BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kecelakaan hebat yang berakibat fatal sering terjadi seiring dengan kemajuan di
bidang transportasi. Salah satu bentuk kecelakaan yang fatal adalah terpisahnya bagian-
bagian tubuh manusia, misalnya seperti pada kasus kecelakaan kereta api (Koesbardiati &
Glinka, 2002).
mutilasi. Mutilasi adalah pemotongan jasad manusia yang telah meninggal dunia hingga
terpisah satu sama lainnya. Kejadian mutilasi ini memiliki kecenderungan meningkat, yang
mungkin disebabkan upaya pelaku untuk menghilangkan jejak dan identitas korban.
Sampai saat ini belum ditemukan data yang sahih tentang jumlah korban mutilasi
bantuan dokter untuk identifikasi korban yang tidak dikenal. Korban dapat berupa mayat
kerangka lengkap maupun tidak lengkap dengan tulang utuh maupun tidak utuh pada kasus
forensik maupun non forensik. Menentukan identitas personal dengan tepat sangat penting
dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan
Identifikasi adalah penentuan atau penetapan identitas orang hidup ataupun mati,
berdasarkan ciri-ciri yang khas yang terdapat pada orang tersebut. Identifikasi pada
1
2
2
antropologi forensik meliputi penentuan ras, jenis kelamin, umur dan tinggi badan. Bila
ditinjau dari segi aspek medikolegal penentuan identitas melalui penentuan jenis kelamin
dan tinggi badan seseorang memegang peranan yang sangat penting (Mall et al., 2001).
terpotongnya bagian bagian tubuh manusia menjadi bagian yang terpisah pisah memerlukan
teknik identifikasi yang memadai. Pengukuran panjang tulang anggota gerak bagian bawah
untuk memperkirakan tinggi badan merupakan teknik yang lazim digunakan (Koshy et al.,
Sampai saat ini masih belum dikenal teknik identifikasi yang sistematik terhadap potongan-
potongan tubuh manusia (Ozaslan et al., 2003). Dalam proses identifikasi semakin banyak
data yang dikumpulkan, maka akan semakin meyakinkan pula hasil identifikasi yang
Tinggi badan merupakan komponen yang vital dalam menentukan identitas seseorang.
Diperlukan metode yang sahih dalam menentukan tinggi badan seseorang berdasarkan
Latar belakang penelitian ini antara lain kejadian ditemukannya jenazah dalam
keadaan tidak utuh yang disebabkan oleh tindakan kriminal, kecelakaan lalu lintas maupun
yang disebabkan oleh hal yang belum jelas makin sering terjadi. Belum ada data resmi
bagian-bagian tubuh, dan jenazah yang tidak dikenal wajib dilakukan oleh dokter ahli
berdasarkan ras dan jenis kelamin belum memadai dalam mengidentifikasikan seseorang.
Teknik antropometrik telah lazim digunakan oleh ahli antropologi dan digunakan pula oleh
kalangan ilmuan di bidang kesehatan untuk menentukan identitas seseorang dalam sejak
bagian tubuh dan korban mutilasi merupakan tugas yang berat bagi seorang dokter forensik.
Kondisi tubuh yang terpisah-pisah dapat diidentifikasi dengan berbagai cara, salah satunya
dengan memperkirakan tinggi badan. Perkiraan tinggi badan ini selanjutnya dapat
dicocokkan dengan data-data lain yang mungkin dimiliki korban semasa hidupnya.
Diperlukan penelitian terhadap panjang tibia perkutaneus dan telapak kaki serta
hubungannya dengan tinggi badan seseorang. Peneliti mencoba mencari bentuk hubungan
pengukuran panjang tibia perkutaneus dengan pengukuran panjang telapak kaki pada ras
Mongoloid.
4
C. Pertanyaan Penelitian
Apakah pengukuran panjang tibia perkutaneus memiliki korelasi lebih kuat terhadap
D. Tujuan Penelitian
E. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang korelasi panjang telapak kaki dengan dengan tinggi badan
dilakukan oleh Sobardiati dan Glinka pada 99 orang mahasiswa Universitas Airlangga
Surabaya. Penelitian tentang korelasi antara panjang tibia perkutaneus dengan tinggi badan
dilakukan oleh Mohanty pada 1000 orang dalam populasi Oriya. Kedua penelitian ini
menggunakan analisis regresi untuk menentukan bentuk hubungan antara panjang telapak
kaki dengan tinggi badan dan panjang tibia perkutaneus dengan tinggi badan. Penelitian
tentang perbandingan tingkat korelasi dan ketepatannya dalam menentukan tinggi badan
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi kepentingan identifikasi korban mutilasi
TINJAUAN PUSTAKA
A. Identifikasi
suatu masalah dalam kasus pidana maupun perdata. Menentukan identitas personal dengan
tepat amat penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam
Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah yang tidak
dikenal, jenazah yang telah membusuk, rusak, hangus terbakar, dan pada kecelakaan masal,
bencana alam, atau huru hara yang mengakibatkan banyak korban mati serta potongan
tubuh manusia atau kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai
kasus lain seperti penculikan anak, bayi yang tertukar atau diragukan orang tuanya
meliputi pakaian, lokasi kejadian, ataupun kondisi patologis yang dijumpai, setiap dokter
pemeriksa maupun penyidik memerlukan identifikasi positif yaitu identifikasi yang dapat
Menentukan identitas atau jati diri atas seorang korban tindak pidana yang berakibat
fatal merupakan hal yang relatif sulit, namun menentukan identitas korban kejahatan relatif
lebih mudah dibandingkan dengan penentuan jati diri tersangka pelaku kejahatan. Dengan
diketahuinya jati diri korban, pihak penyidik dapat melakukan penyelidikan yang lebih
6
7
terarah, oleh karena secara kriminologis umumnya ada hubungan antara pelaku dan
korban.
