I. PENGERTIAN
Hospital associated infection ( HAI’s ) adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit, dimana
pasien tidak ada tanda gejala dan tidak dalam masa inkubasi, termasuk infeksi yang
didapat di rumah sakit, tetapi muncul setelah pulang dan juga infeksi yang terjadi pada
petugas kesehatan yang terjadi di rumah sakit. Suatu infeksi dikatakan didapat dari
rumah sakit bila :
1. Pada saat masuk rumah sakit tidak ada tanda / gejala atau tidak dalam masa inkubasi
tersebut.
2. Infeksi terjadi 2 x 24 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit .
3. Infeksi pada lokasi yang sama tetapi disebabkan oleh mikroorganisme yang berbeda
dari mikroorganisme pada saat masuk rumah sakit atau mikroorganisme penyebab
sama tetapi lokasi infeksi berbeda.
Adalah kegiatan yang terintegrasi dengan pengendalian infeksi RS secara umum dan
secara khusus ditujukan untuk mencegah dan mengendalikan resiko penyebaran infeksi
TB di RS (sebagai bagian kewaspadaan isolasi airborne) melalui tata laksana
administratif, pengendalian lingkungan dan penggunaan alat pelindung diri (APD).
D. Surveilans
Adalah kegiatan pengamatan sistematis aktif dan terus menerus terhadap timbulnya dan
penyebaran IRS pada suatu peristiwa yang menyebabkan meningkat atau menurunkan
risiko tersebut.
E. Dekontaminasi
Adalah menghilangkan mikroorganisme patogen dan kotoran dari suatu benda sehingga
aman untuk pengelolaan selanjutnya dan dilakukan sebagai langkah pertama bagi
pengelolaan alat kesehatan bekas pakai atau pengelolaan pencemaran lingkungan,
seperti tumpahan darah/ cairan tubuh atau pengelolaan limbah yang tidak dimusnahkan
dengan cara insenerasi atau pembakaran dengan alat insenerator, tetapi ditimbun
dengan cara kapurisasi.
F. Sterilisasi
Adalah suatu proses untuk menghilangkan seluruh mikroorganisme dari benda/ alat
kesehatan termasuk endespora bakteri melalui cara fisika atau kimia.
G. Desinfeksi
Adalah suatu proses untuk menghilangkan sebagian atau semua mikroorganisme dari alat
kesehatan kecuali endospora bakteri.
H. Penggunaan antibiotika yang rasional
Adalah bila memenuhi kriteria : tepat indikasi, tepat penderita (tidak ada kontra indikasi),
tepat informasi, tepat jenis obat, tepat dosis dan cara pemberian (saat pemberian dan lama
pemberian) serta waspada terhadap efek samping obat (ESO).
Adalah kegiatan yang bertujuan mencegah kontaminasi linen kotor atau infeksius kepada
petugas, pasien dan lingkungan, meliputi proses pengumpulan, pemilahan, pengangkutan
linen kotor, pemilahan dan teknik pencucian sampai dengan pengangkutan dan distribusi
linen bersih.
J. Pengelolaan lingkungan
II. TUJUAN
A. Tujuan Umum
Terciptanya lingkungan rumah sakit yang memenuhi standar untuk menjamin pencegahan
IRS dan membantu program pengobatan serta proses penyembuhan pasien, agar dapat
meningkatkan mutu pelayanan berfokus pada keselamatan (pasien, petugas dan
lingkungan) dan efisien.
B. Tujuan Khusus
A. Kewaspadaan standar rneliputi kebersihan tangan, penggunaan alat pelindung diri (APD),
peralatan perawatan pasien, pengendalian lingkungan, pemrosesan peralatan pasien dan
penatalaksanaan linen, kesehatan karyawan, penempatan pasien, etika batuk, praktik
menyuntik yang aman, praktek untuk lumbal punksi. Kewaspadaan standar diterapkan
secara menyeluruh di semua area RS dengan mengukur semua risiko yang dihadapi pada
setiap situasi dan aktivitas pelayanan sesuai Panduan PPIRS.
