Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

TERAPI CAIRAN

Pembimbing:

dr. Maulana Muhammad, Sp. An

Penyusun:

Aninda Saputri 2016 – 061 – 056

Monik Alamanda 2016 – 061 – 014

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi


Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Rumah Sakit Umum Daerah R. Syamsudin, S.H. Sukabumi
Periode 27 November – 6 Januari 2017
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas rahmat
dan karunia-Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Terapi
Cairan”. Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik ilmu anestesi.
Dengan rasa hormat sedalam-dalamnya penulis juga ingin menyampaikan
terima kasih dari semua pihak atas segala bantuan sehingga referat ini terselesaikan,
terutama kepada dr. Maulana, Sp. An, selaku pembimbing dan penguji tugas referat di
kepaniteraan klinik bagian ilmu anestesi, yang telah meluangkan waktunya untuk
memberikan bimbingan, saran dan kritik, dan juga kepada dr. Indra Ibrahim, Sp. An
dan dr. Hendra Deswandi, Sp. An, M. Kes sebagai pembimbing, serta teman-teman
dan keluarga penulis yang telah memberikan dukungan selama kepaniteraan ilmu
anaestesi yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki kekurangan dari
referat ini. Penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan penulisan atau
perkataan yang tidak berkenan kepada pembaca.
Akhir kata, penulis berharap semoga isi referat ini dapat bermanfaat bagi
pembaca sehingga dapat menginspirasi berbagai pihak.

Jakarta, 25 Desember 2017

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Di seluruh dunia terdapat lebih dari 312 juta prosedur pembedahan yang
dilakukan setiap tahun. Ketika beberapa pasien masuk dalam kelompok dengan
risiko ringan, diperkirakan sekitar 10% pasien yang menjalani tindakan operasi
diklasifikasikan sebagai kelompok risiko tinggi. Pasien yang masuk dalam
kelompok risiko tinggi memiliki 80% angka mortalitas post-operatif. The
European Surgical Outcome Study menunjukan 4% pasien post-operatif
mengalami mortalitas pada waktu perawatan di rumah sakit. Pada penelitian
menunjukan bahwa pasien dengan komplikasi post-operaitf, pada 30 hari pertama
post-operatif memiliki presentase mortalitas sebesar 13,3%.(1) hubungan antara
morbiditas perioperative dan volume terapi cairan yang diberikan menunjukan
gambaran kurva-U, dengan peningkatan mortalitas berhubungan dengan
pemberian cairan yang terlalu sedikit ataupun terlalu banyak.(2)
Pemberian terapi cairan intravena (IV) untuk menangani pasien dengan
perubahan status cairan, peningkatan kehilangan cairan, atau ketidak seimbangan
elektrolit dan asam-basa. Walaupun terapi cairan IV dapat menyelamatkan
nyawa, namun bukan berarti terapi cairan IV tanpa risiko. Efek dari tipe dan
volume cairan yang diberikan dan kriteria untuk pemberian terapi cairan IV yang
aman pada latar pelayanan kesehatan terutama saat periode perioperatif.(3)
Penelitian menunjukan bahwa terapi cairan menunjukan perubahan paradikma
menyeluruh dari pilihan cairan, volume yang diberikan yang pada awalnya
memberikan terapi dengan volume besar menjadi pemberian terapi cairan
restriktif hingga belaknagan ini para klinisi meyakini bahwa terapi cairan
bergantung pada setiap keadaan individual pasien.(1) Pemberian terapi cairan
dipertimbangkan berdasarkan target status hemodinamik seperti tekanan vena
sentral, dan indeks status cairan seperti tekanan darah, detak jantung, capillary
refill, dan keluaran urin.(4)(5)
Sebagian besar tubuh manusia terdiri oleh cairan. Hampir 60% dari total
berat badan manusia merepresentasikan jumlah cairan di dalam tubuh manusia.
Cairan dalam tubuh kemudian dibagi menjadi dua kompartemen yaitu cairan
intraselular (CIS) dan cairan ekstraselular (CES). Kompartemen CIS memiliki
komposisi lebih besar, dari seluruh total cairan di dalam tubuh, sekitar 67%
cairan terletak pada kompatemen CIS sedangkan sisanya, sebanyak 33% terletak
pada kompartemen CES. Kompartemen CES secara teoritik dibagi menjadi
empat kompartemen yaitu plasma, cairan interstisial, cairan limfa, dan cairan
translelular. Namun cairan limfa dan cairan transelular jumlahnya terlalu kecil
sehingga sering kali diabaikan dalam klinis. Dua kompartemen lain, yaitu plasma
dan cairan interstisial memiliki presentase 20% dan 80%, secara berurutan, dari
total jumlah CES.(6)
Sel dari organisme multiselular kompleks dapat bertahan dan berfungsi
dengan baik hanya pada kisaran sempit dari cairan ekstraselular (CES). Saat total
masukan tubuh dari senyawa tertentu sama dengan keluaran tubuhnya, maka
terjadinya kesimbangan stabil cairan tubuh. Ketika terjadi kelebihan masukan
senyawa tubuh disebut keseimbangan positif dan saat masukan tubuh kurang dari
keluarannya disebut keseimbangan negatif. Perubahan besaran dari masukan dan
keluaran dapat menyebabkan perubahan konsentrasi plasma. Mempertahankan
keseimbangan cairan berguna untuk menjaga homeostasis tubuh agar tetap dapat
berfungsi dengan baik dan untuk mejaga keseimbangan tersebut dibutuhkan
kontrol terhadap masukan dan keluaran cairan tersebut. Namun, tidak semua
masukan dan keluaran cairan dapat dikontrol (contoh keringan dan muntah).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi cairan tubuh

