Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

CAIRAN PERIOPERATIF DALAM SISTEM ANESTESIA

Pembimbing :

Dr. Wendi Hudyarisandi, SpAn

Penyusun :

Rastra Ike Saleha

2019.04.20.161

BAGIAN/SMF ILMU ANASTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

Tubuh manusia terdiri dari berbagai macam komponen yang saling


berhubungan, Cairan merupakan salah satu komponen penting dalam tubuh manusia.
terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian yang padat dan bagian yang cair. tetapi
hampir sebagian besar tubuh manusia berupa cairan, dimana 60% jumlah cairan
dalam tubuh terdiri dari 20 % cairan ekstraseluler dan 40% cairan intraselluler, dimana
Kedua cairan tersebut dipisahkan oleh membran sel yang sangat permeabel terhadap
air, tetapi tidak permeabel terhadap sebagian besar elektrolit. dimana cairan
ekstraseluler terdiri dari cairan intravascular (plasma) sebanyak 5% dan ruang
interstisial 15%.

Komponen cairan ekstraseluler terdiri dari ion natrium, klorida dan bikarbonat
yang jumlahnya banyak serta ditambah berbagai zat gizi untuk sel, seperti oksigen,
glukosa, asam lemak, dan asam amino. Komponen penting dari cairan ekstraseluler
adalah cairan interstisial, yang jumlahnya mencapai tiga perempat dari keseluruhan
cairan ekstraselular, dan seperempat lainnya merupakan plasma. Sedangkan cairan
intraseluler mengandung banyak ion kalium, magnesium dan fosfat dibandingkan
dengan ion natrium dan klorida yang banyak ditemukan pada cairan ekstraseluler
(Guyton, 2014).

Keseimbangan cairan merupakan bagian dari kontrol tubuh untuk


mempertahankan homeostasis. Homeostasis cairan dapat dipertahankan oleh tubuh
dengan cara mengatur cairan ekstraselular, yang selanjutnya akan `mempengaruhi
cairan intraselular. Agar tubuh dapat mencapai keseimbangan cairan yang dibutuhkan
maka tubuh harus mengatur agar input cairan sama dengan out put cairan (balance
concept) (Sherwood, 2013).
Keseimbangan distribusi cairan dan elektrolit diatur melalui proses pengaturan
mekanisme yang beraneka ragam dan saling terkait dalam satu kesatuan. Bila terjadi
gangguan keseimbangan dari cairan dan elektrolit, normalnya segera diikuti oleh
proses kompensasi untuk mempertahankan kondisi normal cairan dan elektrolit
sehingga fungsi organ vital dapat dipertahankan. Agar keseimbangan cairan dan
elektrolit dapat dipertahankan secara optimal dan terus menerus, diperlukan proses
pengaturan keseimbangan yang adekuat. Apabila terjadi gangguan di salah satu
komponen tersebut bisa menimbulkan keadaan patologis yang mengancam tubuh
manusia. (Mangku, 2017)

Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada
perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun
perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan
tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka
resiko penderita menjadi lebih besar. Maka oleh itu diberikan terapi cairan yang
meliputi penggantian kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi
untuk membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan normal dan pulihnya
perfusi ke jaringan, oksigenasi sel, dengan demikian akan mengurangi iskemia
jaringan dan kemungkinan kegagalan organ.
Terapi cairan perioperatif meliputi cairan pada masa prabedah, selama
pembedahan, dan pascabedah. Dalam pemberian cairan pada pasien perioperatif,
harus diperhitungkan kebutuhan cairan basal, penyakit yang menyertai, medikasi,
teknik dan obat anestetik serta kehilangan cairan yang diakibatkan pembedahan.

Dalam referat ini akan dibahas lebih lanjut mengenai cairan perioperatife
berdasarkan komposisi, jenis jenis cairan, serta teknik atau perhitungan pemberian
cairan pengganti terutama
BAB 2

CAIRAN PERIOPERATIF

2.1 Tujuan Pemberian Cairan Perioperatif

Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra bedah,
selama pembedahan dan pasca bedah dimana saluran pencernaan belum berfungsi
secara optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian, dengan cairan
infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara intravena Terapi
dinilai berhasil apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan
hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan berupa edema paru dan gagal nafas.

Defisit cairan perioperatif timbul sebagai akibat puasa pra-bedah yang kadang-
kadang dapat memanjang, kehilangan cairan yang sering menyertai penyakit
primernya, pendarahan, manipulasi bedah, dan lamanya pembedahan yang
mengakibatkan terjadinya sequestrasi atau translokasi cairan. Pada periode pasca
bedah kadang-kadang pendarahan dan atau kehilangan cairan (dehidrasi) masih
berlangsung, yang tentu saja memerlukan perhatian khusus (Pandey, 2013).

