Anda di halaman 1dari 20

ADSORPSI DAN REGENERASI KARBON AKTIF DALAM

PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI FARMASI TERHADAP


PENURUNAN KADAR CHEMICAL OXYGEN DEMAND
(Studi Kasus: Penggunaan Tempurung Kelapa dan Batu Bara sebagai
Adsorben dalam Pengolahan Air Limbah PT. Kimia Farma Plant Jakarta)

Pricilia Duma Laura, Setyo Sarwanto Moersidik, Cindy R. Priadi

Program Studi Teknik Lingkungan, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia,
Kampus Baru UI, Depok, 16424, Indonesia

E-mail: priciliaduma@yahoo.co.id

Abstrak

Inovasi dan perkembangan industri farmasi dapat memberikan dampak buruk bila tidak diiringi dengan
pengolahan air limbah yang baik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penyisihan COD limbah industri
farmasi melalui adsorpsi karbon aktif batu bara dan tempurung kelapa. Percobaan skala laboratorium dilakukan
dengan batch adsorpsi untuk menentukan dosis adsorben (10-50 g/L) dan waktu kontak (30-150 menit)
optimum. Dari hasil percobaan dan perhitungan isoterm, penyisihan COD optimum dicapai karbon aktif batu
bara dan tempurung kelapa dengan dosis 150 dan 600 g/L pada waktu kontak 90 dan 120 menit. Regenerasi
dengan NaOH 4% dilakukan 3 kali, di mana efisiensi regenerasi karbon aktif batu bara mencapai 84,6%; 96,0%;
dan 97,8% sedangkan tempurung kelapa mencapai 60,5%; 46,0%; dan 46,6%.

Kata kunci: adsorpsi, regenerasi, COD, air limbah industri farmasi, karbon aktif, batu bara, tempurung kelapa

ACTIVATED CARBON ADSORPTION AND REGENERATION IN


PHARMACEUTICAL WASTEWATER TREATMENT FOR CHEMICAL OXYGEN
DEMAND REDUCTION
(Case Study: The Use of Coconut Shell and Coal-Based Activated Carbon as Adsorbent
in Wastewater Treatment of PT. Kimia Farma Plant Jakarta)

Abstract

Innovation and development of pharmaceutical industries may cause bad impact when they are not coupled with
a good wastewater treatment. This research was conducted to investigate reduction of COD in pharmaceutical
wastewater by coconut shell and coal-based activated carbon adsorption. Laboratory scale experiments were
performed using batch adsorption method to determine the optimum dose of adsorbent (10-50 g/L) as well as
contact time (30-150 min). Results and isotherms showed that optimum COD reduction was achieved by 150 g/L
coal-based AC for 90 min and 600 g/L coconut shell-based AC for 120 min. Regeneration using NaOH 4% was
performed 3 times, where the regeneration efficiency were 84,6%-96,0%-97,8% for coal-based AC and 60,5%-
46,0%-46,6% for coconut shell-based AC.

Key words: activated carbon; adsorption; coal; coconut shell; COD; pharmaceutical wastewater; regeneration

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
PENDAHULUAN

Sebagai salah satu upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, industri farmasi tak
henti melakukan inovasi untuk menciptakan produk-produk kesehatan yang lebih bermanfaat.
Turunnya kualitas lingkungan, gaya hidup yang tidak sehat serta faktor keturunan sering kali
disebut sebagai penyebab rendahnya kualitas kesehatan masyarakat. Akibatnya konsumsi
produk kesehatan meningkat secara eksponensial setiap tahunnya (Riberio, et al., 2011).    
Selain memberikan dampak positif, industri farmasi juga dapat menimbulkan
dampak negatif bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitar, yakni apabila limbah dari
industri farmasi tersebut tidak dikelola dengan baik. Adanya kandungan pelarut organik,
katalis, reaktan, bahan baku dan juga bahan aktif farmasi yang terdapat pada air limbah
industri farmasi menyebabkan air limbah tersebut sulit diolah (Sreekanth et al., 2009). Selain
itu adanya senyawa-senyawa beracun yang terdapat pada limbah tersebut juga turut
menyebabkan rendahnya efisiensi penurunan COD (Chelliapan et al., 2006).
Ada beberapa parameter penting yang menjadi bahan pertimbangan ketika membuat
desain fasilitas pengolahan dan pembuangan untuk limbah cair industri farmasi, yakni: pH,
suhu, BOD, COD, DO, TSS, TDS dan beberapa senyawa kimia lainnya (Kavitha et al., 2012).
Dari hampir setiap jenis industri farmasi, kadar COD yang terdapat pada air limbahnya sangat
tinggi yakni sekitar 3.200 mg/L (Saleem, 2007) dan bahkan mencapai 80.000 mg/L
(Chelliapan et al., 2011). Konsentrasi COD pada air limbah harus dijaga agar tidak melebihi
baku mutu, karena konsentrasi COD yang terlalu tinggi akan mengurangi jumlah oksigen di
air yang diperlukan oleh organisme akuatik untuk bertahan hidup.
Salah satu metode yang sering digunakan untuk mengolah air limbah industri farmasi
adalah dengan metode adsorpsi. Adsorpsi dianggap sebagai metode pengolahan air limbah
yang terbaik karena biaya yang diperlukan murah dan mudah dalam proses operasinya (Ali et
al., 2012). Dari berbagai jenis material yang dapat digunakan sebagai adsorben seperti
alumina, silika, zeolit, dan karbon aktif, jenis adsorben yang paling sering digunakan untuk
mengadsorpsi adalah karbon aktif (Gupta et al., 2009). Proses adsorpsi menggunakan karbon
aktif sangat bermanfaat dan efektif dalam memurnikan air limbah industri dan B3, karena
dapat menghilangkan polutan organik dari air. Karbon aktif dapat dibuat dari beragam jenis
material yang mengandung karbon seperti batu bara, tempurung kelapa, cangkang kelapa
sawit, sekam padi, serbuk gergaji, dll (Ali et al., 2012).
Dalam penelitian ini, material yang dipilih sebagai bahan baku karbon aktif adalah
tempurung kelapa dan batu bara. Pemilihan tempurung kelapa dan batu bara sebagai bahan