Air merupakan komponen utama dalam kompartemen cairan tubuh. Total


body water (TBW) menunjukkan kurang lebih 60% dari berat badan pada rata-
rata orang dewasa. Pada laki-laki dewasa dengan berat badan 70 kg, jumlah TBW
kurang lebih sekitar 600 mL/kg atau 40 liter. Persentasi air yang terdapat dalam
tubuh bervariasi sesuai usia, jenis kelamin, dan lemak. TBW pada orang dewasa
berkisar antara 45-75% berat badan, kisaran ini tergantung pada tiap individu
yang memiliki jumlah jaringan adipose yang berbeda, dimana jaringan ini hanya
mengandung sedikit air. TBW pada wanita lebih kecil dibanding dengan laki-laki
dewasa pada umur yang sama, karena struktur tubuh wanita dewasa yang
umumnya lebih banyak mengandung jaringan lemak. Sedangkan TBW pada
neonatus lebih tinggi yaitu sekitar 70-80% berat badan. Untuk beberapa alasan,
obesitas serta peningkatan usia akan menurunkan jumlah kandungan total air
tubuh
TBW bisa dibagi kedalam 2 komponen dasar yaitu komponen intraselular
dan ekstraselular. Kedua kompartemen ini dipisahkan oleh membran sel yang
permeabel terhadap air. Pada orang dewasa, volume cairan intraselular kurang
lebih sebanyak 2/3 dari TBW, sedangkan volume cairan ekstraselular sebanyak
1/3 dari TBW. Komponen utama dari cairan ekstraselular adalah volume darah
yaitu 60-65 mL/kg dan volume cairan interstitial yaitu 120-165 mL/kg. Volume
plasma adalah bagian dari volume darah berdasarkan kadar hematokrit, yang
pada orang dewasa umumnya pada kisaran 30-35 mL/kg. Volume darah yang
terdistribusi, 15% terdapat pada sistem arteri dan 85% pada sistem vena. Secara
terus menerus, plasma mencari keseimbangan dengan cairan interstitial.
Perbedaan plasma dan cairan interstitial yang utama adalah pada plasma terdapat
jumlah konsentrasi protein yang lebih tinggi, menyebabkan tekanan onkotik
plasma 20 mmHg lebih besar dibandingkan tekanan onkotik interstitial. Adanya
gradien perbedaan inilah yang nantinya membantu mempertahankan jumlah
volume intravaskular.

2.2. Evaluasi Volume Intravaskular


Volume intravaskular dapat diestimasi melalui anamnesis riwayat pasien,
pemeriksaan fisik, analisis hasil laboratorium, dan monitoring hemodinamik. Dari
hasil anamnesis pasien ditanyakan mengenai asupan makan terakhir, diare atau
muntah yang persisten, bilas lambung, jumlah kehilangan darah secara signifikan,
pemberian cairan intravena dan darah, dan hemodialisa terakhir pada pasien
dengan gagal ginjal. Dari pemeriksaan fisik dilihat indikasi hipovolemia yaitu
turgor kulit abnormal, dehidrasi membran mukosa, nadi perifer lemah,
peningkatan detak jantung, dan penurunan tekanan darah, perubahan ortostatik
detak jantung dan tekanan darah dari posisi supinasi ke duduk atau berdiri, dan
penurunan laju aliran urin. Pitting edema pada pasien tirah baring dan pitting
edema pada pasien ambulatori, serta peningkatan laju aliran urin merupakan
tanda adanya cairan ekstraselular yang berlebih dan kecenderungan hipervolemia
pada pasien dengan fungsi jantung, hepar, dan renal yang normal. Tanda akhir
dari hipervolemia seperti pada penyakit jantung kongestif meliputi takikardi,
peningkatan JVP, ronkhi basah kasar dan halus pada paru, wheezing, sianosis,
dan sekresi paru berbuih berwarna merah muda.

Evaluasi laboratorium digunakan untuk menilai kecukupan perfusi jaringan.


