Anda di halaman 1dari 12

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA

NOMOR 6 TAHUN 2007


TENTANG
PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

Menimbang : a. bahwa Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit menular


yang pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1968 di
Jakarta dengan tingkat penularan yang cepat melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, sampai saat ini
belum ditemukan vaksin dan obatnya;
b. bahwa kasus Demam Berdarah Dengue cenderung meningkat
dari tahun ke tahun dan berpotensi menimbulkan Kejadian Luar
Biasa, sehingga Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
merupakan daerah endemis penyakit Demam Berdarah Dengue;
c. bahwa salah satu cara yang tepat untuk menanggulangi kasus
Demam Berdarah Dengue adalah melalui pengendalian
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes
albopictus pada seluruh tatanan kehidupan masyarakat dengan
memberantas nyamuk dan jentik nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus;
d. bahwa upaya pemberantasan Nyamuk dan Jentik Nyamuk
sudah dilakukan dengan melibatkan seluruh Tatanan
Masyarakat namun hasilnya belum optimal;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, maka perlu
membentuk Peraturan Daerah tentang Pengendalian Penyakit
Demam Berdarah Dengue;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit
Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984
Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3273);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3495);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3669);
4. Undang-undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia
Jakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3878);
5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389);
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4473);
7. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4431);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Hukuman
Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1980 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3176);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1991 tentang
Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447);
10. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 11);
11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
560/Menkes/Per/VIII/1989 tentang Jenis Penyakit tertentu yang
dapat menimbulkan wabah, tata cara penyampaian laporan dan
tata cara penanggulangan seperlunya;
12. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Bentuk
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan
Sekretariat Daerah Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2001 Nomor 66);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
Dan
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGENDALIAN PENYAKIT


DEMAM BERDARAH DENGUE.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan perangkat Daerah sebagai unsure
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
3. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
5. Pengendalian adalah serangkaian kegiatan pencegahan dan penanggulangan
untuk memutus mata rantai penularan penyakit Demam Berdarah Dengue
dengan cara melakukan pemberantasan nyamuk dan jentik nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes aibopictus.
6. Demam Berdarah Dengue yang selanjutnya disingkat DBD adalah suatu
penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes aibopictus.
7. Nyamuk Aedes aegypti adalah jenis nyamuk yang memiliki ciri-ciri berbadan
kecil berbintik hitam putih yang menggigit pada pagi hari antara jam 06.00
sampai dengan jam 10.00 dan sore hari pada jam 16.00 sampai dengan jam
18.00, dengan radius terbang 100 (seratus) meter.
8. Nyamuk Aedes aibopictus adalah nyamuk yang juga dapat menularkan
penyakit DBD yang mempunyai kesamaan ciri dengan nyamuk Aedes aegypti
dan hidup di kebun.
9. Tatanan Masyarakat adalah tempat atau lokasi termasuk kantor/tempat kerja,
tempat umum, institusi pendidikan, rumah tangga, tempat ibadah, sarana olah
raga dan sarana kesehatan yang menjadi sasaran pengendalian nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes aibopictus.
10. Tempat Umum adalah semua tempat selain kantor/tempat kerja, institusi
pendidikan, rumah tangga, tempat ibadah, sarana olah raga dan sarana
kesehatan yang menjadi sasaran pengendalian nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes aibopictus, seperti : Pasar, Hotel, Terminal, Stasiun, dan Iain-lain.
11. Kejadian Luar Biasa yang selanjutnya disingkat KLB adalah timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan/kematian akibat penyakit Demam Berdarah
Dengue yang bermakna secara epidemiologis di wilayah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.
12. Pemberantasan Sarang Nyamuk yang selanjutnya di singkat PSN adalah
kegiatan untuk memberantas tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes aibopictus.
13. Pemeriksaan Jentik Berkala yang selanjutnya disingkat PJB adalah
pemeriksaan tempat penampungan air dan tempat perkembangbiakan nyamuk
dan jentik nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus oleh Petugas
Kesehatan untuk mengetahui ada atau tidaknya jentik nyamuk pada tatanan
masyarakat.
14. Juru Pemantau Jentik yang selanjutnya disebut Jumantik adalah warga
masyarakat yang direkrut dan dilatih untuk melakukan proses edukasi dan
memantau pelaksanaan PSN 3 M Plus oleh Masyarakat.
15. Endemis adalah suatu keadaan dimana ditemukan kasus Demam Berdarah
Dengue secara terus menerus minimal dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun.
16. Jentik Nyamuk adalah stadium perkembangbiakan nyamuk mulai dari telur
menetas sampai menjadi pupa.
17. Masyarakat adalah setiap warga beserta seluruh institusi/organisasi/perusahaan
swasta dan pemerintah yang ada di Daerah.
18. Surveilans adalah kegiatan pengumpulan, pencatatan, pengolahan dan
penyajian data secara terus menerus untuk mengetahui perkembangan suatu
penyakit.
19. Penyelidikan Epidemiologi DBD merupakan kegiatan pencarian penderita
atau tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik ditempat tinggal penderita
dan rumah/bangunan sekitarnya, termasuk tempat-tempat umum dalam radius
sekurang-kurangnya 100 meter.
20. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah unit
pelaksana teknis Dinas Kesehatan/Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan dalam bentuk kegiatan pokok
serta membina peran serta Masyarakat.
21. Rumah Sakit adalah sarana pelayanan kesehatan yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya kesehatan tingkat rujukan dan spesialis yang
dikelola oleh Pemerintah maupun swasta.