2.2 Kompartemen Cairan Tubuh

Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam 2 kompartemen yaitu


kompartemen ekstraseluler dan intraseluler. Dimana kompartemen ekstraseluler
dibagi menjadi cairan intravaskular dan intersisial (Heitz, 2005).
Body

100%

Water Tissue

60% (100) 40%

Intracellular space Extracellular space

40% (60) 20% (40)

Intrertitial space Intravascular space

15% (30) 5% (10)

A. Cairan intraselular

Cairan intraseluler merupakan cairan yang terkandung di dalam sel. Cairan


intraseluler berjumlah sekitar 40% dari berat badan. Pada cairan intraseluler memiliki
ion kalium dan fosfat dalam jumlah besar, ion magnesium dan sulfat dalam jumlah
sedang, ion klorida dan natrium dalam jumlah kecil, dan hampir tidak ada ion kalsium.
Sel juga memiliki protein dalam jumlah besar, hampir lebih dari empat kali lipat di
dalam plasma.

B. Cairan ekstraselular

Jumlah relatif cairan ekstraselular menurun seiring dengan bertambahnya usia,


yaitu sampai sekitar sepertiga dari volume total pada dewasa. Cairan ekstraselular
terbagi menjadi cairan interstitial dan cairan intravaskular.

Cairan interstitial adalah cairan yang mengelilingi sel dan termasuk cairan yang
terkandung diantara rongga tubuh seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi
sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan. Sementara, cairan intravaskular
merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah, dalam hal ini plasma
darah (Guyton, 2006).
2.3 Komponen Keseimbangan Elektrolit
Elektrolit merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus
listrik. Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah
kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen).
(Hidayat, 2008).
A.Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation
utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa terdapat
di dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.

1. Natrium
merupakan kation dalam tubuh yang berfungsi sebagai pengaturan osmolaritas
serta volume cairan tubuh. Pengaturan konsentrasi ekstrasel diatur oleh ADH dan
aldosteron. Aldosteron dihasilkan oleh korteks suprarenal dan berfungsi untuk
mempertahankan keseimbangan konsentrasi natrium dalam plasma dan prosesnya
dibantu oleh ADH. ADH mengatur sejumlah air yang diserap ke dalam ginjal dari
tubulus renalis. Aldosteron juga mengatur keseimbangan jumlah natrium yang diserap
kembali oleh darah. Ekskresi dari natrium dapat dilakukan melalui ginjal atau sebagian
kecil melalui tinja, keringat, dan air mata. Normalnya sekitar 135-148 mEq/lt.
2. Kalium
Kalium merupakan kation utama yang terdapat dalam cairan intrasel yang
berfungsi sebagai exitability neuromukuler dan kontraksi otot. Keseimbangan kalium
diatur oleh ginjal dengan mekanisme perubahan ion natrium dalam tubulus ginjal dan
sekresi aldosteron. Aldosteron juga berfungsi mengatur keseimbangan kadar kalium
dalam plasma (cairan ekstrasel). Nilai normalnya sekitar 3,5-5,5 mEq/lt.
B. Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat
(HCO3 -), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat (PO4 3-
). Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada intinya sama
maka nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi dari cairan ekstraseluler tetapi
tidak mencerminkan komposisi cairan intraseluler.

1. Klorida
Klorida merupakan anion utama dalam cairan ekstrasel. Fungsi klorida biasanya
bersatu dengan natrium yaitu mempertahankan keseimbangan tekanan osmotik
dalam darah. Normalnya sekitar 95-105 mEq/lt.
2. Bikarbonat
Bikarbonat adalah buffer kimia utama dalam tubuh dan terdapat pada cairan ekstrasel
dan intrasel. Bikarbonat diatur oleh ginjal.
3. Fosfat
Fosfat merupakan anion buffer dalam cairan intrasel dan ekstrasel. Fosfat berfungsi
untuk meningkatkan kegiatan neuromuskular, metabolisme kabohidrat, pengaturan
asam basa
2.4 Terapi Cairan

Terapi cairan dibedakan menjadi 2 bagian yaitu: Terapi cairan Resusitasi


(Replacement) yang terdiri dari (Kristaloid, Koloid) danTerapi cairan Rumatan
(mentenes) yang terdiri dari (Elektrolit dan Nutrisi).

