Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penyakit rabies biasanya dikenal dengan istilah awam penyakit anjing gila. Penyakit
ini dapat menyerang beberapa mamalia seperti anjing, kucing, termasuk manusia. Virus
rabies tergolong unik karena dapat berkembang pada berbagai macam spesies mamalia dan
bersifat neurofilik (saraf). Rabies dapat menular dari hewan ke hewan, dari manusia ke
manusia dan dari hewan ke manusia. Penularan dapat melalui gigitan dan non-gigitan
(transplantasi, kontak dengan bahan mengandung virus rabies pada kulit lecet atau mukosa).
Binatang dan manusia yang terinfeksi rabies akan memberikan gejala yang cukup khas
walaupun tetap harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang dan dengan teliti
menggali riwayat gigitan atau kontak binatang.
Di Indonesia rabies pada hewan sudah ditemukan sejak tahun 1884, dan kasus rabies
pada manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1894 di Jawa Barat. Angka kematian yang
tinggi ini disebabkan karena tidak adanya obat untuk rabies, terlambatnya intervensi medis
menyebabkan angka kematian yang tinggi, dan jarang dilaksanakannya penanganan pertama
luka gigitan anjing dengan mencuci luka dengan sabun dan air mengalir. Selain itu rabies
pada dua sampai dua belas minggu pertama, bahkan bisa sampai bertahun-tahun, hanya
menunjukkan gejala tidak khas seperti influenza biasa sehingga pasien yang dibawa ke
rumah sakit sudah jatuh ke tahap penyakit yang lebih parah. Pasien biasanya meninggal dua
sampai sepuluh hari setelah menunjukkan gejala pertama. Sampai saat ini tidak ada obat
yang dapat menyembuhkan penyakit rabies. Gejala pada hewan reservoir cukup khas
sehingga hewan yang terinfeksi dapat dimusnahkan dan hewan yang beresiko pun dapat
dicegah menjadi sakit melalui vaksinasi secara rutin.
Penyakit berbahaya lainya adalah Morbus Hansen atau dikenal dengan Kusta. Konon,
kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok
kuno, Mesir kuno, dan India. Lepra (penyakit hansen) adalah infeksi menahun yang terutama
ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit,
selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata yang disebabkan oleh Mycobacterium
Leprae yang bersifat intraseluler obligat, saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas.
Penyakit ini terutama menyerang kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu
ibu, jarang didapat dalam urin. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan
daripada orang dewasa. Sekitar 50% penderita kemungkinan tertular karena berhubungan
dekat dengan seseorang yang terinfeksi. Infeksi juga mungkin ditularkan melalui tanah,
1
armadillo, kutu busuk dan nyamuk. Sekitar 95% orang yang terpapar oleh bakteri lepra tidak
menderita lepra karena sistem kekebalannya berhasil melawan infeksi.
Diperkirakan penderita didunia ± 10.596.000 dan di Indonesia ± 121.473 orang (data
tahun 1992). Pada tahun 2000 Indonesia menempati urutan ke tiga setelah India dan Brazil
dalam hal penyumbang jumlah penderita kusta di dunia. Di Indonesia, jumlah penderita
kusta dengan frekuensi tertinggi di provinsi Jawa Timur yaitu mencapai 4 per 10.000
penduduk. Selanjutnya provinsi Jawa Barat mencapai 3 per 10.000 penduduk dan provinsi
Sulawesi Selatan yaitu 2 per 10.000 penduduk (Depkes RI, 2002).
Maka dari itu, penulis membuat makalah tentang Rabies dan Morbus Hansen
dimaksudkan agar kita selaku tenaga kesehatan mengetahui apa itu penyakit Rabies dan
Morbus Hansen dan asuhan keperawatannya.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu bagaimana
asuhan keperawatan klien dengan Rabies dan Morbus Hansen.

3. Tujuan
3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui dan menganalisis tentang Rabies dan Morbus Hansen dan
asuhan keperawatannya.

3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui definisi Rabies dan Morbus Hansen
2. Untuk mengetahui etiologi Rabies dan Morbus Hansen
3. Untuk mengetahui patofisiologi Rabies dan Morbus Hansen
4. Untuk mengetahui pathways Rabies dan Morbus Hansen
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis Rabies dan Morbus Hansen
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Rabies dan Morbus Hansen
7. Untuk mengetahui terapi Rabies dan Morbus Hansen
8. Untuk mengetahui prognosis Rabies dan Morbus Hansen
9. Untuk mengetahui komplikasi Rabies dan Morbus Hansen

2
4. Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui definisi Rabies dan Morbus Hansen
2. Mahasiswa dapat mengetahui etiologi Rabies dan Morbus Hansen
3. Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi Rabies dan Morbus Hansen
4. Mahasiswa dapat mengetahui pathways Rabies dan Morbus Hansen
5. Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis Rabies dan Morbus Hansen
6. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan penunjang Rabies dan Morbus Hansen
7. Mahasiswa dapat mengetahui terapi Rabies dan Morbus Hansen
8. Mahasiswa dapat mengetahui prognosis Rabies dan Morbus Hansen
9. Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi Rabies dan Morbus Hansen

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Rabies
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian
Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi akut pada susunan saraf
pusat yang disebabkan oleh virus rabies, dan ditularkan melalui gigitan hewan penular
rabies terutama anjing, kucing, dan kera.

Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan
mamalia yang berakibat fatal.
Rabies atau lebih sering di kenal dengan nama anjing gila merupakan suatu penyakit infeksi
akut yang menyerang susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies dan ditularkan dari
gigitan hewan penular rabies. Hewan yang rentan dengan virus rabies ini adalah hewan berdarah
panas. Penyakit rabies secara almi terdapat pada bangsa kucing, anjing, kelelawar, kera dan karnivora
liar lainnya.Pada hewan yang menderita rabies, virus ditemukan dengan jumlah yang banyak pada air
liurnya. Virus ini ditularkan ke hewan lain atau ke manusia terutama melalui luka gigitan. Oleh karena
itu bangsa karnivora adalah hewan yang paling utama sebagai penyebar rabies. Penyakit rabies
merupakan penyakit Zoonosa yang sangat berbahaya dan ditakuti karena bila telah menyerang
manusia atau hewan akan selalu berakhir dengan kematian.

2. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssa-virus,
famih Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui secret yang terinfeksi pada
gigitan binatang atau ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing,
kucing, dan kera. Nama lainnya ialah hydrophobia la rage (Prancis), la rabbia (Italia), la
rabia (spanyol), die tollwut (Jerman), atau di Indonesia dikenal sebagai penyakit anjing
gila.
Adapun penyebab dari rabies adalah :
1. Virus rabies.
2. Gigitan hewan atau manusia yang terkena rabies.
4
3. Air liur hewan atau manusia yang terkena rabies.