Tanda-tanda laboratorium dehidrasi meliputi : peningkatkan hematokrit dan
hemoglobin, asidosis metabolik progresif (termasuk asidosis laktat), berat jenis
urin >1.010, sodium urin <10 mEq/L, osmolalitas urin >450 mOsm/L,
hipernatremia >145 mEq/L, dan BUN/kreatinin rasio >10:1. Sedangkan indikator
radiografi kelebihan cairan adalah peningkatan tanda vaskularisasi paru dan
interstitial (garis Kerley “B”), atau adanya alveolar infiltrate yang diffuse.
2.3. Jenis Cairan
2.3.1. Kristaloid
Kristaloid biasanya dipertimbangkan sebagai terapi cairan inisial pada
resusitasi untuk pasien dengan perdarahan dan syok septik, luka bakar, cedera
kepala (untuk mempertahankan tekanan perfusi cerebral) dan pada pasien yang
sedang menjalani plasma paresis dan reseksi hepatik. Pemberian cairan koloid
dapat dilakukan pada resusitasi ketika cairan kristaloid gagal mengatasi masalah-
masalah diatas. Terdapat beberapa jenis cairan kristalod seperti : 5% dextrose di
dalam air (D5W), normal saline (NS), D51/4NS, D51/2 NS, D5NS, Ringer
Laktate, D5RL, 1/2NS, 3% Saline, 5% saline, 7,5% NaHCO3, dan plasma-lyte.
Komposisi cairan kristaloid tersebut ada di dalam tabel dibawah ini :
Kristaloid adalah cairan yang mengandung air dan elektrolit, serta
diklasifikasikan sebagai balanced, isotonik, hipertonik, dan hipotonik salt
solution. Larutan kristaloid terdistribusi secara bebas di kompartemen
intravaskular dan interstitial, oleh karena itu 1/3 dari cairan kristaloid yang
dimasukkan secara intravena tetap tinggal di dalam kompartemen intravaskular.
Jenis-jenis cairan kristaloid antara lain :
1. Balanced Salt Solution
Balanced Salt Solution memiliki komposisi elektrolit yang mirip dengan
cairan ekstraselular. Contohnya yaitu Ringer Laktat, Normosol, dan Plasma-
Lyte. Jika dibandingkan dengan sodium, cairan ini bersifat hipotonik. Pada
larutan ini terdapat buffer seperti pada RL yang akan di metabolisme secara in
vivo menjadi bikarbonat.
2. Normal Saline
NS atau 0,9% NaCl sedikit hipertonik dan mengandung lebih banyak
klorida daripada ECF. Normal saline tidak mengandung buffer atau elektrolit
lainnya. NS lebih dipilih dibandingkan RL jika terjadi luka pada otak,
asidosis metabolic hipokloremia, atau hiponatremia. Banyak pasien dengan
hiperkalemia termasuk pasien dengan gagal ginjal secara rutin mendapatkan
NS karena tidak mengandung potassium.
3. Larutan garam hipertonik
Larutan garam hipertonik lebih jarang digunakan, dengan konsentrasi
sodium yang terkandung di dalamnya berada dalam kisaran 250-1200 mEq/L.
Semakin besar konsentrasi sodium, semakin kecil volume total yang
dibutuhkan untuk resusitasi. Perbedaan inilah yang menyebabkan perpindahan
karena tekanan osmotik air dari rongga interstitial ke ekstraselular. Penurunan
volume cairan yang diinjeksikan dapat mengurangi pembentukan edema. Efek
ini penting pada pasien yang rentan terjadi edema yaitu seperti pada operasi
usus lama, luka bakar, dan cedera otak.
4. Dextrose 5%
5% dextrose berfungsi sebagai cairan bebas dikarenakan dextrose di
metabolisme. Merupakan iso osmotik dan tidak menyebabkan hemolisis yang
dapat terjadi pada cairan murni yang diberikan secara intravena. Dapat
digunakan untuk mengkoreksi hipernatremia namun seringnya digunakan
untuk mencegah hipoglikemia pada pasien diabetes yang juga mendapatkan
terapi insulin, atau pada pasien yang mendapatkan dextrose konsentrasi tinggi
melalui nutrisi total parenteral sebelum dilakukan operasi.
Pemilihan jenis cairan untuk resusitasi bergantung pada komposisi cairan
yang ingin digantikan. Untuk kehilangan komponen utama air, dilakukan
pemberian terapi cairan menggunakan cairan hipotonik yang disebut juga cairan
maintenance. Jika terjadi kehilangan cairan dan elektrolit, terapi cairan yang
dipilih adalah cairan elektrolit isotonik yang disebut juga cairan tipe pengganti.
Cairan glukosa diberikan bersamaan dengan cairan pilihan untuk
mempertahankan tonisitas atau mencegah ketosis dan hipoglikemia akibat puasa,
pada anak-anak, dan yang rentan terjadi hipoglikemia (<50 mg/dL setelah 4-8
jam puasa).
Karena hampir sebagian besar kehilangan cairan intraoperatif merupakan
kehilangan cairan yang isotonik, maka pada umumnya digunakan terapi cairan
tipe pengganti (replacement type solution). Cairan yang sering digunakan adalah
cairan RL. Walaupun cairan RL sedikit hipotonik, menyediakan kurang lebih 100
ml air bebas per liter dan sedikit kecenderungan sodium serum yang rendah, RL
umumnya memiliki efek yang sedikit pada komposisi cairan ekstraselular dan
merupakan cairan paling fisiologis yang dapat diberikan dalam jumlah besar.
Komponen laktat dalam RL diubah menjadi bikarbonat oleh hati. Ketika
diberikan dalam jumlah besar, normal saline memproduksi asidosis
hiperkloremik delusional karena pada cairan NS terdapat kandungan sodium dan
klorida yang tinggi (154 mEq/L), sehingga konsentrasi plasma bikarbonat akan
berkurang dengan bertambahnya konsentrasi klorida plasma. NS biasanya lebih
dipilih untuk alkalosis metabolik hipokloremik dan untuk mendilusi PRC setelah
transfusi. D5W digunakan untuk menggantikan kehilangan air murni dan menjadi
cairan maintenance untuk pasien dengan restriksi sodium. Sedangkan 3% saline
digunakan untuk terapi hiponatremia simptomatik berat. Perlu diingat pemberian
cairan hipotonik diberikan secara perlahan untuk menghindari induksi hemolisis.

