Pembimbing :
Penyusun :
2019.04.20.161
2019
BAB 1
PENDAHULUAN
Komponen cairan ekstraseluler terdiri dari ion natrium, klorida dan bikarbonat
yang jumlahnya banyak serta ditambah berbagai zat gizi untuk sel, seperti oksigen,
glukosa, asam lemak, dan asam amino. Komponen penting dari cairan ekstraseluler
adalah cairan interstisial, yang jumlahnya mencapai tiga perempat dari keseluruhan
cairan ekstraselular, dan seperempat lainnya merupakan plasma. Sedangkan cairan
intraseluler mengandung banyak ion kalium, magnesium dan fosfat dibandingkan
dengan ion natrium dan klorida yang banyak ditemukan pada cairan ekstraseluler
(Guyton, 2014).
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada
perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun
perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan
tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka
resiko penderita menjadi lebih besar. Maka oleh itu diberikan terapi cairan yang
meliputi penggantian kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi
untuk membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan normal dan pulihnya
perfusi ke jaringan, oksigenasi sel, dengan demikian akan mengurangi iskemia
jaringan dan kemungkinan kegagalan organ.
Terapi cairan perioperatif meliputi cairan pada masa prabedah, selama
pembedahan, dan pascabedah. Dalam pemberian cairan pada pasien perioperatif,
harus diperhitungkan kebutuhan cairan basal, penyakit yang menyertai, medikasi,
teknik dan obat anestetik serta kehilangan cairan yang diakibatkan pembedahan.
Dalam referat ini akan dibahas lebih lanjut mengenai cairan perioperatife
berdasarkan komposisi, jenis jenis cairan, serta teknik atau perhitungan pemberian
cairan pengganti terutama
BAB 2
CAIRAN PERIOPERATIF
Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra bedah,
selama pembedahan dan pasca bedah dimana saluran pencernaan belum berfungsi
secara optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian, dengan cairan
infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara intravena Terapi
dinilai berhasil apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan
hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan berupa edema paru dan gagal nafas.
Defisit cairan perioperatif timbul sebagai akibat puasa pra-bedah yang kadang-
kadang dapat memanjang, kehilangan cairan yang sering menyertai penyakit
primernya, pendarahan, manipulasi bedah, dan lamanya pembedahan yang
mengakibatkan terjadinya sequestrasi atau translokasi cairan. Pada periode pasca
bedah kadang-kadang pendarahan dan atau kehilangan cairan (dehidrasi) masih
berlangsung, yang tentu saja memerlukan perhatian khusus (Pandey, 2013).
100%
Water Tissue
A. Cairan intraselular
B. Cairan ekstraselular
Cairan interstitial adalah cairan yang mengelilingi sel dan termasuk cairan yang
terkandung diantara rongga tubuh seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi
sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan. Sementara, cairan intravaskular
merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah, dalam hal ini plasma
darah (Guyton, 2006).
2.3 Komponen Keseimbangan Elektrolit
Elektrolit merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus
listrik. Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah
kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen).
(Hidayat, 2008).
A.Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation
utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa terdapat
di dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.
1. Natrium
merupakan kation dalam tubuh yang berfungsi sebagai pengaturan osmolaritas
serta volume cairan tubuh. Pengaturan konsentrasi ekstrasel diatur oleh ADH dan
aldosteron. Aldosteron dihasilkan oleh korteks suprarenal dan berfungsi untuk
mempertahankan keseimbangan konsentrasi natrium dalam plasma dan prosesnya
dibantu oleh ADH. ADH mengatur sejumlah air yang diserap ke dalam ginjal dari
tubulus renalis. Aldosteron juga mengatur keseimbangan jumlah natrium yang diserap
kembali oleh darah. Ekskresi dari natrium dapat dilakukan melalui ginjal atau sebagian
kecil melalui tinja, keringat, dan air mata. Normalnya sekitar 135-148 mEq/lt.
2. Kalium
Kalium merupakan kation utama yang terdapat dalam cairan intrasel yang
berfungsi sebagai exitability neuromukuler dan kontraksi otot. Keseimbangan kalium
diatur oleh ginjal dengan mekanisme perubahan ion natrium dalam tubulus ginjal dan
sekresi aldosteron. Aldosteron juga berfungsi mengatur keseimbangan kadar kalium
dalam plasma (cairan ekstrasel). Nilai normalnya sekitar 3,5-5,5 mEq/lt.
B. Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat
(HCO3 -), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat (PO4 3-
). Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan interstitial pada intinya sama
maka nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi dari cairan ekstraseluler tetapi
tidak mencerminkan komposisi cairan intraseluler.
1. Klorida
Klorida merupakan anion utama dalam cairan ekstrasel. Fungsi klorida biasanya
bersatu dengan natrium yaitu mempertahankan keseimbangan tekanan osmotik
dalam darah. Normalnya sekitar 95-105 mEq/lt.
2. Bikarbonat
Bikarbonat adalah buffer kimia utama dalam tubuh dan terdapat pada cairan ekstrasel
dan intrasel. Bikarbonat diatur oleh ginjal.
3. Fosfat
Fosfat merupakan anion buffer dalam cairan intrasel dan ekstrasel. Fosfat berfungsi
untuk meningkatkan kegiatan neuromuskular, metabolisme kabohidrat, pengaturan
asam basa
2.4 Terapi Cairan
1. Cairan Kristaloid
Cairan yang dipilih pada resusitasi awal maka efektif dalam mengisi atau
mengganti kehilngan sejumlah volume cairan, terutama kehilangan cairan interstitial
ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan
cairan segera. Seperti pada syok hemoragik dan septic syok pasien luka bakar, pasien
dengan trauma kepala ( untuk menjaga tekanan perfusi otak), dan pasien dengan
plasma pheresis dan reseksi hepar.
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler. Karena perbedaan sifat
antara kristaloid dan koloid, dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang
interstitial dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk
resusitasi defisit cairan di ruang intersisial. (Kaswiyan, 2000).
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah
di setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi
atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan lama. Cairan
kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama
efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume
intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Kerugian dari cairan kristaloid adalah kemampuannya terbatas untuk tetap berada
diruang intravaskular.
Perhatian pada penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan cairan ringer
laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis metabolik yang disebabkan
oleh adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat metabolisme laktat. Dan
pemberian cairan kristaloid dalam jumlah (>4-5 L) dapat menimbulkan edema
jaringan.
2. Cairan Koloid
Koloid bersifat merupakan cairan plasma expander, yaitu cairan yang dapat
dengan cepat menggantikan volume plasma dengan perbandingan yang sama atau
dengan jumlah yang besar, yaitu pemberian 1 cc koloid dapat menggantikan 1 cc
volume darah yang hilang. Koloid juga bertahan lama di pembuluh darah. Sifat ini
terjadi karena berat molekul koloid yang cukup besar sehingga dapat menutup pori-
pori atau permeabilitas pembuluh darah. Oleh sebab itu, cairan tidak mudah keluar
dari pembuluh darah ke interstisium maka sifatnya hipotonik. Efek ini dinamakan
sealing effect. Pada prinsipnya, cairan koloid digunakan untuk mengganti volume
cairan yang hilang atau hipovolemia. Penggunaan koloid harus hati-hati karena dapat
mengganggu fungsi ginjal dan proses penggumpalan darah. Makin besar berat
molekul, makin besar sealing effect molekul tersebut, tetapi makin tinggi pula risiko
gangguan fungsi ginjal dan penggumpalan darah, apalagi pada pasien dengan usia
tua.
1. Albumin
Albumin merupakan larutan koloid murni yang berasal dari plasma manusia. Albumin
dibuat dengan pasteurisasi pada suhu 600C dalam 10 jam untuk meminimalisir resiko
transmisi virus hepatitis B atau C atau pun virus imunodefisiensi. Waktu paruh albumin
dalam plasma adalah sekitar 16 jam, dengan sekitar 90% tetap bertahan dalam
intravascular 2 jam setelah pemberian.
2. Dekstran
Dekstran merupakan semisintetik koloid yang secara komersial dibuat dari sukrose
oleh mesenteroides leukonostok strain B 512 dengan menggunakan enzim dekstran
sukrose. Ini menghasilkan dekstran BM tinggi yang kemudian dilengketkan oleh
hidrolisis asam dan dipisahkan dengan fraksionasi etanol berulang untuk
menghasilkan produk akhir dengan kisaran BM yang relatif sempit. Dekstran untuk
pemakaian klinis tersedia dalam dekstran 70 (BM 70.000) dan dekstran 40 (BM
40.000) dicampur dengan garam faal, dekstrosa atau Ringer laktat.
