Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Salah satu hal yang dapat menyebabkan kematian adalah terhentinya suplai
oksigen. Keadaan dimana terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernafasan yang
normal disebut asfiksia. Hal tersebut berhubungan dengan terjadinya obstruksi
(sumbatan) pada saluran pernapasan atau gangguan yang diakibatkan karena
terhentinya sirkulasi. Gagasan umum dari asfiksia adalah gangguan mekanis yang
menghalangi pernapasan. Asfiksia merupakan salah satu kasus penyebab kematian
terbanyak yang ditemukan dalam kasus kedokteran forensik.
Menurut Centers for Disease Control (CDC) dari database kasus kematian 1999-
2004, berdasarkan sertifikat kematian penduduk Amerika Serikat didapatkan sekitar
20.000 kasus kematian disengaja maupun tidak, dalam jangka waktu berkaitan
dengan berbagai jenis kasus tipe asfiksia mekanik: tenggelam, gantung diri, jeratan,
dan pembekapan. Penyebab paling umum kematian berbeda antara kelompok usia.
Kasus tenggelam mayoritas sering terjadi pada kelompok usia 1-4 tahun, sedangkan
gantung diri, jeratan dan tenggelam paling umum di kelompok usia 35-44 tahun.
Salah satu studi yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Citradurga India pada
periode 1 Januari 2012-31 Desember 2012 melalui rekam medik melaporkan bahwa
dari 343 kasus autopsi terdapat 36 kematian akibat asfiksia mekanik (10,50%). Yang
paling sering ditemukan ialah kematian yang disebabkan oleh gantung diri (80,60%)
diikuti kematian akibat tenggelam (8,30%). Kematian akibat jeratan (5,50%)
ditemukan lebih banyak daripada kematian akibat traumatis (2,80%). Dari data yang
dikumpulkan, ditemukan bahwa kelompok usia 21-30 tahun paling rentan terhadap
kematian asfiksia yang bersifat kekerasan, diikuti kelompok usia 31-40 tahun. Juga
didapatkan kasus pada laki-laki (75%) lebih banyak daripada perempuan (25%).3

1
Pada hasil penelitian di Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Dr. Sardjito tahun
2007-2012 diperoleh 72 kasus kematian akibat asfiksia mekanik dari total rekam
medis berjumlah 904. Subjek berjenis kelamin laki-laki memiliki prevalensi lebih
besar yaitu 48 korban (64%). Prevalensi kelompok usia 21-40 tahun merupakan yang
tertinggi yaitu 35 kasus (46,47%). Kasus terbanyak ialah kasus obstruksi jalan nafas
oleh benda asing sebanyak 32 kasus (42,67%). Prevalensi terbanyak kasus yang
ditemukan memiliki ciri yang sama pada kasus bunuh diri sebanyak 27 kasus (36%).

1.2. TUJUAN

1.2.1 Untuk mengetahui tentang asfiksia dalam ilmu forensik

1.3. MANFAAT

Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan


kepada mahasiswa/mahasiswi yang sedang menjalani stase forensik dan medikolegal
mengenai asfiksia yang meliputi: pengertian asfiksia, jenis-jenis asfiksia serta
gambaran post mortem pada berbagai kasus asfiksia.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ASFIKSIA

2.1.1 Definisi

Asfiksia berasal dari bahasa Yunani, a yang berarti “tanpa” , dan sphygnous
yang berarti “denyut”. Istilah ini digunakan untuk kondisi kurangnya suplai oksigen
yang berat sebagai akibat kegagalan pernafasan secara normal. Asfiksia
menyebabkan oksigen berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan
karbondioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan
oksigen dan terjadi kematian (Biswas G, 2015).

2.1.2 Etiologi

1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan


seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti
fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral,
sumbatan atau halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan
sebagainya.
3. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan,
misalnya karbon monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat
molekuler dan seluler dengan menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.

2.1.3 Fisiologi Asfiksia


Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia, yaitu:

1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)

3
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
a. Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di
tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas
dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan
asfiksia murni atau sufokasi.
b. Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti
pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus
alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati
pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan
dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena
gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup
tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas
macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh
tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
a. Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan
Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat
menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik
lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung
perlahan.

4
b. Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang
larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
c. Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu
pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.

2.1.4 Patofisiologi Asfiksia


Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan,
yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung
pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan
oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen,
dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen.
Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan
basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial,
sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal
dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer
tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang
rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena
meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk
kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan
cepat. Keadaan ini didapati pada:
a. Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).

5
b. Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan
dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena
cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru.
c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
(Traumatic asphyxia).
d. Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat
pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

6
Darah Urin, Feses,
menjadi Relaksasi Cairan
Fibrinolisis
encer Sfingter Sperma
Keluar
ASFIKSIA

Tak Sadar
Tekanan Kerusakan
Dilatasi
Oksigen & Dinding
Kapiler
Darah Turun Kapiler dan
Lapisan

Tenaga Otot
Stasis
Menurun
Kapiler Sianosis
Peningkatan
Permeabilitas
Kapiler
Darah
Bendungan Berwarna
Kapiler Ungu

Tardie Spot
Kongesti Tekanan Lebam
& Oedema
Visceral Intrakapiler Mayat Ungu
meningkat

Ruptur Pembuluh
Kapiler

7
2.1.5 Tanda Kardinal (Klasik) Asfiksia
1. Tardieu’s spot (Petechial hemorrages)
Tardieu’s spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada
jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian
belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga
bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada
lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan
faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.

Tardieu’s spot pada mata Tardieu’s spot

Bintik perdarahan pada jantung

8
2. Kongesti dan Oedema
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan
ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi
akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi
pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah
mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan
perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini
akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi
oedema).

3. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput
lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang
tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus
ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum
sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis
hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang
kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher
dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.

2.1.6 Gambaran Umum Post Mortem Asfiksia


a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar jenazah didapatkan:
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan
merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.

9
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.
Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi
dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan
mudah mengalir.

Lebam mayat (livor mortis)

4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat
peningkatan aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi
selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang
cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang
bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar,
misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-
kadang dijumpai pula di kulit wajah.
6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya
tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam
vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel
kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah
dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu’s
spot.

10
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang
meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga
menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak
mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis
paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris,
kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa
epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan
hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur
laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian
belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).

2.2 Asfiksia Mekanik


2.2.1 Hanging
Definisi
Hanging adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi
dari leher oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat
badan seluruh atau sebagian karena pengaruh gaya tarik berat
badan sendiri. Dengan demikian berarti alat penjerat sifatnya pasif,
sedangkan berat badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher.
Keadaan tersebut berbeda dengan penjeratan, dimana

11
yang aktif (kekuatan yang menyebabkan konstriksi leher),
adalah terletak pada alat penjeratnya.

Klasifikasi
1) Berdasarkan posisi tubuh
a) Complete hanging, jika kedua kaki tidak menyentuh lantai dan
sepenuhnya dipengaruhi oleh berat badan tubuh
b) Partial hanging, jika kedua kaki menyentuh tanah dan tidak sepenuhnya
dipengaruhi oleh berat badan tubuh. Sisa berat badan 10 - 15 kg pada orang
dewasa sudah dapat menyebabkan tersumbat saluran nafas dan
hanya diperlukan sisa berat badan 5kg untuk menyumbat arteri karotis.
Partial hanging ini hampir selamanya karena bunuh diri.

2) Berdasarkan letak simpul


a) Tipical hanging, letak simpul berada di belakang kepala (oksipital).
b) Atipical hanging, letak simpul berada di tempat selain tipical hanging.

