Anda di halaman 1dari 21

EFEKTIVITAS BAK ANAEROB DI IPAL SENTRAL

RSUP Dr. KARIADI DALAM MENURUNKAN


KADAR BOD DAN COD

Untuk Memenuhi Tugas Praktek Kerja Lapangan


di Instalansi Sanitasi RSUP Dr. Kariadi

Disusun oleh :

Silvia Nurvita 25010111130091


Dewi Mulyaningsih 25010111120015
Laila Maulida Mubarokah 25010111120023

BAGIAN KESEHATAN LINGKUNGAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan pelayanan kesehatan terhadap individu, pasien
dan masyarakat. Disamping kegiatan pelayanan kesehatan tersebut, rumah
sakit juga menghasilkan limbah yang dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan, baik lingkungan rumah sakit itu sendiri maupun
lingkungan sekitarnya.
Air limbah rumah sakit merupakan salah satu sumber pencemaran
lingkungan yang sangat potensial. Limbah cair rumah sakit mengandung
bahan organik dan anorganik yang umumnya diukur dengan parameter BOD,
COD, TSS, dan lain-lain. Air limbah mengandung berbagai bahan organik
dan anorganik dapat menimbulkan masalah bagi lingkungan yaitu penurunan
kualitas lingkungan apabila limbah tersebut tidak diolah terlebih dahulu
sebelum dibuang ke badan air. Masalah lain yang sering muncul dalam
pengelolaan limbah rumah sakit adalah terbatasnya dana yang ada untuk
membangun fasilitas pengolahan limbah serta operasinya.
Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dikembangkan teknologi
pengolahan air limbah rumah sakit yang murah, mudah operasinya serta
efektif untuk menurunkan kandungan bahan – bahan organik dan anorganik
dalam air limbah.
RSUP Dr. Kariadi telah memiliki 3 sistem IPAL, yaitu IPAL Sentral,
IPAL Rajawali, IPAL Garuda II. Sistem IPAL Sentral RSUP Dr. Kariadi
sebelum bulan maret 2014 belum memiliki bak pengolahan anaerob, namun
setelah bulan maret 2014 telah dibangun bak anaerob. Pembangunan bak
anaerob di IPAL Sentral diharapkan dapat menurunkan kadar BOD dan COD.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis akan meneliti tentang efektivitas
penggunaan bak anaerob dalam menurunkan kadar BOD dan COD limbah
cair di IPAL Sentral RSUP Dr. Kariadi.

1
B. Rumusan Masalah
Apakah penggunaan bak anaerob efektif untuk menurunkan kadar BOD
dan COD air limbah di IPAL Sentral RSUP Dr. Kariadi?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektivitas penggunaan bak anaerob dalam
menurunkan kadar BOD dan COD di IPAL Sentral RSUP Dr. Kariadi.
2. Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui kadar BOD dan COD air limbah di IPAL Sentral
RSUP Dr. Kariadi.
b) Menganalisa efektivitas penggunaan bak anaerob dalam menurunkan
kadar BOD dan COD air limbah di IPAL Sentral RSUP Dr. Kariadi.

D. Manfaat
1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pihak rumah sakit
dalam pengelolaan limbah cair rumah sakit agar memenuhi baku mutu
limbah rumah sakit sesuai dengan Kepmenkes RI No.
1204/Menkes/SK/X/2004
2. Bagi Penulis
a) Dapat menambah wawasan serta pengetahuan tentang pengolahan
limbah cair di rumah sakit.
b) Dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat dibangku kuliah.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Limbah Rumah Sakit


Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan
rumah sakit dalam bentuk padat, cair dan gas. Limbah cair rumah sakit adalah
semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari kegiatan rumah sakit yang
kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan kimia beracun dan
radioaktif yang berbahaya bagi keseshatan (Kepmenkes RI, 2004).

B. Sumber Limbah Cair Rumah Sakit


Pencemaran lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan rumah sakit
adalah berupa limbah cair rumah sakit yang berupa limbah cair medis dan
non medis serta limbah padat (sampah) medis, namun rumah sakit lebih
banyak menghasilkan limbah cair medis. Limbah cair Rumah Sakit (medis)
adalah limbah cair yang dihasilkan dari aktifitas pelayanan kesehatan
khususnya yang bersumber dari kegiatan poliklinik (umum dan gigi), ruang
perawatan, laboratorium (medis), ruang bersalin, ruang bedah, instalasi
hemodialisis dan instalasi farmasi. (Didik Sugeng. P, 2004)
Limbah cair rumah sakit sangat tergantung dari jenis dan proses serta
aktivitas dari rumah sakit tersebut, tetapi secara kualitatif limbah cair terdiri
dari: zat organik terlarut, zat padat tersuspensi, nutrient (N dan P), minyak
dan lemak, logam berat, racun organik, warna dan kekeruhan yang
mempengaruhi kualitas air. (Sugiharto, 1987) Untuk menghindari dampak
lingkungan tersebut, maka rumah sakit mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan upaya pelestarian lingkungan hidup dalam hal ini pengelolaan
limbah cair dengan menyediakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
yang memadai. Pengolahan limbah cair dapat dilakukan dengan
memanfaatkan mikroorganisme secara aerob maupun anaerob atau kombinasi
aerob dan anaerob, demikian halnya dengan limbah cair rumah sakit. (Said,
2006)