BAB II
PENCEGAHAN PENYAKIT DBD

Pasal 2
1) DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
2) DBD merupakan penyakit yang timbulnya mendadak dan menular secara
cepat dalam waktu relatif singkat yang sangat berbahaya dan mematikan
sehingga harus segera dilakukan penanganannya.
3) Dari tingkat kejadian kasus, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
merupakan daerah endemis DBD.

Pasal 3
Pencegahan penyakit DBD merupakan tanggungjawab Pemerintah Daerah dan
Masyarakat yang dapat dilakukan melalui upaya:
a. PSN 3M Plus;
b. PJB;
c. surveilans; dan
d. sosialisasi.

Pasal 4
1) PSN 3M Plus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, dilakukan untuk
memutus siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus melalui
kegiatan 3M Plus.
2) Pemutusan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh orang perorang,
pengelola, penanggung jawab atau pimpinan pada semua Tatanan Masyarakat.
3) Kegiatan pemutusan siklus hidup nyamuk sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan dengan
membasmi jentik nyamuk di semua tempat penampungan/genangan air yang
memungkinkan menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk.
4) Kegiatan PSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu sekali.

Pasal 5
1) PJB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b wajib dilakukan oleh
Petugas Kesehatan setiap 3 (tiga) bulan sekali.
2) Selain Petugas Kesehatan, pemeriksaan dan pemantauan jentik juga wajib
dilaksanakan secara rutin oleh Jumantik.
3) Dalam hal pemeriksaan dan pemantauan oleh Jumantik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu
sekali, dengan kegiatan sebagai berikut:
a. memeriksa setiap tempat, media, atau wadah yang dapat menjadi
tempat perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus pada Tatanan Masyarakat dan mencatat di kartu jentik;
b. memberikan penyuluhan dan memotivasi Masyarakat;
c. melaporkan hasil pemeriksaan dan pemantauan kepada Lurah.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan dan pemantauan jentik nyamuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubemur.

Pasal 6
1) Surveilans sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c terdiri dari :
a. Surveilans Aktif Rumah Sakit;
b. Surveilans Berbasis Masyarakat.
2) Surveilans Aktif Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan kewajiban Rumah Sakit melaporkan setiap kasus baru DBD yang
dirawat ke Dinas Kesehatan dalam waktu 1 x 24 jam ( satu kali dua puluh
empat jam ).
3) Surveilans Berbasis Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
merupakan kewajiban Masyarakat melaporkan setiap penderita DBD ke
Puskesmas.

