Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTIKUM

PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI


MODUL : Pengolahan Anaerob
PEMBIMBING : Ahmad Fauzan, S.Pd., M.T.

Tanggal Praktikum : 07 Desember 2021


Tanggal Penyerahan Laporan : 19 Desember 2021

Oleh :
Moch. Regan. Sabela. W 191411050
Muhamad Nur Rojab 191411051
Prans Connery Manurung 191411053
Rheisya Talitha A 191411054

PROGRAM STUDI D-III TEKNIK KIMIA


JURUSAN TEKNIK KIMIA
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkembangan sektor perindustrian di Indonesia memberikan dampak positif
maupun dampak negatif yang ditimbulkan yaitu limbah industri yang kandungan bahan
organik limbah cair cukup tinggi dapat merusak lingkungan. Dibutuhkan perlakuan
khusus untuk menurunkan bahan-bahan berbahaya tersebut sebelum dibuang ke badan
air sehingga sesuai dengan baku mutu limbah cair untuk kegiatan industri yang
dikeluarkan oleh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-
51/MENKLH/10/1995 tanggal 23 Oktober 1995. Pada industri yang limbah cairnya
mengandung bahan organik tinggi, diperlukan suatu pengolahan yang tepat dengan
memanfaatkan aktivitas mikroorganisme.
Mikroorganisme ini dikondisikan secara terkontrol, sehingga aktivitasnya
optimal untuk mendegradasi bahan organik tersebut. Kondisi terkontrol yang dimaksud
adalah kondisi anaerob dimana mikroorganisme dapat hidup di lingkungan tanpa
oksigen, mikroorganisme yang memegang peranan penting yaitu bakteri Asetogenik
dan Methanogenik. Bakteri tersebut mengkonversi bahan organik primer atau sekunder
menjadi gas. Pada umumnya, bahan organik yang terkandung di limbah industri
makanan cukup tinggi, biasanya diukur dengan parameter Chemical Oxygen Demand
(COD) dan Biological Oxygen Demand (BOD) yang merupakan parameter pengukuran
pencemaran air oleh bahan-bahan organik.
Metode pengolahan air limbah secara anaerobic merupakan metode pengolahan
air limbah yang mempunyai kandungan organik tinggi (>2000 mg/L). Pengolahan
anaerobic juga ditujukan untuk menghasdilkan biogas sebagai sumber energi. Metode
pengolahan ini membutuhkan bakteri anaerobic yang pertumbuhannya sangat lambat
dan penjagaan kondisi kedap oksigen yang ketat. Penjagaan kondisi kedap oksigen ini
membutuhkan penanganan khusus dan biaya yang mahal, sehingga biasanya di industri
pengolahan anaerobic dikombinasikan dengan pengolahan aerobik.
1.2 Tujuan Praktikum
Praktikum ini bertujuan untuk:
1) Menentukan konsentrasi awal kandungan organik (COD) dalam umpan dan
konsentrasi kandungan organik (COD) dalam efluen setelah percobaan berlangsung
selama seminggu,
2) Menentukan kandungan Mixed Liquor Volatile Suspended Solid (MLVSS) yang
mewakili kandungan mikroorganisme dalam reaktor,
3) Mempersiapkan nutrisi dalam umpan bagi mikroorganisme pendegradasi air
limbah,
4) Menghitung efisiensi pengolahan dengan cara menentukan persen (%) kandungan
bahan organik yang didekomposisi selama seminggu oleh mikroorganisme dalam
reaktor terhadap kandungan bahan organik mula-mula,
5) Menghitung total gas yang dihasilkan setelah proses berjalan selama seminggu
untuk mengetahui efisiensi pembentukan gas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Limbah
Air limbah adalah air yang tidak bersih dan mengandung berbagai zat yang
dapat membahayakan manusia dan makhluk hidup lainnya dan lazimnya muncul karena
hasil aktivitas manusia, baik dari industri maupun dari rumah tangga [4]. Dengan
konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap
lingkungan dan juga kesehatan manusia sehingga perlu dilakukan penanganan dan
pengolahan terhadap limbah sebelum limbah dibuang ke lingkungan (Askari, 2015).
Air limbah terdiri atas dua jenis apabila dikelompokkan dari asalnya, yaitu air
limbah industry dan air limbah rumah tangga
1. Air Limbah industri adalah air limbah yang berasal dari rangkaian proses
produksi suatu industri. Limbah ini tentu akan mengandung komponen hasil
produksi pada industri sehingga harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang
ke lingkungan. Selain berbentuk cair, limbah yang dihasilkan di Industri bisa
berbentuk padat maupun berbentuk gas dan partikel.
2. Air limbah rumah tangga (sullage) adalah air limbah yang tidak mengandung
ekskreta manusia dan dapat berasal dari buangan kamar mandi, dapur, air cuci
pakaian, dan lain-lain yang mungkin dapat mengandung mikroorganisme
patogen. Air limbah rumah tangga merupakan sumber utama pencemaran di
perkotaan. Volume air limbah rumah tangga bergantung pada volume
pemakaian air penduduk setempat.
Beberapa zat dan material yang dapat menyebabkan polusi air sehingga air dapat
menjadi air limbah diantaranya:
a. Inoganic Salts
b. Asam atau Basa
c. Suspended Solids
d. Floating solids or liquids
e. Microorganism
2.2 Baku Mutu Air
Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya di dalam air. Dari definisi tersebut kita dapat melihat bahwa baku mutu
air dan kriteria mutu air memiliki pengertian yang hampir serupa. Keduanya sama-sama
menetapkan ukuran bagi kualitas sungai. Perbedaannya, kriteria mutu air merupakan
acuan yang berlaku umum bagi setiap peruntukan, sementara baku mutu air berlaku
khusus pada sumber air tertentu, melekat pada kelas air yang telah ditetapkan untuk
sumber air tersebut (atau segmennya).
PP No. 82 Tahun 2001 memperbolehkan Pemerintah atau Pemerintah Daerah
untuk menetapkan baku mutu air yang lebih ketat dibandingkan dengan kriteria mutu
air pada kelas yang sudah ditetapkan dan juga penambahan parameter dalam baku mutu
air. Penetapan baku mutu air oleh Pemerintah dilakukan dengan Keputusan Menteri
untuk sungai yang lintas batas Provinsi dan/atau lintas batas Negara. Sedangkan
penetapan baku mutu air oleh Pemerintah Provinsi dilakukan dengan Peraturan Daerah
untuk sungai yang berada dalam dua atau lebih wilayah Kabupaten/Kota.
Pemerintah atau Pemerintah Provinsi dapat menetapkan baku mutu air yang
lebih ketat dan juga penambahan parameter dalam baku mutu air dengan dasar adanya
kondisi spesifik di masing-masing sungai yang berbeda-beda satu sama lainnya.
Kondisi spesifik ini di antaranya seperti adanya biota dan/atau spesies sensitif yang
perlu dilindungi di dalam suatu sungai. Hal ini relevan karena standar atau ukuran yang
umum di dalam kriteria mutu air belum tentu cukup untuk melindungi hal-hal spesifik
di dalam suatu sungai. Selain berkaitan dengan kondisi spesifik suatu sungai, penetapan
baku mutu air diperlukan untuk menentukan sungai berada dalam kondisi cemar atau
baik. (Mquino, 2020).
Berdasarkan peraturan Menteri lingkungan hidup Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 tentang Baku mutu air limbah, air hasil pengolahan Teknologi pengolahan
air diharapkan dapat menghasilkan nilai seperti pada tabel dibawah ini.
Kadar Paling Tinggi Beban Pencemaran
Parameter
(mg/L) Paling Tinggi (Kg/Ton)
BODs 150 4,5
COD 300 9
TSS 100 3
Sianida (CN) 0,3 0,009
pH 6-9 6-9
30 m3 per ton produk 30 m3 per ton produk
Debit limbah paling tinggi
tapioca tapioca
2.3 Pengolahan Anaerobik
Proses pengolahan air limbah, khususnya yang maengandung pencemar berupa
senyawa organik biodegradable yang tinggi, pengolahan limbahnya menggunakan
aktivitas mikroorganisme untuk menguraikan senyawa pencemar tersebut baik
dengan kondisi aerobik ataupun anaerobik (Mufida, dalam Rahadi, 2018:18).
Limbah dengan beban BOD yang tidak terlalu besar (<2000 mg/L) diolah dengan
proses aerobik, sedangkan limbah dengan beban BOD yang tinggi (>2000 mg/L)
diolah dengan metode anaerobik.
Proses anaerob adalah pengolahan biologi yang memanfaatkan mikroorganisme
dalam mendegradasi bahan organik dalam kondisi tidak didapatkan atau sangat
sedikit oksigen terlarut. Keuntungan dan kerugian pengolahan dengan metode ini
adalah dalam prosesnya menghasilkan energi dalam bentuk biogas, menghasilkan
lumpur yang sedikit, tidak memerlukan lahan yang besar, dan tidak membutuhkan
energi untuk aerasi. Namun proses ini memiliki kekurangan, yaitu proses
pertumbuhan mikroorganismenya lebih lambat hingga berhari-hari bila
dibandingkan dengan mikroorganisme yang tumbuh pada proses aerob.