2.4.1 Terapi Cairan Resusitasi

1. Cairan Kristaloid

Cairan yang dipilih pada resusitasi awal maka efektif dalam mengisi atau
mengganti kehilngan sejumlah volume cairan, terutama kehilangan cairan interstitial
ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan
cairan segera. Seperti pada syok hemoragik dan septic syok pasien luka bakar, pasien
dengan trauma kepala ( untuk menjaga tekanan perfusi otak), dan pasien dengan
plasma pheresis dan reseksi hepar.

Kristaloid merupakan cairan yang mengandung substansi yang dapat melewati


membran semipermeabel seperti membran pembuluh darah. Kristaloid mempunyai
berat molekul (BM) kecil kurang dari 8000 Dalton. Logam utama yang terdapat dalam
cairan ini adalah Na. Pemberian 1000 cc cairan kristaloid dapat memberikan
peningkatan volume plasma 200 cc atau 20% (Tatara et al, 2007).

Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler. Karena perbedaan sifat
antara kristaloid dan koloid, dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang
interstitial dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk
resusitasi defisit cairan di ruang intersisial. (Kaswiyan, 2000).

Keuntungan pemberian cairan kristaloid

Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah
di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi
atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama. Cairan
kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama
efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume
intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.

Kerugian pemberian cairan kristaloid

Kerugian dari cairan kristaloid adalah kemampuannya terbatas untuk tetap berada
diruang intravaskular.

Perhatian pada penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan cairan ringer
laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang disebabkan
oleh adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat metabolisme laktat. Dan
pemberian cairan kristaloid dalam jumlah (>4-5 L) dapat menimbulkan edema
jaringan.

Larutan dekstrosa atau glukosa merupakan golongan karbohidrat, Umumnya tidak


dipakai sebagai cairan resusitasi karena tidak mengandung elektrolit. Penggunaannya
harus hati-hati karena dapat menye babkan peningkatan kadar glukosa darah. Larutan
glukosa 5 % atau 10% digunakan sebagai terapi hipoglikemia, dehidrasi, dan sebagai
pelarut obat injeksi. Glukosa 5% yang diberikan bersama insulin dapat digunakan
untuk menurunkan kadar kalium darah (pada kondisi hiperkalemia).

Komposisi Cairan Kristaloid (Morgan, 2013).

Solution Tonicity Na+ Cl- K+ Ca2 Glucose Lactate


5% Hypo 50
Dextrose (253)
in water
Normal Iso (308) 154 154
saline
D5 ¼ NS Iso (330) 38,5 38,5 50
D5 ½ NS Hyper 77 77 50
(407)
D5NS Hyper 154 154 50
(561)
Lactated Iso (273) 130 109 4 3 28
Ringers
D5LR Hyper 130 109 4 3 50 28
(525)

2. Cairan Koloid

Koloid bersifat merupakan cairan plasma expander, yaitu cairan yang dapat
dengan cepat menggantikan volume plasma dengan perbandingan yang sama atau
dengan jumlah yang besar, yaitu pemberian 1 cc koloid dapat menggantikan 1 cc
volume darah yang hilang. Koloid juga bertahan lama di pembuluh darah. Sifat ini
terjadi karena berat molekul koloid yang cukup besar sehingga dapat menutup pori-
pori atau permeabilitas pembuluh darah. Oleh sebab itu, cairan tidak mudah keluar
dari pembuluh darah ke interstisium maka sifatnya hipotonik. Efek ini dinamakan
sealing effect. Pada prinsipnya, cairan koloid digunakan untuk mengganti volume
cairan yang hilang atau hipovolemia. Penggunaan koloid harus hati-hati karena dapat
mengganggu fungsi ginjal dan proses penggumpalan darah. Makin besar berat
molekul, makin besar sealing effect molekul tersebut, tetapi makin tinggi pula risiko
gangguan fungsi ginjal dan penggumpalan darah, apalagi pada pasien dengan usia
tua.

Terdapat beberapa contoh larutan koloid yaitu:

1. Albumin

Albumin merupakan larutan koloid murni yang berasal dari plasma manusia. Albumin
dibuat dengan pasteurisasi pada suhu 600C dalam 10 jam untuk meminimalisir resiko
transmisi virus hepatitis B atau C atau pun virus imunodefisiensi. Waktu paruh albumin
dalam plasma adalah sekitar 16 jam, dengan sekitar 90% tetap bertahan dalam
intravascular 2 jam setelah pemberian.

2. Dekstran

Dekstran merupakan semisintetik koloid yang secara komersial dibuat dari sukrose
oleh mesenteroides leukonostok strain B 512 dengan menggunakan enzim dekstran
sukrose. Ini menghasilkan dekstran BM tinggi yang kemudian dilengketkan oleh
hidrolisis asam dan dipisahkan dengan fraksionasi etanol berulang untuk
menghasilkan produk akhir dengan kisaran BM yang relatif sempit. Dekstran untuk
pemakaian klinis tersedia dalam dekstran 70 (BM 70.000) dan dekstran 40 (BM
40.000) dicampur dengan garam faal, dekstrosa atau Ringer laktat.