3. Patofisiologi

Anjing Kucing Kera Rakun

Menggigit/menjilat Resiko
Luka
manusia infeksi

Virus masuk kedalam tubuh melalui ludah

Virus berpindah dari tempatnya dengan


perantara saraf

Medula spinalis Otak

Virus berinkubasi

Gangguan keseimbangan membrane sel neuron

Difusi Na dan Ca berlebih

Depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik


berlebih

Kejang Cemas

Parsial Umum

Sederhana Kompleks Absens Mioklonik Tonikklon Atonik


i

Kesadaran Gg peredaran darah Aktivitas otot


Reflek Metabolisme
Resiko injury Hipoksia
menelan

Keb. O2
Permeabilitas Suhu
Gangguan pola kapiler tubuh
nutrisi makin
Afiksia meningkat

Sel neuron otot


rusak
Hipertermi

Gangguan polan nafas

Gambar 1.1 Pathways Rabies


Virus rabies terdapat dalam air liur hewan yang terinfeksi. Hewan ini menularkan
infeksi kepada hewan lainnya atau manusia melalui gigitan dan kadang melalui
jilatan.Virus akan berpindah dari tempatnya masuk melalui saraf-saraf menuju ke
medulla spinalis dan otak, , yang merupakan tempat mereka berkembangbiak
dengan kecepatan 3mm / jam. Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf
ke kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur. Banyak hewan yang bisa menularkan
rabies kepada manusia. Yang paling sering menjadi sumber dari rabies adalah anjing,
hewan lainnya yang juga bisa menjadi sumber penularan rabies adalah kucing,
kelelawar, rakun, sigung, rubah.Rabies pada anjing masih sering ditemukan di Amerika
Latin, Afrika dan Asia, karena tidak semua hewan peliharaan mendapatkan vaksinasi
untuk penyakit ini.Hewan yang terinfeksi bisa mengalami rabies buas atau rabies
jinak.Pada rabies buas, hewan yang terkena tampak gelisah dan ganas, kemudian
menjadi lumpuh dan mati. Pada rabies jinak, sejak awal telah terjadi kelumpuhan lokal
atau kelumpuhan total.Meskipun sangat-sangat jarang, rabies bisa ditularkan melalui
penghirupan udara yang tercemar. Telah dilaporkan 2 kasus yang terjadi pada penjelajah
yang menghirup udara di dalam goa dimana banyak terdapat kelelawar.
Pada 20% penderita, rabies dimulai dengan kelumpuhan pada tungkai bawah
yang menjalar ke seluruh tubuh. Tetapi penyakit ini biasanya dimulai dengan periode
yang pendek dari depresi mental, keresahan, tidak enak badan dan demam. Keresahan
6
akan meningkat menjadi kegembiraan yang tak terkendali dan penderita akan
mengeluarkan air liur.
Kejang otot tenggorokan dan pita suara bisa menyebabkan rasa sakit yang luar
biasa. Kejang ini terjadi akibat adanya gangguan daerah otak yang mengatur proses
menelan dan pernafasan. Angin sepoi-sepoi dan mencoba untuk minum air bisa
menyebabkan kekejangan ini. Oleh karena itu penderita rabies tidak dapat minum,
gejala ini disebut hidrofobia (takut air). Lama-kelamaan akan terjadi kelumpuhan pada
seluruh tubuh, termasuk pada otot-otot pernafasan sehingga menyebabkan depresi
pernafasan yang dapat mengakibatkan kematian.

4. Manifestasi Klinis
Gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi, tetapi
masa inkubasinya bervariasi dari 10 hari sampai lebih dari 1 tahun. Masa inkubasi
biasanya paling pendek pada orang yang digigit pada kepala, tempat yang tertutup
celana pendek, atau bila gigitan terdapat di banyak tempat.Pada 20% penderita, rabies
dimulai dengan kelumpuhan pada tungkai bawah yang menjalar ke seluruh tubuh.
Tetapi penyakit ini biasanya dimulai dengan periode yang pendek dari depresi mental,
keresahan, tidak enak badan dan demam. Keresahan akan meningkat menjadi
kegembiraan yang tak terkendali dan penderita akan mengeluarkan air liur. Kejang otot
tenggorokan dan pita suara bisa menyebankan rasa sakit luar biasa. Kejang ini terjadi
akibat adanya gangguan daerah otak yang mengatur proses menelan dan pernafasan.
Angin sepoi-sepoi dan mencoba untuk minum air bisa menyebabkan kekejangan ini.
Oleh karena itu penderita rabies tidak dapat minum. Karena hal inilah, maka penyakit
ini kadang-kadang juga disebut hidrofobia (takut air). Pada manusia secara teoritis
gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang dalam keadaan sebenarnya sulit dipisahkan satu
dari yang lainnya, yaitu:
- Gejala prodromal non spesifik
- Ensefalitis akut
- Disfungsi batang otak
- Koma dan kematian

7
STADIUM LAMANYA (% KASUS) MANIFESTASI KLINIS
Inkubasi < 30 hari (25%) Tidak ada
30-90 hari (50%)
90 hari-1 tahun (20%)
>1 tahun (5%)

Prodromal 2-10 hari Parestesia, nyeri pada luka


gigitan, demam, malaise,
anoreksia, mual dan muntah,
nyeri kepala, letargi, agitasi,
ansietas, depresi.
Neurologik Halusinasi, bingung, delirium,
Akut
2-7 hari tingkah laku aneh, takut, agitasi,
- Furious (80%)
menggigit, hidropobia,
hipersaliva, disfagia, avasia,
hiperaktif, spasme faring,
aerofobia, hiperfentilasi, hipoksia,
kejang, disfungsi saraf otonom,
- Paralitik 2-7 hari
sindroma abnormalitas ADH.
Koma
0-14 hari
Paralisis flagsid

Autonomic instability,
hipoventilasi, apnea, henti nafas,
hipotermia, hipetermia, hipotensi,
disfunsi pituitari, aritma, dan
henti jantung.

5. Cara Penularan

Setelah virus rabies masuk ke tubuh manusia, selama dua minggu virus menetap
pada tempat masuk dan jaringan otot didekatnya. Virus berkembang biak atau lansung
mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer tampa menunjukan perubahan-perubahan
fungsinya. Selubung virus menjadi satu dengan membrane plasma dan protein
ribonukleus dan memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah reseptor

8
asetil-kolin post-sinaptik pada neuromuscular junction di susunan saraf pusat (SSP).
Dari saraf perifer virus menyebar secara sentripetal melalui endoneurium sel-sel
Schwan dan melalui aliran aksoplasma mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72
jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm/jam
kesusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Melalui cairan serebrospinal.
Diotak virus menyebar secara luas dan memperbanyak diri dalam semua
bagian neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf
volunter maupun pada saraf otonom. Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer
termasuk saraf otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal (medula), ginjal,
mata, dan pankreas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada kelenjar ludah,
kelenjar lakrimalis, sistem respirasi. Virus juga tersebar pada air susu dan urin. Pada
manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain dan medula spinalis pada rabies tipe
furious (buas) dan pada medula spinalis pada tipe paralitik. Perubahan patolgi berupa
degenerasi sel ganglion, infiltrasi sel mononuklear dan perivaskular, neuronovagia dan
pembentukan nodul pada glia pada otak dan medula spinalis.
Dijumpai Negri bodies yaitu benda intrasitoplasmik yang berisi komponen virus
terutama protein ribonuklear dan fragmen organela seluler seperti ribosomes. Negri
bodies dapat ditemukan pada seluruh bagian otak, terutama pada korteks serebri,
batang otak, hipothalamus, sel purkinje serebrum, ganglia dorsalis dan medula
spinalis. Pada 20% kasus rabies tidak ditemukan Negri bodies. Adanya miokarditis
menerangkan terjadinya aritmia pada pasien rabies.

6. Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul
pada fase koma. Komplikasi Neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intra cranial:
kelainan pada hypothalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormone
anti diuretic (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi,
hipertermia, hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat local maupun
generalisata, dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada
stadium pradromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan depresi pernapasan
terjadi pada fase neurolgik. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi
dan gangguan saraf otonomik.

9
Table Komplikasi Pada Rabies dan Cara Penanganan

JENIS KOMLIKASI PENANGANANNYA


Neurologi
- Hiperaktif Fenotiazin, benzodiazepine
- Hidrofobia Tidak diberi apa-apa lewat mulut
- Kejang fokal Karbamazepine, fenitoin
- Gejala neurologi local Tak perlu tindak apa-apa
- Edema serebri Mannitol, galiserol
- Aerofobia Hindari stimulasi

Pituitary
- SAHAD Batasi cairan
- Diabetes insipidus Cairan, vasopressin

Pulmonal
- Hiperventilasi Tidak ada
- Hipoksemia Oksigen, ventilator, PEEP
- Atelektasis Ventilator
- Apnea Ventilator
- pneumotoraks Dilakukan ekspansi paru

Kardiovaskular
- Aritmia Oksigen, obat anti aritmia
- Hipotensi Cairan, dopamine
- Gagal jantung kongestif Batasi cairan, obat-obatan
- Thrombosis arteri/vena Oksigen, obat anti aritmia
- Obstruksi vena kava superior Cairan, dopamine
- Henti jantung Batasi cairan, obat-obatan

Lain-lain
- Anemia Transfuse darah
- Perdarahan gastrointestinal H2 blockers, transfusi darah
- Hipertermia Lakukan pendinginan
- Hipotermia Selimut panas
Pemberian cairan
10
- Hipooalemia Cairan paranteral
- Ileus paralitik Kateterisasi
- Retensio urine Hemodialisa
- Gagal ginjal akut Tidak dilakukan apa-apa
- pneumomediastinum

7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisikk mengenai:
1. Status Pernafasan
- Peningkatan tingkat pernapasan
- Takikardi
- Suhu umumnya meningkat (37,9º C)
- Menggigil
2. Status Nutrisi
- kesulitan dalam menelan makanan
- berapa berat badan pasien
- mual dan muntah
- porsi makanan dihabiskan
- status gizi
3. Status Neurosensori
- Adanya tanda-tanda inflamasi
4. Keamanan
- Kejang
- Kelemahan
5. Integritas Ego
- Klien merasa cemas
- - Klien kurang paham tentang penyakitnya
Pengkajian Fisik Neurologik :
1. Tanda – tanda vital:
- Suhu
- Pernapasan
- Denyut jantung
- Tekanan darah
- Tekanan nadi
11
2. Hasil pemeriksaan kepala Fontanel :
- menonjol, rata, cekung
- Bentuk Umum Kepala
3. Reaksi pupil
7. Ukuran
8. Reaksi terhadap cahaya
9. Kesamaan respon
4. Tingkat kesadaran Kewaspadaan :
1. respon terhadap panggilan
2. Iritabilitas
3. Letargi dan rasa mengantuk
4. Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain
5. Afek
- Alam perasaan
- Labilitas
6. Aktivitas kejang
- Jenis
- Lamanya
7. Fungsi sensoris
- Reaksi terhadap nyeri
- Reaksi terhadap suhu
8. Refleks
- Refleks tendo superficial
- Reflek patologi

1. Palpasi :
Apakah ada kaku kuduk atau tidak?
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ?
Adakah pembesaran lien dan hepar ?
2. Auskultasi :
Adakah suara napas tambahan ?
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ?
Adakah bunyi tambahan ?
Adakah bradicardi atau tachycardia ?
Peristaltik usus
12
3. Perkusi : Apakah ada distensi abdomen?
4. Infeksi :
Amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan, frekwensinya,
irama, kedalaman, adakah retraksi Intercostale ? Adakah tanda rhisus sardonicus,
opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan nervus cranial ?
8. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus
dari kejang.
2. Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya
untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan
lapanganmagnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah –
daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT
4. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi kejang
yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau
alirann darah dalam otak
5. Uji laboratorium
- Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
- Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
- Panel elektrolit
- Skrining toksik dari serum dan urin
- GDA
- Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl)
- BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi
nepro toksik akibat dari pemberian obat.
- Elektrolit : K, Na
- Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
- Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
- Natrium ( N 135 – 144 meq/dl)

9. Masa Inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala
penyakit. Masa inkubasi penyakit rabies pada anjing dan kucing kurang lebih 2
minggu (10 hari - 14 hari). Pada manusia 2-3 minggu dan paling lama 1

13
tahun. Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bias
bervariasi antara 7 hari - 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun.
Karena lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan
terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek dari
pada orang dewasa. Lamanya inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya
gigitan, lokasi gigitan (jauh dekatnya kesistem saraf pusat), derajat
pathogenesis virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala
inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.

10. Tindakan Pengobatan


1. Jika segera dilakukan tindakan pencegahan yang tepat, maka seseorang yang
digigit hewan yang menderita rabies kemungkian tidak akan menderita rabies.
Orang yang digigit kelinci dan hewan pengerat (termasuk bajing dan tikus) tidak
memerlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut jarang
terinfeksi rabies. Tetapi bila digigit binatang buas (sigung, rakun, rubah, dan
kelelawar) diperlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut
mungkin saja terinfeksi rabies.
2. Tindakan pencegahan yang paling penting adalah penanganan luka gigitan
sesegera mungkin. Daerah yang digigit dibersihkan dengan sabun, tusukan yang
dalam disemprot dengan air sabun. Jika luka telah dibersihkan, kepada penderita
yang belum pernah mendapatkan imunisasi dengan vaksin rabies diberikan
suntikan immunoglobulin rabies, dimana separuh dari dosisnya disuntikkan di
tempat gigitan.
3. Jika belum pernah mendapatkan imunisasi, maka suntikan vaksin rabies
diberikan pada saat digigit hewan rabies dan pada hari ke 3, 7, 14, dan 28. Nyeri
dan pembengkakan di tempat suntikan biasanya bersifat ringan. Jarang terjadi
reaksi alergi yang serius, kurang dari 1% yang mengalami demam setelah
menjalani vaksinasi.
4. Jika penderita pernah mendapatkan vaksinasi, maka risiko menderita rabies
akan berkurang, tetapi luka gigitan harus tetap dibersihkan dan diberikan 2 dosis
vaksin (pada hari 0 dan 2).
5. Sebelum ditemukannya pengobatan, kematian biasanya terjadi dalam 3-10 hari.
Kebanyakan penderita meninggal karena sumbatan jalan nafas (asfiksia),
kejang, kelelahan atau kelumpuhan total. Meskipun kematian karena rabies
diduga tidak dapat dihindarkan, tetapi beberapa orang penderita selamat.
14
Mereka dipindahkan ke ruang perawatan intensif untuk diawasi terhadap gejala-
gejala pada paru-paru, jantung, dan otak. Pemberian vaksin maupun
imunoglobulin rabies tampaknya efektif jika suatu saat penderita menunjukkan
gejala-gejala rabies.

