Anda di halaman 1dari 78

BAB 9

Psikosis dan skizofrenia

Dimensi gejala pada skizofrenia


Deskripsi klinis skizofrenia
Skizofrenia lebih dari psikosis
Melewati gejala positif dan negatif skizofrenia
Gejala skizofrenia yang seharusnya tidak khas pada skizofrenia
Sirkuit otak dan dimensi gejala skizofrenia

Neurotranmiter dan sirkuit pada skizofrenia


Dopamnie
Dopaminergic: neuron
Jalur kunci dopamine pada otak
Hipotesis dopamin terintegrasi pada skizofrenia
Glutamat
Sintesis glutamat
Sintesis glutamat kontransitor glisin dan d-serine
Reseptor glutamat
Jalur kunci glutamat pada otak dan hipofungsi reseptor NMDA hipotesis skizofrenia

Hipotesis neurodegeneratif skizofrenia


Eksitotoksisitas dan sistem gglutamat pada gangguan neurodegeneratif seperti skizofrenia

Hipotesis neurodevelopmental dan genetik skizofrenia


Apakah skizofrenia didapat atau diwariskan?
Gen yang terkait, sinaptogenesis dan reseptor NMDA
Diskonetifitas
Sinaptogenesis abnormal
Reseptor NMDA, reseptor AMPA dan sinaptogenesis
Konvergensi kerentanan gen pada skizofrenia melalui sinaps glutamat
Garis bawah

Neuromaging sirkuit pada skizofrenia


Ringkasan

P
sikosis merupakan sebuah istilah yang sulit dijelaskan dan seringkali disalah artikan, tidak
hanya di surat kabar, film, dan di televisi, namun sayangnya terjadi juga di antara profesional
kesehatan jiwa. Stigma dan rasa takut mengelilingi konsep psikosis, dan rata-rata masyarakat
takut akan mitos sakit-jiwa, termasuk pembunuh gila, kemarahan orang gila, dan
penyamaan psikosis dengan istilah yang merndahkan gila.
Mungkin tidak ada kesalahan konsep yang lebih buruk dari kelainan psikosis pada ilmu pskiatri.
Pembaca dapat membangun dan menjadi ahli pada fakta mengenai diagnosis dan terapi kelaianan psikosis
untuk menghalau kepercayaan yang salah dan membantu destigmasi grup penyakit yang berbahaya ini.
Bab ini tidak bertujuan untuk menjabarkan kriteria diagnostik untuk semua gangguan mental yang
berkaitan dengan psikosis. Pembaca diarahkan pada sumber referensi standar (DSM-IV dan ICD 10)
untuk informasi tersebut. Walaupun skizofrenia di utamakan pada bab ini, kita akan mendekati psikosis
sebagai sindrom terkait berbagai kelaianan yang menjadi target untuk terapi obat antipsikosis.

Dimensi gejala pada skizofrenia


Deskripsi klinis psikosis
Psikosis merupakan sindrom sekumpulan gejala- yang berhubungan dengan banyak kelainan pskiatri
yang berbeda, bukan merupakan gangguan spesifik tersendiri pada skema diagnosis DSM-IV atau ICD
10. Arti psikosis yang paling minimum adalah delusi dan halusinasi. Secara umum juga termasuk gejala
seperti bicara kacau, perilaku yang kacau, dan distorsi mencolok pada tes realitas.

Lebih lanjut, psikosis dapat dianggap sebagai kumpulan sindrom gangguan kapasitas mental, respon
afektif, kapasitas memahami realitas, komunikasi, dan hubungan dengan orang lain. Gangguan psikotik
memiliki gejala seperti yang telah ditetapkan : gangguan lain selain gejala psikotik dapat muncul namun
bukan penentu diagnosis.

Gangguan-gangguan yang memerlukan psikosis sebagai manifestasi pasti diagnosis ialah


skizofrenia, induksi-zat (mis. Induksi-obat), gangguan psikotik, gangguan skizofreniform, gangguan
skizoafektif, gangguan delusi, gangguan psikotik singkat, gangguan psikotik bersama, dan gangguan
psikotik karena kondisi medis umum (Tabel 9-1). Gangguan yang dapat atau tidak dapat memiliki
gejala sebagai manifestasi terkait ialah mania dan depresi ataupun beberapa gangguan kognitif seperti
demensia Alzheimer (Tabel 9-2).

Psikosis itu sendiri dapat berupa paranoid, kekacauan/kehebohan, atau depresi. Distorsi persepsi dan
kekacauan motorik dapat berkaitan dengan berbagai tipe psikosis. Distorsi persepsi termasuk tertekan
oleh halusinasi suara; mendengar suara yang menguasai, memaki, atau mengancam; melihat penampakan,
mengheluhkan halusinasi sentuhan, rasa, atau bau, atau hal yang familiar terlihat berubah. Gangguan
motorik yang aneh, postur kaku, tampak marah, seringai yang tidak tepat atau terkekeh, gestur aneh
berulang, berbicara, bergumam, bicara sendiri, atau menatap sekeliling seakan mendengar suara.

TABEL 9-1 Gangguan yang memiliki psikosis sebagai salah satu manifestasinya

Skizofrenia
Gangguan psikotik diinduksi zat (mis diinduksi-obat)
Gangguan skizofreniform
Gangguan skizoafektif
Gangguan delusi
Gangguan psikotik singkat
Gangguan psikotik terbagi
Gangguan psikotik karena keadaan medis umum
TABEL 9-2 Gangguan yang memiliki psikosis sebagai manifestasi yang terkait

Mania
Depresi
Gangguan kognitif
Demensia Alzheimer

Pada psikosis paranoid, pasien memiliki proyeksi paranoid, sikap bermusuhan, dan perasaan
berkuasa. Proyeksi paranoid termasuk preokupasi delusi kepercayaan, berpikir orang-orang sedang
membicarakannya; berpikir sedang disiksa atau sedang berkonspirasi melawan; dan percaya bahwa ada
orang lain atau kekeuatan lain yang mempengaruhi perilakunya. Sikap bermusuhan adalah ekspresi
vebal akan perasaan bermusuhan; sikap merendahkan, manifestasi permusuhan, sikap cemberut,
iritabilitas dan menggerutu; cenderung menyalahkan orang lain atas suatu permasalahan; menunjukkan
perasaan dendam; mengeluh dan mencari kesalahan; seperti menunjukkan ciri orang yang curiga.
Perasaan berkuasa ditunjukkan dengan sikap superior, mendengar suara yang memuji dan
mengagungkan; dan percaya memiliki kekuatan super, menjadi kepribadian orang terkenal, atau memiliki
misi ketuhanan.

Pada psikosis kacau/gembira, terdapat konsep kekacauan, disorientasi, dan kesenangan. Kekacauan
konsep dapat ditunjukkan dengan memberikan jawaban yang tidak relevan atau inkoheren, keluar dari
subjek, mengunakan neologisme, atau mengulang kata atau kalimat tertentu. Disorientasi adalah tidak
mengetahui sedang berada di mana, musim apa, tahun pada kalender, atau umur sendiri. Kesenangan
ditunjukan dengan perasaan yang tidak bisa ditahan, berbicatra tergesa-gesa, menunjukkan lonjakan
mood, sikap superior, mendramatisir diri atau salah satu gejala, berbicara keras dan berisik, overaktif
tanppa istirah, dan berbicara berlebihan.

Psikosis depresif ditunjukkan dengan retardasi, apatis, kecemasan menghukum dan menyalahkan diri
sendiri. Retardasi dan apatis ditunjukkan dengan bicara pelan, mengabaikan masa depan, ekspresi muka
bercampur, perlambatan gerakan, defisiensi ingatan yang baru terjadi, hambatan berbicara, apatis terhadap
masalah sendiri atau orang lain, penampilan tidak terawat, berbicara pelan atau berbisik, dan gagal dalam
menjawab pertanyaan. Kecemasan menghukum dan menyalahkan diri sendiri merupakan
kecenderungan menyalahkan atau menghukum diri sendiri; cemas akan masalah spesifik, khawatir akan
masa depan yang tidak pasti; sikap tidak menghargai diri sendiri; ditunjukkan dengan mood depresi;
menunjukan perasaan bersalah dan penyesalan yang dalam; preokupasi akan pikirna bunuh diri, ide tidak
diinginkan, rasa takut spesifik; dan perasaan tidak berguna atau berdosa.

Diskusi kelompok gejala psikotik bukan merupakan kriteria diagnostik untuk gangguan psikotik. Ini
diberikan semata-mata hanya sebagai deskripsi beberapa tipe gejala psikosis yang diberikan kepada
pembaca sebagai overview sifat perilaku gangguan perilaku yang terkait dengan berbagai penyakit
psikotik.

Skizofrenia lebih dari skedar psikosis


Walaupun skizofrenia adalah penyakit psikotik yang paling umum dan paling diketahui, namun
skizofrenia bukan sinonim psikosis akan tetapi hanya merupakan salah satu kelainan yang disebabkan
oleh psikosis. Skizofrenia menyerang 1% populasi, dan di US terdapat 300.000 episode skizofrenia akut
setiap tahunnya. Sebanyak 25-50% pasien skizofrenia berusaha bunuh diri, dan 10% akhirnya berhasil,
berperan dalam angka mortalitas sebesar 8 kali lebih besar dibandingkan pada populasi normal. Harapan
hidup pasien skizofrenia berkisar 20-30 tahun lebih pendek dibandingkan populasi umum, tidak hanya
disebabkan oleh kasus bunuh diri, namun khususnya juga karena serangan kardiovaskular dini. Kematian
karena penyakit cardiovaskular pada pasien skizofrenia disebabkan tidak hanya oleh faktor genetik dan
gaya hidup seperti merokok, diet tidak sehat, kurang olahraga ynag ujungnya obesitas dan diabetes-
namun juga, sayangnya, karena terapi dengan beberapa obat antipsikotik, yang memiliki dampak
peningkatan kejadian obesitas dan diabetes kemudian meningkatkan resiko penyakit jantung. Di US, lebih
dari 20% petugas keamanan digunakan untuk merawat pasien skizofrenia. Biaya langsung dan tidak
langsung yang digunakan US hanya untuk skizofrenia diperkirakan 10 miliar dolar per tahun.

GAMBAR 9-1 Gejala positif dan negatif. Sindrom skizofrenia terdiri dari campuran gejala yang umum dan
dibagi menjadi dua kategori utama, positif dan negatif. Gejala positif, seperti delusi dan halusinasi,
mencerminkan perkembangan gejala psikosis; gejala tersebut dapat dramatis dan mungkin
mencerminkan hilangnya kontak dengan realitas. Gejala negatif mencerminkan hilangnya fungsi normal
dan perasaan, seperti kehilangan minat dalam hal-hal dan tidak mampu untuk mengalami kenikmatan.

Skizofrenia didefinisikan sebagai gangguan yang harus bertahan minimal selama 6 bulan atau lebih,
dengan minimal 1 bulan delusi, halusinasi, kekacauan bicara, kekacauan yang mencolok atau perilaku
katatonik, atau gejala negatif. Gejala skizofrenia sering dibagi menjadi gejala positif dan negatif (Gambar
9-1).

Gejala positif dijabarkan pada Tabel 9-3. Gejala skizofrenia tersebut sering menjadi perhatian utama,
karena dapat menjadi dramatis, meledak mendadak ketika pasien mengalami episode psikotik (sering
disebut psikotik break karena meruntuhkan realitas), dan merupakan gejala yang paling efektif diterapi
dengan pengobatan anti psikotik. Delusi adalah salah satu gejala positif; biasanya berupa kesalahan
interpretasi persepsi atau pengalaman. Isi delusi yang paling umum terjadi pada skizofrenia adalah
penyiksaan, namun dapat juga berisi tema lain termasuk referensial (mis. Kesalahan berpikir bahwa
sesuatu berhubungan dengan dirinya), somatik, agama, atau kebesaran. Halusinasi juga merupakan
gejala positif (tabel 9-3) dan dapat terjadi pada berbagai indra sensoris (mis. Pendengaran, pengelihtana,
penciuman, pengecapan, dan raba rasa), namun halusinasi auditori merupakan yang paling umum dan
khas pada skizofrenia. Gejala positif umumnya menunjukkan kelebihan fungsi normal dan sebagai
tambahan untuk delusi dan halusinasi, dapat juga terjadi distorsi atau berlebihan dalam bahasa dan
komunikasi (kekacauan berbicara) seperti perilaku memantau (kekacauan yang mencolok atau katatonik
atau perilaku agitasi).

TABEL 9-3 Gejala positif pada psikosis dan skizofrenia

Delusi
Halusinasi
Distorsi atau peningkatan abnormal dalam bahasa dan komunikasi
Bicara kacau
Perilaku kacau
Perilaku katatonik
Agitasi

TABEL 9-4 Gejala negatif pada skizofrenia

Afek buntu
Penarikan emosi
Rapot yang buruk
Pasif
Penarikan aphatetik sosial
Kesulitan dalam berpikir abstrak
Kekurangan spontanitas
Pemikiran stereotipe
Alogia: hambatan pada keluwesan dan produktifitas pemikiran dan bicara
Avolition: hambatan dalam memulai perilaku dengan tujuan terarah
Anhedonia: kekurangan rasa senang
Gangguan perhatian

Gejala negatif dijabarkan dalam Tabel 9-4 dan 9-5. Secara sederhana terdapat 5 tipe gejala negatif,
seluruhnya dimulai dengan huruf A (Tabel 9-5):

Alogia disfungsi komunikasi; hambatan pada kelancaran dan produktifitas pikiran dan bicara

Afektif yang buntu atau mendatar hambatan pada kisaran dan intenstas ekspresi emosional

Asosialitas penurunan kontrol diri dan interaksi

Anhedonia penurunan kemampuan dalam merasakan kesenangan


Avolisi penurunan hasrat, motivasi, atau kebiasaan, hambatan dalam memulai perilaku yang
berlandaskan satu tujuan

Gejala negatif di skizofrenia umumnya dianggap sebagai penurunan fungsi normal, seperti afek
buntu, withdrawal emosi, nilai yang jelek, withdrawal pasif dan sosial apatis, kesulitan berpikir abstrak,
pemikiran stereotipe dan penurunan spontanitas. Gejala-gejala tersebut berkaitan dengan periode rawat
inap di RS yang lama dan fungsi sosial yang buruk. Walaupun penurunan fungsi normal ini mungkin tidak
sedramatis gejala positif, akanlah menarik untuk diingat bahwa gejala negatif skizofrenia menentukan
apakah pasien mendapat perbaikan fungsi atau hasilnya malah memburuk. Tentunya pasien akan
mendapat gangguan untuk berinteraksi dengan orang lain ketika gejala positifnya diluar kontrol, namun
derajat gejala negatif akan lebih mengarahkan apakah pasien dapat hidup bebas, hubungan sosial stabil
yang dijaga, atau kembali masuk kerja.

TABEL 9-5 Apa itu gejala negatif?

Istilah
Domain Deskriptif Penjelasan

Disfungsi komunikasi Alogia Miskin bicara; mis. sedikit bicara, menggunakan sedikit
kata
Disfungsi afek Afek buntu Penurunan kisaran emosi (persepsi, pengalaman, dan
ekspresi); mis. merasa lumpuh atau kosong di dalam,
memanggil ulang beberapa pengalaman emosi baik atau
buruk
Disfungsi sosialisasi Asosialitif Penurunan dorongan sosial dan interaksi; mis. sedikit
ketertarikan sosial, sedikit teman, sedikit ketertarikan
menghabiskan waktu (atau menghabiskan sedikit waktu)
bersama teman
Disfungsi kapasitas Anhedonia Penurunan kemampuan merasakan kesenangan; mis. hobi
kesenangan atau ketertarikan sebelumnya tidak memberi kesenangan
Disfungsi motivasi Avolition Penurunan hasrat atau motivasi yang menetap; mis.
penurunan kemampuan mengerjakan dan menyelesaikan
tugas harian; kebersihan diri yang buruk

Gejala negatif pada skizofrenia dapat berupa primer atau sekunder (Tabel 9-6). Gejala negatif
primer dianggap merupakan manifestasi utama defisit primer skizofrenia itu sendiri. Defisit skizofrenia
lain dapat bermanifestasi sendiri sebagai gejala negatif yang dianggap merupakan gejala positif sekunder
dari psikosis atau gejala sekunder untuk EPS (gejala ekstrapiramidal) yang disebabkan oleh pengobatan
antipsikotik. Gejala negatif dapat pula merupakan gejala depresif sekunder atau kehilangan lingkungan.
Seperti yang ditunjukkan Tabel 9-6, terdapat perdebatan apakah perbedaan gejala primer dan sekunder ini
penting.

Karena gejala negatif penting dalam penentuan prognosis skizofrenia, penting untuk menilainya
pada praktek klinis (Tabel 9-7). Walaupun skala nilai normal formal seperti yang disebutkan Tabel 9-8
dapat digunakan untuk menilai gejala negatif dalam studi penelitian, pada praktek klinis akan lebih
praktis untuk mengidentifikasi dan memantau gejala negatif dengan cepat menggunakan observasi saja
(Gambar 9-2) atau dengan beberapa pertanyaan sederhana (Gambar 9-3). Penilaian kuantitatif untuk
praktek klinis dapat dibuat dengan cepat dengan rating empat item yang diambil dari skala rating formal
dan ditunjukkan dalam Tabel 9-9; yaitu, penurunan kisaran emosi, penurunan ketertarikan, penurunan
kontrol sosial, dan pembatasan bicara.

TABEL 9-6 Gejala negatif primer dan sekunder

Primer: Disebabkan karena proses penyakit itu sendiri


Sekunder: Disebabkan oleh faktor lain, seperti depresi, gejala ekstrapiramidal (EPS), penarikan
yang mencurigakan
Gejala defisit: Gejala negatif primer yang bertahan
Apakah perbedaan penting?
YA
Gejala negatif sekunder dapat menyerupai gejala primer
mis. ekspresi wajah yang tidak responsif
Tanda penurunan ekspresi yang responsif dan pengalaman, anhedonia?
Menyebabkan EPS?
TIDAK
Gejala negatif, baik yang primer atau sekunder, tetap menyebabkan gangguan dan harus dicegah

TABEL 9-7 Mengapa mengukur gejala negatif?

1. Pada uji klinis


Untuk mengukur manfaat dari intervensi dalam terapi gejala negatif
-intervensi farmakologis
-intervensi psikososial, kognitif, dan perilaku
2. Pada praktek klinis
Untuk mengidentifikasi pasien di praktek anda yang memiliki gejala negatif dan tingkat
keparahannya
Untuk memantau respon pasien terhadap intervensi farmakologi dan nonfarmakologi

TABEL 9-8 Skala yang digunakan untuk menilai gejala negatif

BPRS Brief Psychiatric Rating Scale (faktor retardasi)


PANSS Positive and Negative Syndrome Scale (subskala gejala negatif; faktor negatif
SANS Scale for Assessment of Negative Symptom
NSA-16 Negative Symptom Assessment
SDS Schedule for the Deficit Syndrome

Gejala negatif tidak hanya merupakan bagian dari gejala skizofrenia gejala negatif juga
merupakan bagian dari sebuah gejala awal yang dimulai dengan gejala subsindrom yang tidak
memenuhi kriteria diagnostik untuk skizofrenia dan terjadi sebelum onset penuh gejala (gambar 9-4).
Gejala negatif awal merupakan hal yang penting untuk mendeteksi dan memantau berkala pasien resiko
tinggi sehingga terapi dapat dilakukan pada tanda awal psikosis (Gambar 9-4). Gejala negatif juga dapat
berlangsung lama di antara episode psikotik ketika skizofrenia telah terjadi dan menurunkan fungsi sosial
dan kerja pada keadaan tidak ada gejala positif.

Melewati gejala positif dan negatif skizofrenia


Walauppun belum dipahami secara formal, sebagai bagian dari kriteria diagnositik untuk skizofrenia,
berbagai penelitian membuat subkategori gejala menjadi lima dimensi; tidak hanya positif dan negatif
namun juga gejala kognitif, gejala agresif, dan gejala afektif (Gambar 9-5). Hal ini mungkin akan menjadi
lebih sulit jika ditambah penjelasan gejala-gejala skizofrenia tersebut.

GAMBAR 9-2 Gejala negatif diidentifikasi dengan observasi. Beberapa gejala negatif skizofrenia seperti
penurunan bicara, perawatan yang buruk, dan kontak mata yang terbatas - dapat diidentifikasi hanya
dengan mengamati pasien.

Perpotongan di antara lima dimensi gejala tersebut ditunjukkan pada Gambar 9-6A, dan beberapa
gejala yang mungkin berpotongan ditunjukkan pada Gambar 9-6B. Pada gejala agresif seperti
penyerangan, perilaku bicara kasar, dan kejahatan yang terang-terangan dapat terjadi bersamaan dengan
gejala positif seperti delusi dan halusinasi, tetapi hal ini tidak selalu terjadi. Sulit untuk membedakan
gejala disfungsi kognitif formal dengan disfungsi afektif pada gejala negatif, seperti yang ditunjukkan
Gambar 6-9B. Penelitian saat ini berusaha untuk menemukan daerah spesifiik disfungsi pada otak utuk
setiap domain gejala dan peneliti juga berusaha untuk membuat terapi yang lebih baik untuk gejala
skizofrenia yang sering diabaikan, yaitu gejala negatif, kognitif, dan afektif. Saat ini terus dilakukan
upaya untuk mencoba mengukur dan menilai gejala tersebut secara terpisah.
GAMBAR 9-3 Gejala negatif diidentifikasi dengan pertanyaan. Gejala negatif lain skizofrenia dapat
diidentifikasi dengan pertanyaan sederhana. Misalnya, pertanyaan singkat dapat mengungkapkan tingkat
emosional responsif, tingkat ketertarikan pada hobi atau tujuan hidup, dan keinginan untuk memulai dan
mempertahankan kontak sosial.