3. Dekstran 70

6 % digunakan pada syok hipovolemik dan untuk profilaksis tromboembolisme dan


mempunyai waktu paruh intravaskular sekitar 6 jam. Pemakaian dekstran untuk
mengganti volume darah atau plasma hendaknya dibatasi sampai 1 liter (1,5 gr/kgBB)
karena risiko terjadi perdarahan abnormal. Batas dosis dekstran yaitu 20
ml/kgBB/hari.

Sekitar 70% dosis dekstran 40 yang diberikan akan dieksresikan ke dalam urine dalam
24 jam. Molekul- molekul yang lebih besar dieksresikan lewat usus atau dimakan oleh
sel-sel sistem retikoloendotelial. Volume dekstran melebihi 1 L dapat mengganggu
hemostasis. Disfungsi trombosit dan penurunan fibrinogen dan faktor VIII merupakan
alasan timbulnya perdarahan yang meningkat. Reaksi alergi terhadap dekstran telah
dilaporkan, tetapi kekerapan reaksi anafilaktoid mungkin kurang dari 0,02 %. Dekstran
40 hendaknya jangan dipakai pada syok hipovolemik karena dapat menyumbat
tubulus ginjal dan mengakibatkan gagal ginjal akut.

4. Gelatin

Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat yang umum dipasaran
adalah gelatin yang mengalami suksinasi seperti Gelofusin dengan pelarut NaCL
isotonik. Gelatin dengan ikatan urea-poligelin ( Haemaccel ) dengan pelarut NaCL
isotonik dengan Kalium 5,1 mmol/l dan Ca 6,25 mmol/ L.

Pemberian gelatin agaknya lebih sering menimbulkan reaksi alergik daripada


koloid yang lain. Berkisar dari kemerahan kulit dan pireksia sampai anafilaksis yang
mengancam nyawa. Reaksi-reaksi tersebut berkaitan dengan pelepasan histamine
yang mungkin sebagai akibat efek langsung gelatin pada sel mast.

Gelatin tidak menarik air dari ruang ekstravaskular sehingga bukan termasuk
ekspander plasma seperti dekstran. Larutan gelatin terutama diekskresikan lewat
ginjal dalam urin, sementara itu gelatin dapat menghasilkan diuresis yang bagus.
Sebagian kecil dieliminasikan lewat usus. Karena gelatin tidak berpengaruh pada
sistem koagulasi, maka tidak ada pembatasan dosis. Namun, bila terlalu banyak infus,
pertimbangkan adanya efek dilusi. Gelatin dapat diberikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal bahkan pada pasien yang menjalani hemodialisis. Indikasi
gelatin : Penggantian volume primer pada hipovolemia, stabilisasi sirkulasi
perioperatif. Sedangkan kontraindikasi adalah infark miokard yang masih baru terjadi,
gagal jantung kongestif dan syok normovolemik.

5. Hydroxylethyl Starch (HES) Senyawa kanji hidroksietil ( HES )

merupakan suatu kelompok koloid sintetik polidisperse yang mempunyai


glikogen secara struktural. Kurang dapat diterima kanji hidroksi (HES ) untuk
pengantian volume paling mungkin akibat laporan-laporan adanya koagulasi
abnormal yang menyertai subtitusi plasma ini. Laporan laporan tentang HES yang
memperlihatkan koagulasi darah yang terganggu dan kecenderungan perdarahan
yang meningkat sebagian besar berdasarkan pemakaian preparat HES berat molekul
tinggi ( HMW-HES ). Waktu paruh dari 90% partikel HES adalah 17 hari. Seperti
semua koloid lainnya, kanji hidroksietil juga berkaitan dengan reaksi anafilaktoid yang
ringan dengan kekerapan kira-kira 0,006 %. Indikasi pemberian HES adalah :Terapi
dan profilaksis defisiensi volume (hipovolemia) dan syok (terapi penggantian volume)
berkaitan dengan pembedahan (syok hemoragik), cedera (syok traumatik), infeksi
(syok septik), kombustio (syok kombustio). Sedangkan kontra indikasi adalah : Gagal
jantung kongestif berat, Gagal ginjal (kreatinin serum >2 mg/dL dan >177
mikromol/L).Gangguan koagulasi berat (kecuali kedaruratan yang mengancam
nyawa). Dosis penggunaan HES adalah 20 ml/kgBB/hari

Keuntungan pemberian cairan koloid

Distribusi koloid lebih lama berada dalam sirkulasi, Waktu resusitasi lebih singkat,

Oksigenasi jaringan lebih baik, Insiden edema paru dan/atau edema sistemik lebih
rendah.