11. Pencegahan
Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit
virus atau segera setelah terjangkit. Sebagai contoh, vaksinasi bisa diberikan kapada
orang-orang yang berisiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu :
1. Dokter hewan.
2. Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi.
3. Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang rabies
pada anjing banyak ditemukan.
4. Para penjelajah gua kelelawar.
5. Vaksinasi memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi kadar antibodi akan
menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap penyebaran selanjutnya
harus mendapatkan dosis buster vaksinasi setiap 2 tahun
6. Penanganan Luka
Untuk mencegah infeksi virus rabies pada penderita yang terpapar
dengan virus rabies melalui kontak ataupun gigitan binatang pengidap atau
tersangka rabies harus dilakukan perawatan luka yang adekuat dan pemberian
vaksin anti rabies dan imunoglobulin. Vaksinasi rabies perlu pula dilakukan
terhadap individu yang beresiko tinggi tertular rabies.

12. Prognosis
Penyakit rabies tidak dapat disembuhkan sehingga prognosisnya jelek (infaust).
Tanpa pencegahan, penderita hanya dapat bertahan sekitar 8 hari sedangkan dengan
penanganan suportif, penderita dapat bertahan hingga beberapa bulan.

15
2. Morbus Hansen (Kusta)
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian
Morbus Hansen (kusta) adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman
kusta (mycobacterium lepra) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya. (Depkes RI, 1998)
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium
leprae. (Mansjoer Arif, 2000).
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh mycobacterium lepra
yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot,
tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 )
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi kulit dan saraf perifer,
tetapi mempunyai cakupan manifestasi klinis yang luas. ( COC, 2003)

2. Etiologi
Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh
G.A.Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Secara morfologik berbentuk pleomorf lurus
batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron.
Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, dapat
tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa ireguler besar
yang disebut sebagai globi ( Depkes , 2007).
Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf
(Schwan Cell)dan sel dari Retikulo Endotelial, waktu pembelahan sangat lama , yaitu 2-
3 minggu , diluar tubuh manusia (dalam kondisis tropis )kuman kusta dari sekret nasal
dapat bertahan sampai 9 hari (Desikan 1977,dalam Leprosy Medicine in the Tropics
Edited by Robert C. Hasting , 1985). Pertumbuhan optimal kuman kusta adalah pada
suhu 27º30º C. ( Depkes, 2005).
M.leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari, sedangkan pada temperatur kamar
dibuktikan dapat bertahan hidup 46 hari , ada lima sifat khas :
1. M.Leprae merupakan parasit intra seluler obligat yang tidak dapat dibiakkan
dimedia buatan.
2. Sifat tahan asam M. Leprae dapat diektraksi oleh piridin.
3. M.leprae merupakan satu- satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-
Dihydroxyphenylalanin).
16
4. M.leprae adalah satu-satunya spesies micobakterium yang menginvasi dan
bertumbuh dalam saraf perifer.
5. Ekstrak terlarut dan preparat M.leprae mengandung komponen antigenic yang stabil
dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita
tuberculoid dan negatif pada penderita lepromatous (Marwali Harahap, 2000).

3. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik biasanya menunjukkan gambaran yang jelas pada stadium
yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja .Penderita
kusta adalah seseorang yang menunjukkan gejala klinik kusta dengan atau tanpa
pemeriksaan bakteriologik dan memerlukan pengobatan ( Muh.Dali Amirudin, 2000).
Untuk mendiagnosa penyakit kusta perlu dicari kelainan-kelainan yang
berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang tampak pada
kulit.Untuk itu dalam menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu mencari tanda-tanda
utama atau “Cardinal Sign,” yaitu :
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk bercak
keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (Eritemtous) yang mati
rasa (anestesi ).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.ganggguan fungsi
saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis
perifer).gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a) Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasa.
b) Gangguan fungsi motoris :kelemahan(parese) atau kelumpuhan /paralise).
c) Gangguan fungsi saraf otonom: kulit kereing dan retak-retak.
3. Adanya kuman tahan asam didalam kerokan jaringan kulit (BTA+), pemeriksaan ini
hanya dilakukan pada kasus yang meragukan. (Dirjen PP & PL Depkes, 2005 ).

17
4. Pathways

5. Patofisiologi
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe MB kepada orang lain secara
langsung. Cara penularan penyakit ini masih belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar
para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan
kulit.
Kusta mempunyai masa inkubasi 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga berlangsung sampai
bertahun-tahun. Meskipun cara masuk kuman M.leprae ke dalam tubuh belum diketahui secara
pasti, namun beberapa penelitian telah menunujukkan bahwa yang paling sering adalah melalui
kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan pada mukosa nasal. Selain itu
penularan juga dapat terjadi apabila kontak dengan penderita dalam waktu yang sangat lama.

18
6. Pemeriksaan Penunjang
Deteksi dini untuk reaksi penyakit kusta sangat penting untuk menekan tingkat kecacatan
ireversibel yang mungkin terjadi sebagai gejala sisa.Tingkat keberhasilan terapi tampak lebih
baik jika penyakit kusta ini dideteksi dan ditangani secara dini. Diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan :
1.Gambaran klinik
a) Gejala klinik tersebut diantara lain :
b) Lesi kulit menjadi lebih merah dan membengkak.
c) Nyeri, dan terdapat pembesaran saraf tepi.
d) Adanya tanda-tanda kerusakan saraf tepi, gangguan sensorik maupun motorik.
e) Demam dan malaise.
f) Kedua tangan dan kaki membengkak.
g) Munculnya lesi-lesi baru pada kulit.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah
sebagai berikut:
2. Laboratorium :
a) Darah rutin : tidak ada kelainan
b) Bakteriologi
3. Pemeriksaan histopatologi
Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa : Infiltrate limfosit yang meningkat
sehingga terjadi udema dan hiperemi. Diferensiasi makrofag kearah peningkatan sel epiteloid
dan sel giant memberi gambaran sel langerhans. Kadang-kadang terdapat gambaran nekrosis
(kematian jaringan) didalam granulosum. Penyembuhannya ditandai dengan fibrosis.