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
baku karbon aktif dikarenakan tingginya karbon yang terdapat pada tempurung kelapa dan
batu bara sehingga diharapkan dapat menghasilkan karbon aktif dengan daya adsorpsi yang
tinggi. Penerapan proses adsorpsi pada pengolahan air limbah industri farmasi dapat
menurunkan kadar COD sebesar 71,1% menggunakan karbon aktif granular (Saleem, 2007).
Karena dosis yang dibutuhkan relatif sedikit dan pengoperasiannya sederhana, karbon
aktif semakin banyak digunakan sehingga timbul masalah seperti pembentukan polutan
sekunder. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dilakukan regenerasi terhadap karbon aktif
yang sudah jenuh. Metode paling umum untuk meregenerasi karbon aktif adalah regenerasi
secara termal, namun akan ada sekitar 5-10% karbon yang hilang akibat adanya kerusakan
struktur karbon (Sufnarski, 1999). Oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan
regenerasi secara kimiawi di mana digunakan bahan kimia sebagai reagen untuk meregenerasi
karbon aktif yang sudah jenuh tanpa menimbulkan kerusakan pada struktur karbon.
Dengan mengacu pada beberapa kondisi dan permasalahan di atas, maka penelitian ini
dilakukan dengan tujuan umum untuk menguji penurunan kadar COD pada air limbah industri
farmasi dengan menggunakan karbon aktif yang berbahan dasar tempurung kelapa.
Sedangkan tujuan khususnya diantaranya untuk: mengetahui kadar COD air limbah industri
farmasi dari unit penghasil obat ARV (antiretroviral), mengkaji penurunan kadar COD pada
limbah industri farmasi setelah dilakukan adsorpsi dengan menggunakan karbon aktif dari
tempurung kelapa dan batu bara, menganalisa pengaruh variasi dosis adsorben dan waktu
kontak serta menentukan dosis adsorben optimum dan waktu kontak optimum terhadap
penurunan kadar COD dalam sampel air limbah industri farmasi, menganalisa efisiensi
karbon aktif yang terbuat dari tempurung kelapa dan batu bara setelah dilakukan regenerasi
secara kimiawi dan mengetahui desain unit adsorpsi untuk mengolah air limbah farmasi.

TINJAUAN TEORITIS

1. Industri Farmasi
Industri farmasi merupakan industri yang terdiri dari fasilitas-fasilitas yang bergerak
dalam proses pembuatan produk obat-obatan. Adapun tahapan dalam pembuatan produk
farmasi terdiri dari 3 tahap utama, yakni: riset dan pengembangan; konversi dari bahan
organik dan alami menjadi sediaan farmasi melalui proses fermentasi, ekstraksi maupun
sintesis kimia; dan formulasi menjadi produk farmasi akhir. Menurut USEPA (1997), proses
dalam industri farmasi dibagi ke dalam 4 kategori, yaitu: (1) proses sintesis kimia, (2) proses
ekstraksi biologi, (3) proses fermentasi, dan (4) proses pencampuran dan formulasi. Setiap
proses menghasilkan limbah yang berbeda-beda jenisnya.

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
Proses sintesis kimia menghasilkan emisi gas berupa gas VOC dari ventilasi reaktor
dan gas asam (halogen acids, sulphur dioxide, nitrous oxide), serta emisi fugitive dari pompa
atau tangki. Sedangkan limbah cair dihasilkan dari penggunaan pelarut, katalis, dan reaktan.
Proses ekstraksi biologi menghasilkan emisi gas berupa uap pelarut dan VOC dari ekstraksi
bahan baku. Sedangkan limbah cair yang dihasilkan berasal dari penggunaan pelarut dan juga
produk hasil ekstraksi. Pada proses fermentasi limbah cair yang dihasilkan berasal dari kaldu
yang digunakan. Proses pencampuran dan formulasi menghasilkan limbah cair yang berasal
dari air bekas pencucian alat-alat, tumpahan, dan kebocoran produk farmasi. Menurut Metclaf
dan Eddy (1991), karakteristik air limbah industri farmasi pada umumnya adalah sebagai
berikut:
Tabel 1. Karakteristik Air Limbah Industri Farmasi

Parameter Range
pH 6,2-7
Warna -
TDS (mg/L) 600-1300
TSS (mg/L) 690-930
BOD ( mg/L) 1300-1800
COD (mg/L) 2500-3200
Alkalinitas sebagai CaCO3 (mg/L) 90-180
Kekeruhan (mg/L) 2,2-3,0
Phenol (mg/L) 95-125

2. Adsorpsi
Adsorpsi adalah proses pengumpulan substansi terlarut (soluble) yang ada dalam
larutan oleh permukaan benda penyerap di mana terjadi suatu ikatan kimia fisika antara
substansi dan penyerapnya. Proses adsorpsi digambarkan sebagai proses molekul
meninggalkan larutan dan menempel pada permukaan zat penyerap akibat ikatan fisika dan
kimia. Adsorpsi dalam air limbah sering mengikuti proses biologis untuk menyisihkan
bahan-bahan yang tidak tersisihkan oleh proses biologis, misalnya bahan organik non-
biodegradabel. Oleh karena itu adsorpsi sering dikelompokkan sebagai pengolahan tersier
(Sawyer et.al., 1994 dalam Masduqi dan Slamet, 2000).
Adsorpsi pada umumnya dibedakan menjadi adsorpsi secara fisika (physisorption)
dan adsorpsi secara kimia (chemisorption). Adsorpsi fisika merupakan adsorpsi yang terjadi
karena adanya gaya Van der Waals, yakni gaya tarik-menarik yang relatif lemah antara
adsorbat dengan permukaan adsorben. Sedangkan adsorpsi kimia terjadi disebabkan oleh
adanya reaksi yang membentuk ikatan kimia antara molekul-molekul adsorbat dengan
permukaan adsorben. Reaksi tersebut membentuk ikatan kovalen atau ion (ikatan primer).

