Anda di halaman 1dari 48

PROPOSAL PENELITIAN

GAMBARAN KADAR NATRIUM DAN KALIUM PADA DIARE ANAK USIA


TODDLER DI RS.SITI KHODIJAH SEPANJANG SIDOARJO

Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Analis Kesehatan (A.Md.Kes)


Pada program studi Analis Kesehatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surabaya

Oleh :

DHIKA NOVITA
NIM.20170662095

PROGRAM STUDI D3 ANALIS KESEHATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan riset dari tahun ke tahun diare merupakan penyebab kematian

utama yang terjadi pada balita di Indonesia. Kematian oleh karena diare merupakan

dehidrasi sebagai akibat kehilangan air dan elektrolit melalui tinja yang tidak diganti

secara seimbang (Jurnal Kedokteran Methodist, 2017). Dehidrasi memicu gangguan

kesehatan, mulai dari gangguan ringan seperti mudah mengantuk, hingga penyakit

berat seperti penurunan fungsi ginjal. Pada awalnya anak akan merasa haus karena

telah terjadi dehidrasi ringan. Bila tidak ditolong, dehidrasi tambah berat dan timbulah

gejala-gejala. Karena itu, pengobatan awal untuk mencegah dan mengatasi keadaan

dehidrasi sangat penting pada anak dengan diare (Yusuf, 2015).

Insidensi diare nasional hasil Survei Morbiditas penyakit diare pada tahun 2014

yaitu sebesar 270/1.000 penduduk, Maka diperkirakan jumlah penderita diare di

fasilitas kesehatan pada tahun 2016 sebanyak 6.897.463 orang, Sedangkan jumlah

penderita diare yang dilaporkan ditangani di fasilitas kesehatan adalah sebanyak

3.198.411 orang atau 46,4% dari target (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2016).

Penyakit diare yang dapat diobati di Kota Surabaya pada tahun 2015 adalah 65.447

kasus dari total 60.960 perkiraan kasus yang ditemukan (Profil Kesehatan Kota

Surabaya, 2016).

Diare merupakan buang air besar yang terjadi pada bayi dan anak yang

sebelumnya nampak sehat, dengan frekuensi tiga kali atau lebih per hari, disertai

perubahan tinja menjadi cair, dengan atau tanpa lendir dan darah. Apabila pada diare

pengeluaran cairan melebihi pemasukan maka akan terjadi defisit cairan tubuh, maka
akan terjadi dehidrasi. Berdasarkan derajat dehidrasi maka diare dapat dibagi menjadi

diare tanpa dehidrasi, diare dehidrasi ringan sedang dan diare dehidrasi berat. Pada

dehidrasi berat terjadi defisit cairan sama dengan atau lebih dari 10% berat badan.7

Anak dan terutama bayi memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita dehidrasi

dibandingkan orang dewasa (Yusuf, 2015).

Bayi dan anak (terutama balita) lebih rentan mengalami dehidrasi karena

komposisi air tubuh lebih banyak, fungsi ginjal belum sempurna dan masih

bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuhnya, selain itu

penurunan berat badan juga relatif lebih besar. Pada anak yang lebih tua, tanda

dehidrasi lebih cepat terlihat dibandingkan bayi karena kadar cairan ekstrasel lebih

rendah . Menentukan derajat dehidrasi pada anak juga dapat menggunakan skor

WHO, dengan penilaian keadaan umum, kondisi mata, mulut dan turgor (Pringle K,

dkk, 2011).

Pada dehidrasi terjadi keseimbangan negatif cairan tubuh akibat penurunan

asupan cairan dan meningkatnya jumlah air yang keluar (lewat ginjal, saluran cerna

atau insensible water loss/IWL), atau karena adanya perpindahan cairan dalam tubuh.

Berkurangnya volume total cairan tubuh menyebabkan penurunan volume cairan

intrasel dan ekstrasel. Manifestasi klinis dehidrasi erat kaitannya dengan deplesi

volume cairan intravaskuler. Proses dehidrasi yang berkelanjutan dapat menimbulkan

syok hipovolemia yang akan menyebabkan gagal organ dan kematian (Leksana,

2015).

Sebagian besar komplikasi yang terjadi pada gastroenteritis berhubungan

dengan keterlambatan diagnosis dan pemberian terapi yang tidak tepat. Dehidrasi

berlanjut menjadi gangguan elektrolit dan asidosis metabolik merupakan komplikasi

tersering terjadi dan paling berbahaya. Penyakit diare dan dehidrasi berperan dalam
14%-30% kematian bayi dan balita di dunia. Berbagai jenis gangguan elektrolit yang

terjadi, seperti abnormalitas kadar natrium (Na), kalium (K), magnesium (Mg),

klorida (Cl) dan kalsium (Ca) dalam serum, berhubungan dengan peningkatan laju

mortalitas anak dengan diare. Gangguan elektrolit ini dapat tidak terdeteksi, tetapi

menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas (Damayanti,2018)

Natrium dan kalium merupakan elektrolit yang penting bagi tubuh. Kadar Na +

dan K+ dapat mengalami perubahan oleh beberapa keadaan, seperti gangguan diet,

diare,nutrisi buruk, asidosis, alkalosis, gangguan fungsi ginjal, dan lain-lain. Diare

menyebabkan hilangnya air dan elektrolit terutama Na+ dan K+ dalam jumlah besar

sehingga mengakibatkan dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit, dan gangguan

keseimbangan asam basa ( Pediatri, 2018).

Penatalaksanaan dehidrasi ditujukan untuk mengatasi defisit cairan dan

mengembalikan keseimbangan elektrolit. Terapi cairan parenteral menjadi pilihan

pada saat asupan cairan melalui ORS tidak cukup atau tidak memungkinkan. Pada

tahap awal diberikan cairan pengganti intravaskuler sampai tercapai perfusi jaringan.

Target selanjutnya adalah memulihkan volume intravaskuler dan mengembalikan

kadar natrium serum sesuai rekomendasi (Leksana, 2015). Pengukuran kadar

elektrolit serum harus dilakukan saat anak mengalami dehidrasi berat atau sedang

yang menunjukkan tanda gangguan elektrolit, seperti kejang, perut kembung, atau

kelemahan otot (Damayanti, 2018).

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik mengambil penelitian

tentang “Gambaran Kadar Natrium Dan Kalium Pada Anak Diare Usia Toddler Di

RS.Siti Khodijah Sepanjang Sidoarjo”.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari penelitian ini adalah : Bagaimana gambaran kadar

natrium dan kalium pada anak diare usisa toddler di RS.Siti Khodijah Sepanjang

Sidoarjo.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk menganalisa kadar natrium dan kalium pada anak usia toddler

1.3.2 Tujuan Khusus

1 Mengetahui kadar natrium pada anak usia toddler

2 Mengetahui kadar kalium pada anak usia toddler

1.4 Manfaat Penelitian

A. Manfaat Teoritis

Untuk menambah ilmu pengetahuan tentang kimia klinik pada mahasiswa

Universitas Muhammadiyah Surabaya khususnya mahasiswa jurusan D3

Teknisi Laboratorium Medik.

B. Manfaat Praktis

Untuk mengetahui hasil analisa kadar Na+ dan K+ paad anak diare usia

toddler.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Cairan Tubuh

2.1.1 Definisi dan Distribusi Cairan Tubuh

Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka menjaga kondisi tubuh tetap

sehat. Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh adalah merupakan salah satu

bagian dari fisiologi homeostatis. Keseimbangan cairan dan elektrolit melibatkan komposisi

dan perpindahan berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air

(pelarut) dan zat tertentu (zat terlarut). Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan

partikel-partikel bermuatan listrik yang disebut ion jika berada dalam larutan ( Wahyudi,

2015/6)

Cairan berada dalam dua kompartemen utama, yaitu di dalam sel (cairan intra sel/

CIS) yang pada orang dewasa sekitar 40% dari berat badan atau 70% dari jumlah keseluruhan

cairan tubuh, dan cairan di luar sel (cairan ekstra sel/ CES) sekitar 20% dari berat badan atau

30% dari seluruh cairan tubuh. Cairan ekstrasel termasuk didalamnya cairan intravaskuler

(plasma) sekitar 4-5% dari berat badan, dan cairan interstitial atau cairan yang berada di

antara sel termasuk cairan limfe sekitar 15% dari berat badan(modul fkp unair,2016)

Cairan tubuh dibagi dalam dua kelompok besar yaitu cairan intraselular dan cairan

ekstraselular. Cairan intraselular adalah cairan yang berada didalam sel seluruh tubuh,
sedangkan cairan ekstraselular adalah cairan yang berada diluar sel dan tediri dari tiga

kelompok yaitu cairan intavaskuler (plasma), cairan interstitial dan cairan transeluler. Cairan

intravaskuler (plasma) adalah cairan didalam system vascular, cairan intersial adalah cairan

yang terletak diantara sel, sedangkan cairan seluler adalah cairan sekresi khusus seperti cairan

serebrospinal, cairan intraokuler, dan sekresi saluran cerna (Hardiman, 2015).

