Anda di halaman 1dari 2

Senyum, Sapa, dan Tepukan Cinta dari Malaikat Kecil

Suara ayam berkokok kencang, membangunkan ku dari tidur malamku. Tak terasa
sudah 5 bulan di tanah perantauan, untuk mengabdi kepada negara menjadi salah satu guru
SM-3T. Seperti biasanya diwaktu pagi, masak adalah aktivitas yang ku jalani sebelum
berangkat ke sekolah. Dengan menu mie dan telur perutku pun terisi dengan kenyangnya,
maklum baru pertama ini saya jauh dari orang tua, kehidupan di kota yang serba ada seperti
sidoarjo membuat ku menjadi seseorang yang kurang pandai dalam hal memasak. Tapi dari
sini mau tidak mau saya pun belajar memasak walaupun jadinya awalnya gak karuan, hingga
bisa dengan sendirinya.

SM-3T adalah singkatan dari sarjana mengajar di daerah terdepan, terluar, dan
terpencil. Seperti namanya, sekolah yang menjadi tempat saya mengabdi berada di tempat
yang bisa dibilang terpencil, letaknya berada di perbukitan, jauh dari jalan raya, air harus
ambil dari sungai yang besar berjarak 500 meter, listrik pln belum juga masuk walaupun
disekolah ada jurusan teknik listrik. Yah, sekolah yang menjadi tempat saya mengabdi adalah
sekolah menengah kejuruan atau biasa dibilang oleh orang sekitar sekolah “STM”. Ada 3
jurusan yang ada disana, diantaranya jurusan otomotif, gambar bangunan dan juga listrik.

Kata seorang teman guru sm-3t yang satu penempatan wilayah, Sekolah saya ini
tergolong enak karena terletak dekat dengan kota, sekitar 45 menit dari kota. Namun yang
kurasa justru sebaliknya, karena letaknya yang kurang strategis untuk sekolah kejuruan.
Dibandingkan dengan teman-teman sm3t yang se-jurusan dan mengajar di smk namun
berbeda penempatan, mayoritas semua berada di tempat yang strategis, setidaknya ada listrik
dan air guna mendukung praktek kejuruan siswa-siswi disana.

Pukul 06.30 WITA, saya berangkat kesekolah dengan teman guru sm3t yang
sepenempatan. Jarak rumah yang kami tinggali dengan sekolah tidak begitu jauh sekitar 15
menit waktu tempuh dengan menggunakan sepeda. Lumpur, kubangan air, jalan berlubang
dan berbatu sebesar kepala manusia itulah jalan yang kami lewati setiap harinya untuk pergi
ke sekolah. Begitu extrimnya hingga sesekali sempat kami terjatuh dari sepeda hingga
terluka, namun semua itu tak meredahkan kami untuk pergi ke sekolah.

Senyuman, sapaan pagi, dan tepukkan tangan kecil yang selalu saya dapati ketika saya
bertemu siswa-siswi sekolah dasar diwaktu perjalanan, menambah semangat saya untuk
berangkat mengajar. Hal ini lah yang saya jadikan motivasi untuk mengajar disana, karena
dari mereka saya bisa merasakan begitu besarnya niat mereka untuk mencari ilmu dengan
jalan begitu jauh dan extrim hingga 2 km dari rumah mereka menuju sekolah nya. Dan dari
mereka juga, saya mendapati alasan saya mencintai pekerjaan saya sebagai seorang guru
sm3t untuk mengajar disana.

Anda mungkin juga menyukai