2.3.2. Koloid
Koloid terdiri dari substansi dengan ukuran molekul yang besar dan dapat
bertahan lebih lama di intravaskular dibandingkan kristaloid. Koloid sendiri bisa
hilang dari peredaran darah dengan berbagai cara yaitu :1
1. Filtrasi melewati kapiler pada tempat yang memiliki kerusakan glycocalyx
2. Pembentukan pori-pori di sel endotel yang disebabkan oleh inflamasi atau
stressor lainnya
3. Filtrasi molekul koloid yang lebih kecil di ginjal
4. Metabolisme di pembuluh darah
Koloid dapat melancarkan peredaran darah melalui efek hemodilusi,
penurunan viskositas plasma, dan efek agregasi sel darah merah. Meskipun
demikian, koloid juga memiliki efek samping yaitu efek terhadap imun,
koagulasi, dan ginjal. Berikut adalah beberapa jenis koloid :
1. Gelatin1,2
Gelatin berasal dari hidrolisis kolagen bovine dengan modifikasi
suksinilasi atau pembentukan polygeline. Beberapa jenis gelatin yang dapat
ditemukan adalah gelafusin, geloplasma, Fresenius, Haemaccel. Gelatin
memiliki berat molekul yang berbeda-beda. Meskipun demikian, terdapat
penelitian yang membutikan baha satu jam setelah infus selesai, 50% volume
cairan masih berada di dintravaskular. Gelatin merupakan jenis koloid
semisintetik yang memiliki efek paling kecil pada fungsi hemostasis. Insiden
anafilaksis dan anafilaktoid adalah <0,35%. Haemaccel memiliki kadar
kalsium yang tinggi sehingga merupakan kontraindikasi untuk
koadministrasi dengan produk darah yang mengandung sitrat pada set infus
yang sama.

NaCl
Gelafundin Modifikasi 30 gram NaCl 4,51 gram
suksinilisasi CaCl2 0,21 gram
gelatin
Gelafusal Modifikasi 40 gram Na asetat trihidrat 3,675 g
suksinilisasi KCL 0,403 g
gelatin CaCl dihidrat 0,133 g
MgCl hexahydrate 0,203 g
Na hydroxide 0,98g

