SKRIPSI
Leptospirosis sering terjadi di iklim hangat terutama daerah tropis dan subtropis.
Wabah leptospirosis terjadi setelah adanya angin ribut dan banjir di beberapa tempat
seperti Nicaragua, Brazil, Thailand, Sri Lanka, dan India. Antara 2007 sampai 2013,
peringatan global dari surveilans leptospirosis yang dibuat oleh HealthMap database
menyatakan bahwa dari 787 peringatan global, lebih dari setengahnya terjadi di
wilayah Amerika (63%). Peringatan ini meningkat terutama di Brazil (18%),
Nicaragua (6%), dan Argentina (5%). Wilayah dengan persentase peringatan tertinggi
kedua adalah Pasifik Barat (15%), diikuti oleh Asia Tenggara (14%) dan Eropa (8%).
(Yang, 2017).
Di Indonesia terdapat 6 provinsi yang melaporkan adanya kasus leptospirosis
yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan
Banten. Data Departemen Kesehatan pada tahun 2017 menunjukkan kasus
leptospirosis yang meningkat drastis pada tahun 2016 sebanyak 830 kasus, kembali
menurun pada tahun 2017, yaitu sebanyak 640 kasus. (Kemenkes RI, 2018).
Faktor risiko lingkungan fisik terkait sebaran leptospirosis antara lain
pemukiman, area luasan banjir, curah hujan, tekstur tanah, dan kelembapan. Faktor
perilaku yang terbukti berhubungan dengan kejadian leptospirosis antara lain riwayat
kontak dengan tikus, hewan peliharaan seperti kerbau, sapi, perawatan luka,
penggunaan alat pelindung diri, kebiasaan mandi atau mencuci di sungai. (Rejeki et
al, 2013). Pekerja yang melibatkan hewan yang terinfeksi, air, dan tanah yang
terkontaminasi pada pekerjaannya dapat menjadi faktor resiko dari perkembangan
leptospirosis. Manusia adalah accidental hosts dan seringkali ditemukan leptospira
pada urin dalam periode yang singkat. Studi dari leptospira yang berkolonisasi di
ginjal dan tidak bergejala pada manusia menunjukkan bahwa ekskresi dari leptospira
dapat terjadi lebih dari setahun. Selain itu, ada spekulasi bahwa di daerah dengan
penularan penyakit yang tinggi, manusia dapat mengembangkan beberapa
karakteristik klinis dan serologis dari urin pada pasien karier asimptomatik. (Brito et
al, 2018).
Diagnosis leptospirosis dapat dilakukan oleh beberapa metode yaitu
microscopic agglutination test (MAT), deteksi DNA oleh polymerase chain reaction
(PCR), isolasi mikroorganisme dengan metode kultur, atau deteksi antibodi pada
mikrooganisme. (Niloofa et al, 2015). Pemeriksaan yang sering digunakan adalah
MAT dan IgM ELISA. Tes MAT menjadi gold standard untuk diagnosis
leptospirosis. Kekurangan dari pemeriksaan serologi adalah anti-Leptospira
antibodies hanya bisa didedeteksi pada fase akut akhir. (Ahmed et al, 2012).
Leptospira dapat dideteksi dalam darah selama fase akut, fase leptospiremia.
Bakteri juga dapat dideteksi pada cairan tubuh lainnya (mis. urin, cairan
serebrospinal, dan aqueos humor). Banyak diagnostik molekuler yang telah
dikembangkan, termasuk PCR konvensional konvensional dan PCR real-time
(rtPCR), PCR reverse-transkripsi (RT-PCR), dan metode amplifikasi isotermal. Tes
telah dirancang untuk menargetkan housekeeping gen, yang umum untuk semua
spesies Leptospira (16Srrs, secY, gyrB), atau gen spesifik spesies patogen (misalnya
lipL32, lfb1). (Waggoner et al, 2017). Gen OmpL1 adalah genus spesifik antigen pada
permukaan Leptospira patogenik yang tidak ditemukan pada leptospira non
patogenik. Protein porin ini muncul ketika terjadinya infeksi yang menunjukkan
adanya antigen imunogenik. (Dezhbord et al, 2014).