3. Dekstran 70
Sekitar 70% dosis dekstran 40 yang diberikan akan dieksresikan ke dalam urine dalam
24 jam. Molekul- molekul yang lebih besar dieksresikan lewat usus atau dimakan oleh
sel-sel sistem retikoloendotelial. Volume dekstran melebihi 1 L dapat mengganggu
hemostasis. Disfungsi trombosit dan penurunan fibrinogen dan faktor VIII merupakan
alasan timbulnya perdarahan yang meningkat. Reaksi alergi terhadap dekstran telah
dilaporkan, tetapi kekerapan reaksi anafilaktoid mungkin kurang dari 0,02 %. Dekstran
40 hendaknya jangan dipakai pada syok hipovolemik karena dapat menyumbat
tubulus ginjal dan mengakibatkan gagal ginjal akut.
4. Gelatin
Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat yang umum dipasaran
adalah gelatin yang mengalami suksinasi seperti Gelofusin dengan pelarut NaCL
isotonik. Gelatin dengan ikatan urea-poligelin ( Haemaccel ) dengan pelarut NaCL
isotonik dengan Kalium 5,1 mmol/l dan Ca 6,25 mmol/ L.
Gelatin tidak menarik air dari ruang ekstravaskular sehingga bukan termasuk
ekspander plasma seperti dekstran. Larutan gelatin terutama diekskresikan lewat
ginjal dalam urin, sementara itu gelatin dapat menghasilkan diuresis yang bagus.
Sebagian kecil dieliminasikan lewat usus. Karena gelatin tidak berpengaruh pada
sistem koagulasi, maka tidak ada pembatasan dosis. Namun, bila terlalu banyak infus,
pertimbangkan adanya efek dilusi. Gelatin dapat diberikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal bahkan pada pasien yang menjalani hemodialisis. Indikasi
gelatin : Penggantian volume primer pada hipovolemia, stabilisasi sirkulasi
perioperatif. Sedangkan kontraindikasi adalah infark miokard yang masih baru terjadi,
gagal jantung kongestif dan syok normovolemik.
Distribusi koloid lebih lama berada dalam sirkulasi, Waktu resusitasi lebih singkat,
Oksigenasi jaringan lebih baik, Insiden edema paru dan/atau edema sistemik lebih
rendah.
Namun, penggunaan berlebihan koloid dapat memicu gagal jantung, paru dan edem
a perifer. resusitasi cairan koloid dapat menyebabkan edema paru serta syok
anafilaksis dan mereka dapat menyebabkan peningkatan kecil dalam
tingkat kematian.
gelatin dapat menyebabkanreaksi anafilaksis dan ada kekhawatiran
mengenai transmisi kemungkinan sapi spongiform encephalopathy.
Kristaloid Koloid
Keunggulan 1. Lebih mudah tersedia dan 1. Ekspansi volume
murah plasma
tanpa ekspansi interstitial
2. Komposisi serupa dengan
plasma (Ringer asetat/ringer 2. Ekspansi volume lebih besar
laktat)
3. Durasi lebih lama
3. Bisa disimpan di suhu kamar 4. Oksigenasi jaringan lebih baik
4. Bebas dari reaksi anafilaktik
5. Insiden edema paru dan/atau
5. Komplikasi minimal edema sistemik lebih rendah
Kekurangan 1. Edema paru dan edema perifer 1. Anafilaksis
Pada pemberian berlebih 2. Koagulopati
3. Nutrisi
Enteral Nutrition (EN) adalah nutrisi yang diberikan pada pasien yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan nutrisinya melalui rute oral, formula nutrisi diberikan melalui
tube ke dalam lambung (gastric tube), nasogastrik tube (NGT), atau jejunum dapat
secara manual maupun dengan bantuan pompa mesin (gastrostomy dan jejunum
percutaneous).Teknik pemasangan selang untuk memberikan nutrisi secara enteral
pernah dijelaskan oleh Tuna, M et al. (2013) dalam penelitiannya yaitu terdapat
beberapa teknik untuk memasukkan selang nasoenterik melalui : nasogastric,
nasoduodenum, atau nasojejunum, namun sebaiknya menggunakan teknik PEG
(Percutaneous Endoscopic Gastrostomy) karena komplikasinya lebih sedikit. Teknik
lain yang dapat digunakan adalah laparoskopi jejunustomi atau gastrojejunustomy.
Akan tetapi, sebagian besar pasien toleran terhadap pemasangan selang nasoenteric
secara manual (Tuna, M., et al, 2013).