12
Ada 2 jenis simpul yaitu:
 Simpul hidup (running noose) dan
 Simpul mati (satu atau lebih).

3) Berdasarkan cara kematian


a) Suicidal (Bunuh diri)
Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijump
ai padapenggantungan, yaitu sekitar 90% dari seluruh kasus. Walaupun
demikian, pemeriksaan yang teliti harus dilakukan untuk mencegah
kemungkinan lain terutamanya pembunuhan.
b) Homicidal (Pembunuhan)
Pembunuhan yang dilakukan dengan metode menggantung korban.
Biasanya dilakukan bila korbannya anak-anak atau orang dewasa yang
kondisinya lemah baik oleh karena penyakit atau dibawah pengaruh obat,
alkohol, atau korban sedang tidur. Sering ditemukan kejadian penggantungan
tetapi bukan kasus bunuh diri, namun kejadian diatur sedemikian rupa hingga
menyerupai kasus penggantungan bunuh diri.

13
c) Accidental hanging
 Terjadi sewaktu bermain atau bekerja
Kejadian penggantungan akibat kecelakaan lebih
banyak ditemukan pada anak-anak utamanya pada umur antara 6-12
tahun. Tidak ditemukan alasan untuk bunuh diri karena pada usia itu
belum ada tilikan dari anak untuk bunuh diri. Hal ini terjadi akibat
kurangnya pengawasan dari orang tua.
 Terjadi sewaktu melampiaskan nafsu seksual yang menyimpang
(Auto-erotic Hanging)
Merupakan kasus penyimpangan seksual yang
digunakan dengan cara hanging untuk mencapai kepuasan
seksual (orgasme). Tali yang dipakai sering kali diikatkan
pada banyak tempat, ikatan padadaerah genital, lengan, tungkai,
leher, mulut. Kematian terjadi karena ikatan te r l a l u keras.
K o r b a n u m u m n ya p r i a ya n g t i d a k j a r a n g m e m a k a i
p a k a i a n wanita.

Mekanisme kematian
Hanging menyebabkan kematian dengan beberapa mekanisme yang bisa
berlangsung bersamaan. Pada setiap kasus penggantungan beberapa kondisi
di bawah akan terjadi.
1. Menutupnya jalan nafas (Asfiksia)
Terjadi akibat terhambatnya aliran udara pernafasan. Merupakan penyebab
kematian yang paling sering.
2. Kongesti vena (Vena jugularis tersumbat)
Tekanan pada vena jugularis juga bisa menyebabkan kematian korban
penggantungan dengan mekanisme asfiksia. Akibat lilitan tali pengikat pada
leher terjadi penekanan vena jugularis secara complete sehingga timbul

14
pembendungan darah vena di otak sampai menimbulkan perdarahan di otak dan
mengakibatkan kegagalan sirkulasi.
Seperti yang diketahui vena jugularis m e m b a w a d a r a h d a r i o t a k
k e j a n t u n g u n t u k s i r k u l a s i . P a d a hanging sering terjadi penekanan
pada vena jugularis oleh tali yang menggantung korban. Tekanan ini seolah-
olah membuat jalan yang dilewati darah untuk kembali ke jantung
dari otak tersumbat.
Obstruksi total maupun parsial secara perlahan-lahan dapat menyebabkan
kongesti pada pembuluh darah otak. Darah tetap mengalir dari jantung ke otak
tetapi darah dari otak tidak bisa mengalir keluar.
Akhirnya terjadilah penumpukan darah dan
pembuluh darah otak. Keadaan ini menyebabkan suplai oksigen ke otak berkur
ang dan korban seterusnya tidak sadarkan diri. Kemudian, terjadilah
depresi pusat nafas dan korban mati akibat asfiksia.
3. Iskemik serebral (Arteri karotis tersumbat)
Iskemia serebral disebabkan oleh penekanan dan hambatan pembuluh
darah arteri (obstruksi arteri) yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke
otak. Obstruksi arteri karotis terjadi akibat dari penekanan yang
lebih besar. Halini karena secara anatomis, arteri karotis berada
lebih dalam dari vena jugularis.
4. Inhibisi vagal
Terjadi akibat penekanan pada nervus vagus dan sinus karotis yang
menyebabkan vaso vagal inhibisi sehingga terjadi cardiac arrest (henti
jantung).
5. Fraktur vertebra servikal
Kejadian ini biasa terjadi pada hukuman gantung (judicial
hanging) atau korban penggantungan yang dilepaskan dari tempat tinggi. Sering
terjadi fraktur atau cedera pada vertebra servikal 1 dan servikal 2 (aksis dan
atlas) a t a u l e b i h d i k e n a l i s e b a g a i “ hangman fracture” .

15
Fraktur atau dislokasi vertebra servikal akan menekan medulla
oblongata dan terjadi perdarahan di medulla oblongata sehingga
terjadi depresi pusat nafas dan korban meninggal karena henti nafas.

Gambaran Post Mortem

Pemeriksaan Luar

a) Wajah sianosis (vena terhambat), pucat (vena, arteri terhambat)


b) Tanda Penjeratan Pada Leher
 Tanda penjeratan
Jika bahan penjerat yang digunakan kecil dan tipis (kawat), maka akan
didapati tanda jeratan (jejas) yang jelas dan dalam, sebaliknya jika bahan
penjerat yang digunakan lebar dan lunak (selendang, kain, dll), maka
jejas tidak begitu jelas..
 Bentuk jeratan berbentuk oblique pada bagian depan leher, dimulai pada
leher bagian atas antara kartilago tiroid dengan dagu (diatas jakun), lalu
berjalan miring sejajar dengan garis rahang bawah menuju belakang

16
telinga Alur jeratan pada leher korban penggantungan (hanging)
berbentuk lingkaran (V shape).
 Tanda penjeratan tersebut berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering,
keras dan berkilat. Pada perabaan, kulit terasa seperti perabaan kertas
perkamen, disebut tanda parchmentisasi. Bila jeratan tali keras, mula-
mula akan menimbulkan warna pucat kemudian berubah menjadi coklat
seperti warna kertas perkamen. Pada pinggir ikatan dijumpai daerah
hiperemis dan ekimosis. Ini menunjukkan bahwa pengikatan terjadi
sewaktu korban masih hidup. Bila pengikatan dengan bahan yang lembut
seperti selendang maka terlihat bekasnya lebar dan tidak ada lekukan
ikatan, biasanya miring dan kontinu. Bila lama tergantung, di bagian atas
jeratan warna kulit lebih gelap karena adanya lebam mayat.

 Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit bagian bawah
telinga,tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telinga .Pinggiran jejas
jerat berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasi. Kadang-kadang
didapati juga bekas tekanan simpul di kulit.

17
 Jumlah tanda penjeratan
Terkadang pada leher terlihat dua buah atau lebih bekas penjeratan. Hal
ini menujukan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak dua kali.
c) Kedalaman Bekas Jeratan
Kedalaman bekas jeratan menujukan lamanya tubuh tergantung. Semakin
lama tubuh tergantung maka jejas semakin jelas terlihat dan semakin dalam.
d) Lidah
Lidah korban penggantungan (hanging) bisa terjulur, bisa
juga tidak terjulur. Lidah terjulur apabila letak jeratan gantungan
tepat atau dibawah kartilago tiroidea. Lidah tidak terjulur apabila
letaknya berada diatas kartilago tiroidea.
e) Tanda-tanda Asfiksia
Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti vena
dan edema. Sering ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas. Pada kasus
hanging tanda-tanda asfiksia berupa:
 mata menonjol keluar, karena pecahnya bendungan vena di otak sebagai
akibat dari tersumbatnya vena di otak.
 perdarahan berupa petekia pada bagian wajah dan subkonjungtiva
(akibat pecahnya kapiler karena kongesti vena di otak dan
meningkatnya permeabilitas pembuluh darah akibat asfiksia).
f) Lebam Mayat
Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati
dikaki dan tangan bagian bawah terutama di ujung-ujung jari tangan dan kaki.
Bila segera diturunkan lebam mayat bisa didapati di bagian depan atau
belakang tubuh sesuai dengan letak tubuh sesudah diturunkan. Lebam mayat
juga dapat terlihat di bagian genitalia eksterna yaitu pada labia (perempuan)
dan skrotum (laki-laki).

