumor, kanker (paruparu dan kulit). Selain itu seledri
jepang juga berpotensi sebagai sumber antioksidan (Li et al., 2009). Menurut
Wicaksono dan Syafirudin (2003) efek antioksidan seledri jepang melebihi
anggur, teh hijau maupun kedelai, yang berfungsi menjaga organ tubuh dan
kerusakan sel akibat radikal bebas serta memperlambat proses penuaan. Nilai
total aktivitas antioksidan dari seledri jepang berkisar 1890±30 mg/g berat
kering (Chen et al., 2004). Seledri jepang juga berguna sebagai lactogen, karena
mampu menginduksi sekresi susu ibu. Seledri jepang yang diberikan untuk sapi
sebagai makanannya dapat meningkatkan produksi susu. Disamping itu juga
dapat menyembuhkan diabetes, asam lambung, hipertensi, jantung koroner,
asma, liver, menurunkan kolesterol, osteoporosis, ginjal, maag dan menambah
vitalitas, penghambat proliferasi HIV dan sebagai antibakteri terutama
Staphyloccocus aureus. Seledri jepang dapat disebut sebagai tanaman insulin
karena dapat menyembuhkan penyakit diabetes. Menurut Enoki et al., (2007).
Hasil skrining fitokimia daun,batang dan umbi seledri jepang dari Balai
Tanaman Obat Manoko, secara kualitatif menunjukkan bahwa tanaman seledri
jepang mengandung senyawa kimia golongan alkaloid, saponin, flavonoid,
triterfenoid dan glikosida cukup kuat; dan khusus pada daun terdapat senyawa
kimia golongan tanin paling kuat yang disebut juga dengan polifenol
(Sembiring, 2011)
Karakteristik mutu bagian daun memiliki kadar air 8,7%, kadar abu
11,20%, kadar sari air 31,5%, kadar sari alokhol 9,75%, natrium 0,81%, kalsium
4,17%, besi 435 ppm, aktivitas radikal bebas (EC50) daun 38,00 ppm, batang
390,98 ppm dan umbi 780,65 ppm sehingga daun seledri jepang memiliki
aktivitas antioksidan lebih tinggi dalam menangkap radikal bebas dibanding
batang dan umbi (Sembiring, 2011). Pelarut yang digunakan adalah etanol 70%
karena dapat menarik secara optimal senyawa mayor dari daun seledri jepang
yaitu flavanoid yang bersifat polar, dan kemampuan dalam menarik senyawa

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

polar yang sama dengan metanol serta lebih aman dibandingkan dengan pelarut
metanol yang bersifat toksik (pertimbangan keamanan ke hewan uji). Selain itu
pelarut ini masih mengandung air yang bersifat polar guna menarik senyawa
antibakteri yang terdapat dalam daun. Dan etanol 70% dapat menekan
kontaminasi mikroba pada saat pembuatan ekstrak sehingga dapat
memininalisasi kerusakan senyawa mayor dari ekstrak daun seledri jepang dan
kontaminasi mikroba lain pada saat pengujian.

Tabel 2. 1 Hasil penapisan fitokimia ekstrak etanol 70% daun seledri jepang secara kualitatif (Jurnal
Kesehatan Bakti Tunas Husada 2015)
No Golongan Senyawa Hasil Uji Blanko
1 Alkaloid +++ -
2 Flavanoid +++ -
3 Tanin +++ -
4 Saponin +++ -
5 Steroid/Triterpenoid + -
6 Fenol +++ -
Keterangan : +++ (Sangat kuat), ++ (Kuat), + (Lemah), - (Tidak terdeteksi)
Pada tabel menunjukan bahwa hasil uji skrining fitokimia memberikan
hasil positif sangat kuat pada uji flavonoid, tanin, saponin, fenol dan polifenol
dan positif lemah terhadap terpenoid hal ini menunjukan bahwa pelarut etanol
bersifat polar dapat menarik zat-zat aktif yang bersifat polar seperti alkaloid,
flavonoid, tanin, saponin dan fenol sedangkan terpenoid umumnya diekstraksi
menggunakan pelarut eter atau klorofom bersifat non polar (Sirait, 2007).

2.1.5. Literatur review


a) Tatsuji enoki,et al. 2007 : Antidiabetic Activities of Kalkon Isolated from a
japanese Herb, Angelica keiskei, jepang
Telah meneliti khasiat tanaman Angelica keiskei berupa aktivitas
antidiabetik secara in vivo, dengan menggunakan simplisa berupa akar dari
tanaman tersebut. Penelitian dilakukan dengan menggolongkan hewan uji
kedalam tiga golongan, masing-masing golongan terdiri dari 7-10 tikus
berdasarkan berat badan dan kadar glukosa darah kemudian diberi bubuk
CE-2 diet (Clea Jepang) atau diet yang mengandung sampel uji (0,15%
untuk kalkon atau 0,05% untuk pioglitazone). Tikus diberi asupan makanan,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

dan asupan air diukur, dan sampel darah dikumpulkan dari ekor vena ke
quantitate kadar glukosa darah. Komponen yang berperan sebagai agen
antidiabetik adalah kalkon (4-hidroksidericin dan xantoangelol). Komponen
kalcone menunjukkan aktivitas insulin-seperti yang kuat melalui
independen jalur Peroksisom proliferator-diaktifkan oleh reseptor-ç. 4-HD
terutama menunjukkan efek pencegahan pada perkembangan diabetes pada
genetik diabetes tikus uji.
b) Widowati, 2008 ; Potensi Antioksidan sebagai Antidiabetes, Laboratorium
Penelitian dan Pengembangan Ilmu Kedokteran Dasar (LP2IKD) Fakultas
Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha, Bandung
Didapatkan adanya hubungan antioksidan dengan efek antidiabetes
melalui mekanisme sebagai berikut : Glukosa dapat teroksidasi sebelum
berikatan atau setelah berikatan dengan protein (glycated protein)
menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS). Penderita DM kadar
peroksida lipid dan kadar Thiobarbituric Acid Reactive Subtances (TBARS)
memiliki kadar protein plasma lebih tinggi dibanding orang normal.
Kombinasi glikasi dan oksidasiglukosa menghasilkan pembentukan AGEs
(advanced glycogen end-products). Glycated protein dan AGEs modified
protein dapat mengakibatkan stres oksidatif dengan melepaskan O2*- ,
H2O2 dan karbonil toksik yang dapat merusak protein. Senyawa
antioksidan sintetik maupun alami (dari berbagai tanaman) mampu
mengontrol kadar glukosa darah dan mencegah komplikasi diabetes.
Senyawa aktif golongan polifenol pada tanaman mempunyai aktivitas
antioksidan dan hipoglikemik.
c) Hughes, K. An Antioxidant for Diabetes. http://www.bnpmedia.com/, 2003
Menyatakan bahwa ekstrak batang tanaman pinus tanaman
(Pycnogenol) yang tumbuh di pinggiran laut Perancis sebagai tanaman obat
untuk menyembuhkan luka mengandung 70 % prosianidin, asam fenolat,
derivat asam benzoat, derivat asam sinamat sebagai food supplement tidak
toksik, non-alergenik, non-mutagenik. Pycnogenol sebagai antioksidan
ternyata dapat mencegah komplikasi vaskuler diabetes, mencegah diabetes
retinopathy dengan pemberian ekstrak pycnogenol 20-160 mg/hari.
Pemberian ekstrak pycnogenol secara signifikan dapat mengurangi kadar

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

glukosa darah dan meningkatkan sistem antioksidan endogenous pada tikus


diabetes.
d) Brahmachari, Goutam 2011 : Bio-flavonoids with promising antidiabetic
potentials: A critical survey Department of Chemistry, Visva-Bharati
University, Santiniketan-731 235 West Bengal, India
Bio-flavonoid terdiri dari sekelompok fenolik sekunder metabolit
tanaman yang tersebar luas di alam. flavonoid utama telah dikategorikan
berdasarkan struktur dan Fungsi seperti : flavans, flavanon, flavon, flavonol,
flavanols, flavanonols, katekin, antosianidin dan isoflavon. Bio-flavonoid
utama banyak memiliki khasiat termasuk khasiat anti-diabetes. Banyak
sekali penelitian telah dilakukan untuk mengeksplorasi potensi peran bio-
flavanoid dalam pengobatan diabetes. Sejumlah penelitian sudah
menunjukkan efek hipoglikemik flavonoid menggunakan model
eksperimental yang berbeda dan beberapa kandidat obat (dari flavanoid)
telah menunjukkan efek menguntungkan seperti melawan manifestasi
penyakit, baik melalui kemampuan mereka untuk menghindari penyerapan
glukosa atau untuk meningkatkan toleransi glukosa. Ini juga telah
menunjukkan bahwa flavonoid dapat bertindak sebagai peningkat sekresi
insulin, mungkin dengan mempengaruhi mekanisme genetik, untuk
melemahkan komplikasi diabetes; selain itu, obat yang memanfaatkan
flavanoid telah ditemukan dapat untuk merangsang glukosa serapan di
jaringan perifer, dan mengatur aktivitas dan atau ekspresi dari rate-limiting
enzim dalam jalur metabolisme karbohidrat. Akibatnya, bio-flavonoid
sekarang dianggap sebagai zat alam yang menjanjikan dan secara signifikan
memperkaya pilihan terapi saat melawan diabetes.

2.1.6. Kalkon
Kalkon (1,3-difenil-2-propenone) adalah flavonoid yang ditemukan
dalam buah-buahan dan sayuran, yang menarik perhatian karena aktivitas
farmakologi mereka seperti antiinflamasi, antibakteri, antijamur, antivirus,
antioksidan, antineoplastik. Sebagian besar cincin aromatik alami kalkon
ditemukan sebagai hidroksilasi. kalkon, dan dihidrokalkon terdiri dari pigmen
perubahan warna yang dari kuning ke oranye dalam beberapa spesies taksa

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

Coreopsis dan Asteraceae. Senyawa Ini tidak hanya ditemukan di bunga tetapi
juga di banyak jaringan yang berbeda dari tanaman. Sifat radikal bebas kalkon
dari kelompok fenol meningkatkan minat konsumsi tanaman yang termasuk
kalkon yaitu tanaman seledri jepang. (Hiromu et.al.,2012)
Kalkon termasuk dimer, oligomer, Diels-Alder adducts dan konjugat
yang berbeda pada waktu bersamaan karena menjadi prekursor dari semua
kelompok flavonoid lainnya, kalkon merupakan biosintesis senyawa yang
sangat penting. Properti penting yang memisahkan kalkon dan dihydrokalkon
dari flavonoid yang lain adalah rantai terbuka dengan tiga molekul karbon
mengikat cincin A dan B flavonoid
Kalkon beralih ke flavanon dengan reaksi
stereospesifik dikatalisis oleh enzim chalcone
isomerase pada tanaman. Pendekatan biogenetis
dan hubungan struktural antara kalkon dan
flavanon adalah alasan untuk senyawa ini biasanya
ditemukan bersama-sama dalam produk alami. Ini Gambar 2. 2 Stuktur Kalkon, FABAD J.
Pharm. Sci., 36, 223-242, 2011
adalah penyebab identifikasi Kalkon,
dihydrochalcone dan aurones bersama-sama dengan flavanone dan
dihydroflavonol umumnya. Kalkon disebut sebagai flavonoid minor. Tetapi
menggunakan nama flavonoid minor untuk kalkon tampaknya tidak tepat
karena meningkatnya spesies baru flavonoid.
Seledri jepang mempunyai getah berwarna kuning atau kalkon yang
keluar dari batang dan daun. Disitu terdapat beberapa bahan aktif seperti
xantoangelol dan 4-hidroksiderisin yang merupakan antioksidan. Diantara
sekitar 50 anggota genus Angelica, seledri jepang satu-satunya yang memiliki
getah kuning, (http://balitsa.litbang.pertanian.go.id/seledri-jepang)
Tanaman ini juga ampuh mengatasi kanker seperti dibuktikan oleh Toru
okuyama. Peneliti di fakultas farmasi di Meiji University, jepang itu
memberikan ekstrak seledri jepang pada tikus pengidap kanker paru-paru dan
kanker kulit. Enam bulan berselang, pertumbuhan kanker paru dan kanker kulit
berhenti, diperkuat dengan riset Kimura Y di kedokteran, Ehime University
Jepang. Senyawa aktif yang berperan menghambat pertumbuhan kanker itu
adalah xantoangelol. Ia menghambat sintesis DNA pada sel-sel kanker

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

2.2. Simplisia
2.2.1. Definisi Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan untuk
pengobatan dan belum mengalami pengolahan (Depkes RI, 2009).
2.2.2. Pengelolaan Simplisia
Beberapa tahapan pengelolaan simplisia adalah sebagai berikut :
A. Sortasi basah
Tahap ini dilakukan untuk memisahkan kotoran atau bahan asing lain
dari bahan simplisia. Pembersihan bahan simplisia dari bahan lain dapat
mengurangi jumlah mikroba awal.
B. Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah atau pengotor lainnya
yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih.
Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut dalam air mengalir,
pencucian hendaknya dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin.
C. Perajangan
Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami perajangan untuk
memperoleh proses pengeringan, pengepakan, dan penggilingan. Semakin tipis
bahan yang akan dikeringkan, semakin cepat penguapan air, sehingga
mempercepat waktu pengeringan. Namun, irisan yang terlalu tipis dapat
memperbanyak pengurangan zat aktif yang mudah menguap.
D. Pengeringan
Tahap ini dilakukan dengan mengurangi kadar air dan menghentikan
reaksi enzimatik pada bahan simplisia. Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan
simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang
lebih lama. Proses pengeringan sudah dapat menghentikan reaksi enzimatik ada
bahan simplisia bila kadar airnya kurang dari 10%. Hal-hal yang perlu
diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembaban
udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan. Suhu
pengeringan terbaik adalah tidak meebihi 60’C, tetapi bahan aktif yang tidak
tahan pemanasan atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu serendah
mungkin, sekitar 30-45’C. Terdapat dua cara pengeringan yaitu pengeringan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

alami (dengan sinar matahari langsung atau dengan diangin-anginkan) dan


pengeringan buatan (menggunakan alat).
E. Sortasi kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir
pembuatan simplisia. Sortasi kering bertujuan untuk memisahkan benda-benda
asing yang masih ada pada simplisia kering.
F. Penyimpanan
Setelah disortasi kering, simplisia kemudian ditempatkan dalam wadah
tersendiri agar tidak bercampur dengan bahan lain. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penyimpanan simplisia adalah cahaya, oksigen, sirkulasi udara,
reaksi kimia yang terjadi antara zat aktif simplisia dengan wadah, penyerapan
air, kemungkinan proses dehidrasi, dan pengotoran yang disebabkan oleh
serangga, kapang atau yang lainnya. Wadah yang digunakan sebagai
pembungkus simplisia harus bersifat inert, yang berarti tidak mudah bereaksi
dengan bahan lain, tidak beracun, mampu melindungi bahan simplisia dari
cemaran mikroba, kotoran, serangga, penguapan zat aktif, serta dari pengaruh
cahaya, oksigen, dan uap (Depkes, 1985).