3
C. BOD (Biologycal Oxygent Demand)
BOD (Biologycal Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen terlarut yang
dibutuhkan organisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan
buangan dalam air (Fardiaz, 1992) atau merupakan suatu nilai empiris yang
mendekati secara global terjadinya proses penguraian bahan-bahan yang
terdapat dalam air dan sebagai hasil dari proses oksidasi tersebut akan
terbentuk CO2, air, dan NH3 (Alaert, 1987). BOD sebagai gambaran jumlah
bahan organik mudah urai (biodegradable organics) yang ada di perairan.
(Milan, 2009)
BOD merupakan parameter utama dalam menentukan tingkat
pencemaran perairan, dan tingkat pencemaran berdasarkan nilai BOD sebagai
berikut ini: (Fardiaz, 1992)
1. Apabila kadar BOD < 200 mg/l maka tergolong tingkat pencemaran
ringan
2. Apabila kadar BOD 200–350 mg/l maka tergolong tingkat pencemaran
sedang
3. Apabila kadar BOD 350–750 mg/l maka tergolong tingkat pencemaran
berat
4. Apabila kadar BOD >750 mg/l maka tergolong tingkat pencemaran
sangat berat.
BOD merupakan kebutuhan oksigen bagi sejumlah bakteri untuk
menguraikan semua zat-zat organik yang terlarut maupun sebagian
tersuspensi dalam air menjadi bahan organik yang lebih sederhana. Nilai ini
hanya merupakan jumlah bahan organik yang dikonsumsi bakteri. Penguraian
zat-zat organis ini terjadi secara alami. Dengan habisnya oksigen terkonsumsi
membuat biota lainnya yang membutuhkan oksigen menjadi kekurangan dan
akibatnya biota yang memerlukan oksigen ini tidak dapat hidup. Semakin
tinggi angka BOD semakin sulit bagi makhluk air yang membutuhkan
oksigen untuk bertahan hidup. (Sastrawijaya, 1991)
Pengujian BOD yang dapat diterima adalah pengukuran jumlah oksigen
yang akan dihabiskan dalam waktu 5 (lima) hari oleh organisme pengurai
aerobik dalam suatu volume limbah pada suhu 20ºC. Hasilnya dinyatakan

4
dalam ppm. Jadi misalnya BOD sebesar 200 ppm berarti bahwa 200 mg
oksigen akan dihabiskan oleh contoh limbah sebanyak satu liter dalam waktu
lima hari pada suhu 20ºC. (Sastrawijaya, 1991)
Faktor-faktor yang mempengaruhi BOD adalah jumlah senyawa
organik yang diuraikan. Nilai BOD perairan dipengaruhi oleh suhu,
keberadaan mikroba dan jenis serta kandungan bahan organik. (PP No. 82 Th.
2001)
BOD mempunyai peranan penting dalam perairan, yaitu sebagai
parameter penentuan kualitas suatu perairan, apakah perairan tersebut
tercemar atau tidak. Selain itu, kandungan BOD dalam air dapat membantu
mikroorganisme dalam mengurai bahan-bahan organik di perairan. Selain itu,
oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik
dan anorganik. (Salmin, 2005)
Semakin banyak bahan organik dalam air, maka semakin besar
BODnya sedangkan DO akan semakin rendah. Apabila kadar oksigen terlarut
berkurang mengakibatkan hewan-hewan yang menempati perairan tersebut
akan mati. Dan jika kadar BOD meningkat menyebabkan perairan menjadi
tercemar. (Zulkifli, 2009)

D. COD (Chemical Oxygent Demand)


COD adalah jumlah oksigen (mg) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
zat-zat organik yang ada dalam 1 liter sampel air, dimana pengoksidasi
K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent). (Alaerts, G.
1987)
COD atau kebutuhan oksigen kimia adalah jumlah oksigen yang
diperlukan agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi
melalui reaksi kimia. Dalam hal ini bahan buangan organik akan dioksidasi
oleh Kalium bichromat menjadi gas CO2 dan H2O serta sejumlah ion Chrom.
Kalium bichromat atau K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen
(oxidizing agent). (Wardhana, 2010)
COD adalah sejumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
zat-zat anorganik dan organik sebagaimana pada BOD. COD merupakan

