Anda di halaman 1dari 17

1.

MM anatomi sistem pernafasan atas


1.1 Makroskopis

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung dengan
pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk piramid dengan
bagian-bagian dari atas ke bawah: pangkal hidung, dorsum nasi, kolumela, puncak hidung, ala
nasi, dan lubang hidung.

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis), prosesus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, sepasang kartilago nasalis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala
mayor, beberapa pasang kartilago ala minor dan tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan
oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang
masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (choanae) yang menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrase. Tiap cavum nasi
mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan
krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang,sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

Terdapat concha - concha yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. Yang
terbesar dan letaknya paling bawah ialah concha inferior, kemudian yang lebih kecil ialah
concha media, lebih kecil lagi ialah concha superior, sedangkan yang terkecil disebut concha
ini biasanya rudimenter.
concha inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan concha media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.

Di antara concha-concha dan dinding lateral hidung terdapat ronga sempit yang disebut
meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di
antara concha inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral ronga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.

Meatus medius terletak di antara concha media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat pula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum
etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara
sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.

Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara concha superior dan concha media
terdapat sinus etmoid terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior
merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior
atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan
rongga tengkorak dari rongga hidung.

Disekitar rongga hidung terdapat rongga yang diisi udara yang disebut sinus paranasalis:

 Sinus sphenoidalis : mengeluarkan sekresinya melalui meatus superior


 Sinus frontalis : ke meatus media
 Sinus maxillaris : ke meatus media
 Sinus Etmoidalis : ke meatus superior dan media

Pharynx
Tuba eustachii terdapat pada nasofarings yang berfungsi menyeimbangkan udara pada
kedua sisi membrana tympani. Bila tekanan tidak sama telinga tarasa sakit, misal pada saat
naik pesawat udara. Orofarings dipisahkan dari mulut oleh fauces pada fauces Tonsila. Pada
larings farings bertemu sistem pernapasan dan sistem pencernaan. Udara melalui bagian
anterior ke larings. Makanan melalui bagian posterior ke esofagus melalui epiglotis yang
flexible.

Larynx

http://fau.pearlashes.com/anatomy/Chapter%2036/Chapter%2036.htm
Terbentuk oleh tulang dan tulang rawan yaitu satu buah os hyoid, 1 tiroid, 1 epiglotis, 2
arytenoid. Berbentuk segi lima yang disebut cavum laringis bagian atas aditus laringis
sementara bagian bawah disebut kartilago cricoid.
Disamping berfungsi sebagai saluran pernapasan juga berfungsi menghasilkan suara melalui
getaran pita suara. Larings ditunjang oleh tulang rawan:
 kartilago thyroidea
 kartilago cricoidea
Intensitas, volume atau kerasnya suara ditentukan oleh jumlah udara yang melalui pita suara.
Hasil akhir ditentukan oleh perubahan posisi bibir, lidah dan palatum molle.
Os.Hyoid
Terbentuk dari jaringan tulang, seperti besi telapak kuda.
 Mempunyai 2 cornu: cornu majus dan cornu minus.
 Dapat diraba pada batas antara batas atas leher dengan pertengahan dagu.
 Berfungsi tempat perlekatan otot mulut dan cartilago thyroid.
Cartilago Thyroid
 Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang dikenal dengan “Prominen’s
laryngis” atau Adam’s Aplle sehari-hari disebut “jakun” lebih jelas pada laki-laki.
 Melekat keatas dengan os.hyoid dan kebawah dengan cartilago cricoid, kebelakang
dengan arytenoid.
 Jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid.
 Mempunyai cornu superior dan cornu inferior
 Pendarahan cornu superior dan cornu inferior.
 Pendarahan dari a.thyroidea superior dan inferior.

