Anda di halaman 1dari 27

SKENARIO 6

PERAWATAN LESI INFEKSI VIRUS DI RONGGA MULUT

Pasien perempuan berusia 9 tahun datang dengan ibunya ke Klinik


Penyakit Mulut Rumah Sakit Gigi Dan Mulut Universitas Jember dengan
keluhan sariawan di mulut. Berdasarkan anamnesis, 2 hari sebelumnya pasien
mengalami demam, nyeri sendi, dan tidak enak badan. Oleh orang tua pasien
diberikan obat pereda demam, 2 hari setelahnya timbul sariawan di mulut,
pasien kesulitan makan dan minum. Pemeriksaan klinis intra oral pada
mukosa labial bawah serta gingiva anterior rahang atas dan bawah dijumpai
ulser, multipel dengan diameter lebih kurang 1-2 mm, lidah dijumpai plak putih
kekuningan, dapat dikerok dan tidak sakit. Dokter gigi yang memeriksa pasien
mendiagnosis dengan gingivostomatitis herpetika primer yang dikarenakan
oleh Herpes Simplek Virus Tipe 1, plak putih kekuningan pada lidah pasien
didiagnosis sebagai coated tongue. Dokter gigi akan melakukan terapi pada
pasien tersebut. Dokter gigi yang memeriksa pasien menjelaskan bahwa virus
tersebut dapat aktif kembali dan menimbulkan lesi di bibir dengan diagnosis
herpes labialis.

1
STEP 1
DEFINISI KATA SULIT

1. Coated Tongue

Lapisan plak pada lidah yang berarna putih kekuningan yang dapat dikerok
dan tidak sakit. Plak ini berasal dari akumulasi bakteri, sisa makanan, dan
desquamasi sel epitel.

2. Gingivostomatitis Herpetika Primer

Merupakan lesi yang disebabkan oleh infeksi dari Herpes Simplek Virus
(HSV) Tipe 1. Infeksi HSV Tipe 1 ini biasanya ditandai dengan adanya
ulserasi di rongga mulut khususnya pada daerah gingiva, palatum, dan
mukosa. Lesi ini berupa vesikel-vesikel yang kemudian pecah membentuk
ulser.

3. ulser

ulser merupakan luka terbuka pada mukosa rongga mulut. Ulser berasal dari
vesikel-vesikel yang pecah sehingga pada bagian tengahnya sedikit lebih
cekung.

4. Herpes Labialis

Merupakan infeksi sekunder yang merupakan rekurensi dari


Gingivostomatitis Herpetika Primer. Dan biasanya terdapat pada daerah
bibir

2
STEP 2

RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa dokter gigi mendiagnosis pasien dengan Gingivostomatitis


Herpetika Primer ?
2. Apa hubungan nyeri sendi dengan Gingivostomatitis Herpetika Primer ?
3. Apakah ada hubungan antara obat pereda demam yang diberikan oleh orang
tua pasien dengan terjadinya Gingivostomatitis Herpetika Primer ?
4. Apa penyebab terjadinya rekurensi inveksi Herpes Simplek Virus Tipe 1 ?
5. Bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjadi rekurensi ?
6. Bagaimana terapi untuk Gingivostomatitis Herpetika Primer ?
7. Bagaimana terapi untuk Herpes Labialis ?
8. Bagaimana terapi untuk Coated Tongue ?

3
STEP 3
JAWABAN RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa dokter gigi mendiagnosis pasien dengan Gingivostomatitis


Herpetika Primer ?

Dokter gigi mendiagnosis pasien dengan Gingivostomatitis Herpetika


Primer karena sudah jelas dari hasil anamnesis bahwa 2 hari sebelumnya
pasien mengalami demam, nyeri sendi, dan tidak enak badan, keadaan ini
merupakan gejalah yang khas pada inveksi virus yang disebut sebagai
gejalah prodormal. Sedangkan dari hasil pemeriksaan klinis ditemukan
adanya lesi berupa ulser multipel pada rongga mulut pasien. Coated tongue
yang terjadi pada pasien bukan disebabkan karena infeksi HSV Tipe 1,
melainkan karena oral higiene pasien yang buruk. Oral higiene yang buruk
ini disebabkan karena lesi pada rongga mulut yang terasa sakit sehingga
pasien sulit untuk membersihkan rongga mulutnya. Hal ini juga
menyebabkan nafsu makan pasien berkurang sehingga terjadi desquamasi
sel epitel. Coated tongue juga dapat disebabkan oleh pemakaian obat-
obatan.

2. Apa hubungan nyeri sendi dengan Gingivostomatitis Herpetika Primer ?


(dijadikan PR)

Nyeri sendi yang dirasakan oleh pasien tidak ada hubungannya dengan
Gingivostomatitis Herpetika Primer. Namun kedua hal ini sama-sama
disebabkan karena virus herpes. Nyeri sendi disebabkan oleh karena demam
yang merupakan suatu bentuk perlawanan tubuh terhadap adanya infeksi
virus.
Pendapat lain  demam merupakan perubahan setting time dari tubuh
manusia. Sehingga suhu 37° yang sebenarnya untuk tubuh itu normal
dianggap terlalu rendah sehingga tubuh menaikkan suhunya dan terjadilah
demam.

4
3. Apakah ada hubungan antara obat pereda demam yang diberikan oleh orang
tua pasien dengan terjadinya Gingivostomatitis Herpetika Primer ?