Secara khusus, penilaian neuropsikologis deret sedang dikembangkan untuk menilai kuantitas
gejala, menunjukkan bagaimana gejala-gejala tersebut terpisah dari gejala yang lain pada kasusu
skizofrenia, dan untuk mendeteksi perbaikan kognitif setelah terapi dengan sejumlah obat psikotropika
baru yang sedang diujicoba. Gejala kognitif skizofrenia dan penyakit lain di mana psikosis dapat berupa
manifestasi yang terkait dapat bersinggungan dengan gejala negatif, jadi tes deret berusaha untuk
memisahkan gejala kognitif dari gejala negatif. Gejala yang bersinggungan dapat berupa gangguan pikir
pada skizofrenia dan terkadang penggunaan bahasa yang aneh, inkoherensi, kehilangan asosiasi, dan
neologisme. Gangguan perhatian dan gangguan proses mengolah informasi merupakan gangguan kognitif
spesifik lain pada skizofrenia. Kenyataannya, gangguan kognitif yang paling umum dan berat pada
skizofrenia adalah gangguan kelancaran verbal (kemampuan melakukan pembicaraan spontan), masalah
dalam pembelajaran (mengenai daftar barang atau urutan kejadian), dan gangguan kewaspadaan dalam
pelaksanaan fungsi (masalah dalam mempertahankan dan memfokuskan perhatian, konsentrasi, prioritas,
dan modulasi perilaku berdasarkan keadaan sosial).

Gejala kognitif yang penting pada skizofrenia dijelaskan pada Tabel 9-10. Gejala tersebut idak
termasuk gejala demensia dan gangguan ingatan sepeti karakteristik penyakit Alzheimer, namun gejala
kognitif dari skizofrenia yang paling utama adalah disfungsi eksekutif, yang merupakan masalah dalam
memunculkan dan mempertahankan tujuan, mempertahankan perhatian, mengevaluasi dan memantau
tindakan, dan memanfaatkan kemampuan-kemampuan tersebut untuk menyelesaikan masalah. Penting
untuk memahami dan memantau gejala kognitif skizofrenia karena hal tersebut memiliki hubungan yang
sangat kuat dengan fungsi di dunia nyata bahkan lebih kuat dibandingkan dengan gejala negatif.
TABEL 9-9 Pertanyaan pilihan untuk penilaian klinis cepat

1. Penurunan kisaran emosi


Pilih rating berdasarkan jawaban subjek pada pertanyaan berikut:
Pernahkah anda merasa cemas, gugup, atau khawatir dalam satu minggu terakhir? Perasaan seperti apa
yang telah anda rasakan? Apa yang membuat anda merasa begitu? (ulang juga untuk perasan sedih,
bahagia, bangga, takut, terkejut, dan marah)
Selama satu minggu terakhir, apakah ada masa anda merasa lumpuh atau kosong di dalam?
1. Kisaran emosi normal
2. Penurunan kisaran emosi minimal, mungkin ekstrim pada orang normal
3. Nampak keterbatasan kisaran emosi relatif terhadap orang normal namun subjek menunjukkan
setidaknya empat emosi dengan meyakinkan
4. Subjek menunjukkan dua atau tiga ekspresi emosi yang meyakinkan
5. Subjek hanya mampu menunjukkan satu ekspresi emosi yang meyakinkan
6. Subjek menunjukkan sedikit atau tidak ada kisaran emosi
Penurunan kisaran emosi: Tanya pasien apakah ia pernah mengalami kisaran emosi dalam satu minggu
terakhir dan nilai sesuai jumlah emosi yang dijelaskan (ingat bahwa kemampuan untuk mengalami emosi
berbeda dengan kemampuan untuk menunjukkan afek)
2. Penurunan ketertarikan
Pilih rating berdasarkan penilaian kisaran dan intensitas ketertarikan subjek
Kegiatan apa yang anda suka? Selain itu apa lagi yang anda suka? Apakah anda pernah melakukan hal-hal
tersebut dalam satu minggu terakhir? Apakah anda tertarik pada apa yang sedang terjadi di dunia ini?
Apakah anda membaca koran? Apakah anda menonton berita di TV? Apakah anda suka olahraga? Apa
olahraga favorit anda? Apa klub favorit anda? Siapa pemain terbaik dalam olahraga itu? Apakah anda
pernah berolahraga dalam satu minggu terakhir?
1. Pandangan tujuan yang normal
2. Penurunan tujuan yang minimal, mungkin ekstrim pada orang normal
3. Tujuan hidup yang kurang jelas namun kegiatan baru-baru ini menunjukkan adanya tujuan
4. Subjek mengalami kesulitan dengan tujuan hidup namun aktivitasnya mengarah pada tujuan yang
terbatas
5. Tujuan sangat terbatas atau telah disarankan dan aktivitas tidak fokus untuk mencapai tujuannya
6. Tidak ada tujuan hidup yang bisa diidentifikasi
Penurunan ketertarikan: Nilai apakah pasien memiliki kisaran dan intensitas ketertarikan yang normal
3. Penurunan dorongan sosial
Rating berdasarkan respon pasien terhadap pertanyaan:
Apakah anda tinggal sendirian atau bersama orang lain?
Apakah anda suka berada di sekitar orang lain? Apakah anda menghabiskan banyak waktu dengan orang
lain?
Apakah anda mengalami perasaan sulit dekat dengan mereka?
Bagaimana teman-teman anda? Seberapa sering anda menemui mereka? Apakah anda bertemu teman anda
dalam satu minggu terakhir? Pernahkah anda menelpon teman anda? Kapan anda berkumpul dalam satu
minggu terakhir ini, siapa yang menentukan apa yang akan dilakukan dan akan pergi kemana?
Apakah ada yang memikirkan tentang kebahagiaan dan kesehatan anda?
1. Dorongan sosial normal
2. Penurunan minimal dorongan sosial, mungkin ekstrim pada orang normal
3. Hasrat dalam interaksi sosial nampaknya berkurang
4. Penurunan hasrat untuk memulai kontak sosial yang nyata, namun sejumlah pertemuan dimulai setiap
minggu
5. Penurunan yang nyata pada dorongan subjek untuk memulai kontak sosial, namun sedikit kontak masih
dijaga (seperti dengan keluarga)
6. Tidak ada hasrat untuk memulai interaksi sosial apapun
Penurunan dorongan sosial: Nilai tingkat dorongan sosial dengan memeriksa tipe interaksi sosial dan
keseringannya. Ingat untuk melakukan rating dengan mencocokkan umur yang sesuai.
4. Hambatan kualitas berbicara
Tidak ada pertanyaan spesifik; lakukan rating berdasarkan pengamatan selama wawancara
1. Kualitas berbicara yang normal
2. Penurunan kualitas bicara minimal, mungkin ekstrim pada orang normal
3. Kualitas berbicara menurun, namun lebnih sering didapatkan dengan tekanan minimal
4. Arus berbicara terjaga hanya dengan tekanan yang teratur
5. Respon biasanya terbatas dengan sedikit kata dan/ atau detil hanya didapatkan dengan tekanan atau
suapan
6. Respon biasanya tidak verbal atau terbatas dengan satu atau dua kata dengan kebencian untuk
mendapatkan lebih
Hambatan kualitas berbicara: pertanyaan ini tidak memerlukan pertanyaan spesifik dan rating dilakukan
berdasarkan pengamatan bicara pasien selama wawancara
Seluruh rating penilaian fungsi/ perilaku pasien harus berdasarkan umur yang sesuai

GAMBAR 9-4 Gejala negatif pada fase prodromal. Gejala negatif skizofrenia mungkin terjadi selama fase
prodromal, utamanya mengembangkan sindrom penuh skizofrenia dengan kedua gejala positif dan
negatif. Secara teori, jika gejala negatif seperti prodromal dapat diidentifikasi awal dan diobati dengan
intervensi psikososial atau farmakologis sebelum onset dari onset psikotik, ada kemungkinan untuk
menunda atau bahkan mencegah timbulnya sindrom penuh skizofrenia.
GAMBAR 9-5 Lima dimensi gejala
skizofrenia. Sindrom skizofrenia bisa
dikonsepkan terdiri dari lima dimensi
gejala daripada hanya dua dimensi gejala
positif dan gejala yang ditunjukkan pada
Gambar 9-1. Dekonstruksi sindrom
skizofrenia ini tidak hanya mencakup
gejala positif dan gejala negatif namun
juga gejala kognitif, afektif, dan agresif

GAMBAR 9-6A dan B Gejala


tumpang tindih. Meskipun
skizofrenia secara konseptual dapat
dibagi menjadi lima dimensi gejala,
seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 9-5, pada kenyataannya ada
banyak tumpang tindih di antara
dimensi gejala yang berbeda (A).
Secara khusus, gejala agresif seperti
penyerangan dan pelecehan verbal
seringkali berhubungan dengan
gejala positif (B). Penurunan
perhatian dan fungsi eksekutif
seperti pada gejala afektif misalnya
kehilangan minat mungkin sulit
dibedakan dari gejala negatif (B).

Gejala skizofrenia yang seharusnya tidak khas pada skizofrenia

Adalah penting untuk memahami bahwa bebrapa penyakit selain skizofrenia dapat memiliki kesamaan
dengan lima dimensi gejala skizofrenia yang dijelaskan di sini dan ditunjukkan dalam gambar 9-5.
Kemudian, gangguan-gangguan sebagai tambahan untuk skizofrenia dapat mempunyai gejala positif
termasuk gangguan bipolar, gangguan skizoafektif, depresi psikotik, penyakit Alzheimer, dan yang
lainnya (Gambar 9-7).

TABEL 9-10 Gejala kognitif skizofrenia

Masalah mewujudkan atau mempertahankan tujuan


Masalah meletakkan sumber perhatian
Masalah memusatkan perhatian
Masalah mengevaluasi fungsi
Masalah memantau performa
Masalah melakukan prioritas
Masalah pengaturan perilaku berdasarkan petunjuk sosial
Masalah dalam pembelajaran
Gangguan keluwesan verbal
Kesulitan dalam memecahkan masalah

GAMBAR 9-7 Gejala positif pada gangguan.


Gejala positif tidak hanya berhubungan dengan
skizofrenia saja tetapi juga bisa terjadi pada
beberapa gangguan lain yang mungkin terkait
dengan gejala psikotik , termasuk gangguan
bipolar, gangguan schizoafektif, penyakit psikotik
kanak-kanak, penyakit Alzheimer dan demensia
organik lainnya, depresi psikotik, dan lain-lain.

Gejala negatif juga dapat terjadi pada gangguan lain dan juga bisa bersinggungan dengan gejala
kognitif dan afektif yang terjadi pada gangguan tersebut. Lebih lanjut, sebagai keadaan defisit primer
(gambar 9-8), gejala negatif merupakan khas dari skizofrenia. Dengan kata lain, gejala negatif yang
merupakan hal sekunder untuk gangguan lain adalah hal yang umum pada skizofrenia namun bukan
merupakan gejala khas untuk gangguan lain (Gambar 9-8).

Skizofrenia bukan satu-satunya gangguan dengan gejala kognitif. Autis, demensia poststroke
(vakular atau multi-infark), penyakit Alzheimer, dan demensia organik lainnya (parkinson/ demensia
GAMBAR 9-8 Penyebab gejala
negatif. Gejala negatif pada
skizofrenia dapat menjadi
penyebab utama defisit pada
penyakit (1 deficit), atau
penyebab sekunder depresi (2 to
dep), sekunder pada gejala
ekstrapiramidal (2 to EPS),
sekunder untuk masalah
lingkungan, atau bahkan
sekunder untuk gejala positif
skizofrenia.

GAMBAR 9-9 Gejala kognitif pada gangguan. Gejala


kognitif tidak berhubungan hanya dengan
skizofrenia tetapi juga dengan beberapa gangguan
lain termasuk autisme, penyakit Alzheimer, masalah
serebrovaskular (pasca stroke) dan banyak lainnya.

Lewy-body, penyakit Pick atau degenerasi lobus


frontotemporal, dll) juga memiliki hubungan dengan disfungsi kognitif mirip dengan yang tampak pada
skizofrenia (Gambar 9-9).

Akhirnya, agresifitas dan gejala hostile terjadi pada beragam gangguan lain, khususunya
gangguan dengan masalah menahan impuls. Gejala adalah keadaan mudah bermusuhan, seperti perilaku
atau verbal yang kasar atau menyerang; perilaku melukai diri sendiri seperti perilaku bunuh diri, dan
membakar atau merusak barang. Tipe lain dari impulsifitas seperti perilaku seksual, juga masuk kategori
ini. Gejala yang sama ini juga seringkali berhubungan dengan gangguan bipolar, psikosis anak, gangguan
personalitas borderline, gangguan personalitas antisosial, penyalahgunaan obat, Alzheimer, dan demensia
lain, ADHD, gangguan konduksi pada anak, dan banyak lagi (gambar 9-10).
GAMBAR 9-10 Gejala agresif pada gangguan.
Gejala agresif dan permusuhan berhubungan
dengan beberapa kondisi tambahan
skizofrenia, termasuk gangguan bipolar,
ADHD, gangguan konduksi, psikosis masa
kanak-kanak, gangguan kepribadian
borderline dan kepribadian antisosial,
penyakit Alzheimer, dan demensia lainnya.

GAMBAR 9-11 Gejala afektif pada gangguan.


Gejala afektif ditunjukkan tidak hanya
dengan depresi mayor namun sering juga
berhubungan dengan gangguan kejiwaan
lainnya, termasuk gangguan bipolar,
skizofrenia dan gangguan schizoafektif,
gangguan mood masa kanak-kanak, bentuk
psikotik dari depresi, resisten terapi
gangguan mood dan gangguan psikotik, dan
gangguan organik penyebab depresi seperti
pada penyalahgunaan zat.

Gejala afektif seringkali berkaitan dengan skizofrenia namun hal ini tidak berarti gejala ini dapat
memenuhi kriteria diagnostik untuk anxietas dan gangguan afektif yang komorbid. Meskipun demikian,
mood depresi, mood anxious, rasa ersalah, tensi, iritabilitas, dan kekhawatiran sering muncul bersama
skizofrenia. Variasi gejala tersebut juga merupakan ciri yang mencolok dari gangguan depresi mayor,
depresi sikotik, gangguan bipolar, gangguan skizoafektif, demensia organik, gangguan psikotik anak, dan
kasaus resistensi terapi dari depresi, gangguan bipolar, dan skizofrenia, di antara yang lain (gambar 9-13).

Sirkuit otak dan dimensi gejala pada skizofrenia


Sama seperti kasus gangguan pskiatri lain, variasi gejala skizofrenia diperkirakan memiliki area tertentu
di otak (Gambar 9-12). Khususnya gejala positif skizofrenia telah lama diperkirakan berada di sirkuit
mesolimbik yang malfungsi, khususnya berhubungan dengan nucleus accumbens. Nucleus accumbens

GAMBAR 9-12 Area lokasi gejala. Area gejala yang berbeda dari skizofrenia dihipotesiskan diatur oleh
daerah otak yang khusus. Gejala positif skizofrenia dihipotetiskan dipengaruhi oleh malfungsi sirkuit
mesolimbik, sedangkan gejala negatif dihipotetiskan berhubungan dengan malfungsi sirkuit mesokortikal
dan mungkin juga melibatkan daerah mesolimbik seperti nucleus accumbens, yang merupakan bagian
dari sirkuit ganjaran otak dan berperan dalam motivasi. Nucleus accumbens mungkin juga berhubungan
dengan peningkatan tingkat penggunaan dan penyalahgunaan zat yang terlihat pada pasien skizofrenia.
Gejala afektif berhubungan dengan korteks prefrontal ventromedial, sedangkan gejala agresif (terkait
dengan impuls control) berhubungan dengan pengolahan informasi abnormal pada korteks orbitofrontal
dan amigdala, sedangkan gejala kognitif berhubungan dengan gangguan pengolahan informasi di
dorsolateral prefrontal cortex. Meskipun terdapat tumpang tindih pada fungsi di antara daerah otak yang
berbeda, pemahaman mengenai daerah otak terutama yang berhubungan dengan gejala spesifik dapat
membantu dalam mengatur terapi untuk profil gejala tertentu dari setiap pasien skizofrenia.

dianggap merupakan bagain sirkuit otak ganjaran, jadi tidak mengejutkan bahwa masalah dengan
ganjaran dan motivasi pada skizofrenia gejala yang dapat bersinggungan dengan gejala negatif dan
menyebabkan penyalahgunaan rokok, obat dan alkohol mungkin berkaitan dengan area otak ini.

Korteks prefrontal dianggap merupakkan titik kunci pada ikatan siruit otak yang malfungsi untuk
setiap gejala yang tersisa pada skizofrenia : khususnya korteks prefrontal mesokortikal dan ventromedial
dengan gejala kognitif, dan korteks orbitofrontal dan hubungannya dengan amigdala dengan gejala agresif
dan impulsif (Gambar 9-12).

Model ini sebenarnya hanya penyederhanaan saja karena setiap area otak memiliki berbagai fungsi
dan setiap fungsi tersebut tersebar di berbagai area otak.
GAMBAR 9-13 Gejala positif dan sirkuit mesolimbik. Gejala positif skizofrenia terkait dengan malfungsi
sirkuit mesolimbik; neurotransmitter yang mengatur fungsi saraf mesolimbik termasuk dopamin (DA),
yang memainkan peran regulasi dominan, serta beberapa neurotransmitter lain yang memainkan peran
penting tapi mungkin lebih rendah, seperti serotonin (5HT), asam gamma-aminobutyric (GABA), dan
glutamat (glu).

GAMBAR 9-14 Gejala emosional dan kognitif dan sirkuit mesokortikal. Gejala emosional skizofrenia
(seperti gejala afektif, gejala impulsif, tidak adanya motivasi, tidak adanya dorongan sosial) secara teoritis
diperantarai oleh berbagai daerah korteks prefrontal daripada gejala kognitif. Secara khusus, gejala
emosional dari skizofrenia dihipotetiskan terkait dengan pengolahan informasi yang abnormal dalam
korteks prefrontal orbital, medial, dan ventral (kiri), sedangkan gejala kognitif skizofrenia dihipotetiskan
terkait dengan pengolahan informasi yang abnormal pada korteks prefrontal dorsolateral (kanan).
GAMBAR 9-15 Gejala kognitif dan korteks prefrontal dorsolateral. Korteks prefrontal dorsolateral, yang
berhubungan dengan gejala kognitif skizofrenia, dimodulasi oleh dopamin neurotransmitter (DA) serta
oleh beberapa neurotransmitter lain, termasuk norepinefrin (NE), asetilkolin (Ach), serotonin (5HT),
glutamat (glu), dan histamin (HA). Sirkuit di korteks prefrontal juga dipengaruhi oleh berbagai molekul
penting dalam pembentukan sinaps seperti disbindin, neuregulin, dan-DISC 1 (terganggu pada
skizofrenia-1).

Namun demikian, peletakan dimensi gejala spesifik khas pada otak tidak hanya membantu studi
penelitian namun juga memiliki nilai heuristik dan klinis. Khususnya, setiap pasien memiliki gejala yang
khas dan respon khas terhadap pengobatan. Untuk mengoptimalkan dalam terapi individual, dapat
bermanfaat untuk mempertimbangkan gejala spesifik apa yang muncul pada pasien dan kemudian area
mana pada otak pasien yang terjadi malfungsi (Gambar 9-12) setiap area otak memiliki neurotransmiter,
reseptor, enzim, dan gen yang khas dalam pengaturannya. Beberapa bersinggungan tidak hanya pada area
khas yang berbeda, mengetahui hal ini dapat memebantu klinisi dalam penenetuan medikasi dan
pemantauan efektifitas obat.

Contohnya, gejala positif skizofrenia secara teori terikat secara sehat pada area otak mesolimbik /
nucleus accumbens dan dengan neurotransmiter dopamin, dengan kemungkinan keterlibatan sekunder
dari neurotransmiter serotnin, glutamat, GABA, dan yang lain (Gambar 9-13). Dengan kata lain, gejala
emosional seperti gejala afektif dan sosial berhubungan secara lebih sehat terhadap area orbital, medial,
dan ventral dari korteks prefrontal, dengan gejala kognitif eksekutif berkaitan dengan korteks prefrontal
dorsolateral (Gambar 9-14). Neurotransmiter dan molekul kunci regulasi untuk korteks dorsolateral
prefrontal salah satunya adalah dopamine dan juga beberapa neurotransmiter yang lain (Gambar 9-15).

Yang menjadi hal penting adalah dekonstruksi diagnosis skizofrenia menjadi gejalanya dan kemudian
mencocokkan setiap gejala dengan area sirkuit otak yang malfungsi dan neurotransmiter yang mengatur
area tersebut. Strategi ini tidak hanya membantu klinisi mengembangkan profil khas gejala untuk
mengincar setiap individu pasien namun juga menyediakan terapi farmakologi yang diatur khusus untuk
individu tersebut. Setiap neurotransmiter mengatur sirkuit yang berkaitan dengan agen farmakologi
khusus dan bida meningkatkan atau malah menghambatnya, tergantung pada hyang diinginkan (Gambar
9-16). Ketika suatu agen untuk suatu neurotransmiter tidak efektif, pendekatan ini menyarankan tidak
hanya pemberian agen lain untuk neurotransmiter yang sama namun juga agen untuk neurotransmiter lain
dapat bekerja sama membentuk koterapi yang logis untuk mengobati gejala. Sebagai bonus tambahan
untuk pendekatan ini juga disarankan gen spesifik mana yang terkait dengan gejala yang muncul di area
otak yang terkait (Gambar 9-17). Informsi terbaru ini akan menjadi penting untuk mengembangkan
pendekatan genetik yang rasional untuk penilaian resiko pada individu pasien dan keluarganya dan akan
membantu menjelaskan hasil tes neuroimaging fungsional untuk menilai endofenotip biologis pasien
tersebut, menunjukkan seberapa efisien proses informasi pada region otak tertentu dan apakah dapat
meningkatkan kesempatan dalam menurunkan gejala dan juga menurunkan kemungkinan untuk relaps.