Kerugian pemberian cairan koloid

Namun, penggunaan berlebihan koloid dapat memicu gagal jantung, paru dan edem
a perifer. resusitasi cairan koloid dapat menyebabkan edema paru serta syok
anafilaksis dan mereka dapat menyebabkan peningkatan kecil dalam
tingkat kematian.
gelatin dapat menyebabkanreaksi anafilaksis dan ada kekhawatiran
mengenai transmisi kemungkinan sapi spongiform encephalopathy.

Perbandingan Kristaloid dan Koloid (Pinnock, 1999).

Kristaloid Koloid
Keunggulan 1. Lebih mudah tersedia dan 1. Ekspansi volume
murah plasma
tanpa ekspansi interstitial
2. Komposisi serupa dengan
plasma (Ringer asetat/ringer 2. Ekspansi volume lebih besar
laktat)
3. Durasi lebih lama
3. Bisa disimpan di suhu kamar 4. Oksigenasi jaringan lebih baik
4. Bebas dari reaksi anafilaktik
5. Insiden edema paru dan/atau
5. Komplikasi minimal edema sistemik lebih rendah
Kekurangan 1. Edema paru dan edema perifer 1. Anafilaksis
Pada pemberian berlebih 2. Koagulopati

2. Oksigenasi jaringan terganggu 3. Albumin bisa memperberat


karena bertambahnya jarak depresi miokard pada pasien
kapiler dan sel syok

3. Memerlukan volume 4 kali lebih


banyak

3. Nutrisi

Pemberian nutrisi dibedakan menjadi 2

3.1 Nutrisi enteral

Enteral Nutrition (EN) adalah nutrisi yang diberikan pada pasien yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan nutrisinya melalui rute oral, formula nutrisi diberikan melalui
tube ke dalam lambung (gastric tube), nasogastrik tube (NGT), atau jejunum dapat
secara manual maupun dengan bantuan pompa mesin (gastrostomy dan jejunum
percutaneous).Teknik pemasangan selang untuk memberikan nutrisi secara enteral
pernah dijelaskan oleh Tuna, M et al. (2013) dalam penelitiannya yaitu terdapat
beberapa teknik untuk memasukkan selang nasoenterik melalui : nasogastric,
nasoduodenum, atau nasojejunum, namun sebaiknya menggunakan teknik PEG
(Percutaneous Endoscopic Gastrostomy) karena komplikasinya lebih sedikit. Teknik
lain yang dapat digunakan adalah laparoskopi jejunustomi atau gastrojejunustomy.
Akan tetapi, sebagian besar pasien toleran terhadap pemasangan selang nasoenteric
secara manual (Tuna, M., et al, 2013).
Metode pemberian nutrisi enteral ada 2 yaitu
gravity drip (pemberian menggunakan corong yang disambungkan ke selang
nasogastric dengan kecepatan mengikuti gaya gravitasi) dan
intermittent feeding (pemberian nutrisi secara bertahap yang diatur
kecepatannya menggunakan syringe pump).
Metode intermittent feeding lebih efektif dibandingkan metode gravity drip, hal
ini dilihat dari nilai mean volume residu lambung yang dihasilkan pada intermittent
feeding lebih sedikit dibandingkan gravity drip yaitu 2,47 ml : 6,93 ml. Hal ini
dikarenakan kondisi lambung yang penuh akibat pemberian secara gravity drip akan
memperlambat motilitas lambung dan menyebabkan isi lambung semakin asam
sehingga akan mempengaruhi pembukaan spinkter pylorus.

Kekurangan pemberian nutrisi enteral

Efek dari serangkaian kegiatan tersebut adalah terjadinya pengosongan


lambung (Munawaroh, et al., 2012). Volume residu lambung yang dihasilkan dari
nutrisi enteral hingga 500 ml masih dikategorikan normal karena tidak menimbulkan
komplikasi gastrointestinal dan diet volume rasio (diet yang diberikan) pada pasien
yang terpasang ventilator dengan nutrisi enteral tidak berpengaruh terhadap produksi
volume residu lambung (Montejo, et al., 2010).