Tidak ada hubungan antara obat pereda demam dengan terjadinya


Gingivostomatitis Herpetika Primer. Obat pereda demam diberikan hanya
karena orang tua pasien beranggapan bahwa obat ini dapat menurunkan
suhu badan pasien, saat demam sudah reda menandakan bahwa gejalah
prodormal sudah berakhir kemudian timbullah sariawan.

4. Apa penyebab terjadinya rekurensi inveksi Herpes Simplek Virus Tipe 1 ?

Rekurensi dapat disebabkan karena beberapa hal yaitu:


 stres yang berlebihan
 kelelahan
 sistem imun yang menurun
 perubahan hormon misal pada saat menstruasi
 luka terbuka pada rongga mulut

5. Bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjadi rekurensi ?

Cara pencegahan yang paling efektif adalah menghindari faktor pemicunya


seperti:
 Hindari sinar matahari yang berlebihan
 Menggunakan masker saat berada di luar rumah
 Menjaga kebersihan rongga mulut
 Mengkonsumsi makanan yang tinggi kalori dan protein
 Terapi imun untuk mengendalikan virus pada individu dengan
sistem imun nya rentan

6. Bagaimana terapi untuk Gingivostomatitis Herpetika Primer ?

Terapi untuk pasien Gingivostomatitis Herpetika Primer bisa dilakukan


secara topikal dan sistemik. Pasien diberikan obat acyclovir, antiseptik
lokal, obat kumur Chlorhexidine, analgesik yang mengandung lidokain
5
untuk meredakan rasa nyeri, salep povidone iodine. Pasien juga
diinstruksikan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung protein
dan kalori tinggi serta istirahat yang cukup.

7. Bagaimana terapi untuk Herpes Labialis ?

Perawatan pada pasien terinfeksi Herpes Labialis hampir sama dengan


penderita Gingivostomatitis Herpetika Primer. Pasien diinstruksikan
untuk menjaga kebersihan lingkungannya, serta menjaga kebersihan
rongga mulutnya.

8. Bagaimana terapi untuk Coated Tongue ?

Perawatan pada pasien Coated Tongue bisa diberikan obat anti jamur yaitu
nestatin, lidah dikerok menggunakan tongue cleanser.

6
STEP 4
MAPPING

Infeksi HSV Tipe 1

Primer Pencegahan Sekunder

Gingivostomatitis Herpes Labialis


Herpetika Primer

Penatalaksanaan

7
STEP 5
TUJUAN PEMBELAJARAN (LEARNING OBJECTIVE)

Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan:

1. Definisi serta maniestasi klinis dari Gingivostomatitis Herpetika Primer


dan Herpes Labialis
2. Penatalaksanaan Gingivostomatitis Herpetika Primer
3. Pencegahan infeksi sekunder HSV Tipe 1
4. Penatalaksanaan Herpes Labialis

PR

Apa hubungan nyeri sendi dengan Gingivostomatitis Herpetika Primer ?

8
STEP 7
PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE

LO 1 Definisi serta maniestasi klinis dari Gingivostomatitis Herpetika


Primer dan Herpes Labialis

A. Gingivostomatitis Herpetika Primer.


 Manifestasi klinis
Lebih dari 90% kasus gingivostomatitis herpetika primer terjadi
karena infeksio virus herpes simpleks tipe 1. Keparahan gejala dan
manifestasi berkaitan dengan virulensi dari virus dan kondisi
kekebalan tubuh seseorang (Kalburg, et. al.. 2014).
Keluhan utama yang dirasakan oleh pasien adalah disfagia, rasa
tidak nyaman pada mulut, dan burning mouth sensation. Selain itu,
kondisi pasien akan mengalami demam, menggigil, malaise, faringitis
(Kalburg, et. al.. 2014), limfadenopati, dan sakit kepala (Jaya, et. al..
2009). Gejala lain yang timbul adalah halitosis, hipersalivasi
(Kalburg, 2014), eritema pada gusi, coated tongue, banyaknya
timbunan plak karena keadaan kebersihan rongga mulut pasien yang
tidak terjaga (Jayam, et. al.. 2015). Kemudian, mulai timbul adanya
vesikel multipel berdinding tipis dan dikelilingi kemerahan. Kemudian
pecah membentuk ulser dangkal yang ditutupi membrane kuning
keabu-abuan, palpasi pada jaringan sekitar terasa sakit dengan tepi
kemerahan. Lesi muncul pada mukosa oral dan biasanya juga terjadi
pada perioral (Karlbug, et. al.. 2014).
Pasien merasakan gejala prodromal sekitar 1-3 hari. Gejala
berupa demam, kehilangan nafsu makan, malaise, dan mialgia juga
dapat disertai sakit kepala dan mual. Nyeri pada bagian mulut dapat
mengakibatkan asupan makanan kurang, sehingga pasien dapat
mengalami dehidrasi dan membutuhkan pelayanan rawat inap di
rumah sakit . Sebagian besar kasus primer HSV-1 umumnya terjadi
pada anak-anak dan remaja. Penyakit ini dapat sembuh sendiri dalam
9
waktu 10 sampai 14 hari, khas untuk penyakit virus. (Greenberg, et.
al.. 2008)
Di rongga mulut dapat kita temui eritema dan vesikel
berkelompok. Dapat muncul pada mukosa keratin dari palatum,
attached gingiva dan dorsum lidah, ventral lidah dan dapat muncul
juga di mukosa nonkeratinized dari bukal dan mukosa labial. Vesikel
memecah untuk membentuk ulkus yang biasanya besarnya 1 sampai 5
mm ada batasnya dan ditandai eritema di sekitarnya. Gingiva warna
merah seperti nyala api, dan mulut terasa sangat sakit, Kadang bisa
terjadi di faring sehingga pasien sulit menelan. (Greenberg, et. al..
2008)

