Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Keluhan dyspepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam


praktek praktis sehari-hari. Diperkirakan hampir 30% kasus pada praktek umum dan
60% praktek gastroenterologis merupakan kasus dyspepsia. Istilah dyspepsia mulai
gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an yang menggambarkan keluhan atau
kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di
epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh di perut, sendawa,
regurgitasi dan dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat
disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit tentunya termasuk pula penyakit
lambung, yang diasumsikan oleh orang awam seperti penyakit maag/lambung,
Penyakit hepatitis, pancreatitis kronik, kolesistitis kronik) merupakan penyakit
tersering setelah penyakit yang melibatkan gangguan patologis pada tukak peptic dan
gastritis. Beberapa penyakit di luar system gastrointestinal dapat pula bermanifestasi
dalam bentuk sindrom dyspepsia, seperti gangguan infark miokard, penyakit tiroid,
obat-obat dan sebagainya.1
Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialami
oleh seseorang. Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-
30% orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Dari data di
Negara barat di dapatkan prevalensinya berkisar 7-41% tapi hanya 10-20% yang
mencari pertolongan medis. Belum ada data epidemiologi di Indonesia.1
\
Gejala yang esensial adalah selalu adanya komponen dari nyeri atau gangguan
abdomen bagian atas. Untuk membedakannya dari ICS (Irritable Colon Syndrome)
dikatakan bahwa dyspepsia meliputi gejala-gejala yang berpredominasi pada
abdomen bagian atas. Sejak pemakaian istilah dyspepsia hingga sekarang banyak
timbul bermacam-macam batasan mengenai dyspepsia.1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri
dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa
cepat kenyang, perut rasa penuh atau begah.1
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys-), berarti sulit, dan (Pepse),berarti
pencernaan (N.Talley, et al., 2005). Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala
klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau
mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di
dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia.3
Ada berbagai macam definisi dispepsia. Salah satu definisi yang dikemukakan
oleh suatu kelompok kerja internasional adalah: Sindroma yang terdiri dari keluhan -
keluhan yang disebabkan karena kelainan traktus digestivus bagian proksimal yang
dapat berupa mual atau muntah, kembung, dysphagia, rasa penuh, nyeri epigastrium
atau nyeri retrosternal dan ruktus, yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Dengan
demikian dispepsia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat kronik.2
Dalam klinik tidak jarang para dokter menyamakan dispepsia dengan gastritis.
Hal ini sebaiknya dihindari karena gastritis adalah suatu diagnosa patologik, dan tidak
semua dispepsia disebabkan oleh gastritis dan tidak semua kasus gastritis yang
terbukti secara patologi anatomik disertai gejala dispepsia. Karena dispepsia dapat
disebabkan oleh banyak keadaan maka dalam menghadapi sindrom klinik ini
penatalaksanaannya seharusnya tidak seragam.3
Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap
organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas,
radang empedu, dan lain-lain.1,6
2. Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispesia non ulkus, bila tidak
jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan
struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan
endoskopi setelah 3 bulan dengan gejala dispepsia.7
Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan,
membagi
dispepsia menjadi tiga tipe :
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan gejala:
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
c. Nyeri saat lapar
d. Nyeri episodik

2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan


gejala:
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. e.Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan

3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).2

2.2 ETIOLOGI
Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau
duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.
Obat – obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa
antibiotic, digitalis, teofilin dan sebagainya.
Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis
kronik. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung
koroner.
Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak
terbukti adanya kelainan atau gangguan organic atau structural biokimia, yaitu
dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus.1
Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi
A. Organik
1. Obat-obatan

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik (makrolides,


metronidazole), Besi, KCl, Digitalis, Estrogen, Etanol (alkohol),
Kortikosteroid, Levodopa, Niacin, Gemfibrozil, Narkotik, Quinidine,
Theophiline.8-10
2. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)
a. Alergi susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis produk
kedelai dan beberapa jenis buah-buahan
b. Non-alergi

 Produk alam : laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein.

 Bahan kimia : monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat, nitrit,


nitrat.