5
parameter utama dalam menentukan tingkat pencemaran perairan selain
BOD. Semakin dekat nilai BOD terhadap COD menunjukkan bahwa semakin
sedikit bahan anorganik yang dapat dioksidasi dengan bahan kima. Pada
limbah yang mengandung logam-logam pemeriksaan terhadap BOD tidak
memberi manfaat karena tidak ada bahan organik dioksida. Hal ini bisa jadi
karena logam merupakan racun bagi bakteri. (Wardhana, 2010)
COD (Chemical Oxygen Demand) adalah banyaknya oksigen yang
diperlukan untuk mengoksidasi senyawa organik secara kimiawi. Hasil
analisis COD menunjukkan kandungan senyawa organik yang terdapat
dalam limbah. (Driyanti, 2007)

E. Dampak BOD Terhadap Lingkungan


Semakin besar kosentrasi BOD suatu perairan, menunjukan konsentrasi
bahan organik di dalam air juga tinggi (Yudo, 2010). Jika jumlah bahan
organik dalam air hanya sedikit, maka bakteri aerob mudah memecahkannya
tanpa mengganggu keseimbangan oksigen dalam air. Tetapi jika jumlah
bahan organik itu lebih banyak, maka bakteri pengurai ini akan berlipat ganda
dan menyebabkan kekurangan oksigen. Oksidasi aerobik dapat menyebabkan
penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada tingkat
rendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob yang dapat
mengakibatkan kematian organisme akuatik. (Lee Kwan Yi, 1978)
Bahaya apabila BOD melewati ambang batas adalah akan berpengaruh
pada kehidupan biota air, apabila BOD tinggi maka kandungan oksigen akan
menjadi rendah sehingga oksigen yang dibutuhkan oleh biota air kurang,
dapat menyebabkan kematian pada biota air. (Salmin, 2000)

F. Dampak COD Terhadap Lingkungan


Konsentrasi COD yang tinggi menyebabkan kandungan oksigen terlarut
di dalam air menjadi rendah, bahkan habis sama sekali. Akibatnya oksigen
sebagai sumber kehidupan bagi makhluk air (hewan dan tumbuh-tumbuhan)
tidak dapat terpenuhi sehingga makhluk air tersebut menjadi mati.(Monahan,
1993)

6
G. Proses Pengolahan Limbah Cair Secara Biologi
Proses pengolahan biologi merupakan proses pengolahan air limbah
dengan memanfaatkan aktivitas pertumbuhan mikroorganisme yang
berkontak dengan air limbah, sehingga mikroorganisme tersebut dapat
menggunakan bakteri organik pencemar yang ada sebagai bahan makanan
dalam kondisi lingkungan tertentu dan mendegradasi atau menstabilisasinya
menjadi bentuk yang lebih sederhana. Proses biologi ditujukan untuk
menghilangkan substansi organik biodegradable dalam limbah cair. Proses
pengolahan biologi menurut kebutuhan oksigennya dikelompokkan menjadi 2
yaitu pengolahan biologi secara anaerob (tanpa oksigen) dan pengolahan
biologi secara aerob (dengan oksigen). (Metcalf & Eddy, 2003)
Umumnya bakteri merupakan mikroorganisme utama dalam proses
pengolahan biologi. Karakteristik mereka beragam dan kebutuhan lingkungan
yang sederhana membuat mereka dapat bertahan pada lingkungan air limbah.
Perlu diperhartikan bahwa mikroorganisme lain juga dapat ditemukan pada
lingkungan pengolahan air limbah namun peranannya dalam oksidasi materi
organik relatif kecil. (Metcalf & Eddy, 2003)
Proses pengolahan biologi juga dapat dibagi berdasarkan media
pertumbuhan mikroorganismenya, yaitu :
a. Suspended growth atau pertumbuhan tersuspensi, mikroorganisme berada
dalam keadaan tersuspensi di air limbah seperti pada reaktor lumpur akif
atau kolam oksidasi.
b. Attached growth atau pertumbuhan terlekat, mikroorganisme tumbuh
terlekat pada media pendukung yang berada di dalam air limbah. Contoh
media ini salah satunya media plastik berbentuk sarang tawon.
Proses pengolahan air limbah dengan proses biofilm sarang tawon
dilakukan dengan cara mengalirkan air limbah ke dalam bak anaerob yang di
dalamnya diisi dengan media penyangga (media sarang tawon) untuk
pengembangbiakan mikroorganisme. Senyawa polutan yang ada di dalam air
limbah, misalnya BOD dan COD akan terdifusi ke dalam lapisan atau film
biologis yang melekat pada permukaan medium. Pada saat yang bersamaan

7
dengan menggunakan oksigen yang terlarut di dalam air limbah, senyawa
polutan tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang ada di dalam
lapisan biofilm dan energi yang dihasilkan akan diubah menjadi biomassa.
(Said, 2001).