B. Praktik kebersihan tangan di RS merupakan kunci dari upaya PPIRS yang
menggambarkan mutu pelayanan yang berfokus pada keselamatan pasien, petugas,
pengunjung dan lingkungan RS. Kebersihan tangan dilaksanakan melalui praktik mencuci
tangan menggunakan sabun biasa/ antiseptik dan air mengalir, atau handrub menggunakan
larutan antiseptik. Kebersihan tangan wajib diimplementasikan di RS oleh setiap anggota
masyarakat RS sesuai panduan kebersihan tangan yang dikembangkan RS berdasarkan
pedoman lnternasional(WHO) maupun pedoman nasional (Kemenkes).
B.1. Penerapan praktik kebersihan tangan oleh seluruh petugas di RS saat diruang
perawatan pasien berpedoman pada lima saat kebersihan tangan wajib dilaksanakan
(standar WHO) dan enam langkah prosedur. Petugas melaksanakan cuci tangan dengan
sabun dan air setelah melaksanakan 5-10 x cuci tangan dengan handrub.
B.2. Penerapan praktik kebersihan tangan di luar area perawatan pasien berpedornan pada
panduan kebersihan tangan yang dikembangkan Komite PPI RS.
B.3. Komite PPI RS melakukan monitoring, evaluasi dan memberikan rekomendasi untuk
meningkatkan perilaku kebersihan tangan di RS secara efektif dan efisien.
C. Kewaspadaan isolasi merupakan tambahan kewaspadaan standar diterapkan pada
pasien rawat inap yang suspek atau telah ditentukan jenis infeksinya, berdasarkan cara
transmisi kontak, droplet atau airborne. Tatalaksana administratif meliputi percepatan akses
diagnosis, pemisahan penempatan pasien, mempersingkat waktu pelayanan di RS,
penyediaan paket perlindungan petugas ; tatalaksana lingkungan meliputi penataan alur
pasien, penataan sistem ventilasi (natural maupun mekanikal) tatalaksana penyediaan dan
penggunaan alat pelindung diri.
C.1. RS menyiapkan ruang dengan ventilasi natural yang baik untuk perawatan pasien
infeksi, khususnya infeksi airbone, yang terpisah dari pasien non infeksi dan khususnya
terpisah dari pasien dengan kondisi immunocompromise.
C.2. Pasien infeksi yang penularannya melalui cara kontak ditempatkan di ruang rawat
secara kohorting, diutamakan di ruang rawat infeksi.
C.3. Tatalaksana perawatan pasien infeksi diterapkan berdasarkan prinsip kewaspadaan
isolasi sesuai cara transmisi spesifiknya. Petugas menerapkan prinsip kewaspadaan kontak
atau droplet atau airborne atau kombinasinya.
C.4. Transportasi pasien infeksi dari 1 unit ke unit lain harus dibatasi seminimal mungkin,
dan bila terpaksa harus memperhatikan prinsip kewaspadaan isolasi.
D. Pencegahan dan pengendalian infeksi tuberculosis (PPITB)
Merupakan bagian tidak terpisahkan dari PPIRS, khususnya kewaspadaan infeksi airborne,
dimaksudkan untuk lebih memprioritaskan kewaspadaan terhadap risiko transmisi penyakit
TB, MDR.
D.1. Skrining batuk dilakukan saat pasien datang di RS oleh petugas yang terlatih.
D.2 Pasien suspek batuk langsung diberikan masker bedah, diberikan edukasi etika batuk
dan higiene respirasi.
D.3. Akses pelayanan pasien suspek TB dikhususkan untuk diagnosis cepat,mengamankan
alur pelayanan bagi pasien-pengunjung-lingkungan RS,mempersingkat waktu kontak di RS.
D.4. Pasien rawat inap TB BTA (+) ditempatkan di ruang rawat inap infeksi airborne dengan
pengaturan ventilasi natural campuran.
D.5. Tatalaksana perawatan pasien TB, khususnya MDR TB dan TB BTA (+),diterapkan
berdasarkan prinsip kewaspadaan isolasi airborne, khususnya pada aktivitas/ tindakan
medis yang menghasilkan aerosol. Alat pelindung diri : masker bedah untuk pasien –
masker N 95 untuk petugas.