2.4 Mekanisme Pengolahan Anaerobik


Pada pengolahan anaerobik, penguraian senyawa organik berlangsung secara
bertahap dan pada setiap tahapan ada aktivitas jenis bakteri tertentu yang dominan, dan
setiap jenis bakteri mempunyai kondisi lingkungan optimum yang menjadi salah satu
parameter penting. Tahapan-tahapan yang terjadi secarca berturut-turut adalah proses
hidrolisis, asidogeneseis, dan metanogenesis.
Proses Hidrolisis adalah proses dimana aktivitas kelompok bakteri saprofilik
(bakteri yang kebutuhan makanannya berasal dari jasad yang sudah mati) menguraikan
bahan organik kompleks. Aktivitas terjadi karena bahan organik tidak larut sepeti
polisakarida, lemak, protein dan karbohidrat akan dikonsumsi bakteri saprofilik,
dimana enzim ekstraseluler akan mengubahnya menjadi bahan organik yang larut
dalam air.
Pada proses asidogenesis, bahan organik terlarut akan diubah menjadi asam
organik rantai pendek seperti asam butirat, asam propionat, asam amino, asam asetat
dan asam-asam lainnya oleh bakteri Asidogenik, contohnya adalah bakteri asetogenik
yang berperan dalam pembentukan asam asetat, perombakan asam propionate, asam
butirat, maupun asam rantai panjang lainnya menjadi asam organik yang mudah
menguap seperti asam asetat.
Di proses metanogenesis, terjadi proses konversi asam organik volatile menjadi
gas metana dan karbon dioksida. Lingkungan memberikan pengaruh besar pada laju
pertumbuhan mikroorganisme baik pada proses aerobik maupun anaerobik. Faktor-
faktor yang mempengaruhi proses anaerobik menurut Manurung (dalam Fitrianti,
2017), antara lain temperatur, pH, konsentrasi substrat, dan zat beracun. Gas dapat
dihasilkan jika suhu antara 4 – 60 °C dan suhu dijaga konstan. Berikut merupakan
penggambaran alur proses pengolahan anaerobik.

Gambar 1. Alur proses pengolahan anaerobik

2.5 Klasifikasi Pengolahan Anaerobik

Pengolahan limbah secara anaerobik dibagi berdasarkan sistem pertumbuhan


mikroorganismenya, serta jumlah tahapannya. Teknologi pengolahan limbah secara
anaerobik dapat dikelompokkan berdasarkan sistem pertumbuhan mikroorganismenya
terbagi menjadi tiga antara lain, yaitu pertumbuhan tersuspensi, hybrid, dan
pertumbuhan melekat. Pertumbuhan tersuspensi adalah tipe pertumbuhan dimana
mikroba pendegradasi bercampur merata dengan air limbah dalam peralatan pengolah,
yang terdiri dari digester teraduk sempurna dan kontak anaerob. Bioreaktor hybrid
menggabungkan sistem tersuspensi dan melekat, terdiri dari upflow anaerobic sludge
blanket (UASB), upflow sludge blanket/fix, dan lagoon anaerobik. Pertumbuhan
melekat adalah tipe pertumbuhan dimana mikroba melekat pada bahan pengisi yang
terdapat pada peralatan pengolah air limbah, terdiri dari fixed bed dan fluidized bed.
Berdasarkan jumah tahapan reaksinya, terdapat dua macam pengolahan yaitu
pengolahan satu tahap dan pengolahan dua tahap. Dalam pengolahan satu tahap,
semua reaksi pengolahan mulai dari hidrolisis hingga metanogenesis berlangsung
dalam reaktor yang sama, sedangkan pada pengolahan dua tahap, reaksi hidrolisis
berlangsung di reaktor pertama dan dua reaksi lainnya berjalan di reaktor kedua. pH
optimum reaksi hidrolisis dijaga antara 6,5-7, dan dua reaksi lainnya pada pH 4,5-6,0.
Karena pemisahan tahapan reaksi dan pH yang berbeda inilah, pengolahan dua tahap
diharapkan lebih efisien pada pengolahan limbahnya.
2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi Pengolahan Anaerobik
Lingkungan besar pengaruhnya pada laju pertumbuhan mikroorganisme baik pada
proses aerobik maupun anaerobik. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses anaerobik
antara lain: temperatur, pH, konsentrasi substrat dan zat beracun.
a) Temperatur
Gas dapat dihasilkan jika suhu antara 4 - 60°C dan suhu dijaga konstan. Bakteri
akan menghasilkan enzim yang lebih banyak pada temperatur optimum.
Semakin tinggi temperatur reaksi juga akan semakin cepat tetapi bakteri akan
semakin berkurang. Beberapa jenis bakteri dapat bertahan pada rentang
temperatur tertentu dapat dillihat pada tabel berikut.