Cartilago Arytenoid
 Terletak posterior dari lamina cartilago thyroid dan diatas dari cartilago cricoid.
 Mempunyai bentuk seperti burung pinguin, ada cartilago cornuculata dan cuneiforme
 Kedua arytenoid dihubungkan oleh m.arytenoideus tranversus

Epiglotis
 Tulang rawan berbentuk sendok
 Melekat diantara kedua cartilago arytenoid
 Berfungsi membuka dan menutup aditus laryngis
 Berhubungan dengan cartilago arytenoid melalui m.aryepiglotica

Cartilago cricoid
 Batas bawah cartilago thyroid (daerah larynx)
 Berhubungan dengan thyroid dengan ligamentum cricothyroid dan m.cricothyroid
medial lateral
 Batas bawah adalah cincin pertama trachea
 Berhubungan dengan cartilago arytenoid dengan otot m.cricoarytenoideus posterior dan
lateralis

Otot ekstrinsik : m.cricoaryhtenoideus, m. Thyroepigloticus, m.thyroarytenoideus.


Dipersarafi oleh nervus laringis superior
Otot intrinsik : m.cricoarytenoideus posterior, m.cricoarytenoideus lateralis, m.arytenoideus
obliq dan transverses, m.vocalis, m.arypiglotica. Dipersarafi oleh nervus laringis inferior atau
yg sering disebut dengan nervus reccurens laringis.
Terdapat pula plica vocalis dan plica vestibularis, dalam plica vocalis ada rima glottis dan plica
vestibularis ada rima vestibularis. otot m.cricoarytenoideus posterior sering disebut juga safety
muscle of larynx, karena berfungsi menjaga agar rima glottis tetap membuka.

Pendarahan Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang
merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a. karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior concha media.Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.
fasialis.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,


a.etmoid, a.labialis superior, a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiessebach (Little’s area)
letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epitaksis
(perdarahan hidung), terutama pada anak.

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vestibulum dan struktur
luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1).
Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui
ganglion sfenopalatina.

Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan


persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-
serabut sensoris dari n.maksila (n.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor
dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di
belakang dan sedikit di atas ujung posterior concha media.

Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina cribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidung pada mukosa olfaktorius
di daerah sepertiga atas hidung.

1.2 Mikroskopis
Hidung
 Merupakan organ berongga yang terdiri atas tulang, tulang rawan hyalin otot bercorak
dan jaringan ikat
 Fungsi :
 Menyalurkan udara
 Menyaring udara dari benda asing
 Menghangatkan udara pernafasan
 Melembabkan udara pernafasan
 Alat pembau
Cavum Nasi
 Memiliki bagian terlebar yang disebut dengan vestibulum nasi
 Terdapat kelenjar Keringat, kelenjar Sebacea, folikel rambut dan vibrissae
 Epitel vestibulum merupakan epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk yang mana
sebelum masuk fossa nasalis menjadi epitel bertingkat torak bersilia dengan sel goblet
 Pada dinding lateral ada 3 tonjolan disebut chonca
 Chonca nasalis superior (dilapisi epitel olfaktorius atau pembau)
 Chonca nasalis media
 Chonca nasalis inferior (epitel bertingkat torak bersilia)

 Fungsi chonca :
 Meningkatkan luas permukaan epitel respirasi
 Turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan permukaan mukosa
Epitel Respirasi
 Terdiri atas :
 Sel torak bersilia
 Sel goblet
 Sel torak dengan mikrovili
 Sel basal
 Sel sekretorik
 Silia berfungsi untuk mendorong lendir ke arah nasofaring untuk tertelan atau
dikeluarkan (batuk)
 Sel goblet dan kelenjar campur di lamina
propria mnghasilkan sekret, untuk menjaga
kelembaban hidung dan menangkap partikel
debu halus
 Di bawah epitel concha inferior terdapat swell
bodies, merupakan fleksus vonosus untuk
menghangatkan udara inspirasi
Epitel Olfaktorius

 Kemoreseptor penghidung terletak di epitel olfaktorius, terdapat pada pertengahan atap


cavum nasi, septum nasi dan permukaan concha superior
 Epitel olfaktorius terdiri dari :
 Sel penyokong
 Sel basal
 Sel olfaktorius atau sel penghidung yang mana merupakan neuron bipolar
 Silia olfaktorius mirip reseptor sangat sensitif terhadap rangsang kimia
 Di lamina propria epitel olfaktorius terdapat kelenjar Bowman, sekretnya untuk
melarutkan zat kimia dalam bentuk bau
 Akson dari sel olfaktorius (fila olfaktoria) menembus lamina cribrosa os ethmoid untuk
masuk ke bulbus olfaktorius di otak
Pharynx
 Ruangan yang menghubungkan tractus Digestivus dengan tractus Respiratorius
 Terdiri dari :
 Nasofaring (epitel bertingkat torak bersilia,
dengan sel goblet)
 Orofaring (epitel berlapis gepeng dengan
lapisan tanduk)
 Laringofaring (epitel bervariasi)

Larynx

 Menghubungkan faring dengan trachea


 Tulang rawan yang lebih besar (tulang rawan hyalin):
 Thyroid
 Cricoid
 Arytenoid
 Tulang rawan yang kecil (tulang rawan elastis):
 Epiglottis
 Cuneiform
 Corniculata
 Ujung arytenoid
Epiglottis
 Menjulur keluar dari tepian larynx lalu meluas ke dalam farynx
 Memiliki permukaan lingual dan laringeal
 Seluruh permukaan laringeal ditutupi oleh epitel berlapis gepeng, mendekati basis
epiglottis pada sisi laringeal, epitel ini mengalami peralihan menjadi epitel bertingkat
silindris bersilia
Trachea
 Tabung dengan panjang 11 cm berdinding tipis, diameter 2-2,5 cm
 Dari pangkal larynx sampai percabangan 2 bronkus primer
 Dilapisi epitel respirasi, epitel bertingkat silindris
 16-20 cincin tulang rawan hialin berbentuk C, berfungsi menjaga agar lumen trachea
tetap terbuka
 Ligamen fibroelastis dan berkas-berkas otot polos (M. Trachealis) terikat pada
periostium dan menjembatani kedua ujung bebas tulang rawan berbentuk C

2. MM rhinitis alergi
2.1 Definisi
Rhinitis alergi : penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (von Pirquet, 1986).
Rhinitis alergi : kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal
dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
(WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001)

2.2 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya.Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi (Adams, Boies, Higler, 1997).Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan
pada dewasa dan ingestan pada anak- anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain,
seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung
dari klasifikasi.Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen.Alergen yang menyebabkan
rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang
tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides
farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan
binatang pengerat.Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara.Kelembaban yang tinggi
merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan
dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau
aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,
coklat, ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

2.3 epidemiologi
2.4 patofisiologi
Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu :
 Immediate Phase Allergic Reaction
Berlangsung sejak kontak dengan allergen hingga 1 jam setelahnya
 Late Phase Allergic Reaction
Reaksi yang berlangsung pada dua hingga empat jam dengan puncak 6-8 jam setelah
pemaparan dan dapat berlangsung hingga 24 jam.

Gambar Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan


alergen pertama dan selanjutnya (Benjamini, Coico, Sunshine, 2000).
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T
helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4
(LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin
(IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan
lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa
dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi
rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin
merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung
sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-
5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil
dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan
kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan
penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan
submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus
(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu
terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung
menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat
berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi
respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas
seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,
reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka
reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Secara klasik rinitis alergika dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi dengan
perantaraan IgE. Pada pemeriksaan patologi, ditemukan infiltrat inflamasi yang terdiri atas
berbagai macam sel. Pada rinitis alergika selain granulosit, perubahan kualitatif monosit
merupakan hal penting dan ternyata IgE rupanya tidak saja diproduksi lokal pada mukosa
hidung. Tetapi terjadi respons selular yang meliputi: kemotaksis, pergerakan selektif dan
migrasi sel-sel transendotel. Pelepasan sitokin dan kemokin antara lain IL-8, IL-13, eotaxin
dan RANTES berpengaruh pada penarikan sel-sel radang yang selanjutnya menyebabkan
inflamasi alergi.
Aktivasi dan deferensiasi bermacam-macam tipe sel termasuk: eosinofil, sel CD4+T, sel
mast, dan sel epitel. Alergen menginduksi Sel Th-2, selanjutnya terjadi peningkatan ekspresi
sitokin termasuk di dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10 yang merangsang IgE, dan
sel Mast. Selanjutnya sel Mast menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, dan tryptase pada epitel.
Mediator dan sitokin akan mengadakan upregulasi ICAM-1. Khemoattractant IL-5 dan
RANTES menyebabkan infiltrasi eosinofil, basofil, sel Th-2, dan sel Mast. Perpanjangan masa
hidup sel terutama dipengaruhi oleh IL-5.
Pelepasan mediator oleh sel-sel yang diaktifkan, di antaranya histamin dan cystenil-
leukotrien yang merupakan mediator utama dalam rinitis alergika menyebabkan gejala rinorea,
gatal, dan buntu. Penyusupan eosinofil menyebabkan kerusakan mukosa sehingga
memungkinkan terjadinya iritasi langsung polutan dan alergen pada syaraf parasimpatik,
bersama mediator Eosinophil Derivative Neurotoxin (EDN) dan histamin menyebabkan gejala
bersin.
2.5 manifestasi klinis
Gejala yang timbul pada rhinitis alergi, antara lain:
1. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang bila
terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Disebut juga sebagai bersin patologis.
2. Keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
3. Faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.
4. Suara serak dan edema pita suara
5. Allergic shiner. Perasaan anak bahwa ada bayangan gelap di daerah bawah mata akibat
stasis vena sekunder. Stasis vena ini disebabkan obstruksi hidung.
6. Allergic salute. Perilaku anak yang suka menggosok-gosok hidungnya akibat rasa gatal.
7. Allergic crease. Tanda garis melintang di dorsum nasi pada 1/3 bagian bawah akibat
kebiasaan menggosok hidung.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/45656/4/Chapter%20II.pdf)

2.6 pemeriksaan
Anamnesis
Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidung
tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul, menetap)
beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Karena rhinitis alergi seringkali
berhubungan dengan konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada mata dan lakrimasi
mendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat keluarga merupakan petunjuk yang cukup
penting dalam menegakkan diagnosis pada anak.

Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum
nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh
punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung
basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak.
Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala
hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit
yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak (5 sel/lapang
pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung jenis eosinofil dalam darah tepi dapat
normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal,
kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu penyakit. Lebih bermakna adalah
pemeriksaan IgE spesifik dengan cara RAST (Radioimmuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Test). Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara
invivo.

Ada dua macam tes kulit yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal
berupa tes kulit gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes kulit tusuk (skin
prick test). Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran tunggal (single dilution) dan
pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration – SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat mengetahui alergen
penyebab, juga dapat menentukan derajat alergi serta dosis inisial untuk imunoterapi. Selain
itu, dapat pula dilakukan tes provokasi hidung dengan memberikan alergen langsung ke
mukosa hidung. Untuk alergi makanan, dapat pula dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau
Intracutaneous Provocative Food Test (IPFT).

2.7 diagnosis & diagnosis banding


Rhinitis vasomotor : suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi,
alergi, eosinofilia, perubahan hormonal dan pajanan obat.
Rhinitis medikamentosa : suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal
vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokontriktor topikal dalam waktu lama
dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
Rhinitis simpleks : penyakit yang diakibatkan oleh virus. Biasanya adalah rhinovirus.
Sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan atau
menurunnya daya tahan tubuh.
Rhinitis hipertrofi : hipertrofi chonca karena proses inflamasi kronis yang disebabkan
oleh bakteri primer atau sekunder.
Rhinitis atrofi : infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi progresif pada
mukosa dan tulang chonca.
NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) dapat disingkirkan bila tes
kulit menunjukkan positif terhadap alergen lingkungan. Penyebab keluhan pada
NARES adalah alergi pada makanan.
Rinitis vasomotor dapat dibedakan dengan rinitis alergi dengan keluhan bersin pada
perubahan suhu ekstrim, rokok, tidak terdapat gatal pada mata, udara lembab, hidung tersumbat
pada posisi miring dan bergantian tersumbatnya. Selain itu mukosa yang pucat atau merah
gelap, licin, edema juga mendukung rinitis vasomotor. Pada tes kulit bernilai negatif. Rinitis
alergi dan vasomotor dapat pula terjadi bersamaan dengan memberi gambaran rinoskopi
anterior yang bercampur seperti mukosa pucat tetapi positif pada tes kulit. Sekresi hidung yang
kekuningan dan tampak purulen tetapi eosinofilik sering terjadi pada rinitis alergi, tetapi pada
sekresi yang berbau busuk dan purulen dan terjadi unilateral perlu dicurigai adanya benda
asing.
2.8 tatalaksana
2.9 komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan
limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat
edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia
sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan
menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya
fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang
dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah

2.10 Pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah reaksi alergi adalah dengan menghindari alergen dan
menghindari kontak dengan hewan peliharaan. Debu, tungau adalah salah satu penyebab
terbesar alergi. Mereka adalah serangga mikroskopis yang berkembang biak dalam debu rumah
tangga. Berikut adalah beberapa cara yang dapat membatasi jumlah tungau di rumah:
a. Pertimbangkan membeli kasur udara-permeabel dan selimut penutup oklusif (jenis
tempat tidur bertindak sebagai penghalang terhadap tungau debu dan kotoran mereka).
b. Pilih kayu atau penutup lantai bahan vinyl yang keras bukannya karpet.
c. Bantal bersih, mainan, tirai dan furnitur berlapis secara teratur, baik dengan mencuci
atau debu mereka.
d. Gunakan bantal sintetis dan selimut akrilik bukannya selimut wol atau bulu selimut.
e. Gunakan vacuum cleaner dilengkapi dengan udara partikulat efisiensi tinggi (HEPA)
filter karena dapat mengeluarkan debu lebih dari penyedot debu biasa.
f. Gunakan alat pengatur suhu udara dengan filter-filter yang efisien dan alat pembersih
udara
Ada 3 tipe pencegahan yaitu primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer ditujukan untuk
mencegah terjadinya tahap sensitisasi. Hal yang dapat dilakukan adalah menghindari paparan
terhadap alergen inhalan maupun ingestan selama hamil, menunda pemberian susu formula dan
makanan padat sehingga pemberian ASI lebih lama. Pencegahan sekunder adalah mencegah
gejala timbul dengan cara menghindari alergen dan terapi medikamentosa. Sedangkan
pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi atau berlanjutnya
penyakit.
2.11 prognosis
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan
pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap serbuk
sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis sulit
diprediksi pada anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga yang berulang.
Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan
tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah
berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan enam. Setelah
masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena menurunnya sistem
kekebalan tubuh.

3. MM adab bersin

“Bersin itu dari Allah dan menguap itu dar isyaithon. Jika salah seorang diantara kalian
menguap, hendaknya dia menutup dengan tangannya. Jika ia mengatakan, “aah…” berarti
syaithon sedang tertawa di dalam perutnya. Sesungguhnya Allah menyukai perbuatan bersin
dan membenci menguap.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 2746; al-Hakim, IV/264; Ibnu
Khuzaimah, no. 921 dan Ibnu Sunni dalam kitab‘AmalulYaumwal Lailah, no. 2666. Hadits ini
dini laishohih oleh al-Albani dalam Shohiih al-Jaami’, no. 4009).

a. Pertama : Meletakkan Tangan Atau Baju ke Mulut Ketika Bersin

Salah satu akhlaq mulia yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam ketika bersin
adalah menutup mulut dengan tangan atau baju. Hal ini sebagaimana yang biasa dilakukan oleh
Rasullullah shallallahu ‘alaihiwasallam tatkala beliau bersin.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Tatkala Rasulullah shallallahu


‘alaihiwasallam bersin, beliau meletakkan tangan atau bajunya ke mulut dan mengecilkan
suaranya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5029 ; at-Tirmidzi, no. 2745 dan beliau
menshohihkannya. Diriwayatkan pula oleh al-Hakim, IV/293, beliau menshohikannya dan
disepakati oleh adz-Dzahabi).

b. Kedua : Mengecilkan Suara Ketika Bersin

“Apabila salah seorang dari kalian bersin hendaklah ia meletakkan tangannya kewajahnya
dan mengecilkan suaranya.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim, IV/264 dan beliau
menshohihkannya. Disepakati pula oleh adz-Dzahabi, dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no.
9353. Hadits ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam Shohiih al-Jaami’, no. 685)

c. Ketiga : Memuji Allah Ta’ala Ketika Bersin

Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam memerintahkan umatnya untuk mengucapkan tahmid tatkala


bersin. Beliau shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian bersin, hendaklah ia mengucapkan Alhamdulillah, jika
ia mengatakannya maka hendaklah saudaranya atau temannya membalas: yarhamukalloh
(semoga Allah merahmatimu). Dan jika temannya berkata yarhamukallah, maka ucapkanlah:
yahdikumullohwayushlihubaalakum (semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki
keadaanmu).” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhori, no. 6224 dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)

d. Keempat : Mengingatkan Orang Yang Bersin Agar Mengcapkan Tahmid Jika Ia Lupa

Jika kita mendapati orang yang bersin namun tidak memuji Allah Ta’ala, hendaklah kita
mengingatkannya. Ini termasuk bagian dari nasihat.

‘Abdullah bin al-Mubarak melihat orang lain bersin tapi tidak mengucapkan Alhamdulillah,
maka beliau berkata kepadanya, “Apa yang seharusnya diucapkan seseorang jika ia bersin?”
Orang itu mengatakan, “Alhamdulillah.” Maka Ibnul Mubarak menjawab, “Yarhamukalloh.”

e. Kelima : Tidak Perlu Mendo’akan Orang Yang Sudah Bersin Tiga Kali Berturut-Turut

Demikianlah sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alihiwasallam. Beliau


bersabda:

“Jika salah seorang dari kalian bersin, hendaklah orang yang ada di dekatnya
mendo’akannya. Dan jika (ia bersin) lebih dari tiga kali berarti ia sakit. Janganlah kalian
men-tasymit bersinnya setelah tiga kali.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5034; Ibnus
Sunni, no. 251; dan Ibnu ‘Asakir, 8/257. Hadits ini dinilai shohi holeh al-Albani dalam Shohiih
al-Jaami’, no. 684)

f. Keenam : Tidak Mengucapkan Tasymit Terhadap Orang Kafir Yang Bersin Meskipun
Ia Mengucapkan Alhamdulillah

Dahulu orang Yahudi sengaja bersin di dekat Nabi shallallahu ‘alaihiwasallam dengan
harapan Nabi mengatakan, “yarhamukumulloh (semoga Allah merahmatimu)” tetapi Nabi
shallallahu ‘alaihiwasallam mengatakan: “Yahdikumullohwayushlihubaalakum (semoga
Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki keadaanmu).” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud,
no. 5038 dan At-Tirmidzi, no. 2739. Imam at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan
shohih).

Anda mungkin juga menyukai