Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecelakaan hebat yang berakibat fatal sering terjadi seiring dengan kemajuan di

bidang transportasi. Salah satu bentuk kecelakaan yang fatal adalah terpisahnya bagian-

bagian tubuh manusia, misalnya seperti pada kasus kecelakaan kereta api (Koesbardiati &

Glinka, 2002).

Kejadian lain yang menyebabkan terpisahnya bagian-bagian tubuh manusia adalah

mutilasi. Mutilasi adalah pemotongan jasad manusia yang telah meninggal dunia hingga

terpisah satu sama lainnya. Kejadian mutilasi ini memiliki kecenderungan meningkat, yang

mungkin disebabkan upaya pelaku untuk menghilangkan jejak dan identitas korban.

Sampai saat ini belum ditemukan data yang sahih tentang jumlah korban mutilasi

(Koesbardiati & Glinka, 2002).

Pihak kepolisian, badan intelegensi maupun lembaga kriminologi sering meminta

bantuan dokter untuk identifikasi korban yang tidak dikenal. Korban dapat berupa mayat

segar, sudah membusuk, hangus terbakar, berupa potongan-potongan tubuh, berupa

kerangka lengkap maupun tidak lengkap dengan tulang utuh maupun tidak utuh pada kasus

forensik maupun non forensik. Menentukan identitas personal dengan tepat sangat penting

dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan

(Budiyanto et al., 1999)

Identifikasi adalah penentuan atau penetapan identitas orang hidup ataupun mati,

berdasarkan ciri-ciri yang khas yang terdapat pada orang tersebut. Identifikasi pada

1
2
2

antropologi forensik meliputi penentuan ras, jenis kelamin, umur dan tinggi badan. Bila

ditinjau dari segi aspek medikolegal penentuan identitas melalui penentuan jenis kelamin

dan tinggi badan seseorang memegang peranan yang sangat penting (Mall et al., 2001).

Dengan meningkatnya kejadian dan bencana misalnya kecelakaan yang menyebabkan

terpotongnya bagian bagian tubuh manusia menjadi bagian yang terpisah pisah memerlukan

teknik identifikasi yang memadai. Pengukuran panjang tulang anggota gerak bagian bawah

untuk memperkirakan tinggi badan merupakan teknik yang lazim digunakan (Koshy et al.,

2002; Ozaslan et al., 2003).

Teknik antropometrik juga dikembangkan dalam identifikasi kasus-kasus kriminal.

Sampai saat ini masih belum dikenal teknik identifikasi yang sistematik terhadap potongan-

potongan tubuh manusia (Ozaslan et al., 2003). Dalam proses identifikasi semakin banyak

data yang dikumpulkan, maka akan semakin meyakinkan pula hasil identifikasi yang

diperoleh (Atmadja et al., 1991).

Tinggi badan merupakan komponen yang vital dalam menentukan identitas seseorang.

Diperlukan metode yang sahih dalam menentukan tinggi badan seseorang berdasarkan

pengukuran organ-organ tubuh yang terpisah (Knight, 1996; Mohanty,1998).


3

B. Perumusan Masalah Penelitian

Latar belakang penelitian ini antara lain kejadian ditemukannya jenazah dalam

keadaan tidak utuh yang disebabkan oleh tindakan kriminal, kecelakaan lalu lintas maupun

yang disebabkan oleh hal yang belum jelas makin sering terjadi. Belum ada data resmi

insidensi mutilasi di Indonesia.

Proses identifikasi korban mutilasi, kecelakaan yang menyebabkan terpisahnya

bagian-bagian tubuh, dan jenazah yang tidak dikenal wajib dilakukan oleh dokter ahli

forensik berdasarkan permintaan penyidik maupun pihak berwenang lainnya. Identifikasi

berdasarkan ras dan jenis kelamin belum memadai dalam mengidentifikasikan seseorang.

Teknik antropometrik telah lazim digunakan oleh ahli antropologi dan digunakan pula oleh

kalangan ilmuan di bidang kesehatan untuk menentukan identitas seseorang dalam sejak

ratusan tahun yang lalu.

Menentukan identitas korban kecelakaan yang menyebabkan terpisahnya bagian-

bagian tubuh dan korban mutilasi merupakan tugas yang berat bagi seorang dokter forensik.

Kondisi tubuh yang terpisah-pisah dapat diidentifikasi dengan berbagai cara, salah satunya

dengan memperkirakan tinggi badan. Perkiraan tinggi badan ini selanjutnya dapat

dicocokkan dengan data-data lain yang mungkin dimiliki korban semasa hidupnya.

Diperlukan penelitian terhadap panjang tibia perkutaneus dan telapak kaki serta

hubungannya dengan tinggi badan seseorang. Peneliti mencoba mencari bentuk hubungan

dan membandingkan korelasi penentuan tinggi badan dengan menggunakan metode

pengukuran panjang tibia perkutaneus dengan pengukuran panjang telapak kaki pada ras

Mongoloid.
4

C. Pertanyaan Penelitian

Apakah pengukuran panjang tibia perkutaneus memiliki korelasi lebih kuat terhadap

tinggi badan seseorang dibandingkan dengan pengukuran panjang telapak kaki ?

D. Tujuan Penelitian

Menentukan korelasi metode pengukuran panjang tibia perkutaneus terhadap tinggi

badan dibandingkan dengan metode pengukuran panjang telapak kaki.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang korelasi panjang telapak kaki dengan dengan tinggi badan

dilakukan oleh Sobardiati dan Glinka pada 99 orang mahasiswa Universitas Airlangga

Surabaya. Penelitian tentang korelasi antara panjang tibia perkutaneus dengan tinggi badan

dilakukan oleh Mohanty pada 1000 orang dalam populasi Oriya. Kedua penelitian ini

menggunakan analisis regresi untuk menentukan bentuk hubungan antara panjang telapak

kaki dengan tinggi badan dan panjang tibia perkutaneus dengan tinggi badan. Penelitian

tentang perbandingan tingkat korelasi dan ketepatannya dalam menentukan tinggi badan

antara kedua cara pengukuran belum pernah dilakukan sebelumnya.


5

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi kepentingan identifikasi korban mutilasi

maupun kecelakaan fatal yang menyebabkan terpisahnya bagian-bagian tubuh.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Identifikasi

Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu

penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal sering merupakan

suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan identitas personal dengan

tepat amat penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam

proses peradilan (Budiyanto et al., 1997).

Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah yang tidak

dikenal, jenazah yang telah membusuk, rusak, hangus terbakar, dan pada kecelakaan masal,

bencana alam, atau huru hara yang mengakibatkan banyak korban mati serta potongan

tubuh manusia atau kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai

kasus lain seperti penculikan anak, bayi yang tertukar atau diragukan orang tuanya

(Budiyanto et al., 1997).