penetuan sidik jari, metode penentuan sidik jari ini tidak lazim dilakukan oleh dokter,
dengan cermat keadaan korban, terutama wajah oleh pihak keluarga atau teman dekat
korban. Walaupun metode ini sederhana, untuk mendapat hasil yang diharapkan perlu
diketahui bahwa metode ini baru dapat dilakukan bila keadaan tubuh terutama wajah
korban masih dalam keadaan baik dan belum terjadi pembusukan yang lanjut. Selain itu
perlu diperhatikan faktor psikologis, emosi serta latar belakang pendidikan dari keluarga
tau teman dekat korban, karena faktor-faktor tersebut mempengaruhi hasil penyidikan.
Faktor yang juga mempengaruhi adalah sugesti, khususnya segesti dari pihak penyidik,
3) Pakaian, dilakukan pencatatan secara teliti atas pakaian, model, bahan, tulisan dan merek
dari pakaian. Dari data yang diperoleh dari pengamatan pakaian ini dapat diperoleh
informasi tentang siapa pemilik pakaian tersebut, 4) Perhiasan, dilakukan pengamatan dan
pencatatan terhadap semua perhiasan yang melekat pada tubuh korban, khususnya bila pada
perhiasan tersebut terdapat inisial nama seseorang. Mengingat kepentingan tersebut maka
penyimpanan dari perhiasan haruslah dilakukan dengan baik, 5) Dokumen, khususnya pada
kecelakaan masal, adanya dokumen seperti kartu tanda penduduk, surat izin mengemudi
paspor dan dokumen lainnya sangat membantu dalam proses identifikasi. Khususnya pada
kecelakaan masal, perlu diingat kebiasaan seseorang menaruh dompet atau tasnya. Pada
pria dompet biasanya diletakkan dalam saku baju atau celana, sedangkan pada wanita tas
8
biasanya dipegang, sehingga pada kecelakaan masal tas seseorang dapat terlempar dan
sampai pada orang lain yang bukan pemiliknya, jika tidak diperhatikan kekeliruan identitas
dapat terjadi, khususnya bila kondisi korban sudah rusak atau busuk, 6) Gigi, bentuk gigi
dan bentuk rahang merupakan ciri khusus dari seseorang, sehingga dapat dikatakan tidak
ada dua orang yang memiliki bentuk gigi dan rahang yang sama. Pemeriksaan gigi
memiliki nilai yang tinggi dalam hal penentuan identitas seseorang. Pemeriksaan gigi lebih
penting lagi bila keadaan korban sudah rusak, dimana dalam keadaan tersebut pemeriksaan
sidik jari sudah tidak dapat dilakukan. Keterbatasan dari metode pemeriksaan gigi adalah
belum meratanya sarana pemeriksaan gigi, sehingga pendataannya (dental record) juga
belum memadai. Dengan demikian pemeriksaan gigi sifatnya lebih selektif, 7) Serologi,
penentuan golongan darah yang diambil dari tubuh korban maupun tempat kejadian
perkara. Bila orang yang diperiksa kebetulan termasuk golongan sekretor (penentuan
golongan darah dapat dilakukan dari seluruh cairan tubuh), maka pemeriksaan ini selain
unutk menentukan jati diri seseorang dalam arti sempit juga bermanfaat didalam membantu
kasus penyidikan lainnya seperti pada kasus perkosaan, tabrak lari, serta pada kasus bayi
tertukar, 8) Eksklusi, metode ini umumnya hanya dipakai pada kasus dimana banyak
terdapat korban (kecelakaan masal), seperti tabrakan kereta api dan kecelakaan pesawat
terbang yang membawa banyak penumpang. Dari daftar penumpang dapat diketahui siapa
saja yang menjadi korban. Bila ada satu korban yang belum dikenali, maka dengan
pemeriksaan fisik secara keseluruhan meliputi bentuk tubuh, tinggi badan berat badan,
9
warna tirai mata, cacat tubuh, adanya tatto, adanya bekas operasi, dan ciri ciri fisik lainnya.
(Idries, 1997)
Jenazah dalam keadaan terpisah menjadi beberapa bagian seringkali menyulitkan kita
bagian bagian tubuh dan tulang merupakan kajian dalam antropologi forensik (Knight,
1996).
Antropologi forensik secara luas dapat didefinisikan sebagai aplikasi teori dan
seorang ahli antropologi forensik haruslah seorang spesialis di bidang antropologi fisik,
yaitu ilmu yang mempelajari fungsi biologis dan variasi tubuh manusia, terutama tulang
belulang manusia. Dalam dua dekade terakhir, para ahli dibidang antropologi forensik
dengan keahlian mereka dalam hal metodologi arkeologi memainkan peran yang sangat
penting dalam penemuan kembali dan identifikasi sisa-sisa jasad manusia (Sorg, 2005).
