Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara hukum tentunya mempunyai pengaturan

terhadap perlakuan pajak di Indonesia. Demikian sebagaimana yang di atur

pada Undang – Undang Dasar 1945, pasal 23 A yang berbunyi “ pajak dan

pungutan lainyang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan

undang – undang”. Kemudian di atur lebih konkret dengan disahkannya

Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan yang terakhir Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2007. Dan pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1983 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dan yang

terakhir Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Pemungutan pajak sebagaimana fungsinya antara lain adalah

budgetary, yaitu menghimpun penerimaan negara dari masyarakat sebagai

dana pembiayaan fungsi pembangunan. Sistem atau prinsip perpajakan yang

dianut oleh suatu negara akan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain

oleh falsafah bangsa yang bersangkutan dan kebijakan-kebijakan tertentu

yang berhubungan dengan pemberian dorongan investasi kepada sektor-

sektor tertentu.

Bentuk usaha tetap dalam sistem perpajakan Indonesia menempati

suatu kedudukan yang khusus karena di samping pemajakan atas bentuk

1
usaha tetap tersebut agak berbeda dibandingkan dengan pemajakan atas

wajib pajak pada umumnya, juga dalam kaitannya dengan perjanjian

perpajakan (tax treaty), ada tidaknya suatu bentuk usaha tetap sangat

menentukan dapat atau tidaknya suatu negara sumber mengenakan pajak

atas laba usaha yang diperoleh suatu perusahaan yang berkedudukan di luar

negeri.

Kedudukan bentuk usaha tetap (permanent establishment) dalam

sistem perpajakan Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat unik. Pada

saat Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 diberlakukan pada tanggal 1

Januari 1984, bentuk usaha tetap dikelompokkan sebagai subjek pajak badan

dalam negeri. Keadaan ini sangat berbeda dengan yang berlaku di banyak

negara, di mana bentuk usaha tetap diperlakukan sebagai subjek pajak luar

negeri. Dalam perkembangannya kemudian, menurut Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1994 sebagai Undang-Undang Perubahan dari Undang-

Undang Pajak Penghasilan 1984, bentuk usaha tetap tidak lagi

dikelompokkan sebagai subjek pajak badan dalam negeri, tetapi

dikelompokkan sebagai subjek pajak yang berdiri sendiri dan dianggap

sebagai subjek pajak luar negeri. Namun demikian, kewajiban-kewajiban

perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak dalam negeri. Keadaan ini

masih tetap tidak berubah setelah adanya Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2000 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 sebagai undang-undang

perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan yang terbaru.

2
Pengaturan terhadap pemungutan pajak ini sangatlah penting. Selain

menciptakan adanya kepastian hukum yang lebih nyata, dengan demikian ini

akan berfungsi sebagai salah satu pendorong masuknya investasi asing.

Dengan kata lain, suatu pengaturan pajak yang baik membantu menciptakan

iklim investasi yang favorable. Ini akan menguntung Indonesia sebagai

pasar investasi yang sangat strategis, akan meningkatkan perolehan

keuangan Negara yang bersumber dari perpajakan.

Dasar Hukum

 Ketentuan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36

Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 602/KMK.04/1994 tanggal 21

Desember 1994 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena

Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Bentuk Usaha Tetap Yang

Ditanamkan Kembali di Indonesia juncto Surat Edaran Direktur

Jenderal Pajak Nomor SE-04/Pj.4/1995 tanggal 8 Februari 1995

tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah

Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap yang Ditanamkan

kembali di Indonesia.

 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 113/KMK.03/2002 tanggal 28

Maret 2002 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena

Pajak Sesudah Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap.

(Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 113/KMK.03/2002).

3
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan pada

makalah ini adalah :

1. Apakah yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap?

2. Bagaimanakah penentuan laba bentuk usaha tetap?

3. Bagaimana perlakuan perpajakan terhadap bentuk usaha tetap sebagai

wajib pajak penghasilan?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap.

2. Untuk mengetahui penentuan laba bentuk usaha tetap.

3. Untuk mengetahui perlakuan perpajakan terhadap bentuk usaha tetap

sebagai wajib pajak penghasilan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bentuk Usaha Tetap

Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat

usaha yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga

mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau

peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh

penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha

melalui internet.

Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan

selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas

nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak

bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat

tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di

Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia

apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan

kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang

mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam

kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan

perusahaannya sendiri.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar

Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila

perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau

5
menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya

di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa

yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu

diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau

bertempat kedudukan di Indonesia.

Menurut Undang-undang Pajak Penghasilan, yang dimaksud dengan

Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh

orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang

berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari

dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan

dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan di Indonesia. BUT dapat berupa:

1. Tempat kedudukan manajemen;

2. Cabang perusahaan;

3. Kantor perwakilan;

4. Gedung kantor;

5. Pabrik;

6. Bengkel;

7. Gudang;

8. Ruang untuk promosi dan penjualan;

9. Pertambangan dan penggalian sumber alam;

10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi;

11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;

6
12. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

13. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain,

sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu

12 (dua belas) bulan;

14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak

bebas;

15. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan

tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi

atau menanggung resiko di Indonesia; dan

16. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki,

disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk

menjalankan kegiatan usaha melalui internet.

Bentuk Usaha Tetap dikenakan pajak atas penghasilan baik yang

berasal dari usaha atau kegiatan, maupun yang berasal dari harta yang

dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua penghasilan tersebut

dikenakan pajak penghasilan di Indonesia.

2.2 Subjek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap

Dalam hal ini, Subjek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap adalah

Subjek Pajak Luar Negeri yang terdiri dari:

a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi

yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga

hari) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak

didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang

7
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap

di Indonesia; dan

b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi

yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh

tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang

tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat

menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap

di Indonesia.

Subjek Pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus

menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan

yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh

penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di

Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau

badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.

Wajib Pajak luar negeri:

 Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber

penghasilan di Indonesia.

 Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto.

 Tarif pajak yang dipergunakan adalah tidak sepadan (tarif UU PPh

pasal 26).

 Tidak wajib menyampaikan SPT.

8
Subjek Pajak Luar Negeri melalui BUT dimulai saat menjalankan

usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia dan berakhir saat

tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di

Indonesia.

Sedangkan Subjek Pajak Luar Negeri tidak melalui BUT dimulai saat

menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia dan berakhir saat tidak

lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

2.3 Objek Pajak Penghasilan Bentuk Usaha Tetap

Yang menjadi objek pajak penghasilan BUT adalah:

1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang

dimiliki atau dikuasai.

2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau

pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau

dilakukan BUT di Indonesia.

3. Penghasilan sebagaimana tersebut dalam PPh Pasal 26 yang diterima

atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara

BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan

dimaksud.

2.4 Penentuan Laba

Dalam menentukan besarnya laba suatu BUT ada beberapa ketentuan

yang harus diperhatikan, yaitu:

9
a. Biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan dibebankan adalah

biaya yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT, yang besarnya

ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.

b. Pembayaran oleh BUT kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan

dibebankan sebagai biaya adalah:

1) Royalti atau imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta,

paten, atau hak-hak lainnya

2) Imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya

3) Bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan

Sebagai konsekuensinya, atas pembayaran seperti tersebut di atas,

yang diterima atau diperoleh BUT dari kantor pusat tidak dianggap sebagai

Objek Pajak, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

2.5 Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak

Untuk dapat menghitung PPh, terlebih dahulu harus diketahui dasar

pengenaan pajaknya. Untuk Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha

Tetap (BUT) yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Penghasilan Kena

Pajak. Sedangkan untuk Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.

Besarnya Penghasilan Kena Pajak untuk Pajak badan dihitung sebesar

penghasilan netto. Sedangkan untuk Wajib Pajak orang pribadi dihitung

sebesar penghasilan netto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak

(PTKP). Secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut:

Penghasilan kena pajak (WP badan) = penghasilan netto

Penghasilan kena pajak (WP orang pribadi) = penghasilan netto - PTKP

10
Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak

Perhitungan besarnya Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak dalam

negeri dan bentuk usaha tetap dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1. Menggunakan pembukuan

2. Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara

teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi

harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga

perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun

laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun

Pajak berakhir. Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak orang pribadi yang

melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas diwajibkan

menyelenggarakan pembukuan.

Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi

wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang

melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan:

 Diperbolehkan menghitung penghasilan netto dengan menggunakan

Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dan

 Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau

pekerjaan bebas

Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan

usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan

11
penerimaan penghasilan lainnya. Sedangkan bagi mereka yang semata-mata

menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas pencatatannya

hanya mengenai penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan netto yang

merupakan objek Pajak Penghasilan. Di samping itu pencatatan meliputi

pula penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak

yang bersifat final. Pembukuan atau pencatatan harus:

 Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan

keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya,

 Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka

Arab, satuan mata uang Rupiah, dan

 Disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan

oleh Menteri Keuangan (misalnya, bahasa Inggris)

Menghitung Penghasilan Kena Pajak dengan Menggunakan

Pembukuan

Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan

bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi

biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:

1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan

kegiatan usaha, antara lain:

a. Biaya pembelian bahan;

b. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,

honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam

bentuk uang;

12
c. Bunga, sewa, dan royalti;

d. Biaya perjalanan;

e. Biaya pengolahan limbah;

f. Premi asuransi;

g. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan;

h. Biaya administrasi; dan

i. Pajak, kecuali Pajak Penghasilan.

2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan

amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya yang

mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun;

3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh

Menteri Keuangan;

4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan

digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara penghasilan;

5. Kerugian selisih kurs mata uang asing;

6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di

Indonesia;

7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;

8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:

a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

13
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat

ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan

c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri

atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara, atau

adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan

piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang

bersangkutan, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau

khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa untungnya telah

dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;

d. Syarat sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak berlaku untuk

penghapusan piutang tak tertagih debitur terkecil;

9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang

ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan

di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur

dengan Peraturan Pemerintah;

12. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan

Peraturan Pemerintah; dan

13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

14. Kompensasi kerugian fiskal tahun sebelumnya (maksimal 5 tahun).

14
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak

dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:

1. Pembagian laba dengan nama dan bentuk apapun seperti dividen,

termasuk dividen yang dibagikan oleh perusahaan asuransi kepada

pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi

pemegang saham, sekutu, atau anggota.

3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha

lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,

perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;

b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial

yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

c. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;

d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;

e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan

f. Cadanagan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan

limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang

ketentuannya dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan.

4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi

dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang

pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi asuransi

15
tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang

bersangkutan.

5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang

diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan

makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau

imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan

yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang

saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai

imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.

7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali:

 Sumbangan yang diperbolehkan dikurangkan

 Zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat

yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah

 Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama

yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan

yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah;

8. Pajak Penghasilan.

9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi

Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.

10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan

komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.

16
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi

pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-

undangan di bidang perpajakan.

2.6 Tarif Pajak

Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib

Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%. Tarif

pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, mulai

berlaku sejak tahun pajak 2010, diturunkan menjadi 25%.

Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka

yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan

saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan

memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5%

(lima persen) lebih rendah daripada tarif yang berlaku.

Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai

dengan Rp 50.000.000.000,00 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif

sebesar 50% yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian

peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00.

2.7 CARA MENGHITUNG PAJAK

Pajak Penghasilan (bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha

Tetap) setahun dihitung dengan cara mengalikan Penghasilan Kena Pajak

dengan tarif pajak sebagaimana diatur dalam UU PPh pasal 17. Untuk

menghitung PPh dapat digunakan rumus sebagai berikut:

17
Pajak Penghasilan (Wajib Pajak badan)

= Penghasilan Kena Pajak x tarif pasal 17

= Penghasilan netto x tarif pasal 17

= (Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh) x tarif pasal 17

Pajak Penghasilan (WP Orang Pribadi)

= Penghasilan kena pajak x tarif pasal 17

= (Penghasilan netto – PTKP) x tarif pasal 17

= [(Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh)-PTKP] x tarif

pasal 17

Catatan: Untuk keperluan penghitungan PPh yang terutang pada akhir tahun,

Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh

Contoh:

1. Peredaran bruto PT ABCD dalam tahun pajak 2016 sebesar

Rp4.500.000.000,00 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar

Rp500.000.000,00. Penghitungan pajak yang terutang:

Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto

tersebut dikenai tarif sebesar 50% dari tarif Pajak Penghasilan badan

yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT ABCD tidak melebihi

Rp4.800.000.000,00.

Pajak Penghasilan yang terutang:

(50% x 25%) x Rp500.000.000,00 = Rp62.500.000,00

18
2. Peredaran bruto PT DEF dalam tahun pajak 2016 sebesar

Rp30.000.000.000,00 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar

Rp3.000.000.000,00. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:

Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang

memperoleh fasilitas:

(Rp4.800.000.000,00 : Rp30.000.000.000,00) x Rp3.000.000.000,00 =

Rp480.000.000,00

Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak

memperoleh fasilitas:

Rp3.000.000.000,00-Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00

Pajak Penghasilan yang terutang:

- (50% x 28%) x Rp480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00

- 28% x Rp2.520.000.000,00 = Rp705.600.000,00(+)

Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang = Rp772.800.000,00

3. Akbar pada tahun 2016 mempunyai Penghasilan Kena Pajak sebesar

Rp241.850.600,00. Besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar atau

terutang oleh Akbar adalah:

Penghasilan Kena Pajak Rp241.850.600,00

(dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh)

Pajak Penghasilan yang harus dibayar:

5% x Rp 50.000.000,00 Rp 2.500.000,00

15% x Rp 191.850.000,00 Rp 28.777.500,00

Jumlah Rp 31.277.500,00

19
2.8 PERLAKUAN PAJAK TERHADAP BUT YANG DITANAMKAN

KEMBALI DI INDONESIA

Perlakuan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak penghasilan dari suatu

Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, akan dikenakan PPh pasal 26 sebesar 20%

(bersifat final), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di

Indonesia. Penanaman kembali tersebut harus memenuhi persyaratan

sebagai berikut:

1. Penanaman kembali dilakukan atas seluruh penghasilan kena pajak

setelah dikurangi Pajak Penghasilan dalam bentuk penyertaan modal

pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia

sebagai pendiri atau peserta pendiri;

2. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia

sebagaimana dimaksud pada huruf a, harus secara aktif melakukan

kegiatan usaha sesuai dengan akte pendiriannya, paling lama 1 (satu)

tahun sejak perusahaan tersebut didirikan;

3. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak berjalan atau paling

lama tahun pajak berikutnya dari tahun pajak diterima atau diperolehnya

penghasilan tersebut; dan

4. Tidak melakukan pengalihan atas penanaman kembali tersebut paling

singkat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah perusahaan baru

tersebut telah berproduksi komersial.

Bentuk Usaha Tetap yang melakukan penanaman kembali, wajib

menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman

20
yang dilakukan kepada Dirjen Pajak sebagai lampiran SPT Tahunan PPh

tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang bersangkutan.

Contoh:

Superfood-Indonesia yang merupakan bentuk usaha tetap mempunyai

penghasilan kena pajak dalam tahun 2016 sebesar Rp 1.000.000.000,00.

Perhitungan pajak atas BUT tersebut adalah sebagai berikut:

Penghasilan kena pajak Rp 1.000.000.000,00

PPh terutang:

28% x Rp 1.000.000.000,00 = Rp 280.000.000,00

Penghasilan kena pajak BUT sesudah

dikurangi dengan pajak penghasilan = Rp 720.000.000,00

Atas penghasilan tersebut akan dikenakan pajak lagi sebesar:

20% x Rp 720.000.000,00 atau sama dengan Rp 144.000.000,00

Namun apabila atas penghasilan kena pajak BUT sesudah dikurangi pajak

penghasilan tersebut (sebesar Rp 720.000.000,00) ditanamkan kembali di

Indonesia, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong pajak. Jadi tidak

ada pemotongan pajak penghasilan sebesar 20% atau sebesar Rp

144.000.000,00.

21
BAB III

PENUTUP

2.3 Kesimpulan

Menurut Undang-undang Pajak Penghasilan, yang dimaksud dengan

bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang

pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia

tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12

(dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan

di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manjemen, cabang

perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, dan lain-

lain. Dengan kata lain BUT adalah bentuk kegiatan usaha di Indonesia yang

dimiliki oleh orang atau badan luar negeri.

2.4 Saran

Saran menurut penulis, hal yang masih perlu kajian lebih mendalam

dalam penyusunan makalah sejenis berikutnya antara lain:

1. Contoh kasus seputar BUT;

2. Perbedaan peraturan mengenai BUT di Indonesia dengan negara lain;

3. Perlakuan perpajakan atas BUT.

22
DAFTAR PUSTAKA

Agus Setiawan dan Basri Musri. Perpajakan Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2006)

IAI. (2015). Modul Pelatihan Pajak Terapan Brevet AB Terpadu (Edisi 30).

Jakarta: IAI

Mardiasmo. (2016). Perpajakan (Edisi 18). Yogyakarta: Penerbit Andi

Zakaria, J (2005). Perlakuan Perpajakan terhadap Badan Usaha Tetap. Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada.

23

Anda mungkin juga menyukai