CAIRAN INTRASELULER:

40 %

CAIRAN TUBUH:
MEMBRAN SEL
60 %

CAIRAN
EKSTRASELULER:

20%

CAIRAN INTERSTISIAL: PLASMA DARAH:


15 % 5%

Gambar 2.1 Distribusi cairan Tubuh

Membran sel bagian luar memegang peranan penting dalam mengatur volume dan

komposisi intraselular. Pompa membran-bound ATP-dependent akan mempertukarkan Na

dengan K dengan perbandingan 3:2.Oleh karena membran selrelatif tidak permeable terhadap

ion Na dan ion K, oleh karenanya potasium akan dikonsentrasikan di dalam sel sedangkan

ion sodiumakandikonsentrasikan di ekstra sel. Potasiumadalah kation utama ICF dan anion

utamanya adalah fosfat. Akibatnya, potasium menjadi faktor dominant yang menentukan

tekanan osmotik intraselular, sedangkan sodium merupakan faktor terpenting yang

menentukan tekanan osmotik ekstraselular. Impermeabilitas membran sel terhadap protein


menyebabkan konsentrasi protein intraselular yang tinggi. Oleh karena protein merupakan zat

terlarut yang nondifusif (anion), rasio pertukaran yang tidak sama dari 3 Na+ dengan 2 K+

oleh pompa membran sel adalah hal yang penting untuk pencegahan hiperosmolalitas

intraselular relativ. Gangguan pada aktivitas pompa Na-K-ATPase seperti yang terjadi pada

keadaan iskemi akan menyebabkan pembengkakan sel. (modul pembelajaran fkp unair, 2016)

Gambar 2.2 Cairan Intraseluler dan hubunganngya dengan cairan ekstraseluler

Sumber: Porth CM,2011,Essentials ofPathophysiology.3rded.Philadelphia,PA,Lippincott

William & Wilkins; 160

Fungsi dasar dari cairan ekstraselular adalah menyediakan nutrisi bagi sel dan

memindahkan hasil metabolismenya. Keseimbangan antara volume ektrasel yang normal

terutama komponen sirkulasi (volume intravaskular) adalah hal yang sangat penting. Oleh

sebab itu secara kuantitatifsodium merupakan kation ekstraselular terpenting dan merupakan
faktor utama dalam menentukan tekanan osmotik dan volume sedangkan anion utamanya

adalah klorida (Cl-), bikarbonat (HCO3- ). Perubahan dalam volume cairan ekstraselular

berhubungan dengan perubahan jumlah total sodium dalam tubuh. Hal ini tergantung

darisodium yang masuk, ekskersisodium renal dan hilangnya sodium ekstra renal (Modul

FKP Unair, 2016)

Gambar 2.3 Ilustrasi letak cairan ekstraseluler, intraseluler, dan interstisial

Sumber: SanchezElla,2012,Nutrients involvedin Fluid and Electrolyte balance and In Depth

Ch.7, Hudson, Pearson Education

Normalnya sebagian kecil cairan interstisial dalam bentuk cairan bebas. Sebagian

besar air interstisial secara kimia berhubungan dengan proteoglikan ekstraselular membentuk

gel. Pada umumnya tekanan cairan interstisial adalah negatif (kira-kira -5 mmHg). Bila

terjadi peningkatan volume cairan iterstisial maka tekanan interstisial juga akan meningkat

dan kadang-kadang menjadi positif. Pada saat hal ini terjadi, cairan bebas dalam gel akan

meningkat secara cepat dan secara klinis akan menimbulkan edema. Hanya sebagian kecil

dari plasma protein yang dapat melewati celah kapiler, oleh karena itu kadar protein dalam
cairan interstisial relatif rendah (2 g/dl). Protein yang memasuki ruang interstisial akan

dikembalikan ke dalam sistim vaskular melalui sistim limfatik (Modul FKP Unair, 2016).

Gambar 2.4 Cairan Interstisial, cairan intravaskuler dan proses transport aktif

Sumber: http://plasmacirculation.org/

Cairan intravaskular terbentuk sebagai plasma yang dipertahankan dalam ruangan

intravaskular oleh endotel vaskular. Sebagian besar elektrolit dapat dengan bebas keluar

masuk melalui plasma dan interstisial yang menyebabkan komposisi elektrolit keduanya yang

tidak jauh berbeda. Bagaimanapun juga, ikatan antar sel endotel yang kuat akan mencegah

keluarnya protein dari ruang intravaskular. Akibatnya plasma protein (terutama albumin)

merupakan satu-satunya zat terlarut secara osmotik aktif dalam pertukaran cairan antara

plasma dan cairan interstisial. Peningkatan volume ekstraselular normalnya juga

merefleksikan volume intravaskular dan interstisial. Bila tekanan interstisial berubah menjadi

positif maka akan diikuti dengan peningkatan cairan ekstrasel yang akan menghasilkan

ekspansi hanya pada kompartemen cairan interstisial. Pada keadaan ini kompartemen

interstisial akan berperan sebagai reservoir dari kompartemen intravaskular. Hal ini dapat

dilihat secara klinis sebagai edema jaringan. Distribusi cairan pada tiap kompartemen yang
dihubungkan dengan berat badan pada berbagai kelompok usia dapat dilihat pada table 1.

(Modul FKP Unair, 2016)

Table 1 Prosentase rata-rata cairan tubuh dihubungkan dengan berat badan

Kompartemen Bayi (%) Dewasa (%) Lansia (%)


Pria Wanita
Cairan
Intrasel 48 45 35 25
Ekstrasel
Intravaskuler 4 4 5 5
Interstitial 25 11 10 15
Total 77 60 55 45

2.1.2 Komposisi Cairan Tubuh

Cairan tubuh menempati kompartmen intrasel dan ekstrasel. Dua pertiga bagian

(67%) dari cairan tubuh berada di dalam sel (cairan intrasel/CIS) dan sepertiganya (33%)

berada di luar sel (cairan ekstrasel/ CES). CES dibagi cairan intravaskuler atau plasma darah

yang meliputi 20% CES atau 15% dari total berat badan, dan cairan intersisial yang mencapai

80% CES atau 5% dari total berat badan. Selain kedua kompartmen tersebut, ada

kompartmen lain yang ditempati cairan tubuh, yaitu cairan transel. Namun, volumenya

diabaikan karena kecil, yaitu cairan sendi, cairan otak, cairan perikard, liur pencernaan, dll.

Ion Na+ dan Cl- terutama terdapat pada cairan ekstrasel, sedangkan ion K+ di cairan intrasel.

Anion protein tidak tampak dalam cairan intersisial karena jumlahnya paling sedikit

dibandingkan dengan intrasel dan plasma (Kuntarti,)

Perbedaan komposisi cairan tubuh berbagai kompartmen terjadi karena adanya barier

yang memisahkan mereka. Membran sel memisahkan cairan intrasel dengan cairan intersisial,

sedangkan dinding kapiler memisahkan cairan intersisial dengan plasma. Dalam keadaan
normal, terjadi keseimbangan susunan dan volume cairan dan elektrolit antar kompartmen.

Bila terjadi perubahan konsentrasi atau tekanan di salah satu kompartmen, maka akan terjadi

perpindahan cairan atau ion antar kompartmen sehingga terjadi keseimbangan kembali

(Kuntarti,)

2.1.3 Sistem Pengaturan Cairan Tubuh

Dalam kondisi normal, cairan tubuh stabil dalam petaknya masing-masing. Apabila

terjadi perubahan, tubuh memiliki sistem kendali atau pengaturan yang bekerja untuk

mempertahankannya. Mekanisme pengaturan dilakukan melalui 2 cara, yaitu kendali osmolar

dan kendali non osmolar.

.a Kendali Osmolar Mekanisme kendali ini dominan dan efektif dalam mengatur

volume cairan ekstraseluler. Terjadi melalui:

1. Sistem osmoreseptor hipothalamus-hipofisis-ADH Osmoreseptor terletak

pada hipotalamus anterior bagian dari nukleus supra optik. Terdiri dari

vesikel yang dipengaruhi osmolaritas cairan ekstraseluler. Bila osmolaritas

cairan meningkat, vesikel akan mengeriput. Sebaliknya bila osmolaritas

cairan menurun, vesikel akan mengembang sehingga impuls yang dilepas

dari reseptor akan berkurang. Impuls ini nantinya merangsang hipofisis

posterior melepaskan ADH. Jadi semakin rendah osmolaritas suatu cairan

ekstraseluler, semakin sedikit ADH yang dilepaskan. ADH berperan untuk

menghemat air dengan meningkatan reabsorbsi (Miller, 2015).

2. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron Mekanisme pengaturannya melalui

pengaturan ekskresi Na pada urin melalui interaksi antara aktivitas ginjal

dengan hormon korteks adrenal. Lebih dari 95% Na direabsorbsi kembali

oleh tubulus ginjal. Korteks adrenal merupakan faktor utama yang menjaga

volume cairan ekstraseluler melalui hormon Aldosteron terhadap retensi Na.


Pelepasan renin dipengaruhi oleh baroreseptor ginjal. Konsep Makula lutea,

yang tergantung pada perubahan Na di tubulus distalis. Bila Na menurun,

volume tubulus menurun, sehingga mengurangi kontak makula dengan sel

arteriol. Akibatnya terjadi pelepasan renin. Renin akan membentuk

Angiotensin I di hati yang kemudian oleh converting enzim dari paru diubah

menjadi Angiotensin II sebagai vasokonstriktor dan merangsang kelenjar

supra renal menghasilkan aldosteron. Peranan Angiotensin II adalah untuk

mempertahankan tekanan darah bila terjadi penurunan volume sirkulasi dan

Aldosteron akan meningkatkan reabsorbsi Na yang menyebabkan retensi air

(Butterworth, 2013)

.b Kendali non Osmolar

Mekanisme kendali ini meliputi beberapa cara sebagai berikut:

1. Refleks “Stretch Receptor” Pada dinding atrium jantung terdapat

reseptor stretch apabila terjadi dilatasi atrium kiri. Bila reseptor ini

terangsang, maka akan timbul impuls aferen melalui jalur simpatis yang

akan mencapai hipotalamus. Kemudian akibat aktivitas sistem

hipotalamushipofisis akan disekresikan ADH (Stoelting, 2015)

2. Refleks Baroreseptor bila tekanan darah berkurang, baroreseptor karotid

akan terangsang sehingga menyebabkan impuls aferen yang melalui jalur

parasimpatis menurun. Akibatnya, terjadi hambatan efek hipotalamus

terhadap hipofisis sehingga sekresi ADH meningkat. Bila terjadi

peningkatan tekanan darah, impuls aferen akan mempengaruhi

hipotalamus yang akan menginhibisi hipofisis posterior sehingga sekresi

ADH berkurang (Miller, 2015).

2.1.4 Distribusi Pemasukan dan Pengeluran Cairan


Keseimbangan cairan tubuh adalah keseimbangan antara jumlah cairan yang masuk

dan keluar. Melalui mekanisme keseimbangan, tubuh berusaha agar cairan didalam tubuh

setiap waktu selalu berada dalam jumlah yang kosntan. Dalam keadaan normal, masukan

cairan akan dipenuhi melalui minum atau makanan yang masuk ke dalam tubuh secara

peroral, serta air yang diperoleh sebagai hasil metabolisme. Air yang keluar dari tubuh,

termasuk yang dikeluarkan sebagai urin, air didalam feses, isensibel dan air yang dikeluarkan

melalui kulit dan paru-paru6. Gambaran keseimbangan masukan dan keluaran cairan dapat

dilihat pada tabel 2.

Table 2. Keseimbangan masukan dan keluaran cairan

Masukan Keluaran
Terlihat Tak Terlihat Terlihat Tak Terlihat
Minuman 650 Urine 700
Makanan - 750 Kulit - 500
Oksigenasi - 350 Nafas - 400
Feces - 1500
650 ml 1100 ml 700 ml 1050 ml

Kebutuhan air setiap hari dapat ditentukan dengan dua cara, ditentukan berdasarkan

umur dan berat badan. Jika berdasarkan umur ditentukan dari umur 0-1 tahun memerlukan air

sekitar 120 ml/kg BB, 1-3 tahun memerlukan air sekitar 100 ml/kg BB, 3-6 tahun

memerlukan air sekitar 90 ml/kg BB, 7 tahun memerlukan air sekitar 70 ml/kg BB, dan

dewasa memerlukan sekitar 40-50 ml/kg BB. Sedangkan berdasarkan berat badan ditentukan

mulai dari 0-10 kg kebutuhan cairannya 100 ml/kg BB, 10-20 kg kebutuhan cairannya 1000

ml ditambah dengan 50 ml/kg BB (jika diatas 10 kg), dan jika diatas 20kg kebutuhan

cairannya sekitar 1500ml ditambah 20 ml/kg BB (jika diatas 20 kg), dan jika dewasa

memerlukan cairan 40-50 ml/kg BB (Mangku, 2010).

Pengeluaran cairan sebagai bagian dalam mengimbangi kebutuhan cairan pada orang

dewasa. Pengeluaran cairan ini dibagi menjadi empat proses yaitu urin, IWL (Insensible

Water Loss), keringat, dan feses. Dalam kondisi normal, output urin sekitar 1400-1500 ml per
24 jam, atau sekitar 30-50 ml per jam. Pada orang sehat kemungkinan produksi urin

bervariasi dalam setiap harinya. Bila aktivitas kelenjar keringat meningkat, maka produksi

urin akan menurun sebagai upaya tetap mempertahankan keseimbangan dalam tubuh. IWL

terjadi melalui paru-paru dan kulit, melalui mekanisme difusi. Pada orang dewasa normal,

kehilangan cairan tubuh melalui IWL berkisar 200-400 ml perhari. Tetapi, IWL akan

meningkat jika ada proses peningkatan suhu tubuh dan proses respirasi

meningkat.Pengeluaran cairan dari proses berkeringat terjadi sebagai respon terhadap kondisi

tubuh yang panas, respon ini berasal dari anterior hypothalamus, lalu impulsnya akan

ditransfer melalui sumsum tulang belakang yang dirangsang oleh susunan saraf simpatis pada

kulit.Pada pengeluaran air melalu feses, berkisar antara 1500 mL per hari, yang diatur melalui

mekanisme reabsorbsi di dalam mukosa usus besar (Waterhouse, 2012).

Untuk mengetahui imbang masukan dan keluaran cairan tubuh, dilakukan penilaian

klinis non invasive dan invansif. Untuk penilaian non invasive dilakukan pencatatan tanda

dan gejala klinis sebelum dilakukan terapi cairan, selama terapi dan sampai terapi dinyatakan

berhasil. Parameter yang dinilai adalah :

1. perubahan tingkat kesadaran (dilakukan penilaian GCS secara berkala)

2. perubahan tekanan darah dan denyut nadi normal.

3. Perubahan kimia darah dari pemeriksaan laboratorium

4. Perubahan perfusi perfusi perifer

5. Produksi urin, diusahakan produksi urin paling sedikit 0,5 ml/kg BB/jam.

Untuk penilaian invasive dilakukan pemasangan kateter vena sentral melalui vena di

lengan atas, vena subklavia, atau vena jugularis. Kanulasi ini disamping untuk mengukur

tekanan vena sentral juga digunakan untuk jalur infus jangka panjang dan nutrisi parenteral.

Apabila dilakukan kanulasi vena sentral, bisa digunakan sebagai penuntun dalam program

terapi cairan, terutama pada pasien kritis yang memerlukan terapi cairan (Mangku, 2010).
2.2 Tinjauan Tentang Elektrolit Tubuh

2.2.1 Definisi Elektrolit

Elektrolit adalah senyawa didalam larutan yang berdiosasi menjadi partikel yang

bermuatan (ion) positif atau negative. Ion bermuatan positif disebut kation dan ion yang

bermuatan negative disebut anion. Keseimbangan keduanya disebut sebagai elekronetralitas.

Sebagian besar proses metabolisme memerlukan dan dipengaruhi oleh elektrolit. Konsentrasi

elektrolit yang tidak normal dapat menyebabkan banyak gangguan. Cairan dan elektrolit

masuk kedalam tubuh melalui makanan, minuman, dan Ciaran intravena (IV) dan didistribusi

ke seluruh bagian tubuh. (Risnawati, 2012)

Setelah bergabung dengan air, elektrolit ini ada yang menjadi bermuatan listrik positif

disebut kation, yaitu: Na, K, Ca, Mg, dan bermuatan listrik negative disebut anion, yaitu: Cl

dan HCO3. Untuk mempertahankan keadaan fisiologis yang stabil rasio anion dengan kation

serta konsentrasinya di setiap kompartemen harus seimbang dan relative menetap (Modul

FKP Uniar, 2016)

Jenis elektrolit yang berada di tiap kompartemen adalah sama tetapi konsentrasinya

berbeda. Elektrolit utama di ekstrasel adalah natrium dan chloride, sedangkan elektrolit

utama intrasel adalah kalium dan fosfat. Adanya perubahan konsentrasi elektrolit dan atau

rasio anion dan kation akan menimbulkan perubahan aktivitas sel yang dapat membahayakan

kehidupan. Secara rinci komposisi elektrolit yang terdapat dalam tiap kompartemen cairan

tubuh dapat dilihat pada table 3.(Modul FKP Unair,2016)

Table 3 Komposisi elektrolit yang terdapat dalam kompartemen cairan tubuh

Elektrolit Intrasel (mEq/L) Ekstrasel (mEq/L)


Intravaskuler interstisial
Kation :
Natrium 15 142 145
Kalium 150 5 5
Calsium 2 5 3
Magnesium 27 2 1
Anion :
Chlorida 1 102 114
Bicarbonat 10 27 30
Fosfat 100 2 2
Sulfat 20 1 1
Asam Organic 0 5 8
Protein 63 16 1

2.2.2 Perpindahan Substansi antar Kompartemen

Cairan tubuh dan zat elektrolit yang terlarut didalamnya, berada dalam mobilitas yang

konstan. Ada proses menerima dan mengeluarkan cairan secara terus menerus.2 Setiap

kompartemen akan dipisahkan oleh barrier atau membran yang membatasi mereka. Setiap zat

yang akan pindah harus dapat menembus barrier tersebut. Bila substansi zat tersebut dapat

menembus berarti membran tersebut permeabel terhadap zat tersebut. Jika substansi zat tidak

dapat menembusnya, maka membran tersebut tidak permeabel terhadap zat tersebut. Jika

membran disebut dengan semi permeabel (permeabel selektif) bila beberapa partikel dapat

melaluinya tetapi partikel lain tidak dapat menembusnya (Mangku, 2010)

Perpindahan cairan dan elektrolit dibagi menjadi tiga fase yaitu pertama, cairan yang

terkandung oleh nutrisi dan oksigen diambil dari paru-paru dan saluran gastrointestinal akan

dibawa melalui pembuluh darah berpindah dari seluruh tubuh ke dalam sistem sirkulasi,

dimana cairan tersebut merupakan bagian dari cairan intravaskular. Kedua, cairan

intravaskular dan zat-zat yang terlarut didalamnya akan saling bertukar dengan cairan

interstitial melalui membran kapiler yang semipermeabel dan cairan interstitial tersebut

bertukar tempat dengan cairan intraseluler melalui membran sel yang permeabel selektif

(Waterhouse, 2012)
Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan mekanisme

transportasi aktif dan pasif. Mekanisme transportasi aktif memerlukan energi, sedangkan

mekanisme transportasi pasif tidak. Ada empat mekanisme perpindahan cairan dan elektrolit

tubuh yakni terdiri dari difusi, osmosis, filtrasi, dan transpor aktif.2 Difusi adalah gerakan

acak dari molekul yang disebabkan energi kinetik yang dimilikinya dan bertanggung jawab

terhadap sebagian besar pertukaran cairan dan zat terlarutnya antara kompartemen satu

dengan yang lain. Kecepatan difusi suatu zat melewati sebuah membran tergantung pada

permeabilitas zat terhadap membran, perbedaan konsentrasi antar dua sisi, perbedaan tekanan

antara masing-masing sisi karena tekanan akan memberikan energi kinetik yang lebih besar

dan yang terakhir potensial listrik yang menyeberangi membran akan memberi muatan pada

zat tersebut (Hines,)

Pada mekanisme osmosis, jika ada suatu substansi larut di dalam air, konsentrasi air

dalam larutan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi air dalam larutan air

murni dengan volume yang sama. Hal ini terjadi karena tempat molekul air telah ditempati

oleh molekul substansi tersebut. Jadi bila konsentrasi zat yang terlarut meningkat, konsentrasi

air akan menurun. Bila suatu larutan dipisahkan oleh suatu membran yang semipermeabel

dengan larutan yang volumenya sama namun berbeda konsentrasi dengan zat yang terlarut,

maka akan terjadi perpindahan cairan atau zat pelarut dari larutan yang memiliki konsentrasi

zat terlarut rendah ke larutan yang memiliki konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi (Miller,

2015)

Filtrasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara dua ruang yang dibatasi oleh

membran. Cairan akan keluar dari daerah yang mempunyai tekanan tinggi menuju ke daerah

yang bertekanan rendah. Jumlah cairan yang keluar akan sebanding dengan besar perbedaan

tekanan, luas permukaan membran, dan permeabilitas membran. Tekanan yang

mempengaruhi filtrasi ini disebut dengan tekanan hidrostatik (Mangku, 2010) Transport aktif
diperlukan untuk mengembalikan partikel yang telah berdifusi secara pasif dari daerah yang

konsentrasinya lebih rendah ke daerah yang memiliki konsentrasi yang lebih tinggi. Transport

aktif memerlukan energi berupa adenosin trifosfat (ATP) untuk melawan perbedaan

konsentrasi. Salah satu contohnya adalah transportasi pompa kalium dan natrium. (Khrisna,

2017).

Air melintasi membran sel dengan mudah, tetapi zat-zat lain sulit atau diperlukan

proses khusus supaya dapat melintasinya, karena itu komposisi elektrolit di dalam dan di luar

sel berbeda. Cairan intraselular banyak mengandung ion K, ion Mg dan ion fosfat, sedangkan

ekstraselular banyak mengandung ion Na dan ion Cl (Krishna, 2017)

Tekanan osmotik suatu larutan dinyatakan dengan osmol atau miliosmol/liter.

Tekanan osmotik suatu larutan ditentukan oleh banyaknya partikel yang larut dam suatu

larutan. Dengan kata lain, makin banyak partikel yang larut maka makin tinggi tekanan

osmotik yang ditimbulkannya. Jadi, tekanan osmotik ditentukan oleh banyaknya pertikel

yang larut bukan tergantung pada besar molekul yang terlarut. Perbedaan komposisi ion

antara cairan intraseluler dan ekstraseluler dipertahankan oleh dinding yang bersifat

semipermeable (Krishna, 2017). Kandungan air dalam tiap organ tidak seragam seperti

terlihat pada tabel 4

Table 4. Kandungan air dalam tiap Organ

Jaringan Presentasi Air


Otak 84
Ginjal 83
Otot Lurik 76
Kulit 72
Hati 68
Tulang 22
Lemak 10
2.2.3 Mekanisme dan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Pergerakan zat dan air di bagian-bagian tubuh melibatkan transpor pasif, yang tidak

membutuhkan energi terdiri dari difusi dan osmosis, dan transporaktif yang membutuhkan

energi ATP yaitu pompa Na-K. Osmosis adalah bergeraknya molekulmelalui membran

semipermeable dari larutan berkadar lebih rendah menuju larutan berkadar lebih tinggi

hingga kadarnya sama. Seluruh membran sel dan kapiler permeabel terhadap air, sehingga

tekanan osmotik cairan tubuh seluruh kompartemen sama. Tekanan osmotik plasma darah

ialah 270-290 mOsm/L (Mangku, 2010).

Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari

konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Difusi tergantung kepada perbedaan

konsentrasi dan tekanan hidrostatik.Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor

yang memompa ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa

ion kalium dari luar ke dalam (Butterworth, 2013).

Berikut merupakan beberapa mekanisme pengaturan keseimbangan cairan dan

elektrolit antar kompartemen :

1. Keseimbangan Donnan

Keseimbangan Donnan merupakan keseimbangan antara cairan intraseluler dengan

cairan ekstraseluler yang timbul akibat adanya peran dari sel membran. Protein yang

merupakan suatu molekul besar bermuatan negatif, bukan hanya ukuran molekulnya

yang besar namun merupakan suatu partikel aktif yang berperan mempertahankan

tekanan osmotik. Protein ini tidak dapat berpindah, tetapi akan mempengaruhi ion

untuk mempertahankan netralitas elektron (keseimbangan muatan positif dan negatif)

sebanding dengan keseimbangan tekanan osmotik di kedua sisi membran. Pergerakan

muatan pada ion akan menyebabkan perbedaan konsentrasi ion yang secara langsung
mempengaruhi pergerakan cairan melalui membran ke dalam dan keluar dari sel

tersebut (Famery, 2012)

2. Osmolalitas dan Osmolaritas

Osmolalitas digunakan untuk menampilkan konsentrasi larutan osmotik berdasarkan

jumlah partikel, sehubungan dengan berat pelarut. Lebih khusus, itu adalah jumlah

osmol disetiap kilogram pelarut. Sedangkan osmolaritas merupakan metode yang

digunakan untuk menggambarkan konsentrasi larutan osmotik. Hal ini didefinisikan

sebagai jumlah osmol zat terlarut dalam satu liter larutan. Osmolaritas adalah properti

koligatif, yang berarti bahwa tergantung pada jumlah partikel terlarut dalam larutan.

Selain itu osmolaritas juga tergantung pada perubahan suhu (Butterworth, 2013)

3. Tekanan Koloid Osmotik

Tekanan koloid osmotik merupakan tekanan yang dihasilkan oleh molekul koloid yang tidak

dapat berdifusi, misalnya protein, yang bersifat menarik air ke dalam kapiler dan melawan

tekanan filtrasi. Koloid merupakan molekul protein dengan berat molekul lebih dari 20.000-

30.000. Walaupun hanya merupakan 0,5% dari osmolalitas plasma total, namun mempunyai

arti yang sangat penting. Karena, hal ini menyebabkan permeabilitas kapiler terhadap koloid

sangat kecil sehingga mempunyai efek penahan air dalam komponen plasma, serta

mempertahankan air antar kompartemen cairan di tubuh. Bila terjadi penurunan tekanan

koloid osmotik, akan menyebabkan timbulnya edema paru (Waterhouse, 2012).

4. Kekuatan Starling (Starling’s Forces) Tekanan koloid osmotik plasma kira-kira 25 mmHg

sedang tekanan darah 36 mmHg pada ujung arteri dari kapiler darah dan 15 mmHg pada

ujung vena. Keadaan ini menyebabkan terjadinya difusi air dan ion-ion yang dapat berdifusi

keluar dari kapiler masuk ke cairan interstisiil pada akhir arteri dan reabsorsi berkisar 90%

dari cairan ini pada akhir arteri dan reabsosrsi berkisar 90% dari cairan ini pada ujung venous

(Mangku, 2010)
2.2.4 Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

A. Gangguan Keseimbangan Cairan

Tubuh manusia pada kelahiran mengandungi sekitar 75% berat cairan. Di usia satu

bulan, nilai ini menurun menjadi 65% dan pada saat dewasa berat cairan dalam tubuh

manusia bagi pria adalah 60% dan wanita pula sekitar 50%. Selain itu, faktor kandungan

lemak juga mengkontribusi kepada kandungan cairan dalam tubuh. Semakin tinggi jumlah

lemak yang terdapat dalam tubuh, seperti pada wanita, semakin ssemakin kurang kandungan

cairan yang ada (Rashida, 2017)

Nilai normal ambilan cairan dewasa adalah sekitar 2500ml, termasuk 300ml hasil

metabolism tenaga susbtrat. Rata-rata kehilangan cairan adalah sebanyak 2500ml dimana ia

terbahagi kepada 1500ml hasil urin, 400ml terevaporasi lewat respiratori, 400ml lewat

evaporasi kulit, 100ml lewat peluh dan 100ml melalui tinja. Kehilangan cairan lewat

evaporasi adalah penting kerna ia memainkan peranan sebagai thermoragulasi, dimana ia

mengkontrol sekitar 20-25% kehilangan haba tubuh. Perubahan pada kesimbanngan cairan

dan volume sel bisa menyebabkan impak yang serius seperti kehilangan fungsi pada sel,

terutama ada otak (Butterworth, 2013)

Bentuk gangguan yang paling sering terjadi adalah kelebihan atau kekurangan cairan

yang mengakibatkan perubahan volume :

1. Overhidrasi

Air seperti subtrat lain, berubah menjadi toksik apabila dikonsumsi secara berlebihan

dalam jangka waktu tertentu. Intoksikasi air sering terjadi bila cairan di konsumsi tubuh

dalam kadar tinggi tanpa mengambil sumber elektrolit yang menyeimbangi kemasukan cairan

tersebut (Butterworth, 2013). Overhidrasi terjadi jika asupan cairan lebih besar daripada

pengeluaran cairan. Kelebihan cairan dalam tubuh menyebabkan konsentrasi natrium dalam

aliran darah menjadi sangat rendah (Mangku, 2010) .Penyebab overhidrasi meliputi, adanya
gangguan ekskresi air lewat ginjal (gagal ginjal akut), masukan air yang berlebihan pada

terapi cairan, masuknya cairan irigator pada tindakan reseksi prostat transuretra, dan korban

tenggelam (Butterworth, 2013)

Gejala overhidrasi meliputi, sesak nafas, edema, peningkatan tekanan vena jugular,

edema paru akut dan gagal jantung. Dari pemeriksaan lab dijumpai hiponatremi dalam

plasma. Terapi terdiri dari pemberian diuretik(bila fungsi ginjal baik), ultrafiltrasi atau

dialisis (fungsi ginjal menurun), dan flebotomi pada kondisi yang darurat (Stoelting, 2015)

2. Dehidrasi

Dehidrasi merupakan suatu kondisi defisit air dalam tubuh akibat masukan yang

kurang atau keluaran yang berlebihan. Kondisi dehidrasi bisa terdiri dari 3 bentuk, yaitu:

isotonik (bila air hilang bersama garam, contoh: GE akut, overdosis diuretik), hipotonik

(Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang

hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke

ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular), hipertonik (Secara

garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang hilang.

Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstravaskular berpindah ke kompartemen

intravaskular, sehingga penurunan volume intravaskular minimal) (Voldby, 2016)

Table 5. Derajat dehidrasi berdasarkan tanda interstial dan intravaskuler

Derajat Kehilangan Air (%) Gejala


Ringan 2-4 % dari BB Rasa haus, mukosa kulit

kering, mata cowong


Sedang 4-8 % dari BB Sda, disertai delirium,oligo

uri, suhu tubuh meningkat


Berat 8-14 % dari BBRa Sda, disertai koma,

hipernatremi, viskositas

plasma meningkat
Terapi dehidrasi adalah mengembalikan kondisi air dan garam yang hilang. Jumlah

dan jenis cairan yang diberikan tergantung pada derajat dan jenis dehidrasi dan elektrolit

yang hilang. Pilihan cairan untuk koreksi dehidrasi adalah cairan jenis kristaloid RL atau

NaCl. (Stoelting, 2015)

B. Gangguan Keseimbangan Elektrolit

Gangguan keseimbangan elektrolit yang umum yang sering ditemukan pada kasus-

kasus di rumah sakit hanyalah beberapa sahaja. Keadaan-keadaan tersebut adalah :

 Hiponatremia dan hypernatremia

 Hipokalemia dan hyperkalemia

 Hipokalsemia (Mangku, 2010)

B.1 Hiponatremia

Hiponatremia selalu mencerminkan retensi air baik dari peningkatan mutlak dalam

jumlah berat badan (total body weight, TBW) atau hilangnya natrium dalam relatif lebih

hilangnya air. Kapasitas normal ginjal untuk menghasilkan urin encer dengan osmolalitas

serendah 40 mOsm / kg (berat jenis 1,001) memungkinkan mereka untuk mengeluarkan lebih

dari 10 L air gratis per hari jika diperlukan. Karena cadangan yang luar biasa ini,

hiponatremia hampir selalu merupakan efeknya dari akibat kapasitas pengenceran urin

tersebut (osmolalitas urin> 100 mOsm / kg atau spesifik c gravitasi> 1,003)

(Butterworth,2013)

Kondisi hiponatremia apabila kadar natrium plasma di bawah 130mEq/L. Jika < 120

mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan

henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma.

