TINJAUAN PUSTAKA
3.1 ASFIKSIA
A. Definisi Asfiksia
Terjemahan harfiah dari kata 'asfiksia' dari bahasa Yunani berarti 'tidak ada atau
kurangnya denyutan, cukup bagaimana kata ini datang untuk menunjukkan efeknya 'kekurangan
oksigen' tidak jelas, tetapi sekarang menjadi kata yang biasa digunakan untuk menggambarkan
berbagai kondisi yang kekurangan oksigen, apakah itu parsial (hipoksia) atau lengkap (anoxia),
dipertimbangkan menjadi penyebabnya.
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan
peningkatan karbondioksida (hiperkapneu).
Dalam kedokteran forensik, asfiksia sering menggambarkan situasi dimana telah terjadi
obstruksi diantara mulut dan hidung ke alveoli, meskipun mekanisme ‘asfiksia’ lainnya ada, ini
menggambarkan ketidakmampuan untuk memanfaatkan oksigen pada tingkat sel tanpa adanya
obstruksi saluran napas.
B. Klasifikasi Asfiksia
Mekanik
Strangulasi (tekanan pada leher oleh sebuah sarana atau dengan tangan).
Gantung ( tekanan pada leher oleh sebuah sarana yang dikombinasikan dengan
berat tubuh).
Penyumpalan (obstruksi fisik di saluran pernapasan).
Asfiksia kompresi (tekanan pada dada atau perut, yang menghasilakan gangguan
fisik yang menyebabkan gangguan bernapas).
Pembekapan (obstruksi fisik pada mulut/hidung yang dapat menyebabkan
pernapasan tidak efektif)/
Non mekanik
Keracunan karbon monoksida (gangguan kimia dengan respirasi pada tingkat sel).
Tenggelam
C. Fisiologi Asfiksia
Pada tahun 1944 Gordon mempostulatkan bahwa fungsi vital dari tubuh bergantung pada
ketersediaan dan pemanfataan oksigen oleh jaringan tubuh dan anoksia jaringan yang pada
akhirnya menyebabkan gagal jantung dan kematian. Ini adalah sebuah klasifikasi yang
menekankan pada pathogenesis dalam berbagai bentuk kepentingan kematian medikolegal.
Dibagi dalam empat cara:
1. Anoksia anoksik (Anoxic anoxia)
Pada keadaan ini oksigen tidak dapat mencapai darah karena kurangnya oksigen yang
masuk ke paru-paru. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi kantong plastik,
udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di
pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi. Hambatan
mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan, gantung diri,
penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal
dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia anemik (Anaemic anoxia)
Tidak ada ketersediaan hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada anemia
berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini terjadi pada keracunan karena karbon
monoksida, klorat dan nitrit. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang
membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal jantung,
syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi
darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak dapat
menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
a. Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida terjadi
perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian
segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara
parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.
b. Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut
dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
c. Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O2
oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.
D. Jenis-jenis Asfiksia
Adapun beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia, yaitu:
1. Strangulasi
2. Gantung (Hanging)
3. Penjeratan (Strangulation by Ligature)
4. Pencekikan (Manual Strangulation)
5. Sufokasi
6. Pembengkapan (Smothering)
7. Tenggelam (Drowning)
8. Traumatik asfiksia (Crush Asphyxia)
9. Keracunan CO dan SN
E. Patofisiologi Asfiksia
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari
asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak
tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih
rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel
serebrum, serebellum, dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada
organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan
akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan
mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen
dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal
jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:
Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan
korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan
menghalangi udara masuk ke paru-paru.
Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic
asphyxia).
Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan,
misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.