18
g) Sekresi Urin dan Feses
Sekresi urin dan feses terjadi pada fase apneu pada kejadian asfiksia.
Pada stadium apneu pusat pernapasan mengalami depresi sehingga gerak
napas menjadi sangat lemah dan berhenti. Penderita menjadi tidak sadar dan
karena kontrol spingter fungsi eksresi hilang akibat kerusakan otak maka
terjadi pengeluaran urin dan feses.

Pemeriksaan Dalam

1. Jaringan yang berada di bawah jeratan berwarna putih, berkilat dan perabaan
seperti perkamen karena kekurangan darah, terutama jika mayat tergantung
cukup lama. Pada jaringan di bawahnya mungkin tidak terdapat cedera
lainnya.
2. Platisma atau otot lain di sekitarnya mungkin memar atau ruptur pada
beberapa keadaan. Kerusakan otot ini lebh banyak tejadi pada kasus
penggantungan yang disertai dengan tindak kekerasan.
3. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi
ataupun ruptur. Resapan darah hanya terjadi di dalam dinding pembuluh
darah. Pada arteri karotis komunis dijumpai garis berwarna merah (red line)
pada tunica intima.
4. Fraktur tulang hyoid sering terjadi. Fraktur ini biasanya terdapat pada
penggantungan yang korbannya dijatuhkan dengan tali pengantung yang
panjang dimana tulang hyoid mengalami benturan dengan tulang vertebra.
Adanya efusi darah disekitar fraktur menunjukkan bahwa penggantungannya
ante- mortem.
5. Fraktur kartilago tiroid jarang terjadi.
6. Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas. Fraktur ini sering
terjadi pada korban hukuman gantung.

19
7. Paru- paru mengalami oedem dan kongesti dan dijumpai tanda Tardeou's spot
dipermukaan paru, jantung dan otak.
8. Pada jantung bilik kanan penuh dengan darah dan bilik kiri kosong.

Tabel 1. Perbedaan antara penggantungan ante mortem dan post mortem

No Penggantungan ante mortem Penggantungan post mortem


1 Tanda – tanda penggantungan ante Tanda – tanda post mortem menunjukkan
mortem bervariasi. Tergantung dari kematian yang bukan disebabkan
cara kematian korban penggantungan
2 Tanda jejas jeratan miring, berupa Tanda jejas jeratan biasanya berbentuk
lingkaran terputus (non-continuous) lingkaran utuh (continuous), agak sirkuler
dan letaknya pada leher bagian atas dan letaknya pada bagian leher tidak
begitu tinggi
3 Simpul tali biasanya tunggal, Simpul tali biasanya lebih dari satu,
terdapat pada sisi leher diikatkan dengan kuat dan diletakkan
pada bagian depan leher
4 Ekimosis tampak jelas pada salah Ekimosis pada salah satu sisi jejas
satu sisi dari jejas penjeratan. Lebam penjeratan tidak ada atau tidak jelas.
mayat tampak di atas jejas jerat dan Lebam mayat terdapat pada bagian tubuh
pada tungkai bawah yang menggantung sesuai dengan posisi
mayat setelah meninggal
5 Pada kulit di tempat jejas penjeratan Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak
teraba seperti perabaan kertas begitu jelas
perkamen, yaitu tanda
parchmentisasi
6 Sianosis pada wajah, bibir, telinga, Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga
dan lain-lain sangat jelas terlihat dan lain-lain tergantung dari penyebab

20
No Penggantungan ante mortem Penggantungan post mortem
terutama jika kematian karena kematian
asfiksia
7 Wajah membengkak dan mata Tanda-tanda pada wajah dan mata tidak
mengalami kongesti dan agak terdapat, kecuali jika penyebab kematian
menonjol, disertai dengan gambaran adalah pencekikan (strangulasi) atau
pembuluh dara vena yang jelas pada sufokasi
bagian kening dan dahi
8 Lidah bisa terjulur atau tidak sama Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus
sekali kematian akibat pencekikan
9 Penis. Ereksi penis disertai dengan Penis. Ereksi penis dan cairan sperma
keluarnya cairan sperma sering tidak ada. Pengeluaran feses juga tidak
terjadi pada korban pria. Demikian ada
juga sering ditemukan keluarnya
feses
10 Air liur. Ditemukan menetes dari Air liur tidak ditemukan yang menetes
sudut mulut, dengan arah yang pad kasus selain kasus penggantungan.
vertikal menuju dada. Hal ini
merupakan pertanda pasti
penggantungan ante-mortem

Tabel 2. Perbedaan penggantungan pada bunuh diri dan pada pembunuhan

No Penggantungan pada bunuh diri Penggantungan pada pembunuhan


1 Usia. Gantung diri lebih sering Tidak mengenal batas usia, karena
terjadi pada remaja dan tindakan pembunuhan dilakukan oleh
orangdewasa. Anak-anak di bawah musuh atau lawan dari korban dan tidak

21
No Penggantungan pada bunuh diri Penggantungan pada pembunuhan
usia 10 tahun atau orang dewasa di bergantung pada usia
atas usia 50 tahun jarang melakukan
gantung diri
2 Tanda jejas jeratan, bentuknya Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran
miring, berupa lingkaran terputus tidak terputus, mendatar, dan letaknya di
(non-continuous) dan terletak pada bagian tengah leher, karena usaha pelaku
bagian atas leher pembunuhan untuk membuat simpul tali
3 Simpul tali, biasanya hanya satu Simpul tali biasanya lebih dari satu pada
simpul yang letaknya pada bagian bagian depan leher dan simpul tali
samping leher tersebut terikat kuat
4 Riwayat korban. Biasanya korban Sebelumnya korban tidak mempunyai
mempunyai riwayat untuk mencoba riwayat untuk bunuh diri
bunuh diri dengan cara lain
5 Cedera. Luka-luka pada tubuh Cedera berupa luka-luka pada tubuh
korban yang bisa menyebabkan korban biasanya mengarah kepada
kematian mendadak tidak pembunuhan
ditemukan pada kasus bunuh diri
6 Racun. Ditemukannya racun dalam Terdapatnya racun berupa asam opium
lambung korban, misalnya arsen, hidrosianat atau kalium sianida tidak
sublimat korosif dan lain-lain tidak sesuai pada kasus pembunuhan, karena
bertentangan dengan kasus gantung untuk hal ini perlu waktu dan kemauan
diri. Rasa nyeri yang disebabkan dari korban itu sendiri. Dengan demikian
racun tersebut mungkin mendorong maka kasus penggantungan tersebut
korban untuk melakukan gantung adalah karena bunuh diri
diri
7 Tangan tidak dalam keadaan terikat, Tangan yang dalam keadaan terikat
karena sulit untuk gantung diri mengarahkan dugaan pada kasus

22
No Penggantungan pada bunuh diri Penggantungan pada pembunuhan
dalam keadaan tangan terikat pembunuhan
8 Kemudahan. Pada kasus bunuhdiri, Pada kasus pembunuhan, mayat
mayat biasanya ditemukan ditemukan tergantung pada tempat yang
tergantung pada tempat yang mudah sulit dicapai oleh korban dan alat yang
dicapai oleh korban atau di digunakan untuk mencapai tempat
sekitarnya ditemukan alat yang tersebut tidak ditemukan
digunakan untuk mencapai tempat
tersebut
9 Tempat kejadian. Jika kejadian Tempat kejadian. Bila sebaliknya pada
berlangsung di dalam kamar, ruangan ditemukan terkunci dari luar,
dimana pintu, jendela ditemukan maka penggantungan adalah kasus
dalam keadaan tertutup dan terkunci pembunuhan
dari dalam, maka kasusnya pasti
merupakan bunuh diri
10 Tanda-tanda perlawanan, tidak Tanda-tanda perlawanan hampir selalu
ditemukan pada kasus gantung diri ada kecuali jika korban sedang tidur, tidak
sadar atau masih anak-anak.

Penatalaksanaan pada kasus penggantungan yang masih hidup:

1. Korbannya diturunkan
2. Ikatan pada leher dipotong dan jeratan dilonggarkan
3. Berikan bantuan pernafasan untuk waktu yang cukup lama
4. L i d a h d i t a r i k k e l u a r , l u b a n g h i d u n g d i b e r s i h k a n j i k a b a n y a k
m e n g a n d u n g s e k r e s i cairan
5. Berikan oksigen, lebih baik lagi kalau disertai CO2 5%

23
6. Jika korban mengalami kegagalan jantung kongestif, pertolongan
melalui venaseksi mungkin akan membantu untuk mengatasi kegagalan
jantung tersebut.
7. Berikan obat-obat yang perlu (misalnya Coramine)
8. Gejala sisa: hemiplegia, amnesia, demensia, bronkhitis, selulitis, parotitis

2.2.2 Drowning
Tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian akibat mati lemas
(asfiksia) disebabkan masuknya cairan kedalam saluran pernapasan. Pada
peristiwa tenggelam (drowning), seluruh tubuh tidak harus tenggelam di air.
Asalkan lubang hidung dan mulut berada dibawah permukaan air maka hal
itu sudah cukup memenuhi kriteria sebagai peristiwa tenggelam.

24
Klasifikasi

Tabel. Klasifikasi drowning

a. Typical / Wet Drowning


Pada tipe ini air masuk ke dalam paru-paru dan korban akan mengalami nyeri
dada ( 80-90% kasus). Penyebab ini diketahui sebagai penyebab utama
drowning (tenggelam).
1) Air tawar (hipotonik)
Pada kasus tenggelam di air tawar air akan masuk ke paru-paru sampai
ke alveoli, kemudian air yang masuk tsb dengan cepat akan diabsorbsi dari
alveoli ke sirkulasi darah yang kemudian akan menyebabkan terjadinya
hemodilusi diikuti hemolisis.
Akibatnya akan terjadi hiperkalemia (kadar ion K dalam darah
meningkat), hiponatremi (kadar ion Na menurun) dan disertai peningkatan
volume darah, beban kerja jantung meningkat. Bersamaan dengan hal itu,

25
terjadi hipoksia miokard yang akhirnya akan menyebabkan tekanan sistolik
menurun diikuti dengan terjadinya fibrilasi ventrikel. Dengan keadaan
tersebut yang berlangsung terus-menerus, lama kelamaan jantung akan gagal
dalam melakukan kerjanya sehingga berdampak pada kematian.

26
2). Air laut (hipertonik)

Pada peristiwa tenggelam di air asin akan mengakibatkan terjadinya anoksia


dan hemokonsentrasi. Tidak terjadi gangguan keseimbangan elektrolit.

Konsentrasi elektrolit cairan air asin lebih tinggi daripada dalam darah,
sehingga air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringgan intertisial paru
yang akan menimbulkan edema pulmoner, hemokonsentrasi, hipovolemi dan
kenaikan kadar magnesium dalam darah. Hemokonsentrasi akan mengakibatkan
sirkulasi menjadi lambat dan menyebabkan terjadinya payah jantung.

Pemeriksaan post mortem ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl


pada jantung kiri lebih tinggi daripada jantung kanan dan ditemukan buih serta
benda-benda air.

27
b. Atipical Drowning
1) Dry drowning
Pada dry drowning, air tidak masuk ke dalam paru-paru (saluran
pernapasan) karena spasme laring yang terjadi akibat air yang masuk ke
dalam laring atau inhibisi vagal (vagal reflex) yang mengakibatkan jantung
berhenti berdenyut sebelum korban tenggelam.

2) Immersion syndrome

Mati tenggelam karena masuk ke air dingin yang menyebabkan


inhibisa vagal

3) Secondary drowning

Tidak sesungguhnya tenggelam, tapi mati sesudah dirawat akibat


tenggelam.

28
Penyebab Kematian

1. Asphyxia
2. Dalam air tawar penyebab kematiannya adalah ventricular fibrillation. Dalam
air laut kematian disebabkan oleh cardiac arrest dari edema
3. Vagal inhibition
4. Laryngeal spasm.
5. Concussion/head injury.
6. Apoplexy: perdarahan subarachnoid

Fatal period

 Air tawar : 4–5 min.


 Air asin : 8–12 min

Pemeriksaan Post Mortem

Hal penting yang perlu ditentukan pada pemeriksaan adalah:


1. Menentukan identitas korban
Identitas korban ditentukan dengan memeriksa antara lain:
 Pakaian dan benda-benda milik korban
 Warna dan distribusi rambut dan identitas lain
 Kelainana atau deformitas dan jaringan parut
 Sidik jari
 Pemeriksaan gigi
 Teknik identifikasi lain
2. Apakah korban masih hidup sebelum tenggelam
Pada mayat masih segar, untuk menentukan apakah korban masih hidup
atau sudah meninggal pada saat tenggelam, dapat diketahui dari hasil
pemeriksaan :

29
a. Metode yang memuaskan untuk menentukan apakah orang masih
hidup waktu tenggelam adalah pemeriksaan diatom
b. Untuk membantu menentukan diagnosis, dapat dibandingkan kadar
elektrolit magnesium darah dari bilik jantung kiri dan kanan.
c. Benda asing dalam paru dan saluran pernafasan mempunyai nilai yang
menentukan pada mayat yang terbenam selama beberapa waktu dan
mulai membusuk. Demikian juga dengan isi lambung dan usus.
d. Pada mayat yang segar, adanya air dalam lambung dan alveoli yang
secara fisika dan kimia sifatnya sama dengan air tempat korban
tenggelam mepunyai nilai bermakna.
3. Penyebab kematian yang sebenarnya dan jenis drowning
Pada mayat yang segar, gambaran pasca kematian dapat menunjukkan tipe
drowning dan juga penyebab kematian lain seperti penyakit, keracunan atau
kekerasan lain.
4. Faktor-faktor yang berperan pada proses kematian
Faktor-faktor yang berperan pada proses kematian misanya kekerasan, obat-
obatan, alkohol dapat ditemukan pada pemeriksaan luar atau melalui bedah
jenazah.
5. Tempat korban pertama kali tenggelam
Bila kematian korban berhubungan dengan masuknya cairan ke dalam
saluran nafas, maka pemeriksaan diatom dari air tempat korban ditemukan
dapat membantu menentukan apakah korban tenggelam ditempat itu atau
tempat lain.
6. Penyulit alamiah lain yang mempercepat kematian
 Bila sudah ditentukan bahwa korban masih hidup pada waktu masuk
ke air, maka perlu ditentukan apakah kematian disebabkan karena air
masuk ke dalam saluran pernafasan. Pada immersion, kematian terjadi
dengan cepat, hal ini mungkin disebabkan oleh sudden cardiac arrest.

30
Faktor lain adalah keadaan hipersensitivitas dan kadang-kadang
keracunan alkohol.
 Bila tidak ditemukan air dalam paru-paru dan lambung berarti
kematian terjadi seketika akibat spasme glottis yang menyebabkan
cairan tidak dapat masuk.
Waktu yang diperlukan untuk terbenam dapat bervariasi tergantung dari
keadaan sekeliling korban, keadaan masing-masing korban, reaksi perorangan yang
bersangkutan, keadaan kesehatan, dan jumlah serta sifat cairan yang dihisap masuk ke
dalam saluran pernapasan.