Kepentingan utama antropologi forensik dalam aspek medikolegal adalah dalam hal
investigasi cara kematian dan kecelakaan yang berkaitan dengan kasus kriminal. Dengan
kemampuannya seorang ahli antropologi forensik dapat mengetahui bentuk dan variasi dari
tulang manusia baik secara individu maupun dalam populasi tertentu, hal ini melengkapi
keahlian yang dimiliki oleh seorang ahli patologi forensik yang dalam bekerja bertumpu
dalam antropologi forensik yang memajukan bidang ini. Selain manfaat spesifik studi
10
tulang dalam antropologi forensik, manfaat umum studi tulang mencakup studi fosil untuk
mempelajari sejarah evolusi manusia. Manfaat studi tulang secara umum sebagai berikut:
1) Tulang mengandung bukti-bukti dalam studi fosil manusia, 2) Tulang mengandung arti
informasi mengenai penyakit di masa lalu dan memberi petunjuk sebab kematian, 5)
Identifikasi tulang membantu menyelesaikan kasus forensik (Bass,1987 cit Indriati 2004).
Setelah melakukan identifikasi ras, langkah kedua adalah menentukan jenis kelamin
individu karena laki-laki dan perempuan memiliki dimorfisme seksual. Setelah identifikasi
ras dilanjutkan dengan identifikasi umur dan diakhiri dengan identifikasi tinggi badan
(Indriati, 2004).
Tahun 1888, Rollet mempublikasikan data tentang panjang tulang dan hubungannya
dengan tinggi badan. Tulang yang digunakan antara lain humerus, radius, ulna, femur, tibia
dan fibula dari 50 jenazah laki-laki dan 50 jenazah perempuan. Pada tahun 1892
Manouvrier menilai ulang dan menggunakan data Rollet, tetapi dengan mengeliminir
subyek yang telah berusia 60 tahun ke atas dengan alasan pada usia tersebut terjadi
pengurangan tinggi badan kurang lebih 3 cm dari tinggi badan sesungguhnya (tabel 1).
Tahun 1899, Pearson menggunakan data Rollet untuk menentukan persamaan regresi
Tabel 1. Tabel Manouvrier’s hubungan panjang tulang dengan tinggi badan pada orang
orang kulit putih
1. Identifikasi ras
penampakan fisiknya atau fenotifnya bukan berdasarkan struktur genetisnya. Secara umum,
ras manusia digolongkan menjadi tiga: Mongoloid, Negrid dan Kaukasid. Orang Indonesia
termasuk ras Melanesid dan Austromelanesid. Perbedaan morfologis ras pada tulang dapat
dilihat pada kranium yang meliputi posisi tulang zygomaticus relatif terhadap wajah, lebar
apertura nasalis, bentuk orbita, lebar dan bentuk palatum, serta lurus atau berkeloknya
Pada umunya penentuan jenis kelamin pada orang hidup tidaklah sukar. Hanya dari
penampilan wajah, potongan tubuh, bentuk rambut, pakaian, serta ciri-ciri seks; kita sudah
dapat membedakan laiki-laki dengan perempuan. Pada kondisi keadaan tubuh korban
sudah rusak oleh karena pembusukan, atau karena proses yang disengaja oleh pelaku
misalnya dengan memotong-motong tubuh korban (mutilasi). Pada keadaan seperti ini,
proses identifikasi memerlukan kesabaran dan ketelitian yang khusus (Idries, 1997).
Tulang manusia dewasa menunjukkan dimorfisme seksual sehingga laki laki dapat
dibedakan dengan perempuan berdasarkan morfologinya. Perbedaan ini dapat diamati pada
tulang pelvis sehubungan dengan fungsi reproduksi pada perempuan. Selain itu morfologi
krania dan mandibula juga menunjukkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan
(Indriati, 2004). Selain pengamatan, identifikasi jenis kelamin dari kranium juga dapat
dilakukan dengan metode pengukuran, dengan tingkat akurasi 80-90%. Gilles dan Elliot
13
3. Identifikasi umur
Umur biologis manusia bisa ditentukan berdasarkan jumlah tulang yang muncul,
bersatunya epiphysis dengan diaphysis pada tulang panjang, derajat penutupan sutura,
maupun derajat kalsifikasi dan erupsi gigi. Hal ini karena proses pertumbuhan sesuai
Untuk usia dini sampai remaja, jadwal pembentukan dan erupsi gigi bisa digunakan
untuk mengetahui umur manusia, sedangkan penyatuan ephiphysis dengan diaphysis bisa
untuk indikasi usia remaja sampai dewasa muda. Selain penyatuan ephiphysis, penyatuan
sutura pada krania juga terjadi sesuai dengan bertambahnya usia biologis manusia.
umur dibagi menjadi tiga fase, yaitu: bayi yang baru dilahirkan, anak-anak dan dewasa
sampai umur 30 tahun dan dewasa diatas umur 30 tahun (Idries, 1997).
yang dibayangkan banyak orang. Pertama, tinggi badan tidak memiliki ciri tetap, tinggi
badan orang dewasa senantiasa berubah dalam sehari karena tinggi badan cenderung
berkurang pada malam hari, dan ini terus berlangsung sepanjang hidup. Jadi keakuratan
hasil pengukuran tinggi badan seseorang terbatas pada range (jangkauan) tertentu. Kedua,
14
seringkali pengukuran tinggi badan dilakukan dengan tidak benar, sehingga menyebabkan
munculnya kesimpulan yang salah tentang tinggi badan seseorang. Pada kasus orang hilang
perkiraan tinggi badan bersifat kasar. Hal yang menarik adalah penelitian menunujukkan
bahwa laki-laki Amerika cenderung melebihkan ukuran tinggi badan mereka pada saat
pembuatan surat izin mengemudi sebanyak 1 sampai 2 inchi. Jadi terdapat kemungkiran
yang besar terjadi kesalahan perkiraan tinggi badan bila hanya berdasarkan catatan tinggi
Pada tahun 1888, Rollet mempublikasikan tabel resmi pertama yang memuat panjang
tulang humerus, radius, ulna, tibia dan fibula dari 50 jenazah laki-laki dan 50 jenazah
wanita Perancis. Tulang diukur pertama kali dalam keadaan segar dan diukur kembali 10
bulan kemudian dalam keadaan kering, dalam periode ini semua tulang yang diteliti
yang diukur dan mengurangi 2 mm dari tinggi badan yang diperoleh (Krogman, 1962).