2.3. Ekstraksi
2.3.1. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau simplisia hewani menurut cara yang cocok, di luar
pengaruh cahaya matahari langsung (Depkes, 2009).
2.3.2. Proses Pembuatan ekstrak
A. Pembuatan serbuk simplisia dan klasifikasinya
Simplisia yang telah didapatkan selanjutnya dibuat serbuk simplisia dengan
peralatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Semakin halus serbuk
simplisia, proses ekstraksi semakin efektif-efisien. Namun, semakin halus
serbuk simplisia, semakin rumit secara teknologi peralatan untuk tahapan
filtrasi. Gerakan dan interaksi simplisia dengan benda keras akan menimbulkan
panas yang dapat mempengaruhi senyawa kandungan. Namun, hal ini dapat
dikompensasi dengan penggunaan nitrogen cair.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


16

B. Cairan pelarut
Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang optimal
untuk senyawa kandungan yang aktif sehingga senyawa tersebut dapat terpisah
dari senyawa lain. Faktor utama sebagai pertimbangan pada pemilihan cairan
penyari adalah: selektifitas, kemudahan bekerja dan proses dengan cairan
tersebut, ekonomis, ramah lingkungan, dan keamanan. Berdasarkan peraturan
yang berlaku, pelarut yang diperbolehkan adalah air dan etanol serta
campurannya. Jenis pelarut lain seperti alkohol turunannya (metanol dll),
hidrokarbon alifatik (heksana dll), hidrokarbon aromatik (toluen dll), kloroform
(dan segolongannya), aseton, umumnya digunakan sebagai pelarut untuk tahap
separasi dan tahap pemurnian (fraksinasi).
C. Separasi dan pemurnian
Tahapan ini dilakukan untuk menghilangkan atau memisahkan senyawa
pengotor semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada senyawa kandungan
yang dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih murni. Proses-proses
pada tahapan ini adalah pengendapan, pemisahan dua cairan tak campur,
sentrifugasi, dekantasi, filtrasi serta proses adsorpsi dan penukar ion.
D. Pemekatan / Penguapan
Pemekatan adalah peningkatan jumlah zat terlarut secara penguapan pelarut
sampai menjadi kental atau pekat.
E. Pengeringan ekstrak
Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga menghasilkan
serbuk. Beberapa proses pengeringan yang dapat dilakukan yaitu : pengeringan
evaporasi, pengeringan vaporasi, pengeringan sublimasi, pengeringan
konveksi, pengeringan kontak, pengeringan radiasi, dan pengeringan dielektrik.
F. Rendemen
Rendemen adalah perbandingan antara bobot ekstrak yang diperoleh dengan
bobot simplisia awal (Depkes, 2000).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

2.3.3. Metode Ekstraksi


2.3.3.1. Ekstraksi dengan Menggunakan Pelarut
A. Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu ruang. Metode
ini merupakan ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi
pada kesetimbangan.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu sampai sempurna
(exhaustive extraction) yang biasanya dilakukan pada suhu ruang.
Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara,
tahap penetesan/penampungan ekstrak yang terus menerus hingga
diperoleh misella (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali jumlah bahan.
B. Cara panas
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada suhu titik didihnya, selama
waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses
sampai 3-5 kali hingga reaksi berlangsung sempurna.
2. Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, umumnya
dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan
jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (pengadukan kontinu) pada suhu yang
lebih tinggi dari suhu kamar, biasanya pada suhu 40-50’C.
4. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada suhu penangas air (96-
98’C) selama 15-20 menit.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

5. Dekok
Dekok adalah proses infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan
pada suhu titik didih air.
2.3.3.2. Destilasi Uap
Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap (minyak atsiri) dari
bahan (segar atau simplisia) dengan uap air. Metode ini dilakukan berdasarkan
tekanan parsial senyawa kandungan menguap dengan fase uap air secara
kontinu sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran
menjadi destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah secara
sempurna atau sebagian (Depkes, 2000).
2.4. Diabetes Melitus
2.4.1. Definisi
Berdasarkan WHO tahun 1999, Diabetes melitus didefinisikan sebagai
suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang
ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi
insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau
defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes,
2005).
2.4.2. Klasifikasi
Diabetes melitus tipe 1 atau disebut dengan IDDM (Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus) merupakan diabetes melitus yang terjadi pada pasien dengan
sekresi insulin yang sedikit atau insulin tidak disekresi oleh pankreas sehingga
membutuhkan terapi insulin dari luar untuk menjaga kadar glukosa darahnya.
Diabetes melitus tipe 1 ditandai oleh destruksi sel β secara selektif dan defisiensi
insulin absolute atau berat. Penyakit ini disebabkan karena autoimun dan
idiopatik, kebanyakan disebabkan oleh penyakit autoimun dan terjadi pada usia
muda. Pasien hipoinsulinemia dan hiperglikemia beresiko terjadi ketosis dan
ketoasidosis (Sweetman, 2009; Katzung, 2010).
Diabetes tipe 2 bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi
insulin disertai defesiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi
insulin disertai resistensi insulin. Diabetes tipe 2 (Non Insulin Dependent

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

Diabetes Melitus) ini tidak ada kerusakan pada pankreasnya dan dapat terus
menghasilkan insulin, bahkan kadang-kadang insulin pada tingkat tinggi dari
normal. Akan tetapi, tubuh manusia resisten terhadap efek insulin, sehingga
tidak ada insulin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Diabetes tipe
ini sering terjadi pada dewasa yang berumur lebih dari 30 tahun dan menjadi
lebih umum dengan peningkatan usia. Obesitas menjadi faktor resiko utama
pada diabetes tipe 2. Sebanyak 80% sampai 90% dari penderita diabetes tipe 2
mengalami obesitas. Obesitas dapat menyebabkan sensitivitas insulin menurun,
maka dari itu orang obesitas memerlukan insulin yang berjumlah sangat besar
untuk mengawali kadar gula darah normal.
Diabetes melitus tipe 3 adalah peningkatan kadar glukosa darah yang
disebabkan oleh berbagai penyebab atau penyakit lain yang tidak
mempengaruhi pankreas, terapi lain, dll. Diabetes melitus tipe 4 atau diabetes
melitus gestasional merupakan intoleransi glukosa yang terjadi pada masa
kehamilan. Diabetes gestasional terjadi pada sekitar 7% dari ibu hamil. Selama
kehamilan, plasenta dan hormon plasenta menimbulkan resistensi insulin yang
paling mencolok pada trimester ke-tiga. Pengujian klinis penting pada kasus ini,
dan terapi DM akan menurunkan morbiditas dan mortalitas janin (Katzung,
2010).

Tabel 2. 2 Tabel parameter penegakkan diagnosis Diabetes Melitus (ADA, 2015; Depkes, 2014)
Parameter Nilai (Depkes, 2014) Nilai (ADA, 2015)
Glukosa darah puasa/fasting Lebih dari 126 mg/dL ditambah ≥126 mg/dL (7,0
plasma glucose 4 gejala khas DM (banyak
makan, sering kencing, sering
haus, berat badan turun).
Glukosa darah Lebih dari 200 mg/dL ditambah ≥200 mg/dL (11,1
sewaktu/random plasma 4 gejala khas DM mmol/L)
glucose
Glukosa darah pada uji Antara 140-199 mg/dl Antara 140-199 mg/dl
toleransi glukosa / impaired
glucose tolerance (IGT)
HbA1c - 6,5% atau lebih
2.4.3. Gejala Klinik
Diabetes melitus (DM) seringkali muncul tanpa gejala. Namun, terdapat
beberapa gejala yang harus diwaspadai sebagai tanda kemungkinan diabetes.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

Gejala tipikal yang sering dirasakan penderita antara lain poliuria (sering buang
air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar).
Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak
anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal
yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa
sebab yang jelas.
Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,
polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue),
iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit). Pada DM Tipe 2 gejala yang
dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa
diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika
penyakit sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe
2 umumnya lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya
pengelihatan semakin buruk, dan umumnya menderita hipertensi,
hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf
(Depkes, 2005).

2.4.4. Patofisiologi diabetes melitus


Pankreas adalah kelenjar penghasil insulin yang terletak di belakang
lambung. Di dalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau
dalam peta, sehingga disebut dengan pulau-pulau Langerhans pankreas. Pulau-
pulau ini berisi sel alpha yang menghasilkan hormon glukagon dan sel beta yang
menghasilkan hormon insulin. Kedua hormon ini bekerja secara berlawanan,
glukagon meningkatkan glukosa darah sedangkan insulin bekerja menurunkan
kadar glukosa darah.
Insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas sebagai anak kunci yang
dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel. Insulin dapat
menghantarkan glukosa masuk ke dalam sel dengan bantuan GLUT 4 yang ada
pada membran sel, kemudian glukosa akan dimetabolisme menjadi ATP atau
tenaga. Jika insulin tidak ada atau berjumlah sedikit, maka glukosa tidak akan
masuk ke dalam sel dan akan terus berada di aliran darah yang akan
mengakibatkan keadaan hiperglikemia.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


21

Pada penderita DM apapun penyebabnya kadar glukosa darah jelas


meningkat, akan menyebabkan timbulnya gejala dan keluhan klasik yang
berupa :
1) banyak kencing
2) rasa haus yang terus
3) penderita cepat lapar karena kalori dari makanan yang dimakan setelah
dimetabolisme menjadi glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat
dimanfaatkan
4) penurunan berat badan dan rasa lemah, karena glukosa dalam darah tidak
dapat masuk ke dalam sel. Sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan
tenaga, sehingga sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain yaitu sel
lemak dan otot.

2.4.5 Terapi Diabetes Melitus


2.4.5.1 Terapi Non Farmakologis
A. Pengaturan Diet
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik
sebagai berikut:
• Karbohidrat : 60-70%
• Protein : 10-15%
• Lemak : 20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres
akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah terbukti dapat
mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel β terhadap
stimulus glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5%
berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6%. Asupan kolesterol
tetap diperlukan, tidak lebih dari 300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan
berasal dari bahan nabati yang mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh
dibandingkan asam lemak jenuh. Masukan serat diusahakan paling tidak 25 g
per hari. Selain akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan
berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang
berlebih (Depkes, 2005).

B. Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar
glukosa darah tetap normal. Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat
CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training).
Beberapa contoh olahraga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi,
bersepeda, berenang, dll. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama
total 30-40 menit per hari. Olahraga akan memperbanyak jumlah dan
meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan
penggunaan glukosa (Depkes, 2005).
2.4.5.2 Terapi Farmakologis
A. Terapi Insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul sebesar 5808
pada manusia. Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua
rantai (A dan B) yang dihubungkan oleh jembatan disulfida. Insulin merupakan
obat utama untuk penderita DM tipe 1 dan beberapa pasien DM tipe 2 yang
dikombinasikan dengan obat antihiperglikemia oral. Insulin dapat diberikan
melalui beberapa cara, yaitu disuntikkan secara intravena, intramuskular, dan
subkutan. Preparat insulin dapat dibedakan berdasarkan lama kerjanya yaitu
insulin kerja cepat (rapid-action) dengan onset kerja yang sangat cepat dan lama
kerja yang pendek, insulin kerja singkat (short-acting) dengan onset kerja yang
cepat, insulin kerja sedang (intermediate-acting), dan insulin kerja lama (long-
acting). Dosis awal insulin pasien DM adalah 0,7-1,5 U/kgBB. Pasien baru DM
1 belum memerlukan insulin karena terkadang terjadi remisi dan pada periode
ini insulin tidak dibutuhkan (honeymoon phase). Untuk terapi awal, insulin
regular dan insulin kerja sedang (intermediate-acting) dapat menjadi pilihan
dan diberikan 2 kali sehari. Untuk pasien DM dewasa yang kurus, diberikan
insulin kerja sedang 8-10 U yang diberikan 20-30 menit sebelum makan pagi
dan 4-5 U sebelum makan malam. Untuk pasien DM dewasa yang gemuk,
diberikan insulin 20 U pada pagi hari dan 10 U sebelum makan malam. Dosis
ditingkatkan secara bertahap sesuai hasil pemeriksaan glukosa darah dan urin.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


23

B. Obat Antidiabetik Oral


Terdapat 5 golongan antidiabetik oral yang dapat digunakan untuk
diabetes melitus dan telah dipasarkan di Indonesia yakni golongan:
Sulfonilurea, Meglitinida, Biguanida, Penghambat α-glikosidase, dan
Tiazolidinedion. Kelima golongan ini dapat diberikan pada DM tipe 2 yang
tidak dapat dikontrol hanya dengan diet dan latihan fisik saja.
i. Golongan Sulfonilurea
Dikenal 2 generasi obat sulfonilurea. Generasi pertama terdiri dari
tolbutamid, tolazamid, asetoheksimid dan klorpropramid. Generasi kedua yaitu
gliburid (glibenklamid), glipizid, gliklazid, dan glimepirid. Mekanisme kerja
golongan ini adalah dengan merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β
langerhans pankreas dengan cara berinteraksi dengan ATP-sensitive K Channel
pada membran sel β yang menimbulkan depolarisasi membran. Pada
penggunaan jangka panjang atau dosis yang besar dapat menyebabkan
hipoglikemia. Semua obat-obatan golongan sulfonilurea dimetabolisme di hati.
Beberapa diantaranya merupakan obat aktif, sedangkan yang lainnya
merupakan metabolit inaktif.
ii. Golongan Meglitinide
Repaglitinida dan Nateglinida merupakan obat-obatan golongan ini
dengan mekanisme yang sama dengan sulfonilurea, tetapi struktur kimia
golongan ini sangat berbeda dengan sulfonilurea. Berdasarkan
farmakodinamika, golongan ini bekerja dengan menutup kanal K yang bersifat
ATP-independent di sel β pankreas. Berdasarkan farmakokinetika, absorpsi obat
ini yang diberikan secara oral bekerja cepat dan kadar puncak dicapai dalam
waktu 1 jam. Waktu paruh obat ini adalah 1 jam, sehingga harus diberikan
beberapa kali dalam sehari sebelum makan. Metabolisme utamanya di hepar,
dan sekitar 10% di ginjal. Efek samping utama penggunaan obat ini adalah
hipoglikemia dan gangguan saluran cerna.
iii. Golongan Biguanida
Beberapa obat yang termasuk ke dalam golongan ini adalah fenformin,
buformin, dan metformin. Namun, obat yang pertama telah ditarik dari
peredaran. Sekarang yang banyak digunakan adalah metformin. Biguanida
memiliki mekanisme kerja menurunkan produksi glukosa di hepar dan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


24

meningkatkan sensitifitas jaringan otot dan adiposa terhadap insulin. Metformin


oral diabsorpsi di usus, diekskresikan melalui urin dalam keadaan utuh, dan
memiliki waktu paruh sekitar 2 jam. Dosis awal metformin adalah 2 x 500 mg
dengan dosis maksimum 2,5 gram sehari yang diminum bersamaan dengan
makanan. Efek samping obat ini adalah gangguan pada sistem pencernaan
seperti mual-muntah. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau sistem
kardiovaskular, pemberian biguanida dapat menimbulkan peningkatan asam
laktat dalam darah. Biguanida tidak boleh diberikan pada ibu hamil, pasien
dengan penyakit hepar berat, penyakit ginjal dengan uremia, penyakit jantung
kongestif dan penyakit paru dengan hipoksia kronik.
iv. Golongan Tiazolinedion
Obat-obatan yang termasuk ke dalam golongan ini adalah pioglitazon,
rosiglitazon, dan troglitazon. Namun, troglitazon telah ditarik dari peredaran
karena menimbulkan toksisitas hati.Tiazolinedion bekerja dengan menurunkan
resistensi insulin. Kerja utama obat ini adalah mengatur gen yang terlibat dalam
metabolisme lipid dan glukosa dan diferensiasi adiposit. Efek samping obat ini
adalah resistensi cairan yang bermanifestasi sebagai anemia ringan dan edema
perifer. Beberapa laporan mengindikasikan peningkatan risiko gagal jantung.
v. Inhibitor α-glukosidase
Obat-obat yang termasuk ke dalam golongan ini adalah akarbosa dan
miglitol. Obat golongan ini bekerja dengan memperlambat absorpsi
polisakarida (starch), dekstrin, dan disakarida dalam saluran pencernaan. Obat
golongan ini menurunkan glukosa plasma postprandial pada DM tipe 1 dan 2.
Efek samping obat ini adalah malabsorpsi, flatulen, diare, dan abdominal-
boasting. Efek samping ini bersifat dose-dependent (Nafrialdi, 2007; Katzung,
2010).