10
 Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya yang digunakan untuk menginvestigasi adanya
kelainan herpes simpleks tipe 1 adalah dengan pemeriksaan darah
lengkap, tes culture testsand serological. Biopsi jarang dilakukan tapi
apabila dilakukan akan menunjukkan vesikulasi dan atauulserasi
dengan se datia multinuklear yang menunjukkan keratinosit yang
terinfeksi virus. (Lewis, 2015)
1. Penambahan gambaran klinis yang berhubungan dengan
gingivostomatitis herpes simplek, penghitungan darah lengkap
mengungkapkan leucocytosis atau neutropenia yang
berhubungan dengan infeksi virus. (Jayam, et. al.. 2015)
2. Kultus virus herpes simplek. Isolasi dari virus HSV-1 dapat
dilakukan menggunakan teknik kultur sel. Peralatan komersial
disediakan. Swab yang dilakukan secara hati-hati dari lesi dapat
dilakukan dengan upaya yang hati-hati untuk tidak
menimbulkan trauma pada lesi yang sakit. (Jayam, et. al.. 2015)
3. Serology assays-Sebuah tes indirect immunoflorescence
antibody dapat dilakukan. Pewarnaan fluorescent atau antibodi
monoclonal dapat dilakukan. (Jayam, et. al.. 2015)
4. Teknik immunoassay seperti enzim immunoassay (EIA) atau
(ELISA) dapat mendeteksi DNA virus. (Jayam, et. al.. 2015)
5. Deteksi cepat berdasarkan Reaksi Rantai Polimerisasi (PCR)
dapat dilakukan ketika diperlukan (seperti pada pasien
immunocompromised, infeksi yang parah). (Jayam, et. al.. 2015)
6. Nucleic acid probes. (Jayam, et. al.. 2015)

11
 Diagnosis banding
Beberapa kondisi rongga mulut pada umumnya terjadi mirip
dengan gingivostomatitis herpetik primer, dapat menjadikan diagnosis
yang salah pada kondisi tersebut. Diagnosis yang tidak tepat dapat
menjadikan rencana perawatan yang juga salah. Kondisi dimana mirip
dengan gingivostomatitis herpetik primer yaitu:
1. Tumbuh gigi. Tumbuh gigi adalah kondisi alami yang umumnya
terjadi selama masa anak-anak. Gejala dari tumbuh gigi mirip
dengan gingivostomatitis herpetik primer seperti
ketidakmampuan untuk makan, demam, iritasi dan lesu. Juga,
bentuk lebih ringan dari gingivostomatitis herpetik primer yang
karena kehadiran antibodi yang didapatkan sejak dalam
kehamilan, menjadikannya diagnosis yang salah. Oleh karena
itu, kesalahan masalah tumbuh gigi dikarenakan tidak adanya
gejala yang klasik dari gingivostomatitis herpetik primer pada
beberapa kasus. (Jayam, et. al.. 2015).
2. Apthous stomatitis-dapat dibedakan dengan adanya lesi hanya
pada mukosa tidak berkeratin. Tidak ada sejarah dari vesikel dan
gejala prodromal. (Jaya, et. al.. 2009)
3. Herpangina, disebabkan oleh virus Coxsackie A. Kondisi ini
dibedakan dari adanya ulser pada palatum lunak dan pilar depan
dari rongga mulut. (Jayam, et. al.. 2015)
4. Chickenpox, dikarenakan oleh Varicella zoster. Adanya dari
ruam vesicular yang pada umumnya ada pada kepala dan badan.
(Jayam, et. al.. 2015)
5. Keracunan logam merkuri kronis. Dikarakteristikkan dengan
adanya inflamasi yang parah dari gusi dan mukosa oral.
Dibedakan dengan adanya tambahan masalah neurological
seperti tremors, paraestesia, dan masalah psikiatrik seperti
pelupa dan gangguan suasana hati. (Jayam, et. al.. 2015)

12
6. Hand, foot and mouth disease- disebabkan virus Coxsackie.
Dibedakan dengan adanya vesikel intraoral dan ekstraoral
disemua bagian tubuh. (Jayam, et. al.. 2015)
7. Stevens-Johnson Syndrome/Erythema multiform. Dibedakan
dengan adanya bothintra dan lesi oral. Selain itu, pada erythema
multiforme tidak dapat dijumpai lesi pada daerah keratinisasi,
dan tidak dijumpai pula adanya lesi target yang merupakan
tanda khas. (Marlina, et. al.. 2012)
8. Impetigo. (Jayam, et. al.. 2015)
9. Stomatitis alergika. Apabila pada hasil anamnesis menunjukkan
bahwa tidak ada riwayat alergi baik pada pasien ataupun
keluarganya makan diagnosisnya bukanlah stomatitis alergika.
Adanya gejala prodormal yang menyertai membedakan penyakit
infeksi virus ini dengan stomatitis alergika. (Kusumastuti. 2016)

