Anda di halaman 1dari 5

“Puisi Kaum Sepuh”

Aku memang sudah tua Walau suaraku tak merdu lagi


Tapi aku punya semangat muda Tapi aku slalu semangat menyanyi
Walau hidup tak sendiri
Tapi aku selalu mandiri Aku memang sudah tua
Tapi aku slalu berdoa
Aku memang sudah tua Walau rambutku tlah memutih
Tapi aku berusaha berguna Tapi ibadahku tak pernah letih …
Walau usia telah lewat senja
Tapi diriku masih bermakna

Aku memang sudah tua


Tapi aku selalu olah raga
Walau kulitku mulai keriput
Tapi langkahku tak seperti siput

Aku memang sudah tua


Tapi aku selalu berupaya
Walau aku tak berpangkat
Tapi aku tetap terhormat

Aku memang sudah tua


Tapi aku senang bekerja
Walau aku tak berdasi
Tapi hidupku tetap berfungsi

Aku memang sudah tua


Tapi aku senang membaca
Walau mataku mulai rabun
Tapi aku tidak pikun

Aku memang sudah tua


Tapi aku senang berwisata
Walau perjalanan jauuuh

kutempuh
Tapi aku tak pernah mengeluh

Aku memang sudah tua


Tapi aku senang latih suara
Puisi: "Saat aku lanjut usia"

Senja makin menua Kita hanya bualan waktu


Ketika tersadar, Tak perlu mencinta
Ternyata kita sudah menari cukup Akhirnya pun akan terpisah
lama Lenyap bersama alunan lagu

Mungkin pesta ini sedetik lagi usai Jangan percaya keabadian..


Tak lagi ramai
Mulai berkabut Tak ada keabadian.

Sini..
Duduk sebentar
Secangkir lemon hanga
Buat singkut terpaan dingin yang
mengoyak kemudaan

Lelah adanya
Renta memeluk
Pembaringan kita mulai rindu
Menjamah hasrat kita yang linu

Cukuplah menari
Mari berbaring

Sini..
Dekat-dekat biar hangat
Dingin malam kian melekat
Sayang.. lebih merapat
Agar jelas rautmu kulihat

Bila esok tak datang untukku


Dinda..

Biar kukecup hidungmu untuk terakhir

Tetap dekap
Cintaku
Sampai tubuh ini menyerpih
Dan terbang jadi debu
“Hari tuaku” “Puisi Lanjut Usia”

Pabila hari tuaku tiba, kelak suatu Di sana tersimpan penuh harapan
masa Mengingat masa muda-mudi
Kacamata tebal atas hidung, Yang di mana belum berpikir untuk
bersenandung siap siaga di masa mendatang
Menembangkan lelakon lama. La1u
tersenyum Tak sadar wajah mulai kerut-keriput
Memandang bayangan atas kaca Layaknya kayu yang telah terkikis
jendela oleh serangga-serangga kecil
Yang putih warnanya, sampai pun alis, Tak sadar usia telah termakan oleh
bulu mata ... waktu
Tak jua sadar telah berpikir
Maka namamu 'kan kusebut, dengan menghadapi kematian
bibir gemetar
Bagai ayat kitab suci, tak sembarang Peluh keringat mulai jatuh di antara
boleh terdengar kedua pipi kerut wajahnya
Namun kala itu yang empunya nama Pandangan mata tak setajam yang
entah di mana dimiliki pada usia muda
Apakah lagi menyulam, duduk Mahkota rambut telah usang termakan
bungkuk atas kursi rotan zaman
Ataukah sedang menimang cucu, Penuh harap pada masa tuanya
mungkin pula telah lama
Aman berbaring dalam tilam Mengambil tempat untuk berdua
penghabisan. bersama memori ingatan
Seandainya masa muda itu sebuah
Dan pabila giliranku tiba, telentang harapan
Dengan kedua belah tangan bersilang Maka umur lanjut usia telah tidak lagi
Sebelum Sang Maut menjemput sebuah harapan
Sekali lagi namamu 'kan kusebut, lalu Seperti orang budak yang
diam. Mati. mengharapkan kemerdekaannya
Di mana ia telah bisa menikmati apa
yang di rasakan

Anda mungkin juga menyukai