2.5. Tinjauan Hewan Coba


Tikus putih (Rattus norvegicus) banyak digunakan sebagai hewan
percobaan pada berbagai penelitian. Berikut ini merupakan taksonominya
(Sharp et al., 1998):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

Kelas : Mammalia
Orde : Rodentia
Suborde : Myomorpha
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : norvegicus
Menurut Malole dan Pramono, terdapat tiga galur tikus putih yang
memiliki kekhususan untuk digunakan sebagai hewan percobaan antara lain
Wistar, long evans, dan Sprague dawley (Widiartini et al., 2013). Pada
eksperimen ini akan digunakan tikus jantan putih galur Sprague Dawley.
Pertumbuhan dan perkembangbiakan tikus galur Sprague Dawley lebih cepat
dibandingkan galur Wistar. Selain itu, secara morfologi tikus galur Sprague
dawley memiliki kepala yang kecil dan ekor yang ukurannya sama dengan
panjang tubuhnya (Chusadama et al., 2015).
Tikus Sprague dawley dipilih karena memiliki sifat yang tenang dan
mudah dikendalikan dibandingkan jenis tikus lainnya (Fauzi Mohd, 2009). Pola
diet tikus adalah nutrisi lengkap dan tidak memerlukan suplemen. Asupan
makanan sebaiknya diberikan sekitar 10% dari berat badannya dan asupan air
sekitar 10-20 mL/100 g BB/hari (Widiartini et al., 2013 dan SAGE Labs,2015).
2.5.1 Model Hewan Uji pada Pengujian Efek Antihiperglikemia (Etuk,2010)
Selama beberapa tahun terakhir, beberapa model hewan uji telah
dikembangkan sebagai bahan pembelajaran diabetes melitus atau sebagai
sampel pengujian agen antidiabetes. Beberapa model hewan uji dalam
pengujian efek antihiperglikemia adalah sebagai berikut:
 Model Hewan Uji Normoglikemik
Hewan uji sehat dapat digunakan untuk menguji agen hiperglikemik
oral. Metode ini valid untuk digunakan dalam menguji efek antihiperglikemia
obat pada hewan uji walaupun tidak ada aktivitas perusakan pankreas.
 Model Hewan Uji yang Diberikan Asupan Glukosa secara Oral
Metode ini disebut juga sebagai metode induksi fisiologi diabetes
mellitus karena peningkatan kadar glukosa darah yang terjadi tidak disertai
dengan adanya kerusakan pankreas. Prosedur metode ini adalah hewan uji
dipuasakan sepanjang malam lalu diberikan asupan glukosa oral (1-2,5

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


26

g/kgBB). Selanjutnya kadar glukosa darah dipantau selama interval waktu


tertentu. Kelemahan dari metode ini adalah kondisi hiperglikemia yang terjadi
lebih fluktuatif dibandingkan dengan kondisi hiperglikemia yang dihasilkan
oleh induksi aloksan monohidrat.
2.6. Model Penginduksian Diabetes Melitus secara Kimiawi
Beberapa senyawa kimia yang dapat menginduksi diabetes melitus
adalah aloksan monohidrat, streptozosin, ferri nitriloasetat, ditizon, dan serum
antiinsulin. Di antara semua senyawa penginduksi, streptozosin dan aloksan
monohidrat adalah senyawa yang paling sering digunakan. Rute pemberian
senyawa induksi ini adalah secara parenteral (intravena, intraperitoneal, atau
subkutan).
2.6.1 Model Streptozosin
Streptozosin adalah derivat nitrosourea glukopiranosa sintetik yang
diisolasi dari hasil fermentasi Streptomyces achromogenes yang merupakan
anibiotik antitumor. Streptozosin dapat digunakan untuk menginduksi DM tipe
1 ataupun DM tipe 2. Dosis tunggal treptozosin dalam buffer sitrat steril untuk
menginduksi diabetes adalah 150 mg/kgBB untuk mencit, dan 80 mg/kgBB
untuk tikus yang diberikan secara intraperitoneal. Diabetes akan terjadi secara
bertahap dan dapat dideteksi selama beberapa hari, biasanya 4 hari untuk mencit
dan 7 hari untuk tikus. Meskipun streptozosin merupakan senyawa penginduksi
diabetes yang banyak digunakan, penggunaan streptozosin memiliki banyak
kekurangan. Salah satu kekurangan penggunaan streptozosin adalah pemulihan
segera dari kadar glukosa darah yang tinggi akibat insulinoma serta insiden
tumor ginjal dan tumor hati akibat sifat onkogenik dari streptozosin. Apabila
hal-hal tersebut terjadi, maka akan terjadi penurunan kadar glukosa darah secara
signifikan dan hewan uji tidak dapat digunakan sebagai model pengujian.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


27

2.6.2.Model Aloksan
Aloksan merupakan suatu derivat urea yang memiliki struktur molekul
C4H2N2O4 dengan bobot molekul 142,06968 g/mol. Pada pH netral dan suhu
37’C, aloksan memiliki waktu paruh sebesar 1,5 menit. Pada suhu yang lebih
rendah, waktu paruh aloksan dapat
diperpanjang. Penyimpanan aloksan lebih
baik dilakukan pada suhu dingin (2-8’C)
karena dapat menjaga aloksan tidak rusak
Aloksan mudah larut dalam air, larut dalam
aseton, alkohol, metanol, dan alam asam
asetat glasial. Aloksan agak sukar larut Gambar 2. 3 Struktur kimia
dalamkloroform, petroleum eter, toluene, etil aloksan (PubChem, 2015)

asetat, dan asam asetat anhidrat, serta tidak larut dalam eter (O’Neil, 2001).

Aloksan dan produk hasil reduksinya, asam dialurat, dapat menghasilkan


reaksi redoks dengan membentuk radikal superoksida. Radikal tersebut akan
mengalami dismutase menjadi hidrogen peroksida. Melalui reaksi Fenton,
hidrogen peroksida akan berubah menjadi radikal hidroksil reaktif. Aksi radikal
hidroksil dengan peningkatan konsentrasi kalsium pada sitosol
menyebabkankerusakan sel β pankreas dengan cepat, sehingga produksi insulin
menurun (Szkudelski, 2001).

Aloksan bekerja pada sel-sel β pankreas dalam 4 tahap. Tahap pertama,


yaitu 30 menit setelah injeksi aloksan, terjadi peningkatan sekresi insulin dalam
waktu singkat. Tahap kedua, yaitu 1 jam setelah injeksi aloksan, terjadi fase
hiperglikemik pertama yang ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan kadar
glukosa darah yang disertai dengan penurunan kadar insulin dalam darah selama
2-4 jam. Tahap ketiga, yaitu 4-8 jam setelah injeksi aloksan, kembali terjadi
penurunan kadar glukosa darah yang berangsung selama beberapa jam karena
adanya peningkatan kadar insulin akibat hancurnya membran sel-sel beta
pankreas. Tahap keempat adalah terjadinya hiperglikemia permanen (Lenzen,
2008).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


28

2.7. Senyawa yang digunakan untuk kontrol positif

Glibenklamid

Glibenklamid berwarna putih atau


hampir putih dan merupakan bubuk
kristalin (BP, 2009). Dosis lazim
glibenklamid adalah 5 mg/hari sedangkan
Gambar 2. 4 Struktur Glibenklamid
dosis maksimumya adalah 20 mg/hari
(British Pharmacopoeia, 2009)
(Dipiro, 2008).

Secara farmakokinetik, Glibenklamid diabsorpsi di lambung dan terikat


oleh protein plasma dalam darah. Absorbsi dapat lebih lambat pada pasien
hiperglikemia atau waktu absorbsi dapat berubah sesuai dengan ukuran
partikelnya. Obat ini dimetabolisme di hepar dan dieliminasi sebagian melalui
hepar, sebagian lagi melalui feses (Sweetman, 2009).
Obat ini disering digunakan sebagai kontrol positif antidiabetes karena
mekanisme kerja glibenklamid yang dapat meningkatkan sekresi insulin dengan
berikatan pada kanal ion kalium yang bersifat ATP-dependent, sehingga effluks
kalium menurun dan terjadi depolarisasi membran. Hal ini menyebabkan kanal
ion kalsium terbuka dan ion Ca2+ masuk. Peningkatan ion Ca2+ intraselular
menyebabkan eksositosis granul insulin sehingga insulin lepas dari sel (Dipiro,
2008).
Onset kerja glibenklamid adalah 2-4 jam dengan durasi kerja hingga 24
jam. Efek samping glibenklamid adalah hipoglikemia dan porphyria (akumulasi
jumlah porphyrin dalam darah) (Sweetman, 2009). Glibenklamid sebaiknya
disimpan di dalam wadah tertutup rapat (BP, 2009).

2.8. Metode Pengukuran Glukosa Darah


Glukosa dapat diukur pada sampel darah, plasma atau serum. Molekul
glukosa tidak dapat diukur secara langsung. Secara umum terdapat 3 metode
pengukuran glukosa yang dapat digunakan, yaitu metode reduksi, metode
kondensasi, dan metode enzimatik. Namun, metode yang lebih sering
digunakan saat ini adalah metode enzimatik (Rand, 2013).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


29

a. Metode reduksi (McMillin, 1990)


Metode reduksi merupakan metode tertua yang memanfaatkan sifat reduktor
dari glukosa. Metode ini kurang spesifik karena dapat terjadi bias akibat
keberadaan agen pereduksi kuat lainnya sehingga memberikan hasil
pengukuran kadar glukosa darah terlalu tinggi. Hal ini sebenarnya dapat diatasi
dengan menambahkan tahap tertentu untuk meniadakan pengaruh agen
pereduksi lain.Metode ini tidak dianjurkan dan saat ini sudah banyak
ditinggalkan.
b. Metode kondensasi (McMillin, 1990)
Beberapa gugus aldehida pada glukosa dapat berkondensasi dengan senyawa
aromatika untuk membentuk senyawa yang berwarna. Pada reaksi kondensasi,
senyawa o-toluidine akan bereaksi dengan glukosa membentuk senyawa
glukosamin yang berwarna hijau. Intensitas warna tersebut kemudian diukur
dengan instrumen spektrofotometer untuk mengestimasi konsentrasi glukosa.
Reaksi ini berlangsung cepat dan memiliki tingkat sensitifitas warna yang
tinggi. Dari beberapa senyawa aldosa, hanya mannosa dan galaktosa yang
memiliki hasil warna yang baik. Namun kadarglukosa tersebut tidak terlalu
banyak terdapat dalam darah. Senyawa o-toluidine juga bersifat sangat korosif
dan toksik. Alasan-alasan tersebut yang menyebabkan metode ini ditinggalkan.
c. Metode enzimatik (Rand, 2013)
Saat ini, metode ini paling sering digunakan dalam mengukur kadar glukosa
darah. Enzim yang paling sering digunakan adalah enzim Hexokinase. Enzim
heksokinase mempercepat reaksi antar glukosa dan adenosine trifosfat dengan
mengubah glukosa menjadi glukosa-6-fosfat. Selanjutnya enzim glukosa- 6-
fosfat dehidrogenase, dengan adanya nikotinamida dinukleotida (NAD), akan
mengoksidasi glukosa-6-fosfat untuk mereduksi NAD (NADH) dan
fosfoglukonat. Senyawa NADH inilah yang dapat diukur secara
spektrofotometri. Salah satu contoh alat yang menggunakan metode ini adalah
glukometer.
2.8.1 Glukometer (Glukosa Meter)
Glukometer adalah alat pengukur kadar glukosa darah dengan metode
enzimatik yang mudah dibawa (Hönes et al., 2008). Terdapat berbagai jenis
glukometer yang bekerja dengan berbagai teknologi, seperti:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


30

- Reflectance Photometry, yang menggunakan prinsip kolorimetri.


- Teknologi biosensor, yang menggunakan prinsip elektrokimia (Thomas,
2016).
Persentase pengguna glukometer biosensor di seluruh dunia lebih dari
85% sehingga teknologi glukometer semakin dikembangkan. Pada glukometer
biosensor, teknologi yang terus dikembangkan
adalah pada bagian test strip. Pada umumnya, test
strip glukometer mengandung enzim, koenzim,
mediator dan indikator yang berada pada lapisan
tipis matriks untuk mengubah kadar glukosa darah
menjadi sinyal yang dapat dibaca oleh alat Gambar 2. 5 Test strip glukometer
(Hönes et al..,, 2008)
glukometer (Hönes et al., 2008).
Sejarah awal glukometer biosensor dimulai dari alat glukometer pertama
yang dibuat oleh Clark dan Lyons pada tahun 1962. Glukometer tersebut
menggunakan enzim glukosa oksidase (GOx) yang terperangkap pada elektroda
oksigen melalui membran dialisis semipermeabel. Pengukuran dilakukan
berdasarkan jumlah glukosa yang digunakan pada reaksi enzimatik. Diketahui
hingga saat ini terdapat 3 generasi teknologi glukometer yaitu glukometer
generasi pertama yang menggunakan oksigen sebagai substrat dan mengukur
kadar glukosa darah berdasarkan jumlah hidrogen peroksida yang terbentuk,
glukometer generasi ke-2 yang menggunakan mediator eletron antara enzim
GOx dan permukaan elektroda, dan glukometer generasi ke-3 yang tidak
menggunakan mediator melainkan menggunakan konduktor organik (Wang,
2008).
Pada penelitian ini, glukometer yang digunakan adalah Easy touch
Biosensor yang merupakan glukometer biosensor generasi ke-2 yang
menggunakan kalium ferrisianida. Berikut ini merupakan reaksi kimia yang
terjadi dalam menentukan kadar glukosa darah oleh alat Easy touch

Gambar 2. 6 Reaksi kimia glukosa pada strip Glukometer (Wang, 2008)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

Beberapa kelebihan pada pengecekan kadar glukosa darah dengan


menggunakan glukometer adalah mudah digunakan, akurat, dan bisa digunakan
pada pasien buta warna. Namun, kekurangan glukometer adalah terbatasnya
interval analisis pengukuran, hanya cocok pada sampel kontrol tertentu, adanya
efek matriks pada alat, suhu yang dapat mempengaruhi ketepatan hasil, serta
harganya yang lebih mahal daripada metode pengukuran lain (Thomas, 2016).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


32

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penelitian I dan Animal House
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta dimulai dari bulan Februari sampai juli 2017.
3.2. Desain penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian
eksperimental. Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih (Rattus
norvegicus) jantan galur Sprague-Dawley dengan umur 2 - 3 bulan dan berat
badan 150-200 gram sebanyak 30 ekor dengan penambahan 20% untuk
menghindari drop out pada waktu perlakuan, total 36 ekor tikus digunakan.
Hewan uji dibagi secara acak menjadi 6 kelompok kontrol, terdiri dari
kelompok kontrol normal, kontrol negatif (plasebo), kontrol positif
(Glibenklamid), kontrol ekstrak dosis 1mg/kgBB, 10mg/kgBB, dan
100mg/kgBB. Kelompok selain kontrol normal dilakukan penginduksian
dengan aloksan.
Penelitian ini dilakukan dengan mengekstraksi daun seledri jepang
(Angelica keiskei) menggunakan pelarut etanol 70% dengan metode maserasi.
Ekstrak yang diperoleh diberikan kepada tikus yang telah diinduksi aloksan dan
selanjutnya diamati pengendalian kadar glukosa darah tikus hiperglikemik
tersebut
3.3. Alat dan Bahan
3.3.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain perangkat alat
destilasi, oven, tanur, vacum rotary evaporator (EYELA), erlenmeyer (pyrex),
timbangan analitik, blender, spatula, corong, batang pengaduk, alumunium foil,
kapas steril, kertas saring, lemari pendingin, desikator, botol maserasi, tabung
reaksi, botol maserasi, botol maserat, alokoholmeter, kandang tikus beserta
wadah makan dan minumnya, alas bedah, alat bedah, stoples, timbangan,
glukometer GlucoDR.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


33

3.3.2. Bahan
1. Bahan Uji
Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun seledri
jepang (Angelica keiskei). Daun seledri jepang/Ashitaba segar yang diambil dari
Balai tanaman obat Manoko, Bandung pada tanggal 18 desember 2016. Jenis
daun yang digunakan berbentuk menjari berwarna hijau gelap. Selain itu
digunakan pula glibenklamid (Indofarma) dan aloksan (Sigma-aldrich) sebagai
penginduksi.
2. Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan
galur spreague dawley berumur 2-3 bulan dengan berat 150-200 g yang
diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Kadar
glukosa tikus lazim yang digunakan sebagai parameter kenormalan dan
keberhasilan metabolisme didalam tubuh berdasarkan jurnal System
International consentration blood glucose tikus normal berkisar pada nilai 70-
115mg/dl (Thomas, 2016).
3. Bahan Kimia
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :
 Etanol 70% (pelarut)
 H2SO4 pekat (pereaksi)
 Amonia encer (pereaksi)
 FeCl3 (pereaksi)
 Pereaksi Mayer (mengandung gabungan senyawa HgCl2 dan KI)
 Pereaksi Dragendroff (mengandung gabungan senyawa Bi(NO3)3 dan KI)
 Asam klorida (pereaksi)
 Kloroform (pereaksi)
 Aquadest (pereaksi dan pelarut)
 dan larutan NaCl 0,9% (pelarut).
3.4. Prosedur Kerja
3.4.1. Penyiapan Ekstrak Etanol 70% Daun Seledri jepang
3.4.1.1. Determinasi tanaman
Daun Seledri jepang segar diambil dari balai tamanan obat Manoko dan
dikumpulkan dalam kantong plastik besar warna hitam. Sebelum daun diolah