Gambar 2. Pengaruh temperatur terhadap daya tahan bakteri

Proses pembentukan metana bekerja pada rentang temperatur 30-40°C, tapi


dapat juga terjadi pada temperatur rendah, 4°C. Laju produksi gas akan naik
100-400% untuk setiap kenaikan temperatur 12°C pada rentang temperatur 4-
65°C. Mikroorganisme yang berjenis thermophilic lebih sensitif terhadap
perubahan temparatur daripada jenis mesophilic. Pada temperatur 38°C, jenis
mesophilic dapat bertahan pada perubahan temperatur ± 2,8°C.
Untuk jenis thermophilic pada suhu 49°C, perubahan suhu yang dizinkan ±
0,8°C dan pada temperatur 52°C perubahan temperatur yang dizinkan ± 0,3°C.
b) pH
Bakteri penghasil metana sangat sensitif terhadap perubahan pH. Rentang pH
optimum untuk jenis bakteri penghasil metana antara 6,4 - 7,4. Bakteri yang
tidak menghasilkan metana tidak begitu sensitif terhadap perubahan pH, dan
dapat bekerja pada pH antara 5 hingga 8,5.
Karena proses anaerobik terdiri dari dua tahap yaitu tahap pambentukan asam
dan tahap pembentukan metana, maka pengaturan pH awal proses sangat
penting. Tahap pembentukan asam akan menurunkan pH awal. Jika penurunan
ini cukup besar, maka aktivitas mikroorganisme penghasil metana akan
terhambat. Untuk meningkatkat pH dapat dilakukan dengan penambahan kapur.
c) Konsentrasi substrat
Sel mikroorganisme mengandung karbon, nitrogen, fosfor dan sulfur dengan
perbandingan 100 : 10 : 1 : 1. Untuk pertumbuhan mikroorganisme, unsur-unsur
di atas harus ada pada sumber makanannya (substart). Konsentrasi substrat
dapat mempengaruhi proses kerja mikroorganisme. Kondisi yang optimum
dicapai jika jumlah mikroorganisme sebanding dengan konsentrasi substrat.
Kandungan air dalam substrat dan homogenitas sistem juga mempengaruhi
proses kerja mikroorganisme. Karena kandungan air yang tinggi akan
memudahkan proses penguraian, sedangkan homogenitas sistem membuat
kontak antar mikroorganisme dengan substrat menjadi lebih intim.
d) Zat beracun
Zat organik maupun anorganik, baik yang terlarut maupun tersuspensi dapat
menjadi penghambat ataupun racun bagi pertumbuhan mikroorganisme jika
terdapat pada konsentrasi yang tinggi. Untuk logam pads umumnya sifat racun
akan semakin bertambah dengan tingginya valensi dan berat atomnya. Bakteri
penghasil metana lebih sensitif terhadap racun daripada bakteri penghasil asam.
Tabel berikut ini menunjukkan senyawa organik dan anorganik yang dapat
menghambat/menjadi racun bagi pertumbuhan mikroorganisme pendegradasi
limbah.

Gambar 3. Senyawa organik terlarut yang menghambat pertumbuhan mikroba


Gambar 4. Zat anorganik yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba

2.7 Mixed Liquor Suspended Solid (MLSS) dan Mixed Liquor Suspended Volatile
Solid (MLVSS)
Air limbah beserta mikroba tersuspensi dalam air limbah tersebut biasa disebbut
dengan mixed liquor. Mixed liqour yang merupakan campuran antara air limbah dengan
biomassa mikroorganisme serta padatan tersuspensi lainnya. MLSS adalah jumlah total
dan padatan tersuspensi yang berupa material organik dan mineral, termasuk di
dalamnya adalah mikroorganisme. MLSS ditentukan dengan cara menyaring lumpur
campuran dengan kertas saring (filter), kemudian filter dikeringkan pada temperatur
105°C, dan berat padatan dalam contoh ditimbang.
Untuk mengetahui kuantitas mikroba tersebut, dilakuka pengukuran kandungan
padatan tersuspensi yang mudah menguap (Mixed Liquor Suspended Volatile
Solid/MLVSS) dalam reaktor. Porsi material organik pada MLSS diwakili oleh
MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup dan mati, dan
hancuran sel (Nelson dan Lowrence, 1980). MLVSS diukur dengan memanaskan
sampel yang telah kering pada 600 – 6500°C, dan nilainya mendekati 65-75% dari
MLSS.
BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1. Alat yang digunakan
Nama Jumlah
Labu Erlenmeyer 250 ml (2 buah)
Corong Gelas 2 buah
Cawan porselin 2 buah
Desikator 1 buah
Neraca analitic 1 buah
Oven 1 buah
Furnace 1 buah
Hach COD Digester 1 buah
Tabung Hach 2 buah
Burret 1 buah
Kleam dan Statif 1 buah
Kertas saring seperlunya

3.1.2. Bahan yang digunakan


Nutrisi
- Glukosa 2,0 g/L
- NH4HCO3 0,15 g/L
- KH2PO4 0,15 g/L
- NAHCO3 0,5 g/L
- K2HPO4 0,5 g/L
Trace Metal Solution A : 1 mL
MgSO4.7H2O 5 gram/L
Trace Metal Solution B : 1 mL
FeCl3 5 gr/Lt
CaCl2 5 gr/Lt
KCl 5 gr/Lt
CoCl2 1 gr/Lt
NiCl2 1 gr/Lt
FAS
Larutan Ferro ammonium sulfat dengan konsentrasi 0,1 N. larutan ini
digunakan sebagai larutan titrasi, tetapi larutan sebelumnya telah dicampurkan
dengan indicator ferroin.
3.2 Cara Kerja
3.2.1. Tahap Percobaan
Aklimatisasi mikroba dengan memberikan laju alir umpan yang rendah (±0.3 L/s)
kemudian naikkan laju alir sebesar 0.2 L/s hingga mencapai laju 1.5 L/s. Setelah 1.5
L/s hentikan kenaikan laju alir dan biarkan selama beberapa hari

Tentukan COD awal dalam Reaktor 1 maupun Reaktor 2 sebelum penambahan nutrisi
bagi mikroorganisme

Tentukan Umpan COD

Tentukan kandungan mikroorganisme dalam Reaktor 1 dan 2 dengan menentukan


MLVSS secara gravimetri

Lakukan percobaan inti yang meliputi pengaruh pengolahan dua tahap, pengaruh
suhu, dan pembebanan hidrolisis.