B. Infeksi Herpes Simplex Virus Rekuren


 Manifestasi klinis
Infeksi Herpes Simplex Virus Rekuren disebut Rekuren Herpes
Labialis (RHL). Dapat diketahui dari gejala prodormal yang
ditimbulkan berupa gatal, kesemutan dan rasa terbakar di sekitar
rongga mulut setelah itu diikuti oleh vesikel, papula, vesikel. Nyeri
umumnya hadir hanya dalam 2 hari pertama. Ada juga yang
menyebutkan bahwa pasien tidak mengalami gejala prodromal.
Terjadi karena extraneural laten HSV dalam epitel. Di rongga mulut
ditemukan ukuran lesi 1-5 mm single atau berkelompok. Ada batas
eritematous yang jelas dan terang. Dan dapat terjadi peradangan pada
gingiva sehingga menimbulkan nyeri selama 1-2 hari. (Greenberg, et.
al.. 2008)

13
Diagnosis Herpes Labialis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan gejalah klinis yang menyertai pasien adanya riwayat pernah
terkena herpes dan berdasarkan gejala prodromal demam, seperti flu
sebelum timbulnya sariawan, rasa menebal pada bibir atas, adanya
pemicu berupa kelelahan fisik, serta berdasarkan gambaran klinis
yang khas, yaitu adanya lesi vesikula di atas bibir yang disebabkan
oleh terjadinya replikasi lokal fusi sel ke sel. Selain itu, juga ditandai
dengan adanya krusta kering merah di atas bibir dan adanya lesi-lesi
intra oral khususnya pada daerah nonkeratinisasi, yaitu rugae palatina.
(Marlina, et. al.. 2013)
Umumnya infeksi Herpes labialis terbagi dalam 4 tahap yang
berlangsung selama 2-3 minggu. Tahap pertama ditandai dengan rasa
tidak nyaman, gatal, dan sensasi terbakar di sekitar bibir atau hidung
selama 1-2 hari. Selain itu, gejala tersebut dapat disertai demam dan
dengan atau tanpa pembengkakan kelenjar getah bening di bagian
leher. Ketika masuk tahap kedua, muncul bintik-bintik berisi cairan
dalam bentuk tunggal atau multiple yang seringkali disertai rasa nyeri.
Tahap ketiga, bintik-bintik tersebut akan pecah dan membentuk luka
yang basah. Cairan yang keluar dalam vesikel akan menular pada
bagian tubuh atau orang lain yang melakukan kontak langsung dengan
bagian yang terluka. Tahap terakhir ditandai dengan luka yang mulai
mengering dan sembuh. Lesi dapat kambuh kembali secara berulang
pada berbagai interval waktu. (Kusumastuti. 2016)
14
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium diperlukan bila terdapat gambaran
klinis yang meragukan. Tes Tzanck (adanya perubahan sitologi sel
epitel dimana terlihat multinucleated giant sel). (Greenberg, et. al..
2008)

 Diagnosis Banding
Diagnosis banding Herpes Labialis adalah Stomatitis Aftosa
Rekuren (SAR). Jika tidak dijumpai tanda khas lainnya, dapat
dilakukan pemeriksaan usapan sitologi yang diambil dari dasar lesi
yang baru saja pecah untuk membedakannya dengan lesi SAR.
Pemeriksaan ini akan menunjukkan adanya ballooning degeneration
serta multinucleated giant cell pada herpes labialis sedang pada SAR
tidak. Usapan sitologi ini juga dapat diuji dengan menggunakan
antigen VHS. Selain itu, juga dapat dilakukan kultur untuk
membedakannya dengan lesi virus lainnya, khususnya infeksi
varicella zoster. (Marlina, et. al.. 2013)

15
LO 2 Penatalaksanaan Gingivostomatitis Herpetika Primer

Prinsip terapi yang akan dilakukan adalah kausatif, simptomatis dan


suportif, serta preventif. Untuk maksud tersebut, pasien kemudian diberikan
acyclovir 200 mg 5 kali sehari untuk 5 hari sebagai kausatif, diberikan asam
mefenamat sebanyak 15 tablet untuk diminum hanya jika terasa nyeri, dan
benzydamin HCl kumur 4 kali sehari sebagai terapi simptomatis. Vitamin B
complex sebagai terapi suportif, serta edukasi pasien bahwa pasien sedang dalam
masa infeksius sehingga disarankan untuk menghindari kontak intim dengan
orang lain. (Marlina, et. al.. 2012)
Apabia pasien anak-anak biasanya orang tuanya harus diberitahukan tentang
kondisi dan diberi saran betapa infeksius lesi ini. Berikan instruksi untuk
membatasi kontak dengan bibir dan mulut untuk memperkecil resiko penyebaran
infeksi ke tempat lain. Terapi simtomatik suporatif meliputi obat kumur
klorheksidin, terapi analgesik, diet lunak dan asupan cairan yang cukup.
Penggunaan Acyclovir diberikan dengan aturan pemberian standar adalah 200 mg
acyclovir,baik berupa tablet yang dilarutkan atau suspensi, lima kali sehari untuk
5 hari. Dosis separonya untuk anak-anak di bawah 2 tahun. (Lewis, 2015)
Pemeriksaan berkala pada kunjungan hari pertama, ke-4, dan ke-14. Terapi
yang diberikan pada kasus ini adalah anti virus, anti piretik, multivitamin, dan
obat kumur yang bersifat anastesi lokal. Terapi yang diberikan pada kunjungan
pertama berupa tablet acyclovir 200 mg 5x sehari, multivitamin yang berisi
vitamin B dan vitamin C (B Comp C capl 2x sehari 1), paracetamol 500 mg 3x
sehari 1, serta obat kumur Benzidamin HCl 0,2% 3-4x sehari. Obat kumur
digunakan setelah makan dan salep acyclovir untuk dioleskan pada bibir atas dan
bibir bawah 4-5 kali sehari. Terapi yang dianjurkan pada kunjungan kedua (hari
keempat) sama dengan kunjungan pertama, hanya saja multivitamin yang
diberikan cukup dikonsumsi 1x sehari. Selain obat-obatan tersebut, pasien juga
dianjurkan menghindari makanan pedas dan berbumbu tajam, serta istirahat yang
cukup dan mengkonsumsi makanan lunak tinggi kalori dan protein seperti susu,
roti, dan jus buah. (Kusumastuti, 2016)