Darah Urin, Feses,
menjadi Relaksasi Cairan
Fibrinolisis
encer Sfingter Sperma
Keluar
ASFIKSIA
AAAA
Tak Sadar Tekanan Kerusakan
Dilatasi
Oksigen & Dinding
Kapiler
Darah Turun Kapiler dan
Lapisan
Ruptur Pembuluh
Kapiler
Tardieu’s spot
Bintik perdarahan pada jantung
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan
aktivitas pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi selaput lendir saluran
napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan
menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya
kapiler.
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar,
misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang
dijumpai pula di kulit wajah.
6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya tekanan
hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan
kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding
kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik
perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieu’s spot.
B. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam (Autopsi) jenazah didapatkan:
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang
meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih
berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru
terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala
sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-
glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring
langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan
krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).
Irisan histologis yang didapatkan untuk setiap kasus pertama-tama diperiksa secara
kualitatif untuk menentukan perubahan arsitektur dan lesi histopatologis paru-paru. Dengan cara
ini, jaringan pulmoner dibagi menjadi dua bagian histoanatomis: bagian lobular, yang diwakili
oleh bronkiolus-bronkiolus membranosa, dan bagian acinar, yang diwakili oleh bronkiolus-
bronkiolus respiratorik dan jaringan alveolus yang menyertainya (duktus, kantong, dan alveoli).
1. Kolaps jaringan alveolus pada pembesaran rendah digambarkan oleh kolaps struktur
alveolus, termasuk kantong dan duktus alveolus yang menyebabkan tumpang tindih
septum alveolus dan pengecilan ruang pertukaran gas. Gambar 4 menunjukkan gambaran
histopatologis setelah alveolus kolaps.
1. Edema tampak ketika material proteik, tak berbentuk, dan eosinofilik muncul di dalam
septum alveolus (Gambar 4D).
2. Endapan material proteik dan tak berbentuk dalam alveolus tersebut terlihat dalam dua
keadaan, pertama, material tak berbentuk tersebut mengisi ruang ruang alveolus dalam
pola yang seragam dan homogen yang mirip dengan edema hidrostatik, menggambarkan
edema minor yang tampak di gambar 4A dan B. kedua, keberadaan material yang
heterogen dan sedikit basofilik (Gambar 4 C,D) yang memenuhi ruang alveolus,
menggambarkan adanya benda asing (susu, cairan amnion).
3. Kongesti pasif adalah substrat anatomis dari stasis vena di mikrosirkulasi paru. Hal ini
digambarkan oleh distensi kapiler, yang mana dilatasi dan sinuositas nya menyebabkan
distorsi ruang alveolus, sehingga bertanggungjawab atas meningkatnya gambaran
berwarna yang terlihat di jaringan di mikroskopi optik (Gambar 4 A,B)
4. Hemorage digambarkan dengan adanya darah di dalam ruang alveolus (Gambar 5A,B)
atau di sepanjang septum alveolus (Gambar 5E,F); pada kedua keadaan tersebut, struktur
yang melatarbelakangi menjadi buram.”
B. Klasifikasi Hanging
A. Klasifikasi Gantung 30
1. Berdasarkan Titik Gantung:
a. Penggantungan tipikal
Dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di samping leher dan di
bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada saluran nafas dan arteri karotis paling
besar pada tipe ini.
b. Penggantungan atipikal
Bila titik penggantungan terdapat di samping, sehingga leher dalam posisi sangat
miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan. Sehingga korban segera
tidak sadar
C. Aspek Medikolegal
Saat ini masih terdapat stigma dalam masyarakat bahwa kasus hanging lebih
menunjukkan kasus bunuh diri. Penyidik lebih cenderung yakin terhadap kasus bunuh diri,
terlebih lagi apabila peyidik tidak sadar terhadap tanda-tanda yang membedakan antara gantung
bunuh diri dengan gantung pada kasus pembunuhan. Dalam hal ini, dokter dapat membantu
menjelaskan kepada penyidik mengenai tanda-tanda post-mortem tersebut dan membantu
memberikan suatu kesimpulan (Saukko, 2004).
Perbuatan bunuh diri dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan dan dari remaja
hingga orang tua. Pemeriksaan TKP penting untuk menjelaskan luka di tubuh korban.
Pembunuhan dengan cara gantung jarang terjadi, kecuali pada orang yang tidak berdaya atau
dilemahkan terlebih dahulu dengan kekerasan atau racun. Tidak jarang korban yang telah mati
digantung untuk menghilangkan jejak pembunuhan.
Beberapa faktor di bawah ini dapat dijadikan bahan pertimbangan:
a. Penggantungan biasanya merupakan tindakan bunuh diri, kecuali dibuktikan lain.
b. Cara terjadinya penggantungan
c. Bukti-bukti tidak langsung di sekitar tempat kejadian
d. Tanda berupa jejas penjeratan
e. Tanda-tanda kekerasan atau perlawanan
D. Jenis Hanging berdasarkan aspek medicolegal
1. Accidental Hanging
Penggantungan yang tidak disengaja ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu
yang terjadi sewaktu bermain atau bekerja dan sewaktu melampiaskan nafsu seksual yang
menyimpang ( Auto – erotic Hanging ). Auto-erotic hanging atau sexual asphyxia adalah
salah satu bentuk dari accidental hanging. Disebutkan bahwa penjeratan pada leher dapat
meningkatkan rangsangan seksual. Korbannya yang paling banyak adalah pria. Beberapa
bahan lunak seperti handuk atau kabel digunakan oleh korban dan kekuatan jeratannya
ditingkatkan dengan tangan atau digerakkan dengan kaki. Korbannya biasanya ditemukan
dalam keadaaan telanjang dengan gambar atau benda berisi hal-hal porno di sekitarnya.
Jika korban telah meminum alkohol, proses asfiksia menjadi lebih cepat terjadi.
Terkadang, korban tidak dapat melepaskan atau menurunkan kekuatan jeratan tepat pada
waktunya dan mungkin mati. Di dalam semua kasus seperti ini, pemeriksaan tempat
kejadian di sekitar korban sangat berguna.
2. Homicidial Hanging
Pembunuhan dengan metode menggantung korbannya relatif jarang dijumpai,
cara ini baru dapat dilakukan bila korbannya anak – anak atau orang dewasa yang
kondisinya lemah, baik lemah oleh karena menderita penyakit, di bawah pengaruh obat
bius, alkohol atau korban yang sedang tidur. Pembunuhan dengan cara penggantungan
sulit untuk dilakukan oleh seorang pelaku.
3. Judicial Hanging
Judicial hanging telah dilakukan sejak zaman dahulu sebagai bentuk
penghukuman. Pada judicial hanging, kematian berlangsung sangat cepat karena fraktur
di vertebra servikalis yang mengakibatkan perdarahan di medulla oblongata. Sering
didapati jantung masih berdenyut untuk beberapa saat kemudian. Bila kematian karena
penutupan arteri juga berlangsung cepat karena iskemik otak, sedangkan kematian
berlangsung lebih lambat pada penyumbatan vena. Bila yang terobstruksi adalah saluran
pernapasan, maka kematian dapat berlangsung di bawah 5 menit.
E. Gambaran Post-Mortem Korban Penggantungan
Ada beberapa hal yang dapat kita jumpai pada pemeriksaan luar dan dalam pada korban
penggantungan. Ada 5 bagian tubuh korban yang kita perhatikan saat melakukan pemeriksaan
luar dan dalam, yaitu:
1. Kepala.
2. Leher.
3. Anggota gerak (lengan dan tungkai).
4. Dubur.
5. Alat kelamin.
Ada 4 bagian kepala korban yang kita perhatikan saat melakukan pemeriksaan luar autopsi,
yaitu:
1. Muka.
2. Mata.
3. Konjungtiva.
4. Lidah.
Hal ini sangat penting diperhatikan oleh dokter, dan keadaannya bergantung kepada
beberapa kondisi:
Tanda penjeratannya jelas dan dalam jika tali yang digunakan kecil dibandingkan jika
menggunakan tali yang besar.