Tentukan konsentrasi organik (COD) dari efluen reaktor 1 maupun reaktor 2 setelah
proses berjalan selama seminggu untuk mengetahui efisiensi pengolahan

Catat total gas yang terbentuk pada Reaktor 1 maupun Reaktor 2 setelah proses
berjalan selama seminggu untuk mengetahui efisiensi pembentukan gas

3.2.2. Penentuan Konsentrasi Nutrisi Bagi Mikroorganisme


Nutrisi bagi mikroorganisme pendegradasi air limbah yang
diberikan sebesar 2000 mg COD/L. Nutrisi dalam umpan ini dibuat
secara sintetis dengan mencampurkan glukosa, Amonium Hidrogen
Karbonat, Kalium Dihidrogen Karbonat, Natrium Hidrogen Karbonat,
Kalium.
3.2.3. Pengaruh pengolahan dua tahap

Atur pH mixed liquor untuk Reaktor 1 sebesar 5,8 dengan menggunakan HCl pekat. Atur pH mixed
liquor untuk Reaktor 2 pada pH netral

Atur suhu kedua reaktor pada 35-37°C

Lakukan aklimatisasi. Gunakan air limbah sintetis yang telah disiapkan

Gunakan efluen dari Reaktor 1 sebagai umpan Reaktor 2. Atur laju alir umpan pada Reaktor 1 sebesar
2.5-3.5 L/s dan Reaktor 2 pada 1 - 1.5 L/s.

Lakukan pengumpanan selama seminggu dan amati volume gas yang terbentuk dan penurunan COD
yang terjadi pada masing-masing reaktor.

3.2.4. Penentuan kandungan organic (COD) dari sampel

Masukkan 2.5 mL sampel + 1.5 mL pereaksi Kalium dikromat + 3.5 mL pereaksi asam
sulfat pekat

Masukkan 2.5 mL aquades + 1.5 mL pereaksi Kalium dikromat + 3.5 mL pereaksi asam
sulfat pekat (sebagai blanko)

Masukkan tabung Hach pada Hach COD Digester dan panaskan pada suhu 150°C selama
2 jam

Keluarkan tabung Hach dari COD Digester dan biarkan dingin pada udara terbuka.
Setelah tabung menjadi dingin, titrasi dengan larutan FAS 0.1 N menggunakan indikator
Ferroin (2-3 tetes) hingga perubahan warna dari hijau menjadi coklat

Perhitungan
𝑶𝟐⁄ (𝒂 − 𝒃)𝒄 × 𝟏𝟎𝟎𝟎 × 𝒅 × 𝒑
𝑪𝑶𝑫 (𝒎𝒈 𝑳 ) =
𝒎𝒍 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍
Keterangan :
a = mL FAS untuk blanko
b = mL FAS untuk Sampel
c = Normalitas FAS
d = Berat Ekivalen Oksigen (8)
p = Pengenceran
3.2.5. Penentuan kadungan MLVSS

Memanaskan cawan pijar selama 1 jam dalam furnace pada suhu 600˚C dan
memanaskan kertas saring selama 1 jam dalam oven pada suhu 105˚C.

Menimbang sampai didapat berat konstan dari cawan pijar (a gram) maupun kertas
saring (b gram). Menggunakan desikator untuk menurunkan suhu cawan pijar maupun
kertas saring selama penimbangan.

Menyaring 40 mL air limbah sampel dengan menggunakan kertas saring yang sudah
diketahui beratnya.

Memasukkan kertas saring yang berisi endapan ke dalam cawan pijar dan memanaskan
dalam oven pada suhu 105˚C selama 1 jam.

Menimbang cawan pijar yang berisi kertas saring dan endapan sampai didapat berat
konstan (c gram).

Memasukkan cawan pijar yang berisi kertas saring dan endapan ke dalam furnace
600˚C Selama 2 jam.

Menimbang hingga mendapat berat konstan (d gram).

Perhitungan
- Total Suspended Solid (TSS)
𝑚𝑔 (𝑐−𝑎)
TSS ( ) = 𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 × 106
𝐿

- Mixed Liquid Volatile Suspended Solid (MLVSS)


𝑚𝑔 𝑐 − 𝑑(𝑔𝑟𝑎𝑚)
MLVSS ( ⁄𝐿) = × 106
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒(𝑚𝑙)
- Fixed Suspended Solid (FSS)
𝑚𝑔 𝑚𝑔
FSS ( ⁄𝐿) = (TSS − MLVSS)
𝐿𝑡
BAB IV

PENGOLAHAN DATA

4.1 Data Pengamatan


4.1.1. Data untuk perhitungan kandungan Chemical Oxygen Demand (COD)
Minggu Awal (COD Awal)
- Volume FAS Sampel (b) = 3,25 mL
- Volume FAS Blanko (a) = 4,8 mL
- Normalitas FAS (c) = 0,1 N
- Berat Equivalen Oksigen (d) =8
- Jumlah Pengenceran (p) = 25
Setelah satu bulan (COD Akhir)
- Volume FAS Sampel (b) = 2,2 ml
- Volume FAS Blanko (a) = 2,6 ml
- Normalitas FAS (c) = 0,1
- Berat Equivalen Oksigen (d) =8
- Jumlah Pengenceran (p) = 25
4.1.2. Data untuk perhitungan Mixed Liquor Volatile Suspanded Solid (MLVSS)
Kondisi Awal

Berat Cawan Kering Awal (a) = 40,2256 gr

Berat Kertas Saring (b) = 0,7876 gr.

Berat Cawan + Endapan + Kertas Saring Setelah Oven (c) = 42,6232 gr

Berat Cawan+Endapan + Kertas Saring Setelah Furnace (d)= 41,2389 gr

Kondisi Akhir
Berat Cawan Kering Awal (a) = 34,3817 gr
Berat Kertas Saring (b) = 0,7492 gr
Berat Cawan + Endapan + Kertas Saring Setelah Oven (c) = 36,6450 gr
Berat Cawan+Endapan + Kertas Saring Setelah Furnace (d)= 35,6332 gr
4.2. Pengolahan Data
4.2.1. Penentuan Konsentrasi Awal Chemical Oxygen Demand (COD)
COD Awal
𝑂2⁄ (𝑎 − 𝑏)𝑐 × 1000 × 𝑑 × 𝑝
𝐶𝑂𝐷 (𝑚𝑔 𝐿) = 𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝑂2⁄ (4,8 − 3,25) × 0,1 × 1000 × 8 × 25
𝐶𝑂𝐷 (𝑚𝑔 𝐿 ) =
2,5
𝑶𝟐⁄ 𝑶𝟐⁄
𝑪𝑶𝑫 (𝒎𝒈 𝑳) = 𝟏𝟐. 𝟒𝟎𝟎 𝒎𝒈 𝑳

COD Akhir
𝑂2⁄ (𝑎 − 𝑏)𝑐 × 1000 × 𝑑 × 𝑝
𝐶𝑂𝐷 (𝑚𝑔 𝐿) = 𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
𝑂2⁄ (2,6 − 2,2) × 0,1 × 1000 × 8 × 25
𝐶𝑂𝐷 (𝑚𝑔 𝐿 ) =
2,5
𝑶𝟐⁄ 𝑶𝟐
𝑪𝑶𝑫 (𝒎𝒈 𝑳) = 𝟑𝟐𝟎 𝒎𝒈 ⁄𝑳

4.2.2. Penentuan Kandungan Mixed Liquor Volatile Suspended Solid (MLVSS)


Kondisi Awal
Total Suspended Solid (TSS)
𝑚𝑔 (𝑐−𝑎)
TSS ( ) = 𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 × 106
𝐿
𝑚𝑔 (42,6232−40,2256) 𝑔𝑟𝑎𝑚
TSS ( )= × 106
𝐿 40 𝑚𝐿
𝑚𝑔
TSS ( ) = 59.940 𝑚𝑔/𝐿
𝐿

Mixed Liquid Volatile Suspended Solid (MLVSS)


𝑚𝑔 𝑐 − 𝑑(𝑔𝑟𝑎𝑚)
MLVSS ( ⁄𝐿) = × 106
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒(𝑚𝑙)
𝑚𝑔 42,6232 − 41,2389(𝑔𝑟𝑎𝑚)
MLVSS ( ⁄𝐿) = × 106
40 𝑚𝑙
𝑚𝑔
MLVSS ( ⁄𝐿) = 34.607,5 𝑚𝑔/𝐿𝑡
Fixed Suspended Solid (FSS)
𝑚𝑔 𝑚𝑔
FSS ( ⁄𝐿) = (TSS − MLVSS)
𝐿𝑡
𝑚𝑔 𝑚𝑔
FSS ( ⁄𝐿) = (59.940 − 34.607,5)
𝐿
𝑚𝑔 𝑚𝑔
FSS ( ⁄𝐿) = 25.332,5
𝐿
4.2.3. Kondisi Akhir
Total Suspended Solid (TSS)
𝑚𝑔 (𝑐−𝑎)
TSS ( ) = 𝑚𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 × 106
𝐿
𝑚𝑔 (36,6450−34,3817) 𝑔𝑟𝑎𝑚
TSS ( )= × 106
𝐿 40 𝑚𝐿
𝑚𝑔
TSS ( ) = 52.082,5 𝑚𝑔/𝐿
𝐿

Mixed Liquid Volatile Suspended Solid (MLVSS)


𝑚𝑔 𝑐 − 𝑑(𝑔𝑟𝑎𝑚)
MLVSS ( ⁄𝐿) = × 106
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒(𝑚𝑙)
𝑚𝑔 36,6450 − 35,6332(𝑔𝑟𝑎𝑚)
MLVSS ( ⁄𝐿) = × 106
40 𝑚𝑙
𝑚𝑔
MLVSS ( ⁄𝐿) = 20.795 𝑚𝑔/𝐿𝑡
Fixed Suspended Solid (FSS)
𝑚𝑔 𝑚𝑔
FSS ( ⁄𝐿) = (TSS − MLVSS)
𝐿𝑡
𝑚𝑔 𝑚𝑔
FSS ( ⁄𝐿) = (52.082,5 − 20.795)
𝐿
𝑚𝑔 𝑚𝑔
FSS ( ⁄𝐿) = 31.287,5
𝐿
4.2.4. Effisiensi pengolahan (%)
𝐶𝑂𝐷 𝐴𝑤𝑎𝑙 − 𝐶𝑂𝐷 𝐴𝑘ℎ𝑖𝑟
𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑜𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 (%) = × 100
𝐶𝑂𝐷 𝐴𝑤𝑎𝑙
(12.400 − 320)𝑚𝑔/𝐿
𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑜𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 (%) = × 100
12.400 𝑚𝑔/𝐿
𝐸𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑜𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 (%) = 97,42%

Data Percobaan
Pengamatan Hasil
Awal 12.400 mg/L
COD
Akhir 320 mg/L
Awal 59.940 mg/L
TSS
Akhir 52.082,5 mg/L
Awal 34.607,5 mg/L
MLVSS
Akhir 20.795 mg/L
Awal 25.332,5 mg/L
FSS
Akhir 31.287,5 mg/L
Efisiensi 97,42%
BAB V
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
• Moch. Regan Sabela W. (191411050)
Pembahasan
Percobaan kali ini yaitu pengolahan limbah secara anaerobic yang dimana
menggunakan mikroorganisme untuk mengurai/ mendegradasi bahan organic tanpa
menggunakan oksigen. Tujuan dari praktikum ini adalah menghitung kadar COD pada
limbah, kandungan MLVSS dan juga effisiensinya. Uji MLSS (Mixed Liqour
Suspended Solid) merupakan uji untuk mengetahui konsentrasi padatan berupa padatan
organik dan mikroorganisme yang terkandung di dalam reaktor, dan nilai MLVSS
(Mixed Liqour Volatile Suspended Solid) adalah pendekatan untuk jumlah populasi
bakteri.
Berdasarkan hasil yang didapatkan bahwa nilai COD awal dan juga nilai COD
akhir penurunannya cukup tinggi yaitu sebesar 97,42%, tetapi hal ini belum bisa
memenuhi standar minimal COD yang dapat dibuang ke lingkungan yaitu sebesar 300
mg O2/L karena nilai COD akhir yang didapatkan adalah sebesar 320 mg O2/L. hal in
ibisa disebabkan karena mikroorganisme pendegradasi limbah berkontak terlalu banyak
dengan oksigen, sehingga pendegradasian tidak berlangsung dengan optimal. Pengaruh
tidak stabilnya suhu pada pemanasan tabung hach juga bisa berpengaruh terhadap hal
tersebut.
Berdasarkan hasil percobaan, nilai MLVSS awal didapatkan sebesar 34.607,5
mg/L dan nilai MLVSS akhir sebesar 20.795 mg/L. Dengan adanya data bahwa nilai
MLVSS mengalami penurunan adalah berarti kandungan mikroorganisme
pendegradasi limbah berkurang seiring berjalannya waktu. Hal ini bisa terjadi karena
nutrisi yang seharusnya diberikan kepada mikroorganisme tidak diberikan sehingga
mikroorganisme bisa saling memakan yang membuat populasi nya menjadi semakin
sedikit.