16
Purnama jaya pada tahun 2009 juga menyebutkan bahwa perawatan untuk
Gingivostomatitis Herpetika Primer dilakukan dalam 3 kali kunjungan, yaitu:
1. Kunjungan pertama
 Melakukan anamnesis
 Melakukan pemeriksaan ekstra oral pada pasien, terdapat
pembengkakan kelenjar submandibular atau tidak
 Melakukan pemeriksaan intraoral
 Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, dokter gigi
menegakkan diagnosis sementara
 Di klinik, lesi diulasi dengan povidone iodine 10% setelah itu
diulasi dengan triamsinolone acetonid 0,1%. Pasien diberi resep
Chlorhexidine obat kumur 3X sehari, multivitamin syrup 1X1
sendok teh dan dianjurkan minum susu yang mengandung tinggi
protein dan tinggi kalori. Pasien disarankan untuk kontrol 5 hari
lagi.
2. Kunjungan kedua
 Melakukan anamnesis
 Melakukan pemeriksaan ekstraoral dan intraoral
 Kemudian lesi pada rongga mulut dibersihkan dengan povidone
iodine 10% dan diulasi dengan triamsinolone acetonid 0,1%.
Terapi Chlorhexidine obat kumur 3X sehari, multivitamin syrup
1X1 sendok teh tetap dilanjutkan. Pasien disarankan untuk
kontrol seminggu kemudian.
3. Kunjungan ketiga
 Melakukan anamnesis pada pasien, apakah kondisi pasien sudah
membaik atau belum
 Melakukan pemeriksaan ekstraoral apakah masih ada kelainan
atau tidak
 Melakukan pemeriksaan intraoral, biasanya sudah tidak
ditemukan ulser baik di gingival rahang bawah kanan, gingiva
rahang atas kanan maupun pada lidah.
17
Menurut Jayam 2015 Untuk merehidrasi tubuh pasien, dapat diberikan
campuran segelas air dengan satu setengah sendok teh. Penggunaan acyclovir
dapat mengganggu sintesis DNA dan menghambat replikasi virus. Dapat
diberikan acyclovir15 mg/kg BB 5 kali sehari selama tujuh hari. Dapat
menggunakan acyclovir suspensi 200 mg/5 mL untuk anak-anak, acyclovir lotion
5%. Akan tetapi acyclovir juga memiliki efek samping, yaitu dapat menyebabkan
anoreksia, nausea, vomiting dan diarhhoea, hipersensitivitas dan nefrotoksisitas.
Pengobatan untuk gejala lain yang menyertai dapat menggunakan acetaminophen
10-15 mg/kg BB setiap 4 jam atau menggunakan ibuprofen 10 mg/kg BB setiap 6
jam. Menjaga kebersihan rongga mulut. Jika seseorang kesulitan dalam
pembersihan mekanis, maka dapat menggunakan sikat gigi berbulu lembut serta
melakukan kumur menggunakan air hangat dan garam untuk membantu control
plak. Penggunaan obat kumur pada anak sebaiknya dihindarkan karena dapat
menyebabkan iritasi dan kemungkinan tertelan. Menjaga nutrisi yang masuk ke
dalam tubuh. Makanan dengan tekstur halus dan jus buah dianjurkan untuk pasien
gingivostomatitis herpetika primer. Jus buah dianjurkan akan teteapi hindari untuk
buah-buah yang mengandung asam serta makanan yang pedas dan asam karena
dapat menyebebkan iritasi sehingga mengakibatkan ulser.

Terapi topikal untuk pengobatan dari infeksi HSV pada rongga mulut
(Stoopler, et. al.. 2013)

Kategori Agen Indikasi Rekomendasi


Peningkatan Es, lip balm Infeksi HSV Dibutuhkan sesuai
kualitas primer anjuran pabrik
Persiapan
hidup pasien
perhitungan Infeksi HSV
(palliative)
kelebihan rekuren
anastetik topikal
Infeksi Recurent
(mengandung
Intraoral
benzocaine)*
Herpes (RIH)

18
Persiapan Infeksi HSV Viscous lidokain 2%-10
lidokain topikal primer ml dikumur sesuai yang
(Viscous lidokain dibutuhkan untuk
Infeksi HSV
2%, lidokain gel penyembuhan rasa sakit.
rekuren
2%)
Lidokain gel 2%
Infeksi Recurent
diaplikasikan selapis
Intraoral
pada area yang terkena
Herpes (RIH)
untuk penyembuhan rasa
sakit.

