Anda di halaman 1dari 22

Pemeriksaan pajak merupakan bagian tak terpisahkan (built-in) dengan sistem self

assessment yang dianut dalam sistem perpajakan kita. Pemeriksaan pajak dilakukan dalam
rangka pengawasan (control) kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Tanpa pengawasan,
Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya cenderung menurunkan omset atau
laba bersih.

Menurut sistem self assessment, Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan
objektif wajib :

 mendaftar diri ke KPP untuk mendapatkan NPWP sesuai tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak tersebut.
 Menghitung sendiri jumlah pajak yang terutang.
 Menyetor sendiri pajak yang terutang ke bank persepsi.
 Melaporkan kegiatan usaha melalui media Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar,
lengkap, jelas dan ditandatangan.

Benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur
lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan. Jelas adalah melaporkan asal-usul atau
sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.

Banyak pakar perpajakan berpendapat bahwa tidak ada Wajib Pajak yang dengan sukarela
membayar pajak. Hal ini saya amini karena saya sendiri terasa berat untuk membayar pajak.
Padahal saya setiap hari “ngurus” pajak orang lain. Dan saya yakin para pengusaha yang setiap
hari berjuang mengumpulkan rupiah merasa lebih berat lagi untuk bayar pajak. Disinilah
perlunya pengawasan atas pemenuhan kewajiban perpajakan.

Salah satu penyebab beratnya bayar pajak karena tidak ada balasan atau imbalah langsung dari
Negara. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat [ Pasal 1 angka 1 UU KUP ]. Sudah maksa, tidak ada imbalan pula.
Walaupun manfaatnya dapat kita rasakan dan lihat berupa public goods, seperti: jalan raya,
jembatan, irigasi, sekolah gratis, puskesmas dan rumah sakit pemerintah, peralatan militer, TNI,
kepolisian, kejaksaan, peradilan, dansemua penyelenggaraan negara termasuk pelayanan
pemerintahan dibayar dari uang pajak. Apalagi dilihat dari sisi teori, semua utang akan
dilunasi dari pajak juga.

Fungsi pemeriksaan pajak supaya Wajib Pajak melaporkan kegiatan usahanya dengan benar.
Benar karena Wajib Pajak melaporkan kegiatan usahanya sesuai keadaan sebenarnya. Tidak ada
yang ditutupi, tidak ada yang disembunyikan dan terbuka. Benar karena Wajib Pajak telah
menghitung pajak terutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.

Dalam bahasa undang-undang, pemeriksaan pajak berfungsi untuk mengawasi kepatuhan


pemenuhan kewajiban perpajakan. Pelaksanaan pemeriksaan pajak dalam rangka menguji
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat
Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya
dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak. Selain itu,
pemeriksaan dapat juga dilakukan untuk tujuan lain, antara lain:
[a.] pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan selain yang dilakukan berdasarkan
Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata
cara Verifikasi;
[b.] penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara
Verifikasi;
[c.] pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain yang dilakukan
berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai tata cara Verifikasi;
[d.] Wajib Pajak mengajukan keberatan;
[e.] pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto;
[f.] pencocokan data dan/atau alat keterangan;
[g.] penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
[h.] penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
[i.] Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
[j.] penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian
sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau
[k.] memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

Ruang Lingkup
Ruang lingkup pemeriksaan bisa juga disebut audit scope. Hanya saja, ruang lingkup
pemeriksaan pajak terkait dengan kewajiban SPT yang disampaikan Wajib Pajak. Sedangkan
kewajiban SPT tersebut terkait dengan periode tertentu. Ruang lingkup pemeriksaan:

Pertama:
Satu atau beberapa bulan (masa), yaitu ruang lingkup untuk menguji kewajiban pemungutan dan
pemotongan. Termasuk kewajiban pemotongan dan pemungutan adalan PPN, PPnBM, PPh Pasal
21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, dan PPh Pasal 4 (2).

Kedua:
Bagian tahun pajak atau tahun pajak, yaitu ruang lingkup untuk menguji kewajiban PPh Badan
atau PPh OP. Bagian tahun pajak artinya tidak 12 bulan penuh. Bisa 1 sampai dengan 11 bulan.
Saat terutang PPh Badan dan PPh OP adalah pada akhir tahun. Dan periode pajak yang dihitung
tahunan. Sehingga ruang lingkup pemeriksaan juga satu tahun atau bagian tahun. Contoh bagian
tahun pajak adalah bulan April sebuah perusahaan dibubarkan dan dilikuidasi bulan Agustus.
Maka pemeriksaan tahun tersebut disebut bagian tahun pajak karena periode yang dihitung
adalah Januari sampai dengan Agustus.

Kriteria Pemeriksaan
Kriteria pemeriksaan merupakan alasan atau dasar dilakukannya. Ada dua kriteria pemeriksaan
pajak, yaitu kriteria rutin dan kriteria khusus. Jenis-jenis kriteria rutin lebih lanjut diatur dalam
surat edaran. Pemeriksaan rutin merupakan pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan
pemenuhan hak dan/atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang tidak berdasarkan
hasil analisis risiko. Sebelum SE-10/PJ/2008, pemeriksaan rutin disebut wajib. Semua SPT yang
masuk pemeriksaan rutin menjadi wajib diperiksa. Padahal UU KUP hanya mewajibkan
pemeriksaan atas SPT LB dengan permohonan sebagaimana dimaksud Pasal 17B UU KUP.
Selain pemeriksaan Pasal 17B, hukumnya dapat! Silakan di cek Pasal 4 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Mengacu ke Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013, maka kriteria pemeriksaan rutin diatur di Pasal 4 yang terdiri:
[a.] Pemeriksaan SPT LB dengan permohonan (mengacu ke Pasal 17B UU KUP);
[b.] Pemeriksaan SPT LB tetapi tidak ada permohonan (mengacu ke Pasal 17 (1) UU KUP)
[c.] Pemeriksaan atas Wajib Pajak yang telah diberikan pendahuluan kelebih pembayaran pajak
[d.] Pemeriksaan SPT yang menyatakan rugi (dulu disebut RTLB)
[e.] Pemeriksaan karena Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran,
likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
[f.] Pemeriksaan karena Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan
atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap
Pemeriksaan Khusus merupakan pemeriksaan berdasarkan analisis risiko (risk based audit),
merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil analisis
risiko secara manual (individual) atau secara komputerisasi (massal) menunjukkan adanya
indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Kriteria pemeriksaan khusus lebih
sering disingkat pemsus.