H. Proses Anaerob
Beberapa limbah dengan kadar COD dan BOD tinggi lebih efektif
diolah dengan menggunakan proses anaerob. Proses anaerobik merupakan
salah satu pengolahan biologi. Pengolahan limbah anaerob adalah sebuah
metode biological untuk peruraian bahan organik atau anorganik tanpa
kehadiran oksigen. (Metcalf & Eddy, 2003)
Pada prinsipnya proses pengolahan secara anaerob adalah mengubah
bahan organik dalam limbah cair menjadi methane dan karbon monoksida
tanpa adanya oksigen. Perubahan ini dilakukan dalam dua tahap dengan dua
kelompok bakteri yang berbeda. Pertama, zat organik diubah menjadi asam
organik dan alkohol yang mudah menguap. Kedua, melanjutkan perombakan
senyawa asam organik menjadi methane. Berikut ini reaksi pengolahan
anaerob:

Ada tiga tahapan dasar yang termasuk dalam keseluruhan proses


pengolahan limbah secara oksidasi anaerobik, yaitu : hidrolisis, fermentasi
(yang juga dikenal dengan sebutan asidogenesis), dan metanogenesis. Selama
proses hidrolsis, bakteri fermentasi merubah materi organik kompleks yang
tidak larut, seperti selulosa menjadi molekul-molekul yang dapat larut, seperti
asam lemak, asam amino dan gula. Materi polimer komplek dihidrolisa
menjadi monomer – monomer , contoh : selulosa menjadi gula atau alkohol.
Molekul – molekul monomer ini dapat langsung dimanfaatkan oleh kelompok
bakteri selanjutnya. Hidrolisis molekul kompleks dikatalisasi oleh enzim
ekstra seluler seperti selulase, protease, dan lipase. Walaupun demikian
proses penguraian anaerobik sangat lambat dan menjadi terbatas dalam

8
penguraian limbah selulolitik yang mengandung lignin. (Metcalf & Eddy,
2003)
Pada proses fermentasi (asidogenesis), bakteri asidogenik (pembentuk
asam) merubah gula, asam amino, dan asam lemak menjadi asam-asam
organik (asam asetat, propionate, butirat, laktat, format) alkohol dan keton
(etanol, methanol, gliserol dan aseton), asetat, CO2 dan H2. Produk utama
dari proses fermentasi ini adalah asetat. Hasil dari fermentasi ini bervariasi
tergantung jenis bakteri dan kondisi kultur seperti pH dan suhu. (Metcalf and
Eddy, 2003)
Kelompok bakteri non metanogen yang bertanggung jawab untuk
proses hidrolisis dan fermentasi terdiri dari bakteri anaerob fakultatif dan
obligat. Mikroorganisme yang diisolasi dari digester anaerobik adalah
Clostridium spp., Peptococcus anaerobus, Bifidobacterium spp.,
Desulphovibrio spp., Corynebacterium spp., Lactobacillus, Actonomyces,
Staphylococcus, and Eschericia coli. (Metcalf and Eddy, 2003)
Proses metanogenesis dilaksanakan oleh suatu kelompok
mikroorganisme yang dikenal sebagai bakteri metanogen. Ada dua kelompok
bakteri metanogen yang dilibatkan dalam proses produksi metan. Kelompok
pertama, aceticlastic methanogens, membagi asetat ke dalam metan dan
karbondioksida. Kelompok kedua, hidrogen memanfaatkan metanogen, yaitu
menggunakan hidrogen sebagai donor elektron dan CO2 sebagai aseptor
elektron untuk memproduksi metan. Bakteri di dalam proses anaerobik, yaitu
bakteri acetogens, juga mampu menggunakan CO2 untuk mengoksidasi dan
bentuk asam asetat. Dimana asam asetat dikonversi menjadi metan. Sekitar
72% metan yang diproduksi dalam digester anaerobik adalah formasi dari
asetat. (Metcalf and Eddy, 2003)
Selama proses anaerob, udara tidak boleh masuk. Masuknya udara akan
mempercepat produksi asam organik, menambah karbondioksida tetapi
mengurangi methane. Pengaturan keasaman sangat perlu sebab zat methane
sangat sensitif terhadap perubahan pH. Nilai pH diusahakan berkisar antara 6
dan 8 agar perkembangan mikroorganisme sangat pesat. Temperatur sangat

9
berpengaruh, kecepatan fermentasi meningkat bila temperatur mendekati

300C. (Perdana Gintings, 1992).

I. Bak Anaerob
Bak anaerob ini dapat menampung air limbah. Ada tiga tahapan dasar
yang termasuk dalam keseluruhan proses pengolahan limbah di dalam bak
anaerob, yaitu : hidrolisis, fermentasi (yang juga dikenal dengan sebutan
asidogenesis), dan metanogenesis. (Metcalf & Eddy, 2003)
Bak anaerobik berfungsi untuk mereduksi kandungan organik dengan
bantuan bakteri anaerob. Bak anaerobik didesain untuk dapat menerima
kandungan organik yang tinggi. Zat padat yang terbawa aliran air limbah
akan mengendap pada dasar kolam dan diuraikan secara anaerobik oleh
bakteri yang terkandung dalam air limbah (Hellawell J.M, 1989).