Obat kumur Infeksi HSV 10 ml dikumur sesuai


(magic primer yang dibutuhkan untuk
mouthwash) menyembuhkan rasa
Infeksi Recurent
sakit.
Intraoral
Herpes (RIH)
*Administrasi Makanan dan Obat-obatan merekomendasi
produk benzokain (spray, liquid, gel) tidak seharusnya diberikan
pada anak-anak yang sangat muda dari 2 tahun, kecuali dibawah
nasihat professional health care.

*Pemberian lidokain topikal pada populasi pediatric


berhubungan dengan efek samping neurological dan
cardiovascular

*Kombinasi dari agen – selalu mengandung anastetik topikal


(seperti viscous lidokain 2%) dengan coating agents (e.g
Maalox)+/- diphenhydramine)

19
Medikasi antiviral sistemik untuk pengobatan infeksi virus herpes simpleks
di rongga mulut. (Stoopler, et. al.. 2013)

Indikasi Terapi

Pengobatan untuk Recurrent Oral acyclovir 400 mg tiga kali sehari selama
Herpes Labialis (RHL) pada 5-7 hari
pasien immunocompetent.
Oral valacyclovir 500 mg hingga 2000 mg dua
kali sehari selama satu hari

Oral famciclovir 500 mg dua hingga tiga kali


sehari selama tiga hari

Profilaksis dari RHL pada Oral acyclovir 400 mg dua hingga tiga kali
pasien immunocompetent sehari

Oral vacacyclovir 500 mg hingga 2000 mg dua


kali sehari

Pengobatan dari rekuren Oral acyclovir 400 mg tiga kali sehari dalam
infeksi HSV pada pasien 10 hari atau lebih panjang sesuai kebutuhan
immunocompromised
Oral vacacyclovir 500-1000 mg dua kali sehari
selama 10 hari atau lebih panjang sesuai
kebutuhan

Oral famciclovir 500 mg dua kali sehari sampai


satu tahun

Profilaksis dari rekuren Oral acyclovir 400-800 mg tiga kali sehari


infeksi HSV pada pasien
Oral vacacyclovir 500-1000 mg dua kali sehari
immunocompromised
Oral famciclovir 500-1000 mg dua kali sehari

20
LO 3 Pencegahan Infeksi Sekunder HSV Tipe 1

Pencegahan kekambuhan bisa dilakukan dengan menghilangkan atau


mengurangi faktor pencetus seperti menghindari panas matahari yang berlebihan
dan stres fisik yang berlebihan. Memberikan pengarahan serta pengobatan infeksi
dan meningkatkan daya tahan tubuh penderita dengan perbaikan kondisi tubuh.
(Kusumastuti, 2016)
Pengobatan profilaksis acyclovir diberikan untuk pencegahan dan
kekambuhan infeksi pada pasien imunokompeten. Pengobatan suportif berupa
istirahat, rehidrasi, antipiretik dan analgesik. Untuk infeksi oral, penggunaan
antiseptic misalnya chlorhexidine gluconate atau obat kumur tetrasiklin dapat
menurunkan infeksi sekunder. Obat kumur analgesic akan mengurangi rasa sakit
terutama saat pasien makan. Edukasi dapat dilakukan pada orang tua pasien
supaya anak mendapatkan istirahat yang cukup. Dianjurkan pula pada orang tua
untuk selalu menaga oral higiene anak. (Jaya, et. al.. 2009)
Tabir surya yang dioeskan pada di bibir juga efektif untuk mereduksi
frekuensi kekambuhan karena terinduksi sinar matahari. Penggunaan terapi
antiviral profilaksis (acyclovir 200 mg tiga kali sehari, valacyclovir 500 mg dua
kali sehari) atau famciclovir 250 mg dua kali sehari dapat dipertimbangkan untuk
seseorang dengan herpes labialis yang sering kambuh dan parah. (Lewis, 2015)
Kebanyakan infeksi herpetic ditransmisikan dari orang yang terinfeksi ke
orang lain melalui kontak langsung dengan lesi atau cairan tubuh yang terinfeksi
seperti contoh eksudat vesicular, cairan saliva dan genital (Mohan dkk, 2013)