Neurotransmiter dan sirkuitnya pada skizofrenia

Dopamine
Dasar biologis dari skizofrenia masih belum diketahui. Namun, monoamine neurotransmiter dopamine
(DA) telah sejak lama memainkan peran utama dalam hipotesis skizofrenia. Untuk memahami potensi
peran dopamin pada skizofrenia, sebelumnya penting untuk me review bagaimana dopamine disintesis,
dimetabolisme, dan diregulasi; peran reseptor dopamin; dan lokasi kunci jalur dopamin di otak.

Dopaminergik : neuron
Dopaminergik neuron menggunakan neurotransmiter DA, yang disintesis di nervus terminal
dopaminergik dari asam amino tirosin setelah diambil dari neuron di ruangan ekstraselular dan aliran
darah oleh pompa tirosin, atau transporter (Gambar 9-18). Tirosin dikonversikan pertama-tama menjadi
DA dengan enzim tirosin hidroksilase (TOH) dan kemudian oleh enzim dopa dekarboksilase (DDC)
(Gambar 9-18). DA kemudian dimasukkan ke dalam vesikel sinaptik oleh vesicular monoamine
transporter (VMAT2) dan disimpan di sana hingga digunakan saat proses neurotransmisi.

Neuron DA memiliki transporter sinaptik (pompa reuptake) yang disebut DAT, yang khas pada DA
dan menghambat kerja sinaptik DA dengan menyapunya keluar sinaps kembali ke dalam terminal nerve
presinaptik, di mana itu dapat disimpan kembali pada vesikel sinaptik untuk penggunaan ulang pada
prosese neurotransmisi yang akan datang (Gambar 9-19). DAT tidak ditemukan pada densitas yang tinggi
di terminal axon dari seluruh neuron DA. Sebagai contoh, pada korteks prefrontal DAT relatif jarang, dan
DA tetap inaktif karena mekanisme lain. Kelebihan DA yang melarikan penyimpanan dalam vesikel
sinaptik dapat dihancurkan dalam neuron oleh enzim monoamin oksidase (MAO) A atau MAO-B
sedangkan diluar dari neuron dihancurkan oleh enzim katekol-O-metil transferase (COMT) (Gambart 9-
19). DA yang berdifusi keluar dari sinaps dapat juga dibawa oleh norepinefrine transporter (NETs)
sebagai substrat yang salah dan kerja DA akan dihambat dengan cara ini.

Ressptor untuk dopamin juga mengatur proses neurotransmisi dopaminergik (Gambar 9-20).
Transporter DA, DAT, dan transporter vesikular VMAT2 keduanya merupakan tipe reseptor. Hal ini telah
dibahas secara mendalam pada Bab 4 dan ditunjukkan pada Gambar 4-13 sampai 4-15 dan dijabarkan
pada tabel 4-1, 4-3, dan 4-4. Penambahan jumlah reseptor dopamin yang berlebihan, termasuk setidaknya
5 subtipe farmakologis dan beberapa molekul lain yang isoform. Kemungkinan investigasi yang paling
jauh terhadap reseptor dopamin adalah reseptor dopamin-2, yang distimulasi oleh agonis dopamin untuk
terapi penyakit Parkinson dan dihambat oleh antipsikotik antagonis dopamin untuk terapi skizofrenia.
Seperti yang akan dibahas lebih jelas pada Bab 10, reseptor dopamin 1, 2, 3 dan 4 dihambat

GAMBAR 9-16 Mekanisme farmakologis yang mempengaruhi dopamin. Dengan mencocokkan gejala
individu untuk area otak tertentu dan neurotransmiter yang mengaturnya, klinisi dapat mengidentifikasi
mekanisme farmakologi yang mempengaruhi regulasi tersebut. Informasi ini kemudian dapat digunakan
untuk menentukan kerja obat tertentu pada mekanisme farmakologi yang diinginkan untuk
menghilangkan gejala spesifik. Secara teoritis, hal ini terjadi karena kerja obat pada neurotransmitter
mengubah efisiensi pengolahan informasi di area otak tertentu yang secara hipotetis menjadi malfungsi.
Misalnya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9-15, korteks prefrontal dorsolateral (DLPFC) diatur
oleh dopamin (DA) dan serotonin (5HT). Dengan demikian, agen yang bekerja sebagai DA dan/ atau
serotonin, seperti agonis atau antagonis dopamin pada reseptor Dl dan D2, serta agonis dan antagonis
serotonin pada reseptor 5HT2A, 5HT2C, dan 5HT1A, seluruhnya mempengaruhi pengolahan informasi di
area otak ini dan kemudian mempengaruhi fungsi kognitif.

GAMBAR 9-17 Gen yang mempengaruhi dopamin. Menentukan area otak dan pengaturan
neurotransmitter yang berhubungan dengan gejala spesifik skizofrenia dapat membantu dalam
identifikasi gen yang mungkin terlibat dalam manifestasi gejala-gejala. Misalnya, neurotransmisi
dopamin (DA), yang mengatur aktivitas pada korteks dorsolateral prefrontal (DLPFC), dipengaruhi oleh
beberapa gen termasuk gen untuk katekol-Omethyl-transferase (COMT), gen untuk transporter dopamin
(DAT), gen untuk berbagai reseptor dopamin, dan banyak gen lainnya, beberapa di antaranya ditampilkan
di sini. Mengidentifikasi peran genetik untuk gejala skizofrenia dapat digunakan dalam pendekatan
genetik untuk penilaian resiko untuk pasien dan keluarganya serta membantu dalam penentuan agen
psikofarmako yang lebih efektif untuk mengobati gejala skizofrenia.
oleh beberapa obat antipsikotik atipikal, namun belum jelas apa peran reseptor dopamin 1, 2, 3, atau 4
dalam kontribusinya pada keperluan klinis obat ini.

GAMBAR 9-18 Sintesis dopamin. Tirosin, prekursor dopamin, diambil ke dalam terminal nerve dopamin
melalui transporter tirosin dan diubah menjadi DOPA oleh hidroksilase enzim tirosin (TOH). DOPA
kemudian diubah menjadi dopamin (DA) oleh dekarboksilase enzim DOPA (DDC). Setelah sintesis,
dopamin dimasukan ke dalam vesikel sinaptik melalui monoamine vesikular transporter (VMAT2) dan
disimpan sampai dilepaskan ke sinaps selama proses neurotransmisi

Reseptor dopamin D2 dapat berupa presinaptik, di mana mereka berfungsi sebagai autoreseptor
(Gambar 9-20). Reseptor presinaptik D2 kemudian bekerja sebagai gatekeeper membiarkan pelepasan
DA ketika reseptor tidak diisi oleh DA (Gambar 9-21) atau hambatan pelepasan DA ketika DA
membangun sinaps dan mengisi autoreseptor gatekeeper presinaptik (Gambar 9-21B). Reseptor tersebut
dapa berada di terminal axon (Gambar 9-22) atau pada ujung neuron di area somatodendritik (Gambar 9-
23). Pada keuda kasus, pengisian reseptor D2 menyebabkan hasil feedback negatif, atau menghambat
kerja pelepasan dopamin dari neuron presinaps.
Tindakan GAMBAR 9-19 Kerja dopamin
dihambat. Kerja dopamin dapat dihentikan
melalui beberapa mekanisme. Dopamin
dapat diangkut keluar dari celah sinaps dan
kembali ke neuron presinaptik melalui
transporter dopamin (DAT), di mana ia dapat
disimpan kembali untuk penggunaan ulang.
Atau, dopamin dapat rusak secara ekstrasel
melalui enzim catechol-O-methyltransferase
(COMT). Enzim lain yang memecah dopamin
adalah monoamine oxidase A (MAO-A) dan
monoamine oxidase B (MAO-B), yang
berada dalam mitokondria di neuron
presinaptik dan sel lain seperti sel glia.

GAMBAR 9-20 Reseptor dopamin. Ditunjukkan di sini


adalah reseptor dopamin yang mengatur
neurotransmisinya. Dopamin transporter (DAT)
berada secara presinaptik dan bertanggung jawab
dalam membersihkan kelebihan dopamin keluar dari
sinaps. Monoamine vesikular transporter (VMAT2)
membutuhkan dopamin ke dalam vesikula sinaptik
untuk neurotranmisi selanjutnya. Terdapat pula
presinaptik dopamin-2 autoreceptor, yang mengatur
pelepasan dopamin dari neuron presinaptik. Selain
itu, ada beberapa reseptor pasca-sinaptik. Termasuk
reseptor dopamin-1, dopamin-2, dopamin-3,
dopamin-4, dan dopamin-5. Fungsi reseptor
dopamin-2 merupakan yang paling dipahami, karena
reseptor ini merupakan tempat pengikatan utama
untuk hampir semua agen antipsikotik serta
untukagonis dopamin yang digunakan untuk
mengobati penyakit Parkinson.
Kunci jalur dopamine di otak
Empat jalur utama yang telah diketahui dengan baik di otak ditambah seatu jalur kelima yang baru
ditemukan untuk dopamin ditunjukkan pada Gambar 9-24. Jalur yang dimaksud adalah mesolimbik,
mesokortikal, nigrostriatal, dan dopamin tubcroinfindibulator DA. Jalur utama menginervasi thalamus.

Jalur dopamin mesolimbik dan hipotesis dopamin mesolimbik pada gejala positif skizofrenia

Jalur mesolimbik dopamin diproyeksikan dari badan sel dopaminergik pada area tegmental ventral
batang otak ke terminal axon dalam satu area limbik otak, yaitu nucleus accumbens dalam striatum
ventral (Gambar 9-24). Jalur ini dianggap memiliki peran penting dalam beberapa perilaku emosional,
termasuk gejala positif psikosis seperti delusi dan halusinasi (Gambar 9-25). Jalur dopamin mesolimbik
juga berperan penting dalam motivasi, kesenangan, dan reward.

Selama lebih dari 30 tahun, telah diteliti bahwa penyakit ataupun obat yang meningkatkan dopamin
akan meningkatkan produksi gejala psikotik positif, dan obat yang menurunkan dopamin akan
menurunkan atau mengehentikan gejala positif. Contohnya, obat stimulan seperti amfetamin dan kokain
melepaskan dopamin dan, jiika diberikan terus menerus, dapat menyebabkan psikosis paranoid yang tidak
dapat dibedakan secara jelas dengan gejala positif skizofrenia. Obat-obatan stimulan dibahas lebih jelas
pada bab lanjutan mengenai terapi ADHD dan penyalahgunaan obat. Mekanisme kerjanya juga dibahas
pada bab 4 dan ditunjukkan pada Gambar 4-14 dan 4-15.

Seluruh obat antipsikotik yang mampu mengobati gejala psikotik positif merupakan reseptor dopamin
D2 bloker. Obat antipsikotik dibahas dalam Bab 10. Penelitian tersebut telah diformulasikan menjadi teori
psikosis atau terkadang dianggap sebagai hipotesis dopamin skizofrenia. Mungkin konsep yang lebih
modern dan tepat adalah hipotesis mesolimbik dopamin gejala positif pada skizofrenia karena
dipercaya bahwa hiperaktifitas secara khussu berada dalam jalur khusus dopamin yang memperantarai
gejala positif psikosis (Gambar 9-25 dan 9-26). Hiperaktifitas jalur dopamin mesolimbik termasuk gejala
psikotik positif, apakah gejala tersebut merupakan bagian dari skizofrenia atau psikosis yang disebabkan
obat atau apapun gejala psikosis positif yang memenuhi mania, depresi, atau demensia. Hiperaktifitas
neuron dopamin mesolimbik juga memiliki peran dalam gejala agresif dan rasa bermusuhan pada
skizofrenia dan penyakit yang terkait, khususnya jika kontrol serotonergik dopamin merupakan
penyimpangan pada pasien yang kehilangan kontrol impuls.

Jalur dopamin mesokortikal dan hipotesis dopamin mesokortikal gejala skizofrenia kognitif,
negatif, dan afektif
Jalur lain juga muncul dari badan sel di area tegmental ventral dan terproyeksi ke area korteks prefrontal
biasa disebut jalur dopamin mesocortical (Gambar 9-27 dan 9-28). Cabang dari jalur ini yang menuju
korteks prefrontal dorsolateral diperkirakan mengatur fungsi kognitif dan eksekutif (Gambar 9-27),
sedangkan cabang yang menuju bagian ventromedial dari korteks prefrontal diperkirakan mengatur emosi
dan afek (Gambar 9-28). Peran pasti dari jalur dopamin mesokortikal dalam memeperantarai gejala
skizofrenia masih dalam perdebatan, namun banyak peneliti percaya bahwa kognitif tersebut dan
beberapa gejala negatif skizofrenia mungkin disebabkan oleh defisiensi aktifitas dopamin pada proyeksi
mesokortikal ke korteks prefrontal dorsolateral (Gambar 9-27), di mana afektif dan gejala negatif lain dari
skizofrenia dapat disebabkan oleh defisiensi aktifitas dopamin pada proyeksi mesokortikal ke korteks
ventromedial prefrontal (Gambar 9-28).
GAMBAR 9-21A dan B Autoreseptor prasinaps dopamin-2. Autoreseptor presinaptik dopamin-2
bertindak sebagai "penjaga gerbang" untuk dopamin. Artinya, ketika reseptor tidak terikat oleh dopamin
(tidak ada dopamin pada penjaga gerbang), gerbang molekul terbuka, sehingga dopamin dilepaskan (A).
Namun, ketika dopamin mengikat reseptor penjaga gerbang (sekarang penjaga gerbang memiliki
dopamin di tangannya), pintu gerbang molekul tertutup dan mencegah pelepasan dopamin (B).
GAMBAR 9-22A dan B Autoreseptor prasinaps dopamin-2. Autoreseptor presinaptik dopamin-2 terletak
pada terminal akson, seperti yang ditunjukkan di sini. Ketika dopamin menumpuk di sinaps (A), dopamin
tersedia untuk mengikat autoreceptor, yang kemudian menghambat pelepasan dopamin (B).
GAMBAR 9-23A dan B Autoreseptor somatodendritic dopamin-2. Autoreseptor dopamin-2 juga dapat
berada di area somatodendritik, seperti yang ditunjukkan di sini (A). Ketika dopamin berikatan dengan
reseptor di sini, hal itu akan menutup aliran impuls di saraf neuron dopamin (lihat hilangnya baut petir di
neuron di B), dan kemudian menghentikan pelepasan dopamin selanjutnya.
GAMBAR 9-24 Lima jalur dopamin di otak. Neuroanatomi jalur neuronal dopamine di otak dapat
menjelaskan gejala skizofrenia serta efek terapi dan efek samping dari obat antipsikotik, (a) jalur
dopamin nigrostriatal, yang menonjol dari substansia nigra ke basal ganglia atau striatum, merupakan
bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal dan mengontrol fungsi motorik dan gerakan, (b) Penonjolan
jalur dopamin mesolimbik dari otak tengah daerah tegmental ventral ke nukleus accumbens, bagian dari
sistem limbik otak diduga terlibat dalam banyak perilaku seperti sensasi menyenangkan, euforia kuat
penyalahgunaan zat, serta delusi dan halusinasi dari psikosis, (c) Jalur yang terkait jalur dopamin
mesolimbik adalah jalur dopamin mesokortikal. Jalur itu juga menonjol dari otak tengah daerah
tegmental ventral dan mengirim akson ke daerah korteks prefrontal, di mana mungkin jalur tersebut
memiliki peran dalam mediasi gejala kognitif (dorsolateral prefrontal cortex) dan gejala afektif
(ventromedial prefrontal cortex) skizofrenia, (d) Jalur dopamin keempat, jalur tuberoinfundibular
dopamin, pennonjolan dari hipotalamus ke kelenjar pituitari anterior dan mengendalikan sekresi
prolaktin, (e) jalur dopamin kelima muncul dari beberapa lokasi, termasuk periaqueductal abu-abu,
mesencephalon ventral, inti hipotalamus, dan inti lateral parabrachial, dan penonjolan ke talamus.
Fungsinya saat ini belum diketahui.

Keadaan defisit perilaku digambarkan dengan gejala negatif yang menyebabkan underaktifitas atau
bahkan padam pada sistem neuronal. Hal ini mungkin merupakanakibat dari aktifitas berlebih
eksitotoksik utama dari sistem glutamat (dibahas di bawah). Proses degeneratif yang terus berlanjut dalam
jalur dopamin mesokortikal dapat menjelaskan perburukan yang progresif dari gejala dan peningkatan
keadaan defisit pada beberapa pasien skizofrenia. Defisit dopamin pada proyeksi mesokortikal juga
mungkin merupakan akibat dari kelainan neurodeveopmentalsistem glutamat N-metil-d-aspartat
(NMDA), dijelaskan pada paragraf selanjutnya. Apapun penyebabnya, hipotesis original DA skizofrenia
sekarang menggabungkan teori gejala kognitif, negatif, dan afektif dan mungkin disusun menjadi
hipotesis dopamin mesokortikal dari gejala skizofrenia kognitif, negatif, dan afektif karena dipercaya
underactivity khususnya proyeksi neurokortikal ke korteks prefrontal diperantarai gejala skizofrenia
kognitiif, negatif, dan afektif (Gambar 9-29).
GAMBAR 9-25A dan B Jalur
dopamin mesolimbik. Jalur
dopamin mesolimbik, yang
menonjol dari daerah tegmental
ventral di batang otak ke
nucleus accumbens di striatum
ventral (A), berhubungan
dengan pengaturan perilaku
emosional dan diyakini jalur
dominan mengatur gejala positif
psikosis. Secara khusus,
hiperaktivitas jalur ini diyakini
bersamaan dengan delusi dan
halusinasi (B).

GAMBAR 9-26 Hipotesis dopamin mesolimbik. Hiperaktivitas neuron dopamin pada jalur dopamin
mesolimbik secara teoriti memperantarai gejala positif psikosis seperti delusi dan halusinasi. Jalur ini
juga terlibat dalam kesenangan, ganjaran, dan perilaku menyerang, dan banyak penyalahgunaan obat
memiliki interaksi di sini.
GAMBAR 9-27A dan B Jalur mesokortikai menuju korteks dorsolateral prefrontal. Jalur mayor
dopaminergik lain adalah jalur dopamin mesokortikal, yang menonjol dari daerah tegmental ventral
menuju korteks prefronta (A). Penonjolan khusus menuju prefrontal dorsolateral korteks (DLPFC) diyakini
berhubungan dengan gejala negatif dan kognitif skizofrenia. Dalam hal ini, ekspresi gejala ini dianggap
terkait dengan hipoactivitas dari jalur ini (B).

Secara teori, peningkatan dopamin dalam jalur dopamin mesokortikal dapat meningkatkan gejala
skizofrenia negatif, kognitif, dan afektif. Karena secara teori terdapat kelebihan dopamin di otak dalam
jalur dopamin mesolimbik, peningkatan dopamin lebih lanjut pada jalur tersebut dapat memperburuk
gejala positif. Oleh karena itu, keadaan aktifitas dopamin di otak pada pasien skizofrenik mempunyai
dilema terapi; bagaiimana anda meningkatkan dopamin pada jalur mesokortikal sementara di waktu yang
sama anda juga harus menurunkan aktifitas dopamin di dalam jalur dopamin mesolimbik? Berbagai
tingkatan obat antipskotik atipikal telah menyediakan solusi untuk dilema terapi ini pada Bab 10.

Jalur dopamin mesolimbik, ganjaran, dan gejala negatif


Fungsi dopamin pada skiofrenia mungkin lebih rumit daripada hanya sekedar terlalu tinggi pada area
mesolimbik dan terlalu rendah pada area mesokortikal. Neuron dopamin lebih tepat dikarakeristikkan
sebagai keluar dari jalur atau kacau. Ide pengaturan neuronal dibahas pada bab 7 dan ditunjukkan
pada Gambar 7-25 dan 7-26A. Fenomena yang serupa dapat pula terjadi pada sistem dopamin
mesolimbik, ketika satu bagian neuron dopamin mesolimbik keluar jalur dan hiperaktif, memperantarai
gejala positif, sedangkan ketika neuron mesolimbik dopamin yang lain keluar jalur tetapi menjadi
hipoaktif dan kemudian memperantarai beberapa gejala negatif dan malfungsi mekanisme ganjaran.
GAMBAR 9-28A dan B Jalur mesokortikal menuju cortex prefrontal ventromedial. Penonjolan khusus
dopamin mesokortikal menuju korteks prefrontal ventromedial (vmPFC) diyakini memperantarai gejala
negatif dan afektif yang berhubungan dengan skizofrenia (A). Gejala-gejala ini diyakini muncul dari
hipoactivitas pada jalur ini (B).

Jalur dopamin mesolimbik bukan merupakan satu-satunya postulat untuk lokasi untuk gejala positif
psikosis namun diperkirakan terdapat pula di pusat ganjaran dan pusat kesenangan di otak. Aspek jalur
dopamin mesolimbik ini dibahas lebih lanjut pada bahasan mengenai bab penyalahgunaan zat. Ketika
pasien skizofrenia kehilangan motivasi dan keinginan, menjadi anhedon, dan tidak dapat merasa gembira,
gejala tersebut mungkin terjadi bersama penurunan fungsi jalur dopamin mesolimbik, tidak hanya pada
penurunan fungsi jalur dopamin mesokortikal.