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

menjadi simplisia, sampel daun Seledri jepang (Angelica keiskei) diidentifikasi


di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya, LIPI, Bogor untuk memverifikasi
identitas tanaman.
3.4.1.2. Pembuatan Simplisia
Simplisia daun seledri jepang dibuat dengan tahap sebagai berikut:
1. Daun dipisahkan dari tangkai-tangkai daunnya dan di timbang berat daun
didapat 7,1kg.
2. Daun dicuci dengan air mengalir untuk memisahkan dengan pengotor.
3. Daun dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan dihindarkan dari sinar
matahari didapat daun kering 1,1kg.
4. Setelah kering, dilakukan sortasi kembali untuk memastikan simplisia bebas
dari pengotor.
5. Simplisia digiling hingga menjadi serbuk kemudian ditimbang dan disimpan
dalam wadah yang kering, tertutup rapat, serta terhindar dari cahaya matahari.
3.4.1.3. Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol
70% karena dapat menarik secara optimal senyawa mayor dari daun seledri
jepang yaitu flavanoid yang bersifat polar, dan kemampuan dalam menarik
senyawa polar lain yang sama dengan metanol serta lebih aman dibandingkan
dengan pelarut metanol yang bersifat toksik (pertimbangan keamanan ke hewan
uji), selain itu, etanol 70% bersifat tidak toksik dan dapat menimalisasi
pertumbuhan mikroorganisme selama ekstraksi (Depkes RI, 2000 dan Gaedcke
et al., 2003).
Serbuk kering simplisia masing-masing dimasukkan ke dalam empat
wadah botol bening mulut lebar dengan tutup berwarna merah, kemudian
ditambahkan pelarut etanol 70% hingga setinggi kurang lebih 3 cm di atas
serbuk simplisia. Campuran disimpan di tempat gelap dengan wadah diselimuti
alumunium foil dan sesekali dilakukan pengadukan. Maserasi dilakukan dalam
waktu 3-7 hari, setelah itu cairan dipisahkan dari simplisia melalui proses filtrasi
menggunakan kapas dan kertas saring. Filtrat yang diperoleh diuapkan dengan
rotary evaporator hingga didapat ekstrak kental. Maserasi dilakukan berkali-
kali hingga pelarut berwarna jernih. Ekstrak kental selanjutnya dikeringkan
kembali dengan menggunakan freeze dry.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


35

3.5 Penapisan Fitokimia


a. Identifikasi Flavonoid (Darmawi et a., 2015).
Menurut Harborne (1987), identifikasi flavonoid dilakukan dengan cara
ekstrak ditambahkan 2 mg serbuk magnesium dan 3 tetes asam klorida pekat.
Hasil positif adanya flavonoid jika terbentuk warna merah, kuning atau jingga
b. Identifikasi senyawa fenolik (Darmawi, et al., 2015).
Menurut Harborne (1987), identifikasi fenolik dilakukan dengan cara
ekstrak ditambahkan beberapa tetes FeCl3 10%. Jika terbentuk warna hijau,
merah atau ungu maka positif mengandung senyawa fenolik
c. Identifikasi Steroid/Triterpenoid (Darmawi et al., 2015).
Menurut Harborne (1987), identifikasi flavonoid dilakukan dengan cara
ekstrak ditambahkan dengan 3 tetes pereaksi Lieberman-Burchard (asam asetat
glasial dan asam sulfat pekat). Uji positif triterpenoid memberikan warna merah
atau kuning dan uji positif steroid memberikan warna hijau atau biru.
d. Identifikasi alkaloid (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995):
Beberapa miligram ekstrak kental dilarutan dalam 10 mL campuran
aquades dan asam klorida 2 N (9:1), kemudian dipanaskan diatas penangas air
selama 2 menit. Selanjutnya didinginkan dan disaring. Filtrat yang didapat
digunakan sebagai larutan percobaan yang akan dilakukan sebagai berikut :
1. Larutan percobaan diambil 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes Mayer, hasil
positif dengan terbentuknya endapan putih.
2. Larutan percobaan diambil 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes Dragendorf,
hasil positif dengan terbentuknya endapan jingga coklat.
e. Identifikasi Saponin (Zohra et al., 2012)
Sebanyak 0,5 g ekstrak ditambahan 5 ml aquadest pada tabung reaksi,
lalu dikocok kuat hingga terbenthuk busa stabil. Busa yang terbentuk kemudian
diamati. Busa yang stabil selama 20 menit menandakan adanya senyawa
saponin.
f. Identifikasi Tanin (Ayoola et al., 2008)
Ekstrak dipanaskan dalam 10 mL aquades dalam tabung reaksi,
kemudian disaring. Filtrat ditambahkan FeCl3 0,1% dan diamati, hasil positif

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


36

jika terbentuk warna biru, hijau, biru kehijauan, hijau kecoklatan atau biru
kehitaman.

3.6 Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak


3.6.1 Parameter Spesifik
Uji parameter spesifik meliputi identitas dan organoleptis. Pada identitas
meliputi deskripsi tata nama (nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian
tumbuhan yang digunakan, dan nama tumbuhan Indonesia). Pada organoleptis
meliputi deskripsi bentuk (padat, serbuk-kering, kental, cair dll), warna
(kuning,coklat, dll), dan bau (aromatik, tidak berbau, dll) menggunakan panca
indera (Depkes RI, 2000).
3.6.2 Parameter Non Spesifik
a. Penetapan kadar air (Metode Gravimetri)
Pengukuran kadar air dilakukan dengan cara sebanyak kurang lebih 3
gram ekstrak dimasukkan dan ditimbang dalam krus porselen yang telah ditara.
Selanjutnya, ekstrak dikeringkan pada suhu 105’C selama 5 jam dan ditimbang.
Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan
antara dua penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25%. Kadar abu total
tidak lebih dari 10%. (Depkes RI, 2000).
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙−𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟
% kadar air = 𝑥 100%
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙

b. Penetapan kadar abu total


Kurang lebih 2-3 gram ekstrak ditimbang seksama kemudian
dimasukkan kedalam krus porselen yang telah dipijarkan dan ditara.
Selanjutnya, dipijarkan perlahan-lahan di dalam tanur dengan suhu 600’C
hingga arang habis atau menjadi abu, lalu didinginkan dan ditimbang (Depkes
RI, 2000). Berdasarkan buku monografi ekstrak tumbuhan (2004), kadar abu
total tidak lebih dari 16,6%.
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑏𝑢
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 = 𝑥 100%
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


37

3.7 Penyiapan bahan


1. Uji pendahuluan untuk penentuan dosis aloksan
Aloksan monohidrat dibuat dalam bentuk larutan dengan cara
melarutkan aloksan monohidrat dalam larutan salin normal steril (larutan NaCl
0,9%). Pada prosedur pembuatannya, mula-mula aloksan monohidrat ditimbang
kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang bagian luarnya telah
dilapisi dengan alumunium foil. Selanjutnya, ditambahkan dengan larutan salin
normal steril (larutan NaCl 0,9%) lalu divortex hingga larut. Aloksan
monohidrat diberikan dalam dosis tunggal intraperitoneal 150 mg/kg BB.
Adapun dosis untuk tikus adalah 30 mg/200 g BB tikus.
2. Larutan glukosa 5%
Larutan glukosa 5% dibuat dengan cara melarutkan 5 gram glukosa
secara perlahan kedalam air mendidih 100ml, diaduk hingga homogen,
kemudian di saring.
3. Ekstrak etanol 70% daun Seledri jepang
Dosis ekstrak etanol 70% daun Seledri jepang disiapkan dalam 3 besaran
dosis kelipatan 10 yakni 1 mg/kg BB sebagai dosis terkecil, 10 mg/kg BB
sebagai dosis menengah, dan 100 mg/kg BB sebagai dosis terbesar. Dosis
tersebut merupakan dosis skrining untuk mengetahui pada kisaran dosis
berapakah ekstrak etanol 70% daun seledri jepang berefek menurunkan kadar
glukosa darah pada tikus yang diinduksi aloksan. Variasi dosis ini digunakan
dengan interval rasio 10 kali lipat untuk mengetahui dosis ekstrak yang paling
efektif dalam mengendalikan glukosa darah tikus uji (Praptiwi et al., 2007).
Masing-masing dosis ekstrak etanol 70% daun Seledri jepang akan diberikan
kepada hewan coba dalam dilarutkan dengan aquadest. Dalam hal pembuatan,
ekstrak etanol 70% daun Seledri jepang dengan dosis yang berbeda dibuat
dengan prosedur yang serupa. Mula-mula ekstrak kental ditimbang sesuai
dengan kebutuhan pada setiap dosis. Selanjutnya, dilarutkan kedalam aquadest
hingga mencapai volume yang diinginkan dan dikocok atau dengan bantuan
vortex hingga larut sempurna.
4. Glibenklamid
Proses pembuatan larutan glibenklamid adalah dengan menimbang
tablet glibenklamid sesuai perhitungan dosis kemudian di larutkan perlahan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


38

kedalam aquadest hingga mencapai volume yang diinginkan, dikocok hingga


terdispersi dengan bantuan vortex. Kontrol positif glibenklamid diberikan
sesuai dengan dosis oral efektif pada manusia, yaitu 5 mg/60 kgBB. Dosis
tersebut selanjutnya dikonversikan berdasarkan perhitungan luas permukaan
tubuh (HED). Dosis untuk setiap 200 g BB tikus menjadi 0,1 mg/200 gBB.

3.8. Uji Pendahuluan Induksi Aloksan


Uji pendahuluan hiperglikemia dengan induksi aloksan dilakukan untuk
mengetahui apakah dosis aloksan 150 mg/kg BB berdasarkan studi literatur dari
Optimization of Alloxan dose (2007) efektif menghasilkan kondisi
hiperglikemia tanpa menyebabkan kematian pada hewan uji. Prosedur uji
pendahuluan induksi aloksan terhadap tikus uji adalah sebagai berikut :

1. Sebanyak 4 tikus uji diaklimatisasi selama 7 hari untuk mendapatkan berat


badan yang seragam. Sebanyak satu tikus uji digunakan sebagai kontrol dan 3
tikus uji lainnya diinduksi dengan aloksan.
2. Sebelum diberikan aloksan, tikus uji dipuasakan selama 12 jam (08.00-20.00
WIB) kemudian diberikan injeksi aloksan monohidrat secara intraperitoneal
pada dosis 150 mg/kgBB.
3. Empat jam setelah induksi aloksan, diberikan larutan glukosa 5% dalam botol
minumnya. Selanjutnya, ditunggu selama 72 jam (3 hari) untuk menstabilkan
hiperglikemia pada tikus (Radenkovic et al., 2015). Parameter hiperglikemia
adalah tikus dengan kadar glukosa darah lebih dari 140 mg/dL (Gabriel et
al.,2014).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


39

3.9. Uji Antihiperglikemik


3.9.1. Pengelompokan Hewan Uji
Menurut WHO (2000) untuk perlakuan menggunakan hewan uji berupa
tikus tiap kelompok perlakuan terdiri dari 5 tikus. Untuk mengatasi drop out
hewan uji dilebihkan 20% atau dilebihkan 1 ekor tikus tiap kelompok.
Tabel 3. 1 Kelompok Perlakuan Hewan Uji terhadap ekstrak etanol 70% Daun Seledri jepang.

Kelompok Jumlah hewan uji Perlakuan


I 5 Kontrol normal
II 5 Kontrol negatif
III 5 Kontrol positif
IV 5 Dosis 1 mg/kgBB
V 5 Dosis 10 mg/kgBB
VI 5 Dosis 100 mg/kgBB
Ket : Kontrol Negatif : Plasebo, Kontrol positif : Glibenklamid 0,1 mg/200 g BB, Dosis : Ekstrak etanol
70% daun seledri jepang
3.9.2 Uji Antihiperglikemia dengan Metode Induksi Aloksan
1. Semua tikus jantan galur Sprague dawley diaklimatisasi selama satu minggu
terlebih dahulu. Selama aklimatisasi, semua tikus diberi pakan sebanyak 10 %
dari berat badannya dan minum serta ditimbang berat badannya secara rutin.
2. Sebelum diinduksi aloksan, hewan uji dipuasakan terlebih dahulu selama 12
jam namun tetap mendapatkan akses untuk minum (Al-Noory et al., 2013).
3. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan kadar gula darah puasa sebelum diinduksi
dengan aloksan.
4. Kemudian larutan aloksan dengan dosis tunggal 30 mg/ 200 g BB diinjeksikan
secara intraperitoneal kepada tikus kelompok perlakuan 2-6.
5. Hewan uji diberikan larutan glukosa 5% dalam botol minumnya setelah 4 jam
diinduksi aloksan untuk mencegah hipoglikemia fatal akibat induksi aloksan
(Radenkovic et al., 2015).
6. Kadar glukosa darah diperiksa 72 jam setelah injeksi aloksan (Radenkovic et
al., 2015). Namun, sebelum diperiksa kadar glukosa darahnya, hewan uji harus
dipuasakan selama 12 jam terlebih dahulu (Al-Noory et al., 2013).
7. Hewan uji dengan kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dL dinyatakan
mengalami hiperglikemia dan dapat digunakan dalam penelitian (Gabriel et al.,
2014).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

8. Pasca dinyatakan hiperglikemia, bahan uji mulai diberikan secara oral


menggunakan alat sonde oral sesuai perlakuan masing-masing kelompok seperti
yang tertera pada tabel 3.1.
9. Pemberian bahan uji dilakukan setiap hari selama 21 hari dengan frekuensi
pemberian satu kali dalam sehari (Radenkovic et al., 2015). Selama perlakuan,
seluruh hewan tetap mendapatkan akses makan dan minum serta ditimbang
berat badannya secara rutin. Tikus diberi pakan sebanyak 10% dari bobot
badannya, yaitu sekitar 15-20 gram/ekor/hari.Sedangkan air minum diberikan
secara ad libitum dan pergantian air minum dilakukan setiap hari (Widiartini et
al., 2013).
10. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ini dilakukan setiap minggu yakni pada
hari ke-7, 14 dan 21 (Radenkovic et al., 2015). Setiap pemeriksaan kadar
glukosa darah, hewan uji harus dipuasakan selama 12 jam terlebih dahulu (Al-
Noory et al., 2013).
11. Setelah perlakuan selama 21 hari, semua kelompok hewan diterminasi dengan
inhalasi eter.
3.10. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Pemeriksaan kadar glukosa darah menggunakan sampel berupa darah
yang diambil dari ekor tikus. Mulanya, ekor tikus dibersihkan terlebih dahulu
dengan kapas beralkohol 70% lalu dibuat torehan melintang pada ekor tikus
dengan menggunakan gunting bedah. Selanjutnya, tetesan darah dari ekor tikus
ditempatkan pada strip glukosa yang telah dimasukkan ke dalam alat
glukometer. Sepuluh detik kemudian, nilai glukosa darah hewan akan muncul
pada alat glukometer dengan satuan mg/dL

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


41

3.11. Alur penelitian

3.11.1Alur Pembuatan Ekstrak

Daun seledri jepang (Angelica Daun dipisahkan dari tangkai


keiskei) daunnya

Dikeringkan dengan cara diangin- Dicuci dengan air bersih dan


anginkan mengalir

Dihaluskan hingga menjadi serbuk


Sortasi kering
menggunkan blender

Simplisia daun seledri jepang

1.1 kg serbuk daun seledri jepang


dimaserasi dengan etanol 70%.
Disimpan di tempat gelap dan
sesekali diaduk. Pelarut diganti
setiap 3 hari.