Meskipun proses identifikasi seringkali berdasarkan bukti yang bersifat sirkumtansial,

meliputi pakaian, lokasi kejadian, ataupun kondisi patologis yang dijumpai, setiap dokter

pemeriksa maupun penyidik memerlukan identifikasi positif yaitu identifikasi yang dapat

menepis keraguan tentang identitas seorang individu (Sorg, 2005).

Menentukan identitas atau jati diri atas seorang korban tindak pidana yang berakibat

fatal merupakan hal yang relatif sulit, namun menentukan identitas korban kejahatan relatif

lebih mudah dibandingkan dengan penentuan jati diri tersangka pelaku kejahatan. Dengan

diketahuinya jati diri korban, pihak penyidik dapat melakukan penyelidikan yang lebih

6
7

terarah, oleh karena secara kriminologis umumnya ada hubungan antara pelaku dan

korban.

Dikenal sembilan metode identifikasi yang biasa dilakukan, yaitu: 1) Metode

penetuan sidik jari, metode penentuan sidik jari ini tidak lazim dilakukan oleh dokter,

melainkan dilakukan oleh pihak kepolisian, 2) Metode visual, dengan memperhatikan

dengan cermat keadaan korban, terutama wajah oleh pihak keluarga atau teman dekat

korban. Walaupun metode ini sederhana, untuk mendapat hasil yang diharapkan perlu

diketahui bahwa metode ini baru dapat dilakukan bila keadaan tubuh terutama wajah

korban masih dalam keadaan baik dan belum terjadi pembusukan yang lanjut. Selain itu

perlu diperhatikan faktor psikologis, emosi serta latar belakang pendidikan dari keluarga

tau teman dekat korban, karena faktor-faktor tersebut mempengaruhi hasil penyidikan.

Faktor yang juga mempengaruhi adalah sugesti, khususnya segesti dari pihak penyidik,

3) Pakaian, dilakukan pencatatan secara teliti atas pakaian, model, bahan, tulisan dan merek

dari pakaian. Dari data yang diperoleh dari pengamatan pakaian ini dapat diperoleh

informasi tentang siapa pemilik pakaian tersebut, 4) Perhiasan, dilakukan pengamatan dan

pencatatan terhadap semua perhiasan yang melekat pada tubuh korban, khususnya bila pada

perhiasan tersebut terdapat inisial nama seseorang. Mengingat kepentingan tersebut maka

penyimpanan dari perhiasan haruslah dilakukan dengan baik, 5) Dokumen, khususnya pada

kecelakaan masal, adanya dokumen seperti kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi

paspor dan dokumen lainnya sangat membantu dalam proses identifikasi. Khususnya pada

kecelakaan masal, perlu diingat kebiasaan seseorang menaruh dompet atau tasnya. Pada

pria dompet biasanya diletakkan dalam saku baju atau celana, sedangkan pada wanita tas
8

biasanya dipegang, sehingga pada kecelakaan masal tas seseorang dapat terlempar dan

sampai pada orang lain yang bukan pemiliknya, jika tidak diperhatikan kekeliruan identitas

dapat terjadi, khususnya bila kondisi korban sudah rusak atau busuk, 6) Gigi, bentuk gigi

dan bentuk rahang merupakan ciri khusus dari seseorang, sehingga dapat dikatakan tidak

ada dua orang yang memiliki bentuk gigi dan rahang yang sama. Pemeriksaan gigi

memiliki nilai yang tinggi dalam hal penentuan identitas seseorang. Pemeriksaan gigi lebih

penting lagi bila keadaan korban sudah rusak, dimana dalam keadaan tersebut pemeriksaan

sidik jari sudah tidak dapat dilakukan. Keterbatasan dari metode pemeriksaan gigi adalah

belum meratanya sarana pemeriksaan gigi, sehingga pendataannya (dental record) juga

belum memadai. Dengan demikian pemeriksaan gigi sifatnya lebih selektif, 7) Serologi,

penentuan golongan darah yang diambil dari tubuh korban maupun tempat kejadian

perkara. Bila orang yang diperiksa kebetulan termasuk golongan sekretor (penentuan

golongan darah dapat dilakukan dari seluruh cairan tubuh), maka pemeriksaan ini selain

unutk menentukan jati diri seseorang dalam arti sempit juga bermanfaat didalam membantu

kasus penyidikan lainnya seperti pada kasus perkosaan, tabrak lari, serta pada kasus bayi

tertukar, 8) Eksklusi, metode ini umumnya hanya dipakai pada kasus dimana banyak

terdapat korban (kecelakaan masal), seperti tabrakan kereta api dan kecelakaan pesawat

terbang yang membawa banyak penumpang. Dari daftar penumpang dapat diketahui siapa

saja yang menjadi korban. Bila ada satu korban yang belum dikenali, maka dengan

bantuan daftar penumpang identitas korban tersebut dapat diketahui, 9) Medis,

pemeriksaan fisik secara keseluruhan meliputi bentuk tubuh, tinggi badan berat badan,
9

warna tirai mata, cacat tubuh, adanya tatto, adanya bekas operasi, dan ciri ciri fisik lainnya.

(Idries, 1997)

Jenazah dalam keadaan terpisah menjadi beberapa bagian seringkali menyulitkan kita

dalam menentukan identitas jenazah tersebut. Penentuan identitas seseorang berdasarkan

bagian bagian tubuh dan tulang merupakan kajian dalam antropologi forensik (Knight,

1996).

Antropologi forensik secara luas dapat didefinisikan sebagai aplikasi teori dan

metodologi antropologi dalam memecahkan masalah-masalah forensik. Bagaimanapun

seorang ahli antropologi forensik haruslah seorang spesialis di bidang antropologi fisik,

yaitu ilmu yang mempelajari fungsi biologis dan variasi tubuh manusia, terutama tulang

belulang manusia. Dalam dua dekade terakhir, para ahli dibidang antropologi forensik

dengan keahlian mereka dalam hal metodologi arkeologi memainkan peran yang sangat

penting dalam penemuan kembali dan identifikasi sisa-sisa jasad manusia (Sorg, 2005).

Kepentingan utama antropologi forensik dalam aspek medikolegal adalah dalam hal

investigasi cara kematian dan kecelakaan yang berkaitan dengan kasus kriminal. Dengan

kemampuannya seorang ahli antropologi forensik dapat mengetahui bentuk dan variasi dari

tulang manusia baik secara individu maupun dalam populasi tertentu, hal ini melengkapi

keahlian yang dimiliki oleh seorang ahli patologi forensik yang dalam bekerja bertumpu

pada pengetahuan terhadap jaringan lunak tubuh manusia (Sorg, 2005).