Hubungan panjang anggota gerak dengan tinggi badan dipengaruhi salah satunya oleh
Ras. Pola hubungan setidaknya berbeda pada tiga ras besar (Kaukasoid, Negroid dan
Mongoloid). Untuk mendapatkan perkiraan tinggi badan yang memiliki tingkat akurasi
yang tinggi, persamaan regresi yang digunakan untuk masing-masing ras berbeda-beda.
Tabel 2. Rumus regresi untuk perkiraan tinggi badan pada pria Amerika, Negro, Mongo-
loid dan Meksiko
Yogyakarta pada tahun 1990 diketahui tinggi badan rata-rata orang Indonesia suku Jawa
laki-laki adalah 165,4 cm dan perempuan 153,7 cm. Tinggi badan laki-laki dan perempuan
Jawa di Indonesia memiliki perbedaan tinggi badan sebesar 7,39%, menunjukkan tingkat
anatomi yang cukup dan terlatih. Tinggi badan merupakan salah satu data umum yang perlu
ditentukan pada kasus-kasus dengan tubuh yang tidak lengkap lagi (Yudianto & Algozi,
2006).
16
Penentuan tinggi badan menjadi penting artinya pada keadaan dimana yang harus
diperiksa adalah tubuh yang telah terpotong-potong atau yang didapatkan rangka, atau
sebagian tulang saja. Pada umumnya perkiraan tinggi badan dapat dipermudah dengan
pengertian bahwa tubuh manusia yang diperiksa itu pendek, sedang atau tinggi (Idries,
1997).
Sisa jasad manusia seringkali ditemukan tidak utuh. Dalam kasus seperti ini seorang
ahli antropologi forensik memerlukan estimasi (perkiraan) tinggi badan berdasarkan tulang
panjang yang ditemukan, atau dengan metode kombinasi beberapa tulang. Perkiraan tinggi
badan ini dapat diperoleh dengan menggunakan rumus regresi. Keakuratan dari sebuah
rumus regresi dalam menetukan tinggi badan seseorang dipengaruhi oleh pola dan
hubungan yang proporsional antara berbagai ukuran bagian tubuh, yang dikenal dengan
konsep allometri. Hubungan allometri antar tulang bersifat sistematis namun tidak eksak.
Pola hubungan ini berbeda antara satu populasi dengan populasi lainnya dan antara satu
individu dengan individu lainnya. Antara individu dan populasi bisa terdapat hubungan
yang sesuai namun juga bisa tidak terdapat hubungan. yang sesuai. Rumus regresi untuk
tinggi badan biasanya menunjukkan pola yang cenderung menetap dalam polulasi yang
Secara sederhana perkiraan tinggi badan dapat diketahui dari pengukuran tulang-
tulang panjang, yaitu: tulang paha (femur) menunjukkan 27% dari tinggi badan, tulang
kering (tibia) menunjukkan 22% dari tinggi badan, tulang lengan atas (humerus), 35% dari
tinggi badan, dan tulang belakan 35% dari tinggi badan (Topmaid & Rollet, 1923 cit Idries,
1997)
17
Pada prinsipnya, panjang tulang kaki dan tangan kita berbanding secara proporsional
dengan tinggi badan kita. Sehingga penentuan tinggi badan dapat dilakukan menggunakan
rumus regresi, rumus regresi merupakan hasil dari analisis regresi (Indriati, 2004). Dalam
kasus mutilasi tinggi badan dapat ditentukan secara tidak langsung berdasarkan panjang
tulang anggota gerak atas dan anggota gerak bagian bawah (Mohanty, 1998).
Tinggi badan dapat ditentukan dengan metode pengukuran panjang atau lingkar
tulang maupun panjang anggota tubuh. Metode pengukuran tulang panjang memiliki
akurasi yang lebih tinggi dibandingkan metode pengukuran tulang pendek dalam
memperkirakan tinggi badan seseorang. Metode pengukuran anggota gerak bagian bawah
memiliki ketepatan yang lebih tinggi dari metode pengukuran anggota gerak bagian atas .
Hugg dan kawan-kawan pada tahun 2001 melakukan penelitian perkiraan tinggi
badan berdasarkan panjang eksrimitas atas pada 143 individu dewasa terdiri dari 64 laki-
laki dan 79 wanita. Ditemukan perbedaan bermakna dari tinggi badan laki-laki dan wanita
radius memiliki tingkat ketepatan 94,93%, panjang humerus 93,15% dan panjang ulna
korelasi ekstrimitas bawah dengan tinggi badan. Penelitian ini dilakukan terhadap sejumlah
orang dewasa, yang meliputi panjang paha, panjang tungkai, panjang dan lebar telapak
Pada tahun 1951, Steward telah mempublikasikan garis regresi yang menggambarkan
hubungan antara panjang tibia dan femur dengan tinggi badan (Krogman, 1962). Dapat
Perkiraan tinggi badan dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran panjang tibia
perkutaneus (pengukuran panjang tibia yang dilakukan dari permukaan kulit). Pada
19
populasi Oriya ditemukan korelasi antara panjang tibia perkutaneus dengan tinggi badan.
Dengan rumus regresi sebagai berikut: 1)Tinggi badan laki-laki = 22,8325 + 3,7500 x
PCTL 2,87., 2) Tinggi badan wanita = 27,3032 + 3,5587 x PCTL 3,44. Ketepatan
penentuan tinggi badan dengan menggunakan rumus ini bervariasi sesuai dengan pola
Melalui suatu penelitian, Djaya Surya Atmaja menemukan rumus untuk populasi
dewasa muda di Indonesia, yaitu: 1) Tinggi badan pria = 75,9800 + 2,3922 (tibia)
( 4,3572 cm)., 2) Tinggi badan wanita = 77,4717 + 2,1889 (tibia) ( 4,9526 cm).
Panjang tulang yang digunakan adalah panjang tulang yang diukur dari luar tubuh, berikut
Hasil analisis statistik antara panjang dan lebar telapak kaki dengan tinggi dan berat
badan pada 99 orang mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya pada tahun 1991,
menunjukkan adanya hubungan antara panjang telapak kaki dengan tinggi badan, dan lebar
telapak kaki dengan berat badan. Untuk mengestimasi tinggi dan berat badan yang analisis
statistik yan paling cocok adalah persamaan regresi kuadratis untuk dua persamaan. Rumus
untuk tinggi badan adalah: Y = 392,092-22,396x + 0,5382x2 (Sobardiati & Glinka, 2004).
dilihat dari nilai r yang diperoleh dari perhitungan statistik, yaitu nilai 0,00-0,199 sangat
lemah, nilai 0,20-0,399 lemah, nilai 0,40-0,599 sedang, nilai 0,60-0,799 kuat dan nilai 0,80-
C. Kerangka Konsep
Pada dasarnya panjang anggota gerak berbanding secara proporsional dengan tinggi
badan. Dengan melakukan analisis regresi dapat ditentukan bentuk persamaan (rumus
regresi) untuk memperkirakan tinggi badan dari pengukuran panjang telapak kaki dan
panjang tibia perkutaneus. Akurasi dari kedua cara pengukuran dapat ditentukan dengan
Ras
Jenis Kelamin
Umur
Alat ukur
Posisi Pengukuran
Tinggi Badan
D. Hipotesis Penelitian
Pengukuran panjang tibia perkutaneus memiliki korelasi yang lebih kuat terhadap
A. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cross sectional analitik. Desain
Cross sectional analitik dipilih karena setiap subyek (jenazah) hanya akan diukur satu kali.
Desain ini sederhana, mudah dan tepat bila diterapkan untuk menjawab pertanyaan
penelitian dan tidak memerlukan sumber dana yang terlalu besar. Dengan desain ini
variabel yang mempengaruhi proses penelitian mudah dikendalikan dan tidak akan terjadi
Yogyakakarta, dimulai bulan Januari sampai bulan Desember 2006, sampai jumlah sampel
terpenuhi.
Populasi dalam penelitian ini adalah sejumlah jenazah Ras Mongoloid yang ditangani
Penentuan besar sampel dihitung berdasarkan rumus besar sampel untuk dua
2
(Z + Z) x Sd
N= d
22
23
Tingkat kemaknaan yang diharapkan dalam penelitian ini () untuk uji 2 arah adalah 0,05
dan power () dalam penelitian ini adalah 80%, maka berdasarkan tabel diketahui Z dan Z
dalam penelitian ini masing-masing sebesar 1,960 dan 0,842. Berdasarkan kepustakaan
diperkirakan simpang baku selisih rerata (Sd) adalah 4 cm dan selisih pengukuran kedua
cara yang bermakna adalah 2,5 cm. Setelah dilakukan perhitungan didapatkan jumlah
1. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi meliputi jenazah manusia Ras Mongoloid, laki-laki dan perempuan,
usia 25 sampai 55 tahun, tidak memiliki cacat fisik yang dapat mempengaruhi proses
pengukuran tinggi badan, panjang telapak kaki dan panjang tibia perkutaneus, ditangani
di Instalasi Forensik RS Dr. Sardjito Yogyakarta dari Januari sampai dengan Desember
2. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi meliputi jenazah yang memiliki cacat fisik bawaan maupun didapat,
seperti amputasi, luka bakar yang menyebabkan kontraktur, skoliosis, dan jenazah yang
Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel bebas, variabel tergantung. Variabel
bebas dalam penelitian ini anatara lain: 1) pengukuran panjang tibia perkutaneus,
pembusukan 7) cacat fisik, 8) posisi tubuh jenazah, 9) alat ukur, 10) pengukur
G. Definisi operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini antara lain: 1) Tinggi badan jenazah adalah
panjang badan yang diukur dari ujung tumit sampai puncak kepala dalam keadaan
berbaring telentang, tulang belakang dan sendi lutut dalam keadaan lurus, 2) Pengukuran
panjang tibia perkutaneus adalah pengukuran panjang tibia yang dilakukan dari permukaan
kulit, diukur dari Condylus medialis sampai Maleolus medialis, 3) Pengukuran panjang
telapak kaki adalah pengukuran panjang telapak kaki diukur dari ujung jari terluar sampai
ujung tumit, 4) Perkiraan tinggi badan adalah tinggi badan yang diperoleh dari hasil
