Anda di halaman 1dari 19

JURNAL REVIEW

Cairan Resusitasi

Oleh:
A’ifatin Venysya (145070100111038)
Ria Sherliana()
Arum Sulistyarini()

Pembimbing:
dr. Hanif, Sp.An

LABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG
2019
CAIRAN RESUSITASI
John A. Myburgh, M.B., B.Ch., Ph.D., and Michael G. Mythen, M.D., M.B., B.S.

Abstrak
Cairan resusitasi menggunakan larutan koloid dan kristaloid merupakan intervensi yang
sudah umum diketahui pada penanganan kasus kegawatan. Pemilihan dan penggunaan dari
cairan resusitasi ini diambil berdasarkan prinsip fisiologis, namun pada praktiknya hal ini
ditentukan oleh klinisi tersebut. Cairan resusitasi yang ideal masih belum ditemukan.
Ditemukan beberapa bukti baru mengenai jenis dan dosis dari cairan resusitasi terhadap
outcome pasien.
Meskipun berdasarkan dari prinsip-prinsip fisiologis, larutan koloid tidak memberikan
keuntungan yang bermakna bila dibandingkan dengan larutan kristaloid sehubungan dengan
efek terhadap hemodinamik pasien. Albumin yang dianggap merupakan larutan koloid pilihan,
namun karena biaya yang cukup mahal menyebabkan penggunaannya masih terbatas.
Meskipun albumin sudah ditetap kan sebagai cairan resusitasi yang aman untuk pasien dengan
kondisi kritis serta mungkin memilki peran dalam pertolongan awal pasien sepsis,
penggunaannya masih dikaitkan dengan peningkatan mortalitas pada pasien dengan cedera
otak. Penggunaan larutan HES (HES) berhubungan dengan meningkatnya kebutuhan renal
replacement terapi dan tingginya efek samping yang timbul pada pasien yang dirawat di ICU.
Disamping itu tidak didapatkan bukti lain yang merekomendasikan penggunaan larutan koloid
semisintetik lainnya.
Larutan garam seimbang merupakan cairan resusitasi awal yang paling umum
digunakan, meskipn keamanan dan manfaatnya masih belum banyak terbukti. Penggunaan
normal saline telah dikaitkan dengan perkembangan asidosis metabolik dan gagal ginjal akut.
Disamping itu penggunaan larutan hipertonik juga belum terbukti aman untuk digunakan
sebagai cairan resusitasi. Semua cairan resusitasi dapat berkontribusi terhadap terjadinya
edema interstitial, khususnya dalam kondisi inflamasi di mana cairan resusitasi digunakan
berlebihan. Dokter yang bekerja pada tempat perawatan intensif harus mempertimbangkan
penggunaan cairan resusitasi seperti saat mereka mempertimbangkan penggunaan obat-
obatan intravena lainnya. Pemilihan jenis cairan harus didasarkan pada indikasi , kontraindikasi,
dan potensi efek toksik yang dapat ditimbulkan agar dapat memaksimalkan efikasi dan
menurunkan toksisitas.

