Anda di halaman 1dari 7

3.

Relativitas Moral dalam Bisnis

Dalam persaingan global yang ketat tanpa mengenal adanya perlindungan dan dukungan

politik tertentu, semua perusahaan bisnis mau tidak mau harus bersaing berdasarkan prinsip etika

tertentu. Persoalannya, demikian kata De George, etika siapa? Ini terutama berlaku dalam bisnis

global yang tidak mengenal batas Negara. Konkretnya, etika masyarakat mana yang harus diikuti

oleh sebuah perusahaan multinasional dari Amerika, misalnya, yang beroperasi di Asia, di mana

norma etika dan cara melakukan bisnis bisa berbeda sama sekali dari yang ditemukan di

Amerika?

Persoalan ini sesungguhnya menyangkut apakah norma dan prinsip etika bersifat

universal atau terkait dengan budaya. Untuk menjawab pertanyaan ini, Menurut De George, kita

perlu melihat terlebih dahulu tiga pandangan yang umum diatur. Pandangan pertama adalah

bahwa norma etis berbeda pada suatu tempat dengan tempat lain. Artinya dimana saja suatu

perusahaan beroprasi, ikuti norma dan aturan moral yang berlaku dalam Negara tersebut.

Pandangan kedua adalah bahwa norma sendirilah yang paling benar dan tepat. Pandangan ketiga

adalah pandangan yang disebut De George immoralis naïf yang mengatakan bahwa tidak ada

norma moral yang perlu diikuti sama sekali.

Karena pandangan yang ketiga sama sekali tidak benar, maka tidak kami bahas disini.

Pandangan pertama sedikit banyaknya mewakili, atau paling kurang didukung, kubu

komunitarian dengan tokoh seperti A.MacIntyre, yang menekankan bahwa setiap komunitas

mempunyai nilai moral dan budaya sendiri yang sama bobotnya dan harus dihargai. Maka dalam

kaitan dengan bisnis internasional, perusahaan multinasional harus beroperasi berdasarkan nilai

moral dan budaya yang berlaku di Negara tempat perusahaan beroperasi. Inti pandangan ini

adalah bahwa tidak ada norma atau prinsip moral yang berlaku universal.
Yang menjadi persoalan adalah pandangan ini tidak membedakan antara moralitas dan

hokum. Hukum adalah positivasi norma moral sesuai dengan harapan dan cita-cita serta tradisi

budaya suatu Negara. Jadi, bisa jadi hukum di suatu Negara berbeda dengan hukum di Negara

lain. Dalam hal ini berlaku prinsip bahwa semua perusahaan multinasional harus tunduk pada

hukum yang berlaku di Negara tempat perusahaan itu beroprasi. Bahwa prinsip tidak boleh

merugikan pihak lain dalam berbisnis merupakan prinsip universal yang dianut di mana saja,

tidak bisa dibantah.

Pandangan kedua mengenai nilai dan norma sendiri paling benar dalam arti tertentu

mewakili kubu moralisme universal, bahwa pada dasarnya norma dan nilai moral berlaku

universal, dan karena itu apa yang dianggap dan dianut sebagai benar di Negara sendiri harus

juga diberlakukan di Negara lain. Pandangan ini umumnya didasarkan pada anggapan bahwa

moralitas menyangkut baik buruknya perilaku manusia.

Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Karena ada bahaya bahwa perusahaan

luar memaksakan nilai dan norma moralnya yang sudah dikodifikasikan dalam hukum tertulis

tertentu untuk diberlakukan di Negara di mana perusahaan itu beroperasi. Persoalannya, seiring

perkembangan ekonomi, social, politik Negara tuan rumah belum semaju perkembangan

ekonomi, social, politik di Negara asal suatu perusahaan hingga hukum yang berlaku di Negara

asal belum tentu bisa diterapkan dengan begitu saja di Negara tuan rumah.

Dengan menganut pandangan universalisme moral, De George lalu mengajukan beberapa

prinsip etis yang bisa berlaku universal di mana saja, misalnya tidak membunuh orang lain

secara sewenang-wenang, jujur, menghargai hak milik orang lain. Namun menurut De George

prinsip yang paling pokok yang berlaku universal, khususnya dalam bisnis, adalah prinsip
integritas pribadi atau integritas moral. Bagi De George, dalam bisnis modern bersaing secara

etis berarti bersaing dengan penuh integritas pribadi.

Ada dua keunggulan prinsip integritas pribadi dibandingkan dengan prinsip moral

lainnya, pertama prinsip integritas pribadi tidak punya konotasi negative seperti halnya prinsip

moral lainnya, bahkan pada kata etika dan moralitas itu sendiri. Bagi banyak orang kata etika,

apalagi prinsip etika, mempunyai nada paksaan dari luar. Namun integritas pribadi mengandung

makna bahwa norma yang dianut adalah norma yang sudah diterima menjadi milik pribadi dan

tidak lagi bersifat eksternal. Ini berarti bersaing dengan mempertaruhkan integritas pribadi

berarti bersaing dalam bisnis sesuai dengan nilai tertinggi yang dianut pribadi tersebut.