pengukuran panjang tibia perkutaneus dan panjang telapak kaki yang telah dimasukkan
dalam persamaan regresi yang digunakan dalan kedua metode tersebut, 5) Umur adalah
umur jezazah saat meninggal, diketahui dari catatan medis yang tersedia di kamar jenazah
atau hasil dari alloanamnesa, 6) Ras dalam penelitian ini adalah ras Mongoloid, diketahui
dari hasil alloanamnesa tentang suku dari jenazah, 7) Proses pembusukan adalah proses
perkutaneus dan panjang telapak kaki, 8) Cacat fisik adalah semua jenis cacat fisik yang
dapat mempengaruhi hasil pengukuran misalnya patah tulang, luka bakar yang
25
menyebabkan kontraktur, orang cebol dll., 9) Posisi tubuh jenazah adalah posisi jenazah
diatas meja otopsi, posisi ini harus memungkinkan untuk dilakukan pengukuran tinggi
badan, panjang tibia perkutaneus dan panjang telapak kaki, 10) Alat ukur adalah alat yang
digunakan untuk mengukur dalam skala milimeter, hanya digunakan satu alat ukur untuk
seluruh jenazah, 11) Pengukur adalah orang yang melakukan pengukuran, 12) Jenis
Kelamin adalah laki-laki dan perempuan, 13) Rumus Regresi adalah adalah rumus yang
H. Cara Penelitian
Pengukuran panjang tibia perkutaneus, panjang telapak kaki, dan tinggi badan
sebenarnya dilakukan pada setiap jenazah (sampel) yang ditangani di Instalasi Kedokteran
Forensik RS Dr. Sardjito Yogyakarta Januari sampai dengan Desember 2006. Masing
Hasil pengukuran kemudian dianalisis dengan analisis regresi dan dari hasil analisis
tersebut akan diketahui bentuk persamaan untuk memperkiraan tinggi badan jenazah. Dari
hasil analisis regresi tersebut dapat diketahui juga tingkat korelasi dari masing-masing
metode pengukuran. Kemudian dilakukan penilaian dan penentuan cara yang memiliki
Jenazah
Pengukuran
Tinggi badan
Panjang telapak kaki
Panjang tibia perkutaneus
Analisis regresi
Perbandingan korelasi
Dilakukan analisis regresi terhadap data tinggi badan, panjang tibia perkutaneus dan
telapak kaki, sehingga didapatkan bentuk persamaan regresi hubungan tinggi badan dengan
panjang tibia perkutaneus dan hubungan tinggi badan dengan panjang telapak kaki.
membuktikan hipotesis bahwa panjang tibia perkutaneus memiliki korelasi yang lebih kuat
J. Penyimpangan Protokol
Dalam upaya mencapai hasil penelitian yang valid protokol (cara) penelitian harus
ditaati sebaik mungkin. Penyimpangan dapat terjadi bila terdapat bias dalam penelitian.
Upaya yang dilakukan untuk menghindari bias, antara lain: 1) Umur, ditetapkan usia 25
sampai dengan 55 tahun, berdasarkan studi terdahulu yang digunakan adalah usia dengan
rentang tersebut, 2) Ras, ditetapkan ras Mongoloid, variasi bentuk fisik yang
dengan menentukan subjek penelitian berupa jenazah yang belum membusuk, pembusukan
dapat mengacaukan hasil penelitian, 4) Cacat fisik, cacat fisik yang berhubungan dengan
yang tidak memiliki cacat fisik, seperti kaki yang terpotong, bentuk tulang belakang yang
tidak normal, terdapat luka bakar yang menyebabkan kontraktur dll., 5) Posisi pengukuran,
seluruh jenazah diukur dalam posisi yang sama yaitu berbaring dengan muka menghadap
ke atas, 6) Alat ukur, digunakan alat ukur yang sama untuk semua subjek yang diteliti,
BAB IV
A. Subyek Penelitian
Dr. Sardjito Yogyakarta dari 1 Januari 2006 sampai 16 Desember 2006. Pada periode
penelitian ini, sisanya 142 jenazah memenuhi kriteria eksklusi antara lain adanya cacat fisik
bawaan dan didapat, mengalami pembusukan lanjut dan luka bakar, yang menyebabkan
tidak dapat dilakukan pengukuran tinggi badan, panjang tibia perkutaneus maupun panjang
telapak kaki.
Jenazah yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi,
pengukuran panjang badan, panjang tibia perkutaneus kanan dan kiri serta panjang telapak
B. Karakteristik Subyek
Subyek penelitian terdiri dari 36 jenazah laki-laki dan 28 jenazah perempuan. Kedua
Umur termuda subyek penelitian ini adalah 25 tahun, sedangkan umur tertua 55 tahun.
Umur rata-rata 37,8 tahun (SD 9,12). Umur dibagi menjadi 6 katagori, frekuensi umur
28
29
Dalam penelitian ini umur subyek penelitian terdistribusi dengan sebaran yang tidak
normal, berdasarkan uji normalitas dengan metode Shapiro-Wilk diperoleh nilai p sebesar
0,02. Karena nilai p kurang dari 0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa umur tidak
terdistribusi secara normal. Namun keadaan ini tidak menjadi permasalahan, karena telah
memenuhi kriteria inklusi penelitian ini yaitu rentang usia antara 25 sampai 55 tahun.