Pasal 7
1) Sosialisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d harus dilaksanakan
secara terus menerus dan berkesinambungan pada seluruh Tatanan
Masyarakat.
2) Sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab
Perangkat Daerah yang bertanggung jawab dibidang kesehatan yang didukung
oleh Perangkat Daerah terkait.
3) Perangkat Daerah terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah :
a. Walikotamadya/Bupati Administrasi Kepulauan Seribu;
b. Camat; dan
c. Lurah.
4) Perangkat Daerah yang bertanggung jawab dibidang kesehatan berkewajiban
memberikan informasi DBD secara berkala kepada Perangkat Daerah lainnya.

Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pencegahan Penyakit DBD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6 dan Pasal 7 diatur dengan Peraturan Gubernur.

BAB III
PENANGGULANGAN PENYAKIT DBD

Pasal 9
Penanggulangan penyakit DBD merupakan tanggung jawab bersama Pemerintah
Daerah dan Masyarakat, yang dapat dilakukan melalui upaya sebagai berikut:
a. Penyelidikan Epidemiologi;
b. Penanggulangan Fokus;
c. Fogging Massal; dan
d. Tatalaksana penanganan kasus.

Pasal 10
1) Penyelidikan Epidemiologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a
merupakan kegiatan pelacakan kasus penderita DBD yang dilaksanakan oleh
Puskesmas setelah menemukan kasus, mendapat laporan dari Masyarakat dan
Rumah Sakit.
2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk tindakan
penanggulangan selanjutnya dalam bentuk pemberantasan nyamuk dewasa.

Pasal 11
1) Penanggulangan Fokus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b
merupakan kegiatan pemberantasan nyamuk DBD dengan cara pengasapan
atau fogging.
2) Pengasapan atau fogging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan 2
(dua) putaran dengan interval waktu 1 (satu) minggu dalam radius 100
(seratus) meter.

Pasal 12
1) Pengasapan atau fogging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 wajib
dilaksanakan oleh Puskesmas pada setiap Penyelidikan Epidemiologi positif
paling lama 3 X 24 jam ( tiga kali dua puluh empat jam ).
2) Selain Puskesmas, pengasapan atau fogging dapat dilakukan oleh Masyarakat
dengan tenaga terlatih dibawah pengawasan Puskesmas.
3) Masyarakat wajib membantu kelancaran pelaksanaan pengasapan dirumah dan
lingkungan masing-masing.

Pasal 13
1) Fogging massal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c merupakan
kegiatan pengasapan fokus secara serentak dan menyeluruh pada saat KLB.
2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh
Puskesmas dibawah koordinasi Unit Kerja Perangkat Daerah yang
bertanggung jawab dibidang kesehatan sebanyak 2 (dua) putaran dengan
interval waktu 1 (satu) minggu.
3) Selain Unit Kerja Perangkat Daerah yang bertanggung jawab dibidang
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengasapan atau fogging
massal dapat dilakukan oleh Masyarakat dengan tenaga terlatih dibawah
pengawasan Puskesmas.
4) Masyarakat wajib membantu kelancaran pelaksanaan Fogging missal di rumah
dan lingkungan masing-masing.

Pasal 14
1) Tatalaksana penanggulangan kasus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf d merupakan upaya pelayanan dan perawatan penderita DBD baik di
Puskesmas maupun di Rumah Sakit.
2) Pelayanan dan perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
rawat jalan dan rawat inap.

Pasal 15
Setiap Puskesmas dan Rumah Sakit diwajibkan memberi pelayanan kepada penderita
DBD sesuai prosedur yang ditetapkan.

Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penanggulangan Penyakit DBD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14 diatur dengan Peraturan Gubernur.