Keuntungan pemberian nutrisi enteral

Nutrisi enteral sebaiknya diberikan pada semua pasien kritis kecuali pasien
mengalami distensi abdomen, perdarahan gastrointestinal, diare dan muntah. Nutrisi
enteral yang diberikan pada pasien dengan gangguan gastrointestinal dapat
menyebabkan ketidak cukupan pemenuhan nutrisi dan berisiko terjadi malnutrisi.
(Ziegler, 2009). Penelitian lain mengenai banyaknya penggunaan nutrisi enteral bagi
pasien kritis juga dilakukan oleh Jonqueira et al. (2012) bahwa terdapat protocol
tentang pemberian nutrisi bagi pasien kritis dengan algoritma jika hemodinamik pasien
telah stabil, lakukan penghitungan kebutuhan nutrisi dengan memilih pemberian
nutrisi secara enteral. Penggunaan nutrisi enteral juga dapat meningkatkan status.
3.2 Nutrisi Parenteral

Nutrisi Parenteral Nutrisi parenteral/ Parenteral Nutrition (PN) adalah suatu


bentuk pemberian nutrisi yang diberikan langsung melalui pembuluh darah tanpa
melalui saluran pencernaan (Yuliana, 2009).

Kekurangan pemberian nutrisi parenteral

Metode pemberian nutrisi parenteral bisa melalui vena perifer dan vena central,
namun risiko terjadinya phlebitis lebih tinggi pada pemberian melalui vena perifer
sehingga metode ini tidak banyak digunakan. Nutrisi parenteral diberikan bila asupan
nutrisi enteral tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien dan tidak dapat diberikan
dengan baik.

Keuntungan pemberian nutrisi parenteral

Nutrisi parenteral diberikan pada pasien dengan kondisi reseksi usus massif,
reseksi kolon, fistula dan pasien sudah dirawat selama 3-7 hari (Ziegler, 2009).
Pemberian nutrisi melalui PN harus berdasarkan standar yang ada agar tidak terjadi
komplikasi diantaranya menentukan tempat insersi yang tepat (tidak boleh digunakan
untuk plebotomi dan memasukkan obat), persiapan formula PN secara steril 24 jam
sebelum diberikan ke pasien dan disimpan di kulkas serta aman dari pencahayaan
agar menurunkan degradasi biokimia dan kontaminasi bakteri. Namun sebelum
diberikan ke pasien suhu formula harus disesuaikan dengan suhu ruangan (Ziegler,
2009). Komponen dalam pemberian nutrisi secara parenteral sebaiknya tidak
menggunakan lemak dalam minggu pertama selama perawatan di ICU, namun
penggunaan asam lemak omega-3 masih boleh diberikan. Zat gizi yang
direkomendasikan adalah penambahan pemberian glutamin (Martindale, et al., 2009;
Ziegler, 2009). Penelitian lain juga mendukung penambahan pemberian glutamin
dilakukan oleh Jonqueiraet al. (2012) yaitu untuk meningkatkan toleransi pasien
teerhadap nutrisi yang diberikan maka selain pemberian enteral ditambahkan pula
infus dengan volume minimal yaitu 15 ml/ jam dengan diet semi elemental,
normokalori, hipolipid, dan hiperprotein dengan penambahan glutamine.
2.5 Terapi pemberian kebutuhan cairan perioperatife
2.5.1 Faktor pemberian cairan perioperatife
1. Maintenance Kebutuhan normal cairan harian

Makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh dengan cara oral dapat
menjadi asupan cairan dan elektrolit dalam keadaan normal. Total air tubuh juga
dipengaruhi oleh proses metabolisme yang berlangsung.
Normalnya, keluaran cairan tubuh dapat terjadi melalui urin, insensibel water
loss, dan juga melalui saluran cerna. Sedangkan dari keadaan patologis seperti
muntah, diare, trauma, ataupun perdarahan aktif, merupakan beberapa cara yang
menyebabkan tubuh dapat kehilangan cairan.
Kebutuhan cairan setiap harinya dapat ditentukan dengan rumus Holiday
Segar (Hahn, 2012).
Kebutuhan Normal Bayi dan anak dan dewasa
 Pada anak sesuai dengan perhitungan di bawah ini :
Rumus Holllday - Segar
Berat badan Kebutuhan cairan per hari
Hilang 10 kg 100 ml/kgBB
11-20 kg 1000 ml + 50 ml/kgBB ( untuk tiap kg
diatas 10 kg)
>20 kg 1500 ml + 20 ml/kgBB ( untuk tiap kg
diatas 20 kg)

 Kebutuhan elektrolit bayi dan anak


Kebutuhan kalium 2,5 mEq/kgBB/hari
Kebutuhan natrium 2-4 mEq/kgBB/hari
 Kebutuhan cairan orang dewasa
Orang dewasa:
Pada orang dewasa kebutuhannya yaitu :
 Kebutuhan air sebanyak 30 -50 ml/kgBB/hari
 Kebutuhan kalium 1-2 mEq/kgBB/hari
 Kebutuhan natrium 2-3 mEq/kgBB/hari

2. Defisit Cairan Pra Bedah

Hal ini muncul akibat :


• Puasa

• Kehilangan cairan abnormal (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan,


translokasi cairan)

• Meningkatnya insensible water loss akibat hiperventilasi

• Demam dan berkeringat banyak.