Kesimpulan
1. Konsentrasi COD awal sebesar 12.400 mg O2/L dan konsentrasi COD akhir
sebesar 320 mg O2/L.
2. Effisiensi penurunan COD sebesar 97,42%.
3. , nilai MLVSS awal didapatkan sebesar 34.607,5 mg/L dan nilai MLVSS akhir
sebesar 20.795 mg/L.
• Muhamad Nur Rojab (191411051)
PEMBAHASAN

Pada percobaan ini dilakukan pengolahan limbah dengan menggunakan metode


anaerobik. Pengolahan limbah secara anaerobik adalah pengolahan limbah secara
biologi yang memanfaatkan mikroorganisme untuk mendegradasi bahan organik
dengan kondisi yang tidak memerlukan oksigen atau dengan sedikit oksigen yang
terlarut. Tujuan praktikum ini adalah untuk menentukan konsentrasi akhir kandungan
organik (COD) umpan dan effluen, menentukan kandungan MLVSS (Mixed Liquor
Vapour Suspended Solid), dan menghitung efisiensi pengolahan dari nilai COD yang
didapat.

Sebelum melakukan percobaan, nutrisi dimasukkan ke dalam reaktor yang


berfungsi sebagai sumber makanan untuk mikroorganisme pendegradasi limbah.
Selanjutnya dilakukan pengukuran COD dan MLVSS.

• COD (Chemical Oxygen Demand)


Pengukuran COD atau Chemical Oxygen Demand dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui jumlah senyawa organik dalam sampel dan menunjukkan kadar
oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat organik dalam limbah.
Pada pengukuran COD, dilakukan dengan mereaksikan sampel yang telah
diencerkan, aquadest sebagai blanko, dan umpan dengan kalium bikromat yang
berfungsi untuk mengoksidasi bahan organik dalam air dan pereaksi asam sulfat pekat
untuk mempercepat reaksi atau sebagai katalisator. Setelah ditambah dengan pereaksi,
kemudian dimasukkan ke dalam Hach COD Digester untuk dipanaskan. Kemudian,
sampel dititrasi menggunakan larutan Ferro Amonium Sulfat (FAS) ditambah dengan
indikator feroin. FAS bertujuan untuk mengetahui kalium bikromat yang tidak
tereduksi.
Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh nilai COD umpan sebesar 1800 mg
O2/l, COD awal sebesar 12.400 mg O2/L, dan COD akhir sebesar 320 mg O2/L. Dari
penurunan nilai COD atau kandungan organik dalam limbah didapatkan efisiensi proses
sebesar 97,42%. Meskipun efisiensi penurunan kandungan organik dalam limbah yang
didapatkan tinggi yaitu sebesar 55,55%, namun hasil akhir dari proses ini masih tinggi
di mana nilai COD akhir lebih tinggi jika dibandingkan dengan baku mutu yang
ditetapkan oleh Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 72 tahun 2013 yaitu sebesar
300 mg O2/L. Hal tersebut dapat disebabkan oleh temperatur pada Hach COD Digester
yang tidak stabil dan juga kemungkinan kontak dengan oksigen sehingga proses
degradasi limbah oleh mikroorganisme anaerob sedikit terganggu. Kondisi tersebut
dapat mempengaruhi proses anaerob dalam reaktor.
• MLVSS
Pengukuran MLVSS pada limbah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
jumlah mikroorganisme yang ada di dalam limbah atau menunjukkan bahan organik
yang mudah teruapkan. Nilai MLVSS sama dengan nilai VSS.
Dari hasil percobaan, diperoleh berat cawan pijar kosong (a) sebesar 34,3817
gram; berat kertas saring kosong (b) sebesar 0,7492 gram; berat cawan pijar berisi
kertas saring dan endapan setelah masuk oven (c) sebesar 36,6450 gram; dan setelah
masuk furnace (d) sebesar 35,6332 gram. Dari nilai tersebut, diperoleh nilai VSS
(Volatie Suspended Solid) sebesar 20.795 mg/L. Nilai VSS sama dengan nilai MLVSS
di mana proses ini dipanaskan dalam furnace sehingga didapatkan nilai atau berat
padatan tersuspensi yang mudah menguap. Pengukuran ini juga dilakukan untuk
mengetahui jumlah mikroorganisme yang mendegradasi bahan organik dalam limbah.
Dari nilai yang diperoleh, nilai tersebut belum memenuhi baku mutu. Selain dari nilai
MLVSS, diperoleh nilai TSS (Total Suspended Solid) dan FSS (Fixed Suspended Solid)
sebesar 52.082,5 mg/L. TSS menunjukkan nilai padatan tersuspensi yang terendapkan,
di mana baku mutu yang ditetapkan oleh Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 72
tahun 2013 yaitu sebesar 300 mg/L. Sedangkan FSS (Fixed Suspended Solid) adalah
padatan tersuspensi yang tidak menguap didapat dari TSS dikurangi VSS diperoleh
hasilnya sebesar 31.287,5 mg/L.
Baik dari ketiga nilai di atas yaitu VSS, TSS, dan FSS, nilai tersebut masih
tinggi. Hal tersebut disebabkan karena proses pengolahan secara anaerobik yang belum
optimum untuk menurunkan nilai MLVSS. Selain itu, hal diatas dapat disebabkan
karena endapan dalam sampel yang tidak tertahan oleh kertas saring sehingga
pengukuran MLVSS tidak akurat.

KESIMPULAN
1. Konsentrasi awal kandungan organik (COD) dalam umpan sebesar 12.400 mg O2/L
dan konsentrasi kandungan organik (COD) dalam efluen setelah percobaan
berlangsung selama seminggu sebesar 320 mg O2/L. Kandungan COD ini tidak
cocok diolah secara anaerobic karena berdasarkan teori pengolahan secara anaerobik
digunakan untuk air limbah yang memiliki COD > 2000 mg O2/L
2. Kandungan Mixed Liquor Volatile Suspended Solid (MLVSS) yang mewakili
kandungan mikroorganisme dalam reaktor sebesar 20.795 mg/L. Nilai MLVSS ini
berada pada luar rentang optimumnya yaitu 3000-4000 mg/L dikarenakan waktu
pemanasan kurang lama serta mikroorganisme kekurangan nutrisi.
3. Efisiensi penurunan COD yang berlangsung selama seminggu pada proses anaerobic
yaitu sebesar 97,42 %

• Prans Connery M. (191411053)

Pembahasan

Praktikum kali ini dilakukan pengolahan limbah secara biologis menggunakan


pengolahan anaerob. Pengolahan anaerob merupakan pengolahan tanpa melibatkan
oksigen dalam sistem mikroorganisme. Praktikum ini melihat beberapa parameter
diantaranya perhitungan nilai COD dengan tujuan untuk mengetahui konsetrasi dari
sistem pengolahan limbah dan efisiensi mikroba dalam mendegredasi limbah. Lalu
mengamati nilai MLVSS yang dilakukan untuk mengetahui jumlah dari mikroba yang
bekerja untuk mendekomposisi limbah.

Pengukuran COD dijadikan acuan dalam pengukuran oksigen yang terlarut


untuk mengoksidasi kandungan organik pada air limbah. Dalam pengolahan anaerob
kadar COD haruslah semakin berkurang dalam artian harus semakin rendah.
Pengujian dilakukan Pada pengukuran sampel yang pertama dilakukan adalah
mengambil 1 ml sample yang kemudian diencerkan sebanyak 25X . Kemudian
diambil 2,5 ml dari hasil pengenceran. Selain itu disiapkan gelas kimia yang berisi air
aquades. Pada gelas sampel dan gelas aquades ditambahkan 1,5 ml pereaksi kalium
dikromat dan 3,5 ml asam sulfat pekat yang kemudian dipanaskan dalam Hach COD
Digester. Pada alat di setting suhu 105℃ selama waktu proses 1 jam. Setelah itu
dilakukan titrasi dengan menggunakan larutan Fero Alumunium (FAS) 0,1N dengan
bantuan indicator feroin hingga warna berubah menjadi coklat. Lalu didapat volume
FAS pada volume, sample dan blanko. Volume FAS ini digunakan untuk
memperhitungkan nilai COD. Nilai COD awal didapat sebesar 12.400 mg/L
sedangkan pada nilai COD akhir 320 mg/L. Nilai COD mengalami penurunan dari
COD awal hingga COD akhir, kondisi ini dikatakan bahwa kandungan organik dalam
air limbah semakin berkurang dan kualitas air semakin membaik. Nilai efisiensi dari
pengolahan limbah anaerob ini didapat sebesar 97,42%.

Praktikum kali ini juga mengamati nilai MLVSS, TSS dan FSS. Kandungan
MLVSS merupakan bahan organik yang mudah teruapkan yang jumlahnya mewakili
jumlah mikroorganisme yang ada didalamnya. Hal ini didapat berasal dari bahan
organik yang mudah menguap seperti protein, karbohidrat, glukosa dll yang terdapat
dalam bakteri sehingga jumlahnya dapat mewakili banyak nya bakteri didalam
sampel. Untuk mengukur nilai MLVSS dapat dialakukan dengan metode pemanasan.
Pertama-tama cawan pijar dipanaskan di furnance dan kertas saring dipanaskan di
oven, tujuannya supaya kadar air di cawan pijar dan kertas saring menghilang
sehingga hasil perhitungan akan lebih akurat. Setelah itu air limbah sampel disaring,
kemudian dimasukkan ke dalam oven dan kemudian dimasukan ke furnance.
Berdasarkan hasil percobaan didapat nilai MLVSS awal dengan angka 34.607,5 mg/L
sedangkan nilai MLVSS akhir didapat sebesar 20.795 mg/L. Penurunan nilai MLVSS
ini dapat dikatakan bahwa berkurangnya pertumbuhan mikroorganismw pendegredasi
dalam reactor. Pengurangan ini bisa terjadi karena nutrisi yang seharusnya dijadikan
pakan mikroorganisme terhenti, yang mengakibatkan sifat karnibalisme antar mikroba
terjadi.

Kesimpulan

1. Nilai kandungan organik awal (COD) didapat sebesar 2.400 mg/L, sedangkan pada
pengukuran niali kandungan organik akhir (COD) didapat sebesar 320 mg/L.
2. Kandungan MLVSS di awal sebelum furnace didapat sebesar 34.607,5 mg/L
sedangakn pada kandungan MLVSS akhir setelah furnace didapat sebesar 20.795
mg/L.
3. Nutrisi yang digunakan untuk mikroorganisme yang digunakna adalah air limbah
yang telah dicampur glukosa, ammonium hydrogen karbonat, kalium dihydrogen
karbonat, natrium hydrogen karbonat dan kalium.
4. Pengolahan dengan metode enaerob ini menghasilkan effisiensi sebesar 97,42%

• Rheisya Talitha A. (191411054)


PEMBAHASAN
Sebelum membuang limbah hasil proses industri ke lingkungan, tentu perlu
dilakukan serangkaian pengolahan agar kandungan pencemar dapat berkurang dan
memenuhi baku mutu yang telah diterapkan oleh pemerintah. Salah satu dari usaha
untuk mengurangi kandungan zat pencemar ini adalah dengan melakukan pengolahan
anaerobik. Pengolahan anaerobik merupakan pengolahan air limbah dengan
mikroorganisme tanpa menggunakan oksigen (udara). Adanya oksigen dalam sistem
pengolahan dapat menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme pendekomposisi bahan-
bahan organik dalam air limbah terganggu. Pengolahan secara anaerobik digunakan
untuk air limbah yang mengandung bahan organik (COD) ≥ 2000 mg/L. Dalam sampel
limbah, ditambahkan nutrisi sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme yang akan
mendekomposisi bahan organik sehingga menurunkan kandungan organik dalam
sampel. Pada praktikum kali ini, dilakukan pengolahan