BAB IV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 17
1) Pembinaan kepada masyarakat terhadap pemahaman mengenai pentingnya
pengendaiian penyakit DBD dilakukan oleh perangkat daerah yang
bertanggungjawab dalam bidang kesehatan berkoordinasi dengan perangkat
daerah lainnya dan instansi terkait.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur dengan Peraturan Gubemur

Pasal 18
1) Pengawasan pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh DPRD.
2) Pengawasan secara fungsional dilakukan oleh perangkat Daerah yang
bertanggungjawab dibidang pengawasan.
3) Pengawasan penegakan Peraturan Daerah ini dilaksanakan oleh perangkat
daerah yang bertanggung jawab dalam bidang ketentraman dan ketertiban atau
Satuan Polisi Pamong Praja.
4) Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan Pengendaiian Penyakit DBD
dilakukan secara bertingkat sebagai berikut:
a. lingkup provinsi oleh Asisten Sekretaris Daerah yang lingkup tugasnya
dalam bidang kesejahteraan masyarakat.
b. Lingkup kotamadya/kabupaten administrasi oleh
Walikotamadya/Bupati Kabupaten Administrasi;
c. lingkup kecamatan oleh Camat;
d. lingkup kelurahan oleh Lurah.

BAB V
KERJA SAMA

Pasal 19
1) Dalam hal pengendalian penyakit DBD yang penyebarannya tidak mengenal
batas Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama dengan
Pemerintah Daerah lainnya.
2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain melalui :
a. koordinasi pencegahan dan penanggulangan;
b. tukar menukar informasi (cross notification);
c. pembebasan biaya di Rumah Sakit.
3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dituangkan dalam
perjanjian kerja sama.

BAB VI
PEMBIAYAAN
Pasal 20
1) Pembiayaan untuk menyelenggarakan kegiatan sosialisasi, pembinaan,
pengawasan dan penggerakan masyarakat, penganggarannya dapat diusulkan
oleh Perangkat Daerah terkait melalui APBD.
2) Pembiayaan perawatan penderita DBD di Puskesmas dan Rumah Sakit
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.
3) Pemerintah Daerah dapat menerima bantuan baik dari Pemerintah Pusat
maupun sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan dan bantuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Gubernur.

BAB VII
SANKSI

Pasal 21
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan pada tempat
tinggalnya ditemukan ada jentik nyamuk Aedes aegypti atau jentik nyamuk
Aedes albopictus dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. Teguran tertulis;
b. teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada Masyarakat melalui
penempelan stiker di pintu rumah;
c. denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (Lima Puiuh Juta Rupiah) atau
pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan.
2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
bertingkat.

Pasal 22
1) Setiap pengelola, penanggung jawab atau pimpinan yang karena kedudukan,
tugas, atau wewenangnya bertanggung jawab terhadap urusan
kerumahtanggaan dan/atau kebersihan Tatanan Masyarakat yang melanggar
ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti atau
jentik nyamuk Aedes albopictus pada pada Tatanan Masyarakat yang menjadi
lingkup tanggung jawabnya dikenakan sanksi sebagai berikut :
a. teguran tertulis;
b. teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada Masyarakat melalui
penempelan stiker di lobby atau pintu masuk kantor;
c. denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah) atau denda
paling banyak Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) atau pidana
kurungan paling lama 3 (tiga) bulan.
2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
bertingkat.

Pasal 23
Setiap petugas kesehatan berstatus Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan
Pasal 5 ayat (1), Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (2) dikenakan sanksi disiplin
kepegawaian, bagi petugas kesehatan yang berstatus non Pegawai Negeri Sipil
dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 24
1) Setiap petugas Jumantik yang melanggar ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2)
dikenakan sanksi sebagai berikut:
a. teguran tertulis;
b. diberhentikan sebagai Jumantik.
2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
bertingkat.

Pasal 25
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 13
ayat (4) dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau
denda paling banyak Rp.50.000.000; (Lima Puluh Juta Rupiah).
2) Setiap orang yang dengan sengaja menghalang-halangi Petugas Kesehatan
dalam melaksanakan kegiatan pencegahan dan penanggulangan DBD
dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 26
Setiap orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 15 dikenakan sanksi sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Juli 2007
Gubernur Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta

SUTIYOSO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 juli 2007
Sekretaris Daerah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta
Ritola Tasmaya
NIP 140091657
LEMBARAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
TAHUN 2007 NOMOR 6.

