Anda di halaman 1dari 24

AMPLIFIKASI GEN OmpL1 UNTUK MENDETEKSI Leptospira

PATOGEN PADA URIN

SKRIPSI

PUTRI MEDITA RACHMAYANTI


NPM 1102016173

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
TAHUN 2018
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi
Leptospira interrogans semua serotype. Kuman ini berbentuk spiral, tipis, halus dan
fleksibel dengan ukuran panjang 5-15 μm, lebar 0,1-0,2 μm. Salah satu ujung
leptospira berbentuk bengkok seperti kait. Leptospira tidak berflagel, namun dapat
melakukan gerakan rotasi aktif. Kuman ini tidak mudah diwarnai, namun dapat
diwarnai dengan impregnasi perak. (Tanzil, 2012). Transmisi infeksi dari hewan ke
manusia biasanya terjadi melalui kontak dengan air atau tanah lembap yang
terkontaminasi. Leptospira masuk ke sirkulasi manusia melalui penetrasi kulit
terabrasi atau membran mukosa intak (mata, mulut, nasofaring, atau esofagus).
(Amin, 2016).
Leptospirosis mempunyai gejala klinis yang bersifat biphasic, yang ditandai
dengan fase septikemia dan diikuti oleh manifestasi imun. (Brito et al, 2018).
Leptospirosis berat ditandai dengan disfungsi organ termasuk hati, ginjal, paru-paru,
dan otak. Kombinasi penyakit kuning dan gagal ginjal dikenal dengan penyakit Weil.
(Haake et al. 2015). Commented [DW1]: Penulis hanya 2

Leptospirosis sering terjadi di iklim hangat terutama daerah tropis dan subtropis.
Wabah leptospirosis terjadi setelah adanya angin ribut dan banjir di beberapa tempat
seperti Nicaragua, Brazil, Thailand, Sri Lanka, dan India. Antara 2007 sampai 2013,
peringatan global dari surveilans leptospirosis yang dibuat oleh HealthMap database
menyatakan bahwa dari 787 peringatan global, lebih dari setengahnya terjadi di
wilayah Amerika (63%). Peringatan ini meningkat terutama di Brazil (18%),
Nicaragua (6%), dan Argentina (5%). Wilayah dengan persentase peringatan tertinggi
kedua adalah Pasifik Barat (15%), diikuti oleh Asia Tenggara (14%) dan Eropa (8%).
(Yang, 2017).
Di Indonesia terdapat 6 provinsi yang melaporkan adanya kasus leptospirosis
yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan
Banten. Data Departemen Kesehatan pada tahun 2017 menunjukkan kasus
leptospirosis yang meningkat drastis pada tahun 2016 sebanyak 830 kasus, kembali
menurun pada tahun 2017, yaitu sebanyak 640 kasus. (Kemenkes RI, 2018).
Faktor risiko lingkungan fisik terkait sebaran leptospirosis antara lain
pemukiman, area luasan banjir, curah hujan, tekstur tanah, dan kelembapan. Faktor
perilaku yang terbukti berhubungan dengan kejadian leptospirosis antara lain riwayat
kontak dengan tikus, hewan peliharaan seperti kerbau, sapi, perawatan luka,
penggunaan alat pelindung diri, kebiasaan mandi atau mencuci di sungai. (Rejeki et
al, 2013). Pekerja yang melibatkan hewan yang terinfeksi, air, dan tanah yang
terkontaminasi pada pekerjaannya dapat menjadi faktor resiko dari perkembangan
leptospirosis. Manusia adalah accidental hosts dan seringkali ditemukan leptospira
pada urin dalam periode yang singkat. Studi dari leptospira yang berkolonisasi di
ginjal dan tidak bergejala pada manusia menunjukkan bahwa ekskresi dari leptospira
dapat terjadi lebih dari setahun. Selain itu, ada spekulasi bahwa di daerah dengan
penularan penyakit yang tinggi, manusia dapat mengembangkan beberapa
karakteristik klinis dan serologis dari urin pada pasien karier asimptomatik. (Brito et
al, 2018).
Diagnosis leptospirosis dapat dilakukan oleh beberapa metode yaitu
microscopic agglutination test (MAT), deteksi DNA oleh polymerase chain reaction
(PCR), isolasi mikroorganisme dengan metode kultur, atau deteksi antibodi pada
mikrooganisme. (Niloofa et al, 2015). Pemeriksaan yang sering digunakan adalah
MAT dan IgM ELISA. Tes MAT menjadi gold standard untuk diagnosis
leptospirosis. Kekurangan dari pemeriksaan serologi adalah anti-Leptospira
antibodies hanya bisa didedeteksi pada fase akut akhir. (Ahmed et al, 2012).
Leptospira dapat dideteksi dalam darah selama fase akut, fase leptospiremia.
Bakteri juga dapat dideteksi pada cairan tubuh lainnya (mis. urin, cairan
serebrospinal, dan aqueos humor). Banyak diagnostik molekuler yang telah
dikembangkan, termasuk PCR konvensional konvensional dan PCR real-time
(rtPCR), PCR reverse-transkripsi (RT-PCR), dan metode amplifikasi isotermal. Tes
telah dirancang untuk menargetkan housekeeping gen, yang umum untuk semua
spesies Leptospira (16Srrs, secY, gyrB), atau gen spesifik spesies patogen (misalnya
lipL32, lfb1). (Waggoner et al, 2017). Gen OmpL1 adalah genus spesifik antigen pada
permukaan Leptospira patogenik yang tidak ditemukan pada leptospira non
patogenik. Protein porin ini muncul ketika terjadinya infeksi yang menunjukkan
adanya antigen imunogenik. (Dezhbord et al, 2014).

1.1.Perumusan Masalah

Leptospirosis masih menjadi masalah kesehatan di dunia dan di Indonesia.


Penularan leptospirosis bisa terjadi lewat lingkungan atau langsung melalui luka pada
kulit atau menmbran mukosa intak. Pekerja dengan faktor resiko tinggi yang dapat
terinfeksi atau menjadi karier leptospira yang bersifat asimptomatik. Gen OmpL1
dapat digunakan untuk mendeteksi adanya leptospira pada urin.

1.2. Pertanyaan Penelitian


1. Apakah terdapat leptospira pada urin pekerja?
2. Apakah PCR dengan gen OmpL1 dapat digunakan untuk deteksi leptosuria?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui adanya pekerja yang menjadi karier dan terinfeksi leptospira.

1.3.2. Tujuan Khusus


1. Mengetahui adanya leptospira pada urin pekerja.
2. Mengetahui deteksi leptospira dengan tes PCR dengan gen OmpL1.
1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Peneliti


Sebagai pengalaman dalam menyusun karya tulis, melaksanakan dan menulis
hasil penelitian dalam bentuk tulisan ilmiah, serta menambah pengetahuan
tentang keterkaitan faktor resiko pekerja dengan leptospirosis.

1.4.2. Bagi Masyarakat


Sebagai bahan informasi yang berkaitan dengan faktor resiko terjadinya
leptospirosis sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk upaya
pencegahan terhadap kasus leptospirosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Leptospirosis
Leptospira merupakan bakteri spirochetes yang berbentuk spiral, tipis,
fleksibel, mempunyai panjang 5–15 μm dan lebar 0.1-0.2 μm. Salah satu
ujungnya bengkok sehingga membentuk kait. Bakteri ini bersifat motil dan
paling baik dilihat dengan mikroskop lapang gelap. (Jawetz et al, 2013). Commented [DW2]: Kata2nya sama persis dengan syifa
dan muslimin. Tolong dirubah, ditulis dengan kata2
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri sendiri

leptospira yang menyerang hewan dan manusia dan dapat hidup di air tawar Commented [DW3]: Jawetz bukan nama author
Commented [DW4]: Sebaikna di paragraph kedua
selama lebih kurang 1 bulan. Kuman ini hidup dan berkembang biak di tubuh
hewan. Semua hewan bisa terjangkit, paling banyak tikus dan hewan pengerat
lainnya, selain hewan ternak, hewan peliharaan dan hewan liar pun dapat
terjangkit juga. (Ramadhani et al, 2015).
Leptospira dapat masuk melalui luka di kulit atau menembus jaringan
mukosa seperti konjungtiva, nasofaring, dan saluran genitalia. Leptospira
kemudian masuk ke dalam peredaran darah. Namun, Leptospira dapat
menetap di tubulus ginjal dan keluar bersama urin selama beberapa minggu
sampai beberapa bulan dan bahkan bisa lebih lama. Setelah jumlah Leptospira
didalam darah dan jaringan mencapai tingkat kritis, lesi karena toksin yang
dikeluarkan oleh leptospira atau komponen seluler toksinnya muncul.
Aktivitas endotoksin dilaporkan muncul pada beberapa serovar leptospira. Commented [DW5]: Bagian ini sebaiknya diganung
dengan penjelasan tentang toksin
(Mohammed et al, 2011).
Tubuh manusia akan memberikan respon imunologik, baik secara
selular maupun humoral. Leptospira dapat berada di urin sekitar 8 hari setelah
infeksi hingga bertahun-tahun. Setelah fase leptospiremia (4-7 hari), Commented [DW6]: Perulangan dari paragraph
sebelumnya. Bisa digabung dengan kalimat sebelumnya
leptospira hanya dijumpai pada jaringan ginjal dan mata. Pada fase ini,
leptospira melepaskan toksin yang menyebabkan gangguan pada beberapa
organ. Commented [DW7]: Sumber?
Commented [DW8]: Gabungkan dengan penjelasan
klinisnya
Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat
mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan
gejala-gejala klinis. Hemolisis dapat terjadi karena hemolisin yang
bersirkulasi diserap oleh eritrosit sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun di
dalam darah sudah terdapat antibodi. Diatesis perdarahan umumnya terbatas
pada kulit dan mukosa, tetapi pada keadaan tertentu terjadi perdarahan saluran
cerna atau organ vital yang dapat menyebabkan kematian. Setiap organ
penting dapat terkena dan antigen leptospira dapat dideteksi pada jaringan
yang terkena (Rampengan, 2016).
Gejala fase awal ditimbulkan karena kerusakan jaringan akibat
leptospira, sedangkan gejala fase kedua timbul akibat respons imun pejamu.
(Rampengan, 2016). Leptospirosis berat ditandai dengan disfungsi organ
termasuk hati, ginjal, paru-paru, dan otak. Kombinasi penyakit kuning dan
gagal ginjal dikenal dengan penyakit Weil (Haake et al. 2015). Penderita Commented [DW9]: Penulis hanya 2

penyakit leptospirosis yang kronis dapat bertindak sebagai karier karena


bakteri dapat bersarang di dalam ginjal dan Leptospira diekskresikan bersama
urin mulai minggu pertama setelah infeksi dan berlangsung sampai beberapa
bulan. Kerapkali dilaporkan kejadian leptospirosis tidak menunjukkan gejala Commented [DW10]: Kata ini bukan dari bahasa
Indonesia, tetapi serapan dari bahasa JAwa. Ganti dengan
klinis yang spesifik dan sulit didiagnosa tanpa pengujian sampel di kata yang lebih ilmiah

laboratorium. (Kusmiyati et al, 2005).


Leptospira termasuk kuman nefrofilik yang dapat menyerang seluruh
bagian ginjal secara invasi langsung. Nefritis interstisial dengan infiltrasi sel
mononuklear dapat terjadi tanpa adanya gangguan fungsi ginjal. Selanjutnya
pasien dapat mengalami nekrosis tubuler, yang dapat menyebabkan
komplikasi acute kidney injury (AKI), disebut juga sindrom
pseudohepatorenal. Pada tahap tersebut, pasien dianjurkan menjalani dialisis.
AKI merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada
kasus yang meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat
pembengkakan atau nekrosis sel epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang
meninggal minggu ke-2 terlihat banyak fokus nekrosis pada epitel tubulus
ginjal, sedangkan yang meninggal setelah minggu ketiga ditemukan sel
radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal (Rampengan, 2016).
Karakteristik perjalanan penyakit leptospirosis ialah bifasik. Masa
inkubasi leptospirosis berkisar 2-26 hari, dengan rata-rata 10 hari.
(Rampengan, 2016). Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas
yaitu fase leptospiremia dan fase imun.
1. Fase leptospiremia leptospira dapat dijumpai dalam darah dan cairan
tubuh lain. Gejala ditandai dengan sakit kepala pada daerah frontal, sakit
otot betis, paha, pinggang disertai nyeri saat ditekan. Gejala ini diikuti
hiperestesi kulit, demam tinggi, menggigil, mual, diare, bahkan penurunan
kesadaran. Pada sakit berat dapat ditemui bradikardia dan ikterus (50%).
Pada sebagian penderita dapat ditemui fotofobia, rash, urtikaria kulit,
splenomegali, hepatomegali, dan limfadenopati. Gejala ini terjadi saat hari
ke 4-7. Jika pasien ditangani secara baik, suhu tubuh akan kembali normal
dengan organ-organ yang terlibat akan membaik. Fungsi organ-organ ini
akan kembali ke 3-6 minggu setelah perawatan. Pada keadaan sakit lebih
berat, demam turun setelah hari ke-7 diikuti fase bebas demam 1-3 hari,
lalu demam kembali. Keadaan ini disebut sebagai fase kedua atau fase
imun.
2. Fase imun ditandai ditandai dengan peningkatan titer antibodi, demam
hingga 40°C disertai mengigil dan kelemahan umum. Pada leher, perut,
dan otot kaki dijumpai rasa sakit. Perdarahan paling jelas saat fase ikterik,
dapat ditemukan purpura, peteki, epistaksis, dan perdarahan gusi.
Conjuntiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan
tanda patognomonis untuk leptospirosis. Fase ini juga dapat ditandai
dengan meningitis, yang dapat menetap dalam beberapa minggu dan
menghilang setelah 2 hari. Pada fase ini, leptospira juga dapat dijumpai Commented [DW11]: Sama persis dengan kalimat di
proposal muslimin. Tolong dirubah penulisannya dengan
dalam urin. (Tanzil, 2012). gaya penulisan sendiri
2.1.2 Epidemiologi di Dunia dan Indonesia
Leptospirosis merupakan penyakit zoonotik yang diduga paling luas
penyebarannya di dunia. (Supraptono et al, 2011). Telah diperkirakan bahwa
insiden global leptospirosis adalah sekitar satu juta kasus dengan tingkat
mortilitas 59.000 kasus. Angka sebenarnya pada kasus ini terjadi sekitar
50.000 kasus, dengan angka terbanyak dari Asia dan dilanjutkan oleh
Amerika Latin. (Shivakumar, 2018)
Penularan penyakit ini terjadi pada negara maju maupun negara
berkembang tetapi terutama negara berkembang tropis dengan kondisi sosial-
ekonomi dan lingkungan mendukung. (Supraptono et al, 2011). Kebanyakan
negara di Asia Tenggara termassuk daerah endemik dari leptospirosis. Tetapi,
wabah ini muncul pada beberapa tahun terakhir di Nicaragua, Salvador dan
Rio de Janeiro di Brazil dan Orissa, Mumbai dan Pulau Andaman di India dan
di Amerika Serikat. (Tilahun el al, 2013).
Antara 2007 sampai 2013, peringatan global dari surveilans
leptospirosis yang dibuat oleh HealthMap database menyatakan bahwa dari
787 peringatan global, lebih dari setengahnya terjadi di wilayah Amerika
(63%). Peringatan ini meningkat terutama di Brazil (18%), Nicaragua (6%),
dan Argentina (5%). Wilayah dengan persentase peringatan tertinggi kedua
adalah Pasifik Barat (15%), diikuti oleh Asia Tenggara (14%) dan Eropa
(8%). (Yang, 2017).
Di Indonesia, terdapat 6 provinsi yang melaporkan adanya kasus
leptopirosis tahun 2017 yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten. Kasus leptospirosis yang meningkat
drastis pada tahun 2016 sebanyak 830 kasus, kembali menurun pada tahun
2017, yaitu sebanyak 640 kasus. Penurunan kasus leptospirosis secara
signifikan terjadi di DKI Jakarta (39 kasus pada tahun 2016 menjadi 1 kasus
pada tahun 2017). Sedangkan peningkatan signifikan terjadi di Jawa Tengah,
yaitu 164 kasus pada tahun 2016 menjadi 316 kasus pada tahun 2017. Commented [DW12]: Kata2 ini persis sama dengan
muslimin dan syifa. Toong dirubah gaya penulisannya.
Kemudian sumbernya mana?

Gambar 2.1. Distribusi Kasus Leptospirosis di 6 Provinsi


di Indonesia Tahun 2015-2017 (Kemenkes RI, 2018)

Kasus dan kematian akibat leptospirosis tertinggi tahun 2017 terjadi di


Jawa Tengah dengan CFR sebesar 16,14%. Walaupun jumlah kasus
leptospirosis di DI Yogyakarta berjumlah 123 kasus, namun 24 kasus
diantaranya meninggal dunia sehingga CFR di provinsi tersebut tertinggi
dibandingkan provinsi lainnya. Commented [DW13]: Sumber?

Gambar 2.2. Situasi Leptospirosis di Indonesia Commented [DW14]: Sumber?


Sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2017 terjadi fluktuasi jumlah
kasus leptospirosis. Jumlah kasus tertinggi terjadi pada tahun tahun 2011 lalu
menurun sampai dengan tahun 2015, kemudian meningkat pada tahun 2016,
dan turun kembali pada tahun 2017. Sementara itu, jumlah kematian akibat
leptospirosis cenderung tetap pada tahun 2013-2016, kemudian meningkat
pada tahun 2017 (Kemenkes, 2018).

2.1.3 Transmisi dan Faktor Resiko


Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, tanah, atau
lumpur yang telah terkontaminasi oleh urin binatang yang terinfeksi
leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika terdapat luka atau erosi pada kulit
maupun selaput lendir. Air tergenang atau mengalir lambat yang
terkontaminasi urin binatang infeksius memainkan peran dalam penularan
penyakit ini, bahkan air yang deras pun dapat berperan. Terkadang penyakit
ini terjadi akibat binatang yang sebelumnya terinfeksi leptospira atau kontak
dengan kultur leptospira di laboratorium (Setiati, 2014). Commented [DW15]: Hapus saja krn pengulangan, dan
tidak signifikan di masyarakat
Pekerjaan merupakan faktor risiko yang penting pada manusia. Pekerja Commented [DW16]: Penulisan di dapus et.al berarti
yang melibatkan hewan yang terinfeksi, air, dan tanah yang terkontaminasi lebih dari 1 orang

pada pekerjaannya dapat menjadi faktor resiko dari perkembangan


leptospirosis. (Brito et al, 2018). Kelompok yang berisiko adalah petani atau
pekerja di sawah, perkebunan tebu, tambang, rumah potong hewan, perawat
hewan, dokter hewan atau orang-orang yang berhubungan dengan perairan,
lumpur dan hewan baik hewan peliharaan ataupun satwa liar. Faktor-faktor
risiko kejadian leptospirosis antara lain adalah faktor perilaku faktor
pelayanan kesehatan, faktor lingkungan, faktor sosial ekonomi dan faktor
demografi.
Hubungan perilaku dengan kejadian leptospirosis berkaitan dengan
pemakaian alat pelindung diri untuk mencegah masuknya leptospira ke tubuh,
kegiatan mandi dan mencuci di sungai yang mengandung leptospira.
Penjagaan sanitasi rumah dan pengelolaan sampah yang menjadikan tempat
disenangi tikus dan merupakan determinan kasus leptospirosis.Perilaku
menjaga hewan peliharaan di rumah juga merupakan faktor risiko kejadian
leptospirosis. Commented [DW17]: Sumber?

Keadaan dan penataan rumah yang tidak memenuhi syarat mempunyai


risiko sebesar empat kali untuk menderita penyakit leptospirosis dibandingkan
responden dengan kondisi rumah yang memenuhi syarat. Pembuangan limbah
yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan risiko pajanan sebesar dua
kali dibandingkan dengan pembuangan limbah yang memenuhi syarat
terhadap kejadian kasus leptospirosis. Kasus leptospirosis berisiko terjadi dua
kali lipat pada kelompok sosio-ekonomi rendah dibandingkan dengan sosio-
ekonomi baik atau cukup. (Supraptono et al, 2011).

2.1.4 Diagnosis
Diagnosis leptospirosis dapat dilakukan oleh beberapa metode yaitu
microscopic agglutination test (MAT), deteksi DNA oleh polymerase chain
reaction (PCR), isolasi mikroorganisme dengan metode kultur, atau deteksi
antibodi pada mikrooganisme. Isolasi Leptospira ssp. dari sampel mempunyai
sensitivitas diagnostik yang rendah, memerlukan keahlian khusus, dan
membutuhkan waktu terlalu lama untuk menentukan pengobatan yang tepat.
Antigen dapat dideteksi secara histologi, histokimia, immunostaining
techniques, dan Leptospira DNA oleh PCR. Sayangnya, semua tes ini tidak
sesuai dengan penggunaan laboratorium rutin,karena limitasi teknik dan
sensitivitas yang rendah. MAT digunakan untuk tes imunologi, dan
mendeteksi immunoglobulin M (IgM) dan immunoglobulin (IgG). Namun,
pemeriksan ini memerlukan keahlian teknis yang tinggi. (Niloofa et al, 2015).
Pemeriksaan yang sering digunakan adalah MAT dan IgM ELISA. Tes MAT
menjadi gold standard untuk diagnosis leptospirosis. (Ahmed et al, 2015). Commented [DW18]: 2015 atau 2012?
Media kultur yang sering digunakan adalah Ellinghausen-
McCullough-Johnson-Harris (EMJH). Isolasi leptospira tergantung dari
sampel dan tahap penyakit. Pada fase leptospiremia, bahan sampel yang
paling sesuai adalah darah. Darah harus dikultur pada 10 hari pertama sakit
dan belum diberikan antibiotik. Pada fase leptospiruria, sampel yang
digunakan adalah urin. Urin harus diinokulasi ke medium dalam waktu dua
jam setelah berkemih dan sampel urin harus di netralisasi dengan sodium
bikarbonat. (Khaki, 2015).
MAT dilakukan dengan cara serum penderita direaksikan dengan
suspensi antigen serovar leptospira hidup atau mati. Setelah diinkubasi reaksi
antigen-antibodi diperiksa dibawah mikroskop lapang gelap untuk melihat
aglutinasi. Batas akhir pengenceran yang dipakai adalah pengenceran serum
tertinggi yang memperlihatkan 50% aglutinasi. (Ramadhani et al, 2015).
Kriteria standar untuk hasil MAT yang positif adalah kenaikan titer antibodi
empat kali lipat, atau konversi dari seronegativitas menjati titer 1/100 atau
1/200 (Khaki, 2015).
PCR telah digunakan untuk mendeteksi leptospira dari sampel
klinis manusia selama lebih dari 20 tahun. Leptospira dapat dideteksi dalam
darah selama fase akut, fase leptospiremia. Bakteri juga dapat dideteksi pada
cairan tubuh lainnya (mis. urin, cairan serebrospinal, dan aqueos humor)
beberapa hari setelah gejala muncul. Antibodi anti-leptospira dapat dideteksi
sekitar hari ke 5-7 saat sakit, dan bakteremia akan menurun. Namun, durasi
leptospiremia tidak terdefinisi dengan baik dan penelitian telah melaporkan
deteksi asam nukleat Leptospira di hari ke 22 saat sakit.
Banyak diagnostik molekuler yang telah dikembangkan, termasuk
PCR konvensional konvensional dan PCR real-time (rtPCR), PCR reverse-
transkripsi (RT-PCR), dan metode amplifikasi isotermal. Tes telah dirancang
untuk menargetkan housekeeping gene, yang umum untuk semua spesies
Leptospira (16Srrs, secY, gyrB), atau gen spesifik spesies patogen (misalnya
lipL32, lfb1) (Waggoner et al, 2017).
Identifikasi dan karakterisasi komponen membran luar spesies
Leptospira sangat kompleks. Namun demikian, beberapa protein
transmembran, lipoprotein dan protein membran perifer telah ditentukan.
Dengan letaknya yang strategis, protein membran luar (OMP's) ini penting
dalam penelitian karena bertanggung jawab atas interaksi antara patogen dan
hospes. (Patricia et al, 2014). OmpL1, transmembran Omp dengan 320 asam
amino residu, adalah porin yang diekspresikan oleh semua tes leptospira
patogenik. (Dong et al, 2008). Namun, keragaman urutan gen OmpL1 dari
berbagai Leptospira spp. patogenik dan distribusi dari gen OmpL1 pada isolat
vaksin dan klinis belum dapat dikarakteristikkan. (Dezhbord et al, 2014).
Hasil penelitian Dezhbord et al, DNA genomik yang menyandi
OmpL1 berhasil diekstraksikan dari serovar patogen dan saprofit karena
OmpL1 dapat diamplifikasi dari sediaan DNA genomik. DNA digunakan
sebagai template untuk amplifikasi OmpL1 oleh gradient PCR dan suhu anil Commented [DW19]: ?

berada pada 52°C. (Dezhbord et al, 2014).


2.2 Kerangka Teori

Faktor resiko

Pekerja

Infeksi Leptospira
Lingkungan Gejala
pada Manusia

Imunitas Diagnosis

Urin Darah

PCR Kultur MAT

Gen
EMJH
OmpL1
2.3 Kerangka Konsep

Pekerja dengan Diagnosis dengan


Infeksi Leptospira
Resiko Tinggi Sampel Urin

PCR Kultur

Gen dengan
EMJH
OmpL1 Sampel
Urin
2.4 Perumusan Hipotesis
1. H0 : PCR dengan gen OmpL1 dapat mendeteksi carrier pada pekerja yang
beresiko tinggi.
2. H1 : PCR dengan gen OmpL1 tidak dapat mendeteksi carrier pada pekerja
yang beresiko tinggi.

2.5 Definisi Operasional


No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Hasil Ukur Skala
Ukur Ukur
1. Pekerja Orang dengan Wawancara Kuisioner Pekerja yang Ordinal
berisiko jenis pekerjaan menggunakan alat
tinggi yang pengaman namun
memungkinkan masih berpotensi untuk
kontak dengan terpapar, ataupun yang
lingkungan yang tidak menggunakan
tercemar kuman alat pengaman Commented [DW20]: Hasil ukur seharusnya berupa
leptospira seperti kriteria dari kuesioner
tukang kebun,
petani, pekerja
rumah potong
hewan,
pembersih
selokan, pekerja
tambang maupun
dokter hewan.
(Sitorus, 2010).
2. Karier Terdapat Analisis Kultur Hasil tes (+) disertai
leptospira leptospira dalam dan PCR tanpa adanya gejala
urin, tapi tidak menandakan seseorang
menunjukkan karier leptospira
gejala.
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian identifikasi gen OmpL1 leptospira pada urin pekerja ini merupakan
penilitian deskriptif analitik yang menggunakan pengujian mikrobiologi pada
kultur dan PCR. Commented [DW21]: Langsung saja.. penelitian ini
termasuk jenis deskriptif analitik
3.2 Rancangan Penelitian
Urin pekerja yang berisiko terkena leptospira dikultur menggunakan medium
EMJH dan diidentifikasi gen OmpL1 dengan menggunakan PCR. Commented [DW22]: Diganti penelitian menggunakan
pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan
3.3 Populasi dengan pemeriksaan urin secara kultur dan PCR dengan
disertai pengisian kuesioner
Populasi dalam penelitian ini adalah Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana
Umum (PPSU) di Kecamatan Cempaka Putih sebanyak 15 orang yang
mempunyai faktor resiko tinggi terinfeksi Leptospira dan dalam keadaan sehat. Commented [DW23]: Faktor resiko yang seperti apa?

3.4 Sampel
Sampel yang digunakan adalah urin dari pekerja PPSU Kecamatan Cempaka
Putih sebanyak 15 orang. Commented [DW24]: Masukkan kriteria inklusi dan
eksklusi
3.5 Cara Penetapan Sampel
Penetapan sampel secara acak dari petugas PPSU di Kecamatan Cempaka Putih.
3.6 Penetapan Besar Sampel
Kuota sampling sebanyak 15 orang. Commented [DW25]: Tulis dengan kalimat lengkap

3.7 Jenis Data


Data primer Commented [DW26]: Tulis dengan kalimat lengkap

3.8 Cara Pengumpulan dan Pengukuran Data


Sampel urin ditanam pada media EMJH dikombinasikan dengan neomisin
atau 5-fluorouracil. Pada media ini, pertumbuhan akan terlihat dalam beberapa
hari sampai 4 minggu dan dapat dilihat dengan menggunakan mikrpskop lapang
gelap. (Rampengan, 2016).
DNA diekstraksi sebanyak 1 mL di setiap kultur yang telah terisolasi oleh
strain dan dikontrol dengan menggunakan QIAamp® DNA Mini Kit (QIAGEN
Inc., USA). Konsentrasi total dan kemurnian DNA diukur oleh spektrofotometri
menggunakan penyerapan cahaya pada 260 dan 280 nm (A260 / 280). DNA
dianggap berkualitas baik dengan kisaran = ~ 1,8 - 2,0. PCR dilakukan dengan
tujuan menargetkan gen OmpL1 (960bp). Primer yang digunakan ada dua pasang
yaitu forward primer OmpL1 (5’-TTG ATT GAA TTC TTA GAG TTC GTG
TTT ATA-3’) dan dikombinasikan dengan reverse primer OmpL1 (5’-AAG GAG
AAG CTT ATG ATC CGT AAC ATA AGT-3’). PCR dilakukan sebagai
berikut: 94˚C selama 5 menit, forty cycles pada 94˚C selama 15 detik; annealing
pada 56˚C untuk 35 detik, extension pada 72˚C untuk 40 detik. Produk PCR
dipisahkan pada gel agarose 2%, diwarnai dengan etidium bromida dan diperiksa
dengan sinar ultraviolet (Patricia et al, 2014).

3.9 Instrumen Pengumpulan Data


Pot urin, inkubator, medium EMJH, mikroskop lapang gelap, object glass,
cover glass, mikropipet, DNA Isolation Kit, Thermocycler. Commented [DW27]: Tambahkan elektroforesis dan UV
illuminator
3.10 Analisa Data
Dilakukan secara kualitatif. Commented [DW28]: Sebaiknya ditulis lengkap.. data
dianalsis secara kualitatif
3.11 Alur Penelitian

Penentuan Tema Penilitian

Pembuatan Proposal dan Revisi

Sidang Proposal dan Revisi

Izin Etik

Pelaksanaan Penelitian dan


Pengolahan Data

Ujian Hasil Penelitian dan Revisi

Penyerahan Laporan Penelitian


dan Manuskrip Publikasi
3.12 Jadwal Penilitian

Tahun 2019
Kegiatan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov
Penyusunan
Proposal
Revisi Proposal
Ujian Proposal
Pengumpulan Data
Pengolahan dan
Analisis Data
Penyusunan
Laporan Skripsi
Ujian Skripsi
Revisi Skripsi

Anggaran

No. Alat dan Bahan Harga Jumlah Biaya Total


1. Medium EMJH Rp20.000,00 15 Rp300.000
2. Thermocycler Rp60.000.000 1 Rp60.000.000 Commented [DW29]: hapus
3. Primer DNA Rp250.000 1 Rp250.000
4. Pot Urin Rp5.000 15 Buah Rp75.000
5. DNA Isolation Kit Rp6.000.000 1 Rp6.000.000
6. Polymerase Rp500.000 1 Rp500.000
7. Cover Glass Rp30.000 1 Box Rp30.000
8. Objek glass Rp70.000 1 Box Rp70.000
9. DNA Ladder Rp1.000.000 1 Rp1.000.000
10. 10% TAE Buffer Rp1.600.000 1 Rp1.600.000
11. Pengambilan sampel Rp30.000 15 Orang Rp450.000
Total Rp70.275.000
Sumber : Commented [DW30]: tulis dengan daftar pustaka

1. Ahmed, A. Grobusch, MA. Klatser, PR. Hartskeerl, RA. 2012. Molecular


Approaches in the Detection and Characterization of Leptospira. J Bacteriol
Parasitol, 3(2). doi:10.4172/2155-9597.1000133.
2. Amin, LZ. 2016. Leptospirosis. CDK-243, 43(8): pp.576-580.
3. Brito, TD. Silva, AM. Abreu, PA. 2018. Pathology and Pathogenesis of
Human Leptospirosis: a commented review. Rev Inst Med Trop São Paulo
;60:e23.
4. Dezhbord, M. Esmaelizad, M. Khaki, P. Fotohi, F. Moghaddam, AZ. 2014.
Molecular identification of the OmpL1 gene within Leptospira interrogans
standard serovars. J Infect Dev Ctries, 8(6): pp.688-693.
5. Dong, H. Hu,Y. Xue, F. Sun, D. Ojcius, DM. Mao, Y. Yan, J. 2008.
Characterization of the OmpL1 gene of pathogenic Leptospira Species in
China and Cross-Immunogenicity of the OmpL1 Protein. BMC Microbiology,
8:223. doi:10.1186/1471-2180-8-223.
6. Fernandes, LGV. Vieira, ML. Kirchgatter, K. Alves, IJ. De Morais, ZM.
Vasconcellos, SA. Romero, EC. Nascimento, AL.2012. OmpL1 is an
Extracellular Matrix- and Plasminogen-Interacting Protein of Leptospira spp.
Infection and Immunity, 80(10) : 3679-3692. Commented [DW31]: tidak ada sitasi di artikel

7. Haake, DA. dan Levett, PN. 2015. Leptospirosis is Humans. Curr Top
Microbiol Immunol, 387: pp.65-97.
8. Handoyo, D. Rudiretna, A. 2001. Prinsip Umum dan Pelaksanaan Polymerase
Chain Reaction (PCR). Unitas, Vol. 9, No. 1: 17-29. Commented [DW32]: tidak ada sitasi di artikel

9. Jawetz, E. Melnick, JL. Adelberg, EA. 2013. Medical Microbiology 27th


edition. Mc Graw Hill: New York. Commented [DW33]: jawetz bukan penulis/author

10. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Profil Kesehatan Indonesia


Tahun 2017. Penerbit: Kementrian Kesehatan RI.
11. Khaki, P. 2016. Clinical Laboratory Diagnosis of Human Leptospirosis. Int J
Enteric Pathog, 4(1):e31859. doi:10.17795/ijep31859.
12. Khumairoh, I. Puspitasari, IM. 2017. Kultur Sel. Farmaka Suplemen, Vol 14,
No 2: 98 – 110. Commented [DW34]: tidak ada sitasinya di artikel

13. Kusmiyati. Noor, SM. Supar. 2005. Leptospirosis pada Hewan dan Manusia.
Wartazoa, Vol. 15 No. 4.
14. Mohammed, H. Nozha, C. Abdelaziz, F. Rekia, B. 2011. LEPTOSPIRA :
Morphology, Classification and Pathogenesis. J Bacteriol Parasitol 2:120.
doi:10.4172/2155-9597.1000120.
15. Niloofa, R. Fernando, N. De Silva, NL. Karunanayake, L. Wickramasinghe,
H. Dikmadugoda, N, et al. 2015. Diagnosis of Leptospirosis: Comparison
between Microscopic Agglutination Test, IgM-ELISA and IgM Rapid
Immunochromatography Test. PloS ONE, 10(6): e0129236.
doi:10.1371/journal.pone.0129236.
16. Patricia, HR. Arlen, GR. Monica, B. Gladys, Q. 2014. Identification of ompL1
and lipL32 Genes to Diagnosis of Pathogenic Leptospira spp. Isolated from
Cattle. Open Journal of Veterinary, 4: 102-112. https://file.scirp.org/Html/5-
2280151_46270.htm (Diakses tanggal 12 Desember 2018).
17. Ramadhani, T. Widyastuti, D. Priyanto, D. 2015. Determinasi Serovar Bakteri
Leptospira pada Reservoir di Kabupaten Banyumas. Jurnal Ekologi
Kesehatan, Vol. 14 No. 1 :8 – 16.
18. Rampengan, NH. 2016. Leptospirosis. Jurnal Biomedik, Vol. 8 No. 3: 143 –
150.
19. Rejeki DSS, Nurlaela S and Octaviana D. 2013. Pemetaan dan Analisis Faktor
Resiko Leptospira. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 8, No. 4.
20. Setiati S, et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi VI.
Penerbit: InternaPublishing.
21. Shivakumar, S. 2018. Guidelines for the Diagnosis of Human Leptospirosis.
Ind. J. Vet. & Anim. Sci. Res., 47(2): 1253 – 1266.
22. Sitorus, Hotnida. 2010. Leptospirosis Tanggap Terhadap Perubahan
Lingkungan.
http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/spirakel/article/view/6117/469
9 (Diakses tanggal 10 Desember 2018).
23. Supraptono, B. Sumiarto, B. Pramono, D. 2011. Interaksi 13 Faktor Risiko
Leptospirosis. Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 27 No. 2 : 55 – 65.
24. Tanzil K. 2012. Ekologi dan Patogenitas Kuman Leptospira. Widya, Tahun 29
nomor 324.
25. Tilahun, Z. Reta, D. Simenew, K. 2013. Global Epidemiological Overview of
Leptospirosis. Int. J. Microbiol. Res., 4(1): 09 – 15.
26. Waggoner JJ and Pinsky BA. 2016. Molecular Diagnostics for Human Commented [DW35]: 2016 atau 2017. Sitasi di artikel
2017
Leptospirosis. Curr Opin Infect Dis, 29(5): 440-445.
27. Yang, C. 2017. Leptospirosis Renal Disease : Emerging Culprit of Chronic
Disease Unknown Etiology. Nephron,138: 129-136.

Anda mungkin juga menyukai