Perlu diingat beberapa intoleransi makanan diakibatkan oleh penyakit


dasarnya, misalnya pada penyakit pankreas dan empedu tidak bisa
mentoleransi makanan berlemak, jeruk dengan pH yang relatif rendah sering
memprovokasi gejala pada pasien ulkus peptikum atau esophagitis.10
3. Kelainan struktural
a. Penyakit oesophagus

 Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia

 Akhalasia

 Obstruksi esophagus

b. Penyakit gaster dan duodenum

 Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan


sakit keras (stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan,
trauma, shock

 Ulkus gaster dan duodenum

 Karsinoma gaster

c. Penyakit saluran empedu

 Kholelitiasis dan Kholedokolitiasis

 Kholesistitis

d. Penyakit pankreas

 Pankreatitis

 Karsinoma pankreas

e. Penyakit usus

 Malabsorbsi

 Obstruksi intestinal intermiten


 Sindrom kolon iritatif

 Angina abdominal

 Karsinoma kolon

4. Penyakit metabolik / sistemik

a. Tuberculosis

b. Gagal ginjal

c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar

d. Diabetes melitius

e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid

f. Ketidakseimbangan elektrolit

g. Penyakit jantung kongestif

5. Lain-lain

a. Penyakit jantung iskemik

b. Penyakit kolagen5-11

B. Idiopatik atau Dispepsia Non Ulkus


Dispepsia fungsional
Keluhan terjadi kronis, tanpa ditemukan adanya gangguan struktural atau
organik atau metabolik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran
makanan.Termasuk ini adalah dispepsia dismotilitas, yaitu adanya gangguan
motilitas diantaranya; waktu pengosongan lambung yang lambat, abnormalitas
kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. Penderita
dengan dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung yaitu
kenaikan asam lambung.
Kelainan psikis, stress dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan
dispepsia fungsional.12
Kelainan non organik saluran cerna:
o Gastralgia
o Dispepsia karena asam lambung
o Dispepsia flatulen
o Dispepsia alergik
o Dispepsia essensial
o Pseudoobstruksi intestinal kronik
o Kelainan susunan saraf pusat (CVD, epilepsi).
o Psikogen : Histeria, psikosomatik
2.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI GASTER

Lambung atau ventrikulus berupa suatu kantong yang terletak di bawah


diafragma, berbentuk huruf J. Fungsi lambung secara umum adalah tempat di mana
makanan dicerna dan sejumlah kecil sari-sari makanan diserap. Lambung dapat
dibagi menjadi tiga daerah, yaitu daerah kardia, fundus dan pilorus. Kardia adalah
bagian atas, daerah pintu masuk makanan dari oesofagus . Fundus adalah bagian
tengah, bentuknya membulat. Pilorus adalah bagian bawah, daerah yang
berhubungan dengan usus 12 jari duodenum.13

Dinding lambung tersusun menjadi empat lapisan, yakni mukosa, submukosa,


muscularis, dan serosa. Mukosa ialah lapisan dimana sel-sel mengeluarkan berbagai
jenis cairan, seperti enzim, asam lambung, dan hormon. Lapisan ini berbentuk seperti
palung untuk memperbesar perbandingan antara luas dan volume sehingga
memperbanyak volume getah lambung yang dapat dikeluarkan. Submukosa ialah
lapisan dimana pembuluh darah arteri dan vena dapat ditemukan untuk menyalurkan
nutrisi dan oksigen ke sel-sel perut sekaligus untuk membawa nutrisi yang diserap,
urea, dan karbon dioksida dari sel-sel tersebut. Muscularis adalah lapisan otot yang
membantu perut dalam pencernaan mekanis. Lapisan ini dibagi menjadi 3 lapisan
otot, yakni otot melingkar, memanjang, dan menyerong. Kontraksi dari ketiga macam
lapisan otot tersebut mengakibatkan gerak peristaltik (gerak menggelombang). Gerak
peristaltik menyebabkan makanan di dalam lambung diaduk-aduk. Lapisan terluar
yaitu serosa berfungsi sebagai lapisan pelindung perut. Sel-sel di lapisan ini
mengeluarkan sejenis cairan untuk mengurangi gaya gesekan yang terjadi antara
perut dengan anggota tubuh lainnya.13

Gambar 1. Anatomi Gaster: 1.Esofagus, 2.Kardia, 3.Fundus, 4.Selaput Lendir,


5.Lapisan Otot, 6.Mukosa Lambung, 7.Korpus, 8.Antrum Pilorik, 9.Pilorus,
10.Duodenum
Di lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yang berfungsi dalam pencernaan, yaitu
sel goblet [goblet cell], sel parietal [parietal cell], dan sel chief [chief cell]. Sel goblet
berfungsi untuk memproduksi mucus atau lendir untuk menjaga lapisan terluar sel
agar tidak rusak karena enzim pepsin dan asam lambung. Sel parietal berfungsi untuk
memproduksi asam lambung [Hydrochloric acid] yang berguna dalam pengaktifan
enzim pepsin. Diperkirakan bahwa sel parietal memproduksi 1.5 mol dm-3 asam
lambung yang membuat tingkat keasaman dalam lambung mencapai pH 2 yang
bersifat sangat asam. Sel chief berfungsi untuk memproduksi pepsinogen, yaitu enzim
pepsin dalam bentuk tidak aktif. Sel chief memproduksi dalam bentuk tidak aktif agar
enzim tersebut tidak mencerna protein yang dimiliki oleh sel tersebut yang dapat
menyebabkan kematian pada sel tersebut.13