Perkembangan antropologi forensik menunjukkan manfaat osteologi (studi tulang)

dalam antropologi forensik yang memajukan bidang ini. Selain manfaat spesifik studi
10

tulang dalam antropologi forensik, manfaat umum studi tulang mencakup studi fosil untuk

mempelajari sejarah evolusi manusia. Manfaat studi tulang secara umum sebagai berikut:

1) Tulang mengandung bukti-bukti dalam studi fosil manusia, 2) Tulang mengandung arti

komparasi biologi masyarakat prasejarah dengan manusia hidup keturunannya di masa

sekarang, 3) Tulang mengandung bukti-bukti pola penguburan dan memberi indikasi

budaya dan kepercayaan manusia, 4) Tulang membentuk sebagian besar sumber-sumber

informasi mengenai penyakit di masa lalu dan memberi petunjuk sebab kematian, 5)

Identifikasi tulang membantu menyelesaikan kasus forensik (Bass,1987 cit Indriati 2004).

Dalam antropologi forensik, proses identifikasi dimulai dengan identifikasi ras.

Setelah melakukan identifikasi ras, langkah kedua adalah menentukan jenis kelamin

individu karena laki-laki dan perempuan memiliki dimorfisme seksual. Setelah identifikasi

ras dilanjutkan dengan identifikasi umur dan diakhiri dengan identifikasi tinggi badan

(Indriati, 2004).

Tahun 1888, Rollet mempublikasikan data tentang panjang tulang dan hubungannya

dengan tinggi badan. Tulang yang digunakan antara lain humerus, radius, ulna, femur, tibia

dan fibula dari 50 jenazah laki-laki dan 50 jenazah perempuan. Pada tahun 1892

Manouvrier menilai ulang dan menggunakan data Rollet, tetapi dengan mengeliminir

subyek yang telah berusia 60 tahun ke atas dengan alasan pada usia tersebut terjadi

pengurangan tinggi badan kurang lebih 3 cm dari tinggi badan sesungguhnya (tabel 1).

Tahun 1899, Pearson menggunakan data Rollet untuk menentukan persamaan regresi

berdasarkan panjang tulang anggota gerak sebelah kanan (Krogman, 1962)


11

Tabel 1. Tabel Manouvrier’s hubungan panjang tulang dengan tinggi badan pada orang
orang kulit putih

(Sumber Krogman, 1972)


12

1. Identifikasi ras

Ras pada prinsipnya ialah penggolongan manusia secara biologis berdasarkan

penampakan fisiknya atau fenotifnya bukan berdasarkan struktur genetisnya. Secara umum,

ras manusia digolongkan menjadi tiga: Mongoloid, Negrid dan Kaukasid. Orang Indonesia

termasuk ras Melanesid dan Austromelanesid. Perbedaan morfologis ras pada tulang dapat

dilihat pada kranium yang meliputi posisi tulang zygomaticus relatif terhadap wajah, lebar

apertura nasalis, bentuk orbita, lebar dan bentuk palatum, serta lurus atau berkeloknya

sutura zygomaticomaxillaris (Indriati, 2004).

2. Identifikasi jenis kelamin

Pada umunya penentuan jenis kelamin pada orang hidup tidaklah sukar. Hanya dari

penampilan wajah, potongan tubuh, bentuk rambut, pakaian, serta ciri-ciri seks; kita sudah

dapat membedakan laiki-laki dengan perempuan. Pada kondisi keadaan tubuh korban

sudah rusak oleh karena pembusukan, atau karena proses yang disengaja oleh pelaku

misalnya dengan memotong-motong tubuh korban (mutilasi). Pada keadaan seperti ini,

proses identifikasi memerlukan kesabaran dan ketelitian yang khusus (Idries, 1997).

Tulang manusia dewasa menunjukkan dimorfisme seksual sehingga laki laki dapat

dibedakan dengan perempuan berdasarkan morfologinya. Perbedaan ini dapat diamati pada

tulang pelvis sehubungan dengan fungsi reproduksi pada perempuan. Selain itu morfologi

krania dan mandibula juga menunjukkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan

(Indriati, 2004). Selain pengamatan, identifikasi jenis kelamin dari kranium juga dapat

dilakukan dengan metode pengukuran, dengan tingkat akurasi 80-90%. Gilles dan Elliot
13

mengembangkan metodologi penetuan jenis kelamin dengan analisis fungsi diskriminan

dangan menggunakan standar pengukuran Hooton (Krogman, 1962).

3. Identifikasi umur

Umur biologis manusia bisa ditentukan berdasarkan jumlah tulang yang muncul,

bersatunya epiphysis dengan diaphysis pada tulang panjang, derajat penutupan sutura,

maupun derajat kalsifikasi dan erupsi gigi. Hal ini karena proses pertumbuhan sesuai

dengan pertambahan umur (Indriati, 2004).

Untuk usia dini sampai remaja, jadwal pembentukan dan erupsi gigi bisa digunakan

untuk mengetahui umur manusia, sedangkan penyatuan ephiphysis dengan diaphysis bisa

untuk indikasi usia remaja sampai dewasa muda. Selain penyatuan ephiphysis, penyatuan

sutura pada krania juga terjadi sesuai dengan bertambahnya usia biologis manusia.

Misalnya, sutura basilo-occipitalis yang belum menutup diasosiasikan dengan umur

dibawah 25 tahun (Indriati, 2004).

Untuk kepentingan menghadapi kasus-kasus forensik, maka penentuan atau penetapan

umur dibagi menjadi tiga fase, yaitu: bayi yang baru dilahirkan, anak-anak dan dewasa

sampai umur 30 tahun dan dewasa diatas umur 30 tahun (Idries, 1997).

4. Identifikasi tinggi badan

Memperkirakan tinggi badan seseorang semasa hidupnya tidaklah semudah seperti

yang dibayangkan banyak orang. Pertama, tinggi badan tidak memiliki ciri tetap, tinggi

badan orang dewasa senantiasa berubah dalam sehari karena tinggi badan cenderung

berkurang pada malam hari, dan ini terus berlangsung sepanjang hidup. Jadi keakuratan

hasil pengukuran tinggi badan seseorang terbatas pada range (jangkauan) tertentu. Kedua,
14

seringkali pengukuran tinggi badan dilakukan dengan tidak benar, sehingga menyebabkan

munculnya kesimpulan yang salah tentang tinggi badan seseorang. Pada kasus orang hilang

perkiraan tinggi badan bersifat kasar. Hal yang menarik adalah penelitian menunujukkan

bahwa laki-laki Amerika cenderung melebihkan ukuran tinggi badan mereka pada saat

pembuatan surat izin mengemudi sebanyak 1 sampai 2 inchi. Jadi terdapat kemungkiran

yang besar terjadi kesalahan perkiraan tinggi badan bila hanya berdasarkan catatan tinggi

badan semasa hidup, terutama pada pria (Sorg, 2005).

Pada tahun 1888, Rollet mempublikasikan tabel resmi pertama yang memuat panjang

tulang humerus, radius, ulna, tibia dan fibula dari 50 jenazah laki-laki dan 50 jenazah

wanita Perancis. Tulang diukur pertama kali dalam keadaan segar dan diukur kembali 10

bulan kemudian dalam keadaan kering, dalam periode ini semua tulang yang diteliti

kehilangan panjangnya 2 mm. Untuk melakukan perhitungan dan memperkirakan tinggi

badan berdasarkan data tersebut Manouvrier menambahkan 2 mm untuk panjang tulang

yang diukur dan mengurangi 2 mm dari tinggi badan yang diperoleh (Krogman, 1962).

Hubungan panjang anggota gerak dengan tinggi badan dipengaruhi salah satunya oleh

Ras. Pola hubungan setidaknya berbeda pada tiga ras besar (Kaukasoid, Negroid dan

Mongoloid). Untuk mendapatkan perkiraan tinggi badan yang memiliki tingkat akurasi

yang tinggi, persamaan regresi yang digunakan untuk masing-masing ras berbeda-beda.

Identifikasi seseorang berdasarkan perkiraan tinggi badannya harus mempertimbangkan

faktor ras (Krogman, 1962). Perincian dapat dilihat pada tabel 2.


15

Tabel 2. Rumus regresi untuk perkiraan tinggi badan pada pria Amerika, Negro, Mongo-
loid dan Meksiko

(Sumber Trotter dan Gleser cit Krogman, 1962)

B. Penentuan Tinggi Badan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa Universitas Nasional

Yogyakarta pada tahun 1990 diketahui tinggi badan rata-rata orang Indonesia suku Jawa

laki-laki adalah 165,4 cm dan perempuan 153,7 cm. Tinggi badan laki-laki dan perempuan

Jawa di Indonesia memiliki perbedaan tinggi badan sebesar 7,39%, menunjukkan tingkat

perbedaan yang sedang (Indriati, 2004).

Untuk melakukan identifikasi berdasarkan panjang tulang diperlukan pengetahuan

anatomi yang cukup dan terlatih. Tinggi badan merupakan salah satu data umum yang perlu

ditentukan pada kasus-kasus dengan tubuh yang tidak lengkap lagi (Yudianto & Algozi,

2006).
16

Penentuan tinggi badan menjadi penting artinya pada keadaan dimana yang harus

diperiksa adalah tubuh yang telah terpotong-potong atau yang didapatkan rangka, atau

sebagian tulang saja. Pada umumnya perkiraan tinggi badan dapat dipermudah dengan

pengertian bahwa tubuh manusia yang diperiksa itu pendek, sedang atau tinggi (Idries,

1997).

Sisa jasad manusia seringkali ditemukan tidak utuh. Dalam kasus seperti ini seorang

ahli antropologi forensik memerlukan estimasi (perkiraan) tinggi badan berdasarkan tulang

panjang yang ditemukan, atau dengan metode kombinasi beberapa tulang. Perkiraan tinggi

badan ini dapat diperoleh dengan menggunakan rumus regresi. Keakuratan dari sebuah

rumus regresi dalam menetukan tinggi badan seseorang dipengaruhi oleh pola dan

hubungan yang proporsional antara berbagai ukuran bagian tubuh, yang dikenal dengan

konsep allometri. Hubungan allometri antar tulang bersifat sistematis namun tidak eksak.

Pola hubungan ini berbeda antara satu populasi dengan populasi lainnya dan antara satu

individu dengan individu lainnya. Antara individu dan populasi bisa terdapat hubungan

yang sesuai namun juga bisa tidak terdapat hubungan. yang sesuai. Rumus regresi untuk

tinggi badan biasanya menunjukkan pola yang cenderung menetap dalam polulasi yang

memiliki nenek moyang (ras) yang sama (Sorg, 2005).

Secara sederhana perkiraan tinggi badan dapat diketahui dari pengukuran tulang-

tulang panjang, yaitu: tulang paha (femur) menunjukkan 27% dari tinggi badan, tulang

kering (tibia) menunjukkan 22% dari tinggi badan, tulang lengan atas (humerus), 35% dari

tinggi badan, dan tulang belakan 35% dari tinggi badan (Topmaid & Rollet, 1923 cit Idries,

1997)
17

Pada prinsipnya, panjang tulang kaki dan tangan kita berbanding secara proporsional

dengan tinggi badan kita. Sehingga penentuan tinggi badan dapat dilakukan menggunakan

rumus regresi, rumus regresi merupakan hasil dari analisis regresi (Indriati, 2004). Dalam

kasus mutilasi tinggi badan dapat ditentukan secara tidak langsung berdasarkan panjang

tulang anggota gerak atas dan anggota gerak bagian bawah (Mohanty, 1998).

Tinggi badan dapat ditentukan dengan metode pengukuran panjang atau lingkar

tulang maupun panjang anggota tubuh. Metode pengukuran tulang panjang memiliki

akurasi yang lebih tinggi dibandingkan metode pengukuran tulang pendek dalam

memperkirakan tinggi badan seseorang. Metode pengukuran anggota gerak bagian bawah

memiliki ketepatan yang lebih tinggi dari metode pengukuran anggota gerak bagian atas .

(Patriquin & Loth, 2002).

Hugg dan kawan-kawan pada tahun 2001 melakukan penelitian perkiraan tinggi

badan berdasarkan panjang eksrimitas atas pada 143 individu dewasa terdiri dari 64 laki-

laki dan 79 wanita. Ditemukan perbedaan bermakna dari tinggi badan laki-laki dan wanita

berdasarkan korelasinya dengaan panjang ekstrimitas atas. Dilaporkan pengukuran panjang

radius memiliki tingkat ketepatan 94,93%, panjang humerus 93,15% dan panjang ulna

90,58% dalam menentukan tinggi badan seseorang.

Ozaslan pada tahun 2002 melakukan analisis antropometrik untuk menentukan

korelasi ekstrimitas bawah dengan tinggi badan. Penelitian ini dilakukan terhadap sejumlah

orang dewasa, yang meliputi panjang paha, panjang tungkai, panjang dan lebar telapak

kaki. Dengan menggunakan analisis regresi ditemukan korelasi antara masing-masing

variabel pengukuran dengan tinggi badan.


18

Pada tahun 1951, Steward telah mempublikasikan garis regresi yang menggambarkan

hubungan antara panjang tibia dan femur dengan tinggi badan (Krogman, 1962). Dapat

dilihat pada gambar 1.

(Sumber Krogman, 1962)

Gambar 1. Garis regresi yang menunjukkan hubungan kombinasi panjang femur


dan tibia dengan tinggi badan, digunakan pada orang kulit putih,
Negro dan Mongoloid

Perkiraan tinggi badan dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran panjang tibia

perkutaneus (pengukuran panjang tibia yang dilakukan dari permukaan kulit). Pada
19

populasi Oriya ditemukan korelasi antara panjang tibia perkutaneus dengan tinggi badan.