2. 5% Albumin
Tekanan osmotic 20 mmHg yaitu mendekati nilai normal tekanan
osmotik koloid. Albumin memiliki efek yang sangat minimal untuk
koagulasi.2 Berikut adalah beberapa contoh produk albuminl dari manusia:
Albapure 20, Albuman 20, Albuminar 25, Albumin-human 20, Fima
Albumin.
3. Dextran
Dextran merupakan polimer glukosa yang larut dalam air dan berasal dari
sintesis sukrosa. Terdapat dua jenis dextran yaitu dextran 40 dengan berat
molekul 40.000 dalton dan dextran 70 dengan berat molekul 70.000. Indikasi
penggunaan 6% dextran 70 sama dengan 5% albumin. Dextran 40 banyak
digunakan pada operasi vascular untuk mencegah terjadinya thrombosis,
tetapi sangat jarang digunakan sebagai volume expander. Dextran akan
dimetabolisme di dalam tubuh menjadi glukosa2
Terdapat beberapa efek samping dextran yaitu reaksi anafilaksis yaitu
<0,28%, peningkatan waktu pendarahan yang diakibatkan oleh menurunnya
tingkat adhesi platelet (pada dosis 20 mL/kg/24 jam), pembentukan rouleaux,
dan edema paru yang disebabkan efek toksik secara langsung pada kapiler
paru. Dextran dapat melapisi sel membrane eritrosit dan mengganggu cross-
matching tipe darah.2
Tujuh puluh persen dari dextran akan diekskresikan melalui ginjal pada
24 jam pertama. Molekul dengan berat yang lebih besar akan diekskresikan
ke saluran pencernaan atau difagosit oleh sel mononuclear dan didegradasi
oleh dextranase endogen. Dextran memiliki efek volume plasma yang sama
seperti HES dengan durasi 6-12 jam.1
4. Hydroxyethyl starch (HES)
HES merupakan koloid yang berasal dari modifikasi polisakarida alami
seperti kentang. HES dapat diklasifikasikan berdasarkan konsentrasi, berat
molekul rata-rata, substitusi molar, dan rasio C2:C6. Substitusi molar
merupakan jumlah residu hyroxyethyl dalam 10 subunit glukosa. Contoh
rasio 0,7 adalah 7 residu hydroxyethyl dalam 10 subunit glukosa, dan disebut
dengan hetastarches. Semakin tinggi substitusi molar, semakin panjang
durasi kerjanya dan semakin poten pula efek sampingnya. Rasio C2:C6 yang
lebih tinggi lebih resisten terhadap pemecahan oleh amylase sehingga
memiliki durasi kerja lebih panjang tanpa meningkatkan efek samping.
Contoh sediaan HES adalah Hespan yang merupakan 6% HES 450/0.7. HES
dengan berat molekul yang lebih tinggi dapat meningkatkan volume
intravascular sebesar 70-80% dari total cairan yang diinfus pada menit ke-90
setelah diinfus. Di sisi lain, HES dengan berat molekul yang ringan dan
substitusi molar yang rendah memiliki efek volume yang lebih besar
disebabkan oleh metabolism menjadi molekul onkotik.2
HES sendiri dihidrolisis di dalam tubuh oleh amylase menjadi glukosa.
Molekul HES yang kecil diekskresi oleh ginjal, sedangkan molekul
berukuran sedang diekskresi di cairan empedu dan feses. Molekul HES yang
berukuran besar dan resisten terhadap hidrolisis akan difagosit oleh
mononuclear yang merupakan bagian dari system retikuloendotilal dan dapat
bertahan selama beberapa minggu bahkan lebih.1
HES memiliki efek samping yaitu gangguan koagulasi, toksisitas renal,
dan penumpukan pada jaringan. HES mengganggu faktor von Willebrand,
VIII, dan fungsi platelet. Akumulasi HES pada jaringan dapat bertahan
hingga beberapa tahun dan dapat menyebabkan pruritus. Insiden anafilaktoid
atau anafilaktik HES adalah <0,06%. HES juga memiliki efek terhadap ginjal
sehingga terjadi oliguria, peningkatan kreatinin serum, dan acute kidney
injury pada pasien yang memang memiliki masalah ginjal.1
Pelarut HES juga memiliki efek samping yang berbeda-beda. Hespan
terlarut dalam saline dan menyebabkan eprubahan thromoboelastrofrafi
dibandingkan Hextend yang terlarut dalam balanced salt.2 Melihat
banyaknya efek samping dari HES, penggunaannya di Eropa dan Amerika
Serikat telah dibatasi dan bahkan dilarang dibeberapa daerah.1 Di Indonesia,
terdapat Fima HES 200 yang berisi HES dan terdiri dari NaCl 6,9gram, KCl
0,3 gram, CaCl 0,22 gram, dan Natrium laktat 4,48gram.
NaCl KCl CaCl2 Natrium
laktat
FimaHES HES 6,9 gram 0,3 gram 0,22 gram 4,48 gram
200/0.5
60gram
Expafusin HES 6,9 gram 0,3 gram 0,22 gram 4,48 gram
50.000/0,5
60gram
WidaHES HES 9 gram
130 130/0,42 60
gram
WidaHES HES 90 gram
200 200/0,5 60
gram
TetraHES HES 0,9 gram
130/0,4 6
gram
2.4. Terapi Cairan
2.4.1. Cairan Perioperatif
Kondisi sistemik pada pasien sangat mempengaruhi status cairan dan
elektrolit. Disfungsi jantung, ginjal, dan hepar sangat berhubungan dengan
distribusi natrium. Terapi diuretic jangka panjang dapat menyebabkan hilangnya
elektrolit. Pasien hipertensi juga memiliki sirkulasi yang terkontraksi, sehingga
rentan terhadap hipovolemia (7)
Pada operasi elektif, konsumsi cairan secara oral dihentikan dua jam
sebelum operasi. Bowel preparation hanya dilakukan pada kasus-kasus tertentu.
Tindakan tersebut dapat menyebabkan pasien mengalami penurunan berat badan
hingga 1,5-1,7kg yang kaya akan air dan kalium. Pada keadaan tersebut, dapat
diberikan 1-2L balanced crystallod dengan suplemen kalium. Terapi tersebut
dapat memperbaiki hemodinamik dan menurunkan kadar kreatinin serum. (7)
Pada operasi cito, lebih besar kemungkinan pasien datang dengan kondisi
cairan terganggu. Pemberian cairan pada pasien tersebut disesuaikan dengan
keadaan seperti tekanan darah, denyut jantung, kadar laktat, urine output (UO),
dan saturasi oksigen. (7)
Kehilangan cairan lambung dari obstruksi, muntah, dan nasogaster terutama
mengandung natrium, kalium, dan asam. Sekresi usus halus yang hilang
mengandung natrium, klorida, HCO3, dengan kadar kalium yang lebih rendah.
Kehilangan cairan dari usus besar seperti diare meningkatkan hilangnya kalium
yang dominan, serta natrium dan HCO3. Kehilangan cairan dari saluran
pencernaan bagian atas dapat digantikan dengan cairan saline isotonic, sedangkan
bagian bawah (fistula, ileus, atau obstruksi) dengan balanced crystalloid.1
Defisit cairan pre-operasi juga dapat disebabkan oleh redistribusi
intravascular ke extracellular compartment (ECF) atau perpindahan cairan ke
third space seperti edema, efusi pleura, dan asites.1