Bentuk gangguan yang paling sering terjadi adalah kelebihan atau kekurangan
cairan yang mengakibatkan perubahan volume (Mangku, 2010).

Dehidrasi merupakan suatu kondisi defisit air dalam tubuh akibat masukan yang
kurang atau keluaran yang berlebihan.

Kondisi dehidrasi bisa terdiri dari 3 bentuk, yaitu:

1. Isotonik : bila air hilang bersama garam, contoh: GE akut, overdosis diuretic.

2. Hipotonik: Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak
dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di
kompartemen intravaskular berpindah ke ekstravaskular, sehingga menyebabkan
penurunan volume intravascular.

3. hipertonik (Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak
dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen
ekstravaskular berpindah ke kompartemen intravaskular, sehingga penurunan volume
intravaskular minimal).

Gejala dan tanda : Tergantung pada berat ringannya derajat dehidrasi

Derajat ringan.

kehilangan air ( Defisit 4% BB ) terdapat tanda Rasa haus, mukosa kulit kering, mata
cowong/cekung.

Derajat Sedang

Kehilangan air ( Defisit 8% dari BB ) disertai dengan delirium, oligo uri, suhu tubuh
meningkat.

Derajat Berat
Kehilangan air ( Defisit 12% dari BB ) disertai koma, hipernatremi, viskositas plasma
meningkat.

Replacement Kasus Dehidrasi

Replacement dihitung berdasarkan level dehidrasi. Untuk menghitung jumlah


replacement dalam periode 24 jam, presentasi dehidrasi digunakan mengikuti
perhitungan berikut:

Replacement = % Dehidrasi X berat badan X 10

2. Kehilangan cairan saat pembedahan

Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan


kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan
(perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi).

Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur pembedahan dan jumlah
darah yang hilang

A. Penguapan (evaporasi)

 Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah mata
(ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama pembedahan.

 Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat diberikan cairan


sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk
pengganti akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam
berupa cairan garam seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R.

 Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam


untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk
pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam (wirayana, 2010).
B. Pemberian cairan pengganti pendarahan

Pendarahan dapat diukur dari:

- Botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap darah


(suction pump)
- Dengan cara menimbang kasa yang digunakan sebelum dan setelah
pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4X4 cm) mengandung 10 ml
darah, sedangkan tampon besar (Laparotomy pads) dapat menyerap darah
100 – 10 ml.
Rumus Pendarahan

- Rumus EBL : kgBB x EBV


- Dimana EBV ( Estimasi Blood Volume) pada laki laki = 70 dan pada wanita =
65
- jika perdarahan 10% : kita berikan cairan kristaloid yaitu 1 : 2-4 x pemberian.
- Jika perdarahan 10% kedua : berikan cairan koloid dan darah 1 : 1ml
- Jika pendarahan >20 % :diberikan darah 1 : 1ml

3. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah

Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1°C suhu
tubuh.

Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.

Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan


humidifikasi.

Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang


belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan
transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.

Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.


Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi
nafas, suhu tubuh dan warna kulit.
BAB 3

KESIMPULAN

Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra bedah,
selama pembedahan dan pasca bedah dimana saluran pencernaan belum berfungsi
secara optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian.

Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam 2 kompartemen yaitu kompartemen


ekstraseluler (20%) dan intraseluler (40%) Dimana kompartemen ekstraseluler dibagi
menjadi cairan intravascular (5%) dan intersisial (15%).

Terapi cairan dibedakan menjadi 2 bagian yaitu: Terapi cairan Resusitasi


(Replacement) yang terdiri dari (Kristaloid, Koloid) danTerapi cairan Rumatan
(mentenes) yang terdiri dari (Elektrolit dan Nutrisi)...

Kristaloid keunggulan : Lebih mudah tersedia dan murah, Komposisi serupa


dengan plasma (Ringer asetat/ringer laktat), Bisa disimpan di suhu kamar, Bebas dari
reaksi anafilaktik, Komplikasi minimal. Kelemahan: Oksigenasi jaringan terganggu
karena bertambahnya jarak kapiler dan sel memerlukan volume 4 kali lebih banyak,
Edema bias mengurangi ekspansibilitas dinding dada.