Pendapat ini kemudian didukung dengan pemantauan pasien yang diterapi dengan antipsikotik,
khususnya antipsikotik konvensional, menyebabkan memburuknya gejala negatif dan keadaan
neurolepsisyang nampak seperti gejala negatif skizofrenia. Karena korteks prefrontal tidak memiliki
densitas yang tinggi terhadap reseptor D2, hal ini mengakibtakan kemungkinan defisiensi fungsi dalam
sistem dopamin mesolimbik, menyebabkan kurangnya mekanisme ganjaran yang ditunjukkan dengan
perilaku seperti anhedon dan penyalahgunaan obat sama seperti pada gejala negatif yang ditunjukan
dengan kurangnya interaksi ganjaran sosial dan kurangnya motivasi dan ketertarikan umum. Mungkin
lebih tingginya angka kejadaian penyalahgunaan zat pada skizofrenia dibandingkan dengan orang dewasa
normal, khususnya nikotin dan juga stimulan serta zat lain, dapat menjelaskan secara khusus memiliki
pengaruh dalam meningkatkan kerusakan fungsi pusat kesenangan dopaminergik mesolimbik, dan
merupakan akibat dari pengaktifan gejala positif.
GAMBAR 9-29 Hipotesis dopamin mesokortikal untuk gejala negatif, kognitif, dan afektif skizofrenia.
Hipoaktivitas neuron dopamin pada jalur dopamin mesokortikal secara teori memeperantarai gejala
kognitif, negatif, dan afektif skizofrenia.

Jalur dopamin nigostrial


Kunci jalur dopamin lain di otak adalah jalur dopamin nigostrial, yang menonjol dari badan sel
dopaminergik pada substansia nigra batang otak melalui terminal axon di ganglia basal atau striatum
(Gambar 9-30). Jalur dopamin nigrostrial merupakan bagian dari sistem nervus extrapiramidal, dan
mengatur pergerakan motorik. Defisiensi dopamin pada jalur ini dapat menyebabkan gangguan
pergerakan, seperti misalnya penyakit Parkinson, yang ditunjukkan dengan rigiditas,
akinesia/bradikinesia, (mis. Berkurang atau melambatnya pergerakan), dan tremor. Defisiensi dopamin
pada ganglia basal dapat pula menyebabkan akathisia (sejenis gelisah) dan distonia (gerakan terpuntir
khususnya di wajah dan leher). Gangguan pergerakan tersebut dapat ditiru oleh obat yang menghambat
reseptor dopamin 2 pada jalur ini dan akan dibahas lebih ringkas pada Bab 10.

Hiperaktifitas dopamin pada jalur nigrostrial diperkirakan mendasari berbagai kelainan


pergerakan hiperkinetik seperti korea, diskinesia dan tic. Penghambatan reseptor dopamin 2 secara kronis
pada jalur ini dapat menyebabkan gangguan pergerakan hiperkinetik yang dikenal sebagai diskinesia
tardiv disebabkan-neuroleptik. Hal ini juga akan dibahas secara ringkas pada Bab 10. Pada penderita
skizofrenia yang tidak diterapi, jalur nigrostrial dapat berlangsung lama.
GAMBAR 9-30 Jalur dopamin nigrostriatal. Jalur dopamin
nigrostriatal menonjol dari substantia nigra ke ganglia basal
atau striatum. Hal ini meruapakn bagian dari sistem saraf
ekstrapiramidal dan memainkan peran utama dalam
mengatur gerakan. Ketika dopamin kekurangan, hal ini
dapat menyebabkan parkinsonisme dengan tremor,
kekakuan, dan akinesia / bradikinesia. DA yang berlebihan
dapat menyebabkan gerakan hiperkinetik seperti tics dan
diskinesia. Pada skizofrenia yang tidak diterapi, aktivasi
jalur ini dianggap "normal."

GAMBAR 9-31 Jalur dopamin tuberoinfundibular. Jalur


dopamin tuberoinfundibular dari hipotalamus ke hipofisis
anterior mengatur sekresi prolaktin ke dalam sirkulasi.
Dopamin menghambat sekresi prolaktin. Pada skizofrenia
yang tidak diterapi, aktivasi pada jalur inidianggap
"normal."

Jalur dopamin tuberoinfundibular


Neuron dopamin yang menonjol dari hipotalamus ke pituitari anterior dikenal sebagai jalur dopamin
infundibular (Gambar 9-31). Normalnya neuron-neuron tersebut aktif dan menghambat pelepasan
prolaktin. Pada kondisi postpartum, aktifitas neuron dopamin tersebut menurun. Kemudian kadar
prolaktin meningkat selama masa menyusui sehingga terjadilah laktasi. Jika fungsi neuron dopamin
infundibular rusak karena luka atau obat, kadar prolaktin juga akan meningkat. Peningkatan prolaktin
berhubungan dengan galaktorea (sekresi payudara), amenore (hilangnya ovulasi dan periode menstruasi)
dan juga mungkin berhubungan dengan masalah disfungsi seksual. Masalah-masalah tersebut dapat
terjadi setelah terapi dengan beragam jenis obat antipsikotik yang menghambat reseptor dopamin 2 dan
akan dibahas lebih lanjut pada Bab 10. Pada skizofrenia yang tidak diterapi, fungsi dari jalur infundibular
dapat berlangsung lama.
Jalur dopamin talamik
Jalur dopamin yang menginervasi talamus pada primata telah dijelaskan sebelumnya. Jalur ini muncul
dari berbagai lokasi, misalnya gray matter periakuaduktus, mesensefalon ventral, berbagai nuklei
hipotalamik, dan nukleus parabrakhial (Gambar 9-24). Fungsi jalur ini masih diteliti tapi kemungkinan
berhubungan dengan mekanisme tidur dan bangun dengan menjaga informasi yang melalui thalamus ke
korteks dan area lain pada otak. Hingga saat ini belum ada bukti fungsi abnormal jalur ini pada
skizofrenia.

Hipotesis dopamin terintegrasi pada skizofrenia


Dengan menggabungkan seluruh informasi, hipotesis dopamin terintegrasi pada skizofrenia berusaha
menjelaskan seluruh gejala mayor pada gangguan ini dengan disregulasi jalur dopamin mesolimbik atau
jalur dopamin mesokortikal, dan jalur dopamin thalamik (Gambar 9-32). Secara khusus, gejala positif
psikosis dihipotesiskan sebagai akibat hiperaktifitas neuron dopamin mesolimbik dan gejala skizofrenia
negatif, kognitif, dan afektif dihipotesiskan sebagai akibat underactivity neuron dopamin mesolimbik
yang juga menyebabkan gejala negatif terkait-ganjaran pada skizofrenia.

Glutamat
Baru-baru ini, telah ditemukan teori peran utama neurotransmiter glutamat dalam patofisiologi
skizofrenia. Selain itu, glutamat juga menjadi target utama agen psikofarkmako baru untuk terapi
skizofrenia. Untuk memahami teori peran glutamat dalam skizofrenia, bagaimana malfungsi pada sistem
glutamat mempengaruhi sistem dopamin pada skizofrenia, dan bagaimana sistem glutamat dapat menjadi
target penting terapi farmakologi skizofrenia yang baru, penting untuk mebaca kembali mnegenai regulasi
neurotransmisi glutamat. Glutamat adalah neurotransmiter eksitasi mayor pada sistem saraf pusat dan
terkadang dianggap sebagai saklar utama di otak, karena glutamat mampu mengeksitasi dan
mengaktifkan hampir seluruh neuron CNS. Oleh karena itu sintesis, metabolisme, regulasi reseptor, dan
jalur utama pada glutamat penting pada fungsi otak dan akan di bahas di sini.

Sintesis glutamat
Glutamat atau asam glutamat adalah neurotransmiter yang berupa asam amino. Bentuk predominannya
tidak digunakan sebagai neurotransmiter namun sebagai bentukan asama mino yang menghambat
biosintesis protein. Ketika digunakan sebagai neurotransmiter, bentuk predominan ini disintesis dari
glutamin pada sel glial, yang membantu mendaur ulang dan meregenerasi lebih banyak glutamat
kemudian dilanjutkan pelepasan glutamat selama proses neurotransmisi. Pertama-tama glutamat
dilepaskan dari vesikel sinaptik yang menyimpan neurotransmiter dalam neuron glutamat dan kemudian
diambil ke dalam sel glial di sebelahnya dengan pompa reuptake yang merupakan transporter asam amino
eksitatori (EAAT) (Gambar 9-33A). Neuron glutamat postsinaps dan daerah postsinaptik neurotransmiter
glutamat juga memiliki EAAT (tidak ditunjukkan dalam gambar); namun EAAT tersebut tidak memiliki
peran penting pada daur ulang dan regenerasi glutamat seperti EAAT pada sel glial (Gambar 9-33A).
EAAT dibahas pada Bab 4 dan ditunjukkan pada Gambar 4-11 dengan subtipe EAAT 1 sampai 5
ditunjukkan pada Tabel 4-2.

Selanjutnya glutamat diubah menjadi glutamin di dalam sel glial oleh sebuah enzim yang
diketahui merupakan glutamin sintetase (panah 3 pada Gambar 9-33B). Glutamin dilepaskan dari sel glial
melalui transport reverse oleh pompa atau transporter yang diketahui merupakan asam amino netral
spesifik (gliat SNAT dan panah 4 pada Gambar 9-33C). Glutamin juga dapat dibawa keluar dari sel glial
oleh second transporter yang diketahui merupakan transporter alanin-serin-sistin glial atau ASC-T (tidak
ditunjukkan). Glial SNAT dan ASC-T bekerja dari arah dalam, membawa glutamin dan asam amino lain
masuk ke sel glial dan melompat masuk ke sebuah neuron melalui kerja SNAT neuronal lain di bagian
dalam dengan cara reuptake (Panah 5 di Gambar 9-33C).

GAMBAR 9-32 Hipotesis dopamin yang terintegrasi pada skizofrenia. Mayoritas gejala yang berhubungan
dengan skizofrenia dapat dijelaskan oleh disregulasi jalur dopaminergik; khususnya oleh hiperaktivitas
jalur dopamin mesolimbik (gejala positif), hipoaktivitas dari jalur dopamin mesokortikal menuju korteks
prefrontal dorsolateral (DLPFC) (gejala kognitif dan negatif), dan hipoaktivitas dari jalur dopamin
mesokortikal yang menuju ventromedial prefrontal cortex (vmPFC) (gejala afektif dan negatif). Jalur
nigrostriatal dan dopamin tuberoinfundibular, meskipun dipengaruhi oleh antipsikotik yang digunakan
untuk mengobati skizofrenia, dianggap "normal" pada skizofrenia yang tidak diterapi.

Setelah berada di dalam neuron, glutamin diubah menjadi glutamat oleh enzim di mitokondria
yang bernama glutaminase (panah 6 pada Gambar 9-33D). Glutamat kemudian dibawa masuk ke vesikel
sinaptik melalui transporter glutamat vesicular (vGluT, panah 7 pada Gambar 9-33D), dan disimpan untuk
pelepasan selanjutnya selama proses neurotransmisi. vGluT dibahas pada Bab 4 dan ditunjukkan pada
Gambar 4-11; subtipenya ditunjukkan pada Tabel 4-3. Setelah dilepasakan, kerja glutamat dihentikan
bukan oleh lepasnya ikatan enzim, seperti pada sistem neurotransmiter lain, tapi oleh lepasnya EAAT
pada neuron atau glia, dan seluruh siklus ini pun dimulai kembali (Gambar 9-33A sampai D).
GAMBAR 9-33A Glutamat didaur ulang dan diregenerasi, part 1. Setelah pelepasan glutamat dari neuron
presinaptik (1), Diambil ke dalam sel glial melalui EAAT, atau eksitasi transporter asam amino (2).

GAMBAR 9-33B Glutamat didaur ulang dan diregenerasi, part 2. Setelah di dalam sel glial, glutamat
dikonversi menjadi glutamin oleh sintetase enzim glutamin (3).
GAMBAR 9-33C Glutamat didaur ulang dan diregenerasi, part 3. Glutamin dilepaskan dari sel-sel glial
oleh transporter spesifik asam amino netral (glial SNAT) melalui proses transportasi terbalik (4), dan
kemudian diambil oleh SNATs pada neuron glutamat (5).

GAMBAR 9-33D Glutamat didaur ulang dan diregenerasi, part 4. Glutamin diubah menjadi glutamat
dalam neuron glutamat presinaptik oleh enzim glutaminase (6) dan dimasukkan ke dalam vesikel sinaptik
oleh vesikular glutamat transporter (vGluT), dan disimpan untuk penggunaan yang akan datang.
GAMBAR 9-34 reseptor kotransmiter glisin NMDA (N-methyl-d-aspartat) diproduksi. Kerja glutamat pada
reseptor NMDA bergantung pada keberadaan kotransmiter, baik glisin atau d-serin. Glisin dapat
diturunkan secara langsung dari asam amino diet dan diangkut ke dalam sel glial baik oleh transporter
glisin (GlyTl) atau dengan transporter spesifik asam amino netral (SNAT). Glisin juga dapat diproduksi
baik di dalam neuron glisin ataupun di sel glial. Neuron glisin memberikan hanya sejumlah kecil glisin
pada glutamat sinaptik, karena sebagian besar glisin yang dilepaskan oleh neuron glisin digunakan hanya
pada glisin sinaptik dan kemudian dibawa kembali ke neuron glisin presinaptik melalui glisin-2
transporter (Gly-T2) sebelum glisin dapat berdifusi ke glutamat sinaptik. Glisin yang diproduksi oleh sel
glial memainkan peran yang lebih besar di glutamat sinaptik. Glisin diproduksi dalam sel glial ketika asam
amino l-serin diambil ke dalam sel glial melalui transporter l-serin (l-SER-T), dan kemudian diubah
menjadi glisin oleh enzim serin metil hidroksi transferase (SHMT). Glisin dari sel glial dilepaskan ke dalam
glutamat sinaptik melalui transportasi terbalik dengan glisin 1 transporter (Gly-Tl). Glisin ekstraseluler
kemudian diangkut kembali ke dalam sel-sel glial melalui pompa reuptake, yaitu Gly-Tl.

Sintesis kotransmiter glutamat, glisin dan d-serine


Pada salah satu reseptor utama glutamat di sistem glutamat dicurigai memerlukan kotransmiter tambahan
selain glutamat agar dapat berfungsi. Reseptor yang dimaksud adalah reseptror NMDA, dijelaskan di
bawah, dan kotransmiternya adalah asam amino glisin (Gambar 9-34), atau asam amino lain yang sangat
mirip dengan glisin, yaitu d-serine (Gambar 9-35).

Glisin tidak diketahui apakah disintesis oleh neuron glutamat, sehingga neuron glutamat harus
mendapatkan glisin yang diperlukan untuk reseptor NMDA baik dari neuron glisin atau dari sel glial
(Gambar 9-34). Neuron glisin melepaskan glisin, namun hanya menyumbangkan sejumlah kecil glisin
pada sinaps glutamat, glisin tidak dapat berdifusi terlalu jauh dari neuron glisin yang berdekatan karena
pelepasan glisin diambil kembali ke dalam neuron tersebut oleh sejenis pompa reuptake glisin yang
diketahui sebagai transporter glisin tipe 2, atau Gly-T2 (Gambar 9-34).

GAMBAR 9-35 Reseptor kotransmiter d-serin NMDA diproduksi. Glutamat memerlukan keberadaan baik
glisin atau d-serin pada reseptor N-metil-d-aspartat (NMDA) untuk mengeluarkan beberapa efeknya.
Dalam sel glial, racemase enzim serin mengkonversi l-serin menjadi d-serin, yang kemudian dilepaskan
ke sinaps glutamat melalui transportasi terbalik di transporter d-serin glial (glial d-SER-T). Kehadiran l-
serin di sel glial menyebabkan transportasi yang ada melalui transporter l-serin (l-SER-T) atau konversi ke
dalam l-serin dari glisin melalui enzim serin metil hidroksi transferase (SHMT). Setelah d-serin dilepaskan
ke sinaps, kemudian diambil kembali ke dalam sel glial oleh pompa reuptake, yaitu d-SER-T. Kelebihan d-
serin dalam sel glial dapat dihancurkan oleh enzim oksidase asam d-amino (DAO), yang mengubah d-
serin menjadi hidroksi-piruvat (OH-piruvat).

Sel glisin yang berdekatan diperkirakan merupakan sumber utama glisin yang tersedia bagi sinpas
glutamat. Glisin itu sendiri dapat masuk ke dalam sel glial dari ruang ekstraselular atau aliran darah oleh
tranporter glisin tipe 1, atau Gly-T1 (Gambar 9-34). Glisin juga dapat masuk ke dalam sel glial oleh
SNAT glial. Glisin tidak diketahui dapat disimpan di dalam vesikel sinaptik sel glial, tapi seperti yang
nanti akan kita pelajari, dengan bergabungnya neurotransmiter d-serine, glisin dapat disimpan ke dalam
beberapa tipe vesikel sinaptik dalam sel glial. Di dalam sitoplasma sel glial, glisin entah bagaimana
tersedia untuk pelepasan ke dalam sinaps, dan keluar dari sel glial lalu masuk ke dalam sinaps glutamat
melalui transporter Gly-T1 reverse (Gambar 9-34). Setelah berada di luar, glisin dapat kembali masuk ke
dalam sel glial oleh Gly-T1 di bagian dalam secara langsung, yang berfungsi sebagai pompa reuptake dan
merupakan mekanisme utama yang bertanggungjawab untuk mengehentikan kerja glisin sinaptik
(Gambar 9-34). Kemudian, pada Bab 10, kita akan membahas obat-obatan terbaru untuk skizofrenia yang
meningkatkan kerja glisin hingga kerja glutamat pada reseptor NMDA, terapi tersebut masih diuji coba
dan salah satunya adalah inhibitor transporter utama glisin, Gly-T1.

Glisin juga dapat disintesis dari asam amino l-serine, yang berasal dari ruang ekstraselular, aliran
darah, dan makanan. L-serin dibawa ke dalam sel glial oleh transporter l-serin (SER-T): dan diubah dari l-
serin menjadi glisin oleh enzim serine hydroxy methyl transferase glisin (SMHT) (Gambar 9-34). Enzim
ini dapat bekerja dua arah, merubah l-serin menjadi glisin atau merubah glisin menjadi l-serin.

Bagaimana kotransmiter d-serin dibuat? D serin sedikit berbeda karena merupakan asam amino d-
serin, sedangkan 20 asam amino yang diketahui semuanya merupakan asam amino-l, termasuk bentuk
kebalikan dari d-serin, l-serin. D-serin memiliki afinitas yang tinggi pada lokasi glisin di treseptor NMDA
dan sel glial dilengkapi dengan sebuah enzim yang dapat merubah l-serin umum menjadi asam amino
neurotransmiter d-serin oleh sebagian besar enzim yang dapat berubah-ubah di antara serin d sampai l
sebagai kumpulan d-serin (Gambar 9-35). D-serin dapat diambil dari glisin atau bisa juga dari l-serin,
keduanya dapat dibawa ke dalam sel glial oleh transporternya masing-masing. Glisin diubah menjadi l-
serin oleh enzim SHMT dan l-serin diubah menjadi d-serin oleh sekumpulan enzim d-serin (Gambar 9-
35). Yang menarik d-serin mungkin disimpan pada beberapa vesikel di sel glial pada transporter d-serin
glial reversed (atau d-SER-T) untuk dilepaskan ketika proses neurotransmisi pada sinaps glutamat yang
mengandung reseptor NMDA. Kerja d-serin dihentikan tidak hanya oleh reuptake sinaptik melalui kerja
glial d-SER-T dalam tapi juga oleh senzim d-asam amino oxidase (DAO), yang merubah d-serin menjadi
hydroxypiruvate (Gambar 9-35). Di bawah ini akan dibahas mengenai DAO aktivator yang dibuat di otak,
oleh d-asam amino oksidase aktifator (DAOA). Gen yang membuat DAOA mungkin merupakan gen
yang berperan penting dalam mengatur dasar genetik skizofrenia, seperti yang dijelaskan di bawah pada
bagian hipotesis neurodevelopmental skizofenia.

Reseptor glutamat
Terdapat beberapa tipe reseptor glutamat (Gambar 9-36 dan Tabel 9-11), salah satunya adalah pompa
reuptake neuronal presinaptik (transporter eksitatori asam amino, atau EAAT) dan transporter vesikular
glutamat ke dalam vesikel sinaptik (vGluT). Ditunjukkan pula pada neuron preesinaptik seperti pada
neuron postsinaptik suatu reseptor glutamat metabotropik (Gambar 9-36). Reseptror glutamat
metabotropik berhubungan dengan protein G reseptor terkait dibahas dalam Bab 4.

Terdapat sedikitnya delapan subtipe reseptor glutamat metabotropik, dan disusun menjadi tiga
kelompok terpisah (Gambar 9-11). Suatu penelitian menyatakan bahwa reseptor metabotropik kelompok
II dan III dapat terjadi secara presinaptik, di mana kelompok tersebut bekerja sebagai autoreseptor untuk
menghambat pelepasan glutamat (Gambar 9-37). Obat yang menstimulasi autoreseptor presinaptik
sebagai agonis kemudian menurunkan pelepasan glutamat dan digunakan secara potensial sebagai
antikonvulsan dan mood stabilizer dan juga untuk pertahanan melawan eksitoksisitas glutamat seperti
yang dijelaskan di bawah. Kelompok I reseptor glutamat metabotropik sebagian besar terletak secara
postsinaptik, menurut hipotesisnya kelompok ini berinteraksi dengan reseptor postsinaps glutamat lain
untuk memfasilitasi dan memperkuat respon yang diperantarai oleh reseptor kanal ion bergerbang-ligand
untuk glutamat selama proses neurotransmisi glutamatergik eksitatori (Gambar 9-36; lihat juga Gambar 5-
43 A, B, dan C).
GAMBAR 9-36 Reseptor glutamat. Ditampilkan di sini adalah reseptor untuk glutamat yang mengatur
neurotransmisinya. Eksitasi transporter asam amino (EAAT) yang terletak secara presinaptik dan
bertanggung jawab dalam membersihkan kelebihan glutamat dari sinaps. Transporter vesikular untuk
glutamat (v-Glu-T) mengangkut glutamat ke vesikel sinaptik, di mana akan disimpan sampai digunakan
kembali. Reseptor glutamat metabotropik (terkait dengan G-protein) dapat terjadi baik secara
prasinaptik atau secara postsinaptik. Tiga jenis reseptor glutamat postsinaptik yang terkait dengan kanal
ion, dan dikenal sebagai kanal ion bergerbang-ligand: reseptor N-methyl-d-aspartat (NMDA), reseptor
asam alphaamino-3-hidroksi-5-metil-4-isoxazolepropionic (AMPA), dan reseptor kainate, semua
dinamakan sesuai agonis yang mengikat mereka.