J. Kelebihan dan Kekurangan Proses Anaerob


1. Kelebihan Pengolahan Limbah Cair Secara Anaerob (Perdana Gintings,
1992) :
a) Produksi lumpur yang dihasilkan lebih efektif daripada proses aerob
b) Menghasilkan produksi gas metan
c) Pada proses pengolahan secara anaerob, dihasilkan produksi gas
metan yang sangat bermanfaat sebagai sumber energi.
d) Umumnya pada pengolahan air limbah dengan kandungan
konsentrasi COD dan BOD yang tinggi oleh karena itu penggunaan
proses pengolahan secara anaerob lebih ekonomis.
2. Kekurangan Pengolahan Limbah Cair Secara Anaerob (Perdana Gintings,
1992) :
a) Membutuhkan penambahan alkali.
b) Membutuhkan pengolahan lanjutan.
c) Berpotensi untuk menghasilkan bau dan gas korosi.

10
K. Faktor – Faktor yang mempengaruhi Proses Anaerob
1. Temperatur
Gas dapat dihasilkan jika suhu antara 4 - 60°C dan suhu dijaga
konstan. Bakteri akan menghasilkan enzim yang lebih banyak pada
temperatur optimum. Semakin tinggi temperatur reaksi juga akan semakin
cepat tetapi bakteri akan semakin berkurang. Proses pembentukan metana
bekerja pada rentang temperatur 30-40°C, tapi dapat juga terjadi pada
temperatur rendah, 4°C. Laju produksi gas akan naik 100-400% untuk
setiap kenaikan temperatur 12°C pada rentang temperatur 4-65°C.
Mikroorganisme yang berjenis thermophilic lebih sensitif terhadap
perubahan temparatur daripada jenis mesophilic. Pada temperatur 38°C,
jenis mesophilic dapat bertahan pada perubahan temperatur ± 2,8°C.
Untuk jenis thermophilic pada suhu 49°C, perubahan suhu yang dizinkan ±
0,8°C dan pada temperatur 52°C perubahan temperatur yang dizinkan ±
0,3°C. (Oktaviani, 2008)
2. pH
Nilai pH diusahakan berkisar antara 6 dan 8 agar perkembangan
mikroorganisme sangat pesat. Nilai pH air limbah diusahakan berkisar
antara 6 dan 8 agar perkembangan mikroorganisme dalam bak anerob
sangat cepat. Nilai pH yang terlalu tinggi (> 8) akan menghambat aktivitas
mikroorganisme sedangkan nilai pH di bawah 6 akan mengakibatkan
pertumbuhan jamur dan terjadi persaingan dengan bakteri dalam
metabolisme materi organik. (Perdana Gintings, 1992).
Bakteri penghasil metana sangat sensitif terhadap perubahan pH.
Rentang pH optimum untuk jenis bakteri penghasil metana antara 6,4 - 7,4.
Bakteri yang tidak menghasilkan metana tidak begitu sensitif terhadap
perubahan pH, dan dapat bekerja pada pH antara 5 hingga 8,5. Karena
proses anaerobik terdiri dari dua tahap yaitu tahap pambentukan asam dan
tahap pembentukan metana, maka pengaturan pH awal proses sangat
penting. Tahap pembentukan asam akan menurunkan pH awal. Jika
penurunan ini cukup besar akan dapat menghambat aktivitas

11
mikroorganisme penghasil metana. Untuk meningkatkan pH dapat
dilakukan dengan penambahan kapur. (Oktaviani, 2008)
3. Jenis Media
Jenis media pertumbuhan mikroorganismenya dalam proses anaerob,
yaitu :
a. Suspended growth atau pertumbuhan tersuspensi, mikroorganisme
berada dalam keadaan tersuspensi di air limbah seperti pada reaktor
lumpur akif atau kolam oksidasi.
b. Attached growth atau pertumbuhan terlekat, mikroorganisme tumbuh
terlekat pada media pendukung yang berada di dalam air limbah.
Contoh media ini salah satunya media plastik berbentuk sarang tawon.
Pada media ini mikroorganisme yang berperan pada proses penguraian
substrat tumbuh dan berkembang di atas suatu media dengan
membentuk suatu lapisan lendir (lapisan biofilm) untuk melekatkan diri
di atas permukaan media tersebut.
Proses pengolahan air limbah dengan proses biofilm sarang tawon
dilakukan dengan cara mengalirkan air limbah ke dalam bak anaerob yang
di dalamnya diisi dengan media penyangga (media sarang tawon) untuk
pengembangbiakan mikroorganisme. Senyawa polutan yang ada di dalam
air limbah, misalnya BOD dan COD akan terdifusi ke dalam lapisan atau
film biologis yang melekat pada permukaan medium. Pada saat yang
bersamaan dengan menggunakan oksigen yang terlarut di dalam air
limbah, senyawa polutan tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme
yang ada di dalam lapisan biofilm dan energi yang dihasilkan akan diubah
menjadi biomassa. (Said, 2001).
4. Waktu Tinggal
Waktu tinggal adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai proses
degradasi materi-materi organik yang sempurna. Waktu tinggal bervariasi
dengan memproses parameter-parameter, seperti memproses suhu dan
komposisi limbah. Waktu tinggal untuk limbah yang diperlakukan dalam
digester mesopilik dalam kisaran 15-30 hari dan 12-14 hari untuk digester
termopilik. (Oktaviani, 2008)