Jenis Pemeriksaan
Jenis pemeriksaan pajak ada dua: yaitu pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor.
Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat
kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau
tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak. Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan
yang dilakukan di kantor DJP. Sesuai namanya, seharusnya hanya pemeriksaan kantor yang
dilakukan di kantor DJP. Tetapi prakteknya, dari definisi tadi pemeriksa pajak "mengartikan"
tempat lain sebagai kantor DJP. Sehingga (prakteknya) sebagian besar pemeriksaan lapangan
tetap dilakukan di kantor pajak.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 menentukan (sebagian) pemeriksaan


kantor. Pasal 5 ayat (2) mengharuskan bahwa pemeriksaan restitusi (Pasal 17B) dilakukan
dengan jenis pemeriksaan kantor dengan syarat:
Pertama, laporan keuangan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak yang diperiksa diaudit oleh akuntan
publik atau laporan keuangan salah satu Tahun Pajak dari 2 (dua) Tahun Pajak sebelum Tahun
Pajak yang diperiksa telah diaudit oleh akuntan publik, dengan pendapat wajar tanpa
pengecualian; dan

Kedua, Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, atau
penuntutan tindak pidana perpajakan, dan/atau Wajib Pajak dalam 5 (lima) tahun terakhir tidak
pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Berdasarkan persyarat diatas, jika tahun pajak 2011 diaudit oleh akuntan publik maka DJP akan
melakukan pemeriksaan dengan jenis pemeriksaan kantor jika tahun 2013 ini Wajib Pajak
memohon restitusi. Baik restitusi PPh Badan, maupun restitusi PPN. Apa untungnya dengan
pemeriksaan kantor? Ada kebijakan baru mulai 2013 bahwa pemeriksaan restitusi pajak
dilakukan dengan satu jenis pajak saja (yaitu jenis pajak yang memohon restitusi saja) dan
"disederhanakan" jika pemeriksa tidak mendapatkan risiko audit tinggi.
Jangka Waktu Pemeriksaan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 membagi jangka waktu pemeriksaan
menjadi dua:
a. jangka waktu pengujian, dan
b. jangka waktu Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (closing conference) dan pelaporan.

Sebelumnya, jangka waktu pemeriksaan itu hanya satu. Termasuk pengujian dan pembahasan.
Akibatnya ada kerancuan di Pasal 5 dengan Pasal 5A ayat (4) dan Pasal 23 ayat (11) PMK tata
cara pemeriksaan. Pasal 5A ayat (4) mengatur bahwa SPHP harus diselesaikan dan disampaikan
terlebih dahulu dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak berakhirnya perpanjangan
jangka waktu Pemeriksaan Kantor atau perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Lapangan.
Pasal 23 ayat (11) mengatur bahwa SPHP sampai LHP harus diselesaikan paling lama 1 (satu
bulan). Dengan demikian, total jangka waktu pemeriksaan lapangan menjadi 4 bulan + 4 bulan
perpanjangan + 7 hari + 1 bulan pembahasan, total 9 bulan lebih. Sedangkan di Pasal 5 mengatur
bahwa jangka waktu pemeriksa paling lama 8 bulan.

Dengan dipecahnya menjadi dua jangka waktu, maka jangka waktu pengujian menjadi konsisten.
Pasal 19 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 mengatur bahwa SPHP harus
disampaikan kepada Wajib Pajak apabila:
a. pemeriksaan kantor --- akhir bulan ke 4 atau ke 6 jika ada perpanjangan
b. pemeriksaan lapangan --- akhir bulan ke 6 atau 8 jika ada perpanjangan

Karena kecenderungan pemeriksaan pajak diperpanjang, maka anggap saja bahwa pemeriksaan
kantor itu 6 bulan, dan pemeriksaan lapangan 8 bulan. Ditambah dengan jangka waktu
pembahasan 2 bulan. Sehingga total jangka waktu pemeriksa akan menjadi 8 bulan untuk
pemeriksaan kantor atau 10 bulan untuk pemeriksaan lapangan.

Tetapi jangka waktu perpanjangan diatas ada pengecualian. Untuk Wajib Pajak berikut total
jangka waktu pengujian dapat 24 bulan ditambah jangka waktu pembahasan sehingga total
jangka waktu pemeriksaan menjadi 26 bulan, yaitu berlaku untuk pemeriksaan atas:
[a.] Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi
[b.] Wajib Pajak dalam satu grup
[c.] Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau transaksi khusus
lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan.
Jangka Waktu Restitusi Pajak
Restitusi pajak adalah pengembalian pajak (refund). Dilihat dari sisi pemeriksaan, pengembalian
pajak ada yang dimohonkan kepada DJP dan tidak dimohonkan. Pengembalian pajak yang
dimohonkan diatur di Pasal 17B UU KUP, sehingga kadang disebut pemeriksaan Pasal 17B.
Sedangkan kelebihan pajak yang tidak dimohonkan mengacu ke Pasal 17 ayat (1) UU KUP.