7. Terapi / Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan
mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program
Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai
tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen pengobatan MDT di
Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
1.Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
19
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari diminum di
rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis
dinyatakan RFT (Release From Treatment) meskipun secara klinis lesinya masih aktif.
Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of
Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
2. Tipe MB ( MULTI BASILER)
 Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln
diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di
rumah. DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam
waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun
secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998)
pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan
pasien langsung dinyatakan RFT.
 Dosis untuk anak
Klofazimin :
Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian 50mg/2kali/minggu, Umur 11-14
tahun, Bulanan 100mg/bln, Harian 50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg
BB,Rifampisin:10-15mg/Kg BB
3. Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta
tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim
400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe
PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat
alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
4. Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak
minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

8. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin muncul antara lain :
1. Cacat
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada Px kusta baik akibat kerusakan
fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.
20
9. Prognosis
Setelah program terapi obat, biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah
manajemen gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini
membutuhkan kerjasama dengan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah,
oftalmologis, dan rehabilitasi.

21
Asuhan Keperawatan Morbus Hansen

I. Pengkajian

Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan


untuk mengumpulkan informasi, atau data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi,
mengenai masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental,
sosial dan lingkungan. (nasrul Effendi, 1995)
a. Pengumpulan Data
1. Identitas klien
Penyakit kusta (MH) dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan
dari pada orang dewasa frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa (umur 25 –
35 tahun), sedangkan pada kelompok anak umur 10 – 12 tahun, dan biasanya
pada keluarga yang sosial ekonomi rendah dan berpendidikan rendah.
2. Keluhan utama
Biasanya Kx dengan penyakit kusta mengeluh ada bercak-bercah merah pada
kulit di tangan, kaki, atau diseluruh badan dan wajah kadang disertai dengan
tangan (jari-jari) dan kaki kaku dan bengkak kadang-kadang disertai nyeri atau
mati rasa, kadang juga disertai suhu tubuh meningkat.
3. Riwayat penyakit sekarang
Adanya keluhan kaku pada jari-jari tangan dan kaki, nyeri pada
pergelangantangan, tangan dan kaki bengkak disertai dengan suhu tubuh
meningkat. Ada juga Kx kusta dengan ulkus yang sudah membesar dan dalam
baru. Biasanya klien dengan penyakit kusta tidak dapat mengeluarkan keringat
dan mati rasa.
4. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya pada Kx kusta sudah menjalankan pengobatan tetapi berhenti dengan
sendirinya maka dari banyak penderita kusta yang mengalami pengobatan
ulang.

5. Riwayat penyakit keluarga


Kusta merupakan penyakit menular maka dari itu kemungkinan ada anggota
keluarga yang mengalami penyakit yang sama dengan penderita.
6. Pola-pola kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
22
Penderita pada umumnya personal hygienenya kurang dengan tata laksana
hidup yang tidak sehat karena keadaan ekonomi yag sosial rendah. Kadang-
kadang Kx yang menjalankan pengobatan yang tidak teratur maka
penderita akan kambuh lagi.
b. Pola nutirsi dan metabolisme
Pada umumnya Kx dengan kusta (MH) tidak mengalami gangguan
kebutuhan nutrisi dan metabolisme.
c. Pola eliminasi
Pada pola ini biasanya tidak terjadi perubahan karena biasanya Kx dapat
Eliminasi Alvi dan urin secara normal seperti sehari-harinya.
d. Pola istirahat dan tidur
Kx dengan kusta (MH) biasanya tidak mengalami gangguandalam
instirahat dan tidur namun kadang-kadang ada rasa nyeri dan kaku pada
jari-jari tangan dan kaki, kadang-kadang Kxapabila pada waktu sore atau
malam hari Kx panas sampai menggigil dan istarahat dan tidurnya jadi
terganggu.
e. Pola aktivitas dan latihan
Pada umumnya Kx dengan kusta megalamiperubaha pada pola altivitas dan
latihan karena Kx mengalami kaku dan bengkak pada kaki dan tangannya.
Kadang-kadang ada Kx sampai terjadi ulks dan metilasi.
f. Pola persepsi diri
Adanya kecemasan, menyangkal, perasaan tidak berdaya dan tidak punya
harapan sehingga terjadi perubahan mekanisme dap perubahan dini yang
terpenting.
g. Pola persepsi dan pengetahuan
Biasanya Kx dengan kusta dengan pendidikan yang rendah jadi terjadi
kurang pengetahuan tentang penyakit yang diderita oleh Kx, Kx tidak tahu
tentang cara hidup dan pengetahuan perawatan dini.
h. Pola penanggulangan stress
Adanya ketidakefektifan dalam mengatasi masalah individu dan keluarga.
Biasanya Kx dengan kusta tingkat stersnya tinggi (cemas).
i. Pol areproduksi sexual
Pada umumnya Kx terjadi penurunan disfungsi sexual atau kadang-kadang
tidak terjadi gangguan pada pola lain.
j. Pola hubungan dan peran
23
Terjadi gangguan yang sagat menganggu hubungan interpersonal karena
kusta (MH) di kenal sebagai penyakit yang menular atau ada juga yang
menyebut dengan penyakit kutukan.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada umumnya terjadi distress spiritual pada penderita namun kadang-
kadang ada penderita yang lebih takun dalam beribadah setelah
mendapatkan penyakit kusta.
7. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan integumen
Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas, lesi kulit dapat
tinggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi
kemerahan atau berwarna tembaga, lesi dapat bervariasi tetapi umumnya
berupa makula, papul atau nodul.
Dicari adanya gangguan sensibilitas terhadap suhu, nyeri dan rasa raba
pada lesi yang dicurigai :
- Pemeriksaan sensibilitas suhu (terpenting) dilakukan dengan cara tes
panas dingin
- Pemeriksaan terhadap nyeri digunakan jarum pentul
- Terhadap rasa raba digunakan kapas
- Gangguan autonomik pada kelenjar keringat dilakukan guratan tes (lesi
digores dengan tinta) penderita exercise, bila tinta masih jelas berarti
tes (+) (Gunawan test)
Pada pemeriksaan inspeksi dilihat kulit yang keriput, penebalan kulit, dan
kehilangan rambut tubuh, terjadi mati rasa pada Kx, kadang-kadang terjadi
ulkus dan biasanya Kx datang sudah terjadi mutilasi tetapi ada juga yang
belum terjadi mutilasi.
Dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan syaraf tepi yang berjalan didekat
permukaan kulit didapat (biasanya) terjadi gangguan pada N. Ausikularis
Magnus, N. Ulnaris, N. Pareneus lateralis hamunis dan N. Tibialis
posterior.
b. Pemeriksaan bakteriologi
BTA positif
c. Pemeriksaan tanda-tanda vital
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital terjadi peningkatan suhu tubuh.