12
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Hasil pemeriksaan kadar BOD limbah cair di outlet IPAL Sentral RSUP
Dr. Kariadi bulan Januari sampai Juni 2014 sebagai berikut:
Tabel 3.1. Hasil Pemeriksaan Kadar BOD dan COD di Outlet IPAL Sentral
Bulan Januari s/d Juni 2014
No Bulan BOD COD Keterangan
1 Januari 11 mg/l 60 mg/l Memenuhi syarat baku mutu
2 Februari 24 mg/l 66 mg/l Memenuhi syarat baku mutu
3 Maret 5 mg/l 32 mg/l Memenuhi syarat baku mutu
4 April 15 mg/l 65 mg/l Memenuhi syarat baku mutu
5 Mei 22 mg/l 58 mg/l Memenuhi syarat baku mutu
6 Juni 29 mg/l 116 mg/l BOD: memenuhi baku mutu
COD: melebihi baku mutu
Baku mutu (Kepmenkes 30 mg /l 80 mg/ l
RI No. 1204 Th. 2004)

Tabel 3.2. Persentase Penurunan Kadar BOD, COD dan Rata – rata suhu dan
pH Bak Anerob
Persentase Rata - Rata
No Bak Anaerob Penurunan
BOD COD Suhu pH
1 Sebelum Adanya Bak Anaerob 75% 59,5% 28,4 8,1
(Sebelum bulan Maret)
2 Setelah Adanya Bak Anaerob 85,9% 88,2% 29,3 7,6
(Setelah bulan Maret)

B. Pembahasan
Berdasarkan data tabel 3.1 hasil pemeriksaan kadar BOD dan COD
Limbah Cair IPAL Sentral RSUP Dr. Kariadi bulan Januari s/d Juni 2014.

13
Jika dibandingkan dengan Kepmenkes RI No. 1204 Th. 2004, bahwa batas
maksimal kadar BOD dalam air limbah rumah sakit yang diperbolehkan yaitu
30 mg/l. Maka dapat dianalisis bahwa kadar BOD air limbah IPAL Sentral
RSUP Dr. Kariadi masih memenuhi standar baku mutu yang telah ditetapkan.
Pola perubahan kadar BOD di Outlet IPAL Sentral RSUP Dr. Kariadi pada
bulan Janurai sampai dengan Juni 2014 dapat ditunjukkan pada grafik berikut
ini:
35

30

25

20
BOD
15 Baku Mutu

10

0
Januari Februari Maret April Mei Juni

Gambar 3.1. Grafik Pemeriksaan Kadar BOD di Outlet IPAL Sentral Bulan
Januari s/d Juni 2014
Berdasarkan gambar 3.1. hasil pemeriksaan kadar BOD dengan sampel
air limbah yang diambil dari outlet IPAL Sentral menunjukkan bahwa kadar
BOD pada bulan Januari sampai dengan Februari 2014 mengalami
peningkatan yang signifikan. Namun pada bulan Februari sampai Maret 2014
kadar BOD mengalami penurunan tajam yaitu dari 24 mg/lt menjadi 5 mg/lt.
Pada bulan Maret sampai Juni 2014 kadar BOD mengalami peningkatan
kembali. Kadar BOD dari bulan maret sampai Juni 2014 mengalami
peningkatan sangat signifikan, namun peningkatan kadar BOD pada bulan
Maret sampai Juni 2014 masih dalam standar baku mutu air limbah rumah
sakit yang diatur dalam Kepmenkes RI No. 1204 Th. 2004. Berdasarkan hal
tersebut dapat diketahui bahwa kadar BOD yang diambil di outlet IPAL
Sentral dari bulan Januari sampai Juni 2014, walaupun kadar BOD dari
Januari sampai Juni mengalami peningkatan, penurunan, dan peningkatan

14
kembali (bersifat fluktuatif) namun kadar BOD dari bulan Januari sampai
Juni masih dalam standar baku mutu air limbah rumah sakit.
Kadar BOD di outlet IPAL Sentral dari bulan Januari sampai Juni 2014
bersifat fluktuatif. Hal itu disebabkan oleh faktor kualitas air limbah rumah
sakit yang diolah. Faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas limbah
adalah sebagai berikut :
1. Volume limbah
Banyak sedikitnya limbah  memengaruhi kualitas limbah.
2. Kandungan limbah
Kualitas limbah dipengaruhi oleh kandungan bahan pencemar.
3. Frekuensi pembuangan limbah
Pembuangan limbah dengan frekuensi yang sering akan menimbulkan
masalah.