Metode pemberian nutrisi enteral ada 2 yaitu
gravity drip (pemberian menggunakan corong yang disambungkan ke selang
nasogastric dengan kecepatan mengikuti gaya gravitasi) dan
intermittent feeding (pemberian nutrisi secara bertahap yang diatur
kecepatannya menggunakan syringe pump).
Metode intermittent feeding lebih efektif dibandingkan metode gravity drip, hal
ini dilihat dari nilai mean volume residu lambung yang dihasilkan pada intermittent
feeding lebih sedikit dibandingkan gravity drip yaitu 2,47 ml : 6,93 ml. Hal ini
dikarenakan kondisi lambung yang penuh akibat pemberian secara gravity drip akan
memperlambat motilitas lambung dan menyebabkan isi lambung semakin asam
sehingga akan mempengaruhi pembukaan spinkter pylorus.
Nutrisi enteral sebaiknya diberikan pada semua pasien kritis kecuali pasien
mengalami distensi abdomen, perdarahan gastrointestinal, diare dan muntah. Nutrisi
enteral yang diberikan pada pasien dengan gangguan gastrointestinal dapat
menyebabkan ketidak cukupan pemenuhan nutrisi dan berisiko terjadi malnutrisi.
(Ziegler, 2009). Penelitian lain mengenai banyaknya penggunaan nutrisi enteral bagi
pasien kritis juga dilakukan oleh Jonqueira et al. (2012) bahwa terdapat protocol
tentang pemberian nutrisi bagi pasien kritis dengan algoritma jika hemodinamik pasien
telah stabil, lakukan penghitungan kebutuhan nutrisi dengan memilih pemberian
nutrisi secara enteral. Penggunaan nutrisi enteral juga dapat meningkatkan status.
3.2 Nutrisi Parenteral
Metode pemberian nutrisi parenteral bisa melalui vena perifer dan vena central,
namun risiko terjadinya phlebitis lebih tinggi pada pemberian melalui vena perifer
sehingga metode ini tidak banyak digunakan. Nutrisi parenteral diberikan bila asupan
nutrisi enteral tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien dan tidak dapat diberikan
dengan baik.
Nutrisi parenteral diberikan pada pasien dengan kondisi reseksi usus massif,
reseksi kolon, fistula dan pasien sudah dirawat selama 3-7 hari (Ziegler, 2009).
Pemberian nutrisi melalui PN harus berdasarkan standar yang ada agar tidak terjadi
komplikasi diantaranya menentukan tempat insersi yang tepat (tidak boleh digunakan
untuk plebotomi dan memasukkan obat), persiapan formula PN secara steril 24 jam
sebelum diberikan ke pasien dan disimpan di kulkas serta aman dari pencahayaan
agar menurunkan degradasi biokimia dan kontaminasi bakteri. Namun sebelum
diberikan ke pasien suhu formula harus disesuaikan dengan suhu ruangan (Ziegler,
2009). Komponen dalam pemberian nutrisi secara parenteral sebaiknya tidak
menggunakan lemak dalam minggu pertama selama perawatan di ICU, namun
penggunaan asam lemak omega-3 masih boleh diberikan. Zat gizi yang
direkomendasikan adalah penambahan pemberian glutamin (Martindale, et al., 2009;
Ziegler, 2009). Penelitian lain juga mendukung penambahan pemberian glutamin
dilakukan oleh Jonqueiraet al. (2012) yaitu untuk meningkatkan toleransi pasien
teerhadap nutrisi yang diberikan maka selain pemberian enteral ditambahkan pula
infus dengan volume minimal yaitu 15 ml/ jam dengan diet semi elemental,
normokalori, hipolipid, dan hiperprotein dengan penambahan glutamine.
2.5 Terapi pemberian kebutuhan cairan perioperatife
2.5.1 Faktor pemberian cairan perioperatife
1. Maintenance Kebutuhan normal cairan harian
Makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh dengan cara oral dapat
menjadi asupan cairan dan elektrolit dalam keadaan normal. Total air tubuh juga
dipengaruhi oleh proses metabolisme yang berlangsung.
Normalnya, keluaran cairan tubuh dapat terjadi melalui urin, insensibel water
loss, dan juga melalui saluran cerna. Sedangkan dari keadaan patologis seperti
muntah, diare, trauma, ataupun perdarahan aktif, merupakan beberapa cara yang
menyebabkan tubuh dapat kehilangan cairan.