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 6 TAHUN 2007
TENTANG
PENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE
I. UMUM
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular dengan tingkat
penularan yang cepat melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit. Kasus DBD yang cenderung
meningkat mengikuti pola peningkatan dari tahun ke tahun yang merupakan Kejadian
Luar Biasa (KLB), sehingga Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta termasuk dalam
kategori daerah endemis.
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue (DD & DBD) masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang mana dampaknya dapat menimbulkan
kekhawatiran masyarakat karena perjalanan penyakitnya cepat dan dapat
menyebabkan kematian dalam waktu singkat. DBD pertama kali dilaporkan pada
tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta dan sejak itu jumlah kasus meningkat dan
penyebarannya meluas setiap tahunnya.
Mengingat vaksin dan obat untuk menyembuhkan DBD belum tersedia, maka
cara yang dilakukan untuk pencegahan dan penanggulangannya adalah dengan
pengendalian vektor (nyamuk penular). Di Indonesia telah diketahui terdapat dua
spesies nyamuk Aedes yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus, spesies pertama
sebagai vektor utama dan yang kedua sebagai vektor sekunder. Pengendalian vektor
dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa dan jentiknya. Pada tahun 1969-1980
pengendalian vektor DBD terutama menggunakan insektisida dengan penyemprotan
seperti fogging dan Ultra Low Volume (ULV) bila terjadi wabah atau KLB. Sejak
tahun 1988 selain dengan penyemprotan, juga dilaksanakan larvasidasi massal untuk
membunuh jentik dan dilakukan Sebelum Musim Penularan (SMP). Mulai tahun 1989
telah dilaksanakan pengendalian DBD secara terpadu yaitu Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) dengan kegiatan 3M (menguras, menutup, mengubur), larvasidasi dan
penyemprotan. Penyemprotan massal Sebelum Masa Penularan dihentikan pada tahun
1998 karena dinilai tidak efektif, sehingga cakupan penyemprotan hanya berdasarkan
fokus kasus.
Untuk meningkatkan efektifitas program pengendalian secara terpadu,
dipandang perlu melakukan program pengendalian nyamuk dan jentik nyamuk DBD
melalui Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan Gerakan 3M dan/ atau
Gerakan 3M Plus oleh semua Tatanan Masyarakat.
Peningkatan kasus DBD sebagaimana telah disebutkan di atas, yang
mengakibatkan bertambahnya jumlah penderita maupun wilayah terjangkitnya,
disebabkan antara lain jumlah penduduk yang semakin padat, mobilitas penduduk
yang tinggi, faktor musim dan penyimpangan pola hujan dan kurangnya pengetahuan
masyarakat dalam mengantisipasi penularan jentik demam berdarah dengue.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 13 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi
kewenangan Pemerintah Provinsi adalah penanganan bidang kesehatan, dan
mengingat timbulnya wabah Kejadian Luar Biasa DBD yang disebabkan oleh gigitan
nyamuk Aedes aegypti ini merupakan wabah Kejadian Luar Biasa yang timbul setiap
tahun di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sehingga Pemerintah Daerah
merasa perlu melakukan penanganan secara terpadu dan maksimal yang melibatkan
tidak hanya unsure Pemerintah Daerah semata, namun juga diperlukan peran serta
masyarakat dan pihak swasta. Peran serta masyarakat dan pihak swasta tidak hanya