Dengan rumus regresi sebagai berikut: 1)Tinggi badan laki-laki = 22,8325 + 3,7500 x

PCTL  2,87., 2) Tinggi badan wanita = 27,3032 + 3,5587 x PCTL  3,44. Ketepatan

penentuan tinggi badan dengan menggunakan rumus ini bervariasi sesuai dengan pola

variasi biologis tiap individu (Mohanty, 1998).

Melalui suatu penelitian, Djaya Surya Atmaja menemukan rumus untuk populasi

dewasa muda di Indonesia, yaitu: 1) Tinggi badan pria = 75,9800 + 2,3922 (tibia)

(  4,3572 cm)., 2) Tinggi badan wanita = 77,4717 + 2,1889 (tibia) ( 4,9526 cm).

Panjang tulang yang digunakan adalah panjang tulang yang diukur dari luar tubuh, berikut

kulit diluarnya. (Budiyanto et al., 1997)

Hasil analisis statistik antara panjang dan lebar telapak kaki dengan tinggi dan berat

badan pada 99 orang mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 1991,

menunjukkan adanya hubungan antara panjang telapak kaki dengan tinggi badan, dan lebar

telapak kaki dengan berat badan. Untuk mengestimasi tinggi dan berat badan yang analisis

statistik yan paling cocok adalah persamaan regresi kuadratis untuk dua persamaan. Rumus

untuk tinggi badan adalah: Y = 392,092-22,396x + 0,5382x2 (Sobardiati & Glinka, 2004).

Interpretasi dari kuatnya korelasi antara masing-masing variabel pengukuran dapat

dilihat dari nilai r yang diperoleh dari perhitungan statistik, yaitu nilai 0,00-0,199 sangat

lemah, nilai 0,20-0,399 lemah, nilai 0,40-0,599 sedang, nilai 0,60-0,799 kuat dan nilai 0,80-

1,000 sangat kuat (Dahlan, 2001; Santoso, 2004)


20

C. Kerangka Konsep

Pada dasarnya panjang anggota gerak berbanding secara proporsional dengan tinggi

badan. Dengan melakukan analisis regresi dapat ditentukan bentuk persamaan (rumus

regresi) untuk memperkirakan tinggi badan dari pengukuran panjang telapak kaki dan

panjang tibia perkutaneus. Akurasi dari kedua cara pengukuran dapat ditentukan dengan

membandingkan korelasi kedua bentuk persamaan regresi dalam memperkirakan tinggi

badan dengan tinggi badan sebenarnya.

Ras

Jenis Kelamin

Umur

Panjang Tibia Cacat Panjang Telapak


Perkutaneus Kaki
Pembusukan

Alat ukur

Posisi Pengukuran

Tinggi Badan

Estimasi Tinggi Badan

Gambar 2. Kerangka konsep


21

D. Hipotesis Penelitian

Pengukuran panjang tibia perkutaneus memiliki korelasi yang lebih kuat terhadap

tinggi badan seseorang dibandingan pengukuran panjang telapak kaki.


BAB III

METODE DAN CARA PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cross sectional analitik. Desain

Cross sectional analitik dipilih karena setiap subyek (jenazah) hanya akan diukur satu kali.

Desain ini sederhana, mudah dan tepat bila diterapkan untuk menjawab pertanyaan

penelitian dan tidak memerlukan sumber dana yang terlalu besar. Dengan desain ini

variabel yang mempengaruhi proses penelitian mudah dikendalikan dan tidak akan terjadi

drop out dari subyek penelitian.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Instalasi Kedokteran Forensik Rumah Sakit DR. Sardjito

Yogyakakarta, dimulai bulan Januari sampai bulan Desember 2006, sampai jumlah sampel

terpenuhi.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah sejumlah jenazah Ras Mongoloid yang ditangani

di Instalasi Kedokteran Forensik RS Dr. Sardjito Yogyakarta.

D. Besar Sampel Penelitian

Penentuan besar sampel dihitung berdasarkan rumus besar sampel untuk dua

kelompok berpasangan sebagai berikut:

2
(Z + Z) x Sd
N= d

22
23

Tingkat kemaknaan yang diharapkan dalam penelitian ini () untuk uji 2 arah adalah 0,05

dan power () dalam penelitian ini adalah 80%, maka berdasarkan tabel diketahui Z dan Z

dalam penelitian ini masing-masing sebesar 1,960 dan 0,842. Berdasarkan kepustakaan

diperkirakan simpang baku selisih rerata (Sd) adalah 4 cm dan selisih pengukuran kedua

cara yang bermakna adalah 2,5 cm. Setelah dilakukan perhitungan didapatkan jumlah

sampel minimal yang harus terpenuhi (N) adalah 42 orang.

E. Kriteria Subyek Penelitian

1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi meliputi jenazah manusia Ras Mongoloid, laki-laki dan perempuan,

usia 25 sampai 55 tahun, tidak memiliki cacat fisik yang dapat mempengaruhi proses

pengukuran tinggi badan, panjang telapak kaki dan panjang tibia perkutaneus, ditangani

di Instalasi Forensik RS Dr. Sardjito Yogyakarta dari Januari sampai dengan Desember

2006, sampai jumlah sampel terpenuhi.

2. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi meliputi jenazah yang memiliki cacat fisik bawaan maupun didapat,

seperti amputasi, luka bakar yang menyebabkan kontraktur, skoliosis, dan jenazah yang

telah mengalami pembusukan sehingga menyebabkan tidak dapat dilakukannya pengukuran

tinggi badan, panjang tibia perkuteneus dan panjang telapak kaki.


24

F. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel bebas, variabel tergantung. Variabel

bebas dalam penelitian ini anatara lain: 1) pengukuran panjang tibia perkutaneus,

2) pengukuran panjang telapak kaki, 3) umur, 4) ras, 5) jenis kelamin, 6) proses

pembusukan 7) cacat fisik, 8) posisi tubuh jenazah, 9) alat ukur, 10) pengukur

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah tinggi badan

G. Definisi operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini antara lain: 1) Tinggi badan jenazah adalah

panjang badan yang diukur dari ujung tumit sampai puncak kepala dalam keadaan

berbaring telentang, tulang belakang dan sendi lutut dalam keadaan lurus, 2) Pengukuran

panjang tibia perkutaneus adalah pengukuran panjang tibia yang dilakukan dari permukaan

kulit, diukur dari Condylus medialis sampai Maleolus medialis, 3) Pengukuran panjang

telapak kaki adalah pengukuran panjang telapak kaki diukur dari ujung jari terluar sampai

ujung tumit, 4) Perkiraan tinggi badan adalah tinggi badan yang diperoleh dari hasil

pengukuran panjang tibia perkutaneus dan panjang telapak kaki yang telah dimasukkan

dalam persamaan regresi yang digunakan dalan kedua metode tersebut, 5) Umur adalah