Pola perubahan kadar COD di Outlet IPAL Sentral RSUP Dr. Kariadi
pada bulan Janurai sampai dengan Juni 2014 dapat ditunjukkan pada grafik
berikut ini:
140

120

100

80
COD
60 Baku Mutu
40

20

0
Januari Februari Maret April Mei Juni

Gambar 3.2. Grafik Pemeriksaan Kadar COD di Outlet IPAL Sentral Bulan
Januari s/d Juni 2014
Berdasarkan gambar 3.2. hasil pemeriksaan kadar COD yang sampel air
limbahnya diambil di outlet IPAL Sentral menunjukkan bahwa kadar COD
pada bulan Januari sampai Mei 2014 mengalami perubahan kadar COD yang
fluktuatif. Namun pada bulan Mei sampai Juni 2014 kadar COD mengalami

15
peningkatan yang tajam yaitu dari 58 mg/lt menjadi 116 mg/lt. Kadar COD
pada bulan Juni 2014 melebihi standar baku mutu air limbah rumah sakit
yang diatur dalam Kepmenkes RI No. 1204 Th. 2004. Kadar COD di outlet
IPAL Sentral dari bulan Januari sampai Juni 2014 yang cenderung fluktuatif,
disebabkan oleh faktor kualitas air limbah yang meliputi volume limbah,
kandungan limbah, dan frekuensi pembuangan limbah.
Berdasarkan tabel 3.2 persentase penurunan kadar BOD dan COD
menunjukkan bahwa persentase penurunan kadar BOD lebih besar setelah
adanya bak anaerob dibandingkan dengan sebelum adanya bak anerob yaitu
dari penurunan 75% menjadi 85,9%. Sedangkan persentase penurunan kadar
COD lebih besar setelah adanya bak anaerob dibandingkan dengan sebelum
adanya bak anerob yaitu dari penurunan 59,5% menjadi 88,2%. Faktor yang
mempengaruhi proses anaerob salah satunya yaitu temperatur (suhu), pH, dan
jenis media yang digunakan.
Pada tabel 3.2 rata – rata suhu air limbah di IPAL Sentral sebelum
adanya bak anaerob yaitu 28,4 sedangkan rata – rata suhu air limbah setelah
adanya bak anaerob yaitu 29,3. Pada proses anaerob suhu sangat berpengaruh,

kecepatan fermentasi meningkat bila suhu mendekati 300C. Selain itu proses
pembentukan metana bekerja pada rentang mendekati 30-40°C. Bakteri akan
menghasilkan enzim yang lebih banyak pada suhu optimum. Semakin tinggi
suhu maka bakteri akan semakin berkurang. Suhu air limbah IPAL Sentral
setelah adanya bak anerob rata – rata sebesar 29,3. Hal ini berarti bahwa
proses anaerob di dalam bak anaerob IPAL Sentral berjalan dengan efektif
karena proses fermentasi dan pembentukan metana berkerja optimal pada

suhu mendekati 300C.


Tabel 3.2 menunjukkan bahwa rata – rata pH air limbah di IPAL
Sentral sebelum adanya bak anaerob yaitu 8,1 sedangkan rata – rata suhu air
limbah setelah adanya bak anaerob yaitu 7,6. Parameter pH sangat
mempengaruhi proses pengolahan limbah secara anaerob. Nilai pH air limbah
diusahakan berkisar antara 6 dan 8 agar perkembangan mikroorganisme
dalam bak anerob sangat cepat. Nilai pH yang terlalu tinggi (> 8) akan
menghambat aktivitas mikroorganisme sedangkan nilai pH di bawah 6 akan

16
mengakibatkan pertumbuhan jamur dan terjadi persaingan dengan bakteri
dalam metabolisme materi organik. pH air limbah IPAL Sentral setelah
adanya bak anerob rata – rata sebesar 7,6 lebih efektif daripada pH air limbah
sebelum adanya bak anaerob. Hal ini karena pH sekitar 6 – 8 dapat
mempercepat pertumbuhan mikroorganisme. Semakin cepat bakteri tumbuh
maka proses biodegradasi zat organik maupun anorganik semakin cepat
sehingga penurunan kadar BOD dan COD juga akan semakin tinggi.
Media yang digunakan dalam bak anaerob di IPAL Sentral yaitu media
biofilm sarang tawon. Proses pengolahan air limbah dengan proses biofilm
sarang tawon dilakukan dengan cara mengalirkan air limbah ke dalam bak
anaerob yang di dalamnya diisi dengan media penyangga (media sarang
tawon) untuk pengembangbiakan mikroorganisme. Senyawa polutan yang
ada di dalam air limbah, misalnya BOD dan COD akan terdifusi ke dalam
lapisan atau film biologis yang melekat pada permukaan medium. Pada saat
yang bersamaan dengan menggunakan oksigen yang terlarut di dalam air
limbah, senyawa polutan tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang
ada di dalam lapisan biofilm dan energi yang dihasilkan akan diubah menjadi
biomassa. Sehingga dengan adanya media biofilm tipe sarang tawon dalam
bak anaerob IPAL Sentral sangat bermanfaat dalam menurunkan kadar BOD
dan COD.
Berdasarkan hal – hal yang telah dijelaskan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa keberadaan bak anaerob efektif dalam menurunkan kadar
BOD dan COD di IPAL Sentral. Sehingga dengan adanya penambahan bak
anaerob dalam sistem IPAL Sentral dapat menurunkan kadar BOD dan COD
secara lebih optimal. Oleh karena itu untuk proses selanjutnya bak anaerob
harus selalu dikontrol kondisinya agar proses anaerob dalam bak anerob tetap
terus berfungsi optimal.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