1.1.Perumusan Masalah
2.1.1 Leptospirosis
Leptospira merupakan bakteri spirochetes yang berbentuk spiral, tipis,
fleksibel, mempunyai panjang 5–15 μm dan lebar 0.1-0.2 μm. Salah satu
ujungnya bengkok sehingga membentuk kait. Bakteri ini bersifat motil dan
paling baik dilihat dengan mikroskop lapang gelap. (Jawetz et al, 2013). Commented [DW2]: Kata2nya sama persis dengan syifa
dan muslimin. Tolong dirubah, ditulis dengan kata2
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri sendiri
leptospira yang menyerang hewan dan manusia dan dapat hidup di air tawar Commented [DW3]: Jawetz bukan nama author
Commented [DW4]: Sebaikna di paragraph kedua
selama lebih kurang 1 bulan. Kuman ini hidup dan berkembang biak di tubuh
hewan. Semua hewan bisa terjangkit, paling banyak tikus dan hewan pengerat
lainnya, selain hewan ternak, hewan peliharaan dan hewan liar pun dapat
terjangkit juga. (Ramadhani et al, 2015).
Leptospira dapat masuk melalui luka di kulit atau menembus jaringan
mukosa seperti konjungtiva, nasofaring, dan saluran genitalia. Leptospira
kemudian masuk ke dalam peredaran darah. Namun, Leptospira dapat
menetap di tubulus ginjal dan keluar bersama urin selama beberapa minggu
sampai beberapa bulan dan bahkan bisa lebih lama. Setelah jumlah Leptospira
didalam darah dan jaringan mencapai tingkat kritis, lesi karena toksin yang
dikeluarkan oleh leptospira atau komponen seluler toksinnya muncul.
Aktivitas endotoksin dilaporkan muncul pada beberapa serovar leptospira. Commented [DW5]: Bagian ini sebaiknya diganung
dengan penjelasan tentang toksin
(Mohammed et al, 2011).
Tubuh manusia akan memberikan respon imunologik, baik secara
selular maupun humoral. Leptospira dapat berada di urin sekitar 8 hari setelah
infeksi hingga bertahun-tahun. Setelah fase leptospiremia (4-7 hari), Commented [DW6]: Perulangan dari paragraph
sebelumnya. Bisa digabung dengan kalimat sebelumnya
leptospira hanya dijumpai pada jaringan ginjal dan mata. Pada fase ini,
leptospira melepaskan toksin yang menyebabkan gangguan pada beberapa
organ. Commented [DW7]: Sumber?
Commented [DW8]: Gabungkan dengan penjelasan
klinisnya
Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat
mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan
gejala-gejala klinis. Hemolisis dapat terjadi karena hemolisin yang
bersirkulasi diserap oleh eritrosit sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun di
dalam darah sudah terdapat antibodi. Diatesis perdarahan umumnya terbatas
pada kulit dan mukosa, tetapi pada keadaan tertentu terjadi perdarahan saluran
cerna atau organ vital yang dapat menyebabkan kematian. Setiap organ
penting dapat terkena dan antigen leptospira dapat dideteksi pada jaringan
yang terkena (Rampengan, 2016).
Gejala fase awal ditimbulkan karena kerusakan jaringan akibat
leptospira, sedangkan gejala fase kedua timbul akibat respons imun pejamu.
(Rampengan, 2016). Leptospirosis berat ditandai dengan disfungsi organ
termasuk hati, ginjal, paru-paru, dan otak. Kombinasi penyakit kuning dan
gagal ginjal dikenal dengan penyakit Weil (Haake et al. 2015). Penderita Commented [DW9]: Penulis hanya 2
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis leptospirosis dapat dilakukan oleh beberapa metode yaitu
microscopic agglutination test (MAT), deteksi DNA oleh polymerase chain
reaction (PCR), isolasi mikroorganisme dengan metode kultur, atau deteksi
antibodi pada mikrooganisme. Isolasi Leptospira ssp. dari sampel mempunyai
sensitivitas diagnostik yang rendah, memerlukan keahlian khusus, dan
membutuhkan waktu terlalu lama untuk menentukan pengobatan yang tepat.
Antigen dapat dideteksi secara histologi, histokimia, immunostaining
techniques, dan Leptospira DNA oleh PCR. Sayangnya, semua tes ini tidak
sesuai dengan penggunaan laboratorium rutin,karena limitasi teknik dan
sensitivitas yang rendah. MAT digunakan untuk tes imunologi, dan
mendeteksi immunoglobulin M (IgM) dan immunoglobulin (IgG). Namun,
pemeriksan ini memerlukan keahlian teknis yang tinggi. (Niloofa et al, 2015).