Di bagian dinding lambung sebelah dalam terdapat kelenjar-kelenjar yang


menghasilkan getah lambung. Aroma, bentuk, warna, dan selera terhadap makanan
secara refleks akan menimbulkan sekresi getah lambung. Getah lambung
mengandung asam lambung (HCI), pepsin, musin, dan renin. Asam lambung
berperan sebagai pembunuh mikroorganisme dan mengaktifkan enzim pepsinogen
menjadi pepsin. Pepsin merupakan enzim yang dapat mengubah protein menjadi
molekul yang lebih kecil. Musin merupakan mukosa protein yang melicinkan
makanan. Renin merupakan enzim khusus yang hanya terdapat pada mamalia,
berperan sebagai kaseinogen menjadi kasein. Kasein digumpalkan oleh Ca2+ dari susu
sehingga dapat dicerna oleh pepsin. Tanpa adanya renim susu yang berwujud cair
akan lewat begitu saja di dalam lambuing dan usus tanpa sempat dicerna.13

Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah makanan menjadi
lembut seperti bubur, disebut chyme (kim) atau bubur makanan. Otot lambung bagian
pilorus mengatur pengeluaran kim sedikit demi sedikit dalam duodenum. Caranya,
otot pilorus yang mengarah ke lambung akan relaksasi (mengendur) jika tersentuh
kim yang bersifat asam. Sebaliknya, otot pilorus yang mengarah ke duodenum akan
berkontraksi (mengerut) jika tersentuh kim. Jadi, misalnya kim yang bersifat asam
tiba di pilorus depan, maka pilorus akan membuka, sehingga makanan lewat. Oleh
karena makanan asam mengenai pilorus belakang, pilorus menutup. Makanan
tersebut dicerna sehingga keasamannya menurun. Makanan yang bersifat basa di
belakang pilorus akan merangsang pilorus untuk membuka. Akibatnya, makanan
yang asam dari lambung masuk ke duodenum. Demikian seterusnya. Jadi, makanan
melewati pilorus menuju duodenum segumpal demi segumpal agar makanan tersebut
dapat tercerna efektif. Seteleah 2 sampai 5 jam, lambung kosong kembali.13

Pengaturan peristiwa ini terjadi baik melalui saraf maupun hormon. Impuls
parasimpatikus yang disampaikan melalui nervus vagus akan meningkatkan motilitas,
secara reflektoris melalui vagus juga akan terjadi pengosongan lambung. Refleks
pengosongan lambung ini akan dihambat oleh isi yang penuh, kadar lemak yang
tinggi dan reaksi asam pada awal duodenum. Keasaman ini disebabkan oleh hormon
saluran cerna terutama sekretin dan kholesistokinin-pankreo-zimin, yang dibentuk
dalam mukosa duodenum dan dibawa bersama aliran darah ke lambung. Dengan
demikian proses pengosongan lambung merupakan proses umpan balik humoral.13

Kelenjar di lambung tiap hari membentuk sekitar 2-3 liter getah lambung,
yang merupakan larutan asam klorida yang hampir isotonis dengan pH antara 0,8-1,5,
yang mengandung pula enzim pencemaan, lendir dan faktor intrinsik yang dibutuhkan
untuk absorpsi vitamin B12. Asam klorida menyebabkan denaturasi protein makanan
dan menyebabkan penguraian enzimatik lebih mudah. Asam klorida juga
menyediakan pH yang cocok bagi enzim lambung dan mengubah pepsinogen yang
tak aktif menjadi pepsin. 13

Asam klorida juga akan membunuh bakteri yang terbawa bersama makanan.
Pengaturan sekresi getah lambung sangat kompleks. Seperti pada pengaturan
motilitas lambung serta pengosongannya, di sini pun terjadi pengaturan oleh saraf
maupun hormon. Berdasarkan saat terjadinya, maka sekresi getah lambung dibagi
atas fase sefalik, lambung (gastral) dan usus (intestinal).13