Gambaran Post Mortem Kasus Tenggelam


Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran pasir, lumpur dan
benda-benda asing lain yang terdapat dalam air, kalau seluruh tubuh
terbenam dalam air.
b. Busa halus pada hidung dan mulut, kadang-kadang berdarah.
Cutis anserina
c. Mata setengah terbuka atau tertutup, jarang pendarahan atau
perbendungan.
d. Kutis anserina pada kulit permukaan anterior tubuh terutama pada
ekstremitas akibat kontraksi otot erektor pili yang dapat terjadi karena
rangsang dinginnya air. Gambaran kutis anserina kadangkala dapat juga
akibat rigor mortis pada otot tersebut.

31
e. Washer woman’s hand dimana telapak tangan dan kaki berwarna
keputihan dan berkeriput yang disebabkan karena inhibisi cairan ke
dalam kutis dan biasanya membutuhkan waktu lama.

Washer woman’s hand

f. Cadaveric spasme, merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu


korban berusaha menyelamatkan diri dengan memegang apa saja
seperti rumput atau benda-benda lain dalam air.

Cadaveric spame
g. Luka-luka lecet pada siku, jari tangan, lutut dan kaki akibat gesekan
pada benda-benda dalam air. Puncak kepala mungkin terbentur dasar
waktu terbenam, tetapi dapat pula terjadi luka post mortal akibat benda-
benda atau binatang dalam air.

32
Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam dapat ditemukan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Busa halus dan benda asing (pasir, tumbuh-tumbuhan air) dalam
saluran pernafasan.
b. Paru-paru mebesar seperti balon, lebih berat, sampai menutupi kandung
jantung. Pada pengirisan banyak keluar cairan. Keadaan ini terutama
terjadi pada kasus tenggelam di laut.
c. Petekie sedikit sekali karena kapiler terjepit diantara septum
interalveolar. Mungkin terdapat bercak-bercak perdarahan yang disebut
bercak Paltauf akibat robeknya penyekat alveoli (Polsin).
d. Petekie subpleural dan bula emfisema jarang terdapat dan ini bukan
merupakan tanda khas tenggelam tetapi mungkin disebabkan oleh
usaha respirasi.
e. Dapat juga ditemukan paru-paru yang normal karena cairan tidak
masuk ke dalam alveoli atau cairan sudah masuk ke dalam aliran darah
(melalui proses imbibisi), ini dapat terjadi pada kasus tenggelam di air
tawar.
f. Otak, ginjal, hati dan limpa mengalami perbendungan
g. Lambung dapat sangat membesar, berisi air, lumpur dan mungkin juga
terdapat dalam usus halus.

Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Diatom.
Alga/ ganggang bersel satu dngan dinding terdiri dari silikat yang
tahan panas dan asam kuat. Diatom ini dapat dijumpai dalam air tawat,
alut, sungai, sumur. Bila seseorang mati karena tenggelam maka cairan
bersama diatom masuk ke dalam saluran nafas atau pencernaan, kemudian
diatom akan masuk ke dalam aliran darah melalui kerusakkan dinding
kapiler pada waktu korban masih hidup dan tesebar ke seluruh jaringan.

33
Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru mayat segar. Bila mayat
telah membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari jaringan ginjal, otot
skelet, sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati dan limpa
kurang bermakna sebab berasal dari penyerapan abnormal saluran
pencernaan terhadap makanan dan minuman.
Pemeriksaan diatom positif bila pada jaringan paru ditemukan diatom
cukup banyak : 4-5/ LPB atau 10-20 per satuan sediaan, atau pada
sumsum tulang cukup ditemukan satu.
2. Pemeriksaan Diatom dapat dilakukan dengan pemeriksaan destruksi pada
paru dan pemeriksaan getah paru.
3. Pemeriksaan Darah Jantung. Pemeriksaan berat jenis dan kadar elektrolit
pada darah yng berasal dari bilik jantung kiri dan bilik jantung kanan. Bila
tenggelam di air tawar, berat jenis dan kadar elektrolit dalam darah
jantung kiri lebih rendah dari jantung kanan sedangkan pada tenggelam di
air asin terjadi sebaliknya. Perbedaan kadar elektrolit lebih rendah dari
10% dapat menyokong diagnosis.
4. Pemeriksaan mikroskopik jaringan
5. Pemeriksaan keracunan

2.2.3 Strangulasi

Strangulasi adalah bentuk kematian asfiksia yang disebabkan oleh kontriksi


saluran nafas pada leher dengan cara menekan atau cara lain selain menggantungkan
tubuh.

Klasifikasi

a. Ligature strangulasi
Pada strangulasi ini, tekanan leher diakibatkan oleh ikatan yang
dilakukan oleh kekuatan selain dari berat badan.

34
b. Manual strangulasi
Diakibatkan oleh tekanan tangan, lengan, atau tungkai terhadap leher,
menekan struktur dari leher.

Penyebab Kematian

1. Asphyxia karena naiknya laring dan lidah menutup jalan nafas.


2. Cerebral anoxia karena tekanan pada vena.
3. Vagal inhibition.
4. Penyebab yang jarang : fracture dislocation dari cervical vertebrae

Pemeriksaan Post Mortem

Pemeriksaan Luar

a. Wajah
 Wajah sembab, bengkak dan sianosis. Tardieu's spot di dahi, pelipis,
kelopak mata dan konjungtiva; lebih banyak daripada di gantung
 Mata menonjol, terbuka lebar, dilatasi pupil dan perdarahan
subconjunctival
 Bibir, kuku jari tangan dan lobulus telinga sianosis; tanda postmortem
didapatkan diatas tekanan
 Lidah bengkak, berwarna gelap, bisa menonjol keluar mulut, dan lidah
tergigit oleh gigi
 Cairan berbusa bercampur darah dan lendir keluar dari mulut dan lubang
hidung

35
b. Leher
Jejas tali (‘furrow’)
 Lingkaran biasanya horizontal di tengah atau bawah leher, atau dengan
sejajar tulang rawan tiroid. Jejasnya melintang, melingkar dan
tersambung.
 Jejas, meskipun jejas hamper melingkar sempurna melingkari pada leher,
bagian yang lebih menonjol adalah leher depan dan samping dari pada
leher bagian belakang.
 Pada dasar jejas biasanya berwarna merah, disekitar garis jejas terdapat
ekimosis.
 Jika tali penjeratnya halus dan lebar, jejas mungkin tidak akan ada atau
sama sekali tidak ada bisa diperiksa dibawah sinar UV .
 .Jika korban telah diseret oleh kabel jejas mungkin namapk secara oblik
seperti di gantung

Pemeriksaan dalam

a. Memar jaringan subkutan dan otot leher, terutama di bawah jeratan dan
simpul. Mungkin ada memar atau laserasi dari selubung arteri karotis.
b. Cedera tulang hyoid tidak umum diperhatikan, karena tingkat penyempitan
jauh di bawah, dan Daya tarik pada ligamentum thyrohyoid bisa diabaikan
c. Fraktur kartilago tiroid
d. Perdarahan Subcapsular dan interstisial thyroid

36
e. Fraktur kartilago krikoid kurang umum terjadi.
f. Cincin trakea dapat menahan fraktur saat tekanan yang cukup kuat
g. Memar lidah dan mulut mungkin terjadi
h. Folikel limfoid di dasar lidah dan palatine tonsil tersumbat.
i. Selaput lendir pharynx, epiglotis dan laring biasanya menunjukkan daerah
perdarahan.
j. Laring, trakea dan bronkus tersumbat, dan mengandung lendir berbusa
bercampur darah.
k. Fraktur / dislokasi vertebra servikalis tidak umum

‘Vagal Inhibition’ atau Refleks Henti Jantung

Penekanan sedikit saja pada daerah leher dapat menyebabkan perangsangan


reflex vagal dan henti jantung, tergantung lokasi penekanan seperti yang
diperlihatkan pada gambar 2, tepat pada baroreseptor sinus karotis di bifurcatio
karotis.