D.6. Paket kesehatan kerja meliputi pemantauan kesehatan dan pada surveilans TB
petugas, pemeriksaan rutin prakarya dan berkala, pemberian terapi profilaksis maupun
terapeutik dan pengaturan shift bertugas dilakukan bersama sub Bagian Kepegawaian dan
Unit Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
E. Alat pelindung diri (APD) ditata perencanaan, penyediaan, penggunaan dan evaluasinya
oleh Komite PPI RS bersama Unit K3, lnstalasi Farmasi dan Sub Bagian TU dan Rumah
Tangga RS agar mudah dan dapat cepat diakses saat dibutuhkan, efektif dan efisien.
E.1. APD digunakan berdasarkan prinsip kewaspadaan standar dan isolasi dengan selalu
mengukur potensi risiko spesifik pada setiap aktivitas pelayanan/ tindakan medik sehingga
tepat, efektif dan efisien.
E.2. APD habis pakai disediakan melalui lnstalasi Farmasi dan Sub Bag TU dan RT dengan
paket floorstock terstandar,
E.3. APD yang lain disediakan melalui unit K3.
E.4. Tim PPI RS melakukan monitoring dan audit ketepatan penggunaan APD sebagai
bahan Komite PPIRS dalam evaluasi dan rekomendasi peningkatan efektivitasnya.
F. Surveilans lnfeksi RS (lRS) dilakukan secara sistematik aktif oleh IPCN (infection
prevention control nurse) - perawat pengendali infeksi purna waktu) dan IPCLN (link nurse -
perawat penghubung pengendali infeksi) untuk menggambarkan tingkat kejadian berbagai
penyakit infeksi target sesuai Pedoman Surveilans IRS Kemenkes dan penyakit infeksi
endemis di RS, Target surveilans yaitu : lnfeksi saluran kemih-lSK terkait kateterisasi, infeksi
luka operasi-lLO, plebitis lRS, dan dekubitus, Ventilator Associated Pneumonia (VAP) &
Hospital Associated Pneumonia (HAP), Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) dan diare.
F.1. Analisis, evaluasi dan rekomendasi tindak lanjut data infeksi dilakukan Komite PPIRS di
bawah koordinator Dokter Penanggung Jawab PPI(IPCO) untuk tujuan pengendalian,
manajemen risiko dan kewaspadaan terhadap kejadian luar biasa (KLB).
F.2. Pengendalian angka IRS menggunakan target sasaran sesuai program PPl. Sasaran
angka IRS dievaluasi setiap 3 tahun. ,
F.3. Kejadian luar biasa IRS ditetapkan oleh Direktur RS berdasarkan pertimbangan Komite
PPI RS pada hasil evaluasi epidemiologi kecenderungan angka IRS melalui surveilans,
Kecenderungan kejadian IRS yang terus meningkat signifikan selama 3 bulan berturut-turut
atau peningkatan signifikan angka kejadian pada suatu waktu pengamatan tertentu
diwaspadai sebagai KLB, Pencegahan dan pengendalian risiko penyebaran kejadian yang
berpotensi menjadi KLB dilakukan segera secara sinergi melalui kerjasama lintas unit
satuan kerja oleh Komite PPIRS.
F.4. Laporan IRS disampaikan Komite PPI RS kepada Direktur minimal setiap 3 bulan.
G. Pengendalian resistensi antibiotika dilaksanakan RS melalui Panitia Farmasi dan Terapi.
G.1. Pemilihan terapi antibiotik secara rasional kepada pasien didasarkan tujuan dan
indikasi (profilaksis atau terapi)
G.2. Panduan pengobatan antibiotika merujuk pada Kebijakan Pengelolaan Perbekalan
Farmasi di RS di bawah tanggungjawab Sub Komite Farmasi dan Terapi. Peresepan
antibiotika mengacupada formularium RS dan atau DPHO BPJS mempertimbangkan derajat
penyakit, spektrum antibiotika, farmakokinetik, farmakodinamik, keamanan serta harga
terjangkau.
G.3. Ketepatan pemberian antibiotika agar aman bagi pasien meliputi :
Tepat indikasi, obat benar-benar dibutuhkan;
Tepat pemilihan obat dengan perbandingan biaya efektifitas yang baik;
Tepat pasien, tidak ada kontra indikasi, efek samping minimal;
Tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat durasi pemakaian;
Tepat informasi, kepada pasien dan keluarganya.
G.4. Pasien wajib diberi informasi tentang pengobatan yang diberikan dan efek samping
serta tindakan yang diambil.
H. Sterilisasi alat/ instrumen kesehatan pasca pakai di RS dilakukan dengan 2 cara yaitu
secara fisika atau kimia, melalui tahapan pencucian (termasuk perendaman dan
pembilasan), pengeringan, pengemasan, labeling, indikatorisasi, sterilisasi, penyimpanan,
distribusi diikuti dengan pemantauan dan evaluasi proses serta kualitas/ mutu hasil
sterilisasi secara terpusat melalui lnstalasi pusat pelayananSterilisasi (CSSD).
H.1. Pemrosesan alat instrumen pasca pakai dipilih berdasarkan kriteria alat, dilakukan
derngan sterilisasi untuk alat kritikal; sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi (DTT) untuk alat
semi kritikal, disinfeksi tingkat rendah untuk non kritikal.
H.2. Kriteria pemilihan desinfektan didasari telaah secara cermat terkait criteria memiliki
spektrum luas dengan daya bunuh kuman yang tinggi dengan toksisitas rendah, waktu
disinfeksi singkat, stabil dalam penyimpanan, tidak merusak bahan dan efisien. Unit kerja
yang bertanggung jawab terhadap penyediaan desinfektan dan antiseptik di RS sesuai
rekomendasi Komite PPI RS adalah lnstalasi Farmasi.
H.3. lnstalasi Pusat Pelayanan Sterilisasi (CSSD) bertanggungjawab menyusun panduan
dan prosedur tetap, mengkoordinasikan, serta melakukan monitoring dan evaluasi proses
serta kualitas/ mutu hasil sterilisasi dengan persetujuan Komite PPI RS.
I. Alat medis habis pakai (AMHP) dapat digunakan sesuai dengan rekomendasi manufactur-
nya. Alat medis sekali pakai dapat digunakan ulang (re-used of single use devices) sesuai
kebijakan RS tentang AMHP reusable.
I.1. AMHP dapat digunakan ulang apabila AMHP dapat diproses secara benar/ tepat
(rasional) dan hasil sterilisasi masih efektif dan efisien baik secara fisik; fungsi , kualitas
serta aman digunakan bagi pasien.
I.2. Kriteria AMHP yang disterilkan kembali adalah AMHP yang telah digunakan tetapi
secara fisik dan fungsi masih baik, AMHP yang sangat dibutuhkan tetapi sulit diperoleh atau
sangat mahal harganya dan atau AMHP telah kedaluwarsa. Daftar AMHP yang di reuse dan
berapa kali batas maksimal reuse ditentukan oleh RS melalui Panitia Farmasi dan Terapi,
I.3. Mekanisrne pemrosesan AMHP yang di-reuse dan disterilkan kembali dengan
pencatatan dan pengawasan mutu serta batas maksimal reuse diCSSD
J. Pengendalian lingkungan RS meliputi penyehatan air, pengendalian serangga dan
binatang pengganggu, penyehatan ruang dan bangunan, pemantauan hygiene sanitasi
makanan, pemantauan penyehatan linen, disinfeksi permukaan - udara , lantai, pengelolaan
limbah cair - limbah B3 limbah padat medis - non medis dikelola oleh lnstalasi Kesehatan
Lingkungan dan Sub Bagian Rumah Tangga bekerjasama dengan pihak ketiga,
berkoordinasi dengan komite PPI RS, sehingga aman bagi lingkungan.
J.1. Pengelolaan limbah padat medis dipisahkan dan dikelola khusus sampai dengan
pemusnahannya sesuai persyaratan Kementerian Lingkungan Hidup sebagai limbah
infeksius (ditempatkan dalam kantong plastic berwarna kuning berlogo infeksius), limbah
padat tajam (ditempatkan dalam wadah tahan tusuk, tidak tembus basah dan tertutup).
J.2. Pengelolaan limbah padat non medis ditempatkan dalam kantong plastik benwarna
hitam dan pemusnahannya bekerjasama dengan Badan Lingkungan Hidup Kota
Yogyakarta.
J.3. Prinsip metode pembersihan ruang perawatan dan lingkungan, pemilihan bahan
desinfektan, cara penyiapan dan penggunaannya dilaksanakan berdasarkan telaah Komite
PPI RS untuk mencapai efektivitas yang tinggi.
J.4. Pernbersihan lingkungan ruang perawatan diutamakan dengan metode usap seluruh
permukaan lingkungan menggunakan bahan desinfektan yang efektif,
J.5. Pelaksanaan Panduan PPI RS dan standar prosedur operasional tentang pengendalian
lingkungan, monitoring dan evaluasinya dilaksanakan oleh Instalasi Kesehatan Lingkungan
bersama sub Bagian Rumah Tangga berkoordinasi dengan komite PPI.
J.6. Baku mutu berbagai parameter pengendalian lingkungan dievaluasi periodik dengan
pemeriksaan parameter kimia - biologi surveilan angka dan pola kuman lingkungan
berdasarkan standar Kepmenkes Rl No.416/MenKes/Per/|x1990 tentang persyaratan
Kualitas Air Bersih dan AirMinum, Kepmenkes Rl No. 492lMenKes/sKA/ll/2010 tentang
persyaratan Kualitas Air Minum, Kepmenkes Rl No, l204/Menkes/X/2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan RS.
K. Pengelolaan linen kotor dan bersih secara terpisah untuk mengurangi risiko infeksi pada
pasien, petugas dan lingkungan dilakukan menyeluruh dan sistematis agar mencegah
kontaminasi, di bawah tanggung jawab lnstalasi Laundry berkoordinasi dengan Komite PPI
RS.
K.1. Jenis linen di RS diklasifikasikan menjadi linen bersih, linen steril, linen kotor infeksius,
linen kotor non infeksius ( linen kotor berat dan linen kotor ringan)
K.2. Pencegahan kontaminasi lingkungan maupun pada petugas dilakukan dengan
disinfeksi kereta linen, pengepelan/ disinfeksi lantai, implementasi praktik kebersihan
tangan, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai potensi risiko selama bekerja.
L. Pengelolaan makanan di lnstalasi Gizi memperhatikan standar sanitasi makanan
minuman, alat, lingkungan produksi dan higiene perorangan penjamah makanan.
L.1. Semua bahan makanan yang disiapkan hingga sampai dengan disajikan kepada
pasien, pegawai dikelola sesuai pedoman dan standar prosedur pelayanan Instalasi Gizi
agar terhindar dari pencemaran dan penularan infeksi melalui makanan (sesuai persyaratan
hygiene makanan dalam Kepmenkes RI No.1204/SK/X/2004 ; Keputusan Direktorat
Jenderal POM No 03726/B/SK/VII/1989 ; Kepmenkes RI No.715/Menkes/SK/V/2003 tentang
persyaratan hygiene sanitasi jasa boga)
L.2. Penyimpanan bahan makanan harus selalu terpelihara dan dalam keadaan bersih,
terlindung dari debu, bahan kimia berbahaya dan hewan lain serta suhu penyimpanan
disesuaikan dengan jenis bahan makanan.
L.3 Penjamah makanan yang kontak langsung dengan makanan mulai dari proses
penyiapan bahan sampai dengan penyajiannya dilakukan surveilans higiene pribadi berupa
monitoring pemeriksaan darah rutin, darah kimia, kultur widal, feses dan urin rutin dan kultur
mikrobiologi swab rektal setahun sekali, dikoordinasikan dan di bawah tanggung jawab Unit
K3 RS dan Sub Bag Kepegawaaian dan Pengembangan SDM.
L.4. Pemeriksaan mikrobiologi lingkungan dilakukan setiap 6 bulan untuk monitoring
evaluasi mutu pembersihan lingkungan.
M. Pendidikan dan pelatihan pencegahan pengendalian infeksi RS direncanakan dan
dilaksanakan secara periodik dan berkesinambungan oleh Bagian SDM dan Pendidikan
melalui Bidang Diklat bekerjasama dengan Komite PPI RS untuk menjamin setiap petugas
yang berada dan bekerja di RS (termasuk peserta didik dan karyawan kontrak) memahami
dan mampu melaksanakan program PPI RS, khususnya kewaspadaan standar dan isolasi.
M.1. Seluruh SDM baru wajib mengikuti program orientasi, termasuk materi PPI RS.
M.2. Monitoring dan evaluasi hasil pendidikan dan pelatihan dilakukan oleh Bagian SDM
bersama Komite PPIRS sesuai ketentuan yang berlaku sebagai dasar perencanaan
program selanjutnya.
N. Kesehatan dan keselarnatan kerja (K3) petugas di RS terkait risiko penularan infeksi
karena merawat pasien maupun identifikasi risiko petugas yang mengidap penyakit menular
dilaksanakan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan Komite PPI RS.
N.1 Pencegahan penularan infeksi pada dan dari petugas dilakukan dengan pengendalian
administratif untuk petugas yang rentan tertular infeksi ataupun berisiko menularkan infeksi
dikoordinasikan Unit K3 RS bersama Komite PPI RS dan Bagian SDM berupa penataan
penempatan SDM, pemberian imunisasi, dan sosialisasi PPI berkala khususnya di tempat
risiko tinggi infeksi.
N.2. Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kondisi kesehatan petugas dilakukan dengan
pemeriksaan kesehatan prakarya dan berkala sesuai faktor risiko di tempat kerja,
N.3. Perencanaan, pengadaan dan pengawasan penggunaan alat pelindung diri petugas
dari risiko infeksi yang berupa alat/ bahan tidak habis pakai dikelola Unit K3 RS
berkoordinasi dengan Komite PPI RS.
N.4. Unit K3RS berkoordinasi dengan Komite PPI RS mengembangkan panduan dan
menyusun standar pelaporan dan penanganan kejadian kecelakaan kerja terkait pajanan
infeksi, mensosialisasikan, memonitor pelaksanaan, serta melakukan evaluasi kasus dan
menyusun rekomendasi tindaklanjutnya.
N.5. Surveilans pada petugas dan pelaporannya dilakukan secara teratur,
berkesinambungan, periodik oleh unit K3RS berkoordinasi dengan PPI RS.
O. Setiap renovasi, pemeliharaan, pengembangan maupun pembangunan gedung di
lingkungan RS harus mempertimbangkan keselamatan dari sisi pencegahan dan
pengendalian infeksi RS. Desain konstruksi bangunan diarahkan untuk menjamin
tercapainya kondisi kebersihan, tata udara, pencahayaan dan kebisingan lingkungan yang
mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Rl No1204/Menkes/X/2004 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan RumahSakit.
O.1. Desain, penataan ruang bangunan dan penggunaannya harus sesuai dengan fungsi,
memenuhi persyaratan serta dikelompokkan berdasarkan tingkat risiko terjadinya penularan
penyakit (kohorting), yaitu :
Zona dengan risiko rendah,: ruang administrasi, ruang perkantoran, ruang pertemuan, ruang
perpustakaan, ruang resepsionis;
Zona dengan risiko sedang : ruang rawat inap bukan penyakit menular, ruang rawat jalan,
instalasi Gizi, IPSRS,
Zona dengan risiko tinggi : Instalasi Gawat Darurat, ruang bersalin, Kamar jenazah, Instalasi
Farmasi, Instalasi HD, Radiologi;
Zona dengan risiko sangat tinggi : Instalasi Rawat Intensif, R.Padma, ruang operasi, ruang
laboratorium, ruang isolasi (airborne).
O.2. Prasarana yang mendukung dapat operasionalnya gedung seperti sistem perlistrikan,
sistem air dan tata udara dijaga untuk dapat berfungsi sesuai dengan zonasi,
O.3. Sistem ventilasi natural (alamiah) didesain dengan memaksimalkan jendela dan tata
ruang, dibantu sistem fan.
O.4. IPSRS berkoordinasi dengan PPIRS menerapkan Panduan keamanan dan
pengurangan dampak risiko dari setiap pembangunan/ perbaikan/ renovasi gedung di
lingkungan RS.
P. Pendidikan pencegahan dan pengendalian infeksi diberikan untuk setiap pasien.
P.1. Untuk pasien rawat inap disampaikan oleh perawat saat orientasi pasien baru masuk
meliputi kebersihan tangan, etika batuk dan ketertiban pembuangan sampah.
P.2. Untuk pasien rawat jalan disampaikan oleh perawat pada Promosi Kesehatan RS
(PKRS) yang dilaksanakan secara teratur berkesinambungan dalam program PKRS
bersama Bagian Hukum dan Pelayanan Pelanggan.
Q. Pendidikan pencegahan dan pengendalian infeksi untuk pengunjung dilaksanakan pada
PKRS, melalui poster, leaflet atau banner dan berbagai media informasi lain di RS bersama
bagian Hukum dan Pelayanan pelanggan.
R. Penerapan sistem manajemen informasi dalam pengelolaan PPI RS ditujukan untuk
mengoptimalkan sosialisasi dan implementasi standar/ program monitoring dan evaluasi
kinerja, serta penyampaian feedback hasil surveilans PPI RS, dilakukan bersama Instalasi
Teknologi Informasi RS.
S. Pelayanan kamar jenazah ditujukan untuk mencegah penularan infeksi pada petugas
kesehatan dan keluarga. Petugas kesehatan harus menjalankan kewaspadaan standar
ketika menangani pasien yang meninggal akibat penyakit menular. Alat pelindung diri
lengkap harus digunakan petugas yang menangani jenazah jika pasien tersebut dalam
masa penularan. Petugas harus memberikan penjelasan kepada pihak keluarga tentang
penanganan khusus bagi jenazah yang meninggal akibat dengan penyakit menular.
Kegiatan pengendalian infeksi di kamar jenazah dilakukan bersama Instalasi kamar jenazah.
T. Pengelolaan Darah dan Komponen
Pengelolaan darah dan komponen jenazah ditujukan untuk mencegah penularan infeksi
pada petugas kesehatan, pasien dan keluarga. Petugas kesehatan harus menjalankan
kewaspadaan standar ketika menangani darah dan komponennya.
Alat pelindung : Yogyakarta
diri lengkap
harus digunakan
petugas yang
menangani
darah dan
komponennya.
Kegiatan
penanganan
darah dan
komponen di
kamar jenazah
dilakukan
bersama
Instalasi Bank
Darah.
Ditetapkan di
Pada tanggal 14 April 2015
DIREKTUR
ttd
Drg. Hj. RR. TUTY SETYOWATI,
MM
NIP. 19620502 198701 2 001
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor
36 tahun 2004 tentang
Rumah Sakit;
2. Undang-Undang Nomor
44 tahun 2009 tentang
Rumah Sakit;
3. Peraturan Menteri Dalam
Negeri RI Nomor 61 tahun
2007 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan
Umum Daerah;
4. Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 269
/Menkes/Per/III/2008
tentang Pencegahan
Pengendalian Infeksi;
5. Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor :
1333/Menkes/SK/XII/1999
tentang Standar Pelayanan
Rumah Sakit;
6. Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor :
1214/Menkes/SK/XI/2007
tanggal 28 November 2007
tentang Peningkatan Kelas
Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Yogyakarta
milik Pemerintah Kota
Yogyakarta;
7. Peraturan Walikota
Yogyakarta Nomor 6 Tahun
2012 tentang Fungsi,
Rincian Tugas dan Tata
Kerja Rumah Sakit Umum
Daerah Kota Yogyakarta;
Memperhatikan :
1. Buku Panduan
Penyusunan Dokumen
Akreditasi yang disusun
oleh Komisi Akreditasi
Rumah Sakit tahun 2012;
2. Standar Akreditasi
Rumah Sakit, Kerjasama
Ditjen Bina Upaya
Kesehatan Kemenkes RI
dengan Komisi Akreditasi
Rumah Sakit (KARS),
September 2011.
A. Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi
Rumah Sakit (PPIRS)
adalah kegiatan yang
meliputi perencanaan,
pelaksanaan dan
pengawasan serta
pembinaan dalam upaya
menurunkan angka kejadian
infeksi rumah sakit (IRS)
pada pasien atau petugas
RS dan mengamankan
lingkungan rumah sakit dari
resiko transmisi infeksi yang
dilaksanakan melalui
manajemen resiko, tata
laksana klinik yang baik dan
pelaksanaan kesehatan dan
keselamatan kerja RS.
B. Infeksi yang terjadi di
Rumah Sakit
Kewaspadaan Standar
adalah prinsip kewaspadaan
sebagai bagian manajemen
resiko pada pengendalian
infeksi RS yang
dilaksanakan secara
menyeluruh oleh setiap
petugas berdasarkan
perhitungan besar resiko
transmisi infeksi yang
dihadapi pada setiap
pelayanan rawat jalan
maupun rawat inap untuk
melindungi pasien, petugas,
pengunjung maupun
lingkungan RS. Prinsip
kewaspadaan standar
meliputi kebersihan tangan,
penggunaan alat pelindung
diri (APD), peralatan
perawatan pasien,
pengendalian lingkungan,
pemrosesan peralatan
pasien dan
penatalaksanaan linen,
kesehatan karyawan,
penempatan pasien, etika
batuk, praktik menyuntik
yang aman, praktek untuk
lumbal pungsi.
C. Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi
Tuberkulosis (PPI TB)
D. Surveilans
Adalah kegiatan
pengamatan sistematis aktif
dan terus menerus terhadap
timbulnya dan penyebaran
IRS pada suatu peristiwa
yang menyebabkan
meningkat atau menurunkan
risiko tersebut.
E. Dekontaminasi
Adalah menghilangkan
mikroorganisme patogen
dan kotoran dari suatu
benda sehingga aman untuk
pengelolaan selanjutnya dan
dilakukan sebagai langkah
pertama bagi pengelolaan
alat kesehatan bekas pakai
atau pengelolaan
pencemaran lingkungan,
seperti tumpahan darah/
cairan tubuh atau
pengelolaan limbah yang
tidak dimusnahkan dengan
cara insenerasi atau
pembakaran dengan alat
insenerator, tetapi ditimbun
dengan cara kapurisasi.
F. Sterilisasi
A. Tujuan Umum
Terciptanya lingkungan
rumah sakit yang memenuhi
standar untuk menjamin
pencegahan IRS dan
membantu program
pengobatan serta proses
penyembuhan pasien, agar
dapat meningkatkan mutu
pelayanan berfokus pada
keselamatan (pasien,
petugas dan lingkungan)
dan efisien.
B. Tujuan Khusus
Dapat melaksanakan
pencegahan dan
pengendalian infeksi dengan
baik.
III. KEBIJAKAN
A. Kewaspadaan standar
rneliputi kebersihan tangan,
penggunaan alat pelindung
diri (APD), peralatan
perawatan pasien,
pengendalian lingkungan,
pemrosesan peralatan
pasien dan
penatalaksanaan linen,
kesehatan karyawan,
penempatan pasien, etika
batuk, praktik menyuntik
yang aman, praktek untuk
lumbal punksi.
Kewaspadaan standar
diterapkan secara
menyeluruh di semua area
RS dengan mengukur
semua risiko yang dihadapi
pada setiap situasi dan
aktivitas pelayanan sesuai
Panduan PPIRS.
B. Praktik kebersihan
tangan di RS merupakan
kunci dari upaya PPIRS
yang menggambarkan mutu
pelayanan yang berfokus
pada keselamatan pasien,
petugas, pengunjung dan
lingkungan RS. Kebersihan
tangan dilaksanakan melalui
praktik mencuci tangan
menggunakan sabun biasa/
antiseptik dan air mengalir,
atau handrub menggunakan
larutan antiseptik.
Kebersihan tangan wajib
diimplementasikan di RS
oleh setiap anggota
masyarakat RS sesuai
panduan kebersihan tangan
yang dikembangkan RS
berdasarkan pedoman
lnternasional(WHO) maupun
pedoman nasional
(Kemenkes).