Prinsip integritas moral disini sesungguhnya sama dengan prinsip otonomi pada Kant.

Bertindak dengan menjaga integritas atau nama baik pribadi sesungguhnya berarti di satu pihak

bertindak sesuai dengan norma dan prinsip moral yang berlaku dalam masyarakat. Hanya saja,

norma dan prinsip moral tersebut tidak lagi bersifat eksternal dan dipaksakan dari luar,

melainkan sudah menjadi bagian integral dari pribadi seserorang dan karena itu orang itu

sendirilah yang memaksakan prinsip itu pada dirinya sendiri. Hal yang sama juga berlaku pada

suatu perusahaan. Berbisnis dengan mempertahankan integritas moral perusahaan berarti

berbisnis dengan mematuhi norma dan prinsip moral yang sesungguhnya sudah dijadikan etos

bisnis perusahaan tersebut. Maka, prinsip etika bisnis di sini tidak lagi menjadi suatu yang

dipaksakan dari luar oleh Negara, malainkan justru telah dijadikan iklim, jiwa, semangat, etos

dari perusahaan tersebut.

Sejalan dengan ini, De George menolak prinsip no barm sebagai prinsip paling pokok

untuk dunia bisnis. Karena no barm terlalu bersifat legalitas dan berkonotasi heterenom. Pada

prinsip no bram terlalu kuat kesan paksaan dari luar dan juga terlalu minimal. Prinsip ini
memang penting namun prinsip ini tidak memadai bagi mereka yang berbisnis dengan integritas

moral yang tinggi. Prinsip no barm terlalu minimal. Karena prinsip ini biasanya dituangkan

dalam aturan bisnis yang menjadi aturan main bagi semua pelaku bisnis, prinsip ini cenderung

menjadi legalistis dan berarti bertindak sesuai dengan prinsip ini cenderung menjadi heteronom.

Dan itu berarti tidak sesuai lagi dengan prinsip bertindak dengan integritas moral.

Tentu saja benar bahwa para pelaku bisnis diharapkan untuk tidak hanya bertindak secara

minimal dengan mentaati prinsip no bram. Melainkan juga bertindak secara maksimal dengan

mengusahakan hal-hal positif tertentu bagi pihak lain. Secara maksimal, pelaku bisnis

diharapkan mempunyai kemauan baik dan kesadaran moral untuk berbisnis secara baik, dan

tidak sekadar dipaksa oleh prinsip no barm dalam bentuk aturan-aturan bisnis yang ketat.

Namun De George lupa bahwa prinsip no barm tidak hanya dituangkan dalam hukum

bisnis, melainkan juga tertulis dalam hati masing-masing pelaku bisnis sebagai prinsip yang juga

dituntutnya dari pelaku bisnis lainnya. Yaitu bahwa pelaku bisnis lainnya tidak boleh merugikan

kepentingannya. Maka, sebagaimana dia sendiri tidak ingin agar hak dan kepentingannya

dirugikan pihak lain, ia pun dalam berbisnis sudah dari dalam berbisnis sudah dari dalam dirinya

tidak mau merugikan pihak lain. Ini mempunyai lingkup yang luas mencakup bertindak jujur,

bertanggungjawab, atas produk yang ditawarkan, fair dalam transaksi dagang, jaminan terhadap

hak karyawan. Jadi prinsip no barm tidaklah seminimal sebagimana yang diandaikan De George.

Yang menjadi persoalan adalah konsep integritas pribadi atau integritas moral lebih

merupakan sebuah konsep Amerika atau barat pada umumnya. Bagi Indonesia rasanya konsep

ini tidak punya nilai dan muatan moral sama sekali. Orang begitu mudah mengabaikannya.

Orang begitu gampang melakukan tindakan yang merusak integritas pribadi. Bahkan integritas

pribadi hamper tidak dikenal sama sekali. Berbagai kasus korupsi dalam bentuk suap, kolusi baik
dalam bidang politik birokrasi maupun bisnis menunjukan betapa integritas pribadi diabaikan

begitu saja. Oleh karena itu prinsip integritas pribadi yang dianggap oleh De George sebagai

prinsip paling universal bagi dunia bisnis ternyata sarat dengan kandungan historis kultural dan

karena itu sifatnya relative.

Ini tidak berarti prinsip integritas moral ditolak. Prinsip ini tetap penting. Hanya saja

prinsip ini mempunyai kelemahan seperti prinsip moral lainnya yaitu hanya berhenti sebagai

himbauan. Oleh karena itu, sebagaimana moralitas pada umumnya, masyarakat tidak bisa

berbuat banyak ketika orang tertentu tidak peduli pada integritas moralnya. Maka, dalam konteks

dimana integritas pribadi dan moral mempunyai gema prinsip yang kuat, prinsip no barm

memang tidak memadai. Namun dalam konteks integritas pribadi mudah dikalahkan oleh uang

dan jabatan, prinsip no barm merupakan prinsip yang niscaya, yang harus ditegakan dalam

aturan bisnis. Diharapkan prinsip ini tidak sekaradar bersifat legalitas, melainkan juga menjadi

prinsip yang self-imposed. Prinsip no barm, dengan dukungan aturan yang dilaksanakan secara

konsekuen merupakan syarat mutlak bagi kegiatan dan iklim yang sehat, baik dan etis. Tentu saja

kita tetap optimis bahwa dalam bisnis global yang mengandalkan mekanisme pasar yang tidak

pandang bulu, integritas pribadi lama-kelamaan dapat menjadi sebuah prinsip yang menentukan

bagi kegiatan bisnis yang etis. Ini terutama karena mengandalkan pasar global, praktek

monopolistis dan kolusif relative akan tergurusur sehingga orang mau tidak mau akan lebih

megandalkan integritas pribadinya, yang ditunjukkan oleh keunggulan objektifnya dalam pasar.

Dengan menekankan prinsip no barm, dan dalam arti tertentu juga prinsip integritas

moral sebagai prinsip yang diakui dan berlaku di mana saja dan kapan saja harus dikatakan

bahwa relativitas moral tidak benar. Demikian pula, relativisme moral dalam bisnis pun harus
ditolak karena dalam bisnis tetap dituntut, dan diakui pula oleh orang bisnis, beberapa prinsip

moral, khususnya no barm yang berlaku universal.

4. Pendekatan Skatebolder

Pendekatan Skatebolder adalah sebuah pendekatan baru yang banyak digunakan,

khususnya dalam etika bisnis belakangan ini dengan mencoba mengintegrasikan kepentingan

bisnis di satu pihak dan tuntutan etika di pihak lain. Dalam hal ini, Pendekatan Skatebolder

adalah cara mengamati dan menjelaskan secara analitis bagaimana berbagao unsur dipengaruhi

dan mempengaruhi keputusan dan tindakan bisnis. Pada akhirnya, pendekatan ini mempunyai

satu tujuan imperative yaitu bisnis harus dijalankan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan

semua pihak terkait yang berkepentingan (skatebolder) dengan suatu kegiatan bisnis dijamin,

diperhatikan dan dihargai.

Dasar pemikirannya adalah bawa semua pihak yang punya kepentingan dalam suatu

kegiatan bisnis terlibat di dalamnya karena ingin memperoleh keuntungan, maka hak dan

kepentingan mereka harus diperhatikan dan dijamin. Pada akhirnya pendekatan ini menuntut

agar bisnis apapun perlu dijalankan secara baik dan etis justru demi menjamin kepentingan

semua pihak yang terkait dalam bisnis. Prinsip ini sama dengan prinsp no barm, pendekatan ini

pun memperlihatkan secara sangat gamblang bahwa pada akhirnya pendekatan ini pun ditempuh

demi kepentingan bisnis perusahaan yang bersangkutan. Artinya agar bisnis dari perusahaan

dapat berhasil dan bertahan lama. Pada umumnya ada dua kelompok skatebolders yaitu

kelompok primer dan kelompok sekunder. Kelompok primer terdiri dari pemilik modal, kreditor,

karyawan, pemasok, konsumen, penyalur, dan pesaing. Kelompok sekunder terdiri dari

pemerintah setempat, pemerintah asing, kelompok social, media massa, kelompok pendukung,
masyarakat. Yang paling penting diperhatikan dalam suatu kegiatan bisnis adalah kelompok

primer, Karena berhasil tidaknya perusahaan sangat ditentukan oleh relasi yang saling

menguntungkan yang dijalin dengan kelompok primer tersebut. Dengan kata lain perusahaan

harus menjalin relasi bisnis yang baik dan etis dengan kelompok stakebolder primer yaitu jujur,

bertanggungjawab dalam penawaran barang dan jasa, besikap adil, saling menguntungkan.

Dalam kaitan dengan kelompok sekunder, perlu dikatakan bahwa dalam situasi tertentu

kelompok ini bisa memiliki peran yang lebih penting dari kelompok primer. Misalnya LSM baik
Pemerintah
di bidang lingkungan hidup atau kehutunan Asing
bisa sangat merepotkan bisnis suatu perusahaan.

Ketika suatu perusahaan beroperasi tanpa mempedulikan kesejahteraan, nilai budaya, sara dan
Media Pemerintah
prasarana
Massalocal, lapangan kerja setempat maka akan menimbulkan suasana social yang sangat
Setempat
Pekerja
tidak kondusif dan tidak stabil bagi Pemilik tersebut.
kelangsungan bisnis perusahaan

Dengan demikian, dalam banyak kasus, perusahaan yang ingin berhasil dan dapat

bertahan dalam bisnisnya harus pandai menangani dan memperhatikan kepentingan kedua
Pemegan
Penyalur diatas secara baik. Dan itu berarti bisnis harus dijalankan secara baik dan
kelompok skatebolder
g saham
etis.

Relasi antara suatu perusahaan dan kedua kelompok skatebolder tersebut dapat digambarkan
PERUSAHAAN
sebagai beikut

Rekan Kreditor
Bisnis

Konsume
Pemaso
n
k

Masyarakat
Aktivitas
Setemoat
Sosial

Kelompok
Pendukung

Anda mungkin juga menyukai