Sejarah Penggunaan Cairan Resusitasi


Pada tahun 1832, Robert Lewins menggambarkan efek dari pemberian intravena dari
larutan garam yang telah dialkalinisasi dalam mengobati pasien selama pandemi kolera. Dia
mengamati bahwa "kuantitas cairan yang akan diberikan bergantung pada jumlah serum yang
hilang; dalam artian sesuai dengan jumlah cairan dalam tubuh pasien pada keadaan normal
sesuai dengan jumlah darah yang berada didalam pembuluh darah. ” [1] Pengamatan Lewins ini
masih sangat relevan hingga hari ini sama dengan hampir 200 tahun yang lalu.
Penggunaan cairan resusitasi Asanguinous di era modern diajukan oleh Alexis
Hartmann, yang merupakan hasil modifikasi larutan garam fisiologis. Larutan ini dikembangkan
pada tahun 1885 oleh Sidney Ringer untuk rehidrasi anak dengan gastroenteritis.[2] Dengan
perkembangan fraksinasi darah pada tahun 1941, albumin manusia dapat digunakan untuk
pertama kalinya dalam jumlah besar untuk resusitasi pasien yang mengalami luka bakar dalam
serangan di Pelabuhan Pearl di tahun yang sama.
Hari ini, cairan asanguinous digunakan di hampir semua pasien yang menjalani anestesi
umum untuk operasi besar, pada pasien dengan trauma berat dan luka bakar, dan pada pasien
di ICU. Ini adalah salah satu intervensi yang umum digunakan diseluruh dunia dalam menangani
kegawatan.
Terapi cairan hanya merupakan salah satu komponen dari strategi resusitasi
hemodinamik yang kompleks. Tujuan utamanya ialah untuk mengembalikan volume cairan
intravaskuler. Sitem syaraf simpatis merupakan regulator terhadap kapasitas eferen (vena) dan
konduksi aferen (arteri) ditambah dengan kontraktilitas otot jantung. [3] Terapi ajuvan untuk
resusitasi cairan, seperti penggunaan katekolamin untuk meningkatkan kontraksi jantung dan
aliran balik vena, perlu dipertimbangkan sejak awal pada kondisi gangguan sirkulasi.[4] Selain
itu, perubahan pada mikrosirkulasi di organ vital bervariasi dari waktu ke waktu bergantung
pada keadaan patologis yang menyebabkan, dan efek dari pemberian cairan pada fungsi organ
harus dipertimbangkan bersamaan dengan efek yang ditimbulkan pada volume intravaskular.

Dampak Fisiologis dari Pemberian Resusitasi Cairan


Selama beberapa dekade, dokter menentukan pilihan cairan resustasi mereka
berdasarkan model pembagian kompartemen klasik yaitu cairan intraseluler, intersisial dan
intravaskular. Pada tahun 1896, seorang ahli fisiologi dari Inggris Ernest Starling menemukan
bahwa kapiler dan venula postcapillary bertindak sebagai membran semipermeabel yang
berperan dalam menyerap cairan dari interstitial. [5] Prinsip ini kemudian diadaptasikan untuk
mengukur gradien tekanan hidrostatik dan onkotik pada membran semipermeabel sebagai
penentu utama perpindahan transvaskular.[6]
Deskripsi terbaru mengenai perpindahan transvaskular mulai mempertanyakan model
klasik ini.[7] Sebuah web dari membran-bound glikoprotein dan proteoglikan pada lumen sel
endotel telah diidentifikasi sebagai endotel glycocalyx layer [8] (Gbr. 1). Ruang subglycocalyx
menghasilkan tekanan koloid onkotik yang merupakan faktor penentu penting dari aliran
transcapillary. Kapiler Nonfenestrated pada seluruh ruang interstitial telah diidentifikasi, hal ini
menunjukkan bahwa penyerapan cairan tidak tidak terjadi melalui kapiler vena melainkan
cairan dari ruang interstitial, yang masuk melalui beberapa pori-pori besar, dikembalikan
menuju sirkulasi terutama sebagai limfe yang dimediasi oleh respon simpatis.[9]
Struktur dan fungsi lapisan glycocalyx endotel merupakan penentu utama dari
permeabilitas membran di pembuluh darah berbagai sistem organ . Integritas, atau "Leakiness,"
dari lapisan ini, serta potensinya dalam menyebabkan edema interstitial, bervariasi secara
substansial antara sistem organ, terutama pada kondisi inflamasi, seperti sepsis, [10] dan
setelah operasi atau trauma, ketika cairan resusitasi umumnya digunakan.
A