Kenapa harus dibedakan? Karena jatuh tempo pengembalian pengembalian diatas berbeda. Pasal
17B mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus menerbitkan
surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara
lengkap. Ini kadang disebut jatuh tempo restitusi. Jangka waktu 12 bulan ini saya sebut saja
jangka waktu restitusi. Jangka waktu ini berbeda dengan jangka waktu pemeriksaan.
Tetapi berlaku prinsip mana yang lebih dulu!
a. berlaku jangka waktu pemeriksaan jika jangka waktu restitusi pajak lebih lama
b. berlaku jangka waktu restitusi pajak jika jangka waktu restitusi lebih dulu.

Contoh jangka waktu restitusi lebih dulu:


SPT LB dengan permohonan restitusi diterima DJP tanggal 4 Juni 2012. Berdasarkan peraturan
Pasal 17B UU KUP, DJP harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 3 Juni 2013. Jika
pemeriksaan pajak baru dimulai 7 Januari 2013 maka pemeriksa harus mengatur waktu sebelum
3 Juni 2013. Artinya harus ada 2 bulan jangka waktu pembahasan. Awal April 2013 pemeriksa
pajak harus menerbitkan SPHP karena pemeriksa harus mengalokasikan jangka waktu
pembahasan 2 bulan. Padahal dari 7 Januari 2013 sampai akhir Maret 2013 jangka waktu
pemeriksaan baru 3 bulan saja. Kecuali jika pemeriksa yakin bahwa pembahasan (closing
conference) hanya dilakukan satu atau dua hari dan Wajib Pajak setuju! Pada kasus ini, jangka
waktu pembahasan tidak berlaku.

Sedangkan pengembalian pajak yang tidak dimohonkan tidak ada jangka waktu restitusi 12
bulan. Jatuh tempo DJP harus menerbitkan surat ketetapan pajak adalah sebelum daluwarsa
penetapan, alias 5 (lima) tahun. Pengembalian pajak ini mengacu ke Pasal 17 ayat (1) UU KUP.
Contoh yang seperti ini adalah lebih bayar PPN tetapi dikompensasi ke masa pajak berikutnya,
atau kelebihan PPh Badan dengan mencontreng "diperhitungkan dengan utang pajak" di
Formulir 1771, atau lebih bayar PPh karena edit penelitian SPT di KPP (Wajib Pajak salah
hitung).

Penyelesaian Pemeriksaan
Setiap SP2 akan diselesaikan dengan membuat LHP (laporan hasil pemeriksaan) atau LHP
Sumir. Kecuali jika atas SP2 tersebut dibatalkan. Ciri penyelesaian dengan membuat LHP adalah
pemeriksa pajak menyampaikan SPHP. Tetapi jika pemeriksa pajak sampai dengan jangka waktu
pemeriksaan habis tidak menyampaikan SPHP berarti penyelesaian pemeriksaan dengan
membuat LHP Sumir. Tidak ada ketentuan bahwa WP harus diberitahu jika penyelesaian
pemeriksan dengan membuat LHP Sumir. Kenapa? Karena awalnya LHP Sumir itu hanya untuk
WP tidak ditemukan!

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 mengatur bahwa LHP Sumir tidak hanya
untuk WP tidak ditemukan. Berikut alasan LHP Sumir yang saya ringkas dari Pasal 21 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013:
a. Wajib Pajak tidak ditemukan (kecuali pemeriksaan restitusi Pasal 17B);
b. Pemeriksaan terus di-Buper dan Buper-nya diselesaikan dengan Pasal 8 (3), Pasal 13A, Pasal
44B KUP
c. Pemeriksaan ulang tetapi pemeriksa pajak tidak menemukan novum
d. Pertimbangan Dirjen Pajak.

Pertemuan dengan Wajib Pajak


Pemeriksa pajak wajib bertemu dengan Wajib Pajak yang diperiksa, baik untuk pemeriksaa
lapangan maupun pemeriksaan kantor. Ada perbedaan antara pemeriksaan lapangan dengan
pemeriksaan kantor, yaitu jika pemeriksaan lapangan maka pemeriksa pajak wajib datang ke
tempat Wajib Pajak (aktif) dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan.
Sedangkan pemeriksaan kantor, Wajib Pajak diundang ke kantor pajak dengan mengirim Surat
Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.

Pada saat pertama kali bertemu dengan Wajib Pajak, pemeriksa pajak wajib memberikan
penjelasan mengenai:
[a.] alasan dan tujuan Pemeriksaan;
[b.] hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
[c.] hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality
Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang belum disepakati antara
Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan; dan
[d.] kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib
Pajak.
Kemudian penjelasan terkait 4 hal diatas wajib dibuatkan berita acara pertemuan dengan
Wajib Pajak.
Peminjaman Dokumen dan Penyegelan
Pemeriksa pajak memiliki kewenangan untuk melakukan penyegelan. Kewenangan penyegelan
ini berdasarkan Pasal 30 UU KUP. Apa objek penyegelan dalam pemeriksaan pajak? Menurut
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 benda yang disegel adalah buku, catatan,
dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda lain yang
dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak.
Artinya semua benda yang menurut pemeriksa pajak akan memberikan petunjuk tentang
kegiatan usaha Wajib Pajak.

Penyegelan dilakukan manakala:


[a.] Wajib Pajak tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk memasuki tempat
atau ruang serta memeriksa barang yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan
buku atau catatan, dan/atau dokumen, termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang
dikelola secara elektronik;
[b.] Wajib Pajak menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
[c.] Wajib Pajak tidak berada di tempat

Penyegelan hanya ada dalam pemeriksaan lapangan. Sehingga jika pemeriksa pajak datang ke
tempat Wajib Pajak dengan membawaSurat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan maka hal
yang pertama kali dilakukan adalah memberikan penjelasan mengenai 4 hal diatas kemudian
membuat berita acara. Selanjutnya, pemeriksa pajak memeriksa tempat Wajib Pajak (tanpa
pengecualian). Jika menolak, maka pemeriksa pajak berwenang untuk melakukan penyegelan.
Setelah melakukan pemeriksaan tempat Wajib Pajak, maka pemeriksa pajak saat itu juga
meminjam dokumen. Kemudian dibuatkan bukti peminjaman dokumen. Inilah yang diatur di
Pasal 28 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013.

Dalam hal (artinya kondisi tertentu saja) pemeriksa pajak ternyata tidak menemukan dokumen
yang terkait kegiatan usaha di tempat Wajib Pajak tetapi pemeriksa pajak yakin bahwa dokumen
tersebut ada maka pemeriksa pajak akan membuat Surat Permintaan Peminjaman Dokumen.
Silakan cek ketentuan Pasal 28 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 yang diawali dengan kata "dalam hal". Artinya, Surat Permintaan Peminjaman
Dokumen sebenarnya tidak boleh dijadikan standar yang harus dibawa oleh pemeriksa pajak saat
datang ke tempat Wajib Pajak. Kalaupun dibuat surat permintaan peminjaman tersebut maka
daftar dokumen yang menjadi lampiran dari surat permintaan peminjaman tersebut harus persis
sama dengan yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Jika pemeriksa pajak membuat daftar dokumen
secara umum dan tidak dimiliki oleh Wajib Pajak maka Wajib Pajak tidak wajib memenuhinya.

Peminjaman dokumen melalui surat permintaan peminjaman juga memiliki kelemahan, yaitu
Wajib Pajak dapat menunda pemenuhannya sampai 1 (satu) bulan sejak sejak surat permintaan
peminjaman buku, catatan, dan dokumen disampaikan. Ketentuan satu bulan diatur di Pasal 29
ayat (3a) UU KUP dan ditegaskan kembali di Pasal 28 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 17/PMK.03/2013. Artinya, pemeriksa pajak pasti buang-buang waktu ( wasting time)
selama sebulan. Ketentuan satu bulan ini berlaku untuk setiap surat permintaan peminjaman
dokumen disampaikan!

Permintaan Keterangan
Pemeriksaan pajak membagi dua keterangan, yaitu:
[a.] keterangan yang berasal dari Wajib Pajak atau pegawai Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau
anggota keluarga; dan
[b.] keterangan yang berasal dari pihak ketiga.

Terhadap pihak Wajib Pajak seperti [a.] diatas maka pemeriksa pajak dapat meminta keterangan
langsung. Pemeriksa Pajak dapat memanggil, dan membuat berita acara pemberian keterangan.
Tetapi untuk keterangan yang berasal dari pihak ketiga hanya dapat diminta dengan surat
konfirmasi yang ditandatangan oleh kepala UP2.

SPHP dan Closing Conference


Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) merupakan batas awal penghitungan jangka
waktu pembahasan. Jangka waktu pengujian telah berakhir. SPHP wajib disampaikan oleh
pemeriksa pajak. SPHP diberikan hanya sekali saja. Konsep pemeriksaan pajak: satu SP2 satu
SPHP satu LHP.

SPHP merupakan materi pemeriksaan pokok yang harus diatur di Peraturan Menteri Keuangan
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28 ayat (2) UU KUP yang berbunyi:

Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur
tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir
dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan.
Materi penting tata cara pemeriksaan menurut Pasal 28 (2) UU KUP terdiri dari:
[a.] pemeriksaan ulang,
[b.] jangka waktu pemeriksaan,
[c.] kewajiban menyampaikan SPHP, dan
[d.] hak WP untuk hadir dalam pembahasan (closing conference)

Selain itu SPHP dan Closing Conference juga salah satu rukun (meminjam istilah santri)
pemeriksaan yang harus ditunaikan. Jika SPHP tidak ada maka hasil pemeriksaan menjadi batal,
dan pembatalan tersebut bisa dengan permohonan Wajib Pajak atau inisitif DJP sendiri.
Ketentuan "rukun" pemeriksaan ini diatur di Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP:
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang
dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak
Karena UU KUP mengamanatkan hak Wajib Pajak untuk hadi dalam closing conference maka di
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 diatur lebih detil masalah penyampaian
SPHP, undangan pembahasan, dan pembahasan (closing conference). Setidaknya ada 16 pasal di
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 yang mengatur SPHP dan closing
conference, yaitu mulai Pasal 41 sampai dengan Pasal 57 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013.

Setelah pemeriksa dapat menghitung pajak-pajak terutang, atau karena jangka waktu pengujian
telah terlampaui, maka pemeriksa pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan (SPHP). Surat ini ditandatangani oleh kepala kantor, dan dalam lampirannya
mencantumkan daftar pos-pos yang dikoreksi atau objek pajak tertentu yang dikoreksi. Daftar
pos-pos ini sering juga disebut daftar temuan. SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak,
baik secara langsung melalui kurir maupun dikirim melalui faksimili. Tidak diatur pengiriman
melalui email karena tidak ada dasar hukumnya di UU KUP. Padahal sekarang era email (surel).

Wajib Pajak diharapkan memberikan tanggapan. Jika setuju, sudah disediakan formulir
persetujuan. Jika tidak setuju sebagian atau seluruhnya maka harus dijelaskan apa dan kenapa
tidak setuju. Poin ketidaksetujuan inilah sebenarnya yang menjadi pokok pembahasan diclosing
conference. Sehingga jika Wajib Pajak menuangkan ketidaksetujuan secara tertulis, maka akan
membantu pemeriksa pajak untuk membuat risalah pembahasan.

Apakah jika tidak ada tanggapan maka tidak ada closing conference? Era sebelum UU KUP
2007 ada pendapat seperti itu. Tetapi karena ada rukun pemeriksaan diatas, dan UU KUP
mengamanatkan pengaturan pemberian hak kepada Wajib Pajak maka ada atau tidak ada
tanggapan SPHP, tetap wajib dibuat undangan pembahasan!
Undangan pembahasan 10 hari kerja setelah SPHP diterima atau dikirim. Kira-kira dua minggu
kalender. Tetapi bisa kurang dari 10 hari kerja jika Wajib Pajak sudah memberikan tanggapan
SPHP. Misal pada hari kerja ke 2 tanggapan SPHP sudah diterima pemeriksa pajak maka pada
hari kerja ke 3 dapat dikirim undangan closing conference. Pasal 43 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 17/PMK.03/2013 mengatakan bahwa hak hadir diberikan melalui penyampaian undangan
secara tertulis kepada Wajib Pajak dengan mencantumkan hari dan tanggal dilaksanakannya
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

Pada tanggal sesuai tertera di undangan, Pemeriksa Pajak membuat risalah pembahasan dengan
mendasarkan pada lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan dan membuat berita acara
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir,
yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak. Ini jika Wajib Pajak hadir. Jika
tidak hadir maka dibuatkan berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak. Pembahasan tidak harus
dilakukan sehari sesuai tanggal undangan. Jika memang belum selesai, maka pembahasan bisa
dilakukan hari berikutnya sesuai yang disepakati oleh Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak asalkan
dalam periode jangka waktu pembahasan dua bulan.

Tetapi jika Wajib Pajak sudah berniat mengajukan pembahasan ke Tim Quality
Assurance Pemeriksaan (Tim QA) maka tidak perlu lama-lama pembahasan dengan Wajib Pajak.
Diskusi atau pembahasan dengan pemeriksa pajak sebenarnya bisa dilakukan pada periode
jangka waktu pengujian. Sehingga ada waktu 6 bulan atau 8 bulan diskusi masalah pemeriksaan
antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak. Lebih baik memberi ruang waktu
pembahasan lebih banyak kepada Tim QA supaya lebih independen. Perlu dipertimbangkan
"jeda" waktu permohonan pembahasan dengan Tim QA, yaitu 3 hari, kemudian "jeda" waktu
pembuatan undangan pembahasan oleh Tim QA. Dan pembahasan dengan Tim QA tetap harus
dalam periode jangka waktu pembahasan dua bulan sejak SPHP diterima oleh Wajib Pajak.

Menurut Pasal 49 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tim QA memiliki


tugas:
[a.] membahas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak pada saat
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
[b.] memberikan simpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan
Pemeriksa Pajak; dan
[c.] membuat risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang berisi simpulan dan keputusan
hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan bersifat mengikat.
Setelah menerima surat permohonan pembahasan dengan Tim QA, 3 hari kemudian Tim
QA mengundang pemeriksa pajak dan Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan pada waktu
dan tempat yang telah ditentukan. Tim QA hanya menilai dan memutuskan pendapat yang mana
yang benar. Tim QA hanya memeriksa bagian formal saja. Dengan demikian, keputusan Tim QA
dapat:
*** membenarkan pendapat Wajib Pajak;
*** membenarkan pendapat pemeriksa pajak; atau
*** memiliki pendapat lain diluar pendapat Wajib Pajak dan pemeriksa pajak.

Walaupun Tim QA boleh memiliki kesimpulan yang berbeda dengan Wajib Pajak dan
pemeriksa, tetapi Tim QA Pemeriksaan tidak boleh membuat koreksi fiskal baru diluar yang
disengketakan pada saat pembahasan. Sesuai dengan tugasnya, Tim QA hanya memberikan
kesimpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan pemeriksa pajak.
Jika Tim QA boleh membuat koreksi baru, berarti Tim QA sudah bertindak sebagai pemeriksa
pajak. Tim QA juga tidak melakukan pengujian dokumen. Metode Pemeriksaan dan Teknik
Pemeriksan diperuntukkan bagi pemeriksa pajak, bukan Tim QA. Pengujian-pengujian dilakukan
oleh pemeriksa pajak saja. Pembahasan masalah ini memang cukup panjang tetapi
pembatasannya tidak secara detil tercantum. Alasannya, aturan yang terlalu detil sering
membelenggu. Tetapi inti pembatasan yang saya sarikan adalah jangka waktu pembahasan bukan
saatnya pengujian dokumen.

Pendapat Tim QA harus berdasarkan masing-masing masalah. Sebagai contoh, hasil pemeriksaan
PPh Badan yang dituangkan dalam SPHP dan Risalah Pembahasan, pemeriksa telah melakukan
koreksi fiskal atas 7 pos baik penghasilan maupun biaya. Bisa jadi Tim QA setuju dengan
pendapat Wajib Pajak dalam 4 pos, tetapi 3 pos lain Tim QA sependapat dengan pemeriksa
pajak.

Hasil pembahasan di Tim QA harus diformalkan dalam Risalah Tim Quality


Assurance Pemeriksaan. Risalah ini ditandatangani oleh tiga pihak, yaitu Tim QA, Wajib Pajak,
dan pemeriksa pajak. Dokumen Risalah Tim QA berfungsi seperti notula atau laporan hasil
rapat. Pendapat masing-masing pihak: Wajib Pajak, pemeriksa pajak, dan pendapat Tim QA
harus ditulis secara jelas di Risalah Tim QA. Dan pendapat Tim QA adalah pendapat terakhir
sampai diterbitkan surat ketetapan pajak.

Apakah Tim QA bertanggung jawab atas pendapatnya? Tentu saja, Tim QA harus bertanggung
jawab atas keputusannya dan pemeriksa pajak harus bertanggung jawab atas pendapatnya. Jika
pendapat pemeriksa "dipatahkan" oleh Tim QA maka pemeriksa pajak sebenarnya seperti tidak
berpendapat untuk masalah tersebut.

Pembahasan dengan Tim QA bukan berarti pemeriksaan selesai. Proses closing conference baru
berakhir jika telah dibuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri
dengan ihtisar hasil pembahasan akhir. Artinya, Setelah pembahasan dengan Tim QA, Wajib
Pajak harus menandatangani risalah pembahasan Tim QA, dan berita acara Pembahasan Akhir
Hasil Pemeriksaan. Tetapi jika Wajib Pajak tidak meminta pembahasan dengan Tim QA maka
saat pembahasan dengan pemeriksa pajak, langsung saja dibuatkan berita acara Pembahasan
Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri ihtisar hasil pembahasan akhir. Pastikan bahwa angka
yang masuk ke ihtisar hasil pembahasan akhir adalah angka terakhir yang dibahas atau angka
sesuai keputusan Tim QA yang dituangkan dalam risalahTim QA.

Pengungkapan Ketidakbenaran Pengisian SPT Selama Pemeriksaan


Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai
ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) UU KUP dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah
Nomor 74 Tahun 2011, sepanjang Pemeriksa Pajak belum menyampaikan SPHP. Pengungkapan
ketidakbenaran pengisian SPT disampaikan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Laporan
tersendiri secara tertulis harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dandilampiri dengan:
[a.] penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam
format SPT;
[b.] SSP atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan
[c.] SSP atas pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50%.

Kalau melihat sanksi administrasi Pasal 8 ayat (5) UU KUP diatas (yaitu 50%) maka sanksi ini
akan lebih tinggi 2% dibandingkan sanksi bunga di surat ketetapan pajak. Sanksi bunga di surat
ketetapan pajak paling banyak (maksimal) 48% saja. Tetapi beberapa Wajib Pajak ternyata tidak
peduli dengan besarnya sanksi ini. Mereka bersedia bayar lebih besar. Salah satu motif
melakukan pengungkapan ini adalah menghindari koreksi pajak yang besar. Jadi lebih kepada
pencitraan. Karena kalo pengungkapannya benar, maka nanti di surat ketetapan pajak tidak ada
lagi koreksi fiskal. Produk pemeriksaan pun SKPN. Karena hasil pemeriksaan menjadi nihil,
maka citra manajemen Wajib Pajak dianggap lebih baik. Padahal, sebelum pemeriksaan selesai
mereka telah bayar lebih dulu!
Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti
Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Pemeriksaan
Bukti Permulaan setara dengan penyelidikan menurut istilah di KUHAP. Dalam hal pemeriksa
pajak menemukan indikasi tindak pidana pajak pada saat pemeriksaan, maka pemeriksa harus
mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

Wajib Pajak tentu saja tidak pernah tahu apakah pemeriksa pajak mengusulkan Pemeriksaan
Bukti Permulaan atau tidak sampai dengan adanya surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti
Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan. Jika pemeriksaan pajak kemudian menjadi
pemeriksaan Bukti Permulaan, maka Wajib Pajak akan menerima:
1. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dari pemeriksa Bukti Permulaan, dan
2. Surat Pemberitahuan Penangguhan Pemeriksaan dari pemeriksa.

Ya, semua pemeriksaan yang "ditingkatkan" menjadi pemeriksaan Bukti Permulaan maka
pemeriksaan pajaknya tertangguh. Tergangguh jangka waktunya, dan penyelesaiannya. Setelah
dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan, "nasib" pemeriksaan kemungkinannya disumir atau
dilanjutkan. Proses pemeriksaan akan dilanjutkan jika:
[a.] Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka
meninggal dunia;
[b.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dihentikan karena tidak ditemukan adanya
bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
[c.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan namun
penyidikan dihentikan karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A
Undang-Undang KUP, atau
[d.] Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan
serta telah terdapat putusan pengadilan mengenai tindak pidana di bidang perpajakan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh
Direktur Jenderal Pajak.

Coba perhatikan keempat syarat diatas! Pada intinya, pemeriksa Bukti Permulaan atau penyidik
tidak mendapatkan cukup bukti tindak pidana. Pertama, pemeriksaan Bukti Permulaan tidak
dapat dilanjutkan karena calon tersangka meninggal. Kedua, secara jelas menyebutkan tidak ada
bukti pidana. Ketiga, penyidikan dihentikan oleh penyidik karena bukan tindak pidana
perpajakan. Sebenarnya Pasal 44 A UU KUP mengatur empat alasan dihentikannya penyidikan,
yaitu tidak cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan
dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia. Hanya saja jika
penyidikan saja sudah daluwarsa maka penetapan pajak pun sudah pasti daluwarsa karena
daluwarsa penetapan hanya 5 tahun saja. Keempat, terbukti di pengadilan bahwa Wajib Pajak
telah melakukan tindak pidana perpajakan. Alasan keempat ini cukup rasional, artinya Wajib
Pajak terbukti berbuat salah. Hanya saja setiap sanksi pidana ada denda 2 kali pajak terutang
sampai dengan 4 kali denda pajak terutang. Ini bukan denda administrasi. Sedangkan
pemeriksaan akan menimbulkan pajak terutang yang secara administrasi ditagih oleh negara dan
dicatat sebagai penerimaan pajak. Surat ketetapan pajak akan disetor oleh Wajib Pajak melalui
MPN ke kas negara. Sedangkan sanksi denda pidana akan dieksekusi oleh Kejaksaan.

Oh ya, pemeriksaan yang dilakukan setelah empat kondisi diatas dilakukan dalam jangka waktu
paling lama empat bulan. Ketentuan 4 bulan ini diatur di Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013. Empat bulan ini adalah jangka waktu pengujian. Ditambah
jangka waktu pembahasan maka dalam enam bulan, pemeriksaan harus selesai dan diterbitkan
surat ketetapan pajak. Ketentuan 4 bulan ditambah 2 bulan ini berlaku baik untuk pemeriksaan
lebih bayar maupun bukan pemeriksaan lebih bayar. Bagaimana jika jangka waktu

Pemeriksaan Ulang
Pemeriksaan ulang didasarkan pada Pasal 15 UU KUP. Berikut kutipan Pasal 15:
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang
mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan
pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Fungsi pemeriksaan ulang untuk melakukan koreksi atas surat ketetapan pajak lebih rendah dari
yang seharusnya. Koreksi atas surat ketetapan pajak sebenarnya bisa lewat keberatan, atau
pembetulan Pasal 16 UU KUP, atau pembatalan Pasal 36 UU KUP. Masing-masing memiliki
"jalur" atau alasan. Misalnya, keberatan terkait dengan beda pendapat antara Wajib Pajak dengan
fiskus, pembetulan karena ada salah tulis dan salah hitung, sedangkan pembatalan karena surat
ketetapan tidak benar. Sedangkan pemeriksaan ulang disebabkan karena ditemukan data baru.

Karena itu perlu dipahami apa dan bagaimana data baru. Nah, untuk lebih jelas masalah data
baru sebagaimana dimaksud di Pasal 15 UU KUP, saya copy paste bagian penjelasan Pasal 15
UU KUP:

Yang dimaksud dengan “data baru” adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang
diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak
belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan
lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu
pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data
yang:
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya
(termasuk laporan keuangan); dan/atau

b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data
dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak
memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.

Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau
mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau
mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin
menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang
terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data
yang semula belum terungkap.

Contoh:
1. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan
Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000,00 biaya
iklan di media massa dan Rp5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak
boleh dibebankan sebagai biaya.

Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut
sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah
sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran
berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang semula belum terungkap.

2. Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta


tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang
dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak
mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran
pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta
berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya,
atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang
terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang
menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk
data yang semula belum terungkap.

3. Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak
lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur pajak.
Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi,
pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung.
Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak
pembeli.

Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian
penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan
Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang
tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan
tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula
belum terungkap.
Ada aturan yang baru di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 terkait
pemeriksaan ulang, yaitu pengaturan bahwa pemeriksaan ulang boleh sumir. Sebelumnya tidak
diatur. Karena tidak diatur boleh berujung LHP Sumir, maka sebelumnya pemeriksaan ulang
selalu ditekankan harus berujung SKPKBT. Harus jelas dulu novum-nya apa. Jika novum masing
samar-samar maka tidak boleh dilakukan pemeriksaan ulang. Sejak 1 Februari 2013, novum
yang sama-sama pun boleh menjadi pemeriksaan ulang. Nanti pemeriksa pemeriksaan ulang
yang menilai apakah benar-benar sudah ada novum atau tidak.

Pemeriksaan Untuk Tujuan Lain


Ada perbedaan mendasar antara pemeriksaan untuk menguji kepatuhan dengan pemeriksaan
untuk tujuan lain, yaitu pemeriksaan untuk tujuan lain tidak menerbitkan surat ketetapan. Jika
pemeriksa pemeriksaan untuk tujuan lain menemukan potensi pajak yang belum disetor pada saat
pemeriksaan untuk tujuan lain maka pemeriksa pajak tersebut harus mengusulkan pemeriksaan
khusus. Sesuai dengan Pasal 69 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 bahwa
ruang lingkup Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan
materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.

Contoh pemeriksaan untuk tujuan lain:


[a.] pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan selain yang dilakukan berdasarkan
Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata
cara Verifikasi;
[b.] penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak selain yang dilakukan berdasarkan Verifikasi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara
Verifikasi;
[c.] pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain yang dilakukan
berdasarkan Verifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur
mengenai tata cara Verifikasi;
[d.] Wajib Pajak mengajukan keberatan;
[e.] pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto;
[f.] pencocokan data dan/atau alat keterangan;
[g.] penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
[h.] penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
[i.] Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
[j.] penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian
sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau
[k.] memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.

Jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain empat bulan jika jenis pemeriksaannya pemeriksaan
lapangan. Tetapi jika pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan jenis pemeriksaan kantor
maka jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain hanya 14 hari saja. Di pemeriksaan untuk
tujuan lain tidak ada jangka waktu pembahasan karena memang tidak ada yang dibahas. Juga
tidak ada jangka waktu pengujian karena memang bukan menguji SPT. Intinya, pemeriksaan
untuk tujuan lain bersifat pelayanan atau pendapat kedua ( second opinion).