Antara penyebab terjadinya Hiponatremia adalah euvolemia (SIADH, polidipsi psikogenik),

hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses, diuretika),

hipervolemia (sirosis, nefrosis). Terapi untuk mengkoreksi hiponatremia yang sudah


berlangsung lama dilakukan secara perlahan-lahan, sedangkan untuk hiponatremia akut lebih

agresif (Hines, 2013).

Dosis NaCl yang harus diberikan, dihitung melalui rumus berikut

: NaCl = 0,6( N-n) x BB

N = Kadar Na yang diinginkan

n = Kadar Na sekarang

BB = berat badan dalam kg

Table 6. Gradasi Hiponatremia (Hahn, 2012)

Gradasi Gejala Tanda


Ringan (Na 105-118) Haus Mukosa kering
Sedang (Na 90-104) Sakit kepala, mual, vertigo Takikardi,hipotensi
Berat (Na <90) Apatis, koma Hipotermi

B.2 Hipernatremia

Hiperosmolalitas terjadi setiap kali total kandungan tubuh terlarut meningkatkan

relatif terhadap TBW dan biasanya, tapi tidak selalu, berhubungan dengan hipernatremia ([Na

+]> 145 mEq / L). Hiperosmolalitas tanpa hipernatremia dapat dilihat selama hiperglikemia

ditandai atau mengikuti akumulasi zat osmotik aktif normal dalam plasma. Konsentrasi

natrium plasma dapat benar-benar berkurang karena air diambil dari intraseluler ke

kompartemen ekstraseluler. Untuk setiap 100 mg peningkatan / dL pada konsentrasi glukosa

plasma, natrium plasma menurun sekitar 1,6 mEq / L. Hipernatremia hampir selalu

merupakan hasil dari baik kerugian relatif air lebih dari natrium (hipotonik cairan rugi) atau

retensi dalam jumlah besar natrium. Bahkan ketika kemampuan berkonsentrasi ginjal

terganggu, haus biasanya sangat efektif dalam mencegah hipernatremia. Hipernatremia

karena itu paling sering terlihat pada pasien lemah yang tidak dapat minum, sangat tua, yang
sangat muda, dan pasien dengan gangguan kesadaran. Pasien dengan hipernatremia mungkin

memiliki konten natrium tubuh total yang rendah, normal, atau tinggi (Butterworth, 2013)

Jika kadar natrium > 150 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental,

letargi, kejang, koma, lemah (Mangku, 2010) Manifestasi neurologis akan mendominasi

dahulu pada pasien dengan hipernatremia dan umumnya diduga hasil dari dehidrasi selular.

Gelisah, lesu, dan hyperreflexia dapat berkembang menjadi kejang, koma, dan akhirnya

kematian. Gejala berkorelasi lebih dekat dengan laju pergerakan air keluar dari sel-sel otak

daripada tingkat absolut hipernatremia. Cepat penurunan volume otak akan menyebabkan

pembuluh darah otak pecah dan mengakibatkan fokus perdarahan intraserebral atau

subarachnoid. Kejang dan kerusakan saraf serius yang umum, terutama pada anak-anak

dengan hipernatremia akut ketika plasma [Na +] melebihi 158 mEq / L. Hipernatremia kronis

biasanya ditoleransi lebih baik berbanding dengan bentuk akut (Butterworth, 2013)

Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (yang disebabkan oleh diare,

muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium

berlebihan (Stoelting, 2015). Pengobatan hipernatremia bertujuan untuk mengembalikan

osmolalitas plasma normal serta mengoreksi penyebab yang mendasari. Defisit air umumnya

harus diperbaiki dalam 48 jam dengan larutan hipotonik seperti 5% dextrose dalam air.

Kelainan pada volume ekstraseluler juga harus diperbaiki. Namun, koreksi yang cepat dari

hipernatremia dapat mengakibatkan kejang, edema otak, kerusakan saraf permanen, dan

bahkan kematian. Justeru pemberian serial Na + osmolalitas harus diperoleh selama

pengobatan. Secara umum, penurunan konsentrasi natrium plasma tidak harus melanjutkan

pada tingkat yang lebih cepat dari 0,5 mEq / L / jam.1 Terapi keadaan ini adalah penggantian

cairan dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140 (Stoelting, 2015)

B.3 Hipokalemia
Nilai normal Kalium plasma adalah 3,5-4,5 mEq/L. Disebut hipokalemia apabila

kadar kalium 2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring

oleh EKG (untuk hipokalemia berat ; <2mEq/L disertai perubahan EKg, kelemahan otot

hebat) (Stoelting, 2015).

Rumus untuk menghitung defisit kalium:

K = K1 - (K0 x 0,25 x BB)

K = kalium yang dibutuhkan

K1 = serum kalium yang diinginkan

K0 = serum kalium yang terukur

BB = berat badan (kg)

B.4 Hiperkalemia

Kalium (K+) memainkan peran utama dalam elektrofisiologi dari membran sel serta

karbohidrat dan protein sintesis. Potensial membran sel istirahat biasanya tergantung pada

rasio intraseluler dan ekstraseluler konsentrasi kalium. Konsentrasi kalium intraseluler

diperkirakan 140 mEq / L, sedangkan konsentrasi kalium ekstraseluler biasanya sekitar 4

mEq / L. Dalam beberapa kondisi, redistribusi K+ antara cairan ekstraselular dan

kompartemen cairan intraselular dapat mengakibatkan perubahan yang nyata dalam

ekstraseluler K+ tanpa perubahan total konten kalium tubuh (Butterworth, 2013).

Hiperkalemia adalah jika kadar kalium > 5 mEq/L. Hiperkalemia sering terjadi karena

insufisiensi renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor,

siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat

(parestesia, kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG) (Mangku,

2010). Efek paling penting dari hiperkalemia berada di otot rangka dan jantung. Kelemahan

otot rangka pada umumnya tidak terlihat sampai plasma [K +] lebih besar dari 8 mEq / L, dan

karena depolarisasi berkelanjutan spontan dan inaktivasi kanal Na + membran otot, akhirnya
mengakibatkan kelumpuhan.3 Perubahan EKG berlaku secara berurutan dari simetris

memuncak gelombang T (sering dengan interval QT memendek) → pelebaran kompleks

QRS → perpanjangan interval P-R → hilangnya gelombang P → hilangnya amplitudo R-

gelombang → depresi segmen ST (kadang-kadang elevasi) → EKG yang menyerupai

gelombang sinus, sebelum perkembangan fibrilasi ventrikel dan detak jantung. Kontraktilitas

dapat relatif baik dipertahankan sampai akhir dalam perjalanan hiperkalemia progresif.

Hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis menonjolkan efek jantung hiperkalemia

(Butterworth, 2013).

Table 7.Gambaran EKG berdasarkan Kadar K plasma

Kadar K plasma Gambaran EKG


5,5-6 mEq/L Gelombang T tinggi
6-7 mEq/L P-R memanjang dan QRS melebar
7-8 mEq/L P mengecil dan takikardi ventrikel
> 8 mEq/L Fibrilasi ventrikel
Bila kadar K plasma <6,5 mEq/L diberikan : diuretic, Natrium nikarbonat, Ca

glokonas, glukonas-insulin, Kayakselate. Bila dalam 6 jam belum Nampak perbaikan

dilakukan hemodialisis. Bila fungsi ginjal jelek, pertimbangkan hemodialisis lebih dini. Pada

kadar K plasma >6,5 mEq/L segera lakukan dialysis (Voldby, 2016).

B.5 Hipokalsemia

Meskipun 98% dari total kalsium tubuh dalam tulang, pemeliharaan konsentrasi

kalsium ekstraseluler normal adalah penting untuk homeostasis. Ion kalsium terlibat dalam

fungsi biologis hampir semua penting, termasuk kontraksi otot, pelepasan neurotransmitter

dan hormon, pembekuan darah, dan metabolisme tulang, dan kelainan pada keseimbangan

kalsium dapat mengakibatkan derangements fisiologis yang mendalam (Rashida, 2017).

Asupan kalsium pada orang dewasa rata-rata 600-800 mg / d. Penyerapan kalsium

terjadi di usus terutama di usus kecil proksimal tetapi adalah variabel. Kalsium juga disekresi

ke dalam saluran usus, dimana sekresi ini tampaknya konstan dan independen dari

penyerapan. Hingga 80% dari asupan kalsium harian biasanya hilang dalam feses. Ginjal
bertanggung jawab untuk sebagian besar ekskresi kalsium. Rata-rata ekskresi kalsium ginjal

100 mg / d namun dapat bervariasi dari serendah 50 mg / d ke lebih dari 300 mg / d.

Biasanya, 98% dari kalsium disaring dan diserap kembali. Reabsorpsi kalsium paralel dengan

natrium dalam tubulus ginjal proksimal dan loop menaik Henle. Di tubulus distal,

bagaimanapun, reabsorpsi kalsium tergantung pada hormon paratiroid (PTH) sekresi,

sedangkan reabsorpsi natrium tergantung pada sekresi aldosteron. tingkat PTH meningkat

meningkatkan reabsorpsi kalsium distal dan dengan demikian menurunkan ekskresi kalsium

urin (Butterworth, 2013).