Koloid keunggulan : Ekspansi volume plasma tanpa ekspansi interstitial, Ekspansi


volume lebih besar, Durasi lebih lama, Oksigenasi jaringan lebih baik, Insiden edema
paru dan/atau edema sistemik lebih rendah. Kelemahan: Anafilaksis, Koagulopati,
Albumin bisa memperberat depresi miokard pada pasien syok.

Nutrisi dibagi menjadi 2 yaitu Enteral Nutrition (EN) adalah nutrisi yang diberikan
pada pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya melalui rute oral,
formula nutrisi diberikan melalui tube ke dalam lambung (gastric tube), nasogastrik
tube (NGT), atau jejunum dapat secara manual maupun dengan bantuan pompa
mesin (gastrostomy dan jejunum percutaneous), dan Nutrisi parenteral/ Parenteral
Nutrition (PN) adalah suatu bentuk pemberian nutrisi yang diberikan langsung melalui
pembuluh darah tanpa melalui saluran pencernaan.
Terapi pemberian kebutuhan cairan perioperatife tedapat beberapa Faktor pemberian
cairan perioperative yaitu Maintenance Kebutuhan normal cairan harian orang
dewasa kebutuhannya yaitu kebutuhan air sebanyak 30 -50 ml/kgBB/hari.

Deficit cairan prabedah yang paling sering adalah dehidrasi yang merupakan suatu
kondisi defisit air dalam tubuh akibat masukan yang kurang atau keluaran yang
berlebihan. dimana Gejala dan tanda Tergantung pada berat ringannya derajat
dehidrasi dimana Derajat ringan Defisit 4%, sedang 6%, dan berat 8%.

Kehilangan cairan saat pembedahan terdiri dari 1. penguapan ( evaporasi ) yang


memiliku derajat ringan, sedang, berat sesuai dengan jenis operasi yang digunakan.

2. Perdarahan  diukur dari botol penampung darah dimana kasa (4x4 cm) 10 ml
darah

laparatomy pads 10-100 ml darah.

Jika pendarahan < 10 % EBV ganti dgn kristaloid

10-20% dengan kristaloid/koloid, > 20 % dengan transfusi darah.


DAFTAR PUSTAKA

Aitkenhead, Alan R, et al. Textbook of Anaethesia. Fifth Edition. United


Kingdom : Churchill Livingstone. 2007.

Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhall’s Clinical
Anesthesiology. Fifth Edition. New York: Mc. Graw Hill. 2013.

Evers, AS, and Mervyn Maze. Anesthetic Pharmacology: Physiologic


Principles and Clinical Practice. United Kingdom : Churchill Livingstone. 2004.

Hahn RG. Crystalloid Fluids. Dalam Clinical Fluid Therapy in the Perioperative
Setting. Cambridge: Cambridge University Press. 2012; 1 : h. 1 – 10.

Hall, J. E., 2006. Guyton's Textbook of Medical Physiology. 11 ed.


Philadelpia: Elsevier. Chow JL, B. K. a. B. L., 2004. Critical Care Handbook of the
Massachusetts General Hospital. 3rd ed. US: Lippincott Williams & Wilkins.

Hall, J. (2014). Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 12th ed.
Singapore: Elsevier Health Sciences.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik
Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.

Kaswiyan U. Terapi Cairan Perioperatif. Bagian Anestesiologi dan Reanimasi.


Fakultas Kedokteran UnPad/RS Hasan Sadikin. 2000.

Mangku G, Senapathi TGA. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam Buku


Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks; 2010. 6 (5) : h.272 – 98.
Mangku G, Senapathi TGA. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam Buku
Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks; 2017. 6 (5): h.272 – 301.

Montejo, J.C.,et al. 2010. Gastric Residual Volume During Enteral Nutrition In
ICU Patients: The REGANE Study.
Pandey CK, Singh RB. Fluid and electrolyte disorders. Indian J. Anaesh.
2003;47(5):380-387.
Rohde JM, Dimcheff DE, Blumberg N, Saint S, Langa KM, Kuhn L, et al.
Health care-associated infection after red blood cell transfusion: A systematic review
and meta-analysis.JAMA 2014;311:1317-26

Tuna,M., R. Latifi., A. El-Menyer., H. Al Thani. 2013. Gastrointestinal Tract


Access For Enteral Nutrition In Critically Ill And Trauma Patients: Indications,
Techniques, And Complications. Europian Journal Trauma Emergency Surgical
(2013)

Pinnock, Colin, et al. Fundamentals of Anaaesthesia. GMM. 1999.

Sharma S, Sharma P, Tyler LN. Transfusion of blood and blood products:


indication and complication. Am Fam Physician 2011;83(6):719-24

Anda mungkin juga menyukai