2.4.2. Cairan intraoperatif


Tujuan dari pemberian cairan intraoperative adalah keadaan euvolemia di
akhir operasi dan periode awal postoperasi. Terdapat beberaa faktor yang
mempengaruhi keseimbangan cairan intraoperasi:1
1. Distribusi volume intravascular yang terganggu
a. Vasodilatasi yang merupakan efek dari anestesi dan menurunkan preload
serta afterload jantung
b. Blokade dari persarafan simpatetik akibat dari blockade neuraxial pusat
c. Efek negative inotropic dari anestesi
d. Respon autoregulasi organ-organ yang menjadi tumpul akibat anestesi
e. Disfungsi microsirkulasi akibat anestesi
f. Respon inflamasi terhadap operasi yaitu perpindahan dari intravascular ke
ECF. Kejadian ini terutama terjadi pada fase postoperasi. Meskipun
demikian, dapat juga terjadi intraoperasi dengan durasi yang panjang atau
manipulasi operasi yang besar.
2. Pendarahan
3. Insensible losses yaitu evaporasi dari mukosa yang terbuka
4. Ekskresi renal. UO pada intraoperasi sering kali jauh lebih kecil dibandingkan
dengan jumlah cairan yang diberikan intravena. Supresi produksi urin
diakibatkan oleh:
a. Sekresi antidiuresis hormone (ADH) postoperasi yang dieksaserbasi oleh
positive pressure ventilation (PPV)
b. Peningkatan tekanan intrathorakal yang berakibat pada penurunan venous
return dan cardiac output
c. Respon neurohumoral seperti aktivasi simpatetik dan supresi atrial
neurotic peptide (ANP)
Cairan yang diberikan pada saat operasi berlangsung terdiri dari rumatan,
compensatory intravascular volume expansion (CVE), deficit cairan, cairan yang
hilang (loss), dan cairan yang mengalami evaporasi atau masih ke third space.
Perlu diingat bahwa keadaan saat operasi menginduksi stress response dan
menurunkan kadar insulin sehingga sangat mungkin terjadi hiperglikemia. Untuk
itu, pemberian cairan intraoperasi disarankan tidak mengandung glukosa. (5)
1. Rumatan
Cairan rumatan merupakan kebutuhan cairan basal tubuh dan dihitung
menggunakan rumus 4-2-1 per jam.
2. CVE
Cairan ini diberikan untuk mengompensasi efek dari obat-obatan anestesi
terhadap venodilatasi dan depresi jantung. Dengan diberikan cairan, venous
return akan meningkat yang kemudian menyebabkan peningkatan stroke
volume. Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa efek venodilatasi dan
depresi myocardium akan berkurang dengan cepat ketika obat-obatan anestesi
dihentikan. Pasien dengan fungsi jantung dan ginjal yang terganggu sangat
rentan terhadap hypervolemia akut. Pemberian cairan CVE dapat dilakukan
sebelum atau bersamaan dengan onset anestesi. Cairan CVE dapat
menggunakan balanced salt solution sebesar 5-7ml/kgBB (5)
Pada literatur lain tidak menyebutkan CVE sebagai salah satu cairan yang
perlu diberikan intraoperasi.1,3 Pada salah satu literature dikemukakan
hipotensi intraoperasi pada general anesthesia (GA) atau regional anesthesia
(RA) berhubungan dengan vasodilatasi dan penurunan inotropi jantung. Untuk
itu keadaan tersebut lebih tepat ditangani denan vasopressor atau inotrope
dosis rendah, kecuali pasien dalam keadaan hipovolemia (5)
3. Defisit preoperatif
Defisit cairan merupakan kekurangan cairan pada pasien operasi nil per os
(NPO) atau menjalani puasa sebelum operasi. Cairan yang diberikan
merupakan cairan rumatan dikalikan dengan lama puasa. Meskipun demikian,
pada praktiknya tidak semua orang membtuuhkan penggantian cairan puasa.
Hal ini dapat dianalogikan seperti pada orang tidur malam 8 jam yang tidak
membutuhkan cairan intravena ketika bangun di pagi hari.
Selain defisit NPO, defisit preoperasi lain juga perlu diganti. Defisit
tersebut paling sering disebabkan oleh muntah, diare, diuresis, dan
pendarahan. Untuk itu, pencatatan volume muntah, diare, dan bentuk
kehilangan cairan lainnya perlu diperhatikan. Idealnya, deficit preoperasi
diganti di periode preoperasi juga. Namun bila keadaan tidak memungkinkan
atau belum diganti dengan optimal ketika operasi dimulai, dapat diberikan
pada saat intraoperasi. Pemberian defisit juga menyesuaikan dengan elektrolit
yang hilang disesuaikan dengan jenis cairan yang hilang.
Pemberian cairan deficit preoperasi dapat dilakukan dengan formula 50-25-
25. Lima puluh persen deficit diberikan pada jam pertama operasi, dan 25%
untuk masing-masing jam berikutnya. Selain cara ini, pemberian deficit dapat
dibagi sesuai dengan lamanya operasi.
4. Loss
Penghitungan darah yang hilang selama hilang dapat dilihat dari tabung
suction dan kasa serta kain yang terpakai. Kasa 4x4 yang terpakai seluruhnya
mengandung 10mL darah. Sedangkan pad laparotomy dapat menampung
hingga 100-150 mL darah. Pada pasien pediatric, sangat penting untuk
menimbang kasa dan pad sebelum dan setelah digunakan untuk mendapatkan
angka yang lebih akurat.
Penggantian darah yang hilang dapat menggunakan kristaloid atau koloid
sampai bahaya anemia melebihi risiko transfusi darah. Kristaloid
menggantikan darah dengan rasio 1:3 sedangkan koloid 1:1. Pada kadar
hemoglobin <7gr/dL cardiac output akan meningkat untuk mempertahankan
penghantaran oksigen. Namun pada pasien usia lanjut atau memiliki penyakit
jantung atau paru, dapat menggunakan ambang batas hemoglobin yang lebih
tinggi. Perkiraan transfusi darah dapat dilakukan sebelum operasi dengan
menghitung allowable blood loss (ABL) atau jumlah darah yang hilang
sebelum dibutuhkan transfusi.
a. Hitung estimated blood volume (EBV)
b. Hitung estimasi volume eritrosit sesuai dengan hematocrit preoperasi
(EBV x persen hematocrit preoperasi)
c. Hitung estimasi volume eritrosit pada nilai ambang batas hematocrit
yang ditentukan (EBV x persen hematocrit ambang)
d. Hitung volume eritrosit yang hilang (b-c)
e. ABL = volume eritrosit yang hilang x 3
5. Evaporasi dan third space
Kehilangan cairan karena redistribusi dan evaporasi dipengaruhi oleh ukuran
luka operasi dan besarnya manipulasi. Cairan ini dapat disesuai dengan derajat
trauma jaringan.

2.4.3. Cairan postoperatif


Kejadian yang mempengaruhi keseimbangan cairan pada pre dan intra operasi
dapat terus berlangsung hingga fase postoperasi (7)
1. Respon imun dan inflamasi. Kerusakan jarignan dapat menyebabkan:
a. Vasodilatasi local
b. Peningkatan permeabilitas endotel. Hipervolemia kemudian
memperburuk keadaan permeabilitas akibat sekresi natriuretic
peptides yang memperberat degradasi glycocalyx endotel. Keadaan
ini dapat terjadi sangat berat sehingga terjadi kehilangan air,
elektrolit, dan protein ke interstisial.
c. Influx leukosit ke daerah kerusakan. Produksi sitokin dapat terjadi
hingga 72 jam, terutama IL-1, TNF, dan IL-6.
Cardiopulmonary bypass, trauma jaringan yang luas, hipoperfusi
gastrointestinal atau operasi di daerah yang mengalami inflamasi
preoperasi subklinis seperti infeksi atau tumor dapat berujung pada
systemic inflammatory response syndrome (SIRS) postoperasi. Pada
hipoperfusi gastrointestinal, usaha reperfusi dapat meningkatkan reactive
oxygen species (ROS) dan memperburuk kondisi inflamasi.
2. Metabolime katabolic.
Respon terhadap kerusakan jaringan dimediasi oleh katekolamin dan
kortisol yang berperan pada katabolisme protein otot, peningkatan
glukosa, dan produksi protein akut.
3. Regulasi keseimbangan air dan garam
Respon stress akut serta IL-6 menginduksi sekresi ADH. Periode
hipovolemia dan hipotensi juga menstimulasi pelepasan ADH dan aktivasi
Renin Angiotensin Aldosteron system (RAAS) yang berujung pada retensi
air dan garam. Kondisi-kondisi tersebut berujung pada periode oliguria
yang tidak sesuai dengan resusitasi cairan yang telah diberikan. Hal ini
memiliki risiko kelebihan cairan dan natrium. Retensi natrium lebih tinggi
pada fase hiperkatabolik setelah operasi mayor karena nitrogen berlebih
yang dihasilkan berkompetisi dengan natrium pada ekskresi renal.

Pada pasien post-operasi mayor, penilaian status cairan dilakukan


berdasarkan pemeriksaan fisik dan penunjang seperti laktat, saturasi oksigen, dan
cardiac output. Pada pasien euvolemia dan dapat menoleransi pemberian cairan
oral, segera hentikan cairan intravena untuk mencegah efek samping iatrogenic
dari adminstrasi cairan posoperasi. Salah satu penilaian status cairan pasien
adalah dengan UO. Pasien yang mengalami oliguria postoperasi harus dikaji
secara seksama terutama pada 24 jam pertama. Beberapa hal yang
memungkinkan terjadinya oliguria adalah gangguan perfusi jaringan, obstruksi
kateter, dan hipertensi intraabdomen.1
Pada pasien yang membutuhkan cairan intravena postoperasi, dapat diberikan
sebagai berikut:1
1. Pengecekan elektrolit setiap hari untuk antisipasi gangguan elektrolit
2. Kebutuhan cairan dibagi menjadi tiga kategori:
a. Kebutuhan rumatan. Pemberian cairan jenis ini sebaiknya rendah
garam dan dengan jumlah air yang tidak berlebihan untuk
mengantisipasi retensi garam dan air yang terjadi setelah operasi.
Dapat diberikan cairan hipotonik seperti D5% atau salin 0,18% dengan
4% dekstrosa. Dikarenakan adanya risiko hiponatremia postoperasi,
cairan rumatan ini tidak seharusnya dinaikan jika terdapat kecurigaan
adanya hipovolemia. Tatalaksana yang tepat adalah mengidentifikasi
sumber kehilangan cairan dan menghentikannya. Seiring dengan
meningkatnya asupan cairan oral, cairan rumatan ini juga diturunkan.
i. 1500-2500ml/24 jam disesuaikan dengan berat badan, atau 1-
1,2mL/kg/jam. Pada pasien obesitas, terdapat penurunan total
body water, sehingga menggunakan berat badan ideal.
ii. 50-100 mEq Na/ 24 jam
iii. 40-80 mEq K/24 jam
b. Penggantian ongoing losses. Kebutuhan cairan ini membutuhkan
pengkajian berulang sehingga cairan yang diberikan sesuai dengan
jumlah yang hilang, status volume intravascular, dan kondisi perfusi
jaringan (kondisi mental, laktat, dan hemodinamik). Kehilangan cairan
dari saluran pencernaan dapat diganti dengan jumlah volume cairan
yang sama menggunakan saline isotonic atau balanced crystallod
ditambah dengan kalium sesuai kebutuhan. Hilangnya cairan ke third
space seperti asites diganti menggunakan koloid dan kristaloid.
Pendarahan dapat diganti dengan koloid, darah, atau produk darah.
Daftar Pustaka

1. Bennett V, Cecconi M. Perioperative fluid management: From physiology to


improving clinical outcomes. Indian J Anesth Belagaum [Internet]. 2017 Aug;61(8).
Availablefrom:https://search.proquest.com/docview/1935823306/abstract/A69753
316DEE4751PQ
2. Gurudatt C. Perioperative fluid therapy: How much is not too much? Indian J
Anesth Belagaum. 2012 Jul;56(4):323–5.
3. Brugnolli A, Canzan F, Bevilacqua A, Marognolli O, Verlato G, Vincenzi S, et al. Fluid
Therapy Management in Hospitalized Patients: Results From a Cross-sectional Study.
Clin Ther Bridgew. 2017 Feb;39(2):311–21.
4. Trinooson CD, Gold ME. Impact of Goal-Directed Perioperative Fluid Management
in High-Risk Surgical Procedures: A Literature Review. AANA J Park Ridge. 2013
Oct;81(5):357–68.
5. Miller TE, Roche AM, Mythen M. Fluid management and goal-directed therapy as
an adjunct to Enhanced Recovery After Surgery (ERAS). Can J Anesth Tor. 2015
Feb;62(2):158–68.
6. Sherwood L. Fluid and acid-base balance. In: Human Physiology - From Cells to
Systems. 7th ed. Belmont, California: Brooks/Cole Cengage Learning; 2017. p. 557–
88.
7. Butterworth J, Mackey DC, Wasnick J. Fluid Management and Blood
Component Therapy. In:Morgan and Mikhail's Clinical Anesthesiology. 5 Ed. New
York. McGraw-Hill Education, LLC. 2016. p.1161-82.

Anda mungkin juga menyukai