Anda di halaman 1dari 10

Refarat Kepada Yth :

Divisi ERIA

BALANCED FLUID PADA ANAK SAKIT KRITIS

Penyaji : Aileen Clarissa Dauhan


Pembimbing : DR.dr. Rina A. C. Saragih, MKed(Ped), Sp.A
Pembimbing : Prof. Dr. H. Munar Lubis, Sp.A(K)
Prof. Dr. H. Chairul Yoel, Sp.A(K)
Dr. Yunnie Trisnawati, MKed(Ped), Sp.A(K)
DR. dr. Rina A.C. Saragih, MKed(Ped), Sp.A
DR. dr. Gema Nazri Yanni, MKed(Ped), Sp.A
Dr. Aridamuriany Lubis, MKed(Ped), Sp.A (K)
Dr. Badai B.Nasution, MKed(Ped), Sp.A
Dr. Indah Nur Lestari, MKed(Ped), Sp.A
Hari/Tanggal :

Pendahuluan
Cairan intravena merupakan intervensi medis yang sering dilakukan pada anak yang dirawat di
rumah sakit. Indikasi pemberian cairan intravena antara lain mengisi cairan ekstraselular (ECF),
sebagai cairan resusitasi, cairan maintenance, mengganti urine output dan insensible water loss
pada pasien yang puasa.1 Cairan intravena untuk resusitasi terbagi menjadi koloid dan kristaloid.
Pemilihan jenis cairan intravena untuk resusitasi berdasarkan fisiologis tubuh, akan tetapi dalam
praktik klinis, pemilihan cairan bergantung pada keputusan klinisi itu sendiri.2
Cairan intravena yang ideal hendaknya dapat memberikan efek yang diinginkan tanpa
adanya akumulasi pada jaringan yang berlebih, tidak mengganggu elektrolit dan keseimbangan
asam basa, sistem hematologi atau sistem imun, dan kompatibel dengan obat lainnya, dapat
dijangkau dan mudah dicari, serta memilliki jangka waktu penyimpanan yang lama. Akan tetapi,
sampai saat ini belum ada cairan yang ideal dan memenuhi semua kriteria tersebut.3
Cairan NaCl 0,9% merupakan cairan terbanyak yang digunakan untuk resusitasi ataupun
cairan maintenance. Penelitian eksperimental dan observasional pada dewasa mengatakan bahwa
resusitasi dengan cairan NaCl 0,9% memberikan efek yang buruk.3 Pemberian cairan NaCl 0,9%
dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan asidosis hiperkloremik. Penelitian eksperimental
pada hewan menunjukkan asidosis hiperkloremik dapat menyebabkan syok, menginduksi sitokin
proinflamasi dan menurunkan angka harapan hidup pada sepsis. Penelitian pada pasien dewasa di
ruang rawat intensif menunjukkan bahwa dengan penggunaan cairan yang restriksi klorida dapat
menurunkan insidensi gagal ginjal akut, akan tetapi tidak berpengaruh pada mortalitas atau lama
perawatan pasien.4

1
Cairan kristaloid lainnya adalah balanced fluid (BF), yang merupakan cairan isotonic
dengan strong ion difference (SID) mendekati SID plasma. Untuk pedoman terapi cairan saat ini
belum ada rekomendasi spesifik untuk menggunakan BF atau unbalanced fluid (UF). Beberapa
penelitian pada dewasa menunjukkan pemakaian BF akan memberikan keuntungan yang baik,
menurunkan mortalitas. Pada anak sendiri, penelitian retrospektif menunjukkan penggunaan BF
selama 72 jam untuk resusitasi anak dengan sepsis berat meningkatkan angka harapan hidup,
menurunkan kejadian gagal ginjal akut dan menurunkan tingkat pemakaian vasoaktif
dibandingkan dengan penggunaan UF.5

Tujuan penulisan refarat ini adalah untuk memaparkan penggunaan balanced fluid pada anak
sakit kritis.