17
1. Bak anaerobik berfungsi untuk mereduksi kandungan organik dengan
bantuan bakteri anaerob.
2. Keberadaan bak anaerob dalam sistem IPAL efektif dalam menurunkan
kadar BOD dan COD di IPAL Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang.
3. Persentase penurunan kadar BOD lebih besar setelah adanya bak anaerob
dibandingkan dengan sebelum adanya bak anerob yaitu dari penurunan
75% menjadi 85,9%. Sedangkan persentase penurunan kadar COD lebih
besar setelah adanya bak anaerob dibandingkan dengan sebelum adanya
bak anerob yaitu dari penurunan 59,5% menjadi 88,2%.
4. Faktor yang mempengaruhi proses anaerob salah satunya yaitu
temperatur (suhu), pH, dan jenis media yang digunakan.

B. Saran
1. Untuk proses selanjutnya sebaiknya bak anaerob harus selalu dikontrol
kondisinya agar proses anaerob dalam bak anerob tetap terus berfungsi
optimal.
2. Sebaiknya untuk frekuensi pembuangan limbah diperhatikan agar tidak
menimbulkan masalah.

DAFTAR PUSTAKA

Alaerts, G. 1987. Metoda Penelitian Air. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.

18
Anonimuous. Standar Nasional Indonesia. Air dan air limbah – Bagian 2: Cara
uji Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand/COD) dengan
refluks tertutup secara spektofotometri
Didik Sugeng. P. 2004. Pengolahan Air Limbah. Surabaya: Politeknik Kesehatan
Surabaya.
Driyanti Rahayu. 2007. Produksi Polihidroksialkanoat Dari Air Limbah
Industri Tapioka dengan Sequencing Batch Reaktor, Jurnal Penelitian
Fakultas Farmasi. Universitas Padjadjaran, Bandung.
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius.
Gintings, Perdana., (1992), Mencegah dan Mengendalikan Pencemaran Industri,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Hellawell, J.M, 1989. Biological Indicators of Fresh Water Pollution and
Environmentals Management; Elsevier Science Publisher Ltd. New York.
Lee Kwan Yi and Laksono. The Water. America: Publisher United State of
America. 1978.
Menteri Kesehatan RI. 2004. Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004 Tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. Jakarta.
Metcalf & Eddy. 2003. Wastewater Engineering : Treatment and Reuse, Fourth
Edition, International Edition. New York: McGraw-Hill,
Milan, Kale, M., Indu Mehrotra. 2009. Rapid Determination of Biochemical
Oxygen Demand. Journal of Civil Environment and Engineering. Vol. 1(1)
Monahan, S. E. Fundamentals of Enviromental Chemistry. London: Lewis
Publishers. 1993.
Oktaviani, Dwina. 2008. Degradasi Biowaste dalam Reaktor Batch Anaerob
Sebagai Bagian dari Proses Mechanical Biological Treatment. Laporan
Tugas Akhir. Program Studi Teknik Lingkungan. Bandung
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Jakarta.
Said, idaman nusa. 2001. Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit dengan Proses
Biologis Biakan Melekat Menggunakan Media Plastik Sarang Tawon..
Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol. 2, No.3, September 2001 : 223-240.

19
Said, Nusa Idaman. 2006. Teknologi Pengolahan Limbah Cair Sistem Biakan
Melekat. Jakarta: Badan Pengkajian Penerapan Teknologi.
Salmin. 2000. Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Sungai Dadap, Goba, Muara
Karang dan Teluk Banten. Dalam : Foraminifera Sebagai Bioindikator
Pencemaran, Hasil Studi di Perairan Estuarin Sungai Dadap, Tangerang
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) Dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan.
Oseana
Sastrawijaya, T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Wardhana, W.A. 2010. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi
Offset.
Yudo, S. Kondisi Kualitas Air Sungai Ciliwung di Wilayah DKI Jakarta ditinjau
dari Parameter Organik, Amoniak, Fosfat, Deterjen dan Bakteri Coli.
Jurnal Akuakultur Indonesia, 6. 34-42. 2010.
Zulkifli, Hilda. 2009. Status Kualitas Sungai Musi Bagian Hilir Ditinjau Dari
Komunitas Fitoplankton. Berkala Penelitian Hayati. 15(1): 5-9.

20

Anda mungkin juga menyukai