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
Daya adsorpsi dipengaruhi oleh lima faktor (Bahl et al, 1997 dan Suryawan,
Bambang 2004), yaitu: jenis adsorbat (meliputi ukuran molekul adsorbat dan kepolaran zat),
karakteristik adsorben (meliputi kemurnian adsorben, luas permukaan dan volume pori
adsorben), temperatur, tekanan, dan interaksi potensial. Ukuran molekul menjadi penting
dalam proses adsorpsi karena molekuk yang dapat diadsorpsi adalah molekul yang
diameternya lebih kecil atau sama dengan diameter pori adsorben. Apabila berdiameter sama,
molekul yang polar lebih mudah diadsorpsi dibandingkan molekul tidak polar. Jumlah
molekul adsorbat yang teradsorpsi meningkat dengan bertambahnya luas permukaan dan
volume pori adsorben.
Isoterm adsorpsi adalah model yang menunjukkan distribusi adsorben antara fase
teradsorpsi pada permukaan adsorben dengan fase ruah kesetimbangan pada temperatur
tertentu. Ada tiga jenis hubungan matematik yang umumnya digunakan untuk menjelaskan
isotherm adsorpsi, yaitu: isotherm Freundlich, isotherm Langmuir, dan isotherm BET
(Brunauer, Emmett dan Teller). Isoterm Freundlich memiliki asumsi bahwa adsorben
mempunyai permukaan yang heterogen di mana setiap molekul mempunyai potensi
penyerapan yang berbeda-beda. Sedangkan isoterm Langmuir memiliki tiga asumsi, yakni:
permukaan adsorben melakukan kontak dengan larutan yang mengandung adsorbat, di mana
adsorbat tertarik ke permukaan adsorben dengan kuat; permukaan adsorben memiliki jumlah
lokasi yang spesifik di mana molekul adsorbat dapat tertempel/terserap; hanya membentuk
satu lapisan molekul adsorbat yang melekat (monolayer) (Liu et al., 2009). Berbeda dengan
isoterm Langmuir, isoterm BET memiliki asumsi bahwa adsorpsi tidak terbatas membentuk
monolayer namun juga multilayer.
Material yang dapat digunakan sebagai adsorben terdiri dari 2 jenis, yaitu material
anorganik dan material organik. Adapun adsorben anorganik yang diproduksi secara komersil
terbuat dari alumina, silika dan zeolit (tanah liat). Sedangkan contoh adsorben organik
diantaranya karbon aktif dan polimer. Karbon aktif adalah jenis adsorben yang paling terkenal
dan paling sering digunakan pada pengolahan air limbah di seluruh dunia. Karbon aktif dapat
dibuat melalui beragam material yang mengandung karbon seperti batu bara, serbuk gergaji,
sekam padi, antrasit, tempurung kelapa, dll. Karbon aktif pada umumnya terdiri dari 2 jenis
yakni powdered activated carbon (PAC) dan granular activated carbon (GAC) di mana PAC
berbentuk serbuk sedangkan GAC berbentuk butiran.

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
3. Karbon Aktif
Karbon aktif terdiri dari 87%-97% karbon dan sisanya berupa hidrogen, oksigen,
sulfur, dan nitrogen serta senyawa-senyawa lain yang terbentuk dari proses pembuatannya.
Untuk mengetahui karakteristik karbon aktif telah tersedia berbagai teknologi yang sangat
membantu. Beberapa diantara teknologi tersebut adalah FTIR (Fourier Transform Infrared)
Spectroscopy, SEM (Scanning Electron Microscope), dan XRD (X-ray Diffraction).   Ukuran
pori diklasifikasikan oleh IUPAC sebagai mikropori (pori dengan ukuran diameter <1,5-2 nm
/ 15-20 A0), mesopori (pori dengan ukuran diameter 2-50 nm / 20-500 A0) dan makropori
(pori dengan ukuran diameter >50 nm / 500 A0). Umumnya makropori terletak di bagian luar,
kemudian diikuti mesopori dan terakhir mikropori. Daerah makropori berperan sebagai jalur
transport partikel adsorbat ke bagian dalam karbon. Mesopori memberikan kontribusi yang
cukup besar pada proses adsorpsi dan merupakan jalur transpor utama bagi adsorbat.
Sedangkan mikropori merupakan jenis pori yang dianggap penting karena besar adsorpsi
terjadi di dalamnya.
Ketika kesetimbangan adsorpsi telah tercapai, proses adsorpsi pada karbon aktif akan
terhenti. Untuk mengembalikan kapasitas adsorpsi dari karbon aktif maka dilakukan proses
regenerasi atau reaktivasi karbon aktif. Adapun tujuan dari regenerasi karbon aktif adalah
untuk menyerap kembali adsorbat yang terakumulasi dan mengembalikan struktur pori seperti
semula dengan sedikit bahkan tanpa ada kerusakan pada karbon tersebut. Pada kebanyakan
proses, regenerasi dicapai dengan memperlakukan karbon aktif jenuh ke dalam kondisi yang
menggeser kesetimbangan adsorpsi dan mendukung desorpsi. Kemudahan dari proses
regenerasi bersifat relatif, yakni tergantung dari jenis adsorpsi yang dilakukan (fisika atau
kimia). Untuk physisorption, pergeseran ini biasanya dapat dicapai melalui pemanasan,
merendahkan tekanan, atau mencuci dengan pelarut. Sedangkan untuk chemisorption,
dibutuhkan suplai energi yang lebih besar dari gaya sorptive untuk mematahan ikatan ionik
atau kovalen yang kuat.
Metode regenerasi yang paling sering dilakukan adalah regenerasi termal dan juga
regenerasi kimiawi. Regenerasi termal dari karbon aktif meliputi 3 tahap, yaitu: pengeringan,
pembakaran (pirolisis adsorbat), dan reaktivasi (oksidasi residu dari adsorbat). Keuntungan
dari regenerasi termal adalah bahwa metode ini dapat digunakan untuk karbon yang telah
menyerap campuran adsorbat yang heterogen. Sedangkan kelemahan dari regenerasi termal
adalah turunnya kapasitas adsorpsi akibat adanya perubahan struktur pori pada karbon
(Sufnarski, 1999). Regenerasi kimiawi adalah proses di mana adsorbat dihilangkan dari
karbon dengan mereaksikannya dengan bahan kimia yang sesuai. Secara umum, ada 2 jenis

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
reagen yang digunakan, yakni: reagen yang memiliki kemampuan mengoksidasi dan reagen
yang memiliki kemampuan melarutkan. Keuntungan regenerasi kimiawi adalah dapat
dilakukan secara in situ yang akan mengurangi kemungkinan hilangnya karbon karena
pemompaan, transport dan repacking.

4. COD (Chemical Oxygen Demand)


Chemical Oxygen Demand (COD) adalah banyaknya oksigen yang diperlukan untuk
mengoksidasi bahan organik menjadi karbon dan air di mana bahan organik tersebut
dikonversi menjadi karbon dioksida dan air dengan mengabaikan kemampuan asimilasi
biologi. Oksidasi dilakukan dengan menggunakan bahan kimia seperti potassium dichromate
maupun potassium permanganate. Dari pemakaian bahan kimia tersebut didapatkan indikasi
tidak langsung dari kandungan bahan organik di dalam air limbah dan kuantitas oksigen yang
dibutuhkan. Penyebab tingginya nilai COD adalah adanya kandungan organik dalam air.
Kandungan organik yang tinggi ini bertindak sebagai sumber makanan untuk pertumbuhan
mikroba. Pasokan makanan yang berlimpah (kandungan organik yang tinggi) akan
menyebabkan mikroba berkembang biak semakin pesat dan akhirnya mengurangi jumlah
oksigen terlarut dalam air.