Kebutuhan cairan setiap harinya dapat ditentukan dengan rumus Holiday
Segar (Hahn, 2012).
Kebutuhan Normal Bayi dan anak dan dewasa
Pada anak sesuai dengan perhitungan di bawah ini :
Rumus Holllday - Segar
Berat badan Kebutuhan cairan per hari
Hilang 10 kg 100 ml/kgBB
11-20 kg 1000 ml + 50 ml/kgBB ( untuk tiap kg
diatas 10 kg)
>20 kg 1500 ml + 20 ml/kgBB ( untuk tiap kg
diatas 20 kg)
Bentuk gangguan yang paling sering terjadi adalah kelebihan atau kekurangan
cairan yang mengakibatkan perubahan volume (Mangku, 2010).
Dehidrasi merupakan suatu kondisi defisit air dalam tubuh akibat masukan yang
kurang atau keluaran yang berlebihan.
1. Isotonik : bila air hilang bersama garam, contoh: GE akut, overdosis diuretic.
2. Hipotonik: Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak
dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di
kompartemen intravaskular berpindah ke ekstravaskular, sehingga menyebabkan
penurunan volume intravascular.
3. hipertonik (Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak
dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen
ekstravaskular berpindah ke kompartemen intravaskular, sehingga penurunan volume
intravaskular minimal).
Derajat ringan.
kehilangan air ( Defisit 4% BB ) terdapat tanda Rasa haus, mukosa kulit kering, mata
cowong/cekung.
Derajat Sedang
Kehilangan air ( Defisit 8% dari BB ) disertai dengan delirium, oligo uri, suhu tubuh
meningkat.
Derajat Berat
Kehilangan air ( Defisit 12% dari BB ) disertai koma, hipernatremi, viskositas plasma
meningkat.
Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur pembedahan dan jumlah
darah yang hilang
A. Penguapan (evaporasi)
Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah mata
(ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama pembedahan.
Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1°C suhu
tubuh.
KESIMPULAN
Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra bedah,
selama pembedahan dan pasca bedah dimana saluran pencernaan belum berfungsi
secara optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian.
Nutrisi dibagi menjadi 2 yaitu Enteral Nutrition (EN) adalah nutrisi yang diberikan
pada pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisinya melalui rute oral,
formula nutrisi diberikan melalui tube ke dalam lambung (gastric tube), nasogastrik
tube (NGT), atau jejunum dapat secara manual maupun dengan bantuan pompa
mesin (gastrostomy dan jejunum percutaneous), dan Nutrisi parenteral/ Parenteral
Nutrition (PN) adalah suatu bentuk pemberian nutrisi yang diberikan langsung melalui
pembuluh darah tanpa melalui saluran pencernaan.
Terapi pemberian kebutuhan cairan perioperatife tedapat beberapa Faktor pemberian
cairan perioperative yaitu Maintenance Kebutuhan normal cairan harian orang
dewasa kebutuhannya yaitu kebutuhan air sebanyak 30 -50 ml/kgBB/hari.
Deficit cairan prabedah yang paling sering adalah dehidrasi yang merupakan suatu
kondisi defisit air dalam tubuh akibat masukan yang kurang atau keluaran yang
berlebihan. dimana Gejala dan tanda Tergantung pada berat ringannya derajat
dehidrasi dimana Derajat ringan Defisit 4%, sedang 6%, dan berat 8%.
2. Perdarahan diukur dari botol penampung darah dimana kasa (4x4 cm) 10 ml
darah
Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhall’s Clinical
Anesthesiology. Fifth Edition. New York: Mc. Graw Hill. 2013.
Hahn RG. Crystalloid Fluids. Dalam Clinical Fluid Therapy in the Perioperative
Setting. Cambridge: Cambridge University Press. 2012; 1 : h. 1 – 10.
Hall, J. (2014). Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 12th ed.
Singapore: Elsevier Health Sciences.
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik
Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.
Montejo, J.C.,et al. 2010. Gastric Residual Volume During Enteral Nutrition In
ICU Patients: The REGANE Study.
Pandey CK, Singh RB. Fluid and electrolyte disorders. Indian J. Anaesh.
2003;47(5):380-387.
Rohde JM, Dimcheff DE, Blumberg N, Saint S, Langa KM, Kuhn L, et al.
Health care-associated infection after red blood cell transfusion: A systematic review
and meta-analysis.JAMA 2014;311:1317-26