Pemijatan klinis pada sinus karotis dapat membantu untuk menangani pasien
aritmia, namun di satu sisi jika tidak dilakukan secara benar dan teliti dapat
menimbulkan kematian akibat aritmia ventrikel atau asistol (James, 2011).

Rangsangan pada baroreseptor sinus karotis menghasilkan suatu impuls yang


disalurkan melalui nervus sinus karotis (suatu cabang n. glossofaringeus) ke nukleus
traktus solitaries dan nuklei vagal pada medulla. Impuls parasimpatis disalurkan ke
jantung mellaui nervus vagus yang menyebabkan bradikardi dan berpotensi pada
asistol (James, 2011).

Kematian dapat terjadi ketika adanya penekanan pada daerah leher dan di atas
penjelasan di atas merupakan mekanisme yang dinamakan ‘vagal inhibition/
penghambatan vagal’, yang dapat menjelaskan banyak kasus hanging/ mati gantung
tidak ditemui tanda-tanda klasik asfiksia (James, 2011).

37
Lamanya waktu penenkanan pada leher atau dada untuk menimbulkan peteki
dan kongesti pada korban hidup masih dalam perdebatan, namun secara umum
disepakati perlu waktu sedikitnya 10-30 detik untuk menimbulkan asfiksia. Tidak
adanya peteki merupakan petunjuk bahwa suatu kematian yang disebabkan oleh
penekanan pada leher diduga terjadi selama jangka waktu setidaknya 10-30 detik
penekanan (James, 2011).

Gambar 2. Sinus karotis baroreseptor dan penekanan pada leher: (a) Lokasi
Sinus karotis baroreseptor terletak di bifurkasio arteri karotis komunis, dan (b)
penekanan pada leher dapat menyebabkan penyempitan pada sinus karotis.
(Sumber: James, JP., 2011, Simpson’s Forensic Medicine, 13th Edition)

2.2.4 Sufokasi

Bentuk asifiksia yang disebabkan oleh obstruksi mekanis sehingga udara tidak
dapat masuk ke saluran napas yang penyebabnya selain dari penekanan leher atau
tenggelam (Biswas, 2015). Walaupun bukan merupakan istilah yang khusus, sufokasi

38
merujuk pada kasus kematian yang disebabkan oleh menurunnnya konsentrasi
oksigen pada lapisan atmosfer untuk bernapas, disebut ‘atmosfer . Penurunan oksigen
atmosfer dapat terjadi dalam banyak situasi. Dekompresi, seperti pada penurunan
tekanan kabin pesawat udara di ketinggian, menyebabkan menurunnya tekanan
parsial oksigen sehingga menurunkan penetrasi gas ke dinding alveolus (Pekka,
2004).

Klasifikasi (Biswas, 2015)

1. Pembekapan/ Smothering.
2. Tersedak/ Choking.
3. Pembungkaman/ Gagging.
4. Sufokasi Penekanan/ Overlying.
5. Asfiksia traumatik.
6. Burking.
1. Pembekapan/ Smothering
Definisi

Bentuk asfiksia yang disebabkan oleh peyumbatan mekanis jalan napas di


bagian luar, seperti penutupan hidung dan mulut dengan menggunakan tangan,
pakaian, kantong plastik, dan benda lainnya (Biswas, 2015). Secara ringkasnya,
pembekapan merupakan tindakan menutup mulut dan lubang hidung (Sharma,
2011). Pada pembekapan, kematian terjadi karena benda penyumbat menekan
lubang pernapasan ke dalam, atau dengan berat kepala korban yang menekan
hidung dan mulut hingga tertutup. Pembunuhan dengan cara membekap biasa
dijumpai pada orang-orang tua, orang-orang yang sedang tidak berdaya dan pada
bayi (Pekka, 2004).

39
Gambar 3. Pembekapan menggunakan bantal (Sumber: Biswas, G., 2015.
Review of Forensic Medicine and Toxicology)

Gambar 4. Pembekapan menggunakan plastic wrap. (Sumber: Catanese, CA.


2010. Color Atlas of Forensic Medicine and Pathology.)

Temuan Postmortem (Biswas, 2015)

1) Dapat dijumpai luka lecet dan memar di sekitar mulut dan hidung. Tanda-
tanda tersebut dapat tidak terlihat jika pembekapan menggunakan benda-
benda yang lunak seperti pakaian atau bantal.
2) Dapat dijumpai Cedera di bagian dalam bibir karena adanya penekanan oleh
gigi.
3) Dapat dijumpai Memar pada gusi atau terkadang terjadi robekan pada jaringan
gusi.

40
Aspek Medikolegal (Biswas, 2015)

1) Pembekapan karena kecelakaan sering terjadi pada orang yang mabuk


(alkoholik) atau menderita epilesi yang jatuh atau berguling-guling di
tumpukan lumpur atau benda sejenis lainnya.
2) Saat proses persalinan, seorang bayi dapat meninggal karena pembekapan,
jika hidung dan mulut bayi tersebut tertutupi oleh kantong amnion (cul-de-
sac).
3) Anak-anak dapat terbekap ketika bermain degan kantong plastik untuk
menutupi wajah atau kepala.

Asfiksia kantong plastik

Merupakan salah satu jenis pembekapan yang terjadi akibat menurunnya


kadar oksigen di sekitarnya yang harus dihirup oleh seseorang dan adanya
penyumbatan pada mulut dan hidung. Kantong plastik menjadi lengket ke wajah
karena ada proses kondensasi (pengembunan). Cara ini umum digunakan untuk
bunuh diri oleh orang lanjut usia dan individu yang tidak berdaya. Dapat juga
dijumpai pada kasus asfiksia autoerotik, pengguna obat-obatan terlarang, bahan-
bahan yang mudah menguap (misal: kloroform atau propan), bahan-bahan
hidrokarbon (misal: trikloroetan) atau kematian akibat kecelakaan pada anak-anak
(Biswas, 2015).

2. Tersedak/ Choking

Definisi

Bentuk asfiksia yang disebabkan karena penyumbatan di dalam saluran


pernapasan oleh benda asing, seperti koin, biji buah-buahan, permen, ikan atau benda
lainnya (Biswas, 2015). Istilah ini merujuk pada kejadian tersumbatnya jalan napas
bagian dalam, biasanya di antara pharynx dan percabangan trakea. Kematian terjadi
karena hipoksia murni dari sumbatan jalan napas, dijumpai tanda-tanda kongestif,

41
disertai sianosis, dan mungkin didapati juga petekie, biasanya korban berjuang untuk
bernapas untuk beberapa saat setelah tersedak (Pekka, 2004).

Pada serangan epilepsi, lidah terjatuh menutupi dinding pharynx posterior


yang menyebabkan tersedak. Fase akut tersumbatnya jalan napas, yaitu
(Biswas,2015):
1) Penetrasi benda asing ke dalam jalan napas.

2) Penyumbatan jalan napas.

3) Kegagalan untuk mengeluarkan benda asing menyebabkan tersedak.

Tersedak pada kebanyakan kasus merupakan kecelakaan dan kasus yang


paling sering adalah jatuhnya gigi pada orang dewasa dan masuknya mainan-mainan
kecil, bola-bola kecil, dll., pada anak-anak ke saluran napas. Pada tindakan medis
tersedak dapat berisiko terjadi ketika tindakan anesthesia, ketika ekstraksi gigi atau
darah dari gigi atau telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) yang tidak memicu
rangsang protektif batuk. Penyumbatan biasanya menyebabkan distress pernapasan
dengan kongesti dan sianosis di kepala dan wajah (James, 2011).

Mekanisme

Pertama, terjadi stridor, distress pernapasan, batuk dan ketidakmampuan


korban untuk berbicara. Hal ini diikuti dengan upaya menarik napas yang dalam
sehingga membuat benda asing jatuh lebih jauh lagi ke bagian bawah saluran napas.
Laringospasme terjadi, diikuti perangsangan vagal, menyebabkan aritmia, apnea, dan
kematian (Biswas, 2015).

Penyabab kematian

1) Asfiksia

2) Inhibisi vagal

42
3) Spasme laring

4) Kematian secara tidak langsung akibat pneumonia, abses paru, atau


bronkiektasis.

Temuan Postmortem (Biswas, 2015)

1) Tanda-tanda asfiksia. Perdarahan subkonjugtiva tanpa petekie pada kulit dapat


dijumpai.
2) Adanya benda asing atau makanan di saluran pernapasan. Makanan dapat
berbentuk bulat dan halus, dikarenakan penyesuaian pada saluran pernapasan.
3) Pada penderita epilepsy, lidah dijumpai adanya tanda gigitan atau memar.

Aspek Medikolegal (Biswas, 2015)

Kebanyakan kasus tersedak merupakan kasus kecelakaan, kasus bunuh diri


atau pembubuhan jarang terjadi dengan cara ini. Tersedak karena kecelakaan biasa
terjadi pada anak-anak yang berumur di bawah 1 tahun. Sembilan puluh persen kasus
kematian karena tersedak terjadi pada anak berumur di bawah 5 tahun. Tersedak
karena pembunuhan biasanya berkaitan dengan umur, orang yang sedang tidak
berdaya karena penyakit, pemakaian alkohol atau obat-obatan terlarang, dan pada
bayi. Ketika benda dipaksakan masuk ke dalam mulur, terjadi tanda-tanda
perlawanan. Cedera perioral, gigi, lidah dan intraoral dapat terjadi. Tersedak karena
bunuh diri jarang terjadi, dan dapat terjadi pada pasien psikiatri dan tahanan.

Café-coronary

Definisi

Kondisi ini mengacu pada tersedak secara tidak sengaja yang penyebabnya
adalah bolus makanan untuk menjadikan keseluruhan laring tersumbat (Biswas,
2015). Disebut café-coronary karena mirip dengan serangan jantung dan biasanya
dijumpai pada orang-orang mabuk di suatu restoran. Istilah café-coronary, pertama

43
kali diperkenalkan oleh Dr Roger Haugen (Medical Examiner, Broward County,
Florida) pada tahun 1963.

Penyebab (Biswas, 2015)

1) Faktor predisposisi, mencakup menurunnya reflex protektif saluran napas,


disebabkan dari penuaan, susunan gigi yang tidak baik, cenderung untuk
menelan makanan keseluruhan, konsumsi alkohol, dan menelan dalam dosis
besar obat penenang dan agen depresan sistem saraf pusat lainnya yang
mengacaukan reflex muntah.
2) Reflex henti jantung dari inhibisi vagus terjadi sebagai akibat dari stimulasi n.
laringeus.

Temuan Klinis (Biswas, 2015)

Korban dalam keadaan sehat, mendadak jatuh, membiru ketika sedang makan
di meja makan.

Pengobatan (Biswas, 2015)

1) Jika terdapat kesulitan bernapas dan sianosis, lakukan pertolongan pertama


dengan cara menekan bagian perut (Heimlich’s maneuver) sampai pasien
dalam keadaan pemulihan.
2) Pemukulan di bagian punggun atau di sternum dapat menyebabkan batuk dan
pengeluaran benda asing.
3) Korban ditempatkan pada posisi terlentang dan mult dibuka untuk melakukan
ekstraksi benda asing dengan jari.
4) Jika cara-cara di atas tidak berhasil, benda asing harus dikeluarkan dari
hipofaring dengan jari tengah dan telunjuk atau menggunakan forsep.
5) Jika benda asing tidak dapat dikeluarkan, perlu dilakukan krikotirotomi atau
trakeostomi.

44
Gambar 5. Cara melakukan manuver Heimlich

Temuan Postmortem

Bolus makanan yang tidak terkunyah atau benda lainnya dijumpai tersangkut
di dalam laring atau trakea. Uji kertas lakmus dapat dilakukan untuk menentukan
derajat keasaman bolus sehingga diketahui berasal dari mulut atau muntahan dari
lambung (Biswas, 2015).

Gambar 6. Penyumbatan bolus makanan pada larynx –café


coronary. (Sumber: James, JP., 2011, Simpson’s Forensic
Medicine, 13th Edition)

Aspek Medikolegal

Kasus ini merupakan kematian akibat murni kecelakaan, yang mungkin


bermanfaat dalam proses pengurusan asuransi (Biswas, 2015).

45
‘Creche coronary’: kejadian tersedak yang terjadi pada anak berumur 1-3 tahun
karena sedang meningkatnya perkembangan aktivitas, memasukkan benda-benda
kecil ke mulut mereika atau memasukkan sepotong makanan pada jalan napas yang
masih sempit dan susunan gigi yang inadekuat untuk mengunyah dan reflex batuk
yang masih belum kuat (Biswas, 2015).

3. Pembungkaman/Gagging

Definisi

Bentuk asfiksia yang diakibatkan oleh mendorong suatu benda (gulungan


pakaian atau bola kertas) jauh ke dalam mulut sampai menutupi pharynx. Tindakan
ini biasanya disertai dengan pembekapan. Pada tahap awal, udara masih bisa masuk
ke jalan napas melalu hidung, namun karena semakin banyaknya produksi saliva,
menumpuknya mucus, serta edema pharynx dan mukosa hidung menyebabkan
obstruksi komplit (Biswas, 2015).

Gambar 7. Pembungkaman menggunakan gulungan kain. (Sumber: Catanese,


CA. 2010. Color Atlas of Forensic Medicine and Pathology.

Temuan Postmortem (Biswas, 2015).

1) Sama dengan tersedak.

46
2) Cedera pada hidung dan mulut dengan resapan darah di dalam tenggorokan.
Aspek Medikolegal Hampir selalu merupakan kasus pembunuhan, dan korban
biasanya bayi atau orang lanjut usia. Pembungkaman dilakukan dengan
maksud untuk mencegah korban berteriak meminta bantuan,
kematian biasanya tidak disengaja Pembungkaman telah juga dipakai korban
untuk menahan jeritan atas rasa sakit dari tindakan bunuh diri (misal: bakar
diri/self immolation) (Biswas, 2015).

4. Sufokasi penekanan/ Overlaying

Definisi

Sufokasi penekanan atau overlaying merupakan bentuk asfiksia yang


diakibatkan oleh penekanan pada dada, hidung, dan mulut untuk mencegah seseorang
bernapas. Dapat merupakan bentuk pembekapan yang tidak disengaja pada bayi oleh
ibunya yang tidur bersama, bayi tersebut berguling selama tidurnya dan tidak sengaja
tertindih oleh ibunya. Juga pada orang yang sedang mabuk dan dalam kondisi sakit
(Biswas, 2015).

Temuan Postmortem (Biswas, 2015)

1) Wajah, hidung, dan dada korban anak-anak dapat menjadi tertekan dan pucat.
2) Tanda penekanan dari tempat tidur atau pakaian juga dapat ditemui.
3) Temuan asfiksia yang biasa dijumpai adalah petekie intratoraks.

Aspek Medikolegal (Biswas, 2015)

1) Murni kecelakaan.
2) Dapat merupakan kasus infanticide
3) Dapat juga merupakan kasus sindrom kematian bayi mendadak/ sudden infant
death syndrome (SIDS).

47
5. Asfiksia traumatik/ Perthes Syndrome

Definisi

Asfiksia yang diakibatkan oleh terhentinya sistem respirasi karena fiksasi


mekanik pada dada, sehingga pergerakan dinding dada yang normal terhambat
(Biswas, 2015).

Penyebab (Biswas, 2015)

1) Karena tertimpa reruntuhan bangunan, kecelakaan kendaraan atau saat


peperangan.
2) Berdesakan di keramaian, berlari panik, contoh: karena adanya kebakaran di
gedung bioskop/mall/ pertemuan masal.
3) Ditabrak oleh kendaraan
4) Tertimpa dinding gua ketika sedang menambang, di dalam bunker.
5) Terhimpit di antara dua gerbong kereta api.
6) Ketika sedang diikat kedua kaki dan tangannya dalam posisi telungkup
(hogtying).

Mekanisme

Terfiksasinya bagian dada oleh penekanan yang berat sehingga gerak


pernapasan menjadi terhenti. Seseorang dapat meninggal dalam beberapa detik,
namun basanya terjadi sesingkatnya dalam waktu 2-5 menit (Biswas, 2015).

Temuan Postmortem (Biswas, 2015)

Pemeriksaan Luar

1) Ekimosis tersamar (Masque ecchymotique) Gambaran kongesti kemerahan


atau kebiruan pada wajah dan leher serta ada keterlibatan bagian atas rongga

48
dada, punggung, dan lengan atas. Mekanisme ekimosis tersamar: terjadinya
aliran darah retrograde yang berasal dari vena kava superior menuju vena
subklavia dan vena-vena di leher dan kepala disebabkan oleh kompresi dada
atau abomen. Katup vena subklavia mencegah penyebaran tekanan
hidrostatik lebih lanjut ke vena-vena ekstremitas atas. Namun, dampak dari
aliran tersebut mengubah aliran darah ke vena-vena di leher dan kepala yang
tidak berkatup sehingga kapiler distal ruptur. Oleh karena itu, wajah dan leher
korban menjadi sianosis berat, peradarahan pada mata dan petekie dalam
jumlah banyak pada scalp, wajah, leher, dan bahu.
2) Sianosis pada wajah.
3) Petekie atau ekimosis dalam jumlah banyak.
4) Garis pembatas Tingkat penekanan dapat dinilai dengan garis pembatas yang
dijumpai pada tubuh, yaitu adanya perbedaan warna kulit yang mencolok pada
daerah yang tertekan dengan bagian bawah tubuh yang tidak tertekan.
5) Daerah pucat dapat dijumpai pada bagian kerah, lipatan, dan kerutan baju.
6) Edema wajah.
7) Trauma tumpul di bagian luar leher, kepala, dan dada yang disertai dengan
lumpur, atau benda-benda lainnya.

Pemeriksaan Dalam (Biswas, 2015)

1) Mata: retinopati Purtscher (perdarahan retina)


2) Wajah: petekie atau ekimosis pada hidung, telinga, atau pharynx yang
menyerupai perdarahan basis cranii.
3) Tulang: fraktur tulang iga dan klavikula sering dijumpai, dan fraktur pada
ekstremitas dan tulang pelvis dapat juga dijumpai.
4) Saluran napas atas: edema, dan peteki epiglottis-laryng.
5) Paru-paru: kongesti, berat petekie subpleural; adanya kontusio, robekan dan
hemo-/pneumothorax.
6) Jantung: jantung kanan dan vena di atasnya dapat melebar.

49
7) Abdomen: laserati hepar dan spleen dapat dijumpai.
8) SSP: edema dan petekie.

Gambar 8. Traumatik asfiksia. a) asfiksia karena tertindih pohon. b) adanya kongesti


menyeluruh pada wajah dan buih bercampur darah kemerahan dari lubang hidung dan
mulut. c) memperlihatkan adanya kongesti dan petekie hemoragik yang jelas pada
wajah dan sebagian bahu. d) perdarahan konjuntiva menyeluruh pada traumatic
asfiksia. (Sumber: Biswas, G., 2015. Review of Forensic Medicine and Toxicology;
Sauko, P., 2004. Knight’s Forensic Pathology 3rd edition.)

Aspek Medikolegal

Kebanyakan kasus merupakan kecelakaan, namun jika anak yang tertimpa


barang-barang rumah tangga dapat dicurigai sebagai kasus pembunuhan (Biswas,
2015). Pada orang yang selamat, perubahan warna bagian tubuh yang tertekan
menghilang dalam beberapa minggu. Perubahan warna tidak dapat hilang dengan
pemberian oksigen. Petekie menghilang dalam beberapa hari, tapi perdarahan
subkonjuntiva dapat bertahan beberapa minggu, biasanya berubah warna menjadi
kekuningan kemudian baru menghilang (Biswas, 2015).

50
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam
pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan
karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang diakibatkan
karena terhentinya sirkulasi. Gangguan ini akan menimbulkan suatu keadaan dimana
oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar
karbondioksida.
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan muka dan ujung-ujung
ekstremitas sianotik (warna biru keunguan) yang disebabkan tubuh mayat lebih
membutuhkan HbCO2 dari pada HbO2. Tardieu’s spot pada konjungtiva bulbi dan
palpebra. Tardieu’s spot merupakan bintik-bintik perdarahan (petekie) akibat
pelebaran kapiler darah setempat. Lebam mayat cepat timbul, luas, dan lebih gelap
karena terhambatnya pembekuan darah dan meningkatnya fragilitas / permeabilitas
kapiler. Hal ini akibat meningkatnya kadar CO2 sehingga darah dalam keadaan lebih
cair. Lebam mayat lebih gelap karena meningkatnya kadar HbCO2. Busa halus keluar
dari hidung dan mulut. Busa halus ini disebabkan adanya fenomena kocokan pada
pernapasan kuat.
Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan organ dalam tubuh lebih gelap
dan lebih berat dan ejakulasi pada mayat laki-laki akibat kongesti / bendungan alat
tubuh dan sianotik. Darah termasuk dalam jantung berwarna gelap dan lebih cair.
Tardieu’s spot pada pielum ginjal, pleura, perikard, galea apponeurotika, laring,
kelenjar timus dan kelenjar tiroid. Busa halus di saluran pernapasan. Edema paru.
Kelainan lain yang berhubungan dengan kekerasan seperti fraktur laring, fraktur
tulang lidah dan resapan darah pada luka.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Biswas, G., 2015. Review of Forensic Medicine and Toxicology. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publisher (P) Ltd: 173-6.
2. James, JP., Jones, R., Karch, SB., Manlove, J., 2011. Simpson’s Forensic
Medicine,13th Edition. London: Hodder Arnold:154-160.
3. Sauko, P., Knight, B., 2004. Knight’s Forensic Pathology, Third Edition. London:
Hodder Arnold: 154-160.
4. Catanese, CA, Bollinger BK., 2010. Asphyxia. Dalam: Catanese, CA., (ed). Color
Atlas of Forensic Medicine and Pathology. Florida: CRC Press: 373-392.
5. Sharma, RK., 2011. Concise Textbook of Forensic Medicine and Toxicology, 3rd
Edition. Uttar Pradesh: Global Education Consultants: 58.
6. H, tasmono.2007.Distribusi Kasus Kematian Akibat Asfiksia di Malang Raya
yang Diperiksa di Instalasi Kedokteran Forensik RSSA.universitas brawijaya
malang.hal 35.

52
53

Anda mungkin juga menyukai