90% kalsium terikat dalam albumin, sehingga kondisi hipokalsemia biasanya terjadi

pada pasien dengan hipoalbuminemia. Hipokalsemia disebabkan karena hipoparatiroidism,

kongenital, idiopatik, defisiensi vit D, defisiensi 125(OH)2D3 pada gagal ginjal kronik, dan

hiperfosfatemia (Mangku, 2010). Manifestasi dari hipokalsemia termasuk kulit kering,

parestesia, gelisah dan kebingungan, gangguan irama jantung, laring stridor (spasme laring),

tetani dengan spasme karpopedal (tanda Trousseau), masseter spasme (Tanda Chvostek), dan

kejang. kolik bilier dan bronkospasme. 1,3 EKG dapat mengungkapkan irritasi jantung atau

interval QT perpanjangan yang mungkin tidak berkorelasi antara tingkat keparahan dengan

tingkat hipokalsemia. Penurunan kontraktilitas jantung dapat mengakibatkan gagal jantung,

hipotensi, atau keduanya. Penurunan respon terhadap digoxin dan β-adrenergik agonis juga

dapat terjadi (Butterworth, 2013).

Seperti yang diketahui, hipokalsemia adalah suatu kondisi yang gawat darurat karena

menyebabkan kejang umum dan henti jantung. Dapat diberikan 20-30 ml preparat kalsium

glukonas 10% atau CaCl 10% dapat diulang 30-60 menit kemudian sampai tercapai kadar

kalsium plasma yang optimal. Pada kasus kronik, dapat dilanjutkan dengan terapi per oral

(Voldby, 2016).

Berikut table yang menggambarkan tentang gangguan elektrolit :


Table 8. Gangguan elektrolit

Ion dan batas CES Terganggu Gejala Penyebab

normal (mEq/L) (mEq/L)


Natrium (136-142) Hipernatremmia Haus, kulit kering Dehidrasi,

(>150) dan mengkerut, kehilangan cairan

Penurunan tekanan hipotonik

dan volume darah,

hingga kolaps

sirkulasi
Hyponatremia Gangguan fungsi Infuse atau ingesti

(<130) SSP(intoksikasi air solusi hipotonik

konfusi, halusinasi, dalam jumlah besar

kejang, koma,

kematian pada

beberapa kasus)
Kalium (3,8-5,0) Hiperkalemia (>8) Aritmia jantung Gagal ginjal,

berat penggunaan diuretic,

asidosis kronik
Hipokalemia (>2) Kelemahan dan Diet rendah kalium,

paralysis otot diuretic, dan

hipersekresi

aldosteron
Kalsium (4,5-5,3) Hiperkalsemia (>11) Konfusi, nyeri otot, Hiperparatiroid,

aritmia jantung, batu kanker, toksisitas

ginjal, kalsifikasi vit. D. suplemen

pada jaringan lunak kalsium dengan

dosis yang sangat

berlebih.
Hipokalsemia (<4) Spasme otot, kejang, Diet yang jelek,

kram usus, denyut kurang vitamin D,

jantung yang lemah, gagal ginjal,

aritmia jantung, hipoparatiroid,

osteoporosi hipomagnesemia

2.2.5 Jenis Elektrolit Tubuh

A. Natrium

Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa mencapai 60

mmol per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 1014 mmol/L) berada dalam

cairan intrasel. Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel ditentukan oleh garam

yang mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium klorida (NaCl) dan natrium

bikarbonat (NaHCO3) sehingga perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel

menggambarkan perubahan konsentrasi natrium (Darwis dkk, 2008).

Perbedaan kadar natrium intravaskuler dan interstitial disebabkan oleh keseimbangan

Gibbs Donnan, sedangkan perbedaan kadar natrium dalam cairan ekstrasel dan intrasel

disebabkan oleh adanya transpor aktif dari natrium keluar sel yang bertukar dengan

masuknya kalium ke dalam sel (pompa Na+ dan K+ ) (Sacher dan Mcpherson, 2002). Jumlah

natrium dalam tubuh merupakan gambaran keseimbangan antara natrium yang masuk dan

natrium yang dikeluarkan. Pemasukan natrium yang berasal dari diet melalui epitel mukosa

saluran cerna dengan proses difusi dan pengeluarannya melalui ginjal atau saluran cerna atau

keringat di kulit. Pemasukan dan pengeluaran natrium perhari mencapai 48-144 mmol

(Darwis dkk, 2008).

Jumlah natrium yang keluar dari traktus gastrointestinal dan kulit kurang dari 10%.

Cairan yang berisi konsentrasi natrium yang berada pada saluran cerna bagian atas hampir

mendekati cairan ekstrasel, namun natrium direabsorpsi sebagai cairan pada saluran cerna
bagian bawah, oleh karena itu konsentrasi natrium pada feses hanya mencapai 40 mmol/L

(Matfin dan Porth, 2009).

Keringat adalah cairan hipotonik yang berisi natrium dan klorida. Kandungan natrium

pada cairan keringat orang normal rerata 50 mmol/L. Jumlah pengeluaran keringat akan

meningkat sebanding dengan lamanya periode terpapar pada lingkungan yang panas, latihan

fisik dan demam (Wilson dkk, 1995).

Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan eksresi ini dilakukan

untuk mempertahankan homeostasis natrium, yang sangat diperlukan untuk mempertahankan

volume cairan tubuh. Natrium difiltrasi bebas di glomerulus, direabsorpsi secara aktif 60-

65% di tubulus proksimal bersama dengan H2O dan klorida yang direabsorpsi secara pasif,

sisanya direabsorpsi di lengkung henle (25-30%), tubulus distal (5%) dan duktus koligentes

(4%). Sekresi natrium di urin eangiotensin-aldosteron untuk mempertahankan

elektroneutralitas (Silbernargl, 2007).

Menurut Scott, dkk (2006) rentang nilai rujukan kadar natrium adalah:

a. Serum bayi : 134-150 mmol/L

b. Serum anak dan dewasa : 135-145 mmol/L

c. Urine anak dan dewasa : 40-220 mmol/24 jam

d. Cairan serebrospinal : 136-150 mmol/L

e. Feses : kurang dari 10 mmol/hari

B. Kalium

Kalium merupakan kation utama terdapat dalam cairan intraseluler dengan

konsentrasi

±150 mmol/L. Sekitar 90 % dari total kalium tubuh berada dalam kompartemen ini.

Sekitar 0,4 % dari total kalium tubuh akan terditribusikan ke ruangan vascular yang terdapat

pada cairan ekstraseluler dengan konsentrasi 3,5-5,0 mmol/L. Konsentrasi total kalium dalam
tubuh diperkirakan sebanyak 2g/kg berat badan. Namun jumlah ini dapat bervariasi

tergantung pada jenis kelamin, umur, dan massa otot. Kebutuhan minimun kalium

diperkirakan sebesar 782 mg/hari (Irawan, 2007).

Kalium juga merupakan mineral bagi yang bermanfaat bagi tubuh kita yaitu berfungsi

untuk mengendalikan tekanan darah, terapi darah tinggi, serta membersihkan karbondioksida

didalam darah. Kekurangan kalium dapat berefek buruk dalam tubuh karena mengakibatkan

hipokalemian yang menyebabkan frekunesi denyut jantung melambat. Sedangkan untuk

kelebihan kalium mengakibatkan hiperkalemia yang menyebabkan aritmia jantung,

konsentrasi yang lebih tinggi lagi yang dapat menimbulkan henti jantung atau fibrilasi

jantung (Yaswir dan Ferawati, 2012).

Didalam tubuh kalium juga memiliki peranan dalam menjaga keseimbangan cairan

elektrolit dan keseimbangan asam basa. Selain itu, bersamadengan kalsium (Ca =) dan natrium

(N=), kalium akan berperan dalam tranmisi saraf, pengaturan enzim dan kontraksi otot.

Hampir sama dengan natrium, kalium juga merupakan garam yang dapat secara cepat diserap

oleh tubuh. Setip kelebihan kalium yang terdapat didalam tubuh dikeluarkan melalui urine

serta keringat (Irawan, 2007).

Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada didalam cairan intrasel. Konsentrasi

kalim intrasel sekitar 145 mEq/L dan konsentrasi kaliam ekstrasel 4-5 mEq/L (sekitar 2%).

Jumlah konsentrasi kalium pada orang dewasa sekitar 50-60/kg berat badan (3000-4000

mEq). Jumlah kalium ini dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Jumlah kalium wanita

25% lebih kecil disbanding laki-laki dan jumlah kalium pada orang dewasa lebih kecil 20%

disbanding anak-anak. Perbedaan kadar kalium didalam plasma dan cairan interstisial

dipengaruhi oleh keseimbangan gibs-Donnan, sedangkan perbedaan kalium cairan intrasel

dan cairan interstisial adalah akibat adanya transport aktif (transport aktif kalium kedalam sel

bertukar dengan natrium). Jumlah kalium dalam tubuh merupakan cermin keseimbangan
yang masuk dan keluar. Pemasukan kalium melalui saluran cerna tergantung dari jumlah dan

jenis makanan. Orang dewasa pada keadaan normal mengkonsumsi 60-100 mEq kalium/hari

(hamper sama dengan natrium). Kaliumdifiltrasi diglomelurus, sebagian besar (70-80%)

direabsorpsi Bersama natrium dan klorida dilengkung henle. Kalium dikeluarkan dari tubuh

melalui traktus gastrointestinal kurang dari 5% kulit dan urine mencapai 90 % (Risnawati,

2012).

Menurut Scott, dkk (2006) rentang nilai rujukan kalium adalah :

a. serum bayi : 3,6-5,8 mmol/L

b. serum anak : 3,5-5,5 mmo/L

c. serum dewasa : 3,5-5,3 mmol/L

d. urine anak : 17-57 mmol/24 jam

e. urine dewasa : 40-80 mmol/24 jam

f. cairan lambung : 10 mmol/L

C. Klorida

Klorida merupakan anion utama dalam cairan ekstrasel. Pemeriksaan kosentrassi

klorida dalam plasma berguna sebagai diagnosis banding pada gangguan keseimbangan asam

basa. Kosentrasi klorida lebih tinggi dibandingkan anak-anak atau dewasa. Nilai normal

klorida adalah 98-108 mEq/L. Keseimbangan antara klorida yang masuk tergantung dari

jumlah dan jenis makanan. Kandungan klorida dalam makanan sama dengan natrium orang

dewasa pada keadaan normal rerata mengkonsumsi 50-200 mEq/ klorida perhari,dan ekresi

klorida bersama feses sekitar 1-2 mEq perhari (Kultt J.S, 2006).