21
LO 4 Penatalaksanaan Herpes Labialis

Prinsip perawatan yang dijalankan adalah pemberian terapi kausatif,


simtomatik, dan suportif. Pasien diterapi dengan acyclovir 200 mg 5x1 untuk 5
hari sebagai terapi kausatif, ekstrak aloe vera kumur untuk pemakaian 3x1 untuk 5
hari, Echinacea 250 mg tablet 1x1 untuk 10 hari, dan multivitamin yang
mengandung vitamin E, vitamin C, asam folat, vitamin B1, vitamin B2, niasin,
vitamin B6, vitamin B12, asam pantotenant, dan Zn, tablet 1x1 untuk 10 hari yang
merupakan terapi simtomatif dan suportif sebagai imunomodulator untuk
mendukung perbaikan imunitas pasien sehingga diharapkan periode penyembuhan
menjadi lebih cepat dan frekuensi rekurensi berkurang. (Marlina, et. al.. 2013)
Pasien diinstruksikan untuk memakai pasta gigi yang mengandung aloe vera
yang mempunyai tujuan simtomatis untuk mengurangi rasa terbakar/cold sore
yang dialamipenderita , menghindari faktor yang mungkin sebagai pencetus,
misalnya paparan sinar matahari yang berlebihan, atau stres fisik yang berlebihan,
serta sedapat mungkin mengisolasi diri untuk menghindarkan penularan virus ke
orang lain karena pasien sedang dalam tahap infeksius. Untuk membantu
penyembuhan, pasien diminta untuk beristirahat. Selanjutnya, pasien diminta
kontrol 5 hari kemudian. (Marlina, et. al.. 2013)
Oral seistemik antivirus pada penderita Herpes Labialis diberikan acyclovir
dengan dosis 400 mg 2 kali sehari selama 4 bulan. Untuk penggunaan pada sinar
matahari 800 mg 2 kali sehari selama 12 sampai 24 jam sebelum terpapar sinar
matahari. Lebih efektif menggunakan valaciclovir 500 mg 2 kali sehari. (Robert
dkk. 2009)
Perawatan topical dari infeksi penyakit HSV-1 dapat menggunakan terapi
paliatif, preventif, dan obat-obat antivirus. Menurut kamus kedokteran Dorland,
Terapi paliatif betujuan untuk membuat pasien merasa lebih nyaman. Obat-obat
terapi paliatif mengandung lidokain 2% yang berfungsi untuk mengurangi rasa
sakit dari ulser akibat infeksi HSV-1. Obat ini dapat digunakan untuk infeksi
primer maupun infeksi sekunder HSV-1 untuk mengurangi gejala simptomatik

22
dan biasanya dikombinasikan dengan obat antivirus secara sistemik agar
efektivitas lebih baik (Stoopler, et. al.. 2013).
Perawatan preventif ditujukan untuk mengurangi resiko episode rekurensi
infeksi HSV-1. Pasien harus mengetahui dari faktor-faktor yang dapat memicu
terjadinya sekurensi, misalnya sengatan sinar matahari. Untuk melindungi bibir
dari sinar matahari dapat menggunakan pelembab bibir dengan kandungan sun
protection factor (Stoopler, et. al.. 2013).
Obat antivirus yang diberikan secara topical berfungsi untuk mempercepat
penyebuhan lesi yang disebabkan oleh infeksi HSV-1, khususnya diberikan pada
saat fase prodromal. Obat antivirus yang direkomendasikan untuk perawatan
infeksio HSV-1 adalah krim acyclovir 5%, krim pencyclovir 1%, krim docosanol
10% (Stoopler, et. al.. 2013).

Terapi topikal untuk perawatan infeksi oral HSV (Stoopler, et. al.. 2013)

Kategori Agen Indikasi Rekomendasi


Antiviral Sunscreen (SPF 15 Infeksi rekuren Sesuai anjuran pabrik
proteksi atau lebih tinggi) HSV
Krim Acyclovir 5% Infeksi rekuren Diaplikasikan tiap dua
HSV jam dari gejala prodromal
hingga lesi sembuh
Krim Penciclovir 1% Infeksi rekuren Diaplikasikan tiap dua
HSV jam dari gejala prodromal
hingga lesi sembuh
Krim Docosanol Infeksi rekuren Diaplikasikan tiap dua
10% HSV jam dari gejala prodromal
hingga lesi sembuh
Topikal foscarnet, Lesi HSV yang Jarang digunakan pada
cidofivir dan/atau susah pasien sehat.
imiquimod menghilang

23
PR Hubungan Nyeri Sendi dengan Gingivostomatitis Herpetika Primer

Virus merupakan mikroorganisme intraseluler obligat yang berreplikasi di


dalam sel menggunakan asam nukleat dan protein pada host. Tipe infeksi virus
sangat bervariasi, dapat melekat pada sel melalui reseptor dan masuk ke dalam
sel. Setelah berhasil masuk ke dalam sel, virus dapat menyebabkan kerusakan
jaringan dan penyakit. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh infeksi virus sangat
khas, di mana sebelum lesi muncul akan dijumpai gejala prodormal seperti
demam, malaise, pusing, nafsu makan menurun, mual. Di mana di rongga mulut
gejala klinis yang dijumpai sangat khas yaitu berupa vesikel. (Dewanti, 2012)
Secara umum respons pertahanan tubuh terhadap virus adalah menimbulkan
respon alamiah/innate dan spesifik/adaptive. Prinsip mekanisme imunitas alamiah
melawan virus diperankan oleh interferon tipe 1(IFNs) dan sel natural killer (sel
NK). Infeksi virus secara langsung akan menstimulasi produksi IFN tipe 1 oleh
sel yang terinfeksi. Fungsi IFN tipe 1 adalah menghambat replikasi virus dengan
cara menginduksi antiviral state pada sel yang terinfeksi maupun sel yang tidak
terinfeksi. Sedangkan sel NK berperan menghancurkan sel yang terinfeksi dan
merupakan komponen yang penting melawan virus sebelum terjadi respon adaptif.
Sel NK akan mengenali virus dari ekspresi MHC klas 1 yang dipresentasikan oleh
sel yang terinfeksi. Sedangkan respons adaptif melawan infeksi virus diperankan
oleh antibodi. (Dewanti, 2012)
Respon imun virus tergantung dari lokasi virus terhadap sel host. Jika virus
berada pada ekstraseluler, maka perlawanan tubuh terhadap virus diperankan oleh
sel antibodi. Sedangkan ketika virus sudah berhasil masuk kedalam intraseluler
maka perlawanan tubuh tidak lagi diperankan oleh antibodi melainkan oleh sel
CD8+ yang membunuh sel terinfeksi. Kerusakan patologis terhadap jaringan yang
mengalami infeksi virus sebenarnya lebih sering merupakan respon imun dari
tubuh terhadap antigen virus pada permukaan sel yang terinfeksi (Baratawidjaja,
et. al.. 2013).
Kondisi nyeri sendi karena infeksi virus dapat terjadi karena invasi virus ke
membran sinovium secara langsung atau pun melalui induksi virus terhadap