umur jezazah saat meninggal, diketahui dari catatan medis yang tersedia di kamar jenazah

atau hasil dari alloanamnesa, 6) Ras dalam penelitian ini adalah ras Mongoloid, diketahui

dari hasil alloanamnesa tentang suku dari jenazah, 7) Proses pembusukan adalah proses

pembusukan yang menyebabkan tidak dapatnya dilakukan pengukuran panjang tibia

perkutaneus dan panjang telapak kaki, 8) Cacat fisik adalah semua jenis cacat fisik yang

dapat mempengaruhi hasil pengukuran misalnya patah tulang, luka bakar yang
25

menyebabkan kontraktur, orang cebol dll., 9) Posisi tubuh jenazah adalah posisi jenazah

diatas meja otopsi, posisi ini harus memungkinkan untuk dilakukan pengukuran tinggi

badan, panjang tibia perkutaneus dan panjang telapak kaki, 10) Alat ukur adalah alat yang

digunakan untuk mengukur dalam skala milimeter, hanya digunakan satu alat ukur untuk

seluruh jenazah, 11) Pengukur adalah orang yang melakukan pengukuran, 12) Jenis

Kelamin adalah laki-laki dan perempuan, 13) Rumus Regresi adalah adalah rumus yang

didapatkan dari hasil analisis regresi menggunakan program komputer.

H. Cara Penelitian

Pengukuran panjang tibia perkutaneus, panjang telapak kaki, dan tinggi badan

sebenarnya dilakukan pada setiap jenazah (sampel) yang ditangani di Instalasi Kedokteran

Forensik RS Dr. Sardjito Yogyakarta Januari sampai dengan Desember 2006. Masing

masing jenazah diukur satu kali pada saat hari kedatangan.

Hasil pengukuran kemudian dianalisis dengan analisis regresi dan dari hasil analisis

tersebut akan diketahui bentuk persamaan untuk memperkiraan tinggi badan jenazah. Dari

hasil analisis regresi tersebut dapat diketahui juga tingkat korelasi dari masing-masing

metode pengukuran. Kemudian dilakukan penilaian dan penentuan cara yang memiliki

tingkat korelasi lebih kuat terhadap tinggi badan sebenarnya.


26

Jenazah

Kriteria inklusi Kriteria ekslusi

Pengukuran
Tinggi badan
Panjang telapak kaki
Panjang tibia perkutaneus

Analisis regresi

Perbandingan korelasi

Gambar 3. Cara penelitian


27

I. Analisis Hasil Penelitian

Dilakukan analisis regresi terhadap data tinggi badan, panjang tibia perkutaneus dan

telapak kaki, sehingga didapatkan bentuk persamaan regresi hubungan tinggi badan dengan

panjang tibia perkutaneus dan hubungan tinggi badan dengan panjang telapak kaki.

Koefisien korelasi dari kedua persamaan tersebut kemudian dibandingkan untuk

membuktikan hipotesis bahwa panjang tibia perkutaneus memiliki korelasi yang lebih kuat

dari pada panjang telapak kaki dalam menentukan tinggi badan.

J. Penyimpangan Protokol

Dalam upaya mencapai hasil penelitian yang valid protokol (cara) penelitian harus

ditaati sebaik mungkin. Penyimpangan dapat terjadi bila terdapat bias dalam penelitian.

Upaya yang dilakukan untuk menghindari bias, antara lain: 1) Umur, ditetapkan usia 25

sampai dengan 55 tahun, berdasarkan studi terdahulu yang digunakan adalah usia dengan

rentang tersebut, 2) Ras, ditetapkan ras Mongoloid, variasi bentuk fisik yang

mempengaruhi tinggi badan didasari oleh perbedaan ras, 3) Pembusukan, dikendalikan

dengan menentukan subjek penelitian berupa jenazah yang belum membusuk, pembusukan

dapat mengacaukan hasil penelitian, 4) Cacat fisik, cacat fisik yang berhubungan dengan

pengukuran dapat mengacaukan hasil penelitian, dikendalikan dengan memilih jenazah

yang tidak memiliki cacat fisik, seperti kaki yang terpotong, bentuk tulang belakang yang

tidak normal, terdapat luka bakar yang menyebabkan kontraktur dll., 5) Posisi pengukuran,

seluruh jenazah diukur dalam posisi yang sama yaitu berbaring dengan muka menghadap

ke atas, 6) Alat ukur, digunakan alat ukur yang sama untuk semua subjek yang diteliti,
BAB IV

HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN

A. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah jenazah yang ditangani di Instalasi Kedokteran Forensik RS

Dr. Sardjito Yogyakarta dari 1 Januari 2006 sampai 16 Desember 2006. Pada periode

tersebut ditangani sebanyak 196 jenazah, 64 diantaranya memenuhi kriteria inklusi

penelitian ini, sisanya 142 jenazah memenuhi kriteria eksklusi antara lain adanya cacat fisik

bawaan dan didapat, mengalami pembusukan lanjut dan luka bakar, yang menyebabkan

tidak dapat dilakukan pengukuran tinggi badan, panjang tibia perkutaneus maupun panjang

telapak kaki.

Jenazah yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi,

terdiri dari 36 jenazah laki-laki dan 28 jenazah perempuan. Selanjutnya dilakukan

pengukuran panjang badan, panjang tibia perkutaneus kanan dan kiri serta panjang telapak

kaki kanan dan kiri terhadap tiap-tiap jenazah.

B. Karakteristik Subyek

Subyek penelitian terdiri dari 36 jenazah laki-laki dan 28 jenazah perempuan. Kedua

jenis kelamin tersebut terdistribusi ke dalam 6 katagori berdasarkan umur.

Umur termuda subyek penelitian ini adalah 25 tahun, sedangkan umur tertua 55 tahun.

Umur rata-rata 37,8 tahun (SD 9,12). Umur dibagi menjadi 6 katagori, frekuensi umur

terbesar adalah 25-30 tahun sebanyak 18 subyek (28,12%) (tabel 3).

28
29

Tabel 3. Distribusi subyek penelitian menurut umur

Umur Jumlah Total (%)


25 – 30 18 28,12
31 – 35 12 18,75
36 – 40 13 20,32
41 – 45 6 9,37
46 – 50 5 7,81
51 – 55 10 15,62
Total 64 100

Dalam penelitian ini umur subyek penelitian terdistribusi dengan sebaran yang tidak

normal, berdasarkan uji normalitas dengan metode Shapiro-Wilk diperoleh nilai p sebesar

0,02. Karena nilai p kurang dari 0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa umur tidak

terdistribusi secara normal. Namun keadaan ini tidak menjadi permasalahan, karena telah

memenuhi kriteria inklusi penelitian ini yaitu rentang usia antara 25 sampai 55 tahun.