Keseimbangan Gibbs-Donnan mengakibatkan kadar klorida dalam cairan interstisial

lebih tinggi dibanding dalam plasma. Klorida dapat menembus membran sel secara pasif

(Widmaler dkk, 2004). Perbedaan kadar klorida antara cairan interstisial dan cairan intrasel
disebabkan oleh perbedaan potensial di permukaan luar dan dalam membran sel (Eaton dkk,

2009).

Kadar klorida menurun misalnya sekresi cairan lambung yang berlebihan dapat

menyebabkan alkalosis yang berlebihan dapat menimbulkan hiperkloremia dengan asidosis

metabolik, penggunaan obat yang dapat meninggikan kadar klorida atau menurunkan kadar

klorida seperti thisid, furosemid, bikarbonat harus dihentikan sbelum pemeriksaan kadar

klorida. Peningkatan kadar klorida dapat terjadi pada nephitis, obstruksi kelenjar prostat dan

dehidrassi. Kadar rendah ditemukan pada gangguan fungsi gastrointernal dan ginjal

(Harjoeno, 2007).

Menurut Scott, dkk (2006) rentang nilai rujukan klorida adalah :

a. serum bayi baru lahir : 94-112 mmol/L

b. serum anak : 98-105 mmol/L

c. serum dewasa : 95-105 mmol/L

d. keringat anak : <50mmol/L

e. keringat dewasa : <60 mmol/L

f. urine : 110-250 mmol/24 jam

g. feses : 2 mmol/24 jam

2.2.6 Jenis Pemeriksaan Elektrolit Tubuh

A. Pemeriksaan dengan Metode Elektroda Ion Selektif (Ion Selective

Electrode/ISE)

Pemeriksaan kadar natrium, kalium, dan klorida dengan metode elektroda ion selektif

(Ion Selective Electrode/ISE) adalah yang paling sering digunakan. Data dari College of

American Pathologists (CAP) pada 5400 laboratorium yang memeriksa natrium dan kalium,

lebih dari 99% menggunakan metode ISE. Metode ISE mempunyai akurasi yang baik,
koefisien variasi kurang dari 1,5%, kalibrator dapat dipercaya dan mempunyai program

pemantapan mutu yang baik (Kluuts dkk, 2006).

ISE ada dua macam yaitu ISE direk dan ISE indirek. ISE direk memeriksa secara

langsung pada sampel plasma, serum dan darah utuh. Metode inilah yang umumnya

digunakan pada laboratorium gawat darurat. Metode ISE indirek yang diberkembang lebih

dulu dalam sejarah teknologi ISE, yaitu memeriksa sampel yang sudah diencerkan (Kluuts

dkk, 2006).

B. Pemeriksaan dengan Spektrofotometer Emisi Nyala (Flame Emission

Spectrofotometry/FES)

Spektrofotometer emisi nyala digunakan untuk pengukuran kadar natrium dan kalium.

Penggunaan spektrofotometer emisi nyala di laboratorium berlangsung tidak lama,

selanjutnya penggunaannya dikombinasi dengan elektrokimia untuk mempertahankan

penggunaan dan keamanan prosedurnya (Klutts dkk, 2006).

Prinsip pemeriksaan spektrofotometer emisi nyala adalah sampel diencerkan dengan

cairan pengencer yang berisi litium atau cesium, kemudian dihisap dan dibakar pada nyala

gas propan. Ion natrium, kalium, litium, atau sesium bila mengalami pemanasan akan

memancarkan cahaya dengan panjang gelombang tertentu (natrium berwarna kuning dengan

panjang gelombang 589nm, kalium berwarna ungu dengan panjang gelombang 768 nm,

litium 671 nm, sesium 825 nm). Pancaran cahaya akibat pemanasan ion dipisahkan dengan

filter dan dibawa ke detektor sinar (Klutts, 2006).

C. Pemeriksaan dengan Spektrofotometer berdasarkan Aktivasi Enzim

Prinsip pemeriksaan kadar natrium dengan metode spektrofotometer yang

berdasarkan aktivasi enzim yaitu aktivasi enzim beta-galaktosidase oleh ion natrium untuk

menghidrolisis substrat o-nitrophenyl-βD-galaktipyranoside (ONPG). Jumlah galaktosa dan

onitrofenol yang terbentuk diukur pada panjang gelombang 420 nm (Klutts dkk, 2006).
Prinsip pemeriksaan kalium dengan metode spektrofotometer adalah ion K+

mengaktivasi enzim tryptophanase (Klutts dkk, 2006). Prinsip pemeriksaan klorida dengan

metode spektrofotometer adalah reaksi klorida dengan merkuri thiosianat menjadi merkuri

klorida dan ion thiosianat. Ion thiosianat bereaksi dengan ion ferri dan dibaca pada panjang

gelombang 480 nm (Klutts dkk, 2006).

D. Pemeriksaan dengan spektrofotometer atom serapan (Atomic Absorption

Spectrophotometry/ AAS)

Prinsip pemeriksaan dengan spektrofotometer atom serapan adalah teknik emisi

dengan elemen pada sampel mendapat sinar dari hollow cathode dan cahaya yang

ditimbulkan diukur sebagai level energi yang paling rendah. Elemen yang mendapat sinar

dalam bentuk ikatan kimia (atom) dan ditempatkan pada ground state (atom netral). Metode

spektrofotometer atom serapan mempunyai sensitivitas spesifisitas yang lebih tinggi

dibandingkan metode spektrofotometer nyala emisi (Joyce, 2007).

2.3 Tinjuan Tentang Diare

2.3.1 Definisi Diare

Diare adalah perubahan konsistensi tinja yang terjadi tiba-tiba akibat kandungan air di

dalam tinja melebihi normal (10ml/kg/hari) dengan peningkatan frekuensi defekasi lebih dari

3 kali dalam 24 jam dan berlangsung kurang dari 14 hari (Tanto dan Liwang, 2014).

Berdasarkan ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa diare adalah buang air besar

dengan bertambahnya frekuensi yang lebih dari biasanya 3 kali sehari atau lebih dengan

konsistensi cair.

2.3.2 Etiologi

Etiologi menurut Ngastiyah (2014) antara lain :


a. Faktor Infeksi

1 Infeksi enternal: infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab

utama diare pada anak.Meliputi infeksi eksternal sebagai berikut :

i. Infeksi bakteri: Vibrio’ E coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia,

aeromonas, dan sebagainya.

ii. Infeksi virus: Enterovirus (virus ECHO, Coxsacki, Poliomyelitis) Adeno-virus,

Rotavirus, astrovirus, dan lain-lain.

iii. Infeksi parasit: cacing (Ascaris, Trichuris, Oxcyuris, Strongyloides) protozoa

(Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis), jamur

(Candida albicans)

2 Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat pencernaan makanan seperti: otitits media

akut (OMA), tonsillitis/tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis, dan

sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur di bawah 2

tahun.

b. Faktor malabsorbsi

i. Malabsorbsi karbohidrat disakarida (intoleransi laktosa, maltose dan sukrosa),

monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa,dan galaktosa). Pada bayi dan

anak yang terpenting dan tersering (intoleransi laktosa).

ii. Malabsorbsi lemak

iii. Malabsornsi protein

c. Faktor makanan, makanan basi,beracun, alergi, terhadap makanan. d. Faktor

psikologis, rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi pada anak yang

lebih besar).

2.3.3 Faktor Resiko

Menurut jufrri dan Soenarto (2012), ada beberapa faktor resiko diare yaitu :
a. Faktor umur yaitu diare terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan pada saat

diberikan makanan pendamping ASI. Pola ini menggambarkan kombinasi

efek penurunan kadar antibody ibu, kurangnya kekebalan aktif bayi,

pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja.

b. Faktor musim : variasi pola musim diare dapat terjdadi menurut letak

geografis. Di Indonesia diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi

sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang musim kemarau, dan diare

karena bakteri cenderung meningkat pada musim hujan.

c. Faktor lingkungan meliputi kepadatan perumahan, kesediaan sarana air bersih

(SAB), pemanfaatan SAB, kualitas air bersih.

2.3.4 Patogenesis Diare

a. Gangguan osmotik Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat

diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meninggi

sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga

usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkanya sehingga

timbul diare.

b. Gangguan sekresi Akibat terangsang tertentu (misalnya toksin) pada dinding

usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam rongga usus

dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi rongga usus.

c. Gangguan motilitas usus Hiperperistaltik akan mengkkpuakibatkan

berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul

diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri

tumbuh berlebihan, selanjutnya timbul diare pula.

2.3.5 Patofisiologi Diare


Menurut Tanto dan Liwang (2006) dan Suraatmaja (2007), proses terjadinya diare

disebabkan oleh berbagai factor diantaranya

1) Faktor infeksi Proses ini dapat diawali adanya mikroorganisme (kuman) yang

masuk ke dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus

dan merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan daerah permukaan usus

Selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan

gangguan fungsi usus dalam absorpsi cairan dan elektrolit. Atau juga

dikatakan adanya toksin bakteri akan menyebabkan transpor aktif dalam usus

sehingga sel mukosa mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan

elektrolit akan meningkat.

2) Faktor malabsorpsi Merupakan kegagalan dalam melakukan absorpsi yang

mengakibatkan tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan

elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga

terjadilah diare.

3) Faktor makanan Faktor ini dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu

diserap dengan baik. Sehingga terjadi peningkatan peristaltik usus yang

mengakibatkan penurunan kesempatan untukmenyerap makan yang kemudian

menyebabkan diare.

4) Faktor psikologis Faktor ini dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan

peristaltik usus yang akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan

yang dapat menyebabkan diare.

2.3.6 Klasifikasi Diare

Diare dibedakan menjadi diare akut, diare kronis dan persisiten. Diare akut adalah

buang air besar pada bayi atu anak-anak melebihi 3 kali sehari, disertai dengan perubahan

konsisitensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lender dan darah yang berlangsung kurang
dari satu minggu, sedangkan diare kronis sering kali dianggap suatu kondisi yang sama

namun dengan waktu yang lebih lama yaitu diare melebihi satu minggu, sebagian besar

disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi, diare persisten adalah diare yang

berlangsung 15-30 hari, merupakan diare berkelanjutan dari diare akut atau peralihan antara

diare akut dan kronis biasanya ditandai dengan penurunan berat badan dan sukar untuk naik

kembali (Amabel, 2011).