Pada pengukuran COD efluen yang berguna untuk mengetahui kandungan


organik dan mengetahui banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi
kandungan oraganik tersebut, sampel diencerkan terlebih dahulu sebelum dicampur
dengan pereaksi lain dan dilakukan titrasi untuk mempermudah penentuan titik akhir
titrasinya serta supaya Hach COD Digester dapat bekerja dengan baik. Semakin tinggi
nilai COD, kandungan organik dalam sampel pun semakin banyak, dan kualitas air
semakin buruk. Dalam analisis COD, reaksi yang terjadi adalah reaksi redoks dalam
keadaan asam. Sampel yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam tabung Hach,
kemudian ditambah 1,5 ml larutan kalium bikromat yang merupakan oksidator kuat
sebagai sumber oksigen dan kemudian ditambahkan 3,5 ml larutan asam sulfat pekat
untuk menghilangkan gangguan dari klorida dan mempercepat reaksi sebelum
dipanaskan ke dalam COD Digester. Sampel dan blanko yang dipanaskan kemudian
dititrasi menggunakan larutan FAS 0,1 N dengan indicator ferroin setelah kedua larutan
tersebut dingin. Penitrasian dengan larutan FAS bertujuan untuk mengetahui kalium
bikromat yang tidak tereduksi. Blanko berfungsi sebagai faktor pengkoreksi untuk
menghindari adanya zat organik dari pelarut yang ikut teroksidasi saat reaksi
berlangsung sehingga volume titran yang diperoleh dari proses titrasi hanya volume
titran yang bereaksi dengan sampel. Selain pengukuran nilai COD, MLVSS juga perlu
dilakukan pengukuran untuk mengetahui kuantitas mikroba yang mendekomposisi
bahan organik. Nilai MLVSS diperoleh dari berat kertas saring yang berisi sampel yang
telah disaring dan dipanggang dalam furnace selama 1 jam pada suhu 600°C. MLVSS
sama dengan nilai VSS.VSS merupakan kandungan organik yang mudah teruapkan,
yang nilainya dapat mewakili jumlah mikroorganisme yang ada di dalamnya.

Dari percobaan yang telah dilakukan, nilai COD, TSS, MLVSS, dan FSS awal
secara berturut-turut adalah 12400 mg/L, 59940 mg/L, 34607,5 mg/L, dan 25332,5
mg/L. Setelah dilakukan pengolahan selama seminggu, nilai-nilai tersebut menurun.
Nilai COD setelah pengolahan menurun menjadi 320 mg/L, TSS menurun ke angka
52.082,5 mg/L, MLVSS menjadi 20795 mg/L, tetapi FSS naik menjadi 31.287,5 mg/L.
Meskipun nilai COD telah menurun jauh dari sebelumnya, tetapi nilai-nilai lain masih
tergolong cukup tinggi. Nilai TSS dan MLVSS juga tidak menunnjukkan penurunan
yang begitu signifikan seperti nilai COD. Setelah diperoleh nilai-nilai ini, maka
efisiensi pengolahan dapat dihitung, dan diperoleh efisiensi pengolahan sebesar
97,42%. Bolzonella (dalam Sari, 2017: 56)) menyatakan bahwa efisiensi COD dan TDS
di atas 84%, dan pada percobaan ini, efisiensi yang diperoleh sudah memenuhi dan
bahkan bisa dikatakan cukup tinggi serta efisien dalam menurunkan kadar COD.

Apabila diambil contoh baku mutu limbah cair untuk industri tekstil berdasarkan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 5 Tahun 2014 Tentang
Baku Mutu Air Limbah, nilai yang dihasilkan dari percobaan ini masih belum
memenuhi baku mutu tersebut, terutama nilai TSS-nya. Kadar COD yang diizinkan
pada baku mutu limbah industri tekstil maksimal sebesar 150 mg/L, sedangkan nilai
TSS yang diperbolehkan hanya 50 mg/L. Karena perolehan nilai inilah, maka
diperlukan pengolahan lanjutan supaya parameter-parameter tersebut dapat memenuhi
baku mutu limbah yang telah ditetapkan dan dapat dibuang ke lingkungan dengan
aman.

KESIMPULAN

Dari percobaan dan pengolahan data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Nilai COD mengalami penurunan yang signifikan setelah percobaan selama


seminggu, yaitu dari nilai COD awal 12400 mg/L menurun menjadi 320 mg/L,
2. Kadar MLVSS mengalami penurunan yang lumayan, yaitu dari nilai awal sebesar
34607,5 mg/L menjadi 20795 mg/L,
3. Nutrisi untuk mikroorganisme yang digunakan untuk mendegradasi air limbah
dibuat dari pencampuran glukosa, amonium hidrogen karbonat, kalium dihidrogen
karbonat, natrium hidrogen karbonat, dan kalium,
4. Efisiensi pengolahan pada percobaan ini adalah 97,42%,
5. Limbah cair hasil pengolahan masih belum memenuhi baku mutu air limbah
berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 5
Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah, sehingga diperlukan pengolahan
lanjutan supaya air limbah ini dapat dibuang ke lingkungan.
Daftar Pustaka

Budiastuti, Herawati. Modul Pengolahan Anaerobik Pengolahan Limbah Industri. Bandung:


Politeknik Negeri Bandung.

Fitrianti, Anis Trisna. (2017). PROSES ANAEROBIK SEBAGAI ALTERNATIF UNTUK


MENGOLAH LIMBAH CAIR RUMAH POTONG HEWAN RUMINANSIA [Halaman
web]. Diakses dari http://kesmavet.ditjenpkh.pertanian.go.id/index.php/
berita/tulisan-ilmiah-populer/162-proses-anaerobik-sebagai-alternatif-untuk-
mengolah-limbah-cair-rumah-potong-hewan-ruminansia

Foust A.S., (1980), Principle of Unit Operation, 4 ed., John Wiley and Sons: New York

Indriyati. (2005). PENGOLAHAN LIMBAH CAIR ORGANIK SECARA BIOLOGI


MENGGUNAKAN REAKTOR ANAEROBIK LEKAT DIAM. Jurnal Air Indonesia,
1(3): 340-343. ISSN: 0216-4140

M. Sholichin. (2012). Pengelolaan Air Limbah : PROSES PENGOLAHAN AIR LIMBAH


DENGAN BIAKAN TERSUSPENSI [File PDF]. Diambil dari
http://water.lecture.ub.ac.id/files/2012/03/Limbah-modul_3.pdf

Manurung R. 2004. Proses anaerobik sebagai alternatif untuk mengolah limbah sawit. Jurnal
e-USU Repository Universitas Sumatera Utara: 1-9

Rahadi, dkk. (2018). SISTEM ANAEROBIK-AEROBIK PADA PENGOLAHAN LIMBAH


INDUSTRI TAHU UNTUK MENURUNKAN KADAR BOD5, COD, DAN TSS. Jurnal
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 5(1): 17-26. E-ISSN 2655-9676

Sari, Dessy Agustina dan Sukanta. (2017). KAJIAN KUALITAS LIMBAH CAIR SECARA
ANAEROBIK MELALUI COD, BOD5 , DAN TDS : STUDI KASUS PADA PT JKLMN.
Journal Of Chemical Process Engineering, 2(2): 52-56. ISSN: 2303-3401

Selintung,dkk.tt. Modul Perencanaan Bangunan Pengolahan Air Minum. Program Studi


Teknik Lingkungan, Universitas Hasanuddin

Anda mungkin juga menyukai