Fase Sekresi Sefalik diatur sepenuhnya melalui saraf. Penginderaan


penciuman dan rasa akan menimbulkan impuls saraf aferen, yang di sistem saraf
pusat akan merangsang serabut vagus. Stimulasi nervus vagus akan menyebabkan
dibebaskannya asetilkolin dari dinding lambung. Ini akan menyebabkan stimulasi
langsung pada sel parietal dan sel epitel serta akan membebaskan gastrin dari sel G
antrum. Melalui aliran darah, gastrin akan sampai pada sel parietal dan akan
menstimulasinya sehingga sel itu membebaskan asam klorida. Pada sekresi asam
klorida ini, histamin juga ikut berperan. Histamin ini dibebaskan oleh mastosit karena
stimulasi vagus (gambar 3). Secara tak langsung dengan pembebasan histamin ini
gastrin dapat bekerja.13

Fase Lambung. Sekresi getah lambung disebabkan oleh makanan yang


masuk ke dalam lambung. Relaksasi serta rangsang kimia seperti hasil urai protein,
kafein atau alkohol, akan menimbulkan refleks kolinergik lokal dan pembebasan
gastrin. Jika pH turun di bawah 3, pembebasan gastrin akan dihambat.13

Fase Usus mula-mula akan terjadi peningkatan dan kemudian akan diikuti
dengan penurunan sekresi getah lambung. Jika kim yang asam masuk ke usus
duabelas jari akan dibebaskan sekretin. Ini akan menekan sekresi asam klorida dan
merangsang pengeluaran pepsinogen. Hambatan sekresi getah lambung lainnya
dilakukan oleh kholesistokinin-pankreozimin, terutama jika kim yang banyak
mengandung lemak sampai pada usus halus bagian atas.13

Di samping zat-zat yang sudah disebutkan ada hormon saluran cerna lainnya
yang berperan pada sekresi dan motilitas. GIP (gastric inhibitory polypeptide)
menghambat sekresi HC1 dari lambung dan kemungkinan juga merangsang sekresi
insulin dari kelenjar pankreas.13
Somatostatin, yang dibentuk tidak hanya di hipothalamus tetapi juga di
sejumlah organ lainnya antara lain sel D mukosa lambung dan usus halus serta
kelenjar pankreas, menghambat sekresi asam klorida, gastrin dan pepsin lambung dan
sekresi sekretin di usus halus. Fungsi endokrin dan eksokrin pankreas akan turun
(sekresi insulin dan glukagon serta asam karbonat dan enzim pencernaan). Di
samping itu, ada tekanan sistemik yang tak berubah, pasokan darah di daerah n.
Splanchnicus akan berkurang sekitar 20-30%.13

Rangsang bau dan


Rangsang n.
rangsang kecap Vagus

Rangsang Rangsang
Lokal Ganglion
(makanan)
Degranulasi mastosit
Pembebasan
Stimulasi sel G
asethilkolin

Pembebasan Pembebasan Gastrin


histamin

Stimulasi Sel
Parietal

Pembebasan HCl

Bagan 1. Pengaruh Sekresi Sel Parietal


2.4 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dispepsia non ulkus masih sedikit diketahui, beberapa faktor berikut
mungkin berperan penting (multifaktorial):
 Abnormalitas Motorik Gaster

Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien


dispepsia non ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam
gaster. Demikian pula pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas
antrum postprandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut dengan gejala-
gejala dispepsia tidak jelas. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus
gaster yang "kaku" bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada
keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan
maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari
corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks
vagal. Pada beberapa pasien dyspepsia non ulkus, refleks ini tidak berfungsi
dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.2
 Perubahan sensifitas gaster

Lebih 50% pasien dispepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap


distensi gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang
sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi
gaster intestinum atau distensi dini bagian Antrum postprandial dapat
menginduksi nyeri pada bagian ini.10
 Stres dan faktor psikososial

Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan morbiditas


psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien dispepsia non ulkus
daripada subyek kontrol yang sehat.Banyak pasien mengatakan bahwa stres
mencetuskan keluhan dispepsia. Beberapa studi mengatakan stres yang lama
menyebabkan perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi dan
motilitas gaster.Kepribadian dispepsia non ulkus menyerupai pasien Sindrom
Kolon Iritatif dan dispepsia organik, tetapi disertai dengan tanda neurotik,
ansietas dan depresi yang lebih nyata dan sering disertai dengan keluhan non-
gastrointestinal ( GI ) seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan mudah
letih. Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya
akibat nyeri dan mempunyai fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien
dispepsia organik. Demikian pula bila dibandingkan orang normal. Gambaran
psikologik dispepsia non ulkus ditemukan lebih banyak ansietas, depresi dan
neurotik.5