Sedangkan klasifikasi diare menurut (Octa,dkk 2014) ada dua yaitu berdasarkan

lamanya dan berdasarkan mekanisme patofisiologi.

a. Berdasarkan lama diare

1) Diare akut, yautu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari

2) Diare kronik, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan kehilangan

berat badan atau berat badan tidak bertambah (failure to thrive) selama masa diare

tersebut.

b. Berdasarkan mekanisme patofisiologik

1) Diare sekresi Diare tipe ini disebabkan karena meningkatnya sekresi air dan

elekrtolit dari usus, menurunnya absorbs. Ciri khas pada diare ini adalah volume

tinja yang banyak.

2) Diare osmotik Diare osmotic adalah diare yang disebabkan karena meningkatnya

tekanan osmotik intralumen dari usus halus yang disebabkan oleh obatobat/zat

kimia yang hiperosmotik seperti (magnesium sulfat, Magnesium Hidroksida), mal

absorbs umum dan defek lama absorbi usus missal pada defisiensi disakarida,

malabsorbsi glukosa/galaktosa.

2.3.7 Komplikasi Diare

Menurut Maryunani (2010) sebagai akibat dari diare akan terjadi beberapa hal sebagai

berikut :
a. Kehilangan air (dehidrasi) Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih

banyak dari pemasukan (input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare.

b. Gangguan keseimbangan asam basa (metabolik asidosis) Hal ini terjadi karena

kehilangan Na-bicarbonat bersama tinja. Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga

benda kotor tertimbun dalam tubuh, terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya

anorexia jaringan. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak

dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria atau anuria) dan terjadinya pemindahan

ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler.

c. Hipoglikemia Hipoglikemia terjadi pada 2–3 % anak yang menderita diare, lebih

sering pada anak yang sebelumnya telah menderita Kekurangan Kalori Protein

(KKP). Hal ini terjadi karena adanya gangguan penyimpanan atau penyediaan

glikogen dalam hati dan adanya gangguan etabol glukosa. Gejala hipoglikemia akan

muncul jika kadar glukosa darah menurun hingga 40 % pada bayi dan 50 % pada

anak– anak.

d. Gangguan gizi Terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat, hal ini

disebabkan oleh makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau

muntah yang bertambah hebat, walaupun susu diteruskan sering diberikan dengan

pengeluaran dan susu yang encer ini diberikan terlalu lama, makanan yang diberikan

sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik

e. Gangguan sirkulasi Sebagai akibat diare dapat terjadi renjatan (shock) hipovolemik,

akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat,

dapat mengakibatkan perdarahan otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera

diatasi klien akan meninggal.

Menurut Ngastiyah (2014) sebagai akibat diare baik akut maupun kronik akan terjadi

kehilangan air dan elektrolit (terjadi dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan keseimbangan
asam basa (asidosis metabolis, hipokalemia), gangguan gizi akibat kelaparan (masukan

kurang, pengeluaran bertambah), hipoglikemia, gangguan sirkulasi darah.

2.3.8 Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare

Dasar pengobatan diare adalah :

a. Pemberian cairan: jenis cairan, cara memberikan cairan, jumlah pemberianya.

1) Cairan per oral. Pada pasien dengan dehidrasi ringan dan sedang cairan

diberikan per oral berupa cairan yang berisikan NaCL dan NaHCO3, KCL dan

glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada anak di atas umur 6 bulan kadar

natrium 90 mEq/L.Formula lengkap sering disebut oralit.Cairan sederhana

yang dapat dibuat sendiri (formula tidak lengkap) hanya mengandung garam

dan gula (NaCL dan sukrosa), atau air tajin yang diberi garam dan gula untuk

pengobatan sementara di rumah sebelum dibawa berobat ke rumah

sakit/pelayanan kesehatan untuk mencegah dehidrasi lebih jauh.

2) Cairan parental. Sebenarnya ada beberapa jenis cairan yang diperlukan sesuai

dengan kebutuhan pasien misalnya untuk bayi atau pasien yang MEP. Tetapi

kesemuanya itu bergantung tersedianya cairan setempat. Pada umumnya

cairan ringer laktat (RL) selalu tersedia di fasilitas kesehatan dimana saja.

Mengenai pemberian cairan seberapa banyak yang diberikan bergantung dari

berat /ringanya dehidrasi, yang diperhitungkan dengan kehilangan cairan

sesuai dengan umur dan berat badanya.

3) Pemberian cairan pasien malnutrisi energi protein (MEP) tipe marasmik.

Kwashiorkor dengan diare dehidrasi berat, misalnya dengan berat badan 3-10

kg, umur 1bln-2 tahun, jumlah cairan 200 ml/kg/24jam. Kecepatan tetesan 4

jam pertama idem pada pasien MEP.Jenis cairan DG aa. 20 jam berikutnya:

150 ml/kg BB/20 jam atau 7 ml/kg BB/jam atau 1 ¾ tetes/kg/BB/menit ( 1


ml= 15 menit) atau 2 ½ tetes /kg BB/menit (1 ml=20 tetes). Selain pemberian

cairan pada pasien-pasien yang telah disebutkan masih ada ketentuan

pemberian cairan pada pasien lainya misalnya pasien bronkopneumonia

dengan diare atau pasien dengan kelainan jantung bawaan, yang memerlukan

caiaran yang berlebihan pula. Bila kebetulan menjumpai pasien-pasien

tersebut sebelum memasang infuse hendaknya menanyakan dahulu pada

dokter.

b. Dietetik (cara pemberian makanan). Untuk anak di bawah 1 tahun dan anak di atas 1

tahun dengan berat badan kurang dari 7 kg jenis makanan:

1) Susu (ASI dan atau susu formula yang mengandug laktosa rendah dan asam

lemak tidak jenuh, misalnya LLM, almiron atau sejenis lainya)

2) Makanan setengah padat (bubur) atau makanan padat (nasi tim), bila anak

tidak mau minum susu karena di rumah tidak biasa.

3) Susu kusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan missalnya susu

yang tidsk mengandung laktosa atau asam lemak yang berantai sedang atau

tidak jenuh.

c. Obat-obatan. Prinsip pengobatan diare ialah menggantikan cairan yang hilang

melalui tinja dengan atau tanpa muntah, dengan cairan yang mengandung

elektrolit dan glukosa atu karbohidrat lain (gula,air tajin, tepung beras dan

sebagainya). (Ngastiyah, 2014).

2.3.9 Pemeriksaan Laboratorium untuk Diare

Pemeriksaan laboratorium yang intensif perlu dilakukan untuk mengetahui adanya

diare yang disertai kompikasi dan dehidrasi. Menurut William (2005), pemeriksaan darah

perlu dilakukan untuk mengetahui Analisa Gas Darah (AGD) yang menunjukan asidosis

metabolic. Pemeriksaan feses juga dilakukan untuk mengetahui :


a. Lekosit polimorfonuklear, yang membedakan antara infeksi bakteri dan

infeksi virus.

b. Kultur feses positif terhadap organisme yang merugikan.

c. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dapat menegaskan keberatan

rotavirus dalam feses. d. Nilai pH feses dibaah 6 dan adanya substansi yang

berkurang dapat diketahui adanya malaborbsi karbohidrat.

Menurut Cahyono (2014), terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium untuk

penyakit diare, diantaranya :

a. Pemeriksaan darah rutin, LED (laju endap darah), atau CPR (C-reactive

protein). memberikan informasi mengenai tanda infeksi atau inflamasi.

b. Pemeriksaan fungsi ginjal dan elektrolit untuk menilai gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit.

c. Pemeriksaan kolonoskopi untuk mengetahui penyebab diare.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yaitu untuk mengetahui tentang

gambaran kadar natrium dan kalium. Pada anak usia toddler di RS. Siti Khodijah Sepanjang

Sidoarjo.

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian

3.2.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia toddler yang dirawat di RS. Siti

Khodijah Sepanjang Sidoarjo.

3.2.2 Sampel Penelitian

A. .Kriteria Inklusi
1. Berusia 1-3 tahun

2. Mengalami diare selama lebih dari 5 hari

3. Mengalami diare dengan komplikasi

B. Kriteria Ekslusi

1. Usia lebih dari 3 tahun

2. Mengalami diare kurang dari 5 hari

3. Tidak mengalami diare dengan komplikasi

3.2.3 Besar Sampel

n =Z2α p (1-p)N
α2 (n-1)+ Z2α p(1-p)
Besar sampel pada penelitian ditentukan dengan menggunakan rumus diatas dan

didapatkan total sampel penelitian sebesar 30 sampel.

3.2.4 Teknik Sampling

Pada penelitian ini digunakan Teknik pengambilan sampel dengan simple random

sampel.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.4.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian sampel dilakukan di daerah RS. Siti Khodijah di Jl. Raya Bebekan

RT.02/RW.01 Bebekan Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo

3.4.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini mulai dilakukan pada 26 November 2019 hingga 30 juni 2020,

pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2020.

3.4 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Prosedur

3.4.1 Variabel Penelitian


a. Variable bebas dalam penelitian ini adalah diare

b. Variable terikat dalam penelitian ini adalah kadar natrium dan kalium pada

anak yang terkena diare

3.4.2 Instrumen Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data sekunder

didapat dari hasil tinjuan rekam medis pasien anak.

3.4.3 Definisi Operasional Prosedur

Kadar natrium dan kalium dikategorikan sebagai berikut

Natrium
135-145 mmol/L Normal
>145 mmol/L Tinggi
<135 mmol/L Rendah

Kalium
3,5-5,5 mmo/L Normal
>5,5 mmol/L Tinggi
<3,5 mmol/L Rendah

3.5 Metode Pengumpulan Data

Penggumpulan data pada tahap ini dengan metode peninjauan rekam media anak dan

dari data tersebut akan diambil sampel yang sesuai dengan kriteria yang sudah disebutkan

kemudian dilakukan pengolahan data.

3.6 Metode Analisis Data

Data diperoleh dari tinjauan rekam medis pasien anak dikumpulkan dan ditabulasikan

dalam bentuk table dan disajikan secara pesentase (%) dalam diagram line.

No Kode sampel Umur Kadar natrium Keterangan


1 A
2 B

No Kode sampel Umur Kadar kalium Keterangan


1 A
2 B

Anda mungkin juga menyukai