24
II. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyebaran penyakit.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot, kaku.
3. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit yang
dideritanya.
4. Resti infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh yang lemah.
5. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi.
6. Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan pada tubuh atau perasaan
merasa ditinggalkan.
III. Intervensi dan Rasional

1. Diagnosa : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyebaran,


ulkus akibat M. Leprae.
Tujuan : Menunjukkan tingkah laku atau tehnik mencegah kerusakan kulit atau
menigkatkan penyembuhan.
Kriteria Hasil : - Mencapai kesembuhan luka
- Menunjukkan penyembuhan pada lesi
- Tidak terjadi komplikasi dan proses penyebaran tidak terlalu
banyak
Intervensi dan Rasional :
1. Gunakan tehnik aseptik dalam perawatan luka
R/ Mencegah luka dari perlukaan mekanis dan kontaminasi.
2. Kaji kulit tiap hari dan warnanya turgor sirkulasi dan sensori
R/ Menentukan garis dasar bila ada terdapat perubahan dan dapat melakukan
intervensi yang tepat.
3. Instruksikan untuk melaksanakan hygiene kulit dan melakukan masase dengan
lotion / krim.
R/ Mempertahankan kebersihan kulit dan menurunkan resiko trauma dermal
kulit yang kering dan rapuh massase. Meningkatkan sirkulasi kulit dan
meningkatkan kenyamanan.
4. Tingkatkan masukan protein dan karbohidrat
R/ Mempertahankan keseimbangan nitrogen positif.
5. Pertahankan sprei bersih atau ganti sprei dengan kebutuhan kering dan tidak
berkerut

25
R/ Freksi kulit disebabkan oleh kain yang berkerut dan basah yang
menyebabkan iritasi dan potensial terhadap infeksi.
6. Kolaborasi dengan tim medis lainnya
R/ Melaksanakan fungsi interdependent.
2. Diagnosa : Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi dari M.
leprae.
Tujuan : 2 x 24 jam suhu tubuh kembali normal.
Kriteria Hasil : - Suhu 36,5 – 37,5 oC
- Nadi 60 – 100 x / m
- Palpasi kulit hangat
- Mukosa bibir lembab
Intervensi dan Rasional :
1. Jelaskan pada Kx tentang sebab dan akibat terjadinya panas
R/ Kx mengarti dan dapat kooperatif.
2. Beri kompres basah pada ketiak dan lipatan paha
R/ Pemindahan panas secara konduksi.
3. Beri pakaian yang tipis dan menyerap keringat
R/ Pemindahan panas secara ovaporasi.
4. Lakukan observasi tanda-tanda vital tiap 6 jam (suhu, nadi, respivasi, mukosa
bibir dan akral)
R/ Deteksi dini adanya perubahan.
5. Jaga sirkulasi ruangan
R/ Pemindahan panas secara radiasi.
6. Lakukan kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian antipiuretik
R/ Antipiuretik dapat menurunkan panas.
3. Diagnosa : Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit
yang diderita.
Tujuan : Setelah dilakukan penjelasan Kx dapat mengerti dan cemas berkurang
Kriteria Hasil : - Kx mau bekerja sama dengan tim medis dalam tindakan
keperawatan, dan Kx dapat mengungkapkan ketenangannya,
tidak gelisah dan expresi wajah tenang
Intervensi dan Rasional :
1. Ketahui persepsi Kx terhadap penyakitnya
R/ Setiap orang memiliki pengetahuan yang berbeda
2. Berikan informasi mengenai penyebab penyakitnya
26
R/ Informasi merupakan suatu komunikasi yang penting dalam hubungan
transaksimal.
3. Beri pengetahuan tentang enyakit kusta sesuai pendidikan
R/ Penanaman dapat memudahkan kerja sama dalam mempercepat proses
penyembuhan.
4. Bantu klien untuk mengidentifikasi reaksi yang timbul
R/ Melaksanakan hubungan perawat dan Kx dalam rangka memberikan
bantuan.

IV. Implementasi

Pada tahap ini pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perawatan yang telah ditentukan dengan tujuan untuk memenuhi
secara optimal.

V. Evaluasi

Adalah langkah terakhir dalam proses keperawatan yaitu kegiatan yang disengaja
dan terus menerus melibatkan Kx, perawat dan anggota kesehatan lain. Tujuan evaluasi
yaitu untuk menilai apakah tujuan dalam rencana tindakan keperawatan tercapai atau
tidak atau bahkan timbul masalah baru serta untuk melaksanakan pengkajian ulang.

27
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Rabies
Tanggal Pengkajian :.........................
Ruang/RS :.........................................

A. BIODATA
1. Biodata Pasien
a. Nama :
b. Umur :
c. Alamat :
d. Pendidikan :
e. Pekerjaan :
f. Tanggal Masuk :
g. Diagnosa Medis :
h. Nomor Register :
2. Biodata Penanggung Jawab
a. Nama :
b. Umur :
c. Alamat :
d. Pendidikan :
e. Pekerjaan :
f. Hubungan Dengan Klien :
B. KELUHAN UTAMA
Klien akan merasakan kesakitan yang luar biasa, seperti : Parestesia, nyeri pada luka
gigitan, demam, malaise, anoreksia, mual dan muntah, nyeri kepala, letargi, agitasi, ansietas,
depresi.
C. RIWAYAT KESEHATAN
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
 Menjelaskan Keluhan utama, gambarkan bagaimana perkembangan setiap gejala,
tunjukan tujuh gambaran dari setiap gejala.
 Termasuk pikiran dan perasaan klien mengenai penyakitnya
 Masukkan bagian yang relevan dari tinjauan system
 Poin pengkajian dapat mencakup medikasi, alergi, dan gaya hidup
2. Riwayat Kesehatan Dahulu
 Penyakit yang diderita pada masa kanak-kanak

28
 Penyakit yang dialami saat dewasa lengkap dengan waktunya yang sedikitnya
mencakup empat kategori berikut: pembedahan, obstetri dan ginekologi, dan psikiatri.
 Termasuk praktik mempertahankan kesehatan, seperti imunisasi, uji skrining,
masalah gaya hidup dan keamanan rumah.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
 Gambaran atau diagram usia dan keadaan kesehatan atau usia dan penyebab kematian
apakah bersumber dari saudara kandung, orang tua dan kakek nenek
 Dokumen yang menunjukan ada atau tidak adanya penyakit khusus dalam keluarga
seperti hipertensi, penyakit arteri koroner dan sebagainya.

