kutempuh
Tapi aku tak pernah mengeluh
Sini..
Duduk sebentar
Secangkir lemon hanga
Buat singkut terpaan dingin yang
mengoyak kemudaan
Lelah adanya
Renta memeluk
Pembaringan kita mulai rindu
Menjamah hasrat kita yang linu
Cukuplah menari
Mari berbaring
Sini..
Dekat-dekat biar hangat
Dingin malam kian melekat
Sayang.. lebih merapat
Agar jelas rautmu kulihat
Tetap dekap
Cintaku
Sampai tubuh ini menyerpih
Dan terbang jadi debu
“Hari tuaku” “Puisi Lanjut Usia”
Pabila hari tuaku tiba, kelak suatu Di sana tersimpan penuh harapan
masa Mengingat masa muda-mudi
Kacamata tebal atas hidung, Yang di mana belum berpikir untuk
bersenandung siap siaga di masa mendatang
Menembangkan lelakon lama. La1u
tersenyum Tak sadar wajah mulai kerut-keriput
Memandang bayangan atas kaca Layaknya kayu yang telah terkikis
jendela oleh serangga-serangga kecil
Yang putih warnanya, sampai pun alis, Tak sadar usia telah termakan oleh
bulu mata ... waktu
Tak jua sadar telah berpikir
Maka namamu 'kan kusebut, dengan menghadapi kematian
bibir gemetar
Bagai ayat kitab suci, tak sembarang Peluh keringat mulai jatuh di antara
boleh terdengar kedua pipi kerut wajahnya
Namun kala itu yang empunya nama Pandangan mata tak setajam yang
entah di mana dimiliki pada usia muda
Apakah lagi menyulam, duduk Mahkota rambut telah usang termakan
bungkuk atas kursi rotan zaman
Ataukah sedang menimang cucu, Penuh harap pada masa tuanya
mungkin pula telah lama
Aman berbaring dalam tilam Mengambil tempat untuk berdua
penghabisan. bersama memori ingatan
Seandainya masa muda itu sebuah
Dan pabila giliranku tiba, telentang harapan
Dengan kedua belah tangan bersilang Maka umur lanjut usia telah tidak lagi
Sebelum Sang Maut menjemput sebuah harapan
Sekali lagi namamu 'kan kusebut, lalu Seperti orang budak yang
diam. Mati. mengharapkan kemerdekaannya
Di mana ia telah bisa menikmati apa
yang di rasakan