Tinggi badan rata-rata subyek penelitian 160,365 cm dengan standar deviasi 7,722
cm. Panjang tibia kanan rata-rata 34,908 cm dengan standar deviasi 2,218 cm dan panjang
tibia kiri rata-rata 34,978 dengan standar deviasi 2,215 cm, tidak terdapat perbedaan
bermakna antara hasil pengukuran tibia perkutaneus kanan dan kiri. Panjang telapak kaki
kanan rata-rata 22,944 dengan standar deviasi 1,465 cm dan panjang telapak kaki kiri rata-
rata 22,939 dengan standar deviasi 1,468, tidak terdapat perbedaan bermakna antara hasil
Tabel 4. Hasil pengukuran tinggi badan, tibia perkutaneus dan telapak kaki
Seluruh data hasil pengukuran dalam penelitian ini tersebar secara normal. Hal ini
diketahui dari nilai probabilitas dari masing masing kelompok pengukuran yaitu jauh diatas
Analisis Regresi merupakan uji parametrik, dalam uji ini terdapat tiga syarat yang
harus diperhatikan yaitu skala pengukuran variabel harus numerik, sebaran data harus
normal dan adanya kesamaan varians. Khusus untuk uji kelompok yang berpasangan
kesamaan varians tidak menjadi syarat. Pada penelitian ini syarat-syarat tersebut terpenuhi,
Tabel 5. Tingkat korelasi tinggi badan dengan panjang tibia dan telapak kaki
F hitung Tingkat
Pengukuran Tinggi badan signifikansi
Besar hubungan antara varibel tinggi badan dengan panjang tibia perkutaneus yang
dihitung berdasarkan koefisien korelasi adalah 0, 756 untuk tibia kanan dan 0,726 untuk
tibia kiri. Hal ini menunjukkan hubungan yang erat (mendekati 1) antara panjang tibia
perkutaneus dengan tinggi badan. Arah hubungan yang positif (tidak ada tanda negatif pada
angka 0,756 dan angka 0,726) menunjukkan semakin panjang tibia semakin tinggi tubuh
Tingkat signifikansi koefisien korelasi satu sisi (diukur dari probabilitas) menghasilkan
angka 0,001 atau praktis 0. Oleh karena probabilitas jauh di bawah 0,05, maka dapat
disimpulkan bahwa korelasi panjang tibia perkutaneus dengan tinggi badan sangat nyata
(tabel 5).
Dari uji Anova, didapat F hitung sebesar 82,815 untuk tibia kanan dan 68,906 untuk
tibia kiri, dengan signifikansi 0,001. Oleh karena probabilitas (nilai p) adalah 0,001 jauh
lebih kecil dari 0,05, berarti terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang
diuji, maka persamaan regresi dapat dipergunakan untuk memprediksi tinggi badan
(tabel 6).
32
Standar residual (selisih prediksi tinggi badan dengan tinggi badan sebenarnya yang
telah distandarisasi) untuk pengukuran panjang tibia perkutaneus berada disekitar garis
lurus, dapat dikatakan persyaratan normalitas terpenuhi. Sebaran data membentuk arah yang
disyaratkan (dari kiri bawah ke kanan atas), maka persamaan regresi memenuhi syarat
1,0
,8
,5
Prediksi tinggi badan
,3
0,0
0,0 ,3 ,5 ,8 1,0
Gambar 4. Hubungan prediksi tinggi badan berdasarkan panjang tibia perkutaneus kanan
dengan tinggi badan sebenarnya
33
1,0
,8
Prediksi tinggi badan
,5
,3
0,0
0,0 ,3 ,5 ,8 1,0
Gambar 5. Hubungan prediksi tinggi badan berdasarkan panjang tibia perkutaneus kiri
dengan tinggi badan sebenarnya
kanan adalah: Y = 68,499 + 2,632X, dimana Y adalah tinggi badan dan X adalah panjang
tibia perkutaneus. Koefisien regresi sebesar 2,632 menyatakan bahwa setiap peningkatan
Persamaan regresi untuk tibia kiri adalah: Y = 71,921 + 2,529X, dimana Y adalah
tinggi badan dan X adalah panjang tibia perkutaneus. Koefisien regresi sebesar 2,529
Arah korelasi positif (tanda +) pada kedua bentuk persamaan regresi diatas
menyatakan semakin besar nilai satu variabel semakin besar pula nilai variabel lainnya.
Besar hubungan antara varibel tinggi badan dengan panjang telapak kaki yang
dihitung berdasarkan koefisien korelasi adalah 0,717 untuk telapak kaki kanan dan 0,714
untuk tibia kiri. Hal ini menunjukkan hubungan yang erat (mendekati 1) antara panjang
telapak kaki dengan tinggi badan. Arah hubungan yang positif (tidak ada tanda negatif pada
angka 0,717 dan angka 0,714) menunjukkan semakin panjang telapak kaki semakin tinggi
Tingkat signifikansi koefisien korelasi satu sisi (diukur dari probabilitas) menghasilkan
angka 0,001 atau praktis 0. Oleh karena probabilitas jauh di bawah 0,05, maka dapat
disimpulkan korelasi panjang telapak kaki dengan tinggi badan sangat nyata (tabel 5).