Cairan Intravena
Pemberian cairan intravena pertama kali dilakukan oleh Thomas Latta pada tahun 1982 pada
pasien kolera. Pada tahun 1885, Sidney Ringer menemukan cairan ringer solution yang
mengandung sedikit kalsium, kalium, serta natrium dan klorida. Cairan ini dimodifikasi oleh
seorang paediatrician dari Amerika, Alexis Hartmann dengan penambahan natrium laktat untuk
mengobati anak dengan gastroenteritis. Hartog Hamburger mengatakan bahwa cairan NaCl 0,9%
merupakan cairan isotonik yang paling seimbang dengan komposisi elektrolit dan osmolaritas
yang mirip dengan plasma sehingga sampai saat ini banyak digunakan.6 Sedangkan koloid jenis
albumin pertama kali digunakan sebagai cairan resusitasi pasien luka bakar di Pearl Harbour pada
tahun 1941.2
Cairan intravena digunakan untuk cairan resusitasi, maintenance, ataupun intraoperatif.
Tipe cairan intravena yang diberikan dibagi menjadi dua yaitu cairan kristaloid dan cairan koloid.
Cairan kristaloid dibagi berdasarkan kandungan klorida dan buffer primernya (laktat, asetat, atau
glukonat) menjadi cairan isotonik (NaCl 0,9%), cairan yang mengandung laktat yaitu Ringer
Laktat (RL) dan Hartmann’s, serta BF(Plasma-Lyte). Sedangkan koloid merupakan cairan dengan
molekul protein besar dalam larutan kristaloid yang terbagi menjadi albumin dan semi sintetik
koloid. Penggunaan koloid ditujukan untuk meningkatkan efek pengisian volume intravaskular
dengan perbandingan 1:3 dengan kristaloid dalam usaha untuk meningkatkan hemodinamik.6
Kontroversi pemilihan cairan awalnya timbul dalam hal pemilihan koloid atau kristaloid
untuk ekspansi intravaskular. Hauser dkk mengemukan bahwa terdapat perbaikan yang lebih nyata
pada hemodinamik pada resusitasi cairan dengan koloid untuk pasien sakit kritis. Hal ini
dikarenakan pada pasien sakit kritis terdapat mekanisme kompensasi terhadap kelebihan cairan
yang menurun, sehingga mudah terjadi edema interstitial.7 Akan tetapi untuk pendapat ahli yang
mendukung untuk pemberian kristaloid sebagai cairan resusitasi mengatakan bahwa biaya dan
risiko koloid lebih tinggi. Koloid dapat keluar dan terperangkap pada ruang interstitial sehingga
menyebabkan edema. Koloid semisintetik juga dibuktikan meningkatkan risiko gagal ginjal akut

2
dan kematian dibandingkan kristaloid sehingga tidak lagi direkomendasikan sebagai pilihan utama
cairan resusitasi.6
Cairan NaCL 0,9% sebagai cairan resusitasi memiliki risiko terjadi asidosis metabolik
hiperkoremik. Hiperkloremik ini akan menyebabkan gagal ginjal akut dan meningkatkan angka
mortalitas pasien dewasa di ICU. Penelitian- penelitian yang ada untuk membandingkan
pemberian cairan NaCl 0,9% dengan BF pada dewasa dan anak tidak memberikan perbedaan
bermakna dalam mortalitas.6 Akan tetapi konsensus internasional yang dikeluarkan pada
konferensi Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) tahun 2014 mendukung penggunaan BF
sebagai pengganti NaCl 0,9% pada pasien dewasa. Hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan
intensivis dan nefrologis, begitu juga belum ada guideline yang jelas untuk penggunaan BF di
kalangan pediatrik.3

Keseimbangan Asam Basa dan Strong Ion difference (SID)


Perlu adanya pemahaman tentang mekanisme keseimbangan asam basa pada pasien sakit kritis
sebelum memberikan terapi cairan yang tepat. Persamaan Henderson-Hasselbalch masih menjadi
metode standar untuk mengintepretasikan keseimbangan asam basa.

pH = pK + log[HCO -] / (S x PCO )
1 3 2

Persamaan ini menggambarkan tekanan CO2, kadar bikarbonat plasma, dan gambaran pH plasma.
Asidosis terjadi apabila kadar ion bikarbonat menurun akibat dilusi oleh cairan salah satunya NaCl
0,9%. Selain itu dilusional asidosis dikaitkan dengan defisit basa disertai kadar ion klorida yang
tinggi.7,8
Pendekatan berbeda terhadap asam basa dikembangkan oleh Stewart pada tahun 1983.
Teorinya memaparkan adanya perhitungan terhadap variable PaCO2, Strong Ion Difference (SID),
dan asam lemah total (albumin, globulin, fosfat) terhadap pH plasma. SID merupakan perbedaan
antara seluruh muatan kation kuat plasma (natrium, potassium, magnesium, kalium) dan anion
kuat (klorida, sulfat, laktat, dan lainnya).8

3
Gambar 1. Keseimbangan asam basa Stewart8

Perbedaan dari Apparent strong ion difference (SIDa) dan effective strong ion difference (SIDe)
adalah strong ion gap (SIG) dan dikatakan sebagai anion yang tidak terukur. SIG harus dibedakan
dengan anion gap (AG). Anion gap merupakan selisih antara natrium dan kalium dengan klorida
dan HCO3-.8
Cairan kristaloid dibedakan menjadi UF dan BF berdasarkan SID cairan tersebut.
Pemberian cairan akan mempengaruhi SID plasma. Perubahan SID dapat mengganggu
keseimbangan asam basa.9 Penurunan dari SID cairan dibawah SID plasma (40mEq/L) akan
menyebabkan asidosis metabolik. Perbandingan komposisi cairan dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.10

Tabel 1. Komposisi cairan 6

4
Gambar 2. Perbandingan elektrolit dalam cairan intravena3

Kadar Natrium tinggi pada NaCl 0,9% (150 mmol/L), rendah pada cairan ringer laktat (130
mmol/L) dan darah (140 mmol/L). Kadarnya pada BF sama dengan darah. Kadar klorida tinggi
pada NaCl 0,9% (155 mmol/L), sedangkan pada ringer laktat (110 mmol/L), pada BF (125
mmol/L) dan pada darah (100 mmol/L).3

Plasma-Lyte
Balanced fluid adalah cairan isotonik dengan SID yang paling mendekati SID plasma dan
menyebabkan perubahan asam basa minimal.5 Plasma-Lyte merupakan contoh BF yang digunakan
untuk cairan resusitasi maupun maintenance.10
Plasma-Lyte 148 atau dikenal dengan Plasma-Lyte A adalah cairan kristaloid yang isotinik
non-pirogenik yang berguna untuk memberikan cairan, elektrolit dan kalori pada pasien.
Kandungan elektrolit dalam Plasma-Lyte paling mendekati plasma dibandingkan dengan cairan
Hartmann’s ataupun normosaline. Dibandingkan dengan Hartmann’s, cairan ini tidak mengandung
kalsium sehingga kompatibel dengan darah dan produk darah. Cairan Plasma-Lyte (PL) memiliki
kalori 66 kilojoule/L atau 16 kkal/L. Cairan ini dikenal dengan PL-148 dimana “148” merupakan
jumlah dari kandungan kation dalam cairan yaitu 140 mEq sodium, 5 mEq potasium dan 3 mEq
magnesium. 11
Osmolaritas adalah konsentrasi molekul solut setiap satu liter cairan. Tekanan osmotik
akan mempengaruhi osmosis molekul pada membrane semipermeable. Osmotik cairan intravena
terbaik jika diukur secara in-vivo (mOsml/kg). Osmolaritas merupakan total konsentrasi dari
molekul yang permeabel dan non permeabel, sedangkan tonisitas merupakan konsentrasi dari
molekul yang non permeabel saja. PL 148 dikatakan sebagai balanced fluid dan isotonik karena
osmolaritas in-vivonya berada dalam rentang osmolaritas plasma. Osmolaritas plasma normal
adalah 280-296 mOsmol/kg. PL-148 memiliki osmolaritas 271 mOsmol/kg untuk formula
produksi Australia dan New Zealand, dan 291 mOsmol/kg pada PL produk negara lain.11

5
Gambar 3. Plasma-Lyte 14811

Penggunaan Balance Fluid pada Anak Sakit Kritis


Pada anak sakit kritis sering terjadi gangguan metabolisme air dan elektrolit. Dalam manajemen
cairan untuk anak sakit kritis, belum ada cairan ideal hingga saat ini. Cairan NaCl 0,9% masih
merupakan cairan yang dipilih untuk resusitasi pada anak sakit kritis dalam berbagai konsensus
9
yang ada. Pemberian NaCL 0,9% dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan metabolik
asidosis hiperkloremia karena masukkan secara cepat ion klorida dibanding kadarnya di plasma,
menyebabkan peningkatan anion dalam plasma dan penurunan SID. NaCl 0,9% tidak mengandung
HCO3- ataupun anion lainnya yang dapat dimetabolisme menjadi HCO3-, sehingga peningkatan
klorida dalam plasma dan penurunan HCO3- inilah yang menyebabkan asidosis.3 Asidosis
hiperkloremia ini dapat meningkatkan kadar nitrit oksida sehingga menyebabkan vasodilatasi dan
gangguan hemodinamik pada pasien sakit kritis.12
Keadaan asidosis hiperkloremia ini akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Pada
penelitian kohort pada 4266 pasien post operasi yang mengalami hiperkloremia berkaitan dengan
peningkatan angka mortalitas dalam 30 hari.13 Pada penelitian dengan menggunakan data
elektronik skala besar oleh Shaw dkk tahun 2014, dikatakan bahwa pada pasien dengan systemic
inflammatory response syndrome (SIRS), pemberian cairan yang memberikan peningkatan kadar
klorida plasma yang rendah berkaitan dengan mortalitas yang rendah.12

6
Gambar 4. SID NaCL 0,9% dan Plasma

Gambar 5. SID plasma setelah pemberian NaCl 0,9%

Balanced kristaloid memiliki anion lain selain klorida seperti asetat, glukonat, dan malate
yang dimetabolisme cepat sehingga tidak menurunkan SID plasma secara cepat dan mencegah
asidosis metabolik.13 Beberapa peneliti awalnya memasukkan ringer laktat dalam BF, akan tetapi
kandungan natrium pada RL 140 mmol/L lebih rendah daripada cairan ekstraselular (140 mmol/L).
Kadar natrium yang lebih rendah tersebut meningkatkan risiko terjadinya edema otak dan
hiponatremi ensefalopati. BF yang sekarang memiliki kadar natrium 140 mmol/L.3
Laktat pada cairan RL dapat menyebabkan terjadinya glukoneogenesis sehingga
meningkatkan glukosa darah dan tidak direkomendasikan untuk pasien dengan diabetes mellitus.
Selain itu laktat merupakan petanda gangguan oksigenasi jaringan, sehingga pemberian laktat dari
cairan infus dapat menyebabkan kerancuan dalam pengecekan kadar laktat yang digunakan
sebagai petanda gangguan oksigenasi. BF mengandung asetat sebagai pengganti laktat sehingga
kestabilan pH darah lebih cepat dan asetat dimetabolisme di berbagai jaringan, sedangkan laktat
banyak dimetabolisme di hati.3

7
Cairan infus yang mengandung K+ tidak diberikan pada keadaan hiperkalemia. Meskipun
demikian, literatur yang ada mengemukakan BF tidak menyebabkan peningkatan K+ dalam
plasma. Hal ini disebabkan oleh 3 faktor, yaitu:3
1. Kandungan K+ dalam BF ≤ 5 mmol/L sehingga dapat terdilusi dengan cairan
ekstraselular.
2. Berlawanan dengan NaCl 0,9% yang menyebabkan asidosis hoperkloremia, BF tidak
memobilisasi K+ dari ruang intraselular ke ekstraselular. Pada keadaan metabolik
asidosis hiperkloremia, ion H+ ekstraselular akan berpindah ke intraseluar bersamaan
dengan perpindahan K+ intraselular ke ekstraselular. Hal ini tidak terjadi pada keadaan
asidosis metabolik lainnya seperti asidosis laktat atau ketoasidosis.
3. Kerusakkan ginjal jarang terjadi dengan pemberian BF

Gambar 6. Metabolisme kalium pada metabolik asidosis hiperkloremia3

Klorida diabsorpsi dan diekskresikan di ginjal. Klorida yang berlebihan dapat


menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan umpan balik tubulus glomerulus sehingga terjadi
penurunan glomerular filtration rate (GFR), penurunan aktivitas renin dan peningkatan
rangsangan terhadap angiotensin II. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah
renal, diuresis dan natriuresis. Klorida juga menyebabkan pengeluaran tromboxan dan peningkatan
sensitifitas terhadap vasokonstriktor.10
Pada penelitian tahun 2012 pada orang yang sehat, terjadi hiperkloremia pada pemberian
NaCl 0.9% dan penurunan aliran darah renal dan perfusi korteks ginjal, Pemberian infus dengan
PL tidak menyebabkan hal tersebut. Penelitian pada 1407 pasien ICU, pemberian cairan dengan

8
restriksi klorida menurunkan insiden acute kidney injury (AKI) dan kejadian terapi pengganti
ginjal. Belum ada penelitian pada anak-anak mengenai efek PL pada ginjal.10 Penelitian skala besar
tentang protocol NaCl 0,9% versus Plasma-Lyte 148 untuk terapi pada sakit kritis (SPLIT study)
masih sedang dilakukan.14
Pada sistem hematologi, pemberian normosaline pada anak sakit kritis dikatakan dapat
menyebabkan koagulopati. Hal ini disebabkan adanya dilusi, asidosis dan tidak terdapatnya
kalsium pada cairan normosaline. Pemberian BF lebih stabil untuk fungsi sel darah merah,
gangguan koagulasi dan menjaga fungsi platelet tanpa komplikasi lanjut sistem hematologi.10
Dalam sistem infeksi, hiperkloremia menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi dan
efek prositokin. Pada pasien dengan penurunan sistem imun. Terjadi peningkatan tumor nekrosis
factor, interleukin-6 dan interleukin-10. Keadaan hiperkloremia dapat meningkatkan risiko
terjadinya infeksi. Asidosis hiperkloremia juga dapat mengganggu fungsi kemotaksis leukosit dan
menurunkan fungsi makrofag. BF diteliti tidak menyebabkan gangguan imunitas.10,13
Banyak penelitian penggunaan balanced fluid pada pasien dewasa sakit kritis. Penelitian-
penelitian yang ada menunjukkan penggunaan BF menurunkan mortalitas pada pasien sakit kritis,
menurunkan kejadian asidosis dan gagal ginjal.11 Belum banyak penelitian tentang BF yang
dilakukan pada anak. Penelitian oleh Emrath dkk. di Atlanta pada pasien anak dengan sepsis
menggunakan BF menunjukkan adanya peningkatan angka harapan hidup, menurunnya prevalensi
gagal ginjal akut dan menurunkan waktu penggunaan vasoaktif.5

Kesimpulan
Pada pasien anak, pemilihan cairan intravena hendaklah berdasarkan fisiologi anak itu sendiri.
Pedoman resusitasi cairan pada anak yang ada masih menggunakan normosaline sebagai pilihan
utama. Akan tetapi berbagai penelitian menunjukkan pemberian cairan NaCl 0,9% dapat
mengganggu hemodinamik, menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremia, mengganggu sistem
hematologi dan infeksi, serta dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Melihat hal itu, saat ini
dikembangkan penggunaan balanced fluid sebagai cairan intravena yang ideal. Cairan Plasma-
Lyte 148 merupakan contoh balanced fluid yang sudah digunakan untuk anak. Cairan ini
merupakan cairan kristaloid yang isotinik non-pyrogenik yang berguna untuk memberikan cairan,
elektrolit dan kalori pada pasien. Kandungan elektrolit dalam Plasma-Lyte paling mendekati
plasma dan memiliki keuntungan lebih menjaga kestabilan pH dan elektrolit, tidak mengganggu
sistem hematologi dan imun, serta menurunkan angka kejadian gagal ginjal akut pada pasien sakit
kritis. Akan tetapi masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk penggunaan balanced fluid
sebagai cairan intravena pada pasien anak terutama pasien anak sakit kritis.

9
Daftar Pustaka
1. Choong K, Bohn D. Maintenance parenteral fluids in critically ill child. J Pediatr (RioJ).
2007; 83(2 Suppl): 3-10.
2. Myburgh JA, Mythen MG. Resuscitation fluids. N Engl J Med. 2013; 369: 1243-51.
3. Santi M, Lava SA, Camozzi P, Fiannini O, Milani GP, Simonetti GD, et al. The great fluid
debate: saline or so-called “balanced” salt solution? Italian Journal of Pediatrics. 2015;
41:47.
4. Shaw AD, Schermer CR, Lobo DN, Munson SH, Khangulov V, Hayashida DK, et al.
Impact of intravenous fluid composition on outcomes in patients with systemic
inflammatory response syndrome. Critical Care. 2015; 19:334.
5. Emrath ET, Fortenberry JD, Travers C, McCracken CE, Hebbar KB. Resuscitation with
balanced fluids is associated with improved survival in pediatric severe sepsis. Crit Care
Med. 2017; 45:1177-83.
6. Long E, Duke T. Fluid resuscitation therapy for paediatric sepsis. Journal of paediatrics
and child health. 2016; 52: 141-6.
7. Kushartono H, Setiati TE. Kristaloid dan Koloid. Dalam: Pudjiadi A, Latief A,
Budiwardana N. Buku ajar pediatri gawat darurat. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2013. h.153-60.
8. Guidet B, Soni N, Rocca GD, Kozek S, Vallet B, Annane D, et al. A balanced view of
balanced solutions. Critical Care. 2010; 14: 325.
9. Kushartono H. Tatalaksana cairan dan elektrolit. Dalam: Lubis M, Yanni GN, SIlaen JC,
Yuwanita N, Lestari LN, Hadinata F, Pujiastuti IT, editor. Stabilization of the critically ill
children. Medan: USU Press, 2014. h.57-62.
10. Allen SJ. Fluid therapy and outcome: Balance is best. JECT. 2014; 46: 28-32.
11. Weinberg L, Collins N, Mpurik KV, Tan C, Bellomo R. Plasma-Lyte 148: A clinical
review. WJCCM. 2016: 5(4): 235-50.
12. Raghunathan K, Neiler P, Konoske R. What is the ideal crystalloid. Curr Opin Crit Care.
2015; 21: 309-14.
13. Russel L, Mc Lean AS. The ideal fluid. Curr Opin Crit Care. 2014; 20: 360-36.
14. Reddy SK, Bailey MJ, Beasley RW, Bellomo R, Handerson SJ, Mackle DM, et al. A
protocol for the 0,9% saline versus Plasma-Lyte 148 for intensive care fluid therapy
(SPLIT) study. Crit Care Resusc. 2014; 16: 274-9.

10

Anda mungkin juga menyukai