5. Baku Mutu Air Limbah Industri Farmasi

Tabel 2. Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri Farmasi KepMenLH No. 51 Tahun 1995
 
Proses Pembuatan Bahan Formula Formulasi (Pencampuran)
Parameter
(mg/L) (mg/L)
BOD5 150 100
COD 500 200
TSS 130 100
Total-N 45 -
Fenol 5,0 -
pH 6,0-9,0 6,0-9,0

Tabel 3. Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri Farmasi Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 69
Tahun 2013

Parameter Satuan Kadar Maksimum


pH - 6-9
TSS mg/L 60
Fenol mg/L 0,5
Nitrogen mg/L 30
BOD5 mg/L 50
COD mg/L 100
Zat Organik (KMnO4) mg/L 85
Antibiotik mg/L negatif

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan eksperimen yang dilakukan terhadap air limbah industri
farmasi dengan menggunakan metode adsorpsi. Penggunaan adsorben dilakukan secara batch
adsorpsi skala laboratorium untuk mengetahui penurunan kadar COD pada air limbah dari
industri farmasi yakni PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Pendekatan penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif yang dimaksudkan
dilakukan dengan mengumpulkan data primer yaitu karakterisasi adsorbent; pH dan kadar
COD air limbah industri farmasi; kemampuan adsorpsi adsorben yang divariasikan
berdasarkan dosis adsorben tersebut dan waktu kontak. Sedangkan data sekunder didapatkan
dari buku dan jurnal-jurnal terkait.

2. Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dosis adsorben dan waktu kontak di mana
dosis adsorben yang digunakan adalah 10, 20, 30, 40 dan 50 g/L sampel limbah dan waktu
kontak 30, 60, 90, 120, 150 menit. Sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah
pengurangan kadar COD pada air limbah industri farmasi.

3. Tahapan Penelitian
a. Persiapan adsorben
Adsorben yang digunakan untuk penelitian ini adalah karbon aktif berbahan dasar
batu bara dengan merek dagang CarboTech dan karbon aktif berbahan dasar tempurung
kelapa dengan merek dagang Haycarb. Karbon aktif tempurung kelapa dan batu bara dicuci
terlebih dahulu dengan menggunakan air suling kemudian dipanaskan pada oven suhu 105oC
selama 24 jam. Sebelum digunakan untuk proses adsorpsi, kedua jenis adsorben tersebut diuji
dahulu karakteristiknya dengan uji SEM dan FTIR.
b. Pengambilan dan Pengawetan Sampel Air Limbah Industri Farmasi
Air limbah yang akan menjadi objek penelitian berasal dari air limbah PT. Kimia
Farma (Persero) Tbk yakni unit ARV. Kemudian sampel diawetkan dengan cara didinginkan
pada suhu <4oC yang sesuai dengan SNI 6989.58:2008 Air dan Air Limbah – Bagian 57:
Metoda Pengambilan Contoh Air Permukaan Lampiran B.
c. Pengujian Karakteristik Air Limbah
Karakteristik air limbah yang diuji yakni pH dengan menggunakan pH meter dan juga
COD dengan metode spektrofotometri menggunakan spektrofotometer DR 5000.

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
d. Proses Batch Adsorpsi
Proses batch adsorpsi akan dilakukan pada suhu ruang yaitu sekitar 25oC. Pada
percobaan disiapkan botol plastik dengan kapasitas 300 mL sebanyak 10 buah. Pada masing-
masing botol plastik dimasukkan 100 mL sampel air limbah industri lalu ditambahkan
adsorben karbon aktif tempurung kelapa dan batu bara sebanyak 1 gram, 2 gram, 3 gram, 4
gram dan 5 gram. Kemudian botol-botol tersebut disusun di atas shaker dan diaduk dengan
kecepatan 150 rpm selama 30 menit. Lalu kembali dilakukan pengukuran COD. Kemudian
percobaan dilakukan lagi dengan waktu kontak yang berbeda yakni 60 menit, 90 menit, 120
menit, 150 menit.
e. Proses Regenerasi Karbon Aktif
Dari proses bacth adsorpsi di atas diperoleh waktu kontak dan dosis adsorben
optimum. Kemudian kembali dilakukan proses adsorpsi menggunakan dosis dan waktu
kontak optimum. Adsorpsi dilakukan beberapa kali hingga karbon aktif mencapai kondisi
jenuh. Setelah jenuh, karbon aktif direndam dengan larutan NaOH 4% sebanyak 25 mL untuk
setiap 1 gram adsorben dalam beaker glass dan diaduk dengan shaker kecepatan 150 rpm
selama 2 jam. Setelah 2 jam, larutan NaOH 4% dibuang. Kemudian karbon aktif tersebut
direndam dengan air suling suhu >90oC sebanyak 300 mL selama sekitar 20 menit. Kemudian
adsorben diletakkan di atas cawan untuk dipanaskan dalam oven dengan suhu 105o selama 1
jam. Setelah keluar dari oven, cawan yang berisi adsorben dimasukkan ke dalam desikator
selama 20 menit sebelum kemudian ditimbang beratnya. Setelah itu adsorben digunakan
kembali untuk bacth adsorpi. Tahap ini disebut tahap readsorpsi. Sama halnya dengan tahap
adsorpsi, tahap readsorpsi juga dilakukan pada waktu kontak yang optimum. Proses yang
sama terus dilakukan hingga regenerasi dilakukan sebanyak 3 kali.

4. Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh dan yang dikumpulkan kemudian diolah agar untuk
selanjutnya dianalisis. Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan perhitungan
matematis sebagai berikut :
!! !!!
• Penurunan COD (%) =   !!
×100%

di mana:
Co : kadar COD awal (mg/L)
Ce : kadar COD setelah diadsorpsi (mg/L)

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
• Isoterm Langmuir
Kadar COD yang diadsorpsi per massa unit adsorbent dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
!! − !! !
!! =  
!
di mana:
Co : kadar COD awal (mg/L)
Ce : kadar COD setelah diadsorpsi (mg/L)
m : massa adsorben (mg)
V : volume larutan (L)
• Isoterm Freundlich
Kadar COD yang diadsorpsi per massa unit adsorbent dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
! 1
log = log ! +   log !  
! !
di mana:
x : banyaknya zat terlarut yang teradsorpsi
m : massa adsorben
C : konsentrasi adsorbat
k, n : konstanta untuk setiap pasangan adsorben-adsorbat pada suhu yang
diberikan
• Efisiensi Regenerasi
!!
!"   % =   ×100%  
!!
di mana:
Ar : kapasitas adsorpsi setelah regenerasi
Ao : kapasitas adsorpsi awal

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Karakterisasi Adsorben
Adsorben yang digunakan untuk penelitian ini adalah karbon aktif berbahan dasar
batu bara dengan merek dagang CarboTech dan karbon aktif berbahan dasar tempurung
kelapa dengan merek dagang Haycarb. Kedua jenis karbon aktif tersebut berbentuk granular
(GAC) dengan mesh 8x30. Karbon aktif dengan mesh 8x30 dipilih karena menurut Meilita

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
Sembiring dan Tuti Sinaga (2003) karbon aktif dengan ukuran mesh tersebut cocok digunakan
untuk pengolahan air limbah industri obat dan makanan yakni untuk menyaring serta
menghilangkan bau dan rasa.

a. Spesifikasi karbon aktif

Tabel 4. Spesifikasi karbon aktif batu bara dan tempurung kelapa

Spesifikasi Produk Haycarb AKO 8x30 CarboTech DGF 8x30 Metode Analisa
Material dasar Tempurung Kelapa Batu bara -
Kadar Air maks. 5% w/w maks. 5% w/w ASTM D-2867
Densitas 0,58 g/cc 0,45 ± 0,03 g/cc ASTM D-2854

Iodine Number 800 mg/g 950 mg/g ASTM D-4607


/AWWA B600

Spesifikasi Produk Haycarb AKO 8x3] CarboTech DGF 8x30 Metode Analisa

Ash content maks. 3% w/w maks. 10% w/w ASTM D-2866


Kekerasan 98% 90% ASTM D-3802
pH 9-11 7-9 ASTM D-3838
Ukuran Partikel
< 8 mesh maks. 5% maks. 5% ASTM D-2862
> 30 mesh maks. 5% maks. 5% ASTM D-2862

b. Uji FTIR

Gambar 1. Hasil Uji FTIR karbon aktif batu bara dan tempurung

Gambar 1 menunjukkan spektrum transmitans dari permukaan karbon untuk


menentukan gugus fungsi yang terdapat pada karbon tersebut. Pada bilangan gelombang 3928
dan 3925 cm-1 diidentifikasi bahwa mungkin ada gugus vibrasi clay mineral. Sedangkan pada

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
bilangan gelombang 3000-3500 cm-1 diidentifikasi bahwa ada gugus fungsi O-H. Untuk
karbon aktif tempurung kelapa pada bilangan gelombang 2061 diidentifikasi adanya gugus
fungsi C-H stretch. Pada bilangan gelombang 1616 cm-1 diidentifikasi ada gugus fungsi C=C
aromatik dan pada bilangan gelombang 1637 ada gugus fungsi C=O. Pada bilangan
gelombang 1774 dan 1778 cm-1 diidentifikasi ada gugus fungsi C=O terkonjugasi. Pada
bilangan gelombang 1093 dan 1184 cm-1 diidentifikasi ada gugus fungsi C-O sedangkan pada
bilangan gelombang 614 dan 615 cm-1 diidentifikasi ada gugus fungsi aromatik C=C bend.
Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa baik karbon aktif batu bara maupun tempurung
kelapa masih mengandung komponen-komponen organik (hidrokarbon) yang dapat
menghambat proses adsorpsi karena tertutupnya pori-pori adsorben oleh komponen organik
tersebut.
Dari pola spektrum FTIR terlihat bahwa kedua jenis karbon aktif memiliki pola yang
hampir sama di mana keduanya memiliki gugus fungsi yang bersifat hidrofilik yakni O-H,
C=O dan C-O dan juga gugus fungsi yang bersifat hidrofobik yakni C-H dan C=C pada
permukaannya. Namun jika dilihat dari persentase transmitansinya diketahui bahwa intensitas
spektrum karbon aktif batu bara lebih rendah dibandingkan tempurung kelapa. Jika intensitas
spektrum FTIR makin tinggi maka secara kualitatif bisa disimpulkan bahwa kandungan
hidrokarbon di permukaan semakin banyak sehingga kapasitas adsorpsi akan semakin
menurun karena permukaan mengecil.

c. Uji SEM

(a) (b)

Gambar 2. Hasil Uji SEM dengan pembesaran 1000 kali: (a) batu bara dan (b) tempurung kelapa

Dari gambar 2 diketahui bahwa sebaran pori karbon aktif tempurung kelapa lebih
berpola dibandingkan batu bara. Hal ini sebenarnya bisa disebabkan karena kurangnya
preparasi sampel sebelum dilakukan pengujian SEM di mana pada hasil SEM karbon aktif
batu bara terlihat banyaknya serpihan karbon aktif yang menutupi pori sehingga menghalangi
pengamatan terhadap besar dan letak pori tersebut. Namun jika dilihat dari pori yang terbuka,

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
ukuran pori karbon aktif batu bara lebih besar dibandingkan tempurung kelapa. Ukuran pori
yang besar mempengaruhi kapasitas adsorpsi karbon aktif tersebut karena dapat menyerap
adsorbat yang lebih banyak. Hal ini sesuai dengan spesifikasi perusahaan kedua jenis karbon
aktif yakni iodine number karbon aktif batu bara lebih besar daripada karbon aktif tempurung
kelapa di mana iodine number menyatakan total luas permukaan yang juga mempengaruhi
kapasitas adsorpsi.

2. Hasil Percobaan Adsorpsi


Proses adsorpsi dilakukan terhadap limbah dengan nilai COD awal berkisar antara
320-450 mg/L. Dari gambar 3 dapat dilihat bahwa semakin banyak dosis karbon aktif yang
ditambahkan maka persentase penurunan kadar COD pada air limbah akan semakin besar.
Begitupun halnya dengan peningkatan waktu kontak di mana dari gambar 3 dapat dilihat
bahwa semakin panjang waktu kontak maka persentase penurunan kadar COD air limbah juga
semakin besar. Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa karbon aktif batu bara memberikan
persentase penurunan COD yang lebih besar dibandingkan karbon aktif tempurung kelapa.
Hal ini sesuai dengan hasil uji FTIR dan SEM yang menyatakan bahwa kapasitas adsorpsi
karbon aktif batu bara lebih besar dibandingkan tempurung kelapa, baik itu dari sifat kimia
(keberadaan gugus fungsi hidrofilik) dan sifat fisiknya (ukuran pori).