C. Hasil Pengukuran & Persamaan Regresi

Tinggi badan rata-rata subyek penelitian 160,365 cm dengan standar deviasi 7,722

cm. Panjang tibia kanan rata-rata 34,908 cm dengan standar deviasi 2,218 cm dan panjang

tibia kiri rata-rata 34,978 dengan standar deviasi 2,215 cm, tidak terdapat perbedaan

bermakna antara hasil pengukuran tibia perkutaneus kanan dan kiri. Panjang telapak kaki

kanan rata-rata 22,944 dengan standar deviasi 1,465 cm dan panjang telapak kaki kiri rata-

rata 22,939 dengan standar deviasi 1,468, tidak terdapat perbedaan bermakna antara hasil

pengukuran panjang telapak kaki kanan dan kiri (tabel 4).


30

Tabel 4. Hasil pengukuran tinggi badan, tibia perkutaneus dan telapak kaki

Pengukuran Rata-rata (cm) Standar Kolmogorov-Smirnov


deviasi (cm) Nilai p

Panjang badan 160,365 7,722 0,989


Panjang tibia kanan 34,908 2,218 0,892
Panjang tibia kiri 34,978 2,216 0,856
Panjang telapak kaki kanan 22,944 1,465 0,923
Panjang telapak kaki kiri 22,939 1,468 0,935

Seluruh data hasil pengukuran dalam penelitian ini tersebar secara normal. Hal ini

diketahui dari nilai probabilitas dari masing masing kelompok pengukuran yaitu jauh diatas

0,05 berdasarkan uji Kolmogorov-Smirnov (tabel 4).

Analisis Regresi merupakan uji parametrik, dalam uji ini terdapat tiga syarat yang

harus diperhatikan yaitu skala pengukuran variabel harus numerik, sebaran data harus

normal dan adanya kesamaan varians. Khusus untuk uji kelompok yang berpasangan

kesamaan varians tidak menjadi syarat. Pada penelitian ini syarat-syarat tersebut terpenuhi,

jadi dapat dilakukan Analisis Regresi.

Tabel 5. Tingkat korelasi tinggi badan dengan panjang tibia dan telapak kaki

Korelasi Pearson Tingkat signifikans


(r) (1-tailed)
Pengukuran Tinggi badan Panjang badan

Panjang tibia kanan 0,756 0,001


Panjang tibia kiri 0,726 0,001
Panjang telapak kaki kana 0,717 0,001
Panjang telapak kaki kiri 0,714 0,001
31

Tabel 6. Tingkat signifikansi hubungan antar variabel berdasarkan Uji Anova

F hitung Tingkat
Pengukuran Tinggi badan signifikansi

Panjang tibia kanan 82,815 0,001


Panjang tibia kiri 68,906 0,001
Panjang telapak kaki kanan 65,744 0,001
Panjang telapak kaki kiri 64,469 0,001

1. Bentuk Persamaan Regresi Panjang Tibia perkutaneus

Besar hubungan antara varibel tinggi badan dengan panjang tibia perkutaneus yang

dihitung berdasarkan koefisien korelasi adalah 0, 756 untuk tibia kanan dan 0,726 untuk

tibia kiri. Hal ini menunjukkan hubungan yang erat (mendekati 1) antara panjang tibia

perkutaneus dengan tinggi badan. Arah hubungan yang positif (tidak ada tanda negatif pada

angka 0,756 dan angka 0,726) menunjukkan semakin panjang tibia semakin tinggi tubuh

seseorang, demikian pula sebaliknya (tabel 5).

Tingkat signifikansi koefisien korelasi satu sisi (diukur dari probabilitas) menghasilkan

angka 0,001 atau praktis 0. Oleh karena probabilitas jauh di bawah 0,05, maka dapat

disimpulkan bahwa korelasi panjang tibia perkutaneus dengan tinggi badan sangat nyata

(tabel 5).

Dari uji Anova, didapat F hitung sebesar 82,815 untuk tibia kanan dan 68,906 untuk

tibia kiri, dengan signifikansi 0,001. Oleh karena probabilitas (nilai p) adalah 0,001 jauh

lebih kecil dari 0,05, berarti terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang

diuji, maka persamaan regresi dapat dipergunakan untuk memprediksi tinggi badan

(tabel 6).
32

Standar residual (selisih prediksi tinggi badan dengan tinggi badan sebenarnya yang

telah distandarisasi) untuk pengukuran panjang tibia perkutaneus berada disekitar garis

lurus, dapat dikatakan persyaratan normalitas terpenuhi. Sebaran data membentuk arah yang

disyaratkan (dari kiri bawah ke kanan atas), maka persamaan regresi memenuhi syarat

digunakan untuk memprediksi tinggi badan (gambar 4 & 5).

1,0

,8

,5
Prediksi tinggi badan

,3

0,0
0,0 ,3 ,5 ,8 1,0

Tinggi badan sebenarnya

Gambar 4. Hubungan prediksi tinggi badan berdasarkan panjang tibia perkutaneus kanan
dengan tinggi badan sebenarnya
33

1,0

,8
Prediksi tinggi badan

,5

,3

0,0
0,0 ,3 ,5 ,8 1,0

Tinggi badan sebenarnya

Gambar 5. Hubungan prediksi tinggi badan berdasarkan panjang tibia perkutaneus kiri
dengan tinggi badan sebenarnya

Selanjutnya dengan program komputer didapatkan persamaan regresi untuk tibia

kanan adalah: Y = 68,499 + 2,632X, dimana Y adalah tinggi badan dan X adalah panjang

tibia perkutaneus. Koefisien regresi sebesar 2,632 menyatakan bahwa setiap peningkatan

1% panjang tibia perkutaneus akan meningkatkan tinggi badan sebesar 2,632%.

Persamaan regresi untuk tibia kiri adalah: Y = 71,921 + 2,529X, dimana Y adalah

tinggi badan dan X adalah panjang tibia perkutaneus. Koefisien regresi sebesar 2,529

menyatakan bahwa setiap peningkatan 1% panjang tibia perkutaneus akan meningkatkan

tinggi badan sebesar 2,529%.


34

Arah korelasi positif (tanda +) pada kedua bentuk persamaan regresi diatas

menyatakan semakin besar nilai satu variabel semakin besar pula nilai variabel lainnya.

Semakin panjang tibia semakin tinggi pula tubuh seseorang.

2. Bentuk Persamaan Regresi Panjang Telapak Kaki

Besar hubungan antara varibel tinggi badan dengan panjang telapak kaki yang

dihitung berdasarkan koefisien korelasi adalah 0,717 untuk telapak kaki kanan dan 0,714

untuk tibia kiri. Hal ini menunjukkan hubungan yang erat (mendekati 1) antara panjang

telapak kaki dengan tinggi badan. Arah hubungan yang positif (tidak ada tanda negatif pada

angka 0,717 dan angka 0,714) menunjukkan semakin panjang telapak kaki semakin tinggi

tubuh seseorang, demikian pula sebaliknya (tabel 5).