 Gastritis Helicobacter pylori

Gambaran gastritis Helicobacter pylori secara histologik biasanya gastritis


non-erosif non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena gambaran
histologik yang ada tidak dapat meramalkan penyebabnya dan keadaan klinik
yang bersangkutan. Diagnosa endoskopik gastritis akibat infeksi Helicobacter
pylori sangat sulit karena sering kali gambarannya tidak khas. Tidak jarang
suatu gastritis secara histologik tampak berat tetapi gambaran endoskopik
yang tampak tidak jelas dan bahkan normal. Beberapa gambaran endoskopik
yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi Helicobacter pylori adalah:
a. Erosi kronik di daerah antrum.

b. Nodularitas pada mukosa antrum.

c. Bercak-bercak eritema di antrum.

d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah


korpus.13
Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus peptikum sudah
diakui, tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan dispepsia non ulkus
masih kontroversi. Di negara maju, hanya 50% pasien dispepsia non ulkus menderita
infeksi Helicobacter pylori, sehingga penyebab dispepsia pada dispepsia non ulkus
dengan Helicobacter pylori negatif dapat juga menjadi penyebab dari beberapa
dispepsia non ulkus dengan Helicobacter pylori positif. Bukti terbaik peranan
Helicobacter pylori pada dispepsia non ulkus adalah gejala perbaikan yang nyata
setelah eradikasi kuman Helicobacter pylori tersebut, tetapi ini masih dalam taraf
pembuktian studi ilmiah. Banyak pasien mengalami perbaikan gejala dengan cepat
walaupun dengan pengobatan plasebo. Studi "follow up" jangka panjang sedang
dikerjakan, hanya beberapa saja yang tidak kambuh.2

 Kelainan gastrointestinal fungsional

Dispepsia non ulkus cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan


fungsional GI, termasuk di sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-kardiak
dan nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80% dengan Sindrom Kolon Iritatif
menderita dispepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengan dispepsia kronis
juga mempunyai gejala Sindrom Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti
ini sering ada gejala extra GI seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing
dan ginekologi. Pada anamnesis dispepsia jangan lupa menanyakan gejala
Sindrom Kolon Iritatif seperti nyeri abdomen mereda setelah defikasi,
perubahan frekuensi buang air besar atau bentuknya mengalami perubahan,
perut tegang, tidak dapat menahan buang air besar dan perut kembung.
Beberapa pasien juga mengalami aerophagia, lingkaran setan dari perut
kembung diikuti oleh masuknya udara untuk menginduksi sendawa, diikuti
oleh kembung yang lebih darah. Ini memerlukan perbaikan tingkah
laku.Abnormalitas di atas belum semua diidentifikasi oleh semua peneliti dan
tidak selalu muncul pada semua penderita. Hasil yang kurang konsisten dari
bermacam terapi yang digunakan untuk terapi dispepsia non ulkus
mendukung keanekaragaman kelompok ini. 2,12,14.
Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau pendarahan mukosa lambung.
Gastritis karena bakteri H. pylori dapat mengalami adaptasi pada linkungan dengan
pH yang sangat rendah dengan menghasilkan enzim urease yang sangat kuat. Enzim
urease tersebut akan mengubah urea dalam lambung menjadi ammonia sehingga
bakteri Helicobacter pylori yang diselubungi “awan amoniak” yang dapat
melindungi diri dari keasaman lambung. Kemudian dengan flagella Helicobacter
pylori menempel pada dinding lambung dan mengalami multiplikasi. Bagian yang
menempel pada epitel mukosa lambung disebut adheren pedestal. Melalui zat yang
disebut adhesin , Helicobacter pylori dapat berikatan dengan satu jenis gliserolipid
yang terdapat di dalam epitel.13
Selain urease, bakteri juga mengeluarkan enzim lain misalnya katalase,
oksidase, alkaliposfatase, gamma glutamil transpeptidase, lipase, protease, dan
musinase. Enzim protease dan fosfolipase diduga merusak glikoprotein dan fosfolipid
yang menutup mukosa lambung. H. Pylori juga mengeluarkan toksin yang beperan
dalam peradangan dan reaksi imun local.13
Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui beberapa
mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa lambung sebagai
pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang merupakan salah satu faktor
defensif mukosa lambung yang sangat penting. Selain itu, obat ini juga dapat merusak
secara topikal. Kerusakan topikal ini terjadi karena kandungan asam dalam obat
tersebut bersifat korosif, sehingga merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin
juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung, sehingga
kemampuan faktor defensif terganggu.13
Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa esophagus,
lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan
mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun seringkali
dianggap juga sebagai ulkus. Ulkus kronik berbeda dengan ulkus akut, karena
memiliki jaringan parut pada dasar ulkus. Menurut definisi, ulkus peptik dapat
ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu
esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal, juga jejunum.13
Sawar mukosa lambung penting untuk perlindungan lambung dan duodenum.
Obat anti inflamasi non steroid termasuk aspirin menyebabkan perubahan kualitatif
mucus lambung yang dapat mempermudah terjadinya degradasi mucus oleh pepsin.
Prostaglandin yang terdapat dalam jumlah berlebihan dalam mucus gastric dan
tampaknya berperan penting dalam pertahanan mukosa lambung.13
Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat – zat lain yang merosak mukosa
lambung mengubah permeabilitas sawar epitel, sehingga memungkinkan difusi balik
asam klorida yang mengakibatkan kerosakan jaringan, terutama pembuluh darah.
Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi asam dan pepsin lebih lanjut dan
meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap protein. Mukosa menjadi edema dan
sejumlah besar protein plasma dapat hilang. Mukosa kapiler dapat rusak,
mengakibatkan terjadinya hemoragi interstitial dan perdarahan. Sawar mukosa tidak
dipengaruhi oleh penghambatan vagus atau atropine, tetapi difusi balik dihambat oleh
gastrin.13
Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan faktor penting dalam
patogenesis ulkus peptikum. Ulkus peptikum sering terletak di antrum karena mukosa
antrum lebih rentan terhadap difusi balik disbanding fundus. Selain itu, kadar asam
yang rendah dalam analisis lambung pada penderita ulkus peptikum diduga
disebabkan oleh meningkatnya difusi balik dan bukan disebabkan oleh produksi yang
berkurang. 13
Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus peptikum diduga akibat
fungsi kelenjar Brunner (kelenjar duodenum submukosa dalam dinding usus) yang
memproduksi sekret mukoid yang sangat alkali, pH 8 dan kental untuk menetralkan
kimus asam. Penderita ulkus peptikum sering mengalami sekresi asam berlebihan.
Faktor penurunan daya tahan jaringan juga terlibat dalam ulkus peptikum. Daya tahan
jaringan juga bergantung pada banyaknya suplai darah dan cepatnya regenerasi sel
epitel (dalam keadaan normal diganti setiap 3 hari). kegagalan mekanisme ini juga
berperan dalam patogenesis ulkus peptikum. 13
2.5 GEJALA KLINIK
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut
atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik
berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.
Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai
dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita,
makan dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi
nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan
flatulensi (perut kembung).6
Dispepsia Organik
a. Dispepsia Ulkus

Dispepsia ulkus merupakan bagian penting dari dispepsia organik. Di


negara negara barat prevalensi ulkus lambung lebih rendah dibandingkan dengan
ulkus duodeni. Sedang di negara berkembang termasuk Indonesia frekuensi
ulkus lambung lebih tinggi. Ulkus lambung biasanya diderita pada usia yang
lebih tinggi dibandingkan ulkus duodeni.4
Gejala utama dari ulkus peptikum adalah hunger pain food relief. Untuk
ulkus duodeni nyeri umumnya terjadi 1 sampai 3 jam setelah makan, dan
penderita sering terbangun di tengah malam karena nyeri. Tetapi banyak juga
kasus kasus yang gejalanya tidak jelas dan bahkan tanpa gejala. Pada ulkus
lambung seringkali gejala hunger pain food relief tidak jelas, bahkan kadang
kadang penderita justru merasa nyeri setelah makan.15
Penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama ulkus duodenum adalah
infeksi H. pylori, dan ternyata sedikitnya 95% kasus ulkus duodeni adalah H.
pylori positif, sedang hanya 70% kasus ulkus lambung yang H. pylori positif.13
b. GERD
Dahulu GERD dimasukkan dalam dispepsia fungsional tetapi setelah
ditemukan dasar-dasar organik maka GERD dimasukan kedalam dispepsia
organik. Penyakit ini disebabkan Inkompetensi/relaksasi sphincter cardia yang
menyebabkan regurgitasi asam lambung ke dalam esofagus.

Dulu sebelum penyebab GERD diketahui dengan jelas, GERD


dimasukkan ke dalam kelompok dispepsia fungsional. Setelah penyebabnya jelas
maka GERD dikeluarkan dari kelompok tersebut dan dimasukkan ke dalam
dispepsia organik.7
Gejala GERD :
Gejala khas, terdiri dari :
o “Heart Burn”
o Rasa panas di epigastrium
o Rasa nyeri retrosternal
o Regurgitasi asam
o Pada kasus berat : ada gangguan menelan