     
(a) (b)
Gambar 3. Grafik pengaruh waktu kontak dan dosis adsorben terhadap persentase penurunan
kadar COD oleh karbon aktif (a) batu bara dan (b) tempurung kelapa

Dari hasil adsorpsi tersebut dapat terlihat bahwa kapasitas adsorpsi karbon aktif batu
bara lebih tinggi dibandingkan tempurung kelapa yang ditandai dengan besar persentase
penurunan COD air limbah. Persentase penurunan COD oleh karbon aktif batu bara memiliki
rentang antara 20,7-95,4% sedangkan oleh karbon aktif tempurung kelapa antara 9,5-59,1%.

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
Rentang tersebut disebabkan adanya variasi dosis dan waktu kontak adsorben yang diuji
sebagai variabel pada percobaan ini. Dari hasil tersebut diketahui bahwa baik untuk karbon
aktif batu bara maupun tempurung kelapa, semakin banyak dosis adsorben yang digunakan
maka persentase penurunan COD akan semakin besar. Begitupun halnya dengan penambahan
waktu kontak, semakin panjang waktu kontak maka persentase penurunan COD akan semakin
besar. Hasil adsorpsi COD air limbah farmasi oleh karbon aktif batu bara yang diteliti lebih
tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian adsorpsi oleh Saleem di mana penurunan COD
air limbah farmasi hanya mencapai 71,1%.

3. Isoterm Adsorpsi
Hasil dari percobaan adsorpsi pada umumnya dinyatakan dalam bentuk isoterm
adsorpsi, di mana massa adsorbat yang teradsorpsi digambarkan sebagai bentuk fungsi dari
konsentrasi setimbang (konsentrasi akhir).
a. Isoterm Langmuir
Pengujian pola isoterm adsorpsi yang sesuai untuk proses penyerapan zat organik oleh
karbon aktif batu bara dan tempurung kelapa salah satunya dilakukan dengan perhitungan
menggunakan persamaan Langmuir yang sudah dijelaskan sebelumnya. Hasil perhitungan
tersebut kemudian diplot ke dalam grafik yang menyatakan hubungan antara 1/q dan 1/C.
Dari grafik tersebut akan diperoleh persamaan garis untuk setiap waktu kontak seperti berikut:

Tabel 5. Persamaan garis isoterm Langmuir

Waktu Kontak KA Tempurung Kelapa KA Batu bara


y = 457920x - 900,64 y = 89573x - 166,34
30 menit
R² = 0,7215 R² = 0,8147
y = 138742x - 45,28 y = 89573x - 166,34
60 menit
R² = 0,4028 R² = 0,8147
y = 202424x - 336,82 y = 59619x - 103,18
90 menit
R² = 0,5615 R² = 0,9794
y = 263717x - 656,26 y = 50883x - 71,07
120 menit
R² = 0,9855 R² = 0,9255
y = 30483x + 17,728 y = 1808,9x + 34,012
150 menit
R² = 0,4877 R² = 0,8101

Dari persamaan garis diketahui bahwa grafik dengan linearitas paling baik terjadi
pada waktu kontak 120 menit untuk karbon aktif tempurung kelapa dan 90 menit untuk
karbon aktif batu bara di mana diperoleh nilai koefisien determinasi yang paling mendekati 1.
Tingginya nilai koefisien R2 yakni sebesar 0,98 dan 0,93 menunjukkan bahwa persamaan

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
Langmuir bisa diterapkan pada proses adsorpsi zat oraganik yang dinyatakan sebagai COD
pada pengolahan air limbah industri farmasi. Jika dilihat dari hasil isoterm Langmuir ini,
maka dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini adsorpsi yang terjadi hanya membentuk
lapisan tunggal (monolayer).
b. Isoterm Freundlich
Sama halnya dengan isoterm Langmuir, proses penyerapan zat organik oleh karbon
aktif batu bara dan tempurung kelapa juga dapat dihitung menggunakan isoterm Freundlich.
Hasil perhitungan tersebut kemudian diplot ke dalam grafik yang menyatakan hubungan
antara loq Ce dan log qe. Dari grafik tersebut akan diperoleh persamaan garis sebagai berikut:

Tabel 6. Persamaan garis isoterm Freundlich

Waktu Kontak KA Tempurung Kelapa KA Batu bara


y = 457920x - 900,64 y = 89573x - 166,34
30 menit
R² = 0,7215 R² = 0,8147
y = 138742x - 45,28 y = 89573x - 166,34
60 menit
R² = 0,4028 R² = 0,8147
y = 202424x - 336,82 y = 59619x - 103,18
90 menit
R² = 0,5615 R² = 0,9794
y = 263717x - 656,26 y = 50883x - 71,07
120 menit
R² = 0,9855 R² = 0,9255
y = 30483x + 17,728 y = 1808,9x + 34,012
150 menit
R² = 0,4877 R² = 0,8101

Dari persamaan garis tersebut diketahui bahwa grafik dengan linearitas paling baik
juga terjadi pada waktu kontak 120 menit untuk karbon aktif tempurung kelapa dan 90 menit
untuk karbon aktif batu bara di mana diperoleh nilai koefisien determinasi yang paling
mendekati 1.Untuk menentukan dosis adsorben optimum, dilakukan perhitungan lanjutan
menggunakan isoterm Langmuir dan Freundlich. Dari isoterm Langmuir diketahui bahwa
dosis optimum untuk karbon aktif tempurung kelapa adalah 59,92 gram dan karbon aktif batu
bara adalah 14,87 gram per 100 mL sampel air limbah. Sedangkan dari isoterm Freundlich
diketahui bahwa dosis optimum untuk karbon aktif tempurung kelapa adalah 253,26 gram dan
karbon aktif batu bara adalah 19,9 gram per 100 mL sampel air limbah.
Dari persamaan linear isoterm Langmuir dan Freundlich diketahui bahwa isoterm
Langmuir memiliki nilai R2 yang paling mendekati 1. Melihat kecenderungan itu dilakukan
uji statistik dengan metode one-tailed test (uji satu ujung). Berdasarkan uji tersebut diketahui
bahwa perbedaan antara isoterm Langmuir dan Freundlich tidak signifikan. Walaupun

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
perbedaan antara isoterm Langmuir dan Freundlich tidak signifikan, namun massa adsorben
yang dibutuhkan menurut isoterm Freundlich jauh lebih besar dibandingkan perhitungan
isoterm Langmuir, sehingga pada penelitian ini massa optimum adsorben ditentukan dengan
perhitungan isoterm Langmuir.

