Anda di halaman 1dari 12

PERSAHABATAN DAN PERKEMBANGAN REMAJA

Pendahuluan
Manusia itu makhluk multidimensional. Misalnya, manusia itu makhluk rohani dan jasmani,
rasional dan moral, serta individual sekaligus sosial. Sebagai individu manusia lahir dan mati
sendirian. Akan tetapi, ketika menjalani kehidupannya, ia begitu terikat pada alam dan
sesama, bahkan Sang Pencipta. Contohnya, sejak lahir seorang anak dirawat dan dijaga oleh
ibunya. Ibu merawat kekuatan tubuhnya dengan formulasi makananan bergizi dan dengan
pendidikan budi pekerti merawat kesehatan mentalnya. Ibu berusaha mengontrol
keseimbangan kognisi, emosi, dan konasi, bahkan spiritual untuk menjaga keselamatannya.
Harapan terbesar seorang ibu, agar anaknya berkembang menjadi manusia normal. Normal
dalam arti bahwa anak mengenal dirinya sendiri dan mampu mengembangkan potensi dirinya
secara optimal. Untuk itu, bahkan ibu dan ayah menyediakan dan memberikan lingkungan
pendidikan yang kondusif. Misalnya, sampai dengan usia enam tahun seorang anak
diperlakukan seperti seorang raja, sampai dengan usia dua belas tahun seperti budak, sampai
dengan usia delapan belas tahun seperti seorang teman, dan berikutnya diperlakukan seperti
seorang sahabat. Perlakukan ini dimaksudkan agar anak belajar cara bertahan hidup,
mengembangkan hidup, dan mampu mengelola kehidupan secara mandiri. Malahan untuk
mewujudkan kemampuan ini kemudian, ibu dan ayah memberikan lingkungan pendidikan
formal melalui sekolah.

Artinya, walaupun setiap orang lahir dengan potensi bawaan yang unggul, bila tidak
didukung oleh lingkungan yang kondusif, maka perkembangannya tidak optimal. Malahan
ahli psikologi dan pendidikan mengatakan bahwa sebaik apapun hereditas, tanpa lingkungan
pendidikan yang memadai, maka manusia tidak akan berkembang normal. Seperti seorang
Tarzan yang tumbuh dan berkembang dalam rimbanya lingkungan hutan, maka ia tidak akan
mengerti dan memahami cara hidup manusia dalam lingkungan sosial yang berkebudayaan.
Ini menunjukkan bahwa lingkungan memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan dan
perkembangan manusia. Jadi, untuk memperoleh kemandiriannya, orang tidak dapat hidup
sendirian tanpa dukungan dari lingkungannya. Bisa dipahami bahwa interaksi manusia
dengan lingkungannya, baik alam, sosial, maupun kebudayaan menjadi latar pembentukan
masyarakat manusia. Dalam konteks inilah penting dan relevansinya bagi perkembangan
remaja bahwa mereka memerlukan lingkungan pendidikan, berupa persahabatan. Berkaitan
dengan persahabatan, Tu Wei Ming mengatakan bahwa agar pisau dapat memotong dengan
tajam, maka pisau diasah dengan batu asah; sedangkan agar manusia menjadi tajam, maka
manusia diasah lewat pergaulan. Malahan Radhakrisnan mengatakan bahwa persahabatan
adalah kehidupan dan kurangnya persahatan adalah kematian.

Pertemanan dan persahabatan memang merupakan dunianya para remaja. Sebagian besar
remaja melewati kesehariannya bersama dengan teman-teman dan sahabatnya. Mereka
membangun lingkungannya sendiri dalam kelompok teman sebaya (veer group) dengan
berbagai “aktivitas keremajaan”. Ini sebabnya remaja sebagai seorang anak tidak lagi
sepenuhnya menjadi anak orang tuanya, ibu dan ayah. Selain kelompok teman sebaya, juga
media massa begitu dominan mempengaruhi perkembangan remaja. Sekarang ini dunia
begitu disatukan oleh teknologi transfortasi, komunikasi, dan informasi, bahkan bagi remaja
dunia tidak lebih besar dari layar televisi. Bukan hanya sinetron yang mendemonstrasikan
berbagai gaya hidup, tetapi teknologi informasi telah memperpanjang jangkauan inderawi
remaja. Teknologi informasi memungkinkan mereka menjelajahi “dunia maya”, dunia tanpa
batas, sebuah dunia yang telah memasuki dan melingkupi sanubari mereka. Fenomena ini
sekurang-kurangnya ditunjukkan oleh semakin ramainya remaja mengunjungi “warung
internet”, baik di kota-kota besar maupun di pedesaan. Bukan hanya “warnet”, bahkan juga
teknologi komunikasi, berupa telepon seluler telah merebut dan mengubah sedemikian rupa
cara berkomunikasi remaja dengan sesama dan anggota keluarga. Demikian juga dengan
kemajuan teknologi transfortasi, ternyata mobil dan sepeda motor misalnya, bukan hanya
sekadar kendaraan untuk mobilisasi. Melainkan modifikasi dalam berbagai jenis dan model
telah melahirkan budaya jalanan. Oleh karena itu, mobil dan sepeda motor telah menjadi
instrumen berkesenian, bahkan menjadi simbol status.

Patut disadari, baik kelompok teman sebaya maupun kemajuan teknologi tidak serta merta
memberi pengaruh positif terhadap perkembangan remaja. Malahan tidak sedikit memberikan
pengaruh negatif, seperti pesatnya perkembangan budaya jalanan dan semakin berjaraknya
remaja dengan keluarga. Insitusi keluarga termasuk adat yang memiliki peran utama bagi
penanaman nilai budi pekerti kini nyaris dibuat tidak berdaya. Pada masa lalu pengenalan dan
pemahaman nilai-nilai kepada remaja yang begitu sukses diperankan oleh keluarga dan
lembaga adat, tetapi pada masa kini kedua lembaga tersebut harus tunduk dan bertekuk lutut
di hadapan kemajuan teknologi. Akibatnya, perkembangan remaja semakin tak terkontrol dan
semakin jauh dari tujuan pembentukan integritas kepribadiannya.

Apabila kurang optimalnya perkembangan remaja itu lebih banyak disebabkan oleh
lingkungan sosialnya terutama persahabatan dalam kelompok teman sebaya (veer group),
maka untuk mengoptimalkan perkembangannya dapat diasumsikan bahwa yang diperlukan
oleh remaja adalah pengetahuan tentang lingkungan sosialnya sendiri, berupa persahabatan.
Mengingat persahabatan itu merupakan suatu interaksi yang bersifat dinamis sehingga dapat
diasumsikan bahwa yang lebih diperlukan oleh remaja adalah pengetahuan tentang memilih
sahabat dan mengembangkan persahabatan agar lebih produktif terhadap perkembangannya.
Dengannya, remaja mampu membangun persahabatan menjadi lingkungan yang mendidik
sehingga dapat membantu pencapaian kedewasaan dan kematangannya. Inilah yang menjadi
fokus perbincangan tentang persahabatan dan perkembangan remaja.

Memilih Sahabat
Sahabat ialah teman yang biasa diajak berbagi tanpa membagi. Perhatikanlah cara
sekelompok remaja berbagi makanan, katakanlah sepiring rujak. Sesungguhnya mereka
berbagi rujak tanpa pernah membaginya. Mengingat kesenangan mereka bukan terletak pada
banyaknya rujak yang dapat disantap oleh setiap orang, tetapi kesenangan justru terletak pada
caranya menyantap rujak. Mereka menyantap rujak yang sama, dengan piring yang sama, dan
menikmatinya bersama. Akan tetapi, setiap orang tidak perduli pada bagiannya masing-
masing, entah lebih banyak atau lebih sedikit. Setiap orang merasa senang melihat temannya
senang menyantap dan menikmati rujak. Mereka kelihatannya memang membagi rujak, tetapi
setiap orang tidak menghendaki bagian yang sama persis, bahkan masing-masing tidak
menghendaki bagian yang lebih dari yang lain. Mereka tidak menghitung jumlah rujak yang
disantap oleh setiap orang, tetapi mereka merasa senang karena telah berbagi rujak dalam
kebersamaan. Kebersamaan inilah nilai keutamaan yang mereka bangun dalam persahabatan.
Patut dipahami bahwa hanya pikiran yang mampu berbuat demikian, berbagi tanpa membagi.

Apabila hanya pikiran yang mampu membangun kebersamaan, maka remaja harus mau dan
mampu memilih sahabat yang berpikiran positif, karena itu jangan bergaul dengan orang
yang suka membuat penyakit dan membuat orang lain susah. Mengingat dalam dunia sosial
bahwa nilai dan norma dibagi bersama sehingga interaksi sosial menjadi kesatuan individu
dalam hasrat bersatu dan hidup bersama dengan kesetiakawanan sosial yang agung. Di sini
perbuatan membuat orang lain susah akan berakibat menyusahkan diri sendiri karena dunia
sosial itu milik bersama semua warga komunitas. Dunia sosial manusia, seperti sebuah kolam
yang di dalamnya hidup berbagai macam ikan. Tidaklah mungkin membunuh seekor ikan
dengan menuangkan racun ke dalam kolam tersebut. Di samping itu, membuat orang lain
susah itu sama saja menyusahkan diri sendiri karena karma-phala mengajarkan bahwa setiap
perbuatan, baik langsung maupun tidak akibatnya akan kembali kepada diri sendiri. Dengan
demikian, jangan pernah berniat membuat orang lain susah, kalau tidak ingin lingkungan
sosial tempat berlangsungnya kehidupan menjadi resah.

Ini sebabnya jangan bergaul dengan orang yang buruk perilakunya. Dalam dunia sosial, orang
yang buruk perilakunya, seperti duri dalam daging. Bukan hanya daging yang merasa sakit,
tetapi seluruh tubuh, bahkan juga jiwa merasakannya. Perilaku buruk itu begitu mudah
“menular” karena remaja memiliki kecenderungan meniru dengan berpikir, ‘kalau orang lain
boleh, kenapa saya tidak’, bahkan ‘kalau orang lain berani, kenapa saya takut’. Selain itu,
juga karena solidaritas teman sebaya begitu erat, bahkan demi keselamatan temannya, remaja
sanggup melakukan perbuatan di luar kemampuannya. Oleh karena itu, patut diketahui bahwa
perilaku buruk itu ditunjukkan oleh perbuatan melawan aturan dan norma sosial. Misalnya,
perbuatan melanggar tata tertib kalau di sekolah dan suka melawan nasihat orang tua kalau di
rumah. Padahal ibu dan ayah termasuk guru adalah orang yang paling mengharapkan remaja
berkembang menjadi manusia dewasa dan matang. Mereka senantiasa memberikan yang
terbaik buat remaja, bahkan demi anaknya, seorang ibu dan ayah sanggup berbuat melampaui
batas kemampuannya, mengurbankan jiwa sekalipun. Kasih sayang mereka tidak perlu
diragukan karena seorang ibu dan ayah termasuk guru tidak pernah sekalipun berharap agar
anaknya gagal. Sebaliknya, mereka selalu berdoa dan berusaha demi kecermerlangan dan
kegembiraan masa depan anaknya karena di situ mereka meletakkan kebahagiaannya.

Untuk memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya, bahkan orang tua dan guru selalu
berusaha menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif. Lingkungan pendidikan itu
setidak-tidaknya menggambarkan pergaulan yang saling menguntungkan dan dapat
mendukung perkembangan remaja. Misalnya, lingkungan yang sarat dengan suasana belajar
dan proses pembelajaran. Lingkungan yang mendorong perkembangan remaja agar menjadi
manusia cerdas, baik intelektual, emosional, maupun spiritual. Di dalamnya penuh dengan
semangat pengembangan nilai-nilai budi pekerti, seperti moralitas dan kemanusiaan. Inilah
harkat dan martabat manusia yang akan berkembang optimal melalui kegiatan belajar dan
bekerja. Oleh karena itu, jangan bergaul dengan orang malas dan sering lupa. Sifat malas
ditunjukkan oleh keengganan melakukan pekerjaan sehingga lupa pada kewajiban. Malas
bekerja dan lupa kewajiban inilah “virus kehidupan” yang hingga kini belum ditemukan
“vaksinnya”. Ini sebabnya agar terhindar dari “virus kehidupan”, berupa kemalasan dan
kelupaan hindari bergaul dengan orang-orang yang sudah terinfeksi. Artinya, memilih dan
menentukan seorang sahabat memang bukanlah membuat sebuah keputusan yang mudah.
Untuk itu diperlukan pertimbangan yang matang karena “virus kehidupan” begitu cepat
menular melalui persahabatan. Di sinilah perlunya lingkungan persahabatan yang medidik,
agar remaja mampu mengembangkan kompotensi dirinya dalam semangat kewajiban dan
keutamaan hidup.

Untuk memahami nilai-nilai kewajiban dan keutamaan hidup, yang diperlukan oleh remaja,
antara lain mengembangkan kejujuran, karena itu jangan bergaul dengan orang yang suka
berdusta dan berbohong. Mendustai diri sendiri akan mengarahkan perkembangan diri
semakin jauh dari maksud dan tujuan perkembangan itu sendiri. Misalnya, bila orang yang
mendustai dirinya dengan berpura-pura sakit, maka lingkungan akan memperlakukannya
sebagaimana lazimnya orang sakit. Akibatnya, orang itu menderita karena mengalami
kesulitan menyusaikan diri dengan dirinya sendiri dan lingkungannya. Demikian juga orang
yang suka berbohong kepada orang lain. Dengan mengatakan yang sebaliknya dari keadaan
yang sebenarnya sehingga ia pun diperlakukan oleh lingkungan dengan cara yang sebaliknya.
Misalnya, orang yang merasa pintar sehingga lingkungan memperlakukannya sebagaimana
orang pintar. Akibatnya, orang itu tersiksa karena tidak selaras dengan dirinya sendiri dan
lingkungannya. Begitulah kedustaan dan kebohongan senantiasa berakibat pada penderitaan,
karena itu jangan bergaul dengan pendusta dan pembohong. Sebaliknya sangat dianjurkan,
bergaullah dengan orang yang jujur dan orang yang teguh kesetiaannya.

Kenyataannya, kehidupan manusia dilandasi oleh rasa kesetiakawanan sosial yang agung
yang lahir dari hasrat hidup bersatu dalam kebersamaan. Kesetiaan dalam pertemanan dan
persahabatan begitu diperlukan. Orang yang setia itu memiliki sikap dan perilaku yang
konsisten atau taat azas dan tidak plin-plan. Ia selalu hadir, baik dalam suka maupun duka. Ia
selalu siap siaga membantu sahabatnya yang sedang menderita kesusahan. Ia memberi
peringatan ketika sahabatnya dalam bahaya. Ia selalu membela sahabatnya dengan memberi
pertimbangan yang bermanfaat. Ia sama sekali tidak memiliki kepentingan secara material
terhadap sahabatnya. Kegembiraannya semata-mata karena sahabatnya gembira. Begitulah
sahabat setia selalu hadir dengan kegembiraan, karena itu sahabat setia adalah penyelamat.
Kalau ingin selamat, pilihlah sahabat yang setia. Akan tetapi, perlu diingat bahwa besar
kemungkinannya, kesetiaan tidak dimiliki oleh orang terlalu besar nafsu birahinya dan begitu
terikat pada minuman keras. Ini sebabnya hindarilah bergaul dengan orang yang terlalu besar
nafsu birahinya dan orang yang sangat terikat akan minuman keras.
Orang yang terlalu besar nafsu birahinya lazimnya mengalami kesulitan mengontrol sikap
dan perilaku seksualnya. Dorongan seksual yang kuat umumnya dapat memberi daya
berlebihan untuk berfantasi tentang kehidupan seksual yang tidak sehat. Akibatnya,
mendorong remaja berperilaku seksual menyimpang. Salah satu pelariannya dengan minum
minuman keras. Bila minum minuman keras secara berlebihan akan berakibat mabuk. Lalu,
apa yang dapat diharapkan dari seorang pemabuk? Begitulah orang yang terlalu besar nafsu
birahinya dan begitu terikat pada minuman keras cenderung merusak dirinya sendiri. Tentu
bangsa ini tidak bisa mengharapkan apapun dari remaja yang “rusak”. Terlebih-lebih lagi
pada zaman kemajuan yang lebih mengutamakan perkembangan dimensi rasionalitas
daripada moralitas. Tantangan zaman ini menyebabkan remaja harus bisa memilih sahabat
dan mampu membangun persahabatan secara cerdas dalam rangka mengembangkan dimensi
moralitas, yaitu satu dimensi khas manusia.

Mengembangkan Persahabatan Menjadi Pergaulan Yang Mendidik


Untuk mencapai perkembangan yang normal, remaja tidak mungkin hidup sendirian, bahkan
mereka lebih “dijadikan” oleh dunia sosialnya, seperti pergaulan persahabatan dalam
kelompok teman sebaya (veer group). Dalam menjalankan kehidupan kelompoknya, mereka
berbagi nilai dan norma melalui proses konstruksi, dekontruksi, dan rekonstruksi. Dalam
konteks ini remaja perlu kemampuan mengapresiasi pendidikan budi pekerti yang akan
mengarahkan kelompok menjadi pergaluan pendidikan. Untuk itu keluarga dan sekolah bisa
membantu remaja dengan menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan budi
dan akhlaknya. Keluarga bukan hanya menjadi tempat tinggal bersama, tetapi menjadi ruang
berbagi tanpa membagi karena “komune keluarga” menjiwai kehidupannya. Oleh karena itu
bagi remaja, sekolah bukan hanya menjadi tempat internalisasi nilai, tetapi juga menjadi
ruang eksternalisasi nilai. Kesatuan fungsi sekolah ini menyebabkan sekolah menjadi ruang
sosial yang memberi kesempatan kepada remaja untuk mengekspresikan dirinya secara luas.
Dengan demikian, rasionalitas menjadi instrumen bagi kehidupan moralitas dan dengannya
remaja mampu mengembangkan kompentensi dirinya secara optimal.
Dengan begitu, keluarga dan sekolah senantiasa dipenuhi oleh suasana belajar dan proses
pembelajaran sehingga menjadi lingkungan yang kondusif bagi perkembangan remaja.
Suasana belajar menggambarkan hubungan antara anggota (keluarga dan sekolah) yang satu
dan yang lainnya berlangsung secara arif dan berkeadilan. Proses pembelajaran
menggambarkan hubungan antara aggota (keluarga dan sekolah) yang satu dan yang lainnya
selalu memberikan pengalaman belajar. Hubungan yang demikian dapat membantu remaja
untuk mengembangkan kemampuannya agar menjadi generasi yang cerdas, baik intelektual,
emosional, maupun spiritual. Ini sejalan dengan fungsi pendidikan nasional, yaitu untuk
mengembankan kemampuan perserta didik dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian, ditegaskan
dalam tujuan pendidikan nasional bahwa peserta didik berkembang menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuham Yang Maha Esa; berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri; dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Inilah koridor pergaulan remaja yang berlangsung, baik di dalam keluarga, sekolah maupun
kelompok teman sebaya.

Dalam konteks inilah bagi kehidupan remaja, selain diperlukan pengembangan sains dan
teknologi, juga diperlukan pengembangan pendidikan agama dan budi pekerti, baik berupa
sopan santun, etiket, bahkan etika. Norma moral memang begitu penting dalam rangka
membangun dunia sosial remaja yang cenderung bergerak menuju pencarian jati diri. Norma
moral ini dapat saja bersumber pada agama, kebudayaan, dan interaksi sosial sehingga dapat
dijadikan pedoman tingkah laku bersama. Ini sebabnya persahabatan remaja yang dibangun
berdasarkan nilai dan norma sosial akan dapat membangun pergaulan yang terarah pada
kegiatan produktif bagi perkembangan jati dirinya, seperti fungsi dan tujuan sistem
pendidikan nasional. Mengingat pada prinsipnya pendidikan adalah upaya mendidik budi
menjadi luhur, agar peserta didik berpekerti mulia, yaitu mereka mampu melakukan pilihan-
pilihan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Dengan begitu, remaja menjadi
manusia berbudi luhur dan berakhlak mulia, yaitu manusia mandiri yang sanggup
membangun masyarakat madani. Dalam konteks ini perbincangan mengenai persahabatan
dan perkembangan remaja menjadi tema yang tidak pernah membosankan. Mengingat masa
depan sebuah bangsa menjadi tanggung jawab remaja dan kemampuan bertanggung jawab ini
sepenuhnya menjadi kewajiban orang tua dan guru untuk memberikannya pergaulan yang
mendidik.
Terlebih-lebih lagi zaman kemajuan telah menempatkan budi pekerti bukan menjadi pilihan
utama karena pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi prioritas. Misalnya,
seorang guru dan/atau orang tua lebih bangga, kalau anaknya memperoleh nilai sempurna
pada mata pelajaran sains daripada pendidikan agama dan budi pekerti. Mata pelajaran ilmu
pengetahuan alam dan matematika dipandang memiliki gengsi yang lebih tinggi datipada
mata pelajaran olahraga, kesenian, dan keterampilan. Akibatnya, terjadi penganaktirian
terhadap mata pelajaran pendidikan agama dan budi pekerti termasuk olahraga, kesenian, dan
keterampilan karena dipandang kurang bergengsi, bila dibandingkan dengan mata pelajaran
ilmu pengetahuan alam dan matematika. Pendidikan agama dan budi pekerti semakin tidak
diminati sehingga semakin terpinggirkan dari ruang kesadaran remaja. Inilah yang menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan sekolah seolah-olah berlaku tidak adil terhadap
pengembangan dimensi manusia. Sekolah seolah-olah lebih mengembangkan dimensi
rasionalitas daripada moralitas. Padahal kurikulum pendidikan yang digunakan oleh sekolah
menyiratkan perlakuan yang setara dan adil bagi pengembangan dimensi manusia tersebut.

Untuk mengisi kekosongan dan ketimpangan tersebut remaja perlu mengembangkan


persahabatannya menjadi pergaulan yang mendidik, seperti koridor pergaulan yang telah
digariskan dalam tujuan pendidikan nasional. Misalnya, mengembangkan ketaqwaan dan
keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat dilakukan melalui kegiatan, antara lain
mengembangkan persahabatan remaja menjadi kelompok pesantian dan persembahyangan
setiap purnama dan tilem. Kelompok remaja ini dapat saja berperan aktif dalam lingkungan
banjar dan desa pakraman dalam kegiatan upacara piodalan yang dilaksanakan secara rutin
setiap tahun atau enam bulan. Sementara itu, untuk mengembangkan akhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri dapat dilakukan dengan mengembangkan persahabatan
remaja melalui kegiatan, antara lain kelompok belajar, kelompok olahraga, kelompok
kesenian, dan kelompok keterampilan. Melalui kegiatan tersebut remaja dapat berkembang
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, baik terhadap kehidupan
sendiri maupun kehidupan sosial.

Melalui kelompok belajar remaja bisa mendiskusikan ulang materi pelajaran yang sudah
dipelajari di sekolah, yakni memperluas dan memperdalam penguasaan terhadap materi
tersebut. Mengingat belajar tidak terbatas hanya pada tahu, tetapi dilanjutkan dengan
pemahaman dan kemampuan mengapresiasikannya dalam kehidupan. Dengannya remaja
memiliki kesempatan yang lebih banyak bagi pengembangan potensi intelektualnya. Melalui
kelompok olahraga remaja dapat mengembangkan kebugaran dan kekuatan tubuh sekaligus
dapat membangun sportivitas dan meningkatkan daya juang, yaitu daya yang memang
diperlukan dalam dunia kehidupan yang penuh dengan persaingan. Remaja yang kuat dan
sehat inilah generasi yang akan mampu bersaing dalam pergaulan global. Melalui kelompok
kesenian remaja dapat mengembangkan kecerdasan emosional dalam rangka memertajam
pekaan sosial, yaitu suatu kepekaan yang diperlukan dalam dunia sosial yang berkembang
begitu dinamis. Melalui kelompok keterampilan remaja dapat mengembangkan kecakapan
hidup, yaitu kecakapan yang memang diperlukan dalam dunia prasis yang lebih menuntut
pengalaman daripada sekadar pengetahuan teoretis. Dengan kegiatan kelompok ini tanpa
disadari remaja telah mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga mereka siap memasuki
perkembangan berikutnya, yaitu menjadi manusia manusia dewasa dan matang.

Penutup
Remaja begitu tergantung pada teman sebaya sehingga kelompok teman sebaya (veer group)
begitu berpengaruh terhadap perkembangannya. Untuk membantu dan mendukung
perkembangannya, remaja perlu memiliki wawasan yang lebih luas mengenai sahabat dan
persahabatan. Dalam hal ini remaja perlu memiliki pengetahuan tentang memilih sahabat dan
mampu mengembangkan persahabatannya dengan kegiatan-kegiatan produktif terhadap
perkembangan dirinya. Untuk itu remaja harus bisa memilih sahabat dengan menghindari
bergaul dengan orang yang suka membuat penyakit dan membuat orang lain susah; tidak
bergaul dengan orang yang berperilaku buruk; tidak bergaul dengan pemalas dan pelupa;
tidak bergaul dengan pendusta dan pembohong; tidak bergaul dengan orang yang tidak teguh
kesetiaannya; dan tidak bergaul dengan orang yang terlalu besar nafsu birahinhya dan sangat
terikat pada minuman keras.

Dengan kemampuan memilih sahabat itu remaja berkesanggupan mengembangkan


persahabatannya menjadi pergaulan yang mendidik dan berguna bagi perkembangan dirinya.
Dalam hal ini persahabatan menjadi pergaulan yang mendidik yang mampu mendorong
perkembangan rasionalitas sebagai landasan untuk mengembangkan moralitas. Dengannya,
remaja berkembang menjadi manusia dewasa dan matang. Dewasa artinya mampu melihat
masalah-masalah kehidupan dan matang artinya mampu memecahkan masalah tersebut tanpa
menimbulkan masalah lain. Seringkasnya, begitulah gambaran tentang manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu warga negara yang memiliki pengetahuan (kebenaran) serta mampu
menentukan tindakan yang tepat (kebaikan) sehingga mampu bertanggung jawab
(kebebasan).

Sumber Bacaan
Abdullah, M. Yatimin. 2006. Pengantar Studi Etika. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Ahmadi, Abu. 1983. Psikologi Umum. Surabaya: Bina Ilmu.

Azra, Azyumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan


Demokratisasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Bertens, K. 2002. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

__________. 2009. Perspektif Etika Baru: 55 Esai Tentang Masalah Aktual. Yogyakarta:
Kanisius.

Budiono, Irmayanti M. dan Mikhael Dua. 2007. Etika Terapan Meneropong Masalah
Kehidupan manusia Dewasa Ini, Jakarta: Yayasan Kota Kita.

Crow, Lester D. dan Alice Crow. 1984. Psikologi Pendidikan Buku 1. Surabaya: Bina Ilmu.

Dayakisni, Tri; Salis Yuniarti. 2004. Psikologi Lintas Budaya. Malang: Penerbitan
Universitas Muhammadiyah Malang.

Djamarah, Syaiful Bahri.2002. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Endraswara, Suwardi. 2003. Budi Pekerti Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita.

Esposito, John L., Mohammed Arkoun, Mohammed Abed AL-Jabri, Et.AL. 2002. Dialketika
Peradaban; Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abad ke-20. Yogyakarta: Qalam.

Gunarsa & Gunarsa, Singgih. 1980. Psikologi Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

_____________. & Gunarsa, Yulia Singgih D. 2001. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan
Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Kung, Hans. 2002. Etika Ekonomi-Politik Global. Yogyakarta: Qalam.

Magnis, Franz von. 1979. Etika Umum: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta:
Kanisius.

Mathar, Moch. Qasim. 2005. Sejarah, Teologi Dan Etika Agama-Agama. Yogyakarta:
DIAN/Interfidei.

Monks, F.J., A.M.P. Koers, Siti Rahayu Haditomo. 1984. Psikologi Perkembangan:
Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Ming, Tu Wei. 2005. Etika Konfusianisme. Jakarta: Teraju.

Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Prenada Media.

Poedjawijatna. 1996. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta.

Salam, Burhanuddin. 1997. Etika Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

_________________. 2000. Etika Individual Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: PT Rineka
Cipta.

Somvir (Penterjemah). 2003. Niti Sataka: 100 Sloka tentang Etika dan Moralitas Karya
Bhartrihari. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu
Indonesia.

Sosipater, Karel. 2009. Etika Pelayanan. Jakarta: Suara Harapan Bangsa.

Sudharta, Tjok. Rai. 2003. Slokantara: Untaian Ajaran Etika. Teks, Terjemahan, dan Ulasan.
Surabaya: Paramita.

Radhakrishnan, S. 2003. Agama-Agama Timur dan Pemikiran Barat. Denpasar: Program


Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia.

Tim. 2002. Pedoman Umum: Penciptaan Suasana Sekolah Yang Kondusif Dalam Rangka
Pembudayaan Dalam Rangka Pembudayaan Budi Pekerti Luhur Bagi Warga Sekolah.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Tim. 2002. Pedoman Umum: Pendidikan Budi Pekerti Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

http://www.cakrawayu.org/artikel/8-i-wayan-sukarma/38-persahabatan-dan-perkembangan-
remaja.html

Anda mungkin juga menyukai