Gambar 1 Peran Layer endotel glycocalyx dalam Penggunaan Resuscitation


Cairan.
Struktur dan fungsi dari lapisan endotel glycocalyx, web dari
glikoprotein membran-terikat dan proteoglikan pada sel endotel, yang
merupakan penentu utama dari permeabilitas membran di berbagai
sistem organ pembuluh darah.
Panel A menunjukkan endotel lapisan glycocalyx sehat, dan panel B
menunjukkan lapisan glycocalyx endotel yang rusak dan efek resultan
terhadap permeabilitas, termasuk pengembangan edema interstitial pada
beberapa pasien, terutama mereka yang dengan kondisi inflamasi
(misalnya, sepsis).
Cairan Resusitasi Yang Ideal
Cairan resusitasi yang ideal haruslah merupakan cairan yang menghasilkan peningkatan
volume intravaskular yang dapat diprediksi dan berkelanjutan , memiliki komposisi kimia
semirip mungkin dengan cairan ekstraselular, dimetabolisme dan dapat dikeluarkan tanpa
akumulasi dalam jaringan, tidak menghasilkan efek metabolik yang merugikan atau efek
sistemik, dan biaya yang terjangkau. Saat ini, belum ada cairan seperti itu yang tersedia.
Cairan resusitasi yang dikategorikan menjadi koloid dan larutan kristaloid (Tabel 1).
Larutan koloid adalah suspensi molekul dalam larutan pembawa yang relatif tidak mampu
melintasi membran semipermeabel kapiler sehat karena berat molekul nya yang besar.
Kristaloid adalah larutan ion yang permeabel tetapi mengandung konsentrasi natrium dan
klorida yang menentukan tingkat tonisitas cairan.
Para pendukung larutan koloid berpendapat bahwa koloid lebih efektif dalam
memperluas volume intravaskular karena mereka bertahan dalam ruang intravaskular dan
memelihara tekanan onkotik koloid. Efek Volume-sparing koloid, bila dibandingkan dengan
kristaloid, dianggaB memberikan keuntungan yang dideskripsikan dalam rasio adalah 1: 3 koloid
untuk kristaloid udalam mempertahankan volume intravaskular. Koloid semisintetik memiliki
durasi yang lebih singkat bila dibandingkan dengan albumin manusia, namun mereka aktif
dimetabolisme dan diekskresikan dari tubuh.
Para pendukung larutan kristaloid berpendapat bahwa koloid (Albumin manusia), mahal
dan tidak praktis untuk digunakan sebagai cairan resusitasi, terutama pada kondisi riil.
Kristaloid merupakan cairan yang relatif murah dan tersedia luas, dan ditetapkan sebagai
cairan resusitasi lini pertama meskipun belum terbukti manfaatnya. Namun, penggunaan
kristaloid dikaitkan dengan timbulnya angka kejadian edema interstitial yang signifikan.
Jenis Cairan Resusitasi
Secara global, terdapat variasi yang luas dalam praktek klinis sehubungan
dengan pemilihan cairan resusitasi. Pilihannya ditentukan terutama oleh daerah dan preferensi
dokter yang didasarkan pada protokol institusi, ketersediaan, biaya, dan komersial
marketing.[11] Konsensus tentang penggunaan cairan resusitasi telah dikembangkan dan
diarahkan terutama pada populasi pasien tertentu, [12-14] namun rekomendasi tersebut
sebagian besar didasarkan pada pendapat ahli atau memiliki bukti klinis berkualitas rendah
(lowquality). Ulasan sistematis dari Randomized Control Trial secara konsisten menunjukkan
bahwa hanya ada sedikit bukti bahwa resusitasi dengan satu jenis cairan bila dibandingkan
dengan yang lain dapat mengurangi risiko kematian [15] atau bahwa ada cairan tertentu yang
lebih efektif atau lebih aman daripada cairan yang lain. [16]