4. Penjenuhan Karbon Aktif


Karena dosis optimum yang dibutuhkan masih dianggap terlalu besar, maka penulis
mengambil nilai dosis lain yang akan digunakan untuk proses penjenuhan agar waktu yang
dibutuhkan untuk penjenuhan tidak terlalu banyak. Pada penelitian ini diharapkan karbon
aktif sudah mencapai kondisi jenuh setelah melalui 3 kali siklus adsorpsi. Dosis yang
ditentukan untuk karbon aktif batu bara yakni 7 gram dan tempurung kelapa 9 gram untuk
100 mL sampel air limbah. Dalam hal ini karbon aktif dianggap sudah jenuh jika COD akhir
limbah berada di atas baku mutu yakni >100 mg/L.

5. Regenerasi Karbon Aktif


Setelah jenuh, karbon aktif kemudian diregenerasi dengan merendam karbon aktif
dalam larutan NaOH 4% selama 2 jam. Besar volume NaOH yang digunakan untuk
merendam adsorben tergantung dari banyaknya adsorben tersebut. Untuk setiap gram
adsorben tersebut ditambahkan sebanyak 25 mL NaOH 4% (Kang Sun et al, 2009), oleh
karena itu NaOH yang dibutuhkan untuk meregenerasi karbon aktif batu bara adalah 175 mL
sedangkan untuk karbon aktif tempurung kelapa adalah 225 mL. Setelah itu kedua jenis
adsorben tersebut dibilas dengan menggunakan air panas. Kemudian adsorben diletakkan di
atas cawan untuk dipanaskan dalam oven dengan suhu 105o selama 1 jam. Setelah keluar dari
oven, dimasukkan ke dalam desikator selama 20 menit sebelum kemudian ditimbang
beratnya. Setelah itu adsorben digunakan kembali untuk proses adsorpsi dan dihitung efisiensi
regenerasinya. Proses yang sama terus dilakukan hingga regenerasi terjadi sebanyak 3 kali.

(a) (b)

Gambar 4. Grafik regenerasi karbon aktif: (a) batu bara dan (b) tempurung kelapa

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
Tabel 7. Efisiensi regenerasi karbon aktif
 
Dosis Waktu Efisiensi Regenerasi (%)
Adsorben Adsorben Kontak
(g/100mL) (menit) Regenerasi-1 Regenerasi-2 Regenerasi-3
Batu bara 7 90 84,63 96,01 97,76
Tempurung Kelapa 9 120 60,54 46,05 46,61

Dari gambar 4a dapat dilihat bahwa sebelum regenerasi dilakukan, efisiensi


penurunan kadar COD oleh karbon aktif batu bara masih sangat baik, yakni + 90%. Namun
setelah dilakukan regenerasi, persentase penurunan COD justru semakin berkurang. Hal ini
disebabkan banyaknya adsorbat yang masih menempel pada pori-pori karbon aktif sehingga
mengurangi efektifitasnya dalam mengadsorpsi zat-zat organik. Selain adsorbat, juga ada
kemungkinan di mana NaOH yang digunakan sebagai regeneran tidak tercuci bersih sehingga
menutup pori-pori karbon aktif batu bara. Setelah regenerasi kedua dilakukan, terlihat bahwa
persentase penurunan COD semakin meningkat. Kondisi serupa juga terjadi setelah regenerasi
ketiga. Hal inilah yang sebenarnya ingin dicapai ketika melakukan proses regenerasi. Karbon
aktif yang tadinya sudah jenuh dapat digunakan kembali untuk mengadsorpsi meskipun daya
adsorpsinya tidak sebaik karbon aktif yang masih baru.
Dari grafik 4b terlihat bahwa setelah regenerasi pertama dan regenerasi kedua hampir
tidak terjadi perubahan persentase penurunan kadar COD. Sebenarnya terjadi sedikit
peningkatan daya adsorpsi setelah regenerasi pertama dan sedikit penurunan daya adsorpsi
setelah regenerasi kedua. Sama halnya dengan karbon aktif batu bara, ada kemungkinan di
mana adsorbat dan NaOH yang digunakan sebagai regeneran tidak tercuci bersih sehingga
menutup pori-pori karbon aktif serta mengurangi efektifitasnya dalam mengadsorpsi zat-zat
organik. Setelah regenerasi ketiga dilakukan, terlihat bahwa persentase penurunan COD
semakin meningkat. Kondisi ini dapat dicapai ketika NaOH yang digunakan sebagai
regeneran mampu menghilangkan adsorbat dari pori-pori adsorben secara efektif dan
regeneran itu sendiri juga dapat dihilangkan melalui pencucian dengan air mendidih.
Dari tabel 7 dapat diketahui bahwa efisiensi regenerasi yang paling besar dicapai oleh karbon
aktif batu bara. Besarnya efisiensi regenerasi ini dapat disebabkan oleh besarnya pori-pori yang
dimiliki oleh karbon aktif batu bara sehingga regeneran yang ditambahkan dapat masuk dengan mudah
ke dalam pori-pori tersebut dan dapat mengeluarkan adsorbat yang terperangkap di dalamnya.

6. Penerapan Hasil Penelitian untuk Desain IPAL PT. Kimia Farma


Berdasarkan data hasil percobaan skala lab maka dapat dibuat desain pengolahan air
limbah farmasi PT. Kimia Farma yakni berupa unit adsorpsi. Unit adsorpsi ini direncanakan

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
akan mengolah air limbah yang berupa gabungan dari unit Antiretroviral (ARV), unit
Betalaktam, dan juga unit non-Betalaktam. Hal ini dipilih agar pengolahan air limbah lebih
efisien dibandingkan pengolahan air limbah eksisting. Setelah diolah pada unit adsorpsi, air
limbah akan digabungkan dengan air limbah domestik dan juga laundry pada bak ekualisasi.
Berikut ini adalah rencana alur pengolahan air limbah PT. Kimia Farma Plant Jakarta.

Gambar 5. Rencana alur pengolahan air limbah

Influen air limbah farmasi akan dialirkan ke dalam bak adsorpsi menggunakan pipa
PVC dengan diameter 15 cm yang berada pada puncak bak adsorpsi. Adsorben akan
dimasukkan dengan pipa serupa yang terletak di bagian bawah bak adsorpsi. Proses adsorpsi
dimulai dengan menggerakkan impeller jenis 6 flat blade disc turbine dengan kecepatan 150
rpm. Effluen akan dibuang menggunakan pipa serupa yang terletak berseberangan dengan
pipa adsorben. Proses adsorpsi dengan limbah yang berganti dilakukan hingga adsorben
jenuh. Ketika adsorben sudah jenuh, adsorben tersebut dialirkan ke bak regenerasi melalui
pipa regenerasi yang terdapat diujung bawah bak adsorpsi. Setelah proses regenerasi selesai,
adsorben kembali dimasukkan ke dalam bak adsorpsi melalui pipa adsorben yang sama.