24
sistem imun tubuh host (Vassilopoulos, et. al.. 2008). Beberapa virus memiliki
urutan asam amino yang juga ditemukan pada antigen jaringan host. Kemiripan
yang dimiliki virus ini menyebabkan respon pertahanan tubuh terhadap tubuh host
sendiri (Baratawidjaja, et. al.. 2013).
Imunopatogenesis infeksi HSV primer dan sekunder mempunyai
icosahedral nucleocapsid dikelilingi oleh envelope dengan banyak spike kecil
berisi glikoprotein virus. Perlekatan dengan sel pejamu terjadi dalam 2 tahap,
awalnya spike virion melekat pada heparan sulfat dalam matriks ekstraseluler
kemudian spike yang lan berikatan dengan permukaan sel , terjadi penetrasi.
Protein virus berinteraksi dengan DNA sel pejamu dan meningkatkan proliferasi
sel pejamu, integrasi asam nukleat virus (enzim integrase ) dan replikasi virus
dengan cara sintesis polimerase DNA. Virus menggunakan konstituen sel pejamu
untuk memperbanyak diri dan mengakibatkan lisis dan nekrosis sel pejamu.
Secara histologis tampak fokus intraepitel yang terdiri dari edema interseluler dan
intraseuler. Dalam sel terinfeksi yang menggelembung tersebut viral inclusions
asidofilik intranuklear. Sel nekrosis dan cairan edem tersebut secara klinik tampak
sebagai vesikel. Lesi yang mungkin muncul adalah gingivostomatitis herpetika
primer berupa erupsi vesikuloulseratif yang disertai demam, arthralgia, malaise,
sakit kepala dan limfadenopati servikal. (Margaretha, 2009)

25
Daftar Pustaka

Kalburg, Veena., Lavanya K Naik. 2014. Acute Herpetic Gingivostomatitis In An


Adult Patient Aged 45 Years Associated with Local Factor. Journal of
Evidence Based Medicine and Healthcare. Vol.1(10):1289-1293.

Jaya, Purnama., Kus Harijanti. 2009. Gingivostomatitis Herpetika Primer


(Laporan Kasus). Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga,
Surabaya. Oral Medicine Dental Journal. Vol. 1(2): 6-9.

Jayam, Cheranjeevi, dkk. 2015. Primary Gingivostomatitis-Detailed Review and


Report of A Case. Himachal Pradesh Government Dental College, Shimla.
Journal of Dental Herald. Vol. 2(1):011-014.

Greenberg, et. al. 2008. Burket’s Oral Medicine Eleventh Edition. United States:
BC Decker Inc

Lewis, Michael A. O. 2015. Penyakit Mulut: Diagnosa dan Terapi, Ed 2. Jakarta:


EGC

Marlina, Erni., Hadi Soenartyo. 2012. Primary Herpetic Gingivostomatitis pada


Individu Deasa Muda. Dentofasial. Vol. 11(2) Juni: 111-114

Marlina, Erni., Bagus Soebandi. 2013. Penatalaksanaan Infeksi Herpes Simpleks


Rekuren. Dentofasial. Vol. 12(1) Februari: 28-32

Kusumastuti, Endah. 2016. Gingivostomatitis Herpetika Primer pada Ny. N Usia


32 Tahun. Jurnal Wiyata. Vol. 3(2): 156-161

Stoopler, E. T., & Balasubramanlam, R. 2013. Topical and Systemic Therapies for
Oral and Perioral Herpes Simplex Virus Infections. California Dental
Association Journal. Vol. 41(4): 259-262.

Mohan, Ravi Prakash Sasankoti dkk. 2013. Case Report: Acute Primary Herpetic
Gingivostomatitis. BMJ Case Rep Published online.
26
Margaretha, Nita. 2009. Pencegahan Reaktivasi Infeksi Virus Herpes Simpleks
pada Pasien Kompromis Imun. jakarta: jurnal kedokteran gigi universitas
Indonesia.

Robert dkk. 2009. how to manage recurrent orofacial herpes simplex virus-1
lessions. the pharmaceutical journal

Dewanti, IDA Ratna. 2012. Buku Ajar Respon Imun Rongga Mulut. jember:
universitas jember

Baratawidjaja, Karnen Garna., Iris Rengganis. 2013. Imunologi Dasar Edisi ke 10.
Depok: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Vassilopoulos, Dimitrios., Leonard H Calabrese Virally. 2008. Associated


Arthritis 2008: Clinical, Epidemiologic, and Pathophysiologic
Considerations. Athens University School of Medicine, Athens. Arthritis
Research & Therapy. Vol. 10(5):1-8.

27

Anda mungkin juga menyukai