Albumin
Albumin manusia (4 sampai 5%) dalam larutan garam dianggap menjadi solusi referensi
koloid. Albumin dihasilkan dari fraksinasi darah dan dilakukan pemanasan untuk mencegah
terjadinya penularan patogen dan virus. Albumin merupakan larutan yang mahal (dalam jal
produksi dan distribusi) , dan ketersediaannya terbatas di negara-negara ekonomi menengah ke
bawah. Pada tahun 1998, Cochrane Injuries Grup pengulas Albumin menerbitkan meta-analisis
yang membandingkan efek albumin dengan larutan kristaloid pada berbagai pasien dengan
kondisi hipovolemia, luka bakar, atau hipoalbuminemia. Hasil dari meta-analisi tersebut
menyimpulkan bahwa pemberian albumin berhubungan dengan peningkatan angka kematian
yang signifikan dengan (risiko relatif, 1,68; 95% confidence interval [CI], 1,26-2,23; P <0,01) [17]
Meskipun memiliki keterbatasan seperti penelitian berskala kecil, data meta-analisis ini
merupakan peringatan yang penting untuk negara –negara yang banyak menggunakan albumin
sebagai cairan resusitasi.
Berdasar hasil metaanalisis tersebut , peneliti di Australia dan New Selandia melakukan
penelitian mengenai Saline vs Albumin Fluid Evaluation (SAFE) , merupakan penelitian blinded
randomized control trial untuk memeriksa keamanan penggunaan albumin pada 6997 orang
dewasa di ICU.[18] Studi ini menilai pengaruh resusitasi dengan 4% albumin, dibandingkan
dengan garam, terhadap angka kematian dalam 28 hari. Studi ini menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara albumin dan saline sehubungan dengan tingkat kematian
dengan (relatif resiko, 0.99; 95% CI, 0,91-1,09; P = 0,87) atau timbulnya kegagalan organ.
Analisis tambahan dari studi SAFE memberikan wawasan baru mengenai resusitasi
cairan pada pasien di ICU. Resusitasi dengan albumin berhubungan dengan peningkatan yang
signifikan dalam angka kematian dalam 2 tahun pada pasien dengan cedera otak traumatis
dengan (risiko relatif, 1,63; 95% CI, 1,17-2,26; P = 0,003) .[19] Hasil ini berhubungan dengan
peningkatan tekanan intrakranial, terutama selama minggu pertama setelah cedera.[20]
Resusitasi dengan albumin dikaitkan dengan penurunan risiko kematian dalam 28 hari pada
pasien dengan sepsis berat (odds ratio,0.71; 95% CI, 0,52-0,97; P = 0,03), menunjukkan
potensial, tetapi tidak berdasar, mengenai manfaat albumin pada pasien dengan sepsis.[21]
Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada kelompok, mengenai tingkat kematian dalam
28 hari pada pasien dengan hipoalbuminemia (kadar albumin, ≤25 g per liter)(Rasio odds, 0,87;
95% CI, 0,73-1,05) .[22]
Pada studi SAFE, tidak ada perbedaan yang signifikan pada nilai akhir hemodinamik
setelah resusitasi, seperti tekanan pembuluh arteri atau denyut jantung, antara kelompok
albumin dan saline, meskipun penggunaan albumin dikaitkan dengan peningkatan tekanan
vena sentral yang kecil. Rasio volume albumin terhadap volume saline yang harus diberikan
untuk mencapai titik akhir ini terpantau berada pada 1: 1,4. Pada tahun 2011, peneliti di sub-
Sahara Afrika melaporkan hasil randomized control trial mengenai cairan ekspansi sebagai
terapi suportif (FEAST) [23] membandingkan penggunaan bolus albumin atau saline dengan
resusitasi tanpa bolus cairan pada 3141 anak demam dengan gangguan perfusi. Dalam
penelitian ini, resusitasi bolus dengan albumin atau saline menyebabkan angka kematian yang
sama pada 48 jam, tetapi ada peningkatan yang signifikan terhadap angka kematian pada 48
jam terkait dengan kedua terapi tersebut,bila dibandingkan dengan terapi tanpa bolus (risiko
relatif, 1,45; 95% CI,1,13-1,86; P = 0,003). Penyebab utama kematian pada pasien ini adalah
kolaps kardiovaskular bukan karena kelebihan cairan ataupun gangguan neurologis, Hal ini
menunjukkan adanya interaksi yang berpotensi merugikan antara bolus resusitasi cairan dan
respon kompensasi dari neurohormonal .[24] Meskipun percobaan ini dilakukan pada populasi
pediatrik dalam suatu lingkungan di mana fasilitas perawatan kritis yang terbatas atau tidak
ada, hasil dari ini mempertanyakan peran dari resusitasi cairan bolus dengan baik albumin atau
saline di populasi lain dengan keadaan kritis.
Pengamatan pada penelitian ini menantang konsep fisiologi mengenai efikasi albumin
dan perannya sebagai suatu cairan resusitasi. Pada penyakit akut, tampak bahwa efek
hemodinamik dan outcome pada pasien yang menggunakan albumin sama dengan normal
saline. Pada populasi tertentu , terutama pada pasien dengan sepsis berat , albumin memiliki
dampak yang lebih baik, namun hal ini belum dapat dipastikan.