Pemeriksaan yang sering digunakan adalah MAT dan IgM ELISA. Tes MAT
menjadi gold standard untuk diagnosis leptospirosis. (Ahmed et al, 2015). Commented [DW18]: 2015 atau 2012?
Media kultur yang sering digunakan adalah Ellinghausen-
McCullough-Johnson-Harris (EMJH). Isolasi leptospira tergantung dari
sampel dan tahap penyakit. Pada fase leptospiremia, bahan sampel yang
paling sesuai adalah darah. Darah harus dikultur pada 10 hari pertama sakit
dan belum diberikan antibiotik. Pada fase leptospiruria, sampel yang
digunakan adalah urin. Urin harus diinokulasi ke medium dalam waktu dua
jam setelah berkemih dan sampel urin harus di netralisasi dengan sodium
bikarbonat. (Khaki, 2015).
MAT dilakukan dengan cara serum penderita direaksikan dengan
suspensi antigen serovar leptospira hidup atau mati. Setelah diinkubasi reaksi
antigen-antibodi diperiksa dibawah mikroskop lapang gelap untuk melihat
aglutinasi. Batas akhir pengenceran yang dipakai adalah pengenceran serum
tertinggi yang memperlihatkan 50% aglutinasi. (Ramadhani et al, 2015).
Kriteria standar untuk hasil MAT yang positif adalah kenaikan titer antibodi
empat kali lipat, atau konversi dari seronegativitas menjati titer 1/100 atau
1/200 (Khaki, 2015).
PCR telah digunakan untuk mendeteksi leptospira dari sampel
klinis manusia selama lebih dari 20 tahun. Leptospira dapat dideteksi dalam
darah selama fase akut, fase leptospiremia. Bakteri juga dapat dideteksi pada
cairan tubuh lainnya (mis. urin, cairan serebrospinal, dan aqueos humor)
beberapa hari setelah gejala muncul. Antibodi anti-leptospira dapat dideteksi
sekitar hari ke 5-7 saat sakit, dan bakteremia akan menurun. Namun, durasi
leptospiremia tidak terdefinisi dengan baik dan penelitian telah melaporkan
deteksi asam nukleat Leptospira di hari ke 22 saat sakit.
Banyak diagnostik molekuler yang telah dikembangkan, termasuk
PCR konvensional konvensional dan PCR real-time (rtPCR), PCR reverse-
transkripsi (RT-PCR), dan metode amplifikasi isotermal. Tes telah dirancang
untuk menargetkan housekeeping gene, yang umum untuk semua spesies
Leptospira (16Srrs, secY, gyrB), atau gen spesifik spesies patogen (misalnya
lipL32, lfb1) (Waggoner et al, 2017).
Identifikasi dan karakterisasi komponen membran luar spesies
Leptospira sangat kompleks. Namun demikian, beberapa protein
transmembran, lipoprotein dan protein membran perifer telah ditentukan.
Dengan letaknya yang strategis, protein membran luar (OMP's) ini penting
dalam penelitian karena bertanggung jawab atas interaksi antara patogen dan
hospes. (Patricia et al, 2014). OmpL1, transmembran Omp dengan 320 asam
amino residu, adalah porin yang diekspresikan oleh semua tes leptospira
patogenik. (Dong et al, 2008). Namun, keragaman urutan gen OmpL1 dari
berbagai Leptospira spp. patogenik dan distribusi dari gen OmpL1 pada isolat
vaksin dan klinis belum dapat dikarakteristikkan. (Dezhbord et al, 2014).
Hasil penelitian Dezhbord et al, DNA genomik yang menyandi
OmpL1 berhasil diekstraksikan dari serovar patogen dan saprofit karena
OmpL1 dapat diamplifikasi dari sediaan DNA genomik. DNA digunakan
sebagai template untuk amplifikasi OmpL1 oleh gradient PCR dan suhu anil Commented [DW19]: ?
Faktor resiko
Pekerja
Infeksi Leptospira
Lingkungan Gejala
pada Manusia
Imunitas Diagnosis
Urin Darah
Gen
EMJH
OmpL1
2.3 Kerangka Konsep
PCR Kultur
Gen dengan
EMJH
OmpL1 Sampel
Urin
2.4 Perumusan Hipotesis
1. H0 : PCR dengan gen OmpL1 dapat mendeteksi carrier pada pekerja yang
beresiko tinggi.
2. H1 : PCR dengan gen OmpL1 tidak dapat mendeteksi carrier pada pekerja
yang beresiko tinggi.
3.4 Sampel
Sampel yang digunakan adalah urin dari pekerja PPSU Kecamatan Cempaka
Putih sebanyak 15 orang. Commented [DW24]: Masukkan kriteria inklusi dan
eksklusi
3.5 Cara Penetapan Sampel
Penetapan sampel secara acak dari petugas PPSU di Kecamatan Cempaka Putih.
3.6 Penetapan Besar Sampel
Kuota sampling sebanyak 15 orang. Commented [DW25]: Tulis dengan kalimat lengkap
Izin Etik
Tahun 2019
Kegiatan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov
Penyusunan
Proposal
Revisi Proposal
Ujian Proposal
Pengumpulan Data
Pengolahan dan
Analisis Data
Penyusunan
Laporan Skripsi
Ujian Skripsi
Revisi Skripsi
Anggaran
7. Haake, DA. dan Levett, PN. 2015. Leptospirosis is Humans. Curr Top
Microbiol Immunol, 387: pp.65-97.
8. Handoyo, D. Rudiretna, A. 2001. Prinsip Umum dan Pelaksanaan Polymerase
Chain Reaction (PCR). Unitas, Vol. 9, No. 1: 17-29. Commented [DW32]: tidak ada sitasi di artikel
13. Kusmiyati. Noor, SM. Supar. 2005. Leptospirosis pada Hewan dan Manusia.
Wartazoa, Vol. 15 No. 4.
14. Mohammed, H. Nozha, C. Abdelaziz, F. Rekia, B. 2011. LEPTOSPIRA :
Morphology, Classification and Pathogenesis. J Bacteriol Parasitol 2:120.
doi:10.4172/2155-9597.1000120.
15. Niloofa, R. Fernando, N. De Silva, NL. Karunanayake, L. Wickramasinghe,
H. Dikmadugoda, N, et al. 2015. Diagnosis of Leptospirosis: Comparison
between Microscopic Agglutination Test, IgM-ELISA and IgM Rapid
Immunochromatography Test. PloS ONE, 10(6): e0129236.
doi:10.1371/journal.pone.0129236.
16. Patricia, HR. Arlen, GR. Monica, B. Gladys, Q. 2014. Identification of ompL1
and lipL32 Genes to Diagnosis of Pathogenic Leptospira spp. Isolated from
Cattle. Open Journal of Veterinary, 4: 102-112. https://file.scirp.org/Html/5-
2280151_46270.htm (Diakses tanggal 12 Desember 2018).
17. Ramadhani, T. Widyastuti, D. Priyanto, D. 2015. Determinasi Serovar Bakteri
Leptospira pada Reservoir di Kabupaten Banyumas. Jurnal Ekologi
Kesehatan, Vol. 14 No. 1 :8 – 16.
18. Rampengan, NH. 2016. Leptospirosis. Jurnal Biomedik, Vol. 8 No. 3: 143 –
150.
19. Rejeki DSS, Nurlaela S and Octaviana D. 2013. Pemetaan dan Analisis Faktor
Resiko Leptospira. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol. 8, No. 4.
20. Setiati S, et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi VI.
Penerbit: InternaPublishing.
21. Shivakumar, S. 2018. Guidelines for the Diagnosis of Human Leptospirosis.
Ind. J. Vet. & Anim. Sci. Res., 47(2): 1253 – 1266.
22. Sitorus, Hotnida. 2010. Leptospirosis Tanggap Terhadap Perubahan
Lingkungan.
http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/spirakel/article/view/6117/469
9 (Diakses tanggal 10 Desember 2018).
23. Supraptono, B. Sumiarto, B. Pramono, D. 2011. Interaksi 13 Faktor Risiko
Leptospirosis. Berita Kedokteran Masyarakat, Vol. 27 No. 2 : 55 – 65.
24. Tanzil K. 2012. Ekologi dan Patogenitas Kuman Leptospira. Widya, Tahun 29
nomor 324.
25. Tilahun, Z. Reta, D. Simenew, K. 2013. Global Epidemiological Overview of
Leptospirosis. Int. J. Microbiol. Res., 4(1): 09 – 15.
26. Waggoner JJ and Pinsky BA. 2016. Molecular Diagnostics for Human Commented [DW35]: 2016 atau 2017. Sitasi di artikel
2017
Leptospirosis. Curr Opin Infect Dis, 29(5): 440-445.
27. Yang, C. 2017. Leptospirosis Renal Disease : Emerging Culprit of Chronic
Disease Unknown Etiology. Nephron,138: 129-136.