Dari uji Anova, didapat F hitung sebesar 65,744 untuk telapak kaki kanan dan 64,469
untuk telapak kaki kiri, dengan signifikansi 0,001. Oleh karena probabilitas (nilai p) adalah
0,001 jauh lebih kecil dari 0,05, maka persamaan regresi dapat dipergunakan untuk
Standar residual (selisih prediksi tinggi badan dengan tinggi badan sebenarnya) untuk
pengukuran telapak kaki berada disekitar garis lurus, dapat dikatakan persyaratan
normalitas terpenuhi. Sebaran data membentuk arah yang disyaratkan (dari kiri bawah ke
kanan atas), maka persamaan regresi memenuhi syarat digunakan untuk memprediksi tinggi
1,0
,8
Prediksi tinggi badan
,5
,3
0,0
0,0 ,3 ,5 ,8 1,0
Gambar 6. Hubungan prediksi tinggi badan berdasarkan panjang telapak kaki kanan
dengan tinggi badan sebenarnya
1,0
,8
badan
,5
badan
tinggi
Prediksi tinggi
,3
Prediksi
0,0
0,0 ,3 ,5 ,8 1,0
Tinggi
Tinggi badan
badan sebenarnya
sebenarnya
Gambar 7. Hubungan prediksi tinggi badan berdasarkan panjang telapak kaki kiri
dengan tinggi badan sebenarnya
36
kaki kanan adalah: Y = 73,613 + 3,781X, dimana Y adalah tinggi badan dan X adalah
panjang telapak kaki. Koefisien regresi sebesar 3,781 menyatakan bahwa setiap
3,781%.
Persamaan regresi untuk telapak kaki kiri adalah: Y = 74,214 + 3,756X, dimana Y
adalah tinggi badan dan X adalah panjang telapak kaki. Koefisien regresi sebesar 3,756
menyatakan bahwa setiap peningkatan 1% panjang telapak kaki akan meningkatkan tinggi
Arah korelasi positif (tanda +) pada kedua bentuk persamaan regresi diatas
menyatakan semakin besar nilai satu variabel semakin besar pula nilai variabel lainnya.
memiliki tingkat korelasi yang lebih kuat terhadap tinggi badan dibandingkan dengan
panjang telapak kaki. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa tulang panjang
memiliki korelasi yang lebih tinggi dengan tinggi badan seseorang dibandingkan dengan
tulang pendek.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pengukuran tibia perkutaneus kanan dan
telapak kaki kanan memiliki korelasi yang lebih kuat terhadap tinggi badan dibandingkan
pengukuran tibia perkutaneus kiri dan telapak kaki kiri. Hal ini mungkin disebabkan oleh
tingkat akurasi pengukuran yang dilakukan oleh operator lebih baik pada pengukuran di
A. Kesimpulan
Pengukuran panjang tibia perkutaneus memiliki korelasi lebih kuat terhadap tinggi
B. Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut pada tempat dan populasi berbeda untuk
antara pengukuran panjang tibia perkutaneus dan telapak kaki pada jenazah dan orang
hidup.
37
DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, S., Sudiono, S., & Hertian, S. 1991. Hubungan tinggi badan dengan tinggi bahu
orang Indonesia Majalah Kedokteran Indonesia 12: 699-703
Budiyanto, A., Widiatmaka W., Sudiono S., Winardi T., Mun’im A., Sidhi, et al. 1997.
Identifikasi Forensik. Ilmu Kedokteran Forensik. Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 197-202
Dahlan, M.S. 2001. Hipotesis korelatif. Statistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan.
PT Arkans, 161
Idries, A.M. 1997. Identifikasi. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Bina Rupa
Aksara, 32-52
Indriati, E. 2004. Penentuan tinggi badan. Antropologi Forensik. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 78-80
Knight, B. 1996. The establishment of identity of human remains.
Forensic Pathology. 96-131
Kosebardiati & Glinka, J. 2002. Estimasi tinggi dan berat badan berdasarkan ukuran
kaki: Analisis regresi. Bunga Rampai Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Diterbitkan dalam rangka Konas III PDFI, Semarang. 108
Koshy, S. Vettivel, K.G. & Selvaraj. 2002. Estimation of length of calcanaeum and
talus from their bony markers. Forensic Sciene International 129: 200-204
Krogman. 1962. The calculation of stature from long bones. The Human Skeleton in
Forensic Medicine. 153-177
Mall, G. Hubig, M. Buttner, A. Kuznik, J. Penning & R. Graw, M. (2001) Sex determina-
tion and estimation of stature from the long born of arm. National Library of Medi-
cine 117:23-30
Mohanty, M. K. 1998. Prediction of height from percutaneous tibial length amongst
Oriya population. Forensic Science International 100:137-141
Ozaslan, A. Yasar, A.Ozaslan, H. Turcu & Sermet Koc. 2003. Estimation of stature
from body parts. Forensic Sciene International 132: 42-45
Patriquin, M. L. Loth, S. R. & Syeyn, M. 2002. Metric assessment of race from pelvis
in South Africans. Forensic Sciene International 127: 102-107
Santoso S. 2004. Regresi sederhana. Mengatasi Berbagai Masalah Statistik dengan
SPSS versi 11.5, 334-349
Sorg, M. H. 2005. Forensic anthropology. Forensic science an introduction to scientific
and investigative technique, 99-118
Yudianto, A & Algozi, A.M. 2006. Penentuan tinggi badan berdasarkan panjang tulang
dada (os sternum) pada orang dewasa. Kumpulan naskah pertemuan ilmiah tahunan
Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia. Diterbitkan dalam rangka Musyawarah
Kerja Tahunan dan Pertemuan Ilmiah Tahunan PDFI, Yogyakarta
38