D. PENGKAJIAN MENGACU POLA FUNGSIONAL GORDON


1. Pola persepsi kesehatan
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Kaji pasien mengenai :
 Kebiasaan jumlah makanan dan kudapan
 Jenis dan jumlah (makanan dan minuman)
 Pola makan 3 hari terakhir atau 24 jam terakhir, porsi yang dihabiskan, nafsu makan
 Kepuasan akan berat badan
 Persepsi akan kebutuhan metabolic
 Faktor pencernaan : nafsu makan, ketidaknyamanan, rasa dan bau, gigi, mukosa
mulut, mual atau muntah, pembatasan makanan, alergi makanan
 Data pemeriksaan fisik yng berkaitan (berat badan saat ini dan SMRS)
3. Pola eliminasi
Kaji pasien mengenai :
 Kebiasaan pola buang air kecil : frekuensi, jumlah (cc), warna, bau, nyeri, mokturia,
kemampuan mengontrol BAK, adanya perubahan lain
 Kebiasaan pola buang air besar : frekuensi, jumlah (cc), warna, bau, nyeri, mokturia,
kemampuan mengontrol BAB, adanya perubahan lain
 Keyakinan budaya dan kesehatan
 Kemampuan perawatan diri : ke kamar mandi, kebersihan diri
 Penggunaan bantuan untuk ekskresi
 Data pemeriksaan fisik yang berhubungan (abdomen, genitalia, rektum, prostat)

29
4. Pola istirahat dan tidur
Kaji pasien mengenai :
 Kebiasaan tidur sehari-hari (jumlah waktu tidur, jam tidur dan bangun, ritual
menjelang tidur, lingkungan tidur, tingkat kesegaran setelah tidur)
 Penggunaan alat mempermudah tidur (obat-obatan, musik)
 Jadwal istirahat dan relaksasi
 Gejala gangguan pola tidur
 Faktor yang berhubungan (nyeri, suhu, proses penuaan dll)
 Data pemeriksaan fisik (lesu, kantung mata, keadaan umum, mengantuk)
5. Pola aktivitas dan latihan
Kaji pasien mengenai :
 Aktivitas kehidupan sehari-hari
 Olahraga : tipe, frekuensi, durasi dan intensitas
 Aktivitas menyenangkan
 Keyakinan tenatng latihan dan olahraga
 Kemampuan untuk merawat diri sendiri (berpakaian, mandi, makan, kamar mandi)
 Mandiri, bergantung, atau perlu bantuan
 Penggunaan alat bantu (kruk, kaki tiga)
 Data pemeriksaan fisik (pernapasa, kardiovaskular, muskuloskeletal, neurologi)
6. Pola peran dan hubungan
7. Pola persepsi sensori
8. Pola persepsi diri atau konsep diri
Kaji pasien mengenai :
 Arti sehat dan sakit bagi pasien
 Pengetahuan status kesehatan pasien saat ini
 Perlindungan terhadap kesehatan : program skrining, kunjungan ke
 pusat pelayanan ksehatan, diet, latihan dan olahraga, manajemen stress, faktor
ekonomi
 Pemeriksaan diri sendiri : pyudara, riwayat medis keluarga, pengobatan yang sudah
dilakukan.
 Perilaku untuk mengatasi masalah kesehatan
 Data pemeriksaan fisik yang berkaitan.

30
9. Pola seksual dan reproduksi
10. Pola mekanisme koping
11. Pola nilai dan kepercayaan

E. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisikk mengenai:
 Status Pernafasan
1. Peningkatan tingkat pernapasan
2. Takikardi
3. Suhu umumnya meningkat (37,9º C)
 Status Nutrisi
1. kesulitan dalam menelan makanan
2. berat badan pasien
3. mual dan muntah
4. porsi makanan dihabiskan
5. status gizi
 Status Neurosensori
1. Adanya tanda-tanda inflamasi
 Keamanan
1. Kejang
2. Kelemahan
 Integritas Ego
1. Klien merasa cemas
2. Klien kurang paham tentang penyakitnya
Pengkajian Fisik Neurologik :
 Tanda – tanda vital:
1. Suhu
2. Pernapasan
3. Denyut jantung
4. Tekanan darah
5. Tekanan nadi
 Hasil pemeriksaan kepala Fontanel :
1. menonjol, rata, cekung
2. Bentuk Umum Kepala
 Reaksi pupil
31
1. Ukuran
2. Reaksi terhadap cahaya
 Tingkat kesadaran Kewaspadaan :
1. respon terhadap panggilan
2. Iritabilitas
3. Letargi dan rasa mengantuk
4. Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain
 Afek
1. Alam perasaan
2. Labilitas
 Aktivitas kejang
1. Jenis
2. Lamanya
 Fungsi sensoris
1. Reaksi terhadap nyeri
2. Reaksi terhadap suhu
 Refleks
1. Refleks tendo superficial
2. Reflek patologi
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Elektroensefalogram (EEG) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus dari
kejang.
2. Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dari biasanya untuk
mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3. Magneti resonance imaging (MRI) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan
lapangan magnetik dan gelombang radio, untuk melihat daerah otak yang tidak jelas
terliht bila menggunakan pemindaian CT.
4. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi kejang yang
membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann
darah dalam otak.
5. Uji laboratorium
1) Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
2) Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
3) Panel elektrolit
4) Skrining toksik dari serum dan urin
32
5) GDA
6) Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang < 200 mq/dl
7) BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro
toksik akibat dari pemberian obat.
8) Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 meq/dl)
G. PROGRAM TERAPI
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia
2. Gangguan pola nutrisi berhubungan dengan penurunan refleks menelan
3. Demam berhubungan dengan viremia
4. Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan informasi
5. Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan kelemahan
6. Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka
I. INTERVENSI
1. Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia
Tujuan
Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan pasien bernafas tanpa ada gangguan,
Dengan kriteria hasil :
Pasien bernafas,tanpa ada gangguan.
Pasien tidak menggunakan alat bantu dalam bernafas
Respirasi normal (16-20 x/menit)
Intervensi :
1. Obsevasi tanda-tanda vital pasien terutama respirasi.
R//:Tanda vital merupakan acuan untuk melihat kondisi pasien.
2. Beri pasien alat bantu pernafasan seperti O2.
R//:O2 membantu pasien dalam bernafas.
3. Beri posisi yang nyaman.
R//:Posisi yang nyaman akan membantu pasien dalam bernafas.
2. Gangguan pola nutrisi berhubungn dengan penurunan refleks menelan
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi,
Dengan kriteria hasil :
33
Pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan /dibutuhkan.
Intervensi:
1. Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien.
R//:Untuk menetapkan cara mengatasinya.
2. Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.
R//:Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu
makan pasien
3. Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.
R//:Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan
asupan makanan.
4. Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
R//:Untuk menghindari mual.
5. Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.
R//:Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi.
6. Kaloboras pemberian obat-obatan antiemetik sesuai program dokter.
R//:Antiemetik membantu pasien mengurangi mual dan muntah dan diharapkan
nutrisi pasien meningkat.
7. Ukur berat badan pasien setiap minggu.
R//:Untuk mengetahui status gizi pasien
3. Demam berhubungan dengan viremia
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan demam pasien teratasi
dengan criteria hasil :
Suhu tubuh normal (36 – 370C).
Pasien bebas dari demam.

Intervensi:
1. Kaji saat timbulnya demam
R//:Untuk mengidentifikasi pola demam pasien.
2. Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam
R//:Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
3. Berikan kompres hangat
R//:Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan dan mempercepat penurunan
suhu badan.
4. Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter
34
R//:Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi.
4. Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan informasi tentang penyakit.
Tujuan:
Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan tingkat kecemasan keluarga pasien
menurun/hilang
Dengan kriteria hasil :
Melaporkan cemas berkurang sampai hilang
Melaporkan pengetahuan yang cukup terhadap penyakit pasien
Keluarga menerima keadaan panyakit yang dialami pasien
Intervensi:
1. Kaji tingkat kecemasan keluarga.
R//:Untuk mengetahui tingkat cemas dan mengambil cara apa yang akan digunakan.
2. Jelaskan kepada keluarga tentang penyakit dan kondisi pasien.
R//:Informasi yang benar tentang kondisi pasien akan mengurangi kecemasan
keluarga.
3. Berikan dukungan dan support kepada keluarga pasien.
R//:Dengan dukungan dan support,akan mengurangi rasa cemas keluarga pasien.
5. Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan kelemahan
Tujuan:
Setelah diberikan tindakan keperawatan, diharapkan pasien tidak mengalami cedera
Dengan kriteria hasil :
Klien tidak ada cedera akibat serangan kejang
klien tidur dengan tempat tidur pengaman
Tidak terjadi serangan kejang ulang.
Suhu 36 – 37,5 º C , Nadi 60-80x/menit, Respirasi 16-20 x/menit.
Kesadaran composmentis
Intervensi:
1. Identifikasi dan hindari faktor pencetus
R//:Penemuan factor pencetus untuk memutuskan rantai penyebaran virus.
2. Tempatkan klien pada tempat tidur yang memakai pengaman di ruang yang tenang
dan nyaman.
R//:Tempat yang nyaman dan tenang dapat mengurangi stimuli atau rangsangan yang
dapat menimbulkan kejang.
3. Anjurkan klien istirahat
R//:Efektivitas energi yang dibutuhkan untuk metabolism.
35
4. Lindungi klien pada saat kejang dengan :
longgarakn pakaian
posisi miring ke satu sisi
jauhkan klien dari alat yang dapat melukainya
kencangkan pengaman tempat tidur
lakukan suction bila banyak secret
R//: Tindakan untuk mengurangi atau mencegah terjadinya cedera fisik.
5. Catat penyebab mulainya kejang, proses berapa lama, adanya sianosis dan
inkontinesia, deviasi dari mata dan gejala-hgejala lainnya yang timbul.
R//:Dokumentasi untuk pedoman dalam tindakan berikutnya,
6. Sesudah kejang observasi TTV setiap 15-30 menit dan obseervasi keadaan klien
sampai benar-benar pulih dari kejang.
R//:Tanda-tanda vital indicator terhadap perkembangan penyakitnya dan gambaran
status umum pasien.
7. Observasi efek samping dan keefektifan obat
R//:Efeksamping dan efektifnya obat diperlukan motitorng untuk tindakan lanjut
8. Observasi adanya depresi pernafasan dan gangguan irama jantung.
R//:Komplikasi kejang dapat terjadi depresi pernapasan dan kelainan irama jantung.
9. Kerja sama dengan tim :
pemberian obat antikonvulsan dosis tinggi
pemeberian antikonvulsan (valium, dilantin, phenobarbital)
pemberian oksigen tambahan
pemberian cairan parenteral
pembuatan CT scan
R//:untuk mengantisipasi kejang, kejang berulang dengan menggunakan obat
antikonvulsan baik berupa bolus, syringe pump.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka
Tujuan
Setelah diberikan tindakan keperawatan 3X24 jam diharapkan tidak terjadi tanda-tanda
infeksi.
Dengan kriteria hasil:
Tidak terdapat tanda tanda infeksi seperti: Kalor, dubor ,tumor, dolor,dan fungsionalasia.
TTV dalam batas normal
Intervensi:
1. Kaji tanda – tanda infeksi
36
R//:Untuk mengetahui apakah pasien mengalami infeksi dan untuk menentukan
tindakan keperawatan berikutnya.
2. Pantau TTV,terutama suhu tubuh.
R//:Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
3. Ajarkan teknik aseptik pada pasien
R//:Meminimalisasi terjadinya infeksi.
4. Cuci tangan sebelum memberi asuhan keperawatan ke pasien.
R//:Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
5. Lakukan perawatan luka yang steril.
R//:Perawatan luka yang steril meminimalisasi terjadinya infeksi.
J. EVALUASI
Dx 1 :
 pasien tidak mengalami gangguan dalam bernafas
 pasien tidak menggunakan alat bantu dalam bernafas.
Dx 2 :
 Pasien tidak mengalami gangguan dalam makan dan minum.
 Pasien bisa menelan dengan baik
 Pasien tidak mengalami penurunan berat badan.
Dx 3 :
 Suhu pasien normal (36-370C)
 Pasien tidak mengeluh demam
Dx 4 :
 Keluarga pasien tidak cemas lagi.
 Keluarga pasien bisa memahami kondisi pasiendan ikut membantu dalam pemberian
pengobatan.
Dx 5 :
 Pasien tidak mengalami cedera.
 Pasien tidak mengalami kejang
Dx 6 :
 Tidak ada tanda – tanda infeksi seperti : kalor,dolor,tumor,dubor,dan fungsionalasia.
 Luka pasien terjaga dan terawat.

37
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Morbus Hansen (kusta, lepra) adalah penyakit infeksi yang kronik, penyebabnya
adalah Mycobocterium Leprae yang intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mokusa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke
organ lain kecuali susunan saraf pusat. (FKUI)
Gejala yang dialami oleh Morbus Hansen antara lain :
- Kerusakan syaraf tepi (sensorik, motoric dan autonomic).
- Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensinilitas.
- BTA positif.

Rabies adalah penyakit infeksi tingkat akut pada susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh virus rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik, yaitu dapat ditularkan dari
hewan ke manusia. Virus rabies ditularkan ke manusia melalu gigitan hewan misalnya
oleh anjing, kucing, kera, rakun, dan kelelawar.

B. Saran

Sebagai tenaga professional, tindakan perawat dalam penanganan masalah


keperawatan khususnya asuhan keperawatan terhadap penderita Rabies dan Morbus
Hansen harus di bekali dengan pengetahuan yang luas dan tindakan yang di lakukan
harus rasional sesuai gejala penyakit.

38
DAFTAR PUSTAKA
Graber, Mark A. 1998. Buku Saku Kedokteran university of IOWA. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. 200., Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III. Jakarta : Media Aeuscualpius.
Juall, Lynda. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II.
Jakarta : EGC.
Departemen Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP. 1996. Buku Pedoman Pemberantasan
Penyakit Kusta. Jakarta.
Harahap, M. 1997. Diagnosis and Treatment of Skin Infection. Australia : Blackwell
Science.
Adhi, N. Dkk. 1997. Kusta, Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta : FK UI.

39

Anda mungkin juga menyukai