Gambar 6. Desain Unit Adsorpsi untuk Pengolahan Air Limbah Farmasi

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian adsorpsi dengan variasi dosis adsorben (10, 20, 30, 40 dan 50
g/L) dan waktu kontak (30, 60, 90, 120 dan 150 menit) serta regenerasi karbon aktif batu bara
dan tempurung kelapa dengan NaOH 4% maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Nilai COD air limbah industri farmasi dari unit penghasil obat jenis ARV berkisar antara
323-447 mg/L.
2. Proses adsorpsi menggunakan karbon aktif dari batu bara mampu menurunkan kadar
COD sebesar 22,31% - 94,74% sedangkan adsorpsi menggunakan karbon aktif dari
tempurung kelapa mampu menurunkan kadar COD sebesar 9,48% - 59,13%.
3. Penambahan waktu kontak berbanding lurus dengan besarnya persentase penurunan COD
air limbah. Untuk menentukan waktu kontak optimum dilakukan perhitungan dengan
isoterm Langmuir dan Freundlich. Dari hasil perhitungan tersebut didapatkan waktu
kontak 90 menit untuk karbon aktif batu bara dan 120 menit untuk karbon aktif
tempurung kelapa.
4. Semakin banyak adsorben yang ditambahkan per volume air limbah maka semakin besar
pula persentase penurunan kadar COD air limbah tersebut. Untuk mencari dosis optimum
dilakukan perhitungan dengan isoterm Langmuir di mana diperoleh dosis optimum
karbon aktif batu bara dan tempurung kelapa adalah 14,98 dan 59,92 gram per 100 mL
sampel air limbah.
5. Regenerasi adsorben menggunakan NaOH 4% dilakukan sebanyak tiga siklus. Dari hasil
regenerasi tersebut diperoleh efisiensi regenerasi untuk karbon aktif batu bara adalah
84,63%; 96,01%; dan 97,76% sedangkan tempurung kelapa mencapai 60,54%; 46,05%;
dan 46,61%.
SARAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini maka beberapa saran yang
dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Untuk penelitian selanjutnya yang menjadikan COD sebagai parameter sebaiknya
mempertimbangkan lamanya waktu pengerjaan dan metode penyimpanan sampel karena
nilai COD cukup mudah menurun seiring pertambahan waktu.
2. Percobaan berikutnya dapat dilakukan menggunakan adsorben dengan material yang
berbeda sehingga dapat dibandingkan efisiensinya.

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014
3. Untuk regenerasi dapat dilakukan dengan regeneran yang berbeda sehingga dapat
dibandingkan efisiensi regenerasinya. Selain itu dapat dilakukan variasi waktu regenerasi
sehingga dapat diperoleh waktu regenerasi optimum.
4. Sebaiknya melakukan uji karakterisasi adsorben baik berupa SEM, FTIR maupun XRD
untuk sampel adsorben jenuh dan sampel karbon setelah diregenerasi agar dapat
dibandingkan karakteristiknya.

DAFTAR REFERENSI

Ali, Imran., Asim, Mohd., Khan, Tabrez. (2012). Low cost adsorbents for the removal of organic pollutants from
wastewater. India: Jamia Millia Islamia (Central University).
Amuda O.S dan Ibrahim A.O (2005). Industrial wastewater treatment using natural material as
adsorbent.Nigeria: Ladoke Akintola University of Technology.
Bahl, A., Tuli, G.D. (1997). Essential of Physical Chemistry. New Delhi: S. Chand and Company, Ltd.
Chelliapan, S., Wilby, T., Sallis, P.J. (2006).Performance of an up-flow anaeroboc stage reactor (UASR)in the
treatment of pharmaceutical wastewater containing macrolide antibiotics. Water Res, 40 (3), 507-516.
Chelliapan, S., Yuzir, A., Md Din, M.F., Sallis, P.J. (2011). Anaerobic pre-tratment of pharmaceutical
wastewater using packed bed reactor. International Journal of Chemical Engineering and Applications vol. 2
no.1.
Gupta, V.K. and Suhas. (2009). Application of low-cost adsorbents for dye removal – A review. Journal of
Environmental Management 90, 2313-2342.
Kavitha, R.V., Murthy, V. Krishna., Makam, Roshan., Asith, K.A. (2012). Physico-chemical analysis of effluents
from pharmaceutical industry and its efficiency study. International Journal of Engineering Research and
Applications (IJERA) vol. 2 issue 2.
Liu, Qing-Song., Zheng, Tong., Wang, Peng., Jiang, Ji-Ping., Li, Nan.(2009). Adsorption isotherm, kinetic and
mechanism studies of some substituted phenols on activated carbon fibers. Chemical Engineering Journal
157 (2010) 348-356.
Masduqi, A; Slamet, A. (2000). Penurunan senyawa fosfat dalam air limbah buatan dengan proses adsorpsi
menggunakan tanah haloisit.
Metcalf & Eddy, Inc. 1991. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal and Reuse, 4th ed. New York:
McGraw Hill.
Riberio, Araceli., Belisario, Marciela., Galazzi, R.M., Balthazar, D.C., Pereira, M. G., Riberio, J.N. (2011).
Evaluation of two bioadsorbents for removing paracetamol from aqueous media. Chile: Pontificia
Universidad Catolica de Valparaiso.
Saleem, Muhammad (2007). Pharmaceutical wastewater treatment: a physicochemical study. Journal of
Research (Science); v.18 (2), 125-134.
Sawyer, C., et al. (1994). Chemistry for Environmental Engineering , 4th edition. New York: McGraw-Hill.
Sembiring, Meilita; Sinaga, Tuti. (2003). Arang aktif (pengenalan dan proses pembuatannya). Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Sreekanth, D., Sivaramakrishna, D., Himabindu, V., Anjaneyulu, Y. (2009). Thermophilic treatment of bulk drug
pharmaceutical industrial wastewaters by using hybrid up flow anaerobic sludge blanket reactor. Bioresour.
Tech., 100 (9), 2534-2539.
Sufnarski, Michael. (1999). The regeneration of granular activated carbon using hydrothermal technology. The
University of Texas at Austin.
Suryawan, Bambang. (2004). Karakteristik zeolit Indonesia sebagai adsorben uap air. Jakarta: Universitas
Indonesia.
US-EPA. (1997). Profile of the pharmaceutical manufacturing industry. Washington: US- Environmental
Protection Agency.
http://www.homecarbonindonesia.com/ako_8x30.html
http://dc343.4shared.com/doc/w4xIigzY/preview.html

Adsorpsi dan regenerasi karbon..., Pricilia Duma Laura Sinaga, FT UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai