pastoral care adalah salah satu pelayanan rohani terhadap pasien,pelayanan ini mulai berkembang pada abad ke XIX di Amerika. Anton Th. Boisen (tahun 1920) adalah salah satu tokok penting ketika ia menderita sakit dan dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Selain Boisen, adalah Dr. Richart C. Cabot, seorang psikiater, yang akhirnya mengembangan pelayanan postural care (Susanto, 1993).
2. Pastoral care sebagai pelayanan Rohani Pasien.
Dasar pelayanan dalam pandangan fislosofi adalah bahwa manusia mesti dipahami secara holistic karena manusia memiliki empat dimensi yang tidak terpissahkan satu dengan yang lain. Manusia adalah makhluk biologis, psikologis, sosial, dan juga spiritual. Pelayanan postural care membela martabat manusia dengan mnerapkan nilai-niai ilahi dalam pelayanan dan motivasi mereka yang sakit untuk mendekatkan diri pada tuhan agar mampu memaknai peristiwa sakit. Pelayanan postura care sekaligus menentang dipersonalisasi, yaitu tidak menghargai manusia sebagai pribadi yang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan. Juga melawan dehumanisasi, yaitu mengabaikan nilai kemanusiaan pada seseorang menderita sakit dengan memperlakukan sebagai obek atau benda. Pastoral care juga menentang bahaya manipulasi bioteknologi, yaitu rekayasa teknologi yang merusak harkat manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan, misalnya cloning pada manusia, dan mengantisipasi bahaya profesionalisme yang dikaitkan dengan usaha mencari keuntungan/profil (Bons-Storm, 2003).
3. Hakikat pelayanan kesehatan paripurna.
Dengan memperhatikan hakikat pelayanan kesehatan, yakni melayani manusia secara paripurna, ketika merawat seorang pasien perlu memperhatkan beberapa hal dari setiap dimensi manusia. Ketika sakit, pasien umumnya merasa terisolasi atau merasa jauh dari orang-orang yang dikenal dan harus menyesuaikan diri dengan orang-orang baru dengan lingkungan baru, terutama ketika opname di rumah sakit. Sebagai makhluk psikologis, pasien memiliki emosi, intelektua/berfkir, cita-cita dan masa depan. Oleh karena itu, manusia juga membutuhkan perhatian, kasih sayang, rasa aman, pengakuan/martabat, keindahan dan lain-lain. Sebagai makhluk sosial , pasien membutukan orang lain/tidak dapat hidup sendiri, membutuhkan pengakuan/hubungan yang harmonis dan pengkuan dari kelompok sosial, ekonomi, pendidikan, pekerjaan, budaya, pilitik, dll. Ketika sakit manusia berfikir tentang dosa atau merasa bersalah dengan Tuhan. Bahakan pada orang yang tidak beragama pun, ketika sakit, berfikir tentang yang supranatural sebagai penolong atau penyembuh (Tjaard & Homes, 2000; Andreas, 2011). pelayanan pastoral care membantu pasien untuk tetap dekat dengan Tuhannya sebagai sumber utama kesembuhan dan tidak berburuk sanggak atau menjuahkan diri dari Tuhan. Seorang ahli pastoral care bellanda, bernama Roscam Abbing, berpendapat bahwa kesembuhan pasien dapat dicapai dengan lima cara: istirahat, obat, perubahan sikap, kedamaian batin, dan pertolongan tuhan secara langsung melalui mukjizat (Bons-storm, 2003).
4. Theresia Saelmakers peletak dasar pelayanan Rohani Breda.
Theresia Saelmakers dan teman-temannya sudah member pelayanan rohani pasien sejak mereka bekerja di Rumah Sakit Breda Belanda pada tahun 1826. Mereka menyadari bahwa pasien tidak hanya membutuhkan perawtan fisik/biologis, tetapi juga pelayanan rohani atau psiko-spiritual. Penderita fisik pada saat itu terjadi karena tekanan psikologis atau rohani kerena revolusi prancis (Senirang, 1976; Emirentiana, 2011). Pelayanan rohani yang telah dirintis oleh Theresia Saelmakers di Breda dilanjutkan oleh para pengikutnya dan semua orang yang terlibat dalam pelayanan kesehatan Groub Charitas. Pada berkembangan berikutnya, pelayanan rohani lebih popular dengan nama pastoral care. Pelayanan ini menjadi tangung jawab bersama tenaga kesehatan bukan hanya menjadi tugas pastor (pimpinan agama) atau tanggung jawab bagian/unit pastoral care meskipun ada perbedaan fungsi profesi kesehatan. Dengan mata kuliah Spiritual Charitas, sejak awal mahasiswa dipersiapkan menjadi pelayan kesehatan yang memperhatikan seluruh dimensi manusia dan bertanggung jawab atas perawatan pasien secara paripurna. Secara khusus, perawat dan bidan yang memiliki waktu lebih banyak bersama pasien dan keluarga, menjadi ujung tombak pelayanan pastoral care di Rumah Sakit. Perawat atau bidan diharapkan menolong pasien dengan kasih dan perhatian, dengan sentuhan kemanusiaan (human touch), merawat pasien sebagai saudara/anggota kelurga, dan berjalan bersama dalam situasi pasien.
5. Fungsi pelayanan peastoral care.
Sikap dan reaksi setiap orang berbeda dalam memahami sakit atau menerima kedukaan. Reaksi dipengaruhi oleh budaya, keadaan, dan kepribadian manusia yang berbeda. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan dalam melakukan pastoral care menerapkan beberapa fungsi sebagai berikut (Wiryasaputra, 2006). a. Menyembuhkan Perasaan terluka oleh trauma atau perasaan sakit yang menjadi beban batin yang berat karena sakit fisik atau psikologis yang bisa menyebabkan psikosomatis. Dengan perasaan terluka atau batin yang terluka sehingga mempercepat proses penyembuhan. b. Menopang Mereka yang luglai karena sakit berat/tidak tersembuhkan atau menjelang kematian. Umumya mereka yang mengalami sakit berat sulit diajak bicara. Oleh karena itu konseling yang diberikan adalah dengan sentuhan manusiawi atau kata- kata singkat, namun tepat dan bermanfaat membantu pasien untuk dapat tabah, berpasrah dengan Tuhan. c. Membimbing. Pasien atau keluarga mengambil keputusan yang tepat dalam hidupnya. Petugas kesehatan bukan mengambil ahli tanggung jawab pasien. Petugas kesehatan bersama pasien menganalisis beberapa alternative, namun pasien atau keluarga memutuskan alternatif/ pilihan yang diambil. d. Memperbaiki hubungan. Dengan orang lain yang mungkin pernah retak dan membebani perasaan, oleh karena itu petugas kesehatan harus peka sehingga dapat mengurangi ketegangan hidup yang dialami oleh klien. Petugas kesehatan dapat berperan sebagai mediator/perantara, namun klien mesti dibimbing untuk dapat berkomunikasi dengan mereka yang relasinya retak atau rekonsilitasi. e. Mengasuh/mendidik. Pasien agar terus berkembang dan menjadi lebih dewasa untuk menghadapi masalah hidupnya. Klien juga dibantu untuk mandiri dan tidak tergantung pada orang lain.
6. Pasien berduka dan Terminal Illness.
Mendampingi pasien berduka dan terminal membutuhkan ketrampilan dan pemahaman yang tepat tentang masa berkabung dan terminal. Berkabung atau berduka adalah situasi dimama seseorang mengalami rasa kehilangan perpisahan yang membawa kesedihan atau pendeitaan yang mendalam. Berduka merupakan reaksi emosi seseorang yang dihubungkan dengan pengalaman kehilangan orang yang sangat discintai karea kematian. Pasien terminal adalah pasien yang mengalami situasi batas hidup (kematian) berdasakan diagnosis dokter sehingga membuat pasien dan keluarga mengalami duka cita yang mendalam. Dalam proses atau situasi ini, pasien atau keluarga membutuhkan dukungan (coping) bagaimana bertahan hidup dalam batas waktu yang singkat dan bagaimana menghadapi kematian yang sudah dekat. Mendampingi pasien yang demikian, petugas kesehatan mesti mengenal beberapa tahap atau fase yang umumnya dialami oleh pasien. Ada macan-macan reaksi seseorang ketika mendengar diagnosis dokter tentang penyakitnya yang serius. Misanya kanker dengan stadium lanjut akan menimbulkan goncangan emosi, antara lain: syock, tekut, marah, menarik diri, menyangkal, merasa tidak tertolong lagi, berduka, putus asa tawar menawar dan menerima. Elisabeth Kubler Ross melakukan studi atau penelitian yang panjang tentang reaksi seseorang ketika diberitahu tentang penyakitnya dan menemukan lima fase berduka (Kubler-Ross, 1995; Bons-storm). a. Penolakan/ Denial. Atau penyangkalan secara terbuka atau tertutup (dalam hati). Merupakan sikap yang umum muncul pertama kali ketika mendapat hasil diagnosis dokter. Sikap ini merupakan pertahanan sementara dan sifatnya parsial, mempertahankan penyangkalan akan menambah atau memeprpanjang distress. b. Kemarahan/ Anger. Reaksi yang muncul karena tidak dapat mempertahankan penyangkalan. Kemrahan umumnya ditunjukan kepada keluarga, dokter, perawat atau staf rumah sakit yang secara langsung berhubungan dengan pasien. c. Tawar menawar/ Bargaining. Dengan melakukan maneuver atau menawar kepada Tuhan dengan harapan bisa memperpanjang hidup dengan janji-janji melakukan yang lebih baik. d. Kesediahan/ Depresi. Pasien akan merasa kecewa dengan tuhan dan keluarga atau orang-orang di sekitar, seolah olah tidak ada yang menolong. e. Perimanan/ Acceptanse. Sikap menerima kenyataan setelah melalui perjuangan berat dan akhirnya meyerahkan semua harapan pada Tuhan atau pasrah dengan kondisi kesehtananya. Namun, perlu diingat sikap menerima hanya bisa terjadi ketika pasien dapat pendampingan melalui kasih dan perhatian dari petugas kesehatan dan keluarga.