Reseptor glutamat NMDA, AMPA (alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole-asam propionik),


dan kainat - dinamakan setelah agonis yang secara selektif mengikatnya - semuanya merupakan
kelompok reseptor kanal ion bergerbang-ligand (Gambar 9-36 dan Tabel 9-11). Kanal-kanal ion
bergerbang ligand tersebut juga diketahui merupakan sebagai reseptor ionotropik atau reseptor terkait
kanal ion (dibahas pada Bab 5 dan ditunjukkan pada Gambar 5-24, 5-25, dan 5-43 A, B, dan C).
Semuanya cenderung menjadi postsinapik dan bekerja bersama untuk mengatur neurotransmisi
postsinaptik eksitasi yang dicetuskan oleh glutamat. Secara khusus, reeptor AMPA dan kainat dapat
memperantarai dengan cepat, nurotransmisi eksitasi, membiarkan natrium masuk neuron untuk
membuatnya terdepolarisasi (lihat Gambar 5-25 dan 5-43). Reseptor NMDA pada keadaan istirahat
normalnya dihambat oleh magnesium, yang menyumbat kanal kalsiumnya (Gambar 5-24 dan 5-43).
Reseptor NMDA merupakan tipe reseptor detektor koinsidens yang hanya dapat membuka dan
membiarkan kalsium masuk ke dalam neuron untuk mencetuskan kerja postsinaptik dari neurotransmisi
glutamatnya ketika tiga hal terjadi di waktu yang bersamaan, yaitu: glutamat megisi lokasi ikatannya pada
reseptor NMDA, glisin atau d-serin berikatan pada reseptor NMDA, dan terjadi depolarisasi, membiarkan
sumbat magnesium lepas (Gambar 5-25 dan 5-43). Beberapa sinyal penting dari reseptor NMDA yang
diaktifkan ketika kanal kalsium NMDA terbuka tidak hanya potensiasi jangka-lama dan plastisitas
sinaptik namun juga eksitasi, seperti yang dijelaskan kemudian pada bab ini.

TABEL 9-11 Tipe reseptor glutamat

Metabotropik
Grup I mGluR1
mGluR5

Grup II mGluR2
mGluR3

Grup III mGluR4


mGluR6
mGluR7
mGluR8
Ionotropik (Kanal ionbergerbang-ligand, kanal ion terkait reseptor)
Golongan fungsional keluarga gen agonis antagonis
AMPA GluR1 glutamat
GluR2 AMPA
GluR3 kainate
GluR4
Kainate GluR5 glutamat
GluR6 kainate
GluR7
KA1
KA2
NMDA NR1 glutamat
NR2A aspartat
NR2B NMDA MK801
NR2C ketamin
NR2D PCP (phencyclidine)

Jalur utama glutamat di dalam otak dan hipotesis hipofungsi reseptor NMDA pada skizofrenia
Glutamat merupakan neurotransmiter eksitasi yang tersebar luas dan nampaknya mampu mengeksitasi
dini setiap neuron pada otak; inilah kenapa glutamat terkadang disebut juga sebagai saklar master.
Terdapat beberapa jalur glutamatergik spesifik yang secara khususu berhubungan dengan
psikofarmakologi dan khususnya berhubungan dengan patofisiologi skizofrrenia (Gambar 9-38). Kelima
jalur tersebut seluruhnya berhubungan dengan neuron glutamatergik piramidal di dalam korteks
prefrontal.

Jalur glutamat kortikobrainstem dan reseptor NMDA Hipotesis hipofungsi pada skizofrenia
Jalur descenden glutamatergik yang paling penting menonjol dari neuron korteks piramidal dan paling
banyak di lamina 5 (lihat Gambar 7-22) pada pusat neurotransmiter batang otak, salah satunya adalah
raphe serotonin, area ventral tegmental (VTA) dan substansia nigra dopamin, dan lokus cocrueles untuk
norepinefrin (jalur a pada Gambar 9-38). Jalur ini merupakan penonjolan dari glutamat kortikal batang
otak dan merupakan regulator utama pelepasan neurotransmiter. Secara khusus, jalur descenden glutamat
kortikobrainstem normalnya bekerja sebagai rem pada jalur dopamin mesolimbik. Hal ini terjadi dengan
cara berhubungan dengan neuron dopamin tersebut melalui inhibisi GABA interneuron di VTA (Gambar
9-39A). Hal ini normalnya menyebabkan inhibisi tonic pelepasan dopamin dari jalur mesolimbik
(Gambar 9-39A)

GAMBAR 9-37A dan B Autoreseptor glutamat metabotropik. Kelompok II dan III reseptor glutamat
metabotropik berada secara presinaptik sebagai autoreseptor untuk mengatur pelepasan glutamat.
Ketika glutamat dibangun di sinaps (A), glutamat tersedia untuk berikatan dengan autoreseptor, yang
kemudian menghambat pelepasan glutamat (B).

Hipotesis mayor terbaru untuk skizofrenia salah satunya adalah reseptor NMDA dalam jalur ini.
Hiipotesis hipofungsi resesptor NMDA pada skizofrenia muncul dari penelitian pada reseptor NMDA
yang dibuat menjadi hipofungsi oleh efek antagonis reseptor NMDA phencyclidine (PCP), antagonis ini
menyebabkan kondisi psikosis pada manusia normal yang sangat mirip dengan gejala positif skizofrenia,
salah satu gejala yang muncul adalah halusinasi dan delusi. Pada tingkat yang lebih rendah, antagonis
reseptor NMDA ketamin dapat juga menyebabkan psikosis seperti-skizofrenia pada orang normal.
GAMBAR 9-38 Lima jalur glutamat di otak. Meskipun glutamat dapat memiliki kerja di hampir seluruh
neuron di otak, ada lima jalur glutamat yang sangat relevan dengan skizofrenia, (a) penonjolan kortikal
batang otak glutamat adalah jalur downstream yang menonjol dari neuron piramidal kortikal di korteks
prefrontal menuju pusat-pusat neurotransmitter brainstorming (raphe, lokus coeruleus, daerah
tegmental ventral, substantia nigra) dan mengatur pelepasan neurotransmiter, (b) jalur downstream
glutamatergik menonjol dari korteks prefrontal ke striatum (jalur glutamat) dan nucleus accumbens
(jalur glutamat kortikoacumbens), dan merupakan bagian dari loop cortico-striatal-thalamic
"kortikostriatal," (c) jalur glutamat talamokortikal adalah jalur yang naik dari thalamus dan mempersarafi
neuron piramidal di korteks, (d) jalur glutamat kortikotalamik turun dari korteks prefrontal menuju
thalamus, (e) neuron piramidal intracortical dapat berhubungan satu sama lain melalui neurotransmitter
glutamat. Jalur ini dikenal sebagai jalur glutamatergic kortikokortikal.

Penelitian seperti itu telah mengarahkan pada hipotesis bahwa resptor NMDA secara khusus pada
penonjolan glutamat kortikobrainstem mungkin menjadi hipoaktif pada skizofrenia yang tidak terobati
kemudian tidak dapat melakukan fungsinya karena inhibisi secara tonik neuron dopamin mesolimbik.
Ketika hal ini terjadi, hasilnya adalah hiperaktifitas dopamin mesolimbik. Secara teori hal ini disebabkan
oleh hipoaktifitas glutamat kortikobrainstem pada reseptor NMDA (gambar 9-38B).

Jadi, hipotesis dopamin mesolimbik pada gejala positif skizofrenia (ditunjukkan pada Gambar 9-25B
dan 9-26) dapat dijelaskan oleh hipotesis hipofungsi reseptor NMDA pada skizofrenia (ditunjukkan pada
Gambar 9-39B). Dengan kata lain, hiperaktifitas dopamin mesolimbik yang menyebabkan gejala positif
skizofrenia dapat benar-benar disebabkan oleh hipoaktifitas reseptor NMDA pada penonjolan glutamat
kortikobrainstem, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9-39B.
GAMBAR 9-39A dan B Hipotesis hipofungsi reseptor NMDA dan gejala positif skizofrenia. (A) penonjolan
kortikal batang otak glutamat berhubungan dengan dopamin melalui jalur mesolimbik gamma
aminobutyric acid (GABA) interneuron di daerah tegmental ventral. Eksitasi glutamat merangsang
reseptor N-metil-d-aspartat (NMDA) pada interneuron, menyebabkan pelepasan GABA, dan kemudian
GABA menghambat pelepasan dopamin dari jalur dopamin mesolimbik; jalur downstream glutamatergik
biasanya bekerja sebagai rem pada jalur dopamin mesolimbik. (B) Jika reseptor NMDA pada penonjolan
kortikal batang otak glutamat menjadi hipoaktiv, maka efek downstream pada penghambatan tonik jalur
dopamin mesolimbik tidak akan terjadi, yang mengarah pada hipoaktivitas di jalur ini. Ini adalah dasar
teori biologis hiperaktif dopamin mesolimbik yang diduga berhubungan dengan gejala positif psikosis.

Apa yang menjadi perhatian dalam hipotesis hipofungsi reseptor NMDA pada skizofrenia adalah
bahwa tidak seperti amfetamin yang hanya mengaktifkan gejala positif, PCP juga meniru gejala kognitif,
negatif, dan afektif skizofrenia. Dengan kata lain, individu normal yang diberikan PCP dan reseptor
NMDAnya menjadi hipofungsi tidak hanya mengalami gejala positif seperti delusi dan halusinasi namun
juga mengalami gejala afektif seperti afek buntu, gejala negatif seperti withdrawal sosial, dan gejala
kognitif seperti disfungsi eksekutif. Penelitian klinis tambahan tersebut telah mangarahkan kepada
pemikiran bahwa reseptor NMDA pada penonjolan glutamat kortikobrainstem yang mengatur jalur
dopamin mesokortikal juga dapat menjadi hipoaktif pada pasien skizofrenia.

Bagaimana hal ini dapat dijelaskan? Normalnya, neuron glutamat kortikobrainstem descending
bekerja sebagai akselerator untuk neuron dopamin mesokortikal. Tidak seperti kerja neuron glutamat
kortikobrainstem pada neuron dopamin mesolimbik (ditunjukkan pada Gambar 9-39A), di mana bekerja
melalui perantaraan interneuron GABA, neuron glutamat kortikobrainstem bersinaps secara langsung
pada neuron dopamin tersebut dalam area tegmental ventral yang menonjol ke korteks, yang disebut
neuron dopamin mesokortikal (Gambar 9-40). Ini artinya neuron glutamat kortikobrainstem normalnya
berfungsi sebagai akselarator dari neuron dopamin mesokortikal tersebut; kemudian dieksitasi secara
tonik (Gambar 9-40A).

GAMBAR 9-40A dan B Hipotesis hipofungsi reseptor NMDA dan gejala negatif, kognitif, dan afektif
skizofrenia. (A) penonjolan kortikal batang otak glutamat berhubungan langsung dengan jalur dopamin
mesokortikal di daerah tegmental ventral, biasanya menyebabkan eksitasi tonik. (B) Jika reseptor N-
metil-d-aspartat (NMDA) dalam penonjolan kortikal batang otak glutamat hipoaktiv, eksitasi tonik ini
akan hilang dan jalur dopamin mesokortikal menjadi hipoaktif, berpotensi dapat menjelaskan gejala
kognitif, negatif, dan afektif skizofrenia.

Konsekuensi dari sirkuit nueronal ini adalah ketika penonjolan kortikobrainstem ke neuron dopamin
mesokortikal memiliki hipoaktifitas reseptor NMDA, kehilangan eksitasinya dan menjadi hipoaktif,
seperti pada yang ditunjukkan Gambar 9-40B. Hal ini dapat dijelaskan secara hipotesis mengapa neuron
dopamin mesokortikal menjadi hipoaktif dan kemudian hubungnnnya dengan gejala kognitif, negatif,
afektif skizoferenia, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9-27B, 9-28B, dan 9-29.

Jalur glutamat kortikostriatal


Hasil glutamatergik descenden kedua dari neuron piramidal yang menonjol ke striatum ditunjukkan
sebagai jalur b pada Gambar 9-38B. Jalur ini diketahui sebagai jalur glutamat kortikostriatal ketika
menonjol ke striatum itu sendiri atau jalur glutamat kotikoaccumben ketika menonjol ke area spsifik
striatum ventral yang diketahui merupakan nucleus accumbens. Pada kedua keadaan di atas, penonjolan
ini berasal dari neuron piramidal lamina 5 di korteks (Gambar 7-22). Jalur kortikostriatal ini merupakan
kaki pertama dari kortiko-striatal-thalamic-kortikal (CSTC) loop, yang merupakan mesin otak untuk
output perilaku dan fungs; hal ini dibahas pda Bab 7 dan digambarkan pada Gambar 7-16 hingga 7-21.

Normalnya penonjolan glutamat kortikostriatal yang menuju striatum ini berhenti di neuron GABA
pada striatum (nomer 1 di Gambar 9-41A), yang kemudian menonjol menuju thalamus (nomer 2 di
Gambar 9-41). Di dalam thalamus, neuron GABA tersebut membuat saringan sensoris untuk mencegah
teralalu banyak arus sensori yang masuk ke dalam thalamus yang berasal dari korteks, yang akan
membingungkan dan memenuhi pengolahan informasi kortikal (panah 3 pada Gambar 9-41A).

Fungsi dopamin di dalam loop CSTC ini untuk menghambat penonjolan neuron GABA ke thalamus,
kemudian menurunkan efektifitas saringan thalamus (Gambar 9-1B). Hal ini melawan input eksitatori
glutamat dari penonjolan glutamat kortikostriatal ke straitum (Gambar 9-41A dan B).

Jalur glutamat thalamokortikal


Jalur glutamat ascenden dimulai dari thalamus dan menginervasi neuron piramidal dan diketahui sebagai
jalur thalamokortikal (jalur c di gambar 9-38). Hal ini merupakan kaki kembali dari CSTC loop (lihat
Gambar 7-16 hingga 7-21), yaitu dari thalamus ke korteks dan menyediakan tidak hanya feedback ke sel
piramidal asal mesin kortikal dari pengolahan informasi yang terjadi di dalam CSTC loop (lihat nomer
3 di Gambar 9-41A), namun juga masuk secara acak melalui korteks ke banyak neuron piramidal lain dan
juga ke CSTC loopnya (lihat panah 3 di Gambar 9-41C). Fungsi yang tepat dari saringan thalamik
mencegah input sensori yang terlalu banyak dari penembusan thalamus ke dalam korteks, sehingga
pengolahan informasi dapat terjad secara baik (Gambar 9-41C).

Bagaimana hipofungsi reseptor NMDA mempengaruhi pengolahan informasi di dalam CSTC loop?
Pertama, ketika jalur glutamat kortikobrainstem descenden memiliki reseptor NMDA yang hipofungsi di
area tegmental ventral, maka hal ini membuat hiperaktifitas dopamin mesolimbik dan gejala positif
psikosis seperti yang telah dijelaskan si atas dan ditunjukkan pada Gambar 9-39B. Efek pada CSTC loop
ini ditunjukkan pada Gambar 9-41D, di mana hiperaktifitas dopamin menurunkan saringan thalamik dan
mengijinkan terjadinya kelebihan informasi yang memasuki thalamus, dan kemudian membiarkannya
masuk ke dalam korteks melalui neuron thalamokortikal ascenden.

Kalau hal ini belum cukup buruk, terdapat juga hipotesis hipofungsi reseptor NMDA pada jalur
glutamat kortikostriatal descenden (Gambar 9-41E). Jalur ini menurunkan kontrol eksitatori pada neuron
GABA yang membuat saringan thalamik. Bersama dengan kelebihan kontrol dopamin dari neuron
mesolimbik, kegagalan saringan thalamik, dan terlalu banyak informasi yang lolos dan meluas ke dalam
korteks, di mana hal ini dapat menyebabkan manifestasi kortikal halusinasi atau juga membuat gejala
kortikal lain seperti gejala kognitiif, negatif, dan afektif skizofrenia (Gambar 9-41E).

Jalur glutamat kortikotalamik


Jalur glutamatergik descenden ketiga, paling banyak berasal dari lamina 6 di korteks (Gambar 7-22),
menonjol secara langsung ke thalamus, di mana jalur ini menyediakan input sensoris dan input tipe lain
(jalur d di Gambar 9-38). Jalur ini dikenal sebagi jalur kortikotalamik. Hal ini dapat menggambarkan
beebrapa input sensoris yang datang melalui neuron glutamat menuju thalamus pada Gambar 9-41C, D
dan E. Hipofungsi reseptor NMDA pada tingkat ini juga dapat menyebabkan disregulasi informasi yang
memasuki korteks karena kelebihan dan malfungsi dari input glutamat kortikal secara langsung menuju
saringan thalamik (Gambar 9-41E).
GAMBAR 9-41A Loop kortiko-striatal-
thalamic-kortikal menciptakan penyaring
sensorik thalamik. Neuron glutamatergik
piramidal turun dari korteks prefrontal ke
striatum (1), di mana neuron ini berakhir
pada neuron gamma aminobutyric acid
(GABA) (2) yang menonjol ke talamus.
Pelepasan GABA di thalamus menciptakan
penyaring sensorik yang mencegah terlalu
banyak informasi sensorik melalui
thalamus untuk mencapai korteks,
termasuk umpan balik neuron glutamat
talamokortikal yang menonjol kembali ke
korteks neuron piramidal asal (3).

GAMBAR 9-41B Dopamin mengurangi


penyaringan thalamic. Input dopaminergik
ke nucleus accumbens melalui jalur dopamin
mesolimbik (1) memiliki efek penghambatan
pada neuron gamma aminobutyric acid
(GABA) (2). Dengan demikian, input
dopamin (1) mengurangi input stimulasi
glutamatergic untuk neuron ini dari korteks
prefrontal, dan dengan demikian
mengurangi efektivitas penyaring sensorik
thalamik karena sedikitnya GABA yang
dilepaskan oleh neuron GABA yang
menonjol dari nucleus accumbens ke
talamus (2). Hal ini berarti input sensorik
berlebih dapat lolos dari thalamus ke
korteks (3).

Jalur glutamat kortikokortikal


Suatu neuron piramidal berhubungan dengan neuron lain melalui neurotransmiter glutamat (Gambar 9-38,
jalur e). Jalur tersebut diketahui sebagai jalur glutamatergik kortikokortikal. Output glutamtergik dari
neuron piramidal kortikal juga dibahas di Bab 7; output glutamatergik spesifik dari neuron piramidal di
lamina 2 dan 3 dari korteks prefrontal ditunjukkan pada Gambar 7-22. Interaksi glutamatergik
kortikokortikal juga ditunjukkan pada Gambar 7-14 dan 7-15.

GAMBAR 9-41C Penghambatan tonik input sensorik dari thalamus. Penyaring input sensori thalamik
menuju korteks diatur oleh neuron glutamat yang menonjol ke nukleus accumbens (1), merangsang
pelepasan GABA di thalamus (2). Jika efektif, penghambatan GABA ini menyaring banyak input
sensorikyang datang ke thalamus, sehingga hanya input sensorik tipe tertentu yang diteruskan ke korteks
(3).

Neuron piramidal kortikal menggunakan glutamat untuk berhubungan maju dan mundur: tidak hanya
mengirim informasi tapi juga bisa menerima informasi dari neuron lain melalui glutamat (Gambar 9-38).
Glutamat adalah neurotransmiter utama yang digunakan untuk mengrim informasi sebagai output dari
neuron piramidal, namun neuron tersebut dapat menerima sejumlah besar pesan neurotransmiter kimia
sebagai input dari neuron lain, dibahas di Bab 7 dan digambarkan untuk input GABAergik interneuron ke
neuron piramidal di Gambar 7-23 dan untuk sejumlah besar imput neurotransmiter lain ke neuron
piramidal pada Gambar 7-24.

GAMBAR 9-41D Hipeaktifitas dopamin mesolimbik f mengurangi hambatan thalamic dan meningkatkan
aktivasi kortikal. Efek penghambatan dopamin ditunjukkan dalam Gambar 9-41B ditampilkan di sini
sebagai peningkatan berlebih ketika jalur dopamin ini hiperaktif (1). Aktivitas dopamin yang terlalu
banyak dalam nukleus accumbens (1), mengurangi output GABA ke thalamus (2), sehingga sangat
mengurangi efektivitas penyaringan thalamic. Ketika ini terjadi, lebih banyak input sensorik yang dapat
melalui saringan thalamic dan meningkatkan jumlah aktivasi kortikal dengan menaiki neuron glutamat
talamokortikal (3). Hal ini menyebabkan peningkatan aktivasi kortikal dan bahkan dapat berpotensi
menyebabkan kelebihan pada korteks prefrontal, dan gejala positif skizofrenia. Lihat juga Gambar 9-41E.

Dalam istilah hipotesis hipoaktif reseptor NMDA skizofrenia tidak sulit untuk melihat bagaimana
malfungsi input glutamat dengan neuro piramidal kortikal, tidak hanya dari neuron talamokortikal
(ditunjukkkan di Gambar 9-41) namun juga dari hubungan neuron kortikokortikal di korteks (ditunjukkan
di Gambar 9-38 sama seperti pada Gambar 7-14 dan 7-15) dapat berperan untuk gejala skizofrenia yang
secara teori terletak di korteks frontal, sepeti gejala kognitif, afektif, dan negatif.

GAMBAR 9-41E Reseptor N-metil-d-aspartat (NMDA) hipofungsi pada penonjolan kortikotriatal dan
kortikoaccumbens: kelebihan sensori. Hipofungsi reseptor NMDA pada penonjolan kortikostriatal
glutamatergik dan kortikoaccumbens (1) menurunkan kontrol eksitatori pada neuron gamma
aminobutyric acid (GABA) yang menciptakan saringan thalamic (2), yang dapat menyebabkan kelebihan
informasi sensorik lolos ke korteks (3). Ketika hipofungsi reseptor NMDA ini (1) digabungkan dengan
hiperaktivitas neuron dopamin mesolimbik (ditampilkan di kanan dan juga pada Gambar 9-41D), hal ini
dapat menyebabkan saringan thalamic (2) gagal menuju titik di mana banyak informasi sensorik
mencapai korteks yang menyebabkan gejala positif psikosis terjadi (3) (lihat ikon gejala positif di korteks).

Demikian, penonjolan kortikokortikal dan loop di antara area utama korteks prefrontal normalnya
berhubungan secara efektif dan mengolah informasi dengan efisien (Gambar 9-42A). Ketika reseptor
NMDA menjadi hipofungsi, hal ini mengubah lingkungan pengolahan informasi, seperti hubungan
kortikokortikal dari suatu sel piramidal glutamatergik ke sel lain, menjadi disfungsi (Gambar 9-42B).
Secara teori, hal ini berkisar mulai dari hipoaktivasi loop tersebut, seperti ditunjukkan pada loop
kortikokortikal di antara korteks prefrontal dorsolateral (DLPFC) dan korteks prefrontal ventromedial
(VMPFC) pada Gambar 9-42B, lalu aktifasi berlebih dari loop tersebut seperti yang ditunjukkan dari
VMPFC, kemudian korteks orbital (OFC), hingga overaktifasi parsial dengan hipoaktifasi parsial seperti
ditunjukkan pada OFC, DLP pada Gambar 9-42B. Apapaun pola aktifasinya, hubungan ketika reseptor
NMDA yang hipofungsi mengarah kepada gejala skizofrenia.

Secara ringkas, hipofungsi reseptor NMDA dalam lima jalur glutamat mayor dijelaskan pada Gambar
9-38 dapat berpotensi menjelaskan tidak hanya gejala positif, negatif, afektif, dan kognitif skizofrenia
namun juga menunjukkan dopamin menjadi terdisregulasi sebagai akibat dari hipofungsi reseptor
NMDA, dan kemudian terlalu aktif pada jalur dopamin mesolimbik untuk gejala positif dan terlalu
hipoaktif dalam jalur dopamin mesokortikal untuk gejala kognitif, afektif, dan negatif skizofrenia. Banyak
teori kontemporer pada dasar genetik skizofrenia sekarang fokus pada reseptor NMDA, seperti yang
didiskusikan di bawah, seperti yang dilakukan pada upaya pengembangan obat-obatan baru untuk terapi
baru skizofrenia, dibahas pada Bab 10.

Hipotesis neurodegeneratif skizofrenia


Keberadaan fungsional dan struktural yang abnormal ditunjukkan pada penelitian neuroimaging otak
skizofrenia dan menyatakan bahwa proses neurodegeneratif dengan kehilangan fungsi neuronal yang
progresif dapat terus berlanjut selama perjalanan penyakit skizofrenia (Gambar 9-43). Sejumlah besar
proses neurodegeneratif dihipotesiskan, mulai dari pengaturan genetik apoptosis yang abnormal dan
menyebabkan degenerasi neuron yang kritis, paparan anoksia, toxin, infeksi, atau malnutrisi ketika
prenatal, hingga proses kehilangan neuronal yang diketahui sebagai eksitotokisisitas (Gambar 9-43). Jika
neuron dieksitasi ketika memperantarai gejala positif dan kemudian mati dikarenakan proses racun yang
disebabkan kelebihan neurotranmsisi eksitasi, hal ini akan menyebabkan keadaan pemadaan residual yang
berlanjut menjadi gejala negatif (gambar 9-43).

Suatu kondisi neurodegenerasi pada skizofrenia juga diperkirakan disebabkan karena


progresifitas perjalanan penyakit (Gambar 9-44). Perjalanan penyakit tersebut tidak konsisten hanya
dengan disebabkan oleh proses patologi yang komplit dan statis sebelumnya. Skizofrenia berkembang
dari stadium gejala asimtomatik yang biasanya terjadi pada usia remaja (fase I pada Gambar 9-44),
menjadi stadium prodormal aneh dan onset gejala negatif menetap pada usia remaja akhir hingga awal
usai 20an (fase II pada Gambar 9-44). Fase aktif dari penyakit ini dimulai dan berlanjut sejak usia 20an
hingga 30an, dengan gejala positif dekstruktif ditunjukkan dengan perjalanan penyakit yang naik-turun
dengan terapi dan relaps, tidak pernah kembali ke keadaan normal secara tetap dan diikuti relaps akut atau
eksaserbasi (fase III pada Gambar 9-44). Akhirnya, gangguan tersebut masuk ke stadium yang lebih stabil
dengan fungsi sosial yang buruk dan gejala negatif dan kognitif yang menetap, walaupun terkadang naik-
turun namun tetap berada di bawah fungsi normal, keadaan ini telah masuk ke fase yang lebih statis,
terkadang disebut juga fase padam, pada umur 40an atau lebih (fase IV pada Gambar 9-44).

Faktanya adalah respon pasien skizofrenia terhadap terapi antipsikotik dapat berubah (dan menurun)
sepanjang perjalanan penyakit dan juga diperkirakan merupakan proses neurodegeneratif yang terus
berlangsung pada beberapa kasus. Contohnya, waktu yang diperlukan pasien skizofrenia untuk remisi
meningkat setiapkali rerjadi relaps psikotik yang berlebihan. Pasien menjadi kurang responsif terhdap
terapi antipsikotik selama epiosde yang berturut-turut atau episode eksaserbasi, termasuk gejala residual
yang bertahan seperti penurunan kapasitas fungsional pasien. Hal ini mengakibatkan resistensi terapi
selama periode berturut-turut memberikan gambaran psikosis berbahaya ke otak. Terdapat
kemungkinan pasien yang menerima terapi dini dan efektif yang terus menerus, dapat mencegah progresi
penyakit atau resistensi terapi.

GAMBAR 9-42A dan B Regulasi reseptor N-metil-d-aspartat (NMDA) pada jalur glutamat kortikokortikal.
(A) Ketika reseptor NMDA berfungsi secara normal, loop glutamat kortikokortikal berhubungan secara
efektif dan proses Informasi
efisien. (B) hipofungsi reseptor
NMDA di neuron piramidal
kortikal dapat mengganggu
hubungan antar neuron dengan
menyebabkan hipoaktivasi loop
[ditampilkan di sini, misalnya,
antara dorsolateral prefrontal
korteks (DLPFC) dan ventral
medial prefrontal cortex
(vmPFC)], hiperaktivasi loop
[ditampilkan di sini, misalnya,
antara korteks orbitofrontal
(OFC) dan vmPFC], dan
hiperaktivasi khusus dengan
hipoaktivasi khusus (ditampilkan
di sini, misalnya, antara OFC dan
DLPFC). Disfungsi jalur glutamat
kortikokortikal karena hipofungsi
reseptor NMDA bisa menjadi
penyebab gejala skizofrenia.

Sebuah ide mayor mengajukan


untuk menjelaskan perjalanan
downhill skizofrenia dan
perkembangan resisitensi terapi
merupakan kejadian
neurodegeneratif pada skizofrenia
yang diperantarai oleh sejenis
kelebihan kerja dari neurotransmiter glutamat yang telah kita ketahui sebagai
eksitotokisisitas.Hipotesis eksititokisisitas pada skizofrenia ini menyatakan degenerasi neuron
dikarenakan kelebihan neurptransmisi eksitasi pada neuron glutamat. Proses eksotoksisitas ini tidak hanya
dihipotesiskan untuk neurodegeneratif pada skizofrenia, namun juga dapat menjelaskan sejumlah kondisi
neurologis dan pskiatri seperti penyakit Alzheimer dan demensia degeneratif lain, penyakit Parkinson,
ALS, dan bahkan stroke.
GAMBAR 9-43 Teori neurodegeneratif skizofrenia. Teori neurodegeneratif skizofrenia menyatakan bahwa
hilangnya progresif fungsi saraf - baik melalui hilangnya dendrit, penghancuran sinaptik, atau kematian
neuronal - mungkin mendasari gejala dan perkembangan skizofrenia. Penyebab neurodegenerasi dapat
berkisar dari pemrograman genetik yang telah ditentukan dari neuron atau kehancuran sinaptik; pada
janin seperti anoksia, infeksi, racun, atau ibu kelaparan; hingga eksitotoksisitas yang diperantarai
glutamat dapat menyebabkan gejala yang positif, dan, karena neuron mati, menyebabkan gejala negatif
sisa.

Eksotoksisitas dan sistem glutamat pada gangguan neurodegeneratif seperti skizofrenia


Subtipe NMDA pada reseptor glutamat dianggap berperan dalam memperantarai eksitasi normal dan
neurotransmisi, menyebabkan fungsi vital seperti plastisistas neuronal dan potensiasi jangka panjang
(Gambar 9-45) sebagaimana neurodegeneratif esototoksisitas di sepanjang spektrum eksitasi glutamat
yang ditunjukkan Gambar 9-46. Eksotoksisitas merupakan jalur umum final yang mengarah kepada
perburukan progresif pada berbagai gangguan neurologis dan pskiatri yang dicitrakan dengan perjalanan
neurodegeneratif. Ide dasarnya adalah bahwa proses normal eksitasi neurotransmisi menjadi amok, dan
terjdi keadaan diluar kontrol kemudian neuron mati (Gambar 9-46 dan 9-47). Mekanisme eksitasi
dianggap dimulai ketika proses patologis overeksitasi muncul bersama gejala seperti psikosis, mania,
atau bahkan panik (Gambar 9-46 dan 9-48). Badai gejala eksitasi dapat memicu aktifitas glutamat yang
kacau dan pada akhirnya menyebabkan kematian neuronal (Gambar 9-47). Akibat yang lebih berbahaya
dari neurotransmisi eksitasi dapat dimulai dengan kelebihan potensial reversibel dari kalsium yang
memasuki neuron selama proses neurotransmisi eksitasi dengan glutmat, memperantarai gejala positif
psikosis, dan memungkinkan penyembuhan penuh dari neuron (bagain tangan kiri pada spektrum di
Gambar 9-46 dan 9-48). Kemudian keadaan overeksitasi tersebut juga dapat mengarah ke pembukaan
kanal kalsium yang berbahaya, karena terlalu banyak kalsium yang masuk ke sel melalui pembukaan
kanal, meracuni sel karena aktifasi kalsium dari enzim interselular (Gambar 9-48) membentuk radikal
bebas yang menganggu (Gambar 9-49). Awalnya, radikal bebas hanya menghancurkan dendrit yang
merupakan target postinaptik gluitamat (gambar 9-50). Akhirnya, terlalu banyak radikal bebas akan
meliputi membran sel dan organel sel kemudian meracuninya (Gambar 9-51), sehingga pada akhirnya
neuron mati.

GAMBAR 9-44 Tahapan skizofrenia. Tahapan skizofrenia yang ditampilkan di sini selama seumur hidup.
Sifat progresif skizofrenia, digambarkan di sini, mendukung secara neurodegeneratif untuk gangguan ini.
Pasien memiliki fungsi penuh (100 persen) pada awal kehidupan, dan hampir tanpa gejala (Tahap I).
Namun, selama fase prodromal (Tahap II) dimulai pada masa remaja, mungkin terdapat perilaku aneh
dan gejala negatif yang halus. Fase akut penyakit biasanya muncul cukup dramatis pada usia 20an (Tahap
III) dengan gejala positif, remisi, dan kambuh namun tidak pernah mencapai keadaan pada fase
sebelumnya. Hal ini seringkali merupakan tahap penyakit yang kacau dengan perjalanan progresifitas
yang menurun. Tahap akhir dari penyakit mungkin dimulai pada usia 40an ke atas, dengan gejala negatif
yang menonjol dan gejala kognitif seringkali turun naik, namun sering lebih dari keadaan "padam" dan
kelainan terus berlanjut. Sebenarnya tidak penting apakah berlanjut dan semakin memburuk, namun
pasien ini mungkin menjadi semakin resisten terhadap terapi obat antipsikotik pada tahap ini (Tahap IV).

Bentuk eksitoktoksisitas yang terbatas berguna sebagai mekanisme pemangkas bagi rumatan
normal pada pohon dendrit (lihat Gambar 2-32), mmbersihkan pohonmati pada cerbral seperti tukang
kebun yang baik, eksotoksisitas meningkat, kemudian membentuk pemangkasan yang di luar kontrol
(Gambar 2-32). Hipotesis ini menyebabkan berbagai jenis neurodegeneratif, berkisar dari pelan, kondisi
neurodegeneratif kejam seperti skizofrenia dan penyakit Alzheimer tiba-tiba, kematian neuronal bencana
seperti stroke (Gambar 9-46).

Hipotesis neurodegeneratif dan skizofrenia genetik

Apakah skizofrenia didapat atau diwariskan?


Banyak teori kontemporer untuk etiologi skizofrenia menyatakan bahwa penyakit ini berasal dari
perkembangan otak yang abnormal. Beberapa menyatakan bahwa masalah ini didapat dari keadaan otak
fetus, seperti yang ditunjukkan Gambar 9-43. Skizofrenia mugkin juga dimulai dengan proses degeneratif
yang didapat yang bertentangan dengan neurodevelopmental. Contohnya, skizofrenia meningkat pada
individu dengan riwayat kelahiran ibu hamil dengan penyulit mulai dari infeksi virus, ,kelaparan, hingga
proses autoimun- memberikan gambaran bahwa gangguan perkembangan otak pada perkembangan janin
dapat ikut berperan menyebabkan skizofrenia. Faktor resiko tersebut semuanya memiliki jalur umum final
menurunkan faktor pertumbuhan nervus (lihat Gambar 2-17) dan juga merangsang proses tertentu yang
berbahaya dan membunuh neuron, seperti sitokin, infeksi virus, hipoksia, trauma, kelaparan, atau stres.
Hal ini dapat diperantarai oleh apoptosis atau nekrosis (Gambar 2-10).

GAMBAR 9-45 Eksitasi normal neurotransmisi pada reseptor NMDA. Ditampilkan di sini adalah eksitasi
neurotransmisi yang normal pada reseptor tipe glutamat N-metil-d-aspartat (NMDA). Reseptor NMDA
merupakan kanal ion bergerbang-ligand. Transmisi cepat kanal ion ini merupakan kanal kalsium
eksitatori. Pengisian reseptor glutamat NMDA oleh glutamat menyebabkan kanal kalsium membuka dan
neuron tereksitasi untuk proses neurotransmisi.

Kerusakan neuron ini juga dapat diperantarai oleh eksitotoksisitas, seperti yang telah dibahas
sebelumnya (Gambar 9-46 sampai 9-51). Secara khusus, jika eksitotoksisitas terjadi secara spesifik di
hipokampus ventral sebelum terbentuknya koneksi yang sempurna pada perkembangan otak, beberapa
teori neurodevelopmental menyatakan bahwa hal ini dapat menganggu perkembangan korteks prefrontal
dan mengakibatkan terjadinya diskonektifitas (Gambar 9-52). Kelompok hubungan neuronal yang
abnormal tersebut dapat menjadi substrat biologis untuk gejala skizofrenia (Gambar 9-52). Eksitoksisitas
yang muncul seperti diskonektifitas dapat diolah secara genetik ataupun dipicu oleh lingkungan.

Gen yang mempengaruhi konektifitas, sinaptogenesis dan reseptor NMDA


Walaupun konektifitas neuronal abnormal dapat dipicu oleh berbagai kondisi lingkungan (Gambar 9-43),
saatini terdapat peningkatan kepercayaan bahwa proses neurodeveloopmental yang mendasari skizofrenia
paling sering dipengaruhi oleh gen. Bukti yang kuat bahwa genetik dapat mendasari terjadinya
skizofrenia berasal dari penelitian kembar skizofrenia klasik yang menunjukkan bahwa kembar
monozigot lebih sering mengalami skizofrenia dibandingkan dengan kembar dizigot. Selama betahun-
tahun, peneliti telah mencoba mengidentifikasi gen abnormal pada skizofrenia. Akhirnya disadari bahwa
gen yang singel tidak dapat secara langsung menyebabkan skizofrenia (Gambar 6-2) atau gejala perilaku
skizofrenia (Gambar 6-3), kemudian perhatian bergeser kepada penemuan kerentanan genetik yang
menyandi abnormalitas molekul yang tetap, yang dapat membantu menemukan gen yang dicurigai
dikarenakan kurangnya informasi mengenai proses di sirkuit otak yang memperantarai gejala skizofrenia
(Gambar 6-4,6-5, dan 6-6). Kombinasi antara gen yang dicurigai (Gambar 6-6) dengan stres dari
lingkungan (Gambar 6-15), merupakan rumusan modern untuk gabungan gen dan lingkungan sebagai
penyebab skizofrenia.

GAMBAR 9-46 Spektrum eksitasi oleh glutamat pada reseptor N-metil-d-aspartat (NMDA). Hipotesis
mayor untuk patofisiologi gangguan neurologis dan psikiatri yang menyebabkan perjalanan
neurodegeneratif adalah glutamat yang dapat menyebabkan kerusakan atau kematian neuron karena
proses eksitasi yang normal menjadi mengamuk, disebut sebagai eksitotoksisitas. Spektrum eksitasi oleh
glutamat berkisar dari neurotransmisi normal, yang diperlukan untuk kegiatan neuronal sebagai
potensiasi jangka panjang, pembentukan memori, dan sinaptogenesis; jumlah eksitasi neurotransmisi
yang berlebihan yang mungkin terjadi saat pasien mengalami gejala patologis seperti psikosis, mania,
atau panik; eksitotoksisitas yang menyebabkan kerusakan dendrit namun tidak sampai menimbulkan
kematian neuronal; hingga memperlambat progresifitas eksotoksisitas yang mengakibatkan degenerasi
neuronal dari banyak neuron jangka panjang, seperti yang terjadi pada penyakit Alzheimer atau mungkin
skizofrenia; eksitotoksisitas mendadak yang menyebabkan neurodegeneratif dan mengakibatkan
hilangnya sejumlah besar neuron sekaligus, seperti pada stroke.

Lebih dari lusinan gen yang memiliki kerentanan telah teridentifikasi, beberapa telah diketahui
memiliki kaitan dengan skizofrenia (Tabel 9-12). Mekanisme patogenik dari gen yang paling utama
dijelaskan oleh penelitian genetik terbaru pada skizofrenia salah satunya adalah konektifitas neuronal
abnormal, defektif sinaptogenesis, dan disregulasi reseptor glutamat NMDA (Gambar 9-53 dampai 9-58).
Empat gen utama yang mengatur konektifitas neuronal dan sinpatogenesis pada skizofrenia ditunjukkan
pada Gambar 9-53. Gen-gen tersebut merupakan gen untuk empat protein utama: BDNF (brain-derived-
neurotropik-faktor), faktor tropik yang diketahui dibahas pada Bab 2, dijabarkan Tabel 2-1, dan
ditunjukkan pada Gambar 2-7 dan 2-17; disbindia, juga dikenal sebagai dystroberin-binding-protein 1,
terlibat dalam formasi struktur sinaps (Gambar 9-53 dan 9-55A dan B); neuregulia, terlibat dalam
migrasi neuronal (Gambar 9-53 dan 9-54B) dan pada pembentukan sel glial dan menyebabkan mielinasi
neuron oleh sel tersebut (Gambar 9-54D); dan DISC-1 (disrupted-in-skizofrenia-1), dinamai seperti itu
karena disrupted (mengacaukan) gen yang terkait dengan skizofrenia dan membuat sebuah protein terlibat
pada neurogenesis (Gambar 9-54A), migrasi neuronal (Gambar 9-54B), dan kumpulan dendrit (Gambar
9-53 dan 9-54C).

GAMBAR 9-47 Keadaan seluler yang terjadi selama eksitotoksisitas, bagian 1. eksitotoksisitas merupakan
hipotesis mayor untuk menjelaskan mekanisme neuropatologi yang dapat memeperantarai jalur akhir
yang umum dari sejumlah gangguan neurologis dan gangguan kejiwaan yang ditandai dengan perjalanan
neurodegeneratif. Ide dasarnya adalah bahwa proses eksitasi normal neurotransmisi mulai mengamuk,
dan bukannya eksitasi normal neurotransmisi, segalanya mulai tidak terkendali dan neuron mulai mati.
Mekanisme eksitotoksisitas diduga dimulai dengan proses patologis yang memicu aktivitas glutamat
berlebihan. Hal ini menyebabkan pembukaan berlebihan kanal kalsium, ditampilkan di sini,
menyebabkan proses keracunan sel karena membiarkan terlalu banyak kalsium masuk.

Tidak diketahui dengan jelas bagaimana gen tersebut menyebabkan abnormalitas molekular pada
hipotesis sebelumnya. Diperkirakan melalui sirkuit neuronal pada skizofrenia atau mungkin gen tersebut
membuat protein abnormal atau mungkin juga dengan hanya tidak menyalakan atau mematikan produksi
sintesis protein gennya selama proses neurodevelopmental. Kombinasi spesifik gen abnormal yang
diperlukan atau cukup untuk perkembangan skizofrenia juga tidak diketahui. Meskipun demikian, fakta
mengenai gen yang terkait dengan skizofrenia semuanya berhubungan dalam proses neurodevelopmental.
Hal ini mengindikasikan dengan kuat bahwa dalam skizofrenia, sesuatu yang salah telah terjadi pada
hubungan antar neuron.

Diskonektifitas
Hasil dari pengolahan genetik yang abnormal pada masa kritis neurodevelopmental dapat berupa
kesalahan pemilihan neuron yang seharusnya bertahan pada otak janin (Gambar 2-9 dan 9-54A),
menyebabkan neuron bermigrasi ke tempat yang salah (Gambar 2-11, 2-12, dan 9-54B), neuron
menginervasi lokasi yang salah, mungkin karena sinyal perkembangan yang tercampur sehingga apa yang
harus dipersarafi neuron tersebut juga menjadi tercampur (Gambar 2-13 hingga 2-16, 2-19, 9-53, dan 9-
54C), atau menyebabkan perkembangan abnormal pada sel glial sehingga tidak dapat menyelubungi
neuron dengan mielin secara tepat (Gambar 9-54D).

GAMBAR 9-48 Kejadian seluler yang terjadi selama eksitotoksisitas, bagian 2. Lingkungan internal neuron
sangat sensitif terhadap kalsium, sedikit peningkatan konsentrasi kalsium akan mengubah aktivitas
berbagai enzim dan menyebabkan perubahan eksitasi membran neuronal. Jika kadar kalsium meningkat
terlalu banyak, maka akan dimulai pengaktifan enzim yang berbahaya bagi sel karena memiliki
kemampuan untuk memicu kaskade kimia yang merusak. Awal proses ini mungkin merupakan penyebab
gejala patologis skizofrenia seperti delusi dan halusinasi.

Untuk memperbesar kesalahan pada kerentanan gen mayor skizofrenia selama pembentukan pada
otak janin sebelum lahir, DISC-1 meberikan dampak neurogenesis (Gambar 9-54A), migrasi neuronal
(Gambar 9-54B), dan pembentukan dendrit (Gambar 9-54C) pada masa awal, karena neureglin dapat
mempengaruhi migrasi neuronal, khususnya interneuron GABA-ergik (Gambar 9-54B) misalnya
menganggu mielinasi neuron ketika neuron telah bermigrasi pada tempatnya pada pembentukan otak
(Gambar 9-54D). Proses neurodevelopmental sangat penting pada perkembangan otak normal, terjadi
secara luas, dan meberikan fungsi otak untuk seumur hidup.

Sinaptogeenesis yang abnormal


Walaupun mungkin gen-gen yang dicurigai menyebabkan skizofrenia menyerang perkembangan otak
pada janin sekali dan terus berlanjut (tipe serang dan lari) selama pembentukan otak janin hingga masa
pembentukan otak selesai, terdapat pula kemungkinan bahwa proses neurodevelopmental yang abnormal
terus berlanjut pada otak penderita skizofrenia sepanjang hidupnya. Hampir seluruh neuron dibentuk,
dipilih, bermigrasi, berdiferensiasi, dan dimielinisasi sebelum lahir, namun proses neurogenesis terus
berlangsung hingga seumur hidup pada area otak yang terpilih (dibahas pada Bab 2 dan ditunjukkan pada
Gambar 2-3 dan 2-4). Mungkin neurogenesis yang paling penting adalah sinaptogenesis, penguatan
sinaptik, eliminasi, dan regenerasi yang terus
berlangsung sepanjang hidup (Gambar 2-1 dan 2-22
hingga 2-32). Pada area yang diserang gen yang
dicurigai menyebabkan skizofrenia, kemudian
berdampak pada formasi sinaps (Gambar 9-53), gen-
gen tersebut memiliki potensi untuk mengganggu
fungsi otak lanjutan sepanjang hidup. GAMBAR 9-49
Kejadian yang terjadi selama eksotokisisitas seluler,
bagian 3. Karena kelebihan glutamat menyebabkan
terlalu banyak kalsium memasuki neuron dan
kalsium menyebabkan aktifnya enzim berbahaya,
enzim ini mulai menghasilkan radikal bebas. Radikal
bebas adalah bahan kimia yang mampu
menghancurkan komponen seluler lainnya, seperti
organel dan membran, dengan reaksi kimia yang
merusak.

GAMBAR 9-50
Kejadian seluler yang
terjadi selama
eksitotoksisitas,
bagian 4. Karena
kalsium terakumulasi
di dalam sel, dan
enzim menghasilkan
lebih banyak radikal
bebas, hal ini
menyebabkan
penghancuran
dendrit yang bekerja
sebagai target
glutamat
postsinaptik.

Banyak gen yang dicurigai menyebabkan skizofrenia diketahui memiliki dampak yang sangat besar
pada sinaptogenetik (Gambar 9-53 dan 9-55A dan B). Disbindin, BDNF, DISC-1, dan neuregulin
semuanya memiliki dampak pada seluruh formasi sinaps normal; kemudian beberapa kombinasi molekul
abnormal menyebabkan formasi sinaps yang abnormal pada skizofrenia (Gambar 9-55A). Contohnya
adalah pengolahan genetik abnormal pada disbidin dapat mempengaruhi sitoarsitektur sinaptik pada
skizofrenia, oleh karena itu pengaturan abnormal pada DISC-1 dan neureglin dapat mempengaruhi
morfologi dendrit, menyebabkan abnormalitas struktur sinaps pada skizofrenia (Gambar 9-55B).
GAMBAR 9-51 Kejadian seluler yang terjadi selama eksitotoksisitas, bagian 5. Akhirnya, terlalu banyak
radikal bebas menyebabkan kehancuran berbagai bagian neuron, terutama saraf dan membran nukleus
dan organel penting seperti mitokondria penghasil energi. Kerusakan bisa begitu besar karena radikal
bebas menghancurkan seluruh neuron. Tingkat kerusakan mungkin berhubungan dengan keadaan defisit
pada skizofrenia dan berhubungan juga dengan gejala kognitif, negatif, dan afektif.

GAMBAR 9-52 Hipotesis neurodevelopmental pada skizofrenia, teori neurodevelopmental pada


skizofrenia menunjukkan bahwa gangguan tersebut terjadi sebagai akibat dari kelainan pada
perkembangan otak. Eksitotoksisitas yang terjadi di awal masa perkembangan, sebelum hubungan
sinaptik terbentuk smepurna, dapat mengakibatkan putusnya hubungan antar area otak dan
menyebabkan gejala penyakit jiwa. Misalnya, perkembangan normal ventral yang membentuk hubungan
hippocampus dengan neuron piramidal kortikal untuk mengatur aktivitas di korteks prefrontal (kiri).
Eksitotoksisitas di hippocampus ventral sebelum hubungan ini selesai sempurna bisa berdampak pada
pengembangan korteks prefrontal, menyebabkan hubungan saraf yang abnormal dan dapat
menyebabkan gejala skizofrenia (kanan).
Reseptor NMDA, respeptor AMPA, dan sinaptogenesis
Pada awal bab ini kita telah mereview hipotesis hipofungsi reseptor NMDA pada skizofrenia (ditunjukkan
pada Gambar 9-39 hingga 9-42). Yang mendukung hipotesis ini adalah penelitian pada beberapa gen yang
dicurigai berperan dalam skizofrenia menyerang reseptor NMDA (Gambar 9-55C dan D dan 9-56 sampai
9-58). Disbindin, DISC-1, dan neuregulin semuanya berhubungan dalam penguatan sinaps glutamat
yang normal (Gambar 9-55C). Normalnya, ketika sinaps glutamat aktif, reseptor NMDA mencetuskan
fenomena kelistrikan yang diketahui sebagi potensiasi jangka-panjang (LTP). Dengan bantuan disbindin,
DISC-1, dan neuregulin, LTP menyebabkan perubahan struktural dan fungsional pada sinaps yang
membuat proses neurotransmisi lebih efisien. Salah satu contohnya adalah peningkatan jumlah reseptor
AMPA (Gambar 9-55C).

Reseptor AMPA merupakan reseptor yang penting dalam memperantarai neurotransmisi eksitasi dan
depolarisasi sinaps glutamat (dibahas pada Bab 5 dan ditunjukkan pada Gambar 5-25 dan 5-43).
Penambahan jumlah reseptor AMPA kemudian dapat menyebabkan sebuah sinaps diperkuat (Gambar 9-
55C). Jika sesuatu kesalahan terjadi pada gen yang mengatur penguatan sinaps, ada kemungkinan bahwa
hal ini menyebabkan reseptor NMDA menjadi hipoaktif, menyebabkan inekfektifitas LTP dan lebih
sedikit arus reseptor AMPA ke dalam neuron postsinaps. Sinaps seperti itu dapat menjadi lemah, dan
secara teori menyebabkan inefisien pengolahan informasi pada sirkuit dan kemudian gejala skizofrenia
(Gambar 9-55C).

Lebih lanjut, kekuatan sinaps kemungkinan besar menentukan apakah sinaps tersebut dieliminasi
atau dipertahankan (Gambar 9-55D). Secara khusus, sinaps yang kuat dengan neurotransmisi NMDA
yang efisien dan memiliki banyak reseptor AMPA dapat bertahan hidup, sebaliknya sinaps yang lemah
dengan sedikit reseptor AMPA dapat menjadi target untuk eliminasi (Gambar 9-55D). Hal ini normalnya
membentuk sirkuit otak sehingga sinaps yang paling kritis tersebut tidak hanya diperkuat namun juga
dapat bertahan dari proses seleksi, menjaga sinaps yang paling efisien dan sering digunakan sementara
sinaps lain yang inefisien dan jarang digunakan dieliminasi. Bagaimanapun jika sinaps yang kritis tidak
diperkuat secara adekuat, maka sinaps tersebut akan dieliminasi dan menghilangkan hubungan sinaps
yang akhirnya mengacaukan arus informasi, sementara seharusnya hubungan sinaps tersebut diperlukan
secara efisien (Gambar 9-55D).

Kompetisi eliminasi sinaps kritis yang lemah pada masa remaja bahkan dapat menjelaskan
mengapa skizofrenia memiliki onset pada usia ini. Normalnya, hampir separuh sinaps otak dieleminasi
pada usia remaja (dibahas pada Bab 2 dan dijelaskan pada Gambar 2-38). Jika abnormalitas gen untuk
disbindin, neuregulin, dan/ atau DISC-1 menyebabkan kegagalan dalam memperkuat sinaps yang kritis,
sinaps kritis tersebut akan dieleminasi selama masa remaja, dan akibatnya dimulai onset gejala
skizofrenia.

Terdapat kemungkinan bahwa kematian terjadi lebih awal, dikarenakan penyimpangan pemilihan
neuronal, migrasi, dan hubungan neuronal yang tetap diam hingga usia remaja. Akan tetapi, pada remaja
akhir hingga usia 20an, sinaps yang abnormal disusun ulang karena eliminasi sinaps yang kritis,
membuka masalah neurodevelopmental yang sebelumnya tersembunyi. Masalah dalam penguatan sinaps
selama usia dewasa pada pasien skizofrenia dapat menyebabkan eliminasi terus menerus pada sinaps yang
kritis, menyebabkan pembentukan gejala yang baru atau eksaserbasi pada gejala yang telah ada
dikarenakan sirkuit sinaptogenesis mengalami penyimpangan progresif yang terus berlanjut .
TABEL 9-12 Gen yang dicurigai berperan dalam skizofrenia

Gen-gen untuk :
Dysbindin (dystrobrevin binding protein 1 or DTNBPl)
Neuregulin (NRGl)
DISCI (disrupted in schizophrenia 1)
DAOA (d-amino acid oxidase activator; G72/G30)
DAO (d-amino acid oxidase)
RGS4 (regulator of G protein signaling 4)
COMT (Catechol-O-methyl transferase)
CHRNA7 (alpha-7 nicotinic cholinergic receptor)
GAD1 (glutamic acid decarboxylase 1)
GRM3 (mGluR3)
PPP3CC
PRODH2
AKT1
ERBB4
FEZ1
MUTED
MRDS1 (OFCC1)
BDNF (brain-derived neurotrophic factor)
Nur77
MAO-A (monoamine oxidase A)
Spinophylin
Calcyon
Tyrosine hydroxylase
Dopamine-D2 receptor (D2R)
Dopamine-D3 receptor (D3R)

GAMBAR 9-53BDNF, disbindin, neuregulin, dan DISC-1. Empat kunci utama gen yang mengatur
hubungan neuronal dan sinaptogenesis pada skizofrenia merupakan gen yang menyandi BDNF, disbindin,
neuregulin, dan DISC-1
GAMBAR 9-54A, B, C, dan D
Hipotesis neurodevelopmental pada
skizofrenia: abnormalitas genetik
pada DISC-1 atau neuregulin
menyebabkan putus hubungan. DISC-
1 merupakan protein yang berperan
dalam neurogenesis (A), migrasi
neuronal (B), dan organisasi dendritik
(C). Neuregulin terlibat dalam migrasi
neuronal (B), asal-usul sel glial (D),
dan mielinisasi neuron oleh sel glial
(D). Dengan demikian, abnormalitas
genetik pada gen DISC-1 atau
neuregulin dapat mengganggu proses
ini, menyebabkan diskonektivitas
antar neuron, fungsi normal dari
sirkuit saraf di antara neuron yang
saling berhubungan, peningkatan
resiko skizofrenia, dan akhirnya gejala
skizofrenia.

GAMBAR 9-55A dan B Hipotesis


neurodevelopmental pada
skizofrenia: gen utama yang
dicurigai menyebabkan
sinaptogenesis abnormal, bagian 1.
Disbindin, BDNF, DISC-1, dan
neuregulin seluruhnya terlibat
dalam pembentukan sinaps.
Kelainan molekul pada gen ini
menyebabkan pembentukan sinaps
yang abnormal (A). Secara khusus,
pemrograman genetik yang
abnormal dari disbindin dapat
mempengaruhi bentuk sinaptik,
sementara pemrograman genetik
abnormal DISC-1 dan neuregulin
dapat mempengaruhi morfologi
dendritik; semua ini berperan
dalam pembentukan sinaps yang
abnormal dan peningkatan resiko
skizofrenia (B).
GAMBAR 9-55C Hipotesis neurodevelopmental pada skizofrenia: gen utama yang dicurigai menyebabkan
sinaptogenesis abnormal, bagian 2. Disbindin, DISC-1, dan neuregulin seluruhnya terlibat dalam
"memperkuat" sinapsis glutamat. Pada keadaan normal, reseptor N-metil-d-aspartat (NMDA) di sinapsis
glutamat aktif memicu potensiasi jangka panjang (LTP), yang mengarah ke perubahan struktural dan
fungsional dari sinaps untuk membuatnya lebih efisien, atau "diperkuat." Secara khusus, proses ini
mengarah kepada peningkatan jumlah reseptor asam alpha-amino-3-hidroksi-5-metil-4-
isoxazolepropionic (AMPA), yang penting dalam memperantarai neurotransmisi glutamatergik. Jika gen
yang mengatur penguatan sinapsis glutamat abnormal, maka hal ini dapat menyebabkan hipofungsi
reseptor NMDA, dengan penurunan resultan LTP dan lebih sedikit reseptor AMPA. Secara teori hal ini
akan menyebabkan peningkatan resiko skizofrenia, dan abnormalitas sinaps ini dapat memperantarai
gejala skizofrenia.

GAMBAR 9-55D Hipotesis neurodevelopmental pada skizofrenia: gen utama yang dicurigai
menyebabkan sinaptogenesis abnormal, bagian 3. Penguatan sinapsis [untuk glutamat, sinapsis dengan
neurotransmisi efisien N-metil-d-aspartat (NMDA) dan beberapa reseptor alpha-amino-3-hidroksi-5-
metil-4-isoxazolepropionic asam (AMPA)] lebih mungkin untuk bertahan hidup dibandingkan dengan
sinaps yang lemah. Jika gen yang mengatur penguatan glutamat sinapstik menjadi abnormal, maka
sinaps tidak hanya menjadi lemah namun juga menjadi lebih beresiko untuk dieliminasi, terutama
selama masa remaja, ketika ada restrukturisasi besar-besaran dari sinapsis dalam otak.

Konvergensi gen yang dicurigai berperan dalam skizofrenia melalui sinaps glutamat
Banyak gen yang dicurigai berperan dalam skizofrenia (Tabel 9-12) mengatur tidak hanya sinpatogenesis
pada sinaps glutamat (Gambar 9-53), namun juga banyak fungsi lain yang terkait pada neurotransmisi
gutamat, misalnya pada reseptor NMDA (Gambar 9-56).

Sebagai contoh, gen DAOA (d-amino-acid-oksidase-aktivator) menyandi untuk protein yang


mengaktifkan enzim DAO (d-amino-acid-oksidase) (Gambar 9-56 dan 9-57). Kita telah bahas
sebelumnya bagaimana DAO menurunkan kotransmiter d-serin, yang bekerja pada sinaps glutamat dan
reseptor NMDA (Gambar 9-35). DAOA mengaktifkan enzim ini (Gambar 9-57A); kemudian
abnormalitas pada gen DAOA dan merubah metabolisme d-serin. Hal ini kemudian akan mengubah
neurotransmisi glutamat pada restor NMDA (Gambar 9-57A).

GAMBAR 9-56 Disbindin, neuregulin, DISC-1 dan DAOA. Empat gen utama yang mengatur reseptor N-
metil-d-aspartat (NMDA) adalah disbindin, neuregulin, DISC-1, dan (DAOA).

Disbindin mengatur aktifitas vGluT, transporter vesikular untuk glutamat (Gambar 9-57B). DISC-1
mempengaruhi transport vesikel sinaptik ke dalam terminal saraf glutamat presinaps (Gambar 9-57B) dan
juga mengatur pengiriman sinyal cAMP, yang akan mempengaruhi fungsi dari neurotransmiter glutamat
yang diperantarai oleh reseptor glutamat metabotropik (Gambar 9-57C). Gen lain yang dicurigai menjadi
penyebab skizofrenia adalah RGS4 (pengatur pengiriman sinyal protein G) (Tabel 9-12), dan gen ini juga
menyebabkan pengaruh pada pengiriman sinyal reseptor glutamat metabotropik melalui protein G-
bersama sistem sinyal transduksi (Gambar 9-57C).

Akhirnya, sejumlah besar gen yang dicurigai berperan pada skizofrenia mengatur berbagai elemen
reseptor NMDA-yang diperantarai pengiriman sinyal (Gambatr 9-57D). Disbindin, neuregulin, dan DISC-
1 seluruhnya mempengaruhi jumlah reseptor NMDA dengan cara merubah arus reseptor NMDA ke
membran postsinaps, reseptor NMDA berhubungan dalam membran tersebut, dan reseptor NMDA
endositosis, yang memutar reseptor keluar dari membran postsinaps untuk menghilangkannya (Gambar 9-
57D). Disbindin dan neuregulin memberi pengaruh pada formasi dan fungsi dari densitas postsinaptik,
sejumlah protein yang berinteraksi dengan membran postsinaps untuk menyediakan elemen pengatur
struktur dan fungsi dari neurotrasnmisi dan untuk resepttor NMDA (GAmbar 9-57D). Neuroregulin juga
mengaktifkan suatu sistem pengiriman sinyal ERB yang berkolokasi dengan reseptor NMDA (Gambar 9-
57D). Sistem pengiriman sinyal merupakan bagian dari reseptor tirosin kinase dan sistem sinyal
transduksi neurotropin dibahas pada Bab 3 dan ditunjukkan pada Gambar 3-11. Reseptor ERB tersebut
juga berinteraksi dengan densitas postsinaptik dan dapat termasuk dalam memperantarai neuroplastisitas
yang dicetuskan oleh reseptor NMDA (Gambar 9-57D).

GAMBAR 9-57A dan B Hipotesis hipofungsi reseptor NMDA pada skizofrenia: peran beberapa gen yang
dicurigai berperan, bagian 1. (A) d-asam amino oksidase aktivator (DAOA) adalah protein yang
mengaktifkan enzim d-asam amino oxidase (DAO). DAO mengkonversi d-serin ke OH-piruvat (kiri).
Dengan demikian, kelainan pada gen untuk DAOA dapat menyebabkan fungsi yang abnormal dari enzim
DAO, dan hal ini akan mengubah metabolisme d-serin. Perubahan ketersediaan d-serin akan
mempengaruhi neurotransmisi glutamat pada reseptor N-metil-d-aspartat (NMDA). Jika kerja DAO
meningkat dan kadar d-serin menurun, hal ini akan menyebabkan hipofungsi dari reseptor NMDA
(kanan). Dengan demikian, kelainan pada gen untuk DAOA dapat meningkatkan resiko untuk skizofrenia
dengan mengubah fungsi reseptor NMDA. (B) Kelainan pada disbindin dan DISC- 1 dapat menyebabkan
perubahan dalam transportasi vesikel sinaptik ke dalam saraf presinaptik terminal dan juga bisa
menyebabkan perubahan dalam transportasi vesikular glutamat oleh transporter glutamat (vGluT).
Keduanya diprediksi akan menyebabkan perubahan dalam penyimpanan presinaptik glutamat, dan hal
ini dapat mengubah fungsi reseptor glutamat NMDA proses neurotransmisi. Dengan demikian, kelainan
pada disbindin dan/ atau DISC-1 dapat menyebabkan hipofungsi reseptor NMDA dan meningkatkan
resiko skizofrenia.

GAMBAR 9-57C dan D Hipotesis hipofungsi reseptor NMDA pada skizofrenia: peran beberapa gen yang
dicurigai berperan, bagian 2. (C) Kelainan pada gen untuk DISC-1 dapat menyebabkan gangguan sinyal
adenosin monofosfat siklik (cAMP) dan akibatnya perubahan fungsi reseptor glutamat metabotropik.
Kelainan pada gen yang menyandi regulator sinyal protein G (RGS4) juga dapat mengubah sinyal
metabotropik reseptor glutamat. Perubahan ini akan mengubah neurotransmisi glutamat dengan
mengurangi pelepasan glutamat prasinaps, sehingga menyebabkan penurunan pada arus postsinaptik
(NMDA) N-metil-d-aspartat. Secara bersamaan, hal ini menyebabkan hipofungsi reseptor NMDA, yang
bisa meningkatkan resiko skizofrenia. (D) Kelainan di disbindin, neuregulin, dan / atau-DISC 1 dapat
menyebabkan perubahan dalam arus reseptor NMDA, tethering, endositosis, dan aktivasi pengaturan
elemen postsinaptik. Hal itu akan menyebabkan hipofungsi reseptor NMDA dan bisa meningkatkan
resiko berkembang menjadi skizofrenia.

GAMBAR 9-58 Hipotesis hipofungsi reseptor NMDA pada skizofrenia: pengaturan neurotransmiter
utama dan beberapa gen yang dicurigai berkumpul pada reseptor NMDA. Terdapat konvergensi kuat gen
yang dicurigai berperan dalam skizofrenia pada konektivitas, sinaptogenesis, dan neurotransmisi pada
sinapsis glutamat dan khusus pada reseptor NMDA, mendukung hipotesis hipofungsi reseptor NMDA
pada skizofrenia. Kerja spesifik empat gen utama ditampilkan di sini dan ditunjukkan secara rinci pada
Gambar 9-57 (yaitu, gen DAOA, disbindin, neuregulin, dan DISC-1). Gen tambahan yang dicurigai juga
ditampilkan di sini, termasuk yang mempengaruhi berbagai neurotransmitter yang terlibat dalam
modulasi glutamat dan reseptor NMDA, yaitu asam gamma-aminobutyric (GABA), asetilkolin (Ach),
dopamin (DA) dan serotonin (5HT). Artinya, kelainan pada gen untuk berbagai neurotransmitter yang
mengatur reseptor NMDA bisa memiliki kerja downstream tambahan pada glutamat yang berfungsi pada
reseptor NMDA. Dengan demikian, gen lain yang mengatur neurotransmiter ini juga dapat merupakan
gen yang dicurigai berperan dalam skizofrenia. Ini termasuk gen yang mempengaruhi Ach, seperti gen
untuk RGS4 (regulator protein G sinyal 4) dan untuk CHRNA7 (alfa-7 nicotinic subtipe reseptor
kolinergik); gen yang mempengaruhi 5HT (RGS4 serta gen untuk monoamine oxidase A,

GAMBAR 9-58 (sambungan) atau MAO-A); dan gen untuk transporter serotonin (5HTT); akhirnya,
beberapa gen yang mempengaruhi DA (RGS4, MAO-A), dan juga gen untuk enzim katekol-O-metil-
transferase (COMT) dan tirosin hidroksilase (TOH); gen untuk D2 dan D3 reseptor dopamin-(D2R dan
D3R), dan akhirnya gen untuk pengatur protein spinophylin dan calcyon. Idenya adalah bahwa setiap gen
yang dicurigai ini dapat bergabung untuk menyebabkan hipofungsi reseptor NMDA, yang akan
menyebabkan potensiasi jangka panjang yang abnormal (LTP), plastisitas normal sinaptik dan
konektivitas, kekuatan sinaptik yang tidak cukup, dan/ atau disregulasi alpha-amino-3-hidroksi-5-metil-4-
isoxazolepropionic asam (AMPA) reseptor. Kombinasi dari faktor-faktor resiko genetik yang cukup dan
resiko stres lingkungan yang cukup akan mengakibatkan kerentanan untuk skizofrenia dan bermanifestasi
menjadi penyakit skizofrenia dengan adanya gejala sindrom penuh.

Kemudian, terdapat konvergensi yang sangat kuat pada gen yang dicurigai berperan pada skizofrenia
melalui konektifitas, sinaptogenesis, dan neurotransmisi pada sinaps glutamat dan khusunya pada respetor
NMDA (Gambar 9-55C dan D, 9-56, 9-57, dan 9-58). Observasi tersebut mendukung dengan kuat
hipotesis hipofungsi reseptor NMDA sebagai teori yang masuk akal untuk skizofrenia. Gen yang
menyandi untuk banyak kelainaan molekular terkait dengan fungsi reseptor NMDA pada sirkuit otak
tertentu yang secara teori membuat insufisien pengolahan informasi pada sinaps glutamat, yang dapat
menyebabakan gejala skiofrenia. Jika terdapat kelainan genetik yang cukup dan lingkungan yang
mendukung, maka gejala skizofrenia dapat terjadi.

Apa calon gen yang dicurigai menyebabkan skizofrenia dan bagaimana gen-gen tersebut
mempengaruhi reseptor NMDA? Beberapa gen tersebut ditunjukkkan pada Tabel 9-12 dan pada Gambar
9-58. Secara jelas, sejumlah besar gen yang dicurigai dapat mempengaruhi glutamat dan kotransmiternya,
d-serin, secara langsung (mis.DISC-1, neuregulin, disbindin, DAOA, RGS4); seluruhnya dihipotesiskan
memiliki kerja pada sistem glutamat ditunjukkan pada Gambar 9-53 sampai 9-58. Sebagai tambahan,
sejumlah neurotransmiter lain seperti dopamin, serotonin, GABA, dan asetilkolin juga mempengaruhi
resptor NMDA, tidak hanya dengan interaksi langsung glutamat neuron melalui sirkuit otak
menggunakan nurotransmiter lain, namun juga dengan interaksi beberapa gen yang mempengaruhi
glutamat (mis. Neuregulin, RGS4) dan juga neurotransmiter lain (gambar 9-58). Gen tambahan yang
dicurigai dapat mengatur sistem neurotransmter lain, menyebabkan modulasi yang menyimpang dari
plastisitas NMDA dan kemudian berperan pada resiko genetik skizofrenia. Bebebrapa gen lain mengatur
reseptor, enzim, pengiriman sinyal molekul, dan sinaps untuk serotonin, dopamin, dan asetilkolin (Tabel
9-12 dan Gambar 9-58). Dengan kombinasi yang cukup antara pengaruh kerja genetik langsung dan tidak
langsung, resptor menjadi tidak berfugsi dengan benar, menjadi hipofungsi, dan sebagai tambahan
penyebab perubahan aktifitas neuronal dalam sirkuit otak telah dijelaskan (lihat Gambar 9-39 samapi 9-
42)- juga menyebabkan potensiasi jangka panjang yang abnormal, plastisitas dan hubungan sinaps yang
abnormal, disregulasi dari reseptor AMPA, dan inadekuat kekuatan sinaptik pada sirkuit tersebut
(Gambar 9-58).

Ringkasan
Penelitian genetik pada sizofrenia telah mengidentifikasi sejumlah gen yang dicurigai meningkatkan
resiko skizofrenia namun tidak menyebabkan skizofrenia. Karena yang paling dipahami dan replikasi
tersering dari gen tersebut adalah neurodevelopmental, hubungan neuronal, dan sinaptogenesis, banyak
peneliti sekarang mempercayai bahwa skizofrenia disebabkan oleh berbagai macam kemungkinan
kombinasi dari berbagai gen yang berbeda ditambah tekanan dari lingkungan bersama-sama
menyebabkan neurodevelopmental yang abnormal. Bukti genetik dan farmakologi pada skizofrenia juga
menunjukkan neurotransmisi abnormal pada sinaps glutamat, kemungkinan juga termasuk hipofungsi
reseptor NMDA. Beberapa terapi baru yang menarget reseptor NMDA sedang diujicoba, dan terapi
terbaru untuk skizofrenia dibahas pada Bab 10.

GAMBAR 9-59 Tes n-back. Studi neuroimaging fungsional menunjukkan bahwa pengolahan informasi
pada skizofrenia abnormal di daerah otak tertentu. Pengolahan informasi selama kerja kognitif telah
dievaluasi dengan menggunakan tes n-back. Dalam varian tes 0-back, peserta melihat angka di layar dan
kemudian menunjukkan angka berapakah itu. Pada tes 1-back, peserta diperlihatkan stimulus tapi tidak
melakukan respon; setelah melihat stimulus kedua, peserta kemudian menekan tombol yang sesuai
dengan stimulus pertama. "n" dapat berupa angka berapapun, dengan angka yang lebih
besarberhubungan dengan tingkat kesulitan yang lebih besar pula. Melakukan tes n-back menghasilkan
aktivasi pada korteks dorsolateral prefrontal (DLPFC), yang ditampilkan di sini oleh DLPFC menyala ungu
(normal aktivasi). Tingkat aktivasi menunjukkan seberapa efisien pengolahan informasi di DLPFC, dengan
overaktivasi dan hipoaktivasi berhubungan dengan pengolahan informasi yang tidak efisien.
Neuroimaging sirkuit pada skizofrenia

Penggunaan imaging sirkuit pada pasien skizofrenia menemukan bahwa pengolahan informasi menjadi
abnormal pada area otak yang berkaitan dengan gejala skizofrenia tersebut. Contohnya, skizofrenia
dengan ciri gejala kognitif, secara teori berhubungan dengan pengolahan informasi pada sirkuit korteks
prefrontal doresolateral (DLPFC). Tes n-back (Gambar 9-59A) dapat digunakan untuk mengaktifkan
DLPFC (Gambar 9-59B). Hal ini juga dibahas pada Bab 8 dan digambarkan pada Gambar 8-8 sampai 8-
10.

GAMBAR 9-60 Tes n-back


skizofrenia. Pasien dengan
skizofrenia menunjukan pengolahan
informasi yang tidak efisien selama
tes kognitif seperti tes n-back. Untuk
melakukan hasil yang mendekati
normal, pasien tersebut harus
mengambil sumber daya neuronal
yang lebih besar, sehingga
menyebabkan hiperakktivasi korteks
prefrontal dorsolateral (DLPFC). Pada
peningkatan beban kognitif,
bagaimanapun, pasien skizofrenia
tidak dapat berhubungan dan
mempertahankan DLPFC dengan
tepat, dan menyebabkan
hipoaktivasi.
GAMBAR 9-61 Tes n-back pada saudara pasien
skizofrenia. Karena saudara kandung berbagi
beberapa gen yang sama, saudara pasien skizofrenia
dapat mewarisi gen yang berhubungan dengan
kemampuan untuk memproses informasi tanpa
mewarisi semua gen yang diperlukan untuk
skizofrenia. Aktivasi kortikal dan kinerja kognitif
mungkin normal, namun mereka mungkin tidak
memiliki salah satu manifestasi lain dari skizofrenia.

GAMBAR 9-62 Regulasi pengaturan dorsal vs ventral. Gejala afektif dan negatif skizofrenia mungkin
dihasilkan oleh sistem ventral yang mencakup ventromedial prefrontal cortex (VMFC), inti accumbens,
dan amigdala dan diatur oleh sistem dorsal yang mencakup korteks prefrontal dorsolateral (DLPFC).

GAMBAR 9-63 Amigdala. Amigdala


terlibat dalam pengaturan
kewaspadaan, perhatian, dan reaksi
terhadap informasi emosi yang
terlihat. Studi neuroimaging
fungsional memeriksa ke dalam
amigdala untuk menentukan efisiensi
pengolahan informasi pada pasien
skizofrenia saat terpapar rangsangan
emosional.
GAMBAR 9-64A dan B Rangsangan takut dan skizofrenia. (A) Biasanya, paparan stimulus emosional,
seperti wajah yang menakutkan, menyebabkan hiperaktivasi di amigdala. (B) pasien skizofrenia sering
memiliki gangguan dalam kemampuan untuk mengidentifikasi dan menafsirkan rangsangan emosional.
Penjelasan neurobiologis yang mendasari untuk ini mungkin adalah tidak efisiennya pengolahan
informasi dalam sistem ventral. Dalam contoh ini, amigdala tidak tepat terlibat dalam paparan stimulus
emosional.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aktivasi korteks prefrontal menjadi melemah pada
skizofrenia, namun penelitian lain meyatakan malah terjadi peningkatan (Gambar 9-60). Penjelasan
terbaik untuk perbedaan ini mungkin adalah disfungsi kortikal prefrontal pada pasien skizofrenia
kemungkinan menjadi lebih rumit daripada hanya sekedar meningkat (hiperaktifasi) atau menurun
(hipoaktifasi) dan mungkin lebih baik dikarakteristikan sebagai keluar jalur. Pengaturan neuron
piramidal prefrontal dibahas pada Bab 7 dan digambarkan pada Gambar 7-25 dan 7-26. Berdasarkan
konsep ini, aktifasi yang berlebih atau bahkan kurang pada aktifitas neuronal pada korteks prefrontal
menjadi tidak optimal dan dapat menyebabkan skizofrenia.

Bagaimana sirkuit pada skizofrenia dapat menjadi hiperaktif atau hipoaktif ? Pasien skizofrenia
nampaknya menggunakan sumber prefrontal yang lebih besar dalam pengolahan fungsi kognitif dan juga
ketepatannya berkurang karena pasien tersebut mengalami gangguan kognitif, meskipun telah
menggunakan usaha terbaik. Untuk bekerja hampir normal, pasien skizofrenia menggunakan DLPFC,
namun proses ini masih belum cukup, dan kemudian mengambil sumber neuronal yang lebih besara
sehingga membuat DLPFC hiperaktif (Gambar 9-60). Ketika fungsinya semakin memburuk, pasien
skizofrenia tidak menggunakan dengan tepat dan mempertahankan DLPFC kemudian menunjukkan
keadaan hipoaktifitas (Gambat 9-60). Sirkuit DPLFC pada pasien skizofrenia kemudian dapat menjadi
underaktif dan hipofrontal atau overaktif dan inefisien.

Menarik untuk dicatat bahwa saudara pasien skizofrenia yang normal dapat mengalami inefisiensi
pengolahan informasi pada DLPFC yang yang sangat mirip seperti pada pasien skizofrenia (Gambar 9-
61). Walaupun saudara yang normal tersebut mungkin memiliki gangguan kognitif yang ringan, mereka
tidak memiliki fenotip klinis penuh dari gejala skizofrenia; namun, gambaran neuroimaging menunjukkan
bahwa mereka memiliki endofeotip yang sama dalam insufisiensi penggunaan DLPCF ketika mengolah
tugas kognitif, dan menunjukkan hubungannya dengan skizofrenik (Gambar 9-61). Saudara yang normal
dari pasien skizofrenia tersebut dapat memiliki beberapa gen yang dicurigai berperan dalam skizofrenia,
namun gen-gen tersebut tidak cukup untuk memenuhi gejala skizofrenia itu sendiri. Penggunaan
neuroimaging dapat menunjukkan endofenotipe biologis yang tersembunyi pada saudara penderita
skizofrenia yang normal tersebut, namun gen-gen tersebut tidak memiliki kombinasi yang cukup untuk
berkembang menjadi penyakit skizofrenia. Penggunaan neroimaging juga dapat menunjukkan
endofenotip biologis yang secara klinis tersembunyi pada pasien presimtomatik, dengan tujuan untuk
mengembangkannya menjadi gejala penuh skizofrenia. Diperlukan banyak penelitian lanjutan untuk
mencari apa manfaat hal ini untuk penggunaan klinis.

Gejala afektif dan negatif skizofrenia dapat terkait banyaka area pada korteks prefrontal, seperti
orbital, medial, dan ventral (lihat Gambar 9-14). Area otak tersebut, sepanjang amigdala, nucleus
accumbens, dan area lain terdiri dari sistem ventral berhubungan dengan pengolahan emosi. Sistem
vetral ini berinteraki dengan sistem dorsal yang merupakan DLPFC dan mengatur output dari sistem
ventral (Gambar 9-62).

Sistem ventral (Gambar 9-62) terdiri dari areaorbital, ventral, dan medial pada korteks prefrontal
(ditunjukkan Gamabr 9-14), amigdala (ditunjukkan Gambar 9-63), dan nukleus accumbens (ditunjukkan
Gambar 9-62)- area otak yang semuanya penting untuk identifikasi dan penilaian stimuli emosi dan untuk
menciptakan respon emosi. Sistem dorsal tidak hanya terdiri dari DLPFC tetapi juga oleh hipokampus.
Sistem ini memimpin sumber kognitif yang diperlukan untuk menjaga atau mengatur respon emosional
dari sistem ventral. Sistem dorsal memilih output perilaku yang tepat dalam merespon emosi, lingkungan,
dan tujuan internal individu tersebut.

Skizofrenia telah lama dipahami sebagai gangguan kemampuan dalam mengidentifikasi dan
menginterpretasi emosi secara tepat, termasuk juga berupa ketidaktepatan ekspresi wajah. Hal ini
mungkin disebabkan karena insufiensi pengolahan informasi pada sistem ventral dan dapat diukur dengan
gambaran respons dari amigdala (Gambar 9-63) terhadap input emosional, khususnya dapat diukur
dengan melihat ekspresi wajah. Amigdala normalnya diaktifkan dengan menatap wajah yang menakutkan
dan mengancam, atau dengan menilai seberapa bahagia atau sedih suatu wajah,dan dengan berusaha
mencocokkan emosi dari satu wajah ke wajah yang lain (Gambar 9-64A). Hal ini dibahas pada bab 8 dan
digambarkan dalam Gambar 8-11 sampai 8-13).

Di mana pada orang nomal dapat mengaktifkan amigdala untuk berespon terhadap wajah yang
menakutkan atau emosional (Gambar 9-64A), sedangkan pasien dengan skizofrenia tidak terjadi (Gambar
9-64B). Hal ini menunjukkan terdapat distorsi realitas karena gangguan dalam memahami emosi yang
negatif dan pada pengkodean ulang emosi negatif pada skizofrenia. kegagalan dalam menyusun respon
emosional normal terhadap wajah yang menakutkan dapat pula menunjukkan ketidakmampuan dalam
menginterpretasi petunjuk sosial dan menyebabkan distorsi penilaian dan alasan pada skizofrenia. Gejala
negatif dan afektif tersebut merupakan bagian dari kelemahan pengolahan emosi.

GAMBAR 9-65A dan B Rangsangan netral dan skizofrenia. (A) Biasanya, paparan stimulus netral, seperti
wajah netral, menyebabkan aktivasi amigdala yang sedikit. (B) namun pasien skizofrenia mungkin keliru
menilai muka netral menjadi mengancam, hal ini berkaitan dengan hiperaktivasi amigdala.

Wajah netral atau stimulus netral dapat memprovokasi sedikit akftifasi dari amigdala pada orang
normal (Gambar 9-65A), namun reaksi berlebihan pada pasien skizofrenia, disebabkan karena proses
penilaian yang salah, menyebabkan kesan yang tidak menyenangkan atau cenderung mengancam diri
pasien skizofrenia (Gambar 9-65B). Aktifasi pengolahan informasi pada amigdala yang tidak tepat dapat
menyertai gejala paranoid dan menyebabkan gangguan fungsi interpersonal, seperti misalnya komunikasi
sosial. Pasien skizofrenia dapat menunjukkan defisit pemahaman emosi, yang kemudian akan
bermanifestasi menjadi gejala negatif atau positif. Endofenotip biologis yang mendasari aktifasi (atau
kekurangan) amigdala pada sirkuit ventral pengolahan emosi dapat dinilai dengan neuroimaging, apakah
pasien mengalami gejala tersebut atau tidak. Melihat pengolahan informasi emosional yang cukup dapat
membantu klinisi mengidentifikasi dan memahami gejala emosional yang sulit ditunjukkan oleh pasien
skizofrenia.
Ringkasan

Bab ini telah memberikan deskripsi klinis untuk psikosis, dengan fokus khusus pada penyakit psikotik
skizofrenia. kita telah menjabarkan hipotesis dopamin pada skizofrnia, dan hubungannya dengan hipotesis
hipofungsi reseptor NMDA pada skizofrenia, yang merupakan hipotesis utama untuk menjelaskan
mekanisme yang mendasarasi gejala positif, negatif, kognitif, dan afektif pada skizofrenia.

Jalur utama dopamin dan glutamat pada otak juga telah dijelaskan pada Bab ini. Overaktifitas dari
sistem dopamin mesolimbik dapat memperantarai gejala positif psikosis dan berhubungan dengan
hipofungsi reseptor glutamat NMDA pada jalur kortikobrainstem glutamat descenden. Underaktifitas dari
sistem dopamin mesokortikal dapat memperantari gejala positif, negatif, kognitif, dan afektif pada
skizofrenia dan dapat juga berhubungan dengan hipofungsi reseptror NMDA.

Sintesis, metabolisme, pengambilan kembali, dan reseptor untuk dopamin dan glutamat telah
dijelaskan di atas. Resseptor dopamin-2 merupakan target dari seluruh obat antipsikotik yang diketahui.
Reseptor glutamat NMDA memerlukan interaksi tidak hanya dengan neurotransmiter glutamat namun
juga dengan kotransmiter glisin atau d-serin.

Kedua hipotesis neurodegeneratif dan neurodevelopmental pada skizofrenia telah kita bahas.
Walaupun kejadian neurodegeneratif seperti gangguan otak janin atau eksotoksisitas dapat berperan
dalam skizofrenia, penelitian saat ini mengarah dengan kuat kepada dasar neurodevelopmetal,
diperantarai oleh sejumlah gen yang dicurigai mengatur hubungan neuronal dan formasi sinaps. Sejumlah
besar penelitian genetik berkumpul pada kemungkinan formasi sinaps yang abnormal- khususnya yang
menggunakan glutamat sebagai neurotyransmiter dan yang bekerja dengan resptor NMDA- sebagai pusat
kecacatan biologis pada skizofrenia.

Malfungsi sirkuit neural dapat digambarkan pada pasien skiozfrenia, misalnya malfungsi korteks
prefrontal dorsolateral berkaitan dengan gejala kognitif dan malfungsi amigdala berkaitan dengan gejala
disregulasi emosi.

Anda mungkin juga menyukai