Bentuk jeratannya berjalan miring (oblik) pada bagian depan leher, dimulai pada leher
bagian atas di antara kartilago tiroid dengan dagu, lalu berjalan miring sejajar dengan
garis rahang bawah menuju belakang telinga. Tanda ini semakin tidak jelas pada bagian
belakang.
Tanda penjeratan tersebut berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan
berkilat. Pada perabaan, kulit terasa seperti perabaan kertas perkamen, disebut tanda
parchmentisasi.
Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit di bagian bawah telinga, tampak
daerah segitiga pada kulit di bawah telinga.
Pinggirannya berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasi di sekitarnya.
Jumlah tanda penjeratan. Kadang-kadang pada leher terlihat 2 buah atau lebih bekas
penjeratan. Hal ini menunjukkan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak 2 kali.
Deskripsi leher korban penggantungan (hanging) yang penting kita berikan antara lain:
- Lokasi luka
Lokasi luka pada leher korban penggantungan (hanging) dapat berada di depan,
samping dan belakang leher. Luka yang berada di depan leher kita ukur dari dagu
atau manubrium sterni korban. Luka yang berada di samping leher kita ukur dari garis
batas rambut korban. Luka yang berada di belakang leher kita ukur dari daun telinga
atau bahu korban.
- Jenis luka
Jenis luka korban penggantungan (hanging) terdiri atas luka lecet, luka tekan dan luka
memar. Penting juga kita mendeskripsikan mengenai warna, lebar, perabaan dan
keadaan sekitar luka. Anggota gerak korban penggantungan (hanging) dapat kita
temukan adanya lebam mayat pada ujung bawah lengan dan tungkai.
- Lokasi simpul jeratan (belakang dan samping leher).
- Jenis simpul jeratan (simpul hidup dan simpul mati).
Kedalaman dari bekas penjeratan menunjukkan lamanya tubuh tergantung
Jika korban lama tergantung, ukuran leher menjadi semakin panjang
Tanda-tanda asfiksia. Mata menonjol keluar, perdarahan berupa petekia tampak pada
wajah dan subkonjungtiva. Bintik-bintik perdarahan pada konjungtiva korban
penggantungan (hanging) terjadi akibat pecahnya vena dan meningkatnya permeabilitas
pembuluh darah karena asfiksia.
Gambar 9. Petechie pada mata sebagai tanda asfiksia pd kasus gantung diri
Lidah menjulur menunjukkan adanya penekanan pada bagian leher. Lidah korban
penggantungan (hanging) bisa terjulur, bisa juga tidak terjulur. Lidah terjulur apabila
letak jeratan gantungan tepat berada pada kartilago tiroidea. Lidah tidak terjulur apabila
letaknya berada diatas kartilago tiroidea.
Air liur mengalir dari sudut bibir di bagian yang berlawanan dengan tempat simpultali.
Keadaan ini merupakan tanda pasti penggantungan ante-mortem
Lebam mayat paling sering terlihat pada tungkai
Posisi tangan biasanya dalam keadaan tergenggam
Urin dan feses bisa keluar. Pengeluaran urin pada korban penggantungan disebabkan
kontraksi otot polos pada stadium konvulsi atau puncak asfiksia.
Pemeriksaan Dalam
1. Kepala korban penggantungan (hanging) dapat kita temukan tanda-tanda bendungan
pembuluh darah otak, kerusakan medulla spinalis dan medulla oblongata.
2. Jaringan yang berada di bawah jeratan berwarna putih, berkilat dan perabaan seperti
perkamen karena kekurangan darah, terutama jika mayat tergantung cukup lama.Pada
jaringan di bawahnya mungkin tidak terdapat cedera lainnya.
3. Platisma atau otot lain di sekitarnya mungkin memar atau ruptur pada beberapa keadaan.
Kerusakan otot ini lebih banyak terjadi pada kasus penggantungan yang disertai dengan
tindakan kekerasan.
4. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun ruptur.
Resapan darah hanya terjadi di dalam dinding pembuluh darah.
5. Fraktur tulang hyoid jarang terjadi. Fraktur ini biasanya terdapat pada penggantungan
yang korbannya dijatuhkan dengan tali penggantung yang panjang dimana tulang hyoid
mengalami benturan dengan tulang vertebra. Adanya efusi darah di sekitar fraktur
menunjukkan bahwa penggantungannya ante-mortem.
6. Fraktur kartilago tiroid jarang terjadi.
7. Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas. Fraktur ini sering terjadi pada
korban hukuman gantung
Gambar 11. Kiri: Fraktur melintang pada prosesus servikalia ke lima-enam (C5-6) (panah
lurus penuh), fraktur pada tepi depan C6 (panah melengkung) dan perluasan persendian
antara tulang C5 dan C6 (panah kosong). Kanan: patah tulang krikoid.
8. Dada dan perut korban penggantungan (hanging) dapat kita temukan adanya perdarahan
(pleura, perikard, peritoneum, dan lain-lain) dan bendungan / kongesti organ.
9. Darah dalam jantung korban penggantungan (hanging) warnanya lebih gelap dan
konsistensinya lebih cair.
3. Simpul tali biasanya tunggal, terdapat Simpul tali biasanya lebih dari satu,
pada sisi leher diikatkan dengan kuat dan diletakkan
pada bagian depan leher
4. Ekimosis tampak jelas pada salah satu Ekimosis pada salah satu sisi jejas
sisi dari jejas penjeratan. Lebam mayat penjeratan tidak ada atau tidak jelas.
tampak di atas jejas jerat danpada Lebam mayat terdapat pada bagian
tungkai bawah tubuh yang menggantung sesuai
dengan posisi mayat setelah
meninggal
5. Pada kulit di tempat jejas penjeratan Tanda parchmentisasi tidak ada atau
teraba seperti perabaan kertas tidak begitu jelas
perkamen, yaitu tanda parchmentisasi
6. Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dan Sianosis pada bagian wajah, bibir,
lain-lain sangat jelas terlihat terutama telinga dan lain-lain tergantung dari
jika kematian karena asfiksia penyebab kematian
8. Lidah bisa terjulur atau tidak sama Lidah tidak terjulur kecuali pada
sekali kasus kematian akibat pencekikan
9. Penis. Ereksi penis disertai dengan Penis. Ereksi penis dan cairan sperma
keluarnya cairan sperma sering terjadi tidak ada. Pengeluaran feses juga
pada korban pria. Demikian juga sering tidak ada
ditemukan keluarnya feses
10. Air liur. Ditemukan menetes dari sudut Air liur tidak ditemukan menetes
mulut, dengan arah yang vertikal pada kasus selain kasus
menuju dada. Hal ini merupakan penggantungan
pertanda pasti penggantungan ante-
mortem
1. Usia. Gantung diri lebih sering Tidak mengenal batas usia, karena
terjadi pada remaja dan orang tindakan pembunuhan dilakukan oleh
dewasa.Anak-anak di bawah usia musuh atau lawan dari korban dan
10 tahun atau orang dewasa di atas tidak bergantung pada usia
usia 50 tahun jarang melakukan
gantung diri
3. Simpul tali, biasanya hanya satu Simpul tali biasanya lebih dari satu
simpul yang letaknya pada bagian pada bagian depan leher dan simpul
samping leher tali tersebut terikat kuat
Dari hasil penelitian oleh Prasad KJ dkk (2016), gambaran histopatologi pada kasus
gantung diri, didapatkan perubahan pada lapisan kulit seperti terjadi diskontinuitas atau pecah
(Breaking) pada lapisan kulit epidermal dan dermal, peningkatan gelombang (Wrinkling) pada
lapisan epidermal dan lapisan kulit yang berkerut. Serta terjadi penurunan ketebalan kulit
(Compression) dengan peningkatan basofil. Selain itu terjadi pula perubahan pada struktur leher
seperti adanya kogesti pembuluh darah pada jaringan dibawahnya, serta adanya perdarahan dan
infiltrasi sel.
Gambar 12. Wrinkling dan breaking pada lapisan kulit Gambar 13. Perdarahan subkutan pada jaringan ikat
Hasil penelitian Bamousa dkk (2015) pada histopatologi dari arteri karotis terdapat
robekan di tunika intima sekitar 90% kasus dan terdapat infiltrasi atau ekstravasasi minimal oleh
neutrofil dan eritrosit. Pada 91% kasus ditemukan kongesti pada kelenjar tiroid dan sekitar 3%
menunjukan tiroiditis Hashimoto yang di konfirmasi dengan mendeteksi antibodi anti-
tiroglobulin dan autoantibodi anti-mikrosomal.
Gambar 14. Perdarahan pada jaringan otot (ekstravasasi sel darah merah) Gambar 15. Tunika intima dan arteri karotis yang
rusak dengan sedikit ekstravasasi sel darah merah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Graham MA. Pathology of Asphyxia Death: Mechanism of morbidity and mortality. Cina
SJ, editor. Available on http://www.emedicine.medscape.com/article/1988699-
overview#aw2aab6b4. Update November 21, 2013. Accessed on Maret 29, 2015.
2. Amir A, Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, ed 2, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 2007
3. Arun M. Methods of suicide : A medicolegal Perspective. JIAFM 2006: 28 (1). P 22-26
4. Ernoehazy W. Hanging Injuries and strangulation. Cited February 14, 2006. Available at:
http://www.emedicine.com/emerg/topic227.htm
5. Ligature mark on neck
6. Gambaran kasus asfiksia mekanik yang ditangani di instalasi kedokteran forensic rsup dr
sardjito tahun 2007-2012. Charisma nur prabowo
7. Suharto G. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan bidang kedokteran. Semarang:
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.2014.p.17
8. Knight B. Asphyxia and pressure on the neck and chest. In: Simpson’s forensic medicine,
eleventh ed. London, Oxford University Press,Inc. 2001. p:87-90
9. Apuranto H, Asphyxia. In: Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.2007.p:71-99
10. Idries, Abdul Mun’im, 1997, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa Aksara,
Jakarta, Hal 170-190.
11. Knight, B., 1996, Forensic Pathology, 2 nd Edition, Oxford University Press Inc, New
York, Page 345-360.
12. Budiyanto. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 1.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. h55-70.
13. Amir A. Sebab Kematian. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 2. Medan:
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2007. h120-125.
14. Sofwan D.Ilmu Kedokteran Forensik. Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2000
15. Martland HS. Traumatic Aphyxia: Strangulation. Legal Medicine Pathology And
Toxicology.
16. Diakses di http://emedicine.medscape.com/article/1988699-overview pada tanggal 1
April 2015
17. Geserick G.,2010, Tardieu's spots and asphyxia--a literature study, Pubmed, Germany
18. Apuranto H, Asphyxia. In: Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.2007.p:71-99
19. Chadha PV. Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi. Jakarta: Widya Medika.
1995.p: 47-8
20. Porth CM. Alterations in Respiratory Function: Disorders of Gas Exchange. In: :
Essential of Pathophysiology, Concepts of Altered Health States. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins. 2004.p:397
21. Knight, Bernard. Pekka Sauko et al. Knight’s Forensic Pathology. A macmillan Company
printed and bound in India: 2004
22. idris AM. Penggantungan. IN : Idries AM, Editor : Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik.
Edisi 1. Jakarta: Binarupa aksara; 1997. P202-207).
23. Amir, A. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Ketiga. Medan: Bagian Forensik
FK USU. 2008
24. Dahlan Sofwan. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2012.