Disaring dengan kapas dan kertas


saring. Kemudian dilakukan
remaserasi hingga didapat filtrat
bening

Maserat dipekatkan dengan rotary


evaporator

Ekstrak kental

Freeze dry

Parameter spesifik Penapisan fitokimia


1. Identitas Parameter nonspesifik - Alkaloid - Fenol
2. Organoleptis (bentuk, 1. Kadar air - Flavonoid - Saponin
warna dan bau) 2. Kadar abu - Steroid/triterpenoid - Tanin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


42

3.11.2 Alur Aklimatisasi Hewan Uji Metode Induksi Aloksan

Disiapkan 30 ekor tikus


putih jantan galur Sprague
dawley dengan bobot 150- 5 ekor tikus kelompok
200 g kontrol normal

Diaklimatisasi dalam 5 ekor tikus kelompok


kondisi percobaan selama kontrol negatif
1 minggu
5 ekor tikus kelompok
kontrol positif
Dikelompokkan secara
acak menjadi 6 kelompok
5 ekor tikus kelompok
dosis rendah (1 mg/kg BB)

5 ekor tikus kelompok dosis


menengah (10 mg/kg BB)

5 ekor tikus kelompok dosis


tinggi (100 mg/kg BB)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


43

3.11.3 Alur Kerja Uji Induksi Aloksan

Persiapan tikus puasa selama 12 jam

Kontrol normal Kontrol negatif Kontrol positif Penelitian

Dosis rendah
Dosis sedang
Dosis tinggi

Pengukuran kadar gula darah awal

Induksi aloksan dosis 30 mg/ 200 g BB tikus


Tanpa
perlakuan
Diberikan larutan glukosa 5% dalam botol minumnya
setelah 4 jam

Perkembangan tikus uji selama 7 hari

Pengukuran kadar gula darah tikus uji

Glibenklamid Dosis 1mg/kgBB


Larutan aquadest 0,5/kgBB
Dosis 10mg/kgBB

Dosis 100mg/kgBB

Pengukuran glukosa darah hari ke 7, 14, dan 21

Analisis data

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


44

3.12. Metode Pengolahan dan Statistik Data


3.12.1. Presentase pengendalian hiperglikemia glukosa darah
Perhitungan persentase pengendalian hiperglikemia glukosa darah
dilakukan untuk mengetahui kemampuan ekstrak dalam menurunkan kadar
glukosa, yang dihitung dengan cara:
Presentase pengendalian kadar glukosa darah =
(Go−Gt) / Go x 100%
Keterangan:
Go = Gula darah puasa sebelum diberikan sediaan uji
G t = Gula darah puasa setelah diberikan sediaan uji
3.12.2. Pengolahan data
Data yang diperoleh selanjutnya diolah secara statistik menggunakan
aplikasi SPSS. Data yang didapat dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas.
Uji normalitas dilakukan menggunakan metode Kolmogorof-Smirnof,
sedangkan uji homogenitas dilakukan menggunakan metode Levene. Jika data
yang didapat terdistribusi normal dan memiliki varian yang homogen,
selanjutnya dilakukan analisa data menggunakan metode analisis varian satu
arah (ANOVA) yang dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT). Jika
data yang didapat tidak terdistribusi normal atau memiliki varian yang tidak
homogen, maka analisa data dilakukan menggunakan metode Kruskal-Wallis
yang dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney (Dahlan, 2012).
Hipotesis:
Ho : Tidak terdapat perbedaan bermakna antara setiap kelompok.
Ha : Terdapat perbedaan yang bermakna antara setiap kelompok.
Pengambilan keputusan:
Jika nilai signifikansi ≥ 0,05, maka Ha ditolak.
Jika nilai signifikansi ≤ 0,05, maka Ha diterima.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


45

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Tanaman Daun Seledri Jepang


4.1.1. Determinasi Tanaman
Determinasi dilakukan untuk memastikan identitas tanaman yang akan digunakan.
Determinasi dilakukan di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya, LIPI, Bogor. Hasil
determinasi menunjukkan bahwa sampel yang digunakan yaitu Angelica keiskei , suku
Apiaceae (seledri jepang), (Lampiran 1).
4.1.2. Pembuatan Simplisia
Sebanyak 7,1 kg daun seledri jepang segar diperoleh dari Balai tanaman obat
Manoko, Bandung pada tanggal 18 desember 2016. Daun tersebut kemudian disortasi,
dicuci, dikering-anginkan, disortasi kembali, dan dihaluskan hingga diperoleh 1,1 kg
serbuk daun seledri jepang (Angelica keiskei). Serbuk daun seledri jepang diekstraksi
dengan metode maserasi. Prinsip dari metode ini adalah mengekstraksi zat aktif dari
tanaman dengan cara merendam serbuk simplisia menggunakan pelarut atau cairan
penyari yang sesuai pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya (Depkes RI, 2000).
4.1.3. Ekstraksi
Metode maserasi dipilih karena lebih tepat dibanding metode ekstraksi lain,
tanpa menggunakan panas sehingga faktor kerusakan pada zat aktif mampu
diminimalkan, pengerjaannya yang mudah, dan peralatannya sederhana. Maserasi
dilakukan 5 kali pengulangan dengan menggunakan pelarut etanol 70% sebanyak 10
liter hingga dihasilkan maserat yang berwarna lebih bening dibandingkan maserat awal.
Pelarut yang digunakan adalah etanol 70% karena dapat menarik secara optimal
senyawa mayor dari daun seledri jepang yaitu flavanoid yang bersifat polar, dan
kemampuan dalam menarik senyawa polar yang sama dengan metanol serta lebih aman
dibandingkan dengan pelarut metanol yang bersifat toksik (pertimbangan keamanan ke
hewan uji), selain itu, etanol 70% bersifat tidak toksik dan dapat menimalisasi
pertumbuhan mikroorganisme selama ekstraksi (Depkes RI, 2000 dan Gaedcke et al.,
2003).
Selanjutnya, maserat yang diperoleh kemudian dipekatkan menggunakan
vacuum rotary evaporator agar terjadi pemisahan antara zat aktif dengan pelarut
berdasarkan perbedaan titik didihnya. Proses pemekatan menggunakan suhu rendah

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


46

yakni kurang lebih 50’ C agar tidak merusak kandungan zat aktif. Ekstraksi daun seledri
jepang menghasilkan ekstrak kental sebanyak 180 gram. Ekstrak kental yang didapat
masih memiliki kadar air yang cukup tinggi, sehingga dilakukan pengeringan kembali
menggunakan metode freeze-dry. Proses pengeringan dilakukan selama 10 jam di
Laboratorium Fitokimia Gedung Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Cibinong, Jawa Barat. Ekstrak yang didapat setelah freeze dry sebanyak 130 gram dan
dihitung rendemen yang didapat yaitu sebesar 11,81%.
4.1.4. Penapisan Fitokimia
Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder
yang terdapat dalam sampel. Hasil penapisan fitokimia yang dilakukan dapat dilihat pada
tabel berikut :

Tabel 4.1 Hasil penapisan fitokimia ekstrak etanol 70% daun seledri jepang

Identifikasi Metode Hasil Keterangan


Alkaloid Uji Meyer Tidak ada endapan putih. Positif
Uji alkaloid Draggendorff Ada endapan coklat Uji alkaloid
kemerahan.
Flavonoid Penambahan HCl pekat Terbentuk warna Jingga Positif
dan logam Mg Flavonoid
Fenol Penambahan FeCl3 10% Terbentuk warna hijau Positif Fenol
Saponin Uji ketahanan busa dengan Terbentuk busa yang Negatif saponin
air tidak stabil
Steroid/Triterpenoid Liebermann-Burchard Terbentuk warna merah Positif
kekunig-kuningan Triterpenoid
Tannin Penambahan FeCl 0,1% Terbentuk warna hijau Positif Tannin
kecokelatan

Berdasarkan hasil penapisan fitokimia (Tabel 4.1), ekstrak etanol 70% daun
seledri jepang positif mengandung senyawa alkaloid, triterpenoid, tannin, dan juga
senyawa metabolit sekunder yang berpotensi sebagai pengendali kadar gula darah yaitu
flavanoid dan fenol. Menurut hasil penapisan fitokimia Balitro Manoko (2005), pada
daun seledri jepang juga mengandung senyawa saponin, namun pada skrining fitokimia
ini senyawa saponin tidak terdeteksi. Hal ini kemungkinan karena adanya perbedaan
kadar kandungan senyawa metabolit sekunder pada suatu tanaman yang dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor biotik dan abiotik. Faktor abiotik yaitu segala faktor

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


47

pada habitat tempat tumbuh tanaman seperti intensitas cahaya, ketersediaan air,
temperatur tempat tumbuh, serta komposisi tanah (Pavarini, 2012).

4.1.5. Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak

Parameter spesifik dan non spesifik merupakan proses standardisasi yang dilakukan
untuk menjamin mutu ekstrak. Parameter spesifik ekstrak yang dilakukan pada penelitian
ini yaitu identifikasi organoleptis meliputi bentuk, warna, dan bau yang menjadi karakter
spesifik ekstrak. Serta dilakukan pengujian dua parameter non spesifik yaitu pengujian
kadar air dan kadar abu. Pengujian kadar air dilakukan untuk memberikan batasan minimal
atau rentang besarnya kandungan air dalam ekstrak. Sedangkan pengujian kadar abu
dilakukan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang
berasal dari proses awal pembuatan hingga terbentuk ekstrak (Depkes, 2000).

Tabel 4.2. Hasil Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik Ekstrak

No Parameter Hasil
1 Identitas ekstrak
Nama latin tumbuhan : Angelica keiskei
Nama Indonesia : Seledri jepang
Bagian tumbuhan yang digunakan : Daun
2 Organoleptis
Warna : Hijau tua
Bentuk : Menyirip
Bau : Khas
3 Kadar Air : 8,43%
4 Kadar Abu : 10,27%

Pengukuran parameter kadar air ekstrak penting untuk diketahui karena kadar
air dapat memengaruhi stabilitas dan bentuk ekstrak. Kadar air ekstrak etanol 70% daun
seledri jepang yang didapat dari uji kadar air yaitu sebesar 8,43% di mana batas kadar
air ekstrak yang masih memenuhi syarat yaitu kurang dari 10%. Kadar air yang tinggi
dapat menyebabkan cepatnya pertumbuhan jamur dalam ekstrak (Depkes RI, 1995).
Dalam buku Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat (2004), kadar abu total pada ekstrak
tidak boleh lebih dari 16,67%. Sedangkan kadar abu ekstrak yang didapat dari uji kadar
abu yaitu sebesar 10,27% maka kadar abu ekstrak masih memenuhi persyaratan yaitu
di bawah 16,67%.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


48

4.2 Uji Pendahuluan Dosis Aloksan

Tabel 4.3 Kadar glukosa darah hewan uji pendahuluan dosis aloksan

Kelompok Kadar glukosa darah puasa pra- Kadar glukosa darah puasa pasca
induksi (mg/dl) induksi (mg/dl)
Aloksan 1 70 420
150 2 78 490
mg/kgBB 3 82 386
Normal 4 76 83

Berdasarkan tabel 4.3 hasil uji pendahuluan menunjukkan bahwa semua tikus
yang diinduksi aloksan dengan dosis 150 mg/kg BB secara intraperitonial mengalami
hiperglikemia yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah puasa > 140
mg/dL tanpa menyebabkan kematian pada hewan uji tikus. Oleh karena itu, dosis
aloksan 150 mg/kg BB intraperitonial diaplikasikan pada penelitian (Radenkovik,
2015)
Dari hasil data, dapat dipastikan bahwa induksi aloksan dengan dosis
150mg/kgBB mengakibatkan kondisi hiperglikemik pada tikus uji, dan hasil ini sesuai
dengan beberapa jurnal yang menggunakan aloksan dosis 150mg.kgBB sebagai bahan
penginduksi.

4.2.1 Uji Antihiperglikemia dengan Metode Induksi Aloksan

Pemberian aloksan dosis 150 mg/kgBB melalui rute intraperitoneal telah


dilakukan pada uji pendahuluan, yang terbukti dapat menyebabkan hiperglikemik pada
hari ke-3 setelah induksi. Maka dapat dilanjutkan dengan pengujian efek hiperglikemik
ekstrak etanol 70% daun seledri jepang. Uji dilakukan terhadap 30 ekor tikus putih
jantan galur Sprague Dawley berusia 2-3 bulan dengan bobot 150-200 g. Pemilihan
tikus sebagai hewan uji dikarenakan tikus memiliki fisiologi yang menyerupai manusia
(NABR, 2015). Tikus uji dikelompokkan menjadi enam kelompok yang terdiri dari 3
kelompok kontrol dan 3 kelompok dosis uji. Kelompok kontrol meliputi kontrol
normal, kontrol negatif, dan kontrol positif. Kelompok kontrol pada penelitian
digunakan untuk memastikan bahwa perubahan kadar glukosa darah hanya disebabkan
oleh sediaan uji yang diberikan (Pithon, 2013). Sebelum dilakukan induksi, tikus
diaklimatisasi selama 7-14 hari. Selama proses aklimatisasi ini, tikus diberi makan dan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


49

minum secara ad libitum serta ditimbang berat badannya setiap hari. Tikus digunakan
dalam penelitian jika tidak mengalami penurunan berat badan lebih dari 10% (Foltz,
1999; IACUC, 2014).
Pada penelitian ini dilakukan pengamatan perubahan kadar glukosa darah
setelah pemberian sediaan uji pada tikus diabetes. Aloksan digunakan sebagai senyawa
diabetogen untuk menimbulkan kondisi hiperglikemik pada tikus. Tikus putih terbukti
sensitif terhadap efek diabetogenik oleh aloksan (Rerup, 1970 dikutip dari Lenzen,
2007). Aloksan menyebabkan diabetes dengan cara merusak secara spesifik sel β pada
pankreas tikus (Gorus, 1982), sehingga pankreas tidak mampu memproduksi insulin
dalam jumlah yang cukup. Sebelum dilakukan induksi dengan aloksan, tikus
dipuasakan selama 12 jam. Hal ini dikarenakan glukosa dapat memberikan sifat
proteksi terhadap efek diabetogenik aloksan, meskipun efek proteksi dipengaruhi juga
oleh konsentrasi glukosa. Kemiripan struktur antara glukosa dan aloksan menyebabkan
glukosa dapat menghambat secara kompetitif ambilan aloksan ke dalam sel β pankreas
(Jorns, 1997).
Tikus dipuasakan terlebih dahulu untuk meminimalkan kadar glukosa dalam
darah. Penginduksian menggunakan aloksan dilakukan secara intraperitoneal dengan
dosis yang digunakan sebesar 150 mg/kgBB dan konsentrasi larutan 41.55 mg/ml.
Aloksan bersifat diabetogenik jika diberikan secara parenteral, baik melalui rute
intravena, intraperitoneal, atau subkutan (Rohilla, 2012). Rute pemberian dilakukan
melalui rute intraperitoneal karena lebih ditoleransi oleh tikus (Federiuk, 2004;
Radenkovik, 2015).
Aloksan dapat menimbulkan diabetes pada tikus dengan mengalami empat fase.
Fase pertama merupakan fase hipoglikemia yang berlangsung selama 30 menit setelah
injeksi aloksan. Fase kedua merupakan fase hiperglikemia, yang terjadi sekitar satu jam
setelah injeksi aloksan, dan berlangsung selama 2-4 jam. Fase ketiga yaitu fase
hipoglikemia lagi, yang biasanya terjadi 4-8 jam setelah injeksi aloksan (Lenzen, 2007).
Fase ini berlangsung selama beberapa jam dan dapat berakibat fatal jika tanpa asupan
glukosa (Radenkovic, 2015). Untuk mencegah kematian hewan uji, selang 1 jam setelah
injeksi aloksan tikus diberikan larutan glukosa 5% secara ad libitum selama 24 jam.
Sedangkan fase keempat yaitu fase hiperglikemia permanen yang ditimbulkan oleh
aloksan (Lenzen, 2007).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


50

Induksi aloksan dilakukan pada tikus kelompok negatif, positif, dosis rendah,
dosis sedang, dan dosis tinggi. Masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus
dengan bobot yang bervariasi. Hewan yang telah diinduksi aloksan dinyatakan
memenuhi kriteria inklusi apabila mengalami hiperglikemia yang ditandai dengan
kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dL pada hari ke-3 pasca induksi aloksan
(Gabriel et al., 2014). Setelah dinyatakan hiperglikemia, tikus mulai dilakukan
perlakuan (hari ke-0) hingga hari ke-21, dengan pengambilan darah setiap hari ke-7,14,
dan 21 menggunakan alat glukometer Easy touch biosensor. Glukometer yang
menerapkan metode enzimatik ini dipilih karena lebih mudah, praktis, akurat, cepat dan
hanya membutuhkan sedikit alat dan darah (sekitar 0,3-1 μl) dibandingkan dengan
metode pengukuran lain yang menggunakan instrumen lain seperti alat spetrofotometer
dengan metode reduksi dan kondensasi dengan menggunakan berbagai reagen kimia
(Thomas et al.,2016; McMillin, 1990).
Kelompok positif merupakan kelompok hewan uji yang telah diinduksi aloksan
dan diberi obat hiperglikemia yang beredar dipasaran yaitu glibenklamid dengan dosis
tikus 0,5 mg/kgBB dengan tujuan untuk memastikan bahwa glukosa darah tikus uji
terbukti menurun dengan pemberian obat antihiperglikemik, obat Glibenklamid dipilih
karena dapat menghambat kematian sel β pankreas dan memiliki mekanisme kerja
meningkatkan pelepasan insulin dari pankreas (Katzung, 2010). Sedangkan kelompok
negatif merupakan kelompok hewan uji yang diberi perlakuan induksi aloksan dengan
tanpa diberi ekstrak ataupun obat dan hanya diberi aquadest untuk memastikan kadar
glukosa darah yang tetap pada kondisi hiperglikemia. Untuk kelompok tikus ekstrak
terbagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok dosis rendah (1mg), dosis sedang (10mg),
dan kelompok dosis tinggi (100mg). Dosis tersebut merupakan dosis skrining untuk
mengetahui pada kisaran dosis berapakah ekstrak etanol 70% daun seledri jepang
berefek menurunkan kadar glukosa darah pada tikus yang diinduksi aloksan. Variasi
dosis ini digunakan dengan interval rasio 10 kali lipat untuk mengetahui dosis ekstrak
yang paling efektif dalam mengendalikan glukosa darah tikus uji (Praptiwi et al., 2007).
Waktu pemberian aquadest, obat, dan ekstrak dilakukan satu kali perhari (pukul 09.00-
10.00 WIB)
Pada manusia, pemeriksaan kadar gula darah puasa (GDP) dilakukan pagi hari
sebelum sarapan, setelah dilakukan puasa pada malam harinya. Pemeriksaan paling
baik dilakukan pada jam tersebut, karena pada waktu kadar glukosa darah meningkat,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


51

atau biasa disebut dawn phenomenon. Dawn phenomenon merupakan kondisi normal
terjadinya peningkatan kadar glukosa darah di pagi hari sebagai persiapan tubuh untuk
melakukan aktivitas. Pada manusia normal, peningkatan kadar glukosa darah ini
diimbangi pula dengan produksi insulin, sehingga kadar glukosa tetap dalam batas
normal. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan pasien diabetes, di mana kadar
glukosa darah cukup tinggi (ADA, 2013).
Dawn phenomenon juga terjadi pada tikus uji (Bailey, 2014) namun terjadi pada
awal malam hari karena tikus merupakan hewan nokturnal (Gale, 2011). Sehingga
pemeriksaan kadar GDP dilakukan sekitar pukul 19.00 – 20.00 setelah tikus dipuasakan
selama 12 jam di pagi hari (07.00-08.00). Selain itu, pada penelitian oleh Sun (2016)
juga telah membuktikan bahwa tikus yang dipuasakan selama 12 jam di pagi hari
memiliki variasi nilai GDP yang konsisten lebih rendah dibanding tikus yang
dipuasakan selama malam hari. Pada penelitian ini pemeriksaan kadar GDP dilakukan
pada jam 19.00-20.00 petang.
Tabel 4.4 Rerata Kadar Glukosa Darah Puasa pada Uji Metode Induksi Aloksan (mg/dl)

Waktu Sebelum induksi Setelah induksi H7 H14 H21

Normal 74,2 74,2 73,8 73,6 74,2

Positif 87,75 336,25 287 248,75 138,75

Negatif 81,8 517,2 486,4 476,8 475,2

D1 86 474,6 281 184,4 111,25

D10 83,6 572,2 369,8 113,2 187,2

D100 81,2 289,6 188,8 130 144,6

GRAFIK RERATA PENURUNAN GLUKOSA DARAH TIKUS


UJI METODE INDUKSI ALOKSAN
Normal positif Negatif D1 D10 D100
700
600
Kadar glukosa darah

500
400
300
200
100
0
SEBELUM SETELAH H7 H14 H21
INDUKSI INDUKSI

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


52

Tabel 4.5 : Persentase pengendalian hiperglikemia pada tikus

Persentase pengendalian hiperglikemia pada tikus


kelompok uji hari 7 hari 14 hari 21
normal 0,66% -0,26% 1,02%
kontrol - 5,95% 7,81% 8,12%
kontrol + 14,64% 26,02% 58,73%
dosis rendah 40,79% 61,14% 76,55%
dosis sedang 35,37% 80,21% 67,28%
dosis tinggi 34,80% 55,11% 50,06%

Tabel 4.5 menunjukkan terjadi peningkatan aktivitas pengendalian


hiperglikemia pada tikus kelompok postif dan ekstrak daun seledri jepang pada
berbagai dosis. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa pada hari ke-0 (pasca
induksi aloksan), 7, 14, dan 21 selanjutnya dianalisa secara statistik dengan program
SPSS versi 22.0. Analisa statistik digunakan untuk menganalisa dan membandingkan
kadar glukosa darah hewan uji pada kelompok kontrol dengan kelompok dosis uji. Uji
yang pertama dilakukan yaitu uji normalitas dan homogenitas. Uji normalitas dilakukan
untuk mengetahui apakah data di setiap kelompok uji memiliki sebaran yang normal
atau tidak. Uji normalitas dilakukan menggunakan metode Kolmogorov-Smirnof.
Sedangkan uji homogenitas dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah antar
kelompok uji memiliki varian data yang sama atau tidak. Uji homogenitas dilakukan
menggunakan metode Levene. Data dikatakan memiliki sebaran normal dan homogen
jika memiliki nilai signifikansi ≥ 0,05 (Dahlan, 2012).
Secara statistika, penelitian ini termasuk ke dalam analitik komparatif numerik
tidak berpasangan. Analisis yang dilakukan adalah dengan metode One-Way ANOVA
yang dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) bila data terdistribusi normal
dan memiliki varian homogen. Apabila data tidak terdistribusi normal atau varian tidak
homogen, dilakukan analisis dengan uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji
Mann-Whitney (Dahlan, 2010).
Berdasarkan hasil analisis data, diketahui bahwa data yang diperoleh tidak
tersebar normal pada hari ke-14, dan 21 (p ≤ 0,05). Data juga tidak memiliki varian
yang homogen pada waktu setelah induksi hari ke-0, dan 7 setelah pemberian ekstrak
(p ≤ 0,05). Karena terdapat data yang tidak terdistribusi normal dan tidak homogen,
maka pengolahan data tidak bisa dilakukan dengan metode One-Way ANOVA.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


53

Pengolahan data selanjutnya dilakukan dengan metode Kruskal-Wallis (uji non


parametrik) untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan data kadar glukosa darah.
Apabila terdapat perbedaan kadar glukosa darah secara bermakna (p < 0,05) maka
dilanjutkan dengan melakukan analisa Post Hoc dengan uji Mann-Whitney untuk
menentukan kelompok manakah yang memberikan nilai yang berbeda secara bermakna
dengan kelompok lainnya.
Berdasarkan hasil analisa dengan metode Kruskal-Wallis, diketahui bahwa
semua kelompok tidak memiliki perbedaan bermakna pada waktu sebelum induksi (p
≥ 0,05) dan memiliki perbedaan secara bermakna pada waktu setelah induksi, pada hari
ke-7, ke-14, dan ke-21 (p ≤ 0,05). Analisis selanjutnya dilanjutkan dengan metode
Mann-Whitney untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan secara bermakna antara
kelompok.
Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan beberapa hal berikut : 1). Perbandingan
antara dosis ekstrak (1, dan 100mg/kgBB) dengan kontrol negatif memiliki perbedaan
yang bermakna pada hari ke-7,14, dan 21. Sedangkan pada dosis ekstrak 10mg/kgBB
didapat perbedaan bermakna pada hari ke-14,dan 21, serta tidak berbeda bermakna pada
hari ke-7 hal ini menunjukkan bahwa dosis ekstrak 10mg/kgBB baru memiliki efek
terapi setelah hari ke-7 pemberian. 2). Perbandingan antara dosis ekstrak (1, 10, dan
100mg/kgBB) dengan kontrol positif tidak memiliki perbedaan bermakna, hal ini
menunjukkan bahwa ekstrak yang diberikan memiliki efek yang sama dengan obat
antihiperglikemia yang beredar dimasyarakat. 3). Perbandingan selanjutnya adalah
membandingkan antar dosis ekstrak, didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan
bermakna antar dosis ekstrak daun seledri jepang 1, 10, dan 100mg/kgBB (p > 0,05)
hal ini menunjukkan pada dosis 1 dengan 10, dan dengan 100mg/kgBB memiliki efikasi
yang sama dalam pengendalian hiperglikemia glukosa darah. Senyawa metabolit
sekunder yang dikandung ekstrak etanol 70% daun seledri jepang berperan penting
dalam aktivitas antihiperglikemik yang ditimbulkan, dalam hal ini fenol dan flavanoid
diduga memiliki peran yang besar terhadap aktivitas pengendalian hiperglikemia
glukosa darah.
Hasil ini sesuai dengan jurnal (Dheer dan Bhatnagar, 2010), tentang mekanisme
pengendalian hiperglikemia glukosa darah oleh flavanoid (Chalcone) yaitu dengan
merangsang glukosa serapan di jaringan perifer, dan mengatur aktivitas dan atau
ekspresi dari rate-limiting enzim dalam jalur metabolisme karbohidrat. Dan senyawa

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


54

fenol memiliki mekanisme antihiperglikemik dengan meningkatkan sekresi insulin di


beta pankreas dengan memperlambat laju autooksidasi (stress oksidatif) dengan
mekanisme transfer elektron dari ikatan glikasi-oksidasi glukosa menjadi ikatan glikasi
dengan atom –H dari gugus hidroksil sehingga dapat menghambat pembentukan radikal
bebas yang berdampak pada pengendalian penurunan glukosa kadar darah. Diketahui
bahwa flavanoid juga berperan dalam mekanisme tersebut (Dheer dan Bhatnagar,
2010).
Pada kondisi hiperglikemia, jumlah stress oksidatif dalam tubuh meningkat.
Peningkatan jumlah stress oksidatif dapat menyebabkan toksisitas pada sel β pankreas
sehingga jumlah sel β pankreas dan sekresi insulin berkurang. (Kajimoto dan Kaneto,
2004).

Gambar 4.1 : Skema toksisitas sel β pankreas (Kajimoto dan Kaneto, 2004)

Berdasarkan berbagai jurnal, daya antioksidan yang tinggi dapat mengendalikan


glukosa darah pada pasien diabetes. Hal ini didukung oleh penelitian yang menyatakan
bahwa antioksidan dapat menstimulasi sekresi insulin. Pada analisis histologi, terlihat
perbanyakan jumlah sel β pankreas pada mencit DM yang diberikan antioksidan, dan
pemberian antioksidan dapat menghambat terjadinya apoptosis sel pankreas tanpa
mengubah laju proliferasi sel. Pemberian antioksidan juga dapat dapat meningkatkan
jumlah insulin dan mRNA insulin. Ekspresi gen PDX-1 juga terlihat pada sel islet
setelah pemberian antioksidan (Kajimoto dan Kaneto, 2004).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


55

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
 Ekstrak etanol 70% daun seledri jepang dalam berbagai dosis ada perbedaan yang
bermakna dengan kontrol negatif (p < 0,05)
 Ekstrak etanol 70% daun seledri jepang dalam berbagai dosis tidak ada perbedaan
yang bermakna (p > 0,05) dengan obat antihiperglikemik (glibenklamid) yang
beredar di masyarakat
 Ekstrak etanol 70% daun seledri jepang pada berbagai dosis (1, 10, 100mg/kgBB)
tidak ada perbedaan yang bermakna (p > 0,05)
 Ekstrak etanol 70% daun seledri jepang (Angelica keiskei) mampu untuk
mengendalikan kadar glukosa darah tikus Sprague dawley yang diinduksi aloksan
5.2. Saran

 Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai dosis awal berefek dalam


mengendalikan kadar glukosa darah dengan dosis dibawah 1mg/kgBB dari ekstrak
etanol 70% daun seledri jepang.
 Perlu dilakukan uji toksisitas dari ekstrak etanol 70% daun seledri jepang.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


56

DAFTAR PUSTAKA

Al-Norry, et al., 2013. Antihyperlipidemic effects of ginger extracts in alloxan-induced


diabetes and propylthiouracil-induced hypothyroidism in (rats). Pharmacognosy
Research Vol 5 Issue 3.

American Diabetes Association. 2013. Dawn Phenomenon. http://www.diabetes.org/living-


with-diabetes/treatment-and-care/blood-gluc ose-control/dawn-phenomenon.html.

American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes—2015. Diabetes


Care. Volume 38 (suppl 1) : S1-S93.
Ashok. 2007; Optimization of alloxan dose. Shivaji University. India.

Ayoola, GA., et al., 2008. Phytochemical Screening and Antioxidant Activities of Some
Selected Medicinal Plants Used for Malaria Therapy in Southwestern Nigeria.
Tropical Journal of Pharmaceutical Research; 7 (3): 1019-1024.
Baba K, Taniguchi M, Shibano M, Minami H. 2009.“The Components and Line Breeding
of Angelica keiskei koidzumi”, Bunseki Kagaku,December, Vol.58 No.12.

Bailey, S. M., Udoh, U. S., dan Young, M. E. 2014. Circadian Regulation of Metabolism.
Journal of Endocrinology Vol. 222 No. 2.

Balitsa.litbang.pertanian.go.id/ind/seledri-jepang (Diakses pada 23-08-2017, pukul 07.00


WIB).

BibitBunga.com//Daun Ashitaba berbentuk menyirip (Diunduh pada 29-01-2017, pukul


21.20 WIB).

British Pharmacopoeia. 2009. British Pharmacopoeia, Volume I & II. London. Medicines
and Healthcare Products Regulatory Agency (MHRA). Page 2757.

Brahmachari, Goutam. 2011 : Department of Chemistry, Visva-Bharati University,


Santiniketan-731 235 West Bengal, India.

Chen, I., H. Chang, H. Yang dan G. Chen. 2004. Evaluation of total antioxidant activity of
several popular vegetables and chines herbs : a fast approach with ABTS/H2O2/HRP
System in microplates. J. Food and Drug Analysis. 12 : 29-33.
Chusadama, et al., 2015. Experimental Pharmacology. India: BookRix.

Dahlan, Sopiyudin. 2010. Mendiagnosis dan Menata Laksana 13 Penyakit Statistik: Disertai
Aplikasi Program Stata. Jakarta: Penerbit IKAPI. Hal.178.

Dahlan, S. M. 2012. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif, Bivariat, dan
Multivariat Dilengkapi Aplikasi dengan Menggunakan SPSS. Jakarta: Salemba
Medika.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


57

Darmawi, et al., 2015. Aktivitas Antihiperglikemia dari Ekstrak Etanol dan n-Heksan Daun
Kembang Bulan (Tithonia diversifolia A. Gray) pada Tikus Putih Jantan. Jurnal
Kimia Mulawarman Volume 12 Nomor 2.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta:


Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Materia Medika Indonesia Jilid VI.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak


Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit


Diabetes Mellitus. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan.

Departemen Kesehatan RI. 2009. Farmakope Herbal Edisi Pertama. Jakarta. Departemen
Kesehatan RI. Hal : 5.

Departemen Kesehatan RI. 2014. Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta. Pusat Data dan
Analisis Kementerian Kesehatan RI. Hal 1-2.

Dheer Reema, Pradeep Bhatnagar. 2010 : A study of the antidiabetic activity of Barleria
prionitis Linn L.B.S. College of Pharmacy, Tilak Nagar, Jaipur, India.

Dipiro, et al., 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th Edition. New


York: Mc graw Hill.

Enoki T; Ohnogi H. 2007 “Antidiabetic activities of Kalkon isolated from ajapanese herb,
Angelica keiskei”, Journal of agricultural and food chemistryPerhimpunan dokter
spesialis penyakit dalam indonesia (2009). Buku Ajar ilmu penyakit dalam ed. V
jilid VII. Jakarta : Internal Publishing.

Etuk, E. U. 2010. Animal Model for Studying Diabetes Mellitus. Agriculture and Biology
Journal of North America 1 (2): 130-134.
Evans, W. C. 2002. Trease & Evans Pharmacognosy 15th Edition. Elsevier.

Fauzi Mohd. 2009. Pengklasifikasian Sperma Normal dan Abrormal daripada Suspensi
Sperma Tikus Galur Sprague-Dawley. USM. Tesis.

Federiuk, I. F. et al., 2004. Induction of Type-1 Diabetes Mellitus in Laboratory Rats by


Use of Alloxan: Route of Administration, Pitfalls, and Insulin Treatment.
Comparative Medicine Vol. 54 No. 3 Page 252-257.

Foltz, C. J., Ullman-Cullere, M. 1999. Guidelines for Assessing the Health and Condition
of Mice. Lab Animal Vol. 28 No. 4.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


58

Fransworth, N. R. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plants. Journal of


Pharmaceutical Sciences Vol. 55 No. 3.

Gabriel, et al., 2014. Evaluation of methanol extract of Gongronema latifolium leaves singly
and in combination with glibenclamide for anti-hyperglycemic effects in alloxan-
induced hyperglycemic rats. J Intercult Ethnopharmacol Vol 3 Issue 3.

Gaedcke, F. & Steinhoff, B.2003. Herbal Mesdicinal Products. Scientific and Regulatory
Basis for Development, Quality Assurance and Marketing Authorisation.
Medpharm Scientific publisher, Balogh International, Inc.
Gale, J. E. et al., 2011. Disruption of Circadian Rhythms Accelerates Development of
Diabetes through Pancreatic Beta-Cell Loss and Dysfunction. Journal of Biological
Rhythms Vol 26 No 5 Page 423-433.
Gembong Citro Soepomo,1997,Morfologi Tumbuhan , yogyakarta : UGM - IKAPI.

Gorus, F. K., Malaisse, W. J., Pipeleers, D. G. 1982. Selective uptake of Alloxan by


Pancreatic B-Cells. The Biochemical Journal Vol. 208 No. 2 Page 513-515.

Hida, K. 2007. Ashitaba. A Medicinal Plant and Health Method.www.


Organicashitaba.com/articles.html. diakses: (Diakses pada 29-01-2017, pukul 21.20
WIB).

Hiromu Ohnogi. 2014 ; Six New Kalkon from Angelica keiskei Inducing Adiponectin
Production in 3T3 L1 Adipocytes. Jepang.
Hones, J., Muller, P., dan Surridge, N. 2008. The technology behind glucose meters: Test
strips. Diabetes technology and therapeutics, 10 (1), 10-26.

Hughes, K. An Antioxidant for Diabetes. http://www.bnpmedia.com/, 2003


IACUC guideline large animal formulary, 2014 University of Pennsylvania, USA.

International Diabetes Federation ; 2011, Global Diabetes Plan 2011-2050 (Diunduh pada
29-01-2017, pukul 20.00 WIB).

Iranloye et al., 2011. Anti-diabetic and Anti-oxidant Effects of Zingiber officinale on


Alloxan-Induced and Insulin-Resistant Diabetic Male Rats. Niger J Physiol Sci.
23;26. Page 89-96.

Jemai et al., 2009. Antidiabetic and Antioxidant Effects of Hydroxytyrosol and Oleuropein
from Olive Leaves in Alloxan-Diabetic Rats. J Agric Food Chem. 2009 Oct
14;57(19). DOI: 10.1021/jf901280r. Page 8798-9804.

Jorns, A. et al., 1997. Comparative Toxicity of Alloxan, N-Alkylalloxans and Ninhydrin to


Isolated Pancreatic Islets In Vitro. Journal of Endocrinology Vol. 155 page 283-293.

Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada Volume 14 Nomor 1 Agustus 2015 (Diunduh pada
30-01-2017, pukul 21.20 WIB).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


59

Kajimoto, Y. dan Kaneto, H. 2004. Role of Oxidative Stress in Pancreatic Beta-Cell


Dysfunction. Annals of The New York Academy of Science page 168-176.

Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi Ke-10. Jakarta. Penerbit
EGC. Hal.704-725.

Kementerian Perdagangan RI. 2014. Obat Herbal Indonesia. Jakarta. Warta Ekspor. Edisi
September 2014. Hal. 2.

Lenzen, S. 2007. The Mechanism of Alloxan and Streptozotocin-Induced Diabetes.


Diabetologia. Vol. 51: 216-226.

Li, Lei., G. Aldini, M. Carini, C.Y.O. Chen, H. Chun, S. Choo, K, Park, C.R. Correa, R.M.
Russell, J.B. Blumberg dan K Yeum. 2009. Characterisation, extraction effieciency,
stability and antioxidant activity of phytonutrients in Angelica kesikei. Food
chemistry.115: 227-232.

Ma’mun, Bagem S. Sembiring, F. Manoi, Shinta S., E. Hayani, M. Sukmasari dan


Wahyudiono. 2009. Laporan Teknis Penelitian, Balai Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatik. Tidak diterbitkan. 12 hlm.

McMillin. 1990. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations.
Third Edition. Boston: Butterworths Publisher.

Mitalom.com//Daun Ashitaba berbentuk menjari (Diunduh pada 29-01-2017, pukul 21.00


WIB).
Mohamed, et al., 2013. Evaluation of -Glucosidase Inhibitory Effect of 50% Ethanolic
Standardized Extract of Orthosiphon stamineus Benth in Normal and Streptozotocin-
Induced Diabetic Rats. Hindawi Publishing Corporation Evidence-Based
Complementary and Alternative Medicine.

Nafrialdi dan Setawati, A. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi Ke-5. Jakarta. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI. Hal.481-494.

National Association for Biomedical Research (NABR). 2015. Mice and Rats: The Essential
Need for Animals in Medical Research. Washington DC.

OhnogiI , Hiromu ; 2012. Journal of Six New Kalkon from Angelica keiskei Inducing
Adiponectin Production in 3T3-L1 Adipocytes (31-01-2017, pukul 22.30 WIB).
Okuyama T, Takata M, Takayasa J, Hasegawa T, Tokuda H, Nishino A, Nishini H, Iwasima
A. 1991. Antitumor- promotion by principles obtained from Angelica keskei, Chem
Phram Bull (Tokyo) 1991 Jun;39(6)”1604-5.

O'Neil, M.J. 2001. The Merck Index - An Encyclopedia of Chemicals, Drugs, and
Biologicals, 13th Edition. Whitehouse Station, NJ: Merck and Co., Inc., Page 53.
Pavarini, D. P. et al., 2012. Exogenous influences on plant secondary metabolite levels.
Animal Feed Science and Technology Vol 176 Page 5-16.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


60

Pithon, M. M. 2013. Importance of the Control Group in Scientific Research. Dental Press
Journal of Orthodontics Vol. 18 No. 6.

Praptiwi et al., 2007. Uji Efektivitas Ekstrak Etanol Buah Makasar (Brucea javanica (L)
Merr.) terhadap Plasmodium berghei secara in vivo pada Mencit. Bogor: LIPI
Puslit Biologi.

Pragya Tiwari, 2014. Phytochemical and Pharmacological Properties of Gymnema


sylvestre: An Important Medicinal Plant ; India.

Radenkovic, et al., 2015. Experimental diabetes induced by alloxan and streptozotocin: The
current state of the art. Journal of Pharmacological and Toxicological Methods.

Rand, Jacquie. 2013. Feline Diabetes, An Issue of Veterinary Clinics: Small Animal
Practice. Elsevier. Volume 43, Issue 2, Pages 221-446.

Rohilla, A. and Ali, S., 2012. Alloxan Induced Diabetes: Mechanism and Effect.
International Journal of Research in Pharmaceutical and Biomedical Science Vol.3.
Sembiring Bagem Br., Manoi Feri.2011. Identifikasi Mutu Ashitaba.Litrro. 22(2) :177-185.
Sharp.P.E, La Regina, MC. 1998. The Laboratory Rat. Washington: CRC Press.

Sigurdsson, S., H.M. Ogmundsdottir, J. Hallgrimsson dan S. Gudbjarnson. 2005. Antitumor


activity of Angelica archangelica leaf extract. In vivo. 19 : 191-194.
Sirait, M. 2007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Suherman, Suharti K. 2007. Insulin dan antidiabetik oral. Dalam: Gunawan, S.g., R.
Setiabudy, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sun, C. et al., 2016. Effect of Fasting Time on Measuring Mouse Blood Glucose Level.
International Journal of Clinical and Experimental Medicine Vol. 9 Page 4186-
4189.

Sweetman, S.C. (Ed). 2009. Martindale: The Complete Drug Reference 36th Edition.
Pharmaceutical Press.

Szkudelski T. 2001. The Mechanism of Alloxan and Streptozotocin Action B Cells of Rat
Pancreas. Physiological Research Vol. 50 Page 536-546.

Thomas et al., 2016. Clinical Atlas in Endocrinology & Diabetes: A Case-Based


Compendium. New Delhi. Jaypee Brothers Medical Publishers. Hal. 132.

Tjay, T. H., dan Rahardja, K., 2002, Obat-Obat Penting: Khasiat Penggunaan dan Efek
Samping, Edisi IV, 567-584, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


61

Valentova, K, Ladislav Cvak, Alexandr Muck et al., (2002). Antioxidant activity of extracts
from the leaves of Smallanthus sonchifolius. Institute of Medical Chemistry and
Biochemistry Olomouc : Eurupean Journal of Nutrution.

Wang, J. 2008. Electrochemical Glucose Biosensors. Chemical Reviews 108 (2) page 814-
825.

Wicaksono, R. dan H. Syafirudin. 2003. Ashitaba (Angelica keiskei Koidzumi) tanaman


peningkat sistem kekebalan tubuh. Prosiding Seminar dan Pameran Nasional
Tumbuhan Obat Indonesia XXIV. hlm. 270-275.
Widiartini, et al., 2013. Pengembangan Usaha Produksi Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Tersertifikasi dalam Upaya Memenuhi Kebutuhan Hewan Laboratorium.
Universitas Diponegoro.

Widowati,2008 ; Potensi Antioksidan sebagai Antidiabetes, Laboratorium Penelitian dan


Pengembangan Ilmu Kedokteran Dasar (LP2IKD) Fakultas Kedokteran, Universitas
Kristen Maranatha, Bandung.

World Health Organization. 2000. General Guidelines for Methodologies on Research and
Evaluation of Traditional Medicines. Geneva: World Health Organization.

Yang, R., S. Lin dan G. Kuo. 2008. Content and distribution of flavonoids among 91 edible
plant species. Asia Pacific J. Clin Nutr. 17 : 275- 279.

Zhang, Tianshung ;2015. Journal of Ashitaba (Angelica keiskei) extract prevents adiposity
in high-fat diet-fed C57BL/6 mice.

Zohra et al., 2012. Phytochemical Screening and Identification of Some Compounds from
Mallow. Scholars Research Library 2 (4):512-516. ISSN : 2231 – 3184.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


62

Lampiran 1. Surat determinasi tanaman seledri jepang

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


63

Lampiran 2. Surat CoA Aloksan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


64

Lampiran 3. Alur Pembuatan Ekstrak

Daun seledri jepang (Angelica Daun dipisahkan dari tangkai


keiskei) daunnya

Dikeringkan dengan cara diangin- Dicuci dengan air bersih dan


anginkan mengalir

Dihaluskan hingga menjadi serbuk


Sortasi kering
menggunkan blender

Simplisia daun seledri jepang

1.1 kg serbuk daun seledri jepang


dimaserasi dengan etanol 70%.
Disimpan di tempat gelap dan
sesekali diaduk. Pelarut diganti
setiap 3 hari.

Disaring dengan kapas dan kertas


saring. Kemudian dilakukan
remaserasi hingga didapat filtrat
bening

Maserat dipekatkan dengan rotary


evaporator

Ekstrak kental

Freeze dry

Parameter spesifik Penapisan fitokimia


Parameter nonspesifik - Alkaloid - Fenol
1. Identitas
1. Kadar air - Flavonoid - Saponin
2. Organoleptis (bentuk,
2. Kadar abu - Steroid/triterpenoid - Tanin
warna dan bau)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


65

Lampiran 4. Alur Aklimatisasi Hewan Uji Metode Induksi Aloksan

Disiapkan 30 ekor tikus


putih jantan galur Sprague
dawley dengan bobot 150- 5 ekor tikus kelompok
200 g kontrol normal

Diaklimatisasi dalam 5 ekor tikus kelompok


kondisi percobaan selama kontrol negatif
1 minggu
5 ekor tikus kelompok
kontrol positif
Dikelompokkan secara
acak menjadi 6 kelompok
5 ekor tikus kelompok
dosis rendah (1 mg/kg BB)

5 ekor tikus kelompok dosis


menengah (10 mg/kg BB)

5 ekor tikus kelompok dosis


tinggi (100 mg/kg BB)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


66

Lampiran 5. Alur Kerja Uji Induksi Aloksan

Persiapan tikus puasa selama 12 jam

Kontrol normal Kontrol negatif Kontrol positif Penelitian

Dosis rendah
Dosis sedang
Dosis tinggi

Pengukuran kadar gula darah awal

Induksi aloksan dosis 30 mg/ 200 g BB tikus


Tanpa
perlakuan
Diberikan larutan glukosa 5% dalam botol minumnya
setelah 4 jam

Perkembangan tikus uji selama 7 hari

Pengukuran kadar gula darah tikus uji

Glibenklamid Dosis 1mg/kgBB


Larutan aquadest 0,5/kgBB
Dosis 10mg/kgBB

Dosis 100mg/kgBB

Pengukuran glukosa darah hari ke 7, 14, dan 21

Analisis data

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


67

Lampiran 6. Perhitungan dosis


1. Ekstrak daun seledri jepang
Dosis rendah ekstrak 1mg/kgBB utk tikus seberat 200g adalah : 0,2mg/200g
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑥 𝐵𝐵 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛
VAO = 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
0,2𝑚𝑔
𝑥 200𝑔
200𝑔
= 0,2 𝑚𝑔/𝑚𝑙

= 1 ml
Dosis menengah ekstrak 10mg/kgBB utk tikus seberat 200g adalah : 2mg/200g
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑥 𝐵𝐵 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛
VAO = 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
2𝑚𝑔
𝑥 200𝑔
200𝑔
= 2𝑚𝑔/𝑚𝑙

= 1ml
Dosis tinggi ekstrak 100mg/kgBB utk tikus seberat 200g adalah : 20mg/200g
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑥 𝐵𝐵 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛
VAO = 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
20𝑚𝑔
𝑥 200𝑔
200𝑔
= 20𝑚𝑔/𝑚𝑙

= 1ml

2. Aloksan Monohidrat
Mengacu pada Optimization of Alloxan dose (2007) maka dosis tunggal aloksan yang
diberikan secara intraperitoneal adalah 150 mg/kg BB. Untuk satu ekor tikus dengan
berat 200 g maka dosis aloksan menjadi 30 mg/200gBB.
𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑥 𝐵𝐵 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛
VAO = 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖
30𝑚𝑔
𝑥 200𝑔
200𝑔
= 30𝑚𝑔/𝑚𝑙
= 1ml
3. Dosis Glibenklamid
Dosis efektif oral untuk manusia = 5 mg/ 60 kgBB
𝑘𝑚 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛
HED (mg/kg) = dosis hewan (mg/kg) x 𝑘𝑚 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎
6
5 mg/ 60 kgBB = dosis hewan (mg/kg) x 37
37 0,083
Dosis hewan = 5mg/60kgBB x  0,162 𝑚𝑔/𝑘𝑔
6
Dosis hewan = 0,1mg/200g

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


68

Lampiran 7. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol 70% Daun seledri jepang
(Angelica keiskei)

No Uji kandungan Keterangan gambar Indikator hasil positif Hasil


1 Flavonoid Hasil positif adanya Hasil : (+)
flavonoid jika Terdapat endapan
terbentuk warna merah, berwarna jingga
kuning atau jingga

2 Alkaloid (a) (b) (a) Pereaksi Hasil : +


Dragendroff: adanya (a) Menggunakan
endapan berwarna pereaksi dragendorf
oranye hingga merah terbentuk endapan
(b) Menggunakan
(b) Pereaksi Mayer: pereaksi meyer
terbentuk dengan terbentuk endapan
endapan berwarna putih kekuningan (+)
putih atau kuning

3 Tanin hasil positif jika Hasil : +


terbentuk warna biru, Terbentuk warna
hijau, biru kehijauan, hijau kecokelatan
hijau kecoklatan atau
biru kehitaman.

4 Saponin Busa yang stabil selama Hasil : -


20 menit menandakan Terbentuk busa yang
adanya senyawa tidak stabil
saponin.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


69

5 Triterpenoid & Uji positif triterpenoid Hasil : + triterpenoid


Steroid memberikan warna
merah atau kuning dan Terbentuk warna
uji positif steroid merah kekunig-
memberikan warna kuningan
hijau atau biru

6 Fenol Jika terbentuk warna Hasil : +


hijau, merah atau ungu Terbentuk warna
maka positif hijau
mengandung senyawa
fenolik

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


70

Lampiran 8. Perhitungan Rendemen, Kadar Air dan Kadar Abu Ekstrak Etanol 70%
Daun seledri jepang (Angelica keiskei)

 Rendemen = (bobot ekstrak : bobot simpilia) x 100%


(130gram : 1100gram)x 100
= 11,81%
Artinya diperlukan 100 gram simplisia kering daun seledri jepang untuk mendapatkan 11,81 gram
ekstrak etanol 70% daun seledri jepang
Penggunaan ekstrak dalam dosis uji :
1. Dosis rendah : 1mg (sebanding dengan 8,46 gram simplisia kering)
2. Dosis sedang : 10mg (sebanding dengan 84,6 gram simplisia kering)
3. Dosis tinggi : 100mg (sebanding dengan 846 gram simplisia kering)

Konversi dosis ekstrak 1mg/kgBB hewan ke dosis manusia


𝑘𝑚 ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛
HED (mg/kg) = dosis hewan (mg/kg) x
𝑘𝑚 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎
6
x mg/ 60 kgBB = dosis hewan (mg/kg) x 37
6 6 x 60
x mg/ kgBB = 1 mg/kgBB x 37  𝑚𝑔/𝑘𝑔𝐵𝐵
37
Dosis manusia = 9,72 mg/kgBB

 kadar air = bobot awal - bobot akhir / bobot sampel x 100%


bobot awal : 13,334gram
bobot akhir : 13,248gram
bobot sampel : 1,019
(bobot awal − bobot akhir)
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 = 𝑥 100%
(bobot sampel)
(13,334 − 13,248)
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 = 𝑥 100% → 8,43%
(1,019)

 kadar abu = (C-A)/(B-A) x 100%


kadar abu = (berat residu+berat cawan kosong) - berat cawan kosong / (berat sampel+berat
cawan kosong)- berat cawan kosong x 100%
C : (berat residu+berat cawan kosong)  30,076gram
B : (berat sampel+berat cawan kosong)  31,01gram
A : berat cawan kosong  29,969gram
(C − A)
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 = 𝑥 100%
(B − A)
(30,076 − 29,969)
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑏𝑢 = 𝑥 100% → 10,27
(31,01 − 29,969)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


71

Lampiran 8. Kadar Glukosa Darah Tikus Uji Induksi Aloksan

Normalsblm G0 G7 G14 G21


induksi
1 80 80 80 82 83
2 78 78 87 65 75
3 75 75 65 89 80
4 68 68 65 61 62
5 70 70 72 75 68
RATA2 74,2 74,2 73,8 73,6 74,2
STDEV 5,118594 5,118594 9,628084 8,619745 5,118594

Negatif
sblm G0 G7 G14 G21
induksi
1 87 600 576 570 568
2 84 469 400 385 390
3 73 516 525 522 520
4 75 600 576 548 550
5 90 401 355 359 348
RATA2 81,8 517,2 486,4 476,8 475,2
STDEV 80,76 85,93428 102,8071 97,59969 99,56505

Glibensblm G0 G7 G14 G21


induksi
1 93 600 576 548 123
2 62 401 355 240 252
3 87 200 120 121 96
4 109 144 97 86 84
RATA2 87,75 336,25 287 248,75 138,75
STDEV 19,51709 207,5899 225,1918 210,1069 77,2415

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


72

D1 sblm G0 G7 G14 G21


induksi
1 114 451 240 142 89
2 87 386 298 153 -
3 78 420 234 160 145
4 81 600 108 73 54
5 70 516 525 394 157
RATA2 86 474,6 281 184,4 111,25
STDEV 16,80774 84,89287 153,0065 122,1896 48,32098

D10 sblm G0 G7 G14 G21


induksi
1 93 556 214 83 108
2 82 571 462 108 257
3 100 600 271 157 104
4 81 534 334 145 376
5 62 600 568 73 91
RATA2 83,6 572,2 369,8 113,2 187,2
STDEV 14,4326 28,58671 144,136 33,12039 125,4659

D100 sblm G0 G7 G14 G21


induksi
1 109 315 153 91 100
2 97 268 178 114 159
3 56 234 96 141 111
4 78 469 400 227 270
5 66 162 117 77 83
RATA2 81,2 289,6 188,8 130 144,6
STDEV 21,78761 114,7489 122,2403 59,40539 75,57314

Persentase pengendalian hiperglikemia glukosa darah tikus


kelompok uji hari 7 hari 14 hari 21
normal 0,66% -0,26% 1,02%
kontrol - 5,95% 7,81% 8,12%
kontrol + 14,64% 26,02% 58,73%
dosis rendah 40,79% 61,14% 76,55%
dosis sedang 35,37% 80,21% 67,28%
dosis tinggi 34,80% 55,11% 50,06%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


73

Lampiran 9. Analisis Kadar Glukosa Darah Uji Induksi Aloksan

1. Uji Normalitas dan Homogenitas kadar glukosa darah


a. Uji Normalitas Kolmogorov – Smirnov
Tujuan : Untuk melihat distribusi data kadar glukosa darah tikus
Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus terdistribusi normal
Ha = Data kadar glukosa darah tikus tidak terdistribusi normal
Pengambilan Keputusan :
o Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima

o Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


SBLM G0 G7 G14 G21

N 29 29 29 29 28
Normal Mean 82,2414 378,7586 280,9310 203,0690 192,9643
Parametersa,b Std.
14,47080 196,69586 183,12543 167,43739 157,58795
Deviation
Most Extreme Absolute ,095 ,137 ,155 ,291 ,264
Differences Positive ,095 ,130 ,155 ,291 ,264
Negative -,071 -,137 -,119 -,198 -,189
Test Statistic ,095 ,137 ,155 ,291 ,264
Asymp. Sig. (2-tailed) ,200c,d ,177c ,073c ,000c ,000c

a. Test distribution is Normal.


b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
d. This is a lower bound of the true significance.

Interpretasi data : Kadar glukosa tikus tidak terdistribusi normal pada data hari ke-14 dan ke-
21 setelah pemberian ekstrak (p ≤ 0,05)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


74

b. Uji Homogenitas Levene


Tujuan : Untuk melihat data kadar glukosa darah tikus uji homogen atau tidak
Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus homogen
Ha = Data kadar glukosa darah tikus tidak homogen
Pengambilan Keputusan :
o Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima

o Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

GULA_DARAH_SBLM 1,612 5 23 ,197


GULA_DARAH_G0 5,680 5 23 ,001
GULA_DARAH_G7 2,958 5 23 ,033

Interpretasi data : Data kadar glukosa darah tidak homogen pada waktu sebelum induksi, hari
ke-0, dan hari ke-7 (p ≤ 0,05) sehingga analisis dilanjutkan dengan uji
Kruskal-Wallis

2. Uji Kruskal-Wallis
Tujuan : Untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan secara bermakna pada data kadar
glukosa darah tikus uji
Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus tidak berbeda secara bermakna
Ha = Data kadar glukosa darah tikus berbeda secara bermakna
Pengambilan Keputusan :
o Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
o Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak
Test Statisticsa,b

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


G0 G7 G14 G21

Chi-Square 19,519 17,914 16,679 18,369


df 5 5 5 5
Asymp. Sig. ,002 ,003 ,005 ,003

a. Kruskal Wallis Test


b. Grouping Variable: KELOMPOK

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


75

Interpretasi data : Terdapat perbedaan bermakna pada waktu hari ke-0, hari ke-7, ke-14, dan
ke-21. Sedangkan pada waktu sebelum induksi tidak terdapat perbedaan
secara bermakna. Analisis dilanjutkan dengan uji Mann Whitney.

3. Uji Mann Whitney


Tujuan : Untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan secara bermakna pada data kadar
glukosa darah tikus uji
Hipotesis : Ho = Data kadar glukosa darah tikus tidak berbeda secara bermakna
Ha = Data kadar glukosa darah tikus berbeda secara bermakna
Pengambilan Keputusan :
o Jika nilai signifikansi ≥ 0,05 maka Ho diterima
o Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 maka Ho ditolak

KELOMPOK 1 : NORMAL KELOMPOK 4 : DOSIS KECIL


KELOMPOK 2 : POSITIF KELOMPOK 5 : DOSIS SEDANG
KELOMPOK 3 : NEGATIF KELOMPOK 6 : DOSIS TINGGI

(NORMAL X POSITIF)
Test Statisticsa

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


SBLM G0 G7 G14 G21

Mann-Whitney U 5,000 ,000 ,000 1,000 ,000


Wilcoxon W 20,000 15,000 15,000 16,000 15,000
Z -1,225 -2,449 -2,460 -2,205 -2,449
Asymp. Sig. (2-tailed) ,221 ,014 ,014 ,027 ,014
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,286b ,016b ,016b ,032b ,016b

a. Grouping Variable: KELOMPOK


b. Not corrected for ties.

(NORMAL X NEGATIF)
Test Statisticsa

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


SBLM G0 G7 G14 G21

Mann-Whitney U 5,500 ,000 ,000 ,000 ,000


Wilcoxon W 20,500 15,000 15,000 15,000 15,000
Z -1,467 -2,619 -2,627 -2,611 -2,611
Asymp. Sig. (2-tailed) ,142 ,009 ,009 ,009 ,009

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


76

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,151b ,008b ,008b ,008b ,008b

a. Grouping Variable: KELOMPOK


b. Not corrected for ties.

(NORMAL X DOSIS KECIL)


Test Statisticsa

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


SBLM G0 G7 G14 G21

Mann-Whitney U 5,000 ,000 ,000 3,000 5,000


Wilcoxon W 20,000 15,000 15,000 18,000 20,000
Z -1,576 -2,611 -2,619 -1,984 -1,225
Asymp. Sig. (2-tailed) ,115 ,009 ,009 ,047 ,221
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,151b ,008b ,008b ,056b ,286b

a. Grouping Variable: KELOMPOK


b. Not corrected for ties.

(NORMAL X DOSIS SEDANG)


Test Statisticsa

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


SBLM G0 G7 G14 G21

Mann-Whitney U 5,000 ,000 ,000 4,000 ,000


Wilcoxon W 20,000 15,000 15,000 19,000 15,000
Z -1,567 -2,619 -2,619 -1,776 -2,611
Asymp. Sig. (2-tailed) ,117 ,009 ,009 ,076 ,009
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,151b ,008b ,008b ,095b ,008b
a. Grouping Variable: KELOMPOK
b. Not corrected for ties.

(NORMAL X DOSIS TINGGI)


Test Statisticsa

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


SBLM G0 G7 G14 G21

Mann-Whitney U 11,500 ,000 ,000 2,000 ,500


Wilcoxon W 26,500 15,000 15,000 17,000 15,500
Z -,210 -2,611 -2,619 -2,193 -2,514
Asymp. Sig. (2-tailed) ,834 ,009 ,009 ,028 ,012
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,841b ,008b ,008b ,032b ,008b

a. Grouping Variable: KELOMPOK


b. Not corrected for ties.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


77

(POSITIF X NEGATIF)
Test Statisticsa

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


SBLM G0 G7 G14 G21

Mann-Whitney U 6,500 4,500 4,500 3,500 ,000


Wilcoxon W 21,500 14,500 14,500 13,500 10,000
Z -,861 -1,376 -1,376 -1,599 -2,449
Asymp. Sig. (2-tailed) ,389 ,169 ,169 ,110 ,014
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,413b ,190b ,190b ,111b ,016b

a. Grouping Variable: KELOMPOK


b. Not corrected for ties.

(POSITIF X DOSIS KECIL)

Test Statisticsa

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


SBLM G0 G7 G14 G21

Mann-Whitney U 8,500 5,500 10,000 9,000 7,000


Wilcoxon W 23,500 15,500 25,000 24,000 17,000
Z -,369 -1,107 ,000 -,245 -,289
Asymp. Sig. (2-tailed) ,712 ,268 1,000 ,806 ,773
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,730b ,286b 1,000b ,905b ,886b

a. Grouping Variable: KELOMPOK


b. Not corrected for ties.

(POSITIF X DOSIS SEDANG)


Test Statisticsa

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


SBLM G0 G7 G14 G21

Mann-Whitney U 8,000 4,000 8,000 5,000 7,000


Wilcoxon W 23,000 14,000 18,000 20,000 17,000
Z -,494 -1,495 -,490 -1,225 -,735
Asymp. Sig. (2-tailed) ,621 ,135 ,624 ,221 ,462
b b b b
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,730 ,190 ,730 ,286 ,556b

a. Grouping Variable: KELOMPOK


b. Not corrected for ties.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


78

(POSITIF X DOSIS TINGGI)


Test Statisticsa

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


SBLM G0 G7 G14 G21

Mann-Whitney U 8,500 10,000 8,000 6,000 9,000


Wilcoxon W 23,500 25,000 23,000 21,000 19,000
Z -,369 ,000 -,490 -,980 -,245
Asymp. Sig. (2-tailed) ,712 1,000 ,624 ,327 ,806
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,730b 1,000b ,730b ,413b ,905b

a. Grouping Variable: KELOMPOK


b. Not corrected for ties.

(NEGATIF X DOSIS KECIL)


Test Statisticsa

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


SBLM G0 G7 G14 G21

Mann-Whitney U 12,500 8,500 2,500 2,000 ,000


Wilcoxon W 27,500 23,500 17,500 17,000 10,000
Z ,000 -,849 -2,102 -2,193 -2,449
Asymp. Sig. (2-tailed) 1,000 ,396 ,036 ,028 ,014
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1,000b ,421b ,032b ,032b ,016b

a. Grouping Variable: KELOMPOK


b. Not corrected for ties.

(NEGATIF X DOSIS SEDANG)


Test Statisticsa

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


SBLM G0 G7 G14 G21

Mann-Whitney U 11,000 8,000 5,000 ,000 1,000


Wilcoxon W 26,000 23,000 20,000 15,000 16,000
Z -,313 -,970 -1,571 -2,611 -2,402
Asymp. Sig. (2-tailed) ,754 ,332 ,116 ,009 ,016
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,841b ,421b ,151b ,008b ,016b

a. Grouping Variable: KELOMPOK


b. Not corrected for ties.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


79

(NEGATIF X DOSIS TINGGI)


Test Statisticsa

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


SBLM G0 G7 G14 G21

Mann-Whitney U 12,000 1,500 1,500 ,000 ,000


Wilcoxon W 27,000 16,500 16,500 15,000 15,000
Z -,104 -2,312 -2,312 -2,611 -2,611
Asymp. Sig. (2-tailed) ,917 ,021 ,021 ,009 ,009
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1,000b ,016b ,016b ,008b ,008b

a. Grouping Variable: KELOMPOK


b. Not corrected for ties.

(DOSIS KECIL X DOSIS SEDANG)


Test Statisticsa

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


SBLM G0 G7 G14 G21

Mann-Whitney U 11,500 4,000 8,000 7,500 6,000


Wilcoxon W 26,500 19,000 23,000 22,500 16,000
Z -,210 -1,798 -,940 -1,048 -,980
Asymp. Sig. (2-tailed) ,834 ,072 ,347 ,295 ,327
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,841b ,095b ,421b ,310b ,413b

a. Grouping Variable: KELOMPOK


b. Not corrected for ties.

(DOSIS KECIL X DOSIS TINGGI)


Test Statisticsa

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


SBLM G0 G7 G14 G21

Mann-Whitney U 9,500 3,000 7,000 8,000 7,000


Wilcoxon W 24,500 18,000 22,000 23,000 17,000
Z -,629 -1,984 -1,149 -,940 -,735
Asymp. Sig. (2-tailed) ,530 ,047 ,251 ,347 ,462
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,548b ,056b ,310b ,421b ,556b

a. Grouping Variable: KELOMPOK


b. Not corrected for ties.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


80

(DOSIS SEDANG X DOSIS TINGGI)


Test Statisticsa

GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_ GULA_DARAH_


SBLM G0 G7 G14 G21

Mann-Whitney U 11,000 ,000 3,000 11,000 11,000


Wilcoxon W 26,000 15,000 18,000 26,000 26,000
Z -,313 -2,619 -1,984 -,313 -,313
Asymp. Sig. (2-tailed) ,754 ,009 ,047 ,754 ,754
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,841b ,008b ,056b ,841b ,841b

a. Grouping Variable: KELOMPOK


b. Not corrected for ties.

Interpretasi data :

1. Ekstrak etanol 70% daun seledri jepang dalam berbagai dosis memiliki perbedaan yang
bermakna dengan kontrol negatif (Sig < 0,05)

2. Ekstrak etanol 70% daun seledri jepang dosis 1, 10 dan 100 mg/kg BB memiliki
perbedaan yang tidak bermakna dengan obat antihiperglikemik (glibenklamid) yang
beredar di masyarakat (Sig > 0,05)

3. Etanol 70% daun seledri jepang pada berbagai dosis (1, 10, 100mg/kgBB) memiliki
perbedaan yang tidak bermakna. (Sig > 0,05)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


81

Lampiran 10. Dokumentasi penelitian

Simplisia kering setelah Simplisia kering dalam


Proses penyaringan ekstrak
dirajang toples

Uji parameter non spesifik


Proses evaporasi Ekstrak kental kadar air

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


82

Uji parameter non Bahan penginduksi


spesifik kadar abu Hewan uji (tikus jantan)
(Aloksan)

Pembacaan kadar darah


Penyondean ekstrak ke dengan Glukometer (Easy
Menimbang Hewan uji hewan uji secara oral touch )
(tikus jantan)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai