Nama : Stefanny NIM : 1808531032 Kelompok :2 Asisten Dosen : Salsabillah Rahma
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2020 I. Judul Praktikum Hemolisa dan Krenasi II. Tujuan 1. Mempelajari dan memahami bentuk dan kondisi sel darah merah manusia apabila berasa dalam larutan hipotonis, isotonis dan hipertonis. 2. Memahami proses terjadinya hemolisa dan krenasi pada sel darah manusia. III. Dasar Teori Darah merupakan suatu jaringan tubuh yang berwarna merah dan terdapat dalam pembuluh darah. Warna merah tersebut keadaannya tidak tetap dan bergantung pada kadar oksigen dan karbon dioksida di dalamnya. Apabila, kandungan karbondioksida di dalam darah tinggi, maka darah akan berwarna merah tua titik oksigen dalam darah diperoleh dari paru-paru dimana zat tersebut sangat berguna dalam metabolisme tubuh (Reece et al., 2015). Darah memiliki karakteristik lebih pekat dibandingkan dengan air. Hal ini disebabkan karena darah mengandung banyak protein. Darah memiliki pH basa yang berkisar antara 7,35-7,45. Suhu darah 1℃ lebih tinggi dari suhu tubuh. Berat darah total pada manusia umumnya sekitar 7% dari berat tubuh dan volume darah pada manusia sekitar 4-5 liter (Syaifuddin, 2011). Menurut Rumanta dan Asiah (2018) cairan tubuh merupakan pelarut zat-zat yang terdapat dalam tubuh. Dengan demikian, cairan tubuh mengandung berbagai macam zat yang diperlukan oleh sel-sel tubuh serta sisa-sisa metabolisme yang dibuang oleh sel. Selain itu, cairan tubuh juga merupakan pemberi suasana pada sel. Sebagai contoh kehangatan (suhu), kekentalan (viskositas) dan keasaman (pH) yang dipengaruhi oleh factor- faktor fisik maupun kimiawi dari dalam dan luar tubuh. Apabila suatu sel seperti sel darah merah dimasukkan ke dalam suatu larutan tanpa menyebabkan sel mengkerut atau membengkak, maka larutan tersebut merupakan larutan isotonis. Sel tidak mengalami perubahan karena tidak terjadi perubahan osmosis, sehingga hanya terjadi peningkatan volume cairan ekstrasel. Larutan NaCl 0,9% serts larutan dextrose 5% merupakan contoh larutan isotonis. Larutan isotonis mempunyai arti klinik yang penting karena dapat diinfuskan ke dalam darah tanpa menimbulkan gangguan keseimbangan osmosis antara cairan ekstrasel dan intrasel (Silverthorn, 2016). Sel darah merah apabila diletakkan dalam lingkungan yang tidak sesuai dengan tekanan osmotiknya akan mengalami kerusakan dan gangguan. Karusakan ini akan berpengaruh terhadap kinerja sel dalam menjalankan tugasnya. Peristiwa yang mengindikasikan terjadinya kerusakan pada sel darah merah adalah hemolisa dan krenasi (Blann and Ahmed, 2013). Hemolisis merupakan pecahnya membran eritrosit sehingga hemoglobin bebas ke lingkungan sekitarnya. Hemolisa dapat terjadi apabila lingkungan di sekitar eritrosit menjadi hipotonis, misalnya dengan penambahan larutan NaCl hipotonis. Hal ini menyebabkan larutan tersebut masuk ke dalam sel melalui membrane semipermeable, sehingga sel eritrosit menggembung. Apabila membran tidak kuat lagi menahan tekanan di dalam sel, maka membran eritrosit akan keluar menuju lingkungan luar sel. Hal ini menyebabkan sel eritrosit menjadi keriput. Peristiwa ini disebut krenasi. Proses krenasi dapat dikembalikan dengan cara menempatkan sel dalam lingkungan yang isotonis (Bain, 2015). Cairan yang memiliki kekentalan atau konsentrasi sama dengan cairan dalam sel, merupakan cairan isotonis (osmotic equilibrium). Apabila konsentrasinya lebih tinggi dari cairan dalam sel disebut hipertonis, dan apabila lebih rendah disebut hipotonis. Cairan hipertonis akan menarik air dari sitoplasma eritrosit ke luar secara osmosis. Seblaiknya, cairan hipotonis akan menyebabkan air berpindah ke dalam sitoplasma eritrosit secara osmosis. Proses tersebut akan berlangsung hingga konsentrasi cairan di dalam dari luar sel berada dalam keadaan setimbang (Recee et al., 2015). IV. Alat dan Bahan Disiapkan alat berupa Mikroskop, Kaca obyek dan penutup, blood lancet dan syring. Serta bahan yang disiapkan larutan NaCl 0,2%; 0,6%; 0,9%; 2%, darah manusia, alkohol 70% dan kloroform. V. Metode Kerja Sediaan darah manusia dibuat dengan menusuk probandus yaitu Rara dan Lisa dengan Blood lancet dan syring. Setelah keluar darahnya diteteskan 1 tetes darah pada masing-masing kaca obyek dan diberikkan beberapa tetes larutan NaCl dengan konsentrasi yang berbeda. Diaduk rata campuran darah di masing-masing kaca obyek. Diamati dibawah mikroskop setelah dibiarkan beberapa menit, dan diamati apa yang terjadi pada larutan darah dengan NaCl dengan konsentrasi yang berbedan VI. Hasil Pengamatan 6.1 Sel Darah Merah Lisa NaCl : 0,2% Sel darah merah Waktu : 03.06 meggembung Perbesaran : 10x40
NaCl : 0,6% Sel darah merah
Waktu : 09.15 menggembung Perbesaran : 10x40 NaCl : 0,9% Sel darah merah normal Waktu : 02.16 Perbesaran : 10x40
NaCl : 2% Sel darah mengkerut
Waktu : 05.00 (krenasi) Perbesaran : 10x40
6.2 Sel Darah Merah Rara
NaCl : 0,2% Sel darah merah Waktu : 03.06 menggembung Perbesaran : 10x40
NaCl : 0,6% Sel darah merah
Waktu : 05.00 menggembung Perbesaran : 10x40
NaCl : 0,9% Sel darah merah normal
Waktu : 03.09 Perbesaran : 10x40
NaCl : 2% Sel darah merah
Waktu : 07.00 mengkerut (krenasi) Perbesaran : 10x40 VII. Pembahasan Pada praktikum kali ini didapatkan hasil pengamatan berupa perubahan struktur sel darah merah saat dibeli larutan NaCl. Pada sampel darah yang diberi larutan NaCl dengan konsentrasi 0,2% mengalami perubahan menggembung dan nampak membesar. Pada sampel darah yang diberi larutan NaCl dengan konsentrasi 0,6% darah terlihat menggembung namun tidak tampak membesar. Hal ini dikarenakan larutan NaCl pada konsentrasi tersebut bersifat hipotonis terhadap sel darah merah, sehingga sel akan mengembang dan lama kelamaan pecah. Peristiwa ini disebut hemdisa (Diarti dkk., 2016). Selain konsentrasi lingkungan, faktor lain yang mempengaruhi terjadinya hemolisa adalah usia sel darah merah. Maka dari itu, sel darah merah tua akan lebih cenderung untuk pecah dibandingkan dengan sel darah merah yang masih muda. Hal ini dikarenakan toleransi tekanan osmotik pada membran sel darah merah yang relatif lebih tinggi (Aldoe, 2006). Tidak seperti krenasi, sel darah merah yang telah mengalami hemolisa tidak dapat dikembalikkan seperti semula (Isnaeni, 2006). Sel darah merah yang diberi larutan NaCl 2% mengalami perubahan berupa mengkerutnya kepingan darah. Hal ini karena larutan NaCl 2% memiliki sifat hipertonis terhadap sel darah manusia karena lebih pekat dibandingkan dengan cairan fisiologis dalam tubuh manusia. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan tekanan osmotik, sehingga sel darah merah mengalami krenasi (Noradina, 2017). Krenasi ditandai dengan mengecilnya ukuran sel darah. Sel darah yang mengalami krenasi dapat dikembalikan bentuknya seperti semula dengan cara meletakkannya pada lingkungan isotonis (Isnaeni, 2006). Lalu pada sel darah merah yang diberi larutan NaCl 0,9% tidak mengalami perubahan dimana sel darah merah terlihat normal. Menurut Rahardianto dkk (2012), larutan NaCl 0,9% memiliki sifat isotonis terhadap cairan sel, sehingga disebut sebagai larutan garam fisiologis. Larutan tersebut banyak digunakan dalam bidang medis dan laboratorium, salah satunya adalah sebagai cairan infus. Siswanto dkk (2014), menyatakan bahwa sel darah merah yang diletakkan di lingkungan yang bersifat isotonis seperti pada larutan NaCl 0,9% akan memperoleh serta mengeluarkan air dengan volume yang sama, sehingga volume sel stabil dan bentuknya tetap. VIII. Kesimpulan 1. Bantuk sel dengan berbagai larutan dengan konsentrasi yang berbeda mengalami beberapa perubahan. Sel darah merah yang diberi larutan hipertonis (NaCl 2%) mengalami pengkerutan atau krenasi, sel darah merah yang diberi larutan isotonis (NaCl 0,9%) tidak mengalami perubahan bentuk dan sel darah merah yang diberi larutan hipotonis (NaCl 0,5% dan 0,2%) mengalami penggembungan. 2. Hemolisa dapat terjadi apabila lingkungan di sekitar eritrosit menjadi hipotonis, misalnya dengan penambahan larutan NaCl hipotonis. Hal ini menyebabkan larutan tersebut masuk ke dalam sel melalui membrane semipermeable, sehingga sel eritrosit menggembung. Apabila membran tidak kuat lagi menahan tekanan di dalam sel, maka membran eritrosit akan keluar menuju lingkungan luar sel. Hal ini menyebabkan sel eritrosit menjadi keriput. Peristiwa ini disebut krenasi. Daftar Pustaka Bain, B. J. 2015. Blood Cells : A Practical Guide. Fifth Edition. Wiley-Blackwell. Hoboken. Blann, A. And N. Ahmed. 2013. Blood Science : Principals and Pathology. Wiley-Blackwell. Hoboken. Diarti, M. W., E. Y. Tatontos dan A. Turmuji. 2016. Larutan Pengencer Alternatif NaCl 0,9% dalam pengenceran Giemsa pada Pemeriksaan Morfologi Spermatozoa. Jurnal Kesehatan Prima. 10(2) : 1709-1716. Hillyard, S., S. Tanaka, N. Mobjerg and E. H. Larsen. 2008. Osmotic and Ionic Regulation : Cells and Animals. CRC Press. Boca Raton. Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan. PT Kanisius. Jakarta. Noradina, A. Hutagoal dan Y. Siregar. 2017. Pemberian Vitamin E terhadap Fragilitas Eritrosit pada Mencit (Mus musculus L.) yang Dipapari Tuak. Jurnal Ilmiah Keperawatan. 3(2) : 397-369. Rahardianto, A., N. Abdulgani dan N. Trisyani. 2012. Pengaruh Konsentrasi Larutan Madu dalam NaCl Fisiologis terhadap Virabilitas dan Mobilitas Spermatozoa Ikan Patin (Pangasius pangasius) Selama Masa Penyimpanan. Jurnal Sains dan Seni ITS. 1(1) : 58-63. Reece, J. B., L. A. Urry, M. L. Cain, S. A. Wasserman and P. V. Minorsky. 2015. Campbells Biology. Elenth Edition. Pearson London. Rumanta, M. dan S. Asiah. 2018. Fisiologi Hewan. Edisi Kedua. Penerbit Universitas Terbuka. Tanggerang. Silverthorn, D. V. 2016. Human Physiology : An Intergrated Approach. Seventh Edition. Pearson London. Siswanto, I. N. Sulabda dan I. G. Soma. 2014. Kerapuhan Sel Darah Sapi Bali. Jurnal Neteriner. 15(1) : 64-67. Syaifuddin, H. 2011. Anatomi Fisiologi : Kurikulum Berbasis Kompetisi. Edisi Keempat EGC. Jakarta. Lampiran