Tingkat signifikansi koefisien korelasi satu sisi (diukur dari probabilitas) menghasilkan

angka 0,001 atau praktis 0. Oleh karena probabilitas jauh di bawah 0,05, maka dapat

disimpulkan korelasi panjang telapak kaki dengan tinggi badan sangat nyata (tabel 5).

Dari uji Anova, didapat F hitung sebesar 65,744 untuk telapak kaki kanan dan 64,469

untuk telapak kaki kiri, dengan signifikansi 0,001. Oleh karena probabilitas (nilai p) adalah

0,001 jauh lebih kecil dari 0,05, maka persamaan regresi dapat dipergunakan untuk

memprediksi tinggi badan (tabel 6).

Standar residual (selisih prediksi tinggi badan dengan tinggi badan sebenarnya) untuk

pengukuran telapak kaki berada disekitar garis lurus, dapat dikatakan persyaratan

normalitas terpenuhi. Sebaran data membentuk arah yang disyaratkan (dari kiri bawah ke

kanan atas), maka persamaan regresi memenuhi syarat digunakan untuk memprediksi tinggi

badan (gambar 6 & 7).


35

1,0

,8
Prediksi tinggi badan

,5

,3

0,0
0,0 ,3 ,5 ,8 1,0

Tinggi badan sebenarnya

Gambar 6. Hubungan prediksi tinggi badan berdasarkan panjang telapak kaki kanan
dengan tinggi badan sebenarnya

1,0

,8
badan

,5
badan
tinggi
Prediksi tinggi

,3
Prediksi

0,0
0,0 ,3 ,5 ,8 1,0
Tinggi
Tinggi badan
badan sebenarnya
sebenarnya

Gambar 7. Hubungan prediksi tinggi badan berdasarkan panjang telapak kaki kiri
dengan tinggi badan sebenarnya
36

Selanjutnya dengan program komputer didapatkan persamaan regresi untuk telapak

kaki kanan adalah: Y = 73,613 + 3,781X, dimana Y adalah tinggi badan dan X adalah

panjang telapak kaki. Koefisien regresi sebesar 3,781 menyatakan bahwa setiap

peningkatan 1% panjang tibia perkutaneus akan meningkatkan tinggi badan sebesar

3,781%.

Persamaan regresi untuk telapak kaki kiri adalah: Y = 74,214 + 3,756X, dimana Y

adalah tinggi badan dan X adalah panjang telapak kaki. Koefisien regresi sebesar 3,756

menyatakan bahwa setiap peningkatan 1% panjang telapak kaki akan meningkatkan tinggi

badan sebesar 3,756%.

Arah korelasi positif (tanda +) pada kedua bentuk persamaan regresi diatas

menyatakan semakin besar nilai satu variabel semakin besar pula nilai variabel lainnya.

Semakin telapak kaki semakin tinggi pula tubuh seseorang.

Berdasarkan hasil penelitian di atas tampak bahwa panjang tibia perkutaneus

memiliki tingkat korelasi yang lebih kuat terhadap tinggi badan dibandingkan dengan

panjang telapak kaki. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa tulang panjang

memiliki korelasi yang lebih tinggi dengan tinggi badan seseorang dibandingkan dengan

tulang pendek.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pengukuran tibia perkutaneus kanan dan

telapak kaki kanan memiliki korelasi yang lebih kuat terhadap tinggi badan dibandingkan

pengukuran tibia perkutaneus kiri dan telapak kaki kiri. Hal ini mungkin disebabkan oleh

tingkat akurasi pengukuran yang dilakukan oleh operator lebih baik pada pengukuran di

sebelah kanan karena semua pengukuran di mulai dari sebelah kanan.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pengukuran panjang tibia perkutaneus memiliki korelasi lebih kuat terhadap tinggi

badan seseorang dibandingkan dengan pengukuran panjang telapak kaki.

B. Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut pada tempat dan populasi berbeda untuk

mengetahui keterandalan bentuk persamaan regresi yang diperoleh.

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui perbedaan tingkat akurasi

antara pengukuran panjang tibia perkutaneus dan telapak kaki pada jenazah dan orang

hidup.

37
DAFTAR PUSTAKA

Atmadja, S., Sudiono, S., & Hertian, S. 1991. Hubungan tinggi badan dengan tinggi bahu
orang Indonesia Majalah Kedokteran Indonesia 12: 699-703
Budiyanto, A., Widiatmaka W., Sudiono S., Winardi T., Mun’im A., Sidhi, et al. 1997.
Identifikasi Forensik. Ilmu Kedokteran Forensik. Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 197-202
Dahlan, M.S. 2001. Hipotesis korelatif. Statistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan.
PT Arkans, 161
Idries, A.M. 1997. Identifikasi. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Bina Rupa
Aksara, 32-52
Indriati, E. 2004. Penentuan tinggi badan. Antropologi Forensik. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 78-80
Knight, B. 1996. The establishment of identity of human remains.
Forensic Pathology. 96-131
Kosebardiati & Glinka, J. 2002. Estimasi tinggi dan berat badan berdasarkan ukuran
kaki: Analisis regresi. Bunga Rampai Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Diterbitkan dalam rangka Konas III PDFI, Semarang. 108
Koshy, S. Vettivel, K.G. & Selvaraj. 2002. Estimation of length of calcanaeum and
talus from their bony markers. Forensic Sciene International 129: 200-204
Krogman. 1962. The calculation of stature from long bones. The Human Skeleton in
Forensic Medicine. 153-177
Mall, G. Hubig, M. Buttner, A. Kuznik, J. Penning & R. Graw, M. (2001) Sex determina-
tion and estimation of stature from the long born of arm. National Library of Medi-
cine 117:23-30
Mohanty, M. K. 1998. Prediction of height from percutaneous tibial length amongst
Oriya population. Forensic Science International 100:137-141
Ozaslan, A. Yasar, A.Ozaslan, H. Turcu & Sermet Koc. 2003. Estimation of stature
from body parts. Forensic Sciene International 132: 42-45
Patriquin, M. L. Loth, S. R. & Syeyn, M. 2002. Metric assessment of race from pelvis
in South Africans. Forensic Sciene International 127: 102-107
Santoso S. 2004. Regresi sederhana. Mengatasi Berbagai Masalah Statistik dengan
SPSS versi 11.5, 334-349
Sorg, M. H. 2005. Forensic anthropology. Forensic science an introduction to scientific
and investigative technique, 99-118
Yudianto, A & Algozi, A.M. 2006. Penentuan tinggi badan berdasarkan panjang tulang
dada (os sternum) pada orang dewasa. Kumpulan naskah pertemuan ilmiah tahunan
Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia. Diterbitkan dalam rangka Musyawarah
Kerja Tahunan dan Pertemuan Ilmiah Tahunan PDFI, Yogyakarta

38

Anda mungkin juga menyukai