Koloid semisintetik
Terbatasnya ketersediaan dan biaya yang relatif mahal untuk albumin manusia telah
mendorong pengembangan dan meningkatnya penggunaan larutan koloid semisintetik dalam
40 tahun terakhir. Secara global, larutan HES merupakan larutan koloid semisintetik yang paling
umum digunakan , terutama di Eropa.[11] Cairan koloid semisintetik lain yang digunakan
termasuk succinylated gelatin, urealinked gelatin–polygeline preparations, dan cairan dextran.
Penggunaan larutan dekstran sebagian besar telah digantikan oleh cairan koloid semisintetik
lainnya.
Larutan HES diproduksi oleh subtitusi hidroksietil menggunakan amilopektin yang
diperoleh dari sorgum, jagung, atau kentang. Tingginya subtitusi terhadap molekul glukosa
melindungi dari hidrolisis oleh amilase nonspesifik di dalam darah, sehingga memperpanjang
waktu ekspansi intravaskular, tetapi hal ini menyebabkan HES terakumulasi dalam jaringan
retikuloendotelial, seperti kulit ( yang mengakibatkan puritus), hati, dan ginjal.
Penggunaan HES, terutama sediaan dengan berat molekul yang tinggi, menyebabkan
adanya gangguan pada proses koagulasi- secara spesifik ukuran viskoelastik dan fibrinolisis-
meskipun konsekuensi klinis efek ini pada pasien yang menjalani operasi atau pasien dengan
trauma masih belum dapat dipastikan. [25] Sebuah laporan studi mempertanyakan keamanan
penggunaan larutan HES pekat (10%) dengan berat molekul lebih dari 200 Kd dan rasio
substitusi molar lebih dari 0,5 pada pasien dengan sepsis berat, menyebabkan peningkatan
angka kematian, gagal ginjal akut, serta penggunaan renalreplacement therapy.[26,27]
Konsentrasi larutan HES yang digunakan saat ini telah dikurangi hingga menjadi 6%
dengan berat molekul 130Kd dan rasio substitusi molar 0,38 hingga 0.45. Larutan ini tersedia
dalam berbagai jenis larutan kristaloid pembawa. Larutan HES secara luas digunakan pada
pasien yang menjalani anestesi untuk operasi besar, terutama sebagai strategi cairan
perioperatif, [28] selain itu juga digunakan sebagai lini pertama cairan resusitasi oleh dokter
militer, [29] dan pada pasien di ICU.[11] Dikarenakan larutan HES memiliki kecenderungan
untuk terakumulasi di jaringan, maka dosis harian maksimal yang dianjurkan ialah 33-50 ml/kg
berat badan tiap hari.
Pada penelitian blind randomized control trial yang melibatkan 800 pasien dengan
sepsis berat di ICU, [30] peneliti Skandinavia melaporkan bahwa penggunaan 6% HES (130 /
0.42), dibandingkan dengan Ringer asetat, berkaitan dengan peningkatan angka kematian yang
signifikan dalam 90 hari, dengan (Risiko relatif, 1,17; 95% CI, 1,01-1,30; P = 0,03) dan
peningkatan angka renalreplacement therapy sebesar 35. Hasil ini konsisten dengan penelitian
sebelumnya menggunakan HES 10% (200 / 0.5) pada populasi pasien yang sama.[27]
Pada penelitian blinded randomized control trial membandingkan kristaloid dengan
Hydroxyethyl Starch (CHEST), yang melibatkan 7000 orang dewasa di ICU, penggunaan HES 6%
(130 / 0.4), dibandingkan dengan saline, tidak didapatkan perbedaan yang signifikan mengenani
angka kematian dalam 90 hari dengan (relatif risiko, 1,06; 95% CI, 0,96-1,18; P = 0,26). Namun,
penggunaan HES berkaitkan dengan peningkatan secara signifikan angka renalreplacement
Therapy sebesar 21%.[31]
Pada kedua penelitian Skandinavia dan CHEST menunjukkan tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam jangka pendek terhadap nilai akhir resusitasi hemodinamik , selain dari
kenaikan transient tekanan vena sentral dan kebutuhan akan vasopressor yang lebih rendah
dengan HES (CHEST). Rasio dari HES terhadap kristaloid dalam penelitian ini ialah 1:1.3, yang
konsisten dengan rasio antara albumin dan larutan saline pada penelitian SAFE.[18]
Pada penelitian SAFE, HES berhubungan dengan peningkatan output urin pada pasien
yang berisiko rendah untuk menderita gagal ginjal akut ,tetapi menyebabkan kenaikan kadar
serum kreatinin pada pasien dengan resiko gagal ginjal akut yang tinggi. Selain itu, penggunaan
HES berkaitan dengan peningkatan penggunaan produk darah dan timbulnya efek samping
yang merugikan seperti pruritus.[31]
Mengenai apakah hasil penelitian ini dapat digeneralisasikan untuk penggunaan larutan
kolid semisintetik lainnya seperti gelatin dan polygeline masih tidak dapat ditentukan. Sebuah
studi observasional terbaru telah mengangkat kekhawatiran tentang risiko gagal ginjal akut
terkait dengan penggunaan gelatin.[34] Namun, belum ada penelitian dengan kualitas tinggi
randomized control trial hingga saat ini. Karena adanya bukti bahwa kurangnya manfaat klinis,
serta potensi nefrotoksik, dan peningkatan biaya, maka peran larutan koloid semisintetik untuk
resusitasi pada pasien kritis susah untuk ditetapkan.

Kristaloid
Natrium klorida (garam) adalah cairan kristaloid yang paling umum digunakan secara
global, terutama di Amerika Serikat. Normal saline (0,9%) mengandung natrium dan klorida
dalam konsentrasi yang sama, yang membuatnya isotonik dibandingkan dengan cairan
ekstraseluler. Istilah “normal saline” berasal dari studi lisis sel darah merah oleh seorang ahli
fisiologi Belanda Hartog Hamburger pada tahun 1882 dan 1883, yang menunjukkan bahwa 0,9%
adalah konsentrasi garam dalam darah manusia, bukan konsentrasi sebenarnya yaitu 0,6% .[35]
Perbedaan ion kuat pada normal saline 0,9% adalah nol, dengan demikian bila kita memberikan
normal saline dalam jumlah besar dapat menyebabkan hipercloremik asidosis metabolik.[36]
Efek samping seperti imunologis [36] dan gangguan renal [38] telah dikaitkan dengan fenomena
ini,meskipun konsekuensi klinis dari kejadin ini masih belum jelas.[39] Kekhawatiran mengenai
kelebihan natrium dan kelebihan air berhubungan dengan resusitasi menggunakan normal
saline telah menghasilkan konsep resusitasi kristaloid “volume kecil” menggunakan normal
saline hipertonik (3%, 5%, dan 7,5%) . Namun, penggunaan awal normal salin hipertonik untuk
resusitasi, terutama pada pasien dengan cedera otak traumatis, belum menunjukkan adanya
perbaikan baik jangka pendek ataupun jangka panjang.[40]
Kristaloid dengan komposisi kimia yang mendekati cairan ekstrasel telah disebut dengan
cairan “seimbang” atau “fisiologis” dan merupakan derifat dari larutan Hartmann dan ringer.
Namun, tidak ada cairan yang bener benar seimbang ataupun fisiologis[41] (Tabel 1). Larutan
garam seimbang bersifat relatif hipotonik karena mereka memiliki konsentrasi natrium lebih
rendah dari cairan ekstrasel. Karena ketidakstabilan larutan bikarbonat yang berada dalam
wadah plastik, maka digunakan anion alternatif, seperti laktat, asetat, glukonat, dan malat.
Pemberian larutan garam seimbang yang berlebihan dapat mengakibatkan hiperlaktatemia,
metabolik alkalosis, dan hipotonisitas (diperparah denan natrium laktat) dan cardiotoxicity (
dengan asetat). Penambahan kalsium dalam beberapa larutan dapat menimbulkan
microtrombus bila dikombinasikan dengan larutan sitrat pada saat tranfusi sel darah merah.
Mengingat kekhawatiran tentang kelebihan natrium dan klorida yang berhubungan
dengan yang normal saline, maka larutan garam yang seimbang semakin direkomendasikan
sebagai cairan resusitasi lini pertama pada pasien yang menjalani operasi, [13] pasien dengan
trauma, [14] dan pasien dengan ketoasidosis diabetikum.[42] Resusitasi menggunakan larutan
garam seimbang seimbang adalah salah satu elemen penting dalam pengobatan awal pasien
dengan luka bakar, meskipun terdapat kekhawatiran mengenai efek samping yaitu kelebihan
cairan, maka dari itu direkomendasikan strategi “hipovolemia permisif” pada pasien tersebut
.[43]
Pada sebuah studi observasional cohort yang membandingkan tingkat komplikasi pada
213 pasien yang hanya menerima normal saline 0,9% dan 714 pasien yang hanya menerima
larutan kalsium bebas seimbang (PlasmaLyte) untuk mengganti kehilangan cairan pada saat
operasi.[44] Penggunaan larutan garam seimbang berkaitan dengan penurunan resiko
komplikasi utama dengan (Rasio odds, 0,79; 95% CI, 0,66-0,97; P <0,05), selain itu memiliki
insiden lebih rendah untuk infeksi pasca operasi, renalreplacement therapy, transfusi darah,dan
asidosis.
Pada suatu center observasi serial dilakukan di ICU,[45] mengenai strategi penggunaan
cairan rendah klorida( menggunakan laktat dan larutan kalsium bebas seimbang) untuk
menggantikan cairan intravena kaya klorida (normal saline 0,9%, gelatin succinylated, atau 4%
albumin) memiliki hubungan yang signifikan terhadap penurunan angka kejadian gagal ginjal
akut dan renalreplacement therapy. Mengingat meluasnya penggunaan normal saline (> 200
juta liter per tahun di Amerika Serikat), data ini menunjukkan bahwa penelitian randomized
control trial mengenai keamanan dan manfaat penggunaan normal saline dibandingkan larutan
garam seimbang sangat dibutuhkan.

Dosis dan Volume


Persyaratan dalam melakukan resusitasi cairan sangat bervariasi untuk setiap penyakit
kritis. Tidak ada pengukuran fisiologis ataupun biokimia yang cukup untuk mencerminkan
kompleksitas kehilangan cairan ataupun respon terhadap resusitasi pada penyakit akut. Namun,
hipotensi sistolik dan khususnya oliguria merupakan salah satu indikator yang banyak
digunakan sebagai dasar untuk memberikan “fluid chalange, “mulai 200-1000 ml kristaloid
atau koloid untuk pasien dewasa.
Penggunaan kristaloid dan koloid untuk resusitasi cairan, sering diresepkan oleh anggota
tim klinis yang paling junior, selain penggunaan cairan pemeliharaan yang bersifat hipotonis,
mengakibatkan peningkatan dosis kumulatif dari natrium dan air.[46] Peningkatan ini berkaitan
dengan timbulnya edema intertitial yang pada akhirnya mengakibatkan disfungsi organ.[47]
Hubungan antara peningkatan kumulatif keseimbangan cairan positif dan efek jangka
panjang yang merugikan telah dilaporkan pada pasien dengan sepsis.[48] Pada sebuh uji coba
membandingkan liberal melawan strategi pembatasan cairan pada pasien dengan ARDS (Acute
Respiratory Distress Syndrome) pada setting perioperatif [49,50], strategi pembatasan cairan
berhubungan dengan penurunan angka morbiditas. Namun, karena tidak ada konsensus
tentang definisi strategi ini, maka penelitian berkualitas tinggi pada populasi pasien tertentu
diperlukan.[46]
Meskipun penggunaan cairan resusitasi adalah salah satu intervensi yang paling umum
dalam dunia kedokteran,saat ini masih belum tersedia cairan resusitasi yang dapat dianggap
sebagai cairan ideal. Pada sebuah penelitian berkualitas tinggi baru – baru ini , penilaian
kembali bagaimana resusitasi cairan yang diberikan pada pasien akut sekarang diperlukan
(Tabel 2). Pemilihan, waktu, dan dosis cairan intravena harus dievaluasi
dengan teliti sama dengan saat akan memasukkan obat- obatan intravena lainnya. Hal ini
bertujuan untuk memaksimalkan manfaat terapi dan meminimalkan efek toksik.
CRITICAL APPRAISAL

Berdasarkan guideline NICE (The National Institute for Health and Care Exellence)
mengenai resusitasi cairan pada pasien dewasa tahun 2013 , apabila seorang pasien
membutuhkan resusitasi cairan melalui jalur intravena, maka cairan kristaloid yang
mengandung natrium 130-154 mmol/l merupakan larutan pilihan. Berdasarkan tabel komposisi
Natrium pilihan cairan kristaloid yang dapat dipakai ialah normal saline, Hartmann’s, Ringer
Lactat, Ringer Acetate, serta alternatif cairan garam seimbang.

Panduan tatalaksana dari NICE ini sudah sesuai dengan teori yang ada pada jurnal ini.
Berdasarkan berbagai hasil studi yang sudah disebutkan di atas, cairan kristaloid yang menjadi
pilihan ialah larutan garam seimbang. Hal ini disebabkan karena larutan garam seimbang
memiliki insiden lebih rendah untuk infeksi pasca operasi, renalreplacement therapy, transfusi
darah,dan asidosis. Disamping itu penggunaan normal saline juga masih dapat digunakan
sebagai cairan resusitasi namun harus memperhatikan beberapa efek samping yang dapat
timbul seperti hipercloremik asidosis metabolik.
Menurut guideline dari NICE, cara pemberian cairan kristaloid selama resusitasi dapat
diberikan dengan cara bolus 500 ml dalam waktu kurang dari 15 menit.

Bolus cairan dapat diulang hingga 2000 ml apabila pasien masih menunjukkan adanya
tanda- tanda shock seperti tekanan darah sistolik <100 mmHg, denyut nadi >90 x/menit, waktu
pengisian kapiler >2 detik atau akral dingin, laju pernafasan lebih dari 20x/ menit, NEWS≥5, dan
masih responsif terhadap shock posisi. Sedangakan menurut jurnal ini pemberian cairan
kristaloid (normal saline) dengan cara bolus dapat meningkatkan angka kematian dalam 48 jam
secara signifikan bila dibandingkan dengan pemberian cairan non-bolus. Penyebab utamanya
ialah adanya kolaps dari kardiovaskular karena gangguan kompensasi neurohormonal.
NICE mengunkapkan bahwa cairan koloid semisintetik seperti tetrastarch bukan
merupakan pilihan cairan untuk resusitasi. Hal ini sesuai dengan jurnal ini yang memaparkan
bahwa larutan koloid semisintetik seperti HES tidak berbeda secara signifikan dalam
meningkatkan nilai akhir hemodinamik setelah resusitasi maupun angka mortalitas dalam 90
hari. Selain itu penggunaan HES pada pasien dengan sepsis berat berhubungan dengan
meningkatnya angka kebutuhan renalreplacement therapy, dan gagal ginjal akut.
Penggunaan Albumin manusia 4-5% menurut pedoman tatalaksana resusitasi cairan
oleh NICE digunakan hanya pada pasien yang menderita sepsis berat. Hal ini sesuai dengan
pembahasan pada jurnal ini. Resusitasi cairan menggunakan albumin 4% pada pasien sepsis
berat secara signifikan dapat menurunkan angka kematian dalam 28 hari. Namun pada kasus
pasien selain sepsis albumin bukanlah cairan resusitasi pilihan disamping harganya yang lebih
mahal dan ketersediaannya yang terbatas, albumin juga berhubungan dengan peningkatan
angka mortalitas pada pasien dengan cedera otak, dan tidak memiliki perbedaan yang signifikan
dengan cairan normal saline dalam hal meninkgatkan nilai akhir hemodinamik setelah
resusitasi.
DAFTAR PUSTAKA

NICE. “Intravenous Therapy in Adult in The Hospital”. 10 Desember 2013.


https://www.nice.org.uk/guidance/cg174/resources/intravenous-fluid-therapy-in-over-16s-in-
hospital-35109752233669

Anda mungkin juga menyukai