sebatas dalam rangka pencegahan disekitar lokasi kantor maupun lingkungan
pemukiman yang bersangkutan saja, akan tetapi juga dapat mendukung program
Pemerintah Daerah yang bertujuan untuk memberantas dan memutus mata rantai
penularan DBD, melalui pemberantasan nyamuk dan jentik nyamuk DBD yang
terdapat pada semua Tatanan Masyarakat.
Untuk terwujudnya keterpaduan penanganan pemberantasan nyamuk dan
jentik nyamuk DBD dimaksud, perlu adanya dukungan pembiayaaan yang
berkesinambungan dari Pemerintah Daerah. Selain dari pada itu perlu adanya suatu
peraturan yang harus dipatuhi bersama oleh semua Tatanan Masyarakat, sehingga
dalam pelaksanaannnya nanti dapat berjalan secara terkoordinasi, selaras dan saling
mendukung, untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu pengaturan mengenai
Pengendalian Penyakit DBD dengan Peraturan Daerah.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal1: Cukup jelas.
Pasal 2: Cukup jelas.
Pasal 3: Cukup jelas.
Pasal 4: Ayat (1): Yang dimaksud dengan Kegiatan 3M Plus adalah
kegiatan 3M yaitu menguras, menutup, mengubur
wadah atau tempat penampungan air yang berpotensi
sebagai tempat bertelurnya Nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus ditambah antara lain dengan
mengganti air vas bunga, air minum burung dan melipat
pakaian.
Ayat(2): Cukup jelas.
Ayat(3) Cukup jelas.
Ayat(4): Kegiatan PSN dilaksanakan setiap hari Jumat atau hari
lain paling singkat 30 menit.
Pasal 5: Ayat(1): Yang dimaksud dengan Petugas Kesehatan adalah
Sumber Daya Manusia dari Puskesmas yang ditunjuk
dan menerima surat tugas untuk melakukan suatu
kegiatan dibidang kesehatan.
Ayat(2): Cukup jelas.
Ayat(3): Cukup jelas.
Pasal 6: Cukup jelas.
Pasal 7: Ayat(1): Cukup jelas.
Ayat(2): Cukup jelas.
Ayat(3): Cukup jelas.
Ayat(4): Informasi DBD kepada Perangkat Daerah lainnya
terkait dengan teknis pelaksanaan PSN dan masalah
yang sedang berkembang.
Pasal 8: Cukup jelas.
Pasal 9: Cukup jelas.
Pasal 10: Cukup jelas.
Pasal 11: Cukup jelas.
Pasal 12: Ayat(1): Yang dimaksud dengan positif adalah ditemukannya
kasus DBD sesuai dengan informasi yang diperoleh dari
Rumah Sakit.
Ayat(2): Yang dimaksud dengan Masyarakat pada pelaksanaan
pengasapan atau fogging adalah warga, Lembaga
Swadaya Masyarakat dan Pengusaha Pest Control
Terdaftar.
Ayat(3): Cukup jelas.
Pasal 13: Ayat(1): Pada saat KLB, selain melakukan fogging massal, juga
dapat dilakukan cara lain seperti penyemprotan dengan
mesin Ultra Low Volume (ULV).
Ayat(2): Cukup jelas.
Ayat(3): Cukup jelas.
Ayat (4): Cukup jelas.
Pasal 14: Cukup jelas.
Pasal 15: Cukup jelas.
Pasal 16: Cukup jelas.
Pasal 17: Cukup jelas.
Pasal 18: Cukup jelas.
Pasal 19: Ayat(1): Yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah lainnya
adalah Pemerintah DaerahBogor, Depok, Tangerang dan
Bekasi.
Ayat (2): Cukup Jelas
Ayat (3): Yang dimaksud dengan sumber-sumber lain adalah
Perusahaan atau Lembaga-lembaga non pemerintah.
Pasal 20: Cukup jelas.
Pasal 21: Cukup jelas.
Pasal 22: Cukup jelas.
Pasal 23: Cukup jelas.
Pasal 24: Cukup Jelas
Pasal 25: Cukup Jelas
Pasal 26: Yang dimaksud dengan setiap orang adalah pimpinan atau penanggung
jawab Puskesmas dan Rumah Sakit.
Yang dimaksud dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
adalah ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang kepegawaian.
Pasal 27: Cukup jelas.

Anda mungkin juga menyukai