Pemeriksaan Bukti Permulaan


Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau
benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi
suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan
menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif
dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan
yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak
pidana di bidang perpajakan
Pemeriksaan Bukti Permulaan sering disebut Buper saja. Sedangkan istilah pemeriksaan lebih
spesifik "milik" pemeriksaan pajak. Bahkan di unit lain Kementrian Keuangan, menggunakan
istilah audit, bukan pemeriksaan. Jadi, jika disebut "pemeriksaan" maka maksudnya pemeriksaan
pajak yang tujuan utamanya menerbitkan surat ketetapan pajak.
Buper bukan domain administrasi. Buper sejenis penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini [Pasal 1 angka 5 KUHAP]. Menurut Pasal 4 KUHAP penyelidik itu
polisi.

Istilah "Pemeriksaan Bukti Permulaan" mulai muncul sejak UU No. 28 tahun 2007. Pasal yang
mengatur Buper "diselipkan" setelah pasal 43 sehingga di UU KUP menjadi Pasal 43A. Tidak
banyak yang diatur di Pasal 43A UU KUP. Tetapi Pasal 43A ayat (4) UU KUP mendelegasikan
kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk mengatur tata cara. Berikut kutipannya:
Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
Berdasarkan kewenangan tersebut, Menteri Keuangan kemudian menerbitkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 202/PMK.03/2007 dan sejak 1 Februari 20013 diganti dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013.

Buper bukanlah langkah pertama! Buper selalu berasal dari dua "kegiatan":
[a.] analisis IDLP (informasi, data, laporan, dan pengaduan); atau
[b.] pemeriksaan

Apa itu IDLP? Saya kutip definisi dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013:
Informasi adalah keterangan baik yang disampaikan secara lisan maupun tertulis yang dapat
dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya Bukti Permulaan tindak pidana di
bidang perpajakan.
Data adalah kumpulan angka, huruf, kata, atau citra yang bentuknya dapat berupa surat,
dokumen, buku atau catatan, baik dalam bentuk elektronik maupun bukan elektronik, yang dapat
dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya Bukti Permulaan tindak pidana di
bidang perpajakan, yang menjadi dasar pelaporan yang belum dianalisis.
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh orang atau institusi karena hak atau
kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau
sedang atau diduga akan terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan.
Pengaduan adalah pemberitahuan mengenai dugaan tindak pidana di bidang perpajakan oleh
pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang.
IDLP ini dianalisis oleh analis IDLP. Analis IDLP melakukan uji mutu IDLP dan menentukan
tindak lanjut IDLP.
Ruang Lingkup Buper
Pada dasarnya Buper itu bertujuan untuk mendapatkan bukti-bukti dugaan perbuatan tindak
pidana di bidang perpajakan dan modus operandinya. Karena itu, ruang lingkup Buper
menggabungkan penyelidikan dan pemeriksaan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
18/PMK.03/2013 mengatur bahwa ruang lingkup Buper:
[a.] dugaan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan dan modus operandinya
[b.] jenis pajak; dan
[c.] Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.

Sejak Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013, DJP menganut dua jenis Buper:
- Buper tertutup; dan
- Buper terbuka

Perbedaan Buper tertutup dengan Buper terbuka adalah pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis
kepada Wajib Pajak. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013 mengharuskan
Buper terbuka dalam hal Buper terkait dengan:
[a.] permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17B Undang-Undang KUP; atau
[b.] tindak lanjut dari Pemeriksaan.

Jangka Waktu Buper


Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
sejak tanggal penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada Wajib
Pajak sampai dengan tanggal Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Jangka waktu ini dapat
diperpanjangan 6 bulan kemudian. Tetapi Peraturan Menteri Keuangan Nomor
18/PMK.03/2013 tidak membatasi sampai berapa kali perpanjangan ini.

Kewenangan Pemeriksa Buper


Pada dasarnya kewenangan Pemeriksa Buper tidak banyak berbeda dari pemeriksa pajak.
Diantara yang tidak dimiliki oleh Pemeriksa Pajak adalah meminta keterangan dan/atau bukti
yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang
dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan melalui Direktur Jenderal Pajak. Tetapi ada satu senjata
paling ampuh yang diberikan oleh Menteri Keuangan kepada Pemeriksa Buper. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013 memberikan kewenangan:
melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan
secara terbuka. Tindakan lain ini yang tahu hanya Pemeriksa Buper saja. Dan tentu saja
disesuaikan dengan keperluan di lapangan.

Hasil Pemeriksaan Buper


Walaupun tujuan Buper untuk mendapatkan bukti-bukti dugaan perbuatan tindak pidana di
bidang perpajakan dan modus operandinya, tetapi tidak semua Buper dilanjutkan dengan
penyidikan. Bisa saja setelah dilakukan pemeriksaan Buper, ternyata tidak terpenuhi atau tidak
didapatkan unsur-unsur tindak pidana. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2013
memberikan beberapa alternatif yang dapat ditempuh oleh pemeriksa Buper, yaitu:
[a.] penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dalam hal ditemukan Bukti Permulaan tindak
pidana di bidang perpajakan;

[b.] pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak bahwa terhadap Wajib Pajak tidak
dilakukan penyidikan karena pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak telah sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya, dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka;

[c.] penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal Wajib Pajak yang karena alpa
untuk pertama kali melakukan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana diatur
dalam Pasal 13A Undang-Undang KUP, dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan secara
terbuka;

[d.] penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang
dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; atau

[e.] penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal tidak ditemukan adanya Bukti
Permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, termasuk Wajib Pajak dan penanggung pajak
tidak ditemukan.

Jadi, Buper tidak menghasilkan SKPKB kecuali SKPKB Pasal 13A. Dan, Pasal 13A UU KUP
berisi "vonis" pidana yang diadministrasikan. Saya kutip ketentuan Pasal 13A UU KUP:
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau
menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali
dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran
jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua
ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

Anda mungkin juga menyukai