Gejala tidak khas :


o Nafas pendek
o Wheezing
o Batuk-batuk

Gejala GERD lebih menonjol pada waktu penderita terbaring terlentang dan
berkurang bila penderita duduk.
Gambaran Endoskopi:
Didapatkan lesi berupa robekan pada daerah spinter esophagus yang dibagi menjadi 4
derajat (Pembagian Los Angeles) :
Grade A :
Robekan mukosa tidak lebih dari 5 mm
Grade B :
Ada robekan mukosa yang lebih dari 5 mm dan kalau ada robekan mukosa di tempat
lain tidak berhubungan dengan robekan mukosa yang pertama.
Grade C :
Robekan mukosa pada 1 lipatan mukosa berhubungan dengan lipatan mukosa yang
lain tetapi tidak difus.
Grade D :
Robekan mukosa difus.15
Dispepsia Fungsional
Gejala dispepsia fungsional (menurut kriteria Roma) :
a. Gejala menetap selama 3 bulan dalam 1 tahun terakhir.
b. Nyeri epigastrium yang menetap atau sering kambuh (recurrent).
c. Tidak ada kelainan organik yang jelas (termasuk endoskopi)
d. Tidak ada tanda-tanda IBS (Irritable Bowel Syndrome)
BAB III

LAPORAN KASUS DISPEPSIA

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : NKS
Agama : Hindu
Suku/ Bangsa : Bali
Pekerjaan :-
Alamat : Kerambitan
Umur : 87 tahun
Laki/ Perempuan : Perempuan
Tgl. Penerimaan : 30 September 2017

II. PEMERIKSAAN

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri ulu hati
Ananmesis Terpimpin : Dialami sejak 1 minggu yang lalu, tidak terus menerus,
perut terasa kembung dan sering merasa mual. Pasien
sering makan tidak teratur.
Riwayat minum obat (-)
Riwayat keluhan yang sama (+), jika terlambat makan.
BAB : Encer,terakhir 5x/hari
BAK : Tidak ada keluhan
Riwayat darah tinggi tidak terkontrol
PEMERIKSAAN FISIS
- Status present : Sakit ringan / gizi cukup/ composmentis
(BB = 43 kg, TB = 148 cm, IMT= 19.63 kg/m2)
- Tanda Vital : TD = 180/110mmHg P = 20x/menit
N = 92x/menit S = 36,5oC
- Kepala : Konjungtiva anemis (-)
Sklera ikterus (- )
Bibir sianosis (-)
- Leher : MT (-)
NT (-)
- Thoraks : I = Simetris, kiri = kanan
P = Massa tekan (-), Nyeri Tekan (+), vokal fremitus
kiri=kanan
P = Sonor, Batas Paru Hepar ICS VI kanan depan.
A = Bronkovesikuler, Rh -/- Wh -/-.
- Jantung : I = Ictus cordis tidak tampak
P = Ictus cordis tidak teraba
P = Pekak
A = BJ I/II, murni regular, bising (-)
- Abdomen : I = Datar, ikut gerak nafas
A = Peristaltik (+), kesan meningkat
P = MT (-), NT (-), Hepar/Lien tidak teraba
P = Tympani
- Ekstremitas : udema (-), fraktur (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG = Dalam batas normal
GDS = Dalam batas normal
Elektrolit = Dalam batas normal

DIAGNOSIS
Dispepsia syndrome

III. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana nonfarmakologi berupa saran kepada pasien untuk :
1. Tidak menunda makan, mengatur pola makan dengan makan secara teratur
dan sebaiknya mengkonsumsi makanan berserat tinggi, bergizi, serta
perbanyak minum air putih.
2. Kurangi mengkonsumsi makanan pedas, kecut, banyak mengandung gas yang
dapat menimbulkan gas di lambung (kubis, kol, kentang, semangka, melon)
dan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung.
3. Menghindari konsumsi obat –obat yang dapat mengiritasi lambung seperti
obat anti inflamasi, misalnya yang mengandung ibuprofen, aspirin dan
ketoprofen. Sebaiknya di ganti dengan Acetaminophen karena tidak
mengakibatkan iritasi pada lambung.
4. Menghindari stress.
Tatalaksana farmakologi yang diberikan adalah :
Rawat Inap, Konsultasi dr Dwija, SpPD
1. Nacl 0,9 % : D5 1:1 20 tpm
2. Captopril 2 x 50 mg
3. amlodipin 1 x 5 mg
4. pantoprazole 2 x 40 mg
5. antasida syr 3xCI
6. Sukralfat syr 3x C I

HASIL Follow Up Pasien


I. Ranap Hari I ( 1 Oktober 2010)
Keluhan : Nyeri ulu hati berkurang, mual berkurang
Pemeriksaan fisik :
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Pernapasan : 22 x/mnt
Nadi : 88 x/mnt
Suhu : 3,6°C
- Kepala : Konjungtiva anemis (-)
Sklera ikterus (- )
Bibir sianosis (-)
- Leher : MT (-)
NT (-)
DVS R-2 cm H2O
- Thoraks : I = Simetris, kiri = kanan
P = Massa tekan (-), Nyeri Tekan (-), vokal fremitus kiri =
kanan
P = Sonor
A = Bronkovesikuler, Rh -/- Wh -/-.

- Jantung : I = Ictus cordis tidak tampak


P = Ictus cordis tidak teraba
P = Pekak
A = BJ I/II, murni regular, bising (-)
- Abdomen : I = Datar, ikut gerak nafas
A = Peristaltik (+), kesan normal
P = MT (-), NT (-), Hepar/Lien tidak teraba
P = Tympani
- Ekstremitas : udema (-), fraktur (-)

Tatalaksana:
1. Istirahat
2. Atur pola makan
3. Diet Rendah garam 1900 Kkal
4. Terapi Lanjutkan
5. Observasi TTV

Ranap hari II ( 2 oktober 2017)


Keluhan : Tidak ada keluhan
Pemeriksaan fisis:
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Pernapasan : 22x/mnt
Nadi : 86 x/mnt
Suhu : afebris
Kepala : anemis (-), sianosis (-), ikterus (-)
Leher : tidak ada kelainan
Thorax : vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Cor : SI/II reguler, murni
Abdomen : I = Datar, ikut gerak nafas
A = Peristaltik (+), kesan normal
P = MT (-), NT (-), Hepar/Lien tidak teraba
P = Tympani
Ekstremitas : Tidak ada kelainan
Saran:
1. Atur pola makan
2. mengkonsumsi makanan yang bergizi
3. observasi TTV

Ranap hari III ( 3 oktober 2017)


Keluhan : Tidak ada keluhan
Pemeriksaan fisis:
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Pernapasan : 22x/mnt
Nadi : 86 x/mnt
Suhu : afebris
Kepala : anemis (-), sianosis (-), ikterus (-)
Leher : tidak ada kelainan
Thorax : vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
Cor : SI/II reguler, murni
Abdomen : I = Datar, ikut gerak nafas
A = Peristaltik (+), kesan normal
P = MT (-), NT (-), Hepar/Lien tidak teraba
P = Tympani
Ekstremitas : Tidak ada kelainan
Saran:
1. Atur pola makan

2. mengkonsumsi makanan yang bergizi

3. Dosis Captopril diturunkan 2 x 25mg

4. Pasien Diperbolehkan untuk pulang dan Kontrol sesuai Jadwal

\
DAFTAR PUSTAKA
1. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam, Ed. IV, 2007. Indonesia; Balai Penerbit FKUI. H. 285

2. Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate Medical


Journal. 2003;79:25-29.

3. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al. Functional


Gastroduadenal. Gastroenterology. 2006;130:1466-1479.

4. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska Medan


Tahun 2007. Edisi 2010. Diunduh dari,
http://library.usu.ac.id/index.php/index.php?option=com_journal_review&id.

5. Citra JT. Perbedaan depresi pada pasien dispepsia organik dan fungsional.
Bagian Psikiatri FK USU 2003.

6. Dyspepsia. Edition 2010. Available from:


http://www.mayoclinic.org/dyspepsia/.

7. Talley N, Vakil NB, Moayyedi P. American Gastroenterological Association


technical review: evaluation of dyspepsia. Gastroenterology. 2005;129:1754

8. Indigestion (Dyspepsia, Upset Stomach). Edition 2010. Available from:


http://www.medicinenet.com/dyspepsia/article.htm, 5 Juni 2010.

9. Dyspepsia, What It Is and What to Do About It? Edition 2009. Available


from:
http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/digestive/disorders/4
74.html.
10. Greenburger NJ. Dyspepsia. The Merck Manuals Online Medical Library.
2008 March. Available from:
http://www.merck.com/mmpe/sec02/ch007/ch007c.html.

11. Delaney BC. 10 Minutes consultation dyspepsia. BMJ. 2001. Available from:
http://www.bmj.com/cgi/content/full/322/7289/776.

12. Ringerl Y. Functional dyspepsia. UNC Division of Gastroenterology and


Hepatology. 2005;1:1-3.

13. Glenda NL. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi. Edisi ke-6.
EGC; 2006.h.417-19.

14. Riza TC, Bushra S. Dyspepsia. Prim Care Clinical Office Pract 34 2007;1:99–
108.

15. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et al.
Peptic ulcer disease in Harrison’s Principle of Internal Medicine, 17th ed,
Vol.II.2008. USA: Mc